Memulai Langkah Menjadi “Angel Investor”

Berdasarkan data yang dihimpun DailySocial, setidaknya ada tujuh deal di Indonesia yang mengumumkan menerima pendanaan dari angel investor di tahun 2020.

Dalam percakapan dengan DailySocial beberapa waktu lalu, Edward Tirtanata pernah menyinggung tentang kondisi angel investor di Indonesia. Menurutnya, ekosistem angel investor di sini masih belum terlalu berkembang. Padahal, tak sedikit pelaku startup yang mencari akses pendanaan tahap awal lewat jalur ini.

Indonesia saat ini sudah memiliki jaringan investasi angel melalui ANGIN (Angel Investment Network Indonesia), namun jika mengacu informasi dari sejumlah founder startup, akses untuk terhubung dengan angel investor dirasa belum banyak. Eksistensi angel investor di Indonesia sebetulnya bukannya tidak ada, hanya saja mereka cenderung tak ingin terekspos namanya.

Selain akses, ada isu lain yang cukup menarik dan banyak diperbincangkan, yakni besaran nilai investasi untuk menjadi angel investor. Apakah seseorang yang mungkin tidak kaya raya, bisa menjadi angel investor? Jika jawabannya ya, sebetulnya berapa nilai ideal yang dapat dipenuhi untuk menjadi angel investor?

Definisi angel investor

Dalam sebuah blog yang ditulis jurnalis sekaligus pemerhati investasi Chris Muller, ada beberapa tips yang dapat dicontek siapapun yang ingin menjajal peruntungan sebagai angel investor, meskipun mungkin tidak kaya raya.

Sebelum ke sana, mari kita perjelas kembali apa itu angel investor. Muller mendefinisikannya sebagai seseorang yang punya cukup uang untuk diinvestasikan ke bisnis tahap awal atau bisnis existing yang sudah berkembang. Seperti investor pada umumnya, angel investor mendambakan balik modal yang biasanya berbentuk ekuitas di perusahaan atau bagi hasil (revenue sharing).

Sementara mengutip Entrepreneur, motivasi mereka berinvestasi tak semata-mata mencari keuntungan, tetapi berdasarkan pada keinginan untuk membantu para pelaku bisnis baru. Angel investor bisa berasal dari berbagai macam profesi, seperti dokter, pengacara, pemasok, atau rekan bisnis. Berbeda dengan VC yang berdiri sebagai institusi untuk menginvestasikan uang orang lain.

Apabila mengacu regulasi di Amerika Serikat (AS), siapapun bisa menjadi angel investor selama mereka memenuhi persyaratan sebagai “investor terakreditasi” oleh Komisi Bursa Efek dari Securities and Exchange Commission (SEC), yaitu memiliki kekayaan bersih $1 juta atau lebih (tidak termasuk tempat tinggal utama) dan menghasilkan $200.000 per tahun.

Berapa modal yang dibutuhkan?

Kembali pada pertanyaan di awal, apakah bisa berinvestasi dalam jumlah uang yang kecil? Berapa jumlah yang dibutuhkan untuk menjadi angel investor? Muller mengungkap, jika mengacu rekomendasi dari yang berpengalaman, investor mengalokasikan hingga 10% dari portofolio untuk angel investment.

Memang ini tidak menjawab berapa banyak yang dibutuhkan. Jawaban termudah yang bisa diberikan adalah tergantung pada tipe dan ukuran investasi yang diincar. Jika menyontek referensi acara televisi Shark Tank, Anda bisa memulainya dengan investasi ratusan ribu dolar AS.

Sebetulnya Anda bisa saja berinvestasi dalam skala yang lebih kecil, misalnya $10.000. Meskipun demikian, Muller menggarisbawahi bahwa semakin kecil investasi, akan semakin kecil pula saham yang dimiliki (dan tentunya keuntungan). Besaran ini juga dapat menjadi faktor yang memengaruhi keterlibatan investor dalam mengambil keputusan bisnis.

Ia mencontohkan, apabila keseluruhan investasi pada portofolio sebesar $100.0000, ini akan memenuhi porsi 10% seperti disebutkan di awal. Tapi, jika ingin menginvestasikan bisnis startup yang baik, ia merekomendasikan setidaknya punya $50.000artinya portofolio keseluruhan sudah bisa mendekati $500.000.

Sementara, mengutip dalam blog Pluang, data Angel Capital Association mencatat investor dengan latar belakang kewirausahaan rata-rata menaruh sebesar $39.000. Ada juga yang berinvestasi dengan rata-rata $28.000. Tidak ada jumlah spesifik, semua bergantung pada investor dan bisnis yang diincar.

Secara kolektif, angel investor global menyiapkan dana hingga $24 miliar untuk diinvestasikan ke 64.000 startup setiap tahunnya.

Plus dan minus menjadi angel investor

Pada dasarnya berinvestasi tidak semata cara untuk menikmati keuntungan. Investasi berisiko dan Anda dapat kehilangan uang yang mungkin semuanya–inipun jika perusahaan berkinerja buruk atau bangkrut. Data lain Angel Capital Association menunjukkan setidaknya 50% dari angel investor kehilangan separuh dananya.

Lagi-lagi kita juga perlu menggarisbawahi bahwa ini adalah investasi, bukan pinjaman. Salah satu alasan mengapa pelaku bisnis menyukai angel investment adalah karena ini tidak tercatat sebagai pinjaman dalam neraca keuangan mereka. Angel investor membeli sebagian dari perusahaan. Artinya, ada jalan lain apabila bisnis gagal dan Anda kehilangan uang daripada repot mengambil tindakan jika itu pinjaman yang tak mampu dibayarkan.

Sebaliknya, angel investment juga dapat berpotensi menghasilkan return yang sangat tinggi. Muller mencontohkan, investasi Peter Thiel di Facebook menjadi salah satu angel investment terpopuler. Thiel menyuntik sebesar $500.000 ke Facebook pada 2004 silam sebelum platform besutan Mark Zuckerberg tersebut go public. Andai saja Thiel tidak menjual 80% sahamnya hingga sekarang, saham Thiel bisa bernilai sebesar $10 miliar saat ini.

Nilai plus lainnya adalah Anda dapat membangun perusahaan seperti yang diinginkan. Angel investment memungkinkan untuk memperoleh kepemilikan perusahaan, yang otomatis memampukan Anda untuk terlibat dalam membuat keputusan. Namun, ini semua dengan catatan mengacu pada ukuran investasi dan kesepakatan yang Anda buat bersama pemilik bisnis.

Tak kalah penting adalah diversifikasi investasi. Menurut Muller, angel investing memberikan pilihan kepada investor untuk memperluas portofolio investasi, seperti saham, obligasi, dan exchange traded fund (ETF). Investor dapat menjadi pemilik sebagian dari perusahaan dan dapat mengantongi imbal hasil dalam bentuk laba perusahaan.

Apakah angel investment menguntungkan?

Masih mengacu pada blog Pluang, sejumlah angel investor melaporkan pengembalian lebih tinggi sepuluh kali lipat dari investasi awal usai menjual saham mereka di perusahaan.

Menurut sejumlah riset, hanya 5-10% dari angel investment yang tercatat meraup keuntungan. Rata-rata sebanyak 11% dari perusahaan yang didanai menghasilkan exit yang positif. Itupun memiliki hasil exit yang bervariasi.

Bisa disimpulkan tidak semua exit menguntungkan bagi angel investor. Semua ini kembali lagi pada riset yang dilakukan investor terkait perusahaan dan kategori bisnis yang akan didanai. Pahami dulu bisnis yang ingin didanai sebelum memutuskan melakukan investasi.

Laporan Boku: OVO Pimpin Pangsa Pasar “Mobile Wallet” di Indonesia

Perusahaan penyedia jaringan pembayaran mobile Boku baru-baru ini merilis survei terkait pasar mobile wallet di dunia. Survei bertajuk “Boku: 2021 Mobile Wallets Report” ini turut menyoroti kompetisi hingga perilaku penggunaan mobile wallet di Indonesia.

Indonesia dilaporkan menjadi negara ketiga di dunia dengan pertumbuhan mobile wallet tercepat, penetrasinya diprediksi melambung tiga kali lipat dengan transaksi diestimasi naik sepuluh kali lipat dalam lima tahun ke depan.

Laporan ini mengungkap, volume transaksi mobile wallet di Indonesia diestimasi mencapai 1,7 miliar di 2020 dan meningkat menjadi 16 miliar transaksi di 2025. Sementara nilai transaksinya di 2020 mencapai $28 miliar dan diestimasi tumbuh signifikan menjadi $107 miliar atau Rp1,55 kuadriliun di 2025.

Total pengguna mobile wallet Indonesia tercatat sebesar 63,6 juta atau 25,6% terhadap total populasi. Angka ini diperkirakan juga meningkat menjadi 202 juta pengguna atau 76,5% pangsa di 2025.

Dalam laporannya, ada lima pemain Indonesia yang berkompetisi ketat di pasar mobile wallet. Apabila diurutkan berdasarkan pertumbuhan transaksi tertinggi di 2020, kelima mobile wallet ini antara lain (1) OVO dengan $10,7 juta, (2) ShopeePay dengan $4,3 juta, (3) LinkAja dengan $3,9 juta, (4) Gopay $3,7 juta, dan (5) DANA dengan $3,4 juta.

Capaian transaksi di 2020 dan proyeksinya di 2025 / Boku Report
Tingkat pertumbuhan transaksi di 2020 (kolom tiga) dan proyeksinya di 2025 (kolom empat) dalam jutaan dolar / Boku Report

OVO mengungguli penggunaan mobile wallet di Indonesia dengan 38,2% pangsa pasar, diikuti oleh ShopeePay (15,6%), LinkAja (13,9%), Gopay (13,2%), DANA (12,2%), dan lainnya (6,9%).

Pangsa pasar mobile wallet di Indonesia / Boku Report
Pangsa pasar mobile wallet di Indonesia / Boku Report
Jumlah pengguna mobile wallet di Indonesia / Boku Report
Jumlah pengguna mobile wallet di Indonesia / Boku Report

Survei ini mengungkap, mobile wallet punya peran signifikan dalam mendorong akuisisi customer baru di layanan ecommerce. Di sisi lain, lima pemain mobile wallet di Indonesia bersaing ketat untuk mengambil ceruk pasar.

“Ketatnya persaingan di pasar mobile wallet turut dipicu oleh keterlibatan Venture Capital (VC) yang agresif memberikan investasi kepada pemain,” ungkap laporan ini.

Hal ini terlihat dari bagaimana ShopeePay mampu mengungguli beberapa pemain incumbent, seperti Gopay dan DANA di 2020. ShopeePay dinilai banyak memberikan potongan harga dan promosi kepada konsumen berkat dukungan modal dari investor. Faktor ini yang membawanya menduduki posisi kedua penggunaan mobile wallet terbanyak di Indonesia.

Perilaku pengguna mobile wallet di Indonesia

Boku juga melakukan survei terhadap 1035 responden untuk mengetahui lanskap perilaku penggunaan mobile wallet di Indonesia. Hasilnya, rata-rata konsumen Indonesia menggunakan sebanyak 3,2 mobile wallet untuk memaksimalkan keuntungan setiap layanan. Temuan ini sama banyaknya dari hasil survei penggunaan di India.

Ada lima alasan terbesar konsumen Indonesia menggunakan mobile wallet antara lain pembayaran digital (73%), cashback/diskon dari mobile wallet (69%), ingin mencoba (61%), cashback/diskon dari merchant tertentu (57%), dan karena ingin berhenti menggunakan uang tunai (53%).

Cashback menjadi faktor utama mengapa konsumen rerata menggunakan 3,2 mobile wallet. Faktor ini diikuti pertanyaan lanjutan, yakni ‘mengapa Anda menggunakan lebih dari satu dompet’. Responden menjawab mereka ingin mengumpulkan benefit berbeda dari masing-masing layanan,” jelasnya.

Pada aktivitas penggunaan, konsumen Indonesia kebanyakan pakai mobile wallet untuk top up, pembayaran, tagihan, transfer. Ini sebetulnya menjadi sinyal bagaimana mobile wallet menjadi proxy untuk membantu membuka rekening masyarakat.

Perilaku penggunaan mobile wallet di Indonesia / Boku Report

Kemudian, laporan ini juga menemukan 81% responden di Indonesia banyak menggunakan mobile wallet untuk belanja online. Jika dibandingkan dengan pembayaran langsung di toko sebesar 40% apabila digabungkan, ini menyimpulkan bagaimana konsumen Indonesia begitu terpusat pada layanan ecommerce.

Menurut responden, belanja online menjadi fungsi teratas yang banyak mereka gunakan pada “super app“. “Temuan ini menjadikan Indonesia sebagai pasar mobile-only dengan kompetisi pasar mobile wallet dan super app yang kuat,” tambahnya.

Lebih lanjut, Indonesia termasuk pasar tercepat di dunia untuk penggunaan mobile payment. Alhasil, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang memiliki transisi cepat dari penggunaan tunai ke mobile wallet.

“Kami menemukan pembayaran tunai, transfer bank, dan kartu debit menjadi tipe pembayaran yang mulai banyak ditinggalkan konsumen dan beralih ke mobile wallet. Bahkan pembayaran melalui perangkat mobile mengungguli kartu kredit, yang mana menjelaskan rendahnya penetrasi kartu kredit di Indonesia,” sebut laporan ini.

Di sisi lain, Indonesia juga termasuk sulit dalam penerimaan merchant. Hal ini dikarenakan terfragmentasinya pasar dan cepatnya perubahan preferensi konsumen. Padahal, Indonesia punya peluang besar untuk memberdayakan pembayaran online pada merchant.

Belajar dari Pengalaman Member.id Membangun dan Memvalidasi Produk

Dalam perjalanannya membangun bisnis, Co-founder & CEO Member.id Marianne Rumantir bercerita tentang bagaimana ekosistem startup di Indonesia berkembang hingga sekarang ini. Dunia startup tak lagi identik dengan pelaku bisnis atau produk berlatar belakang IT, tetapi juga solusi kreatif dan disruptif.

Pada kesempatan kali ini, ia berbagi pengalaman dan cerita seputar pengembangan dan validasi produk/layanan. Selengkapnya, simak paparan Marianne Rumantir pada sesi rangkaian program inkubasi DSLaunchpad ULTRA berikut ini.

Mencari tahu ide bisnis bernilai atau tidak

Pelanggan merupakan metrik validasi yang umum untuk mengetahui apakah produk/layanan yang dikembangkan bernilai atau dapat menyelesaikan masalah mereka. Menurut Marianne, terkadang perlu mengambil langkah besar untuk mengembangkan produk meskipun memakan waktu lama. Tetapi, penting pula untuk melakukan kalkulasi. Produk tidak harus sempurna, tetapi paling tidak dapat memberikan dampak terhadap pelanggan/klien.

“Di situ kami tahu bahwa we are making difference with our solution. Bukan perfect product, at least you are providing or helping them. Jika ada appetite pada produk, ini pertanda ada yang mau pakai,” ujar Marianne.

Dalam konteks pelanggan di segmen B2B, ia juga menyoroti pentingnya komunikasi dua arah serta utilisasi data untuk mengetahui implementasi produk/layanan dapat memberikan perubahan terhadap bisnis klien dan memenuhi kebutuhan mereka.

“Komunikasi secara berkala penting untuk mempertajam alignment. Tujuannya untuk memastikan kebutuhan terpenuhi, apalagi kerja sama untuk jangka panjang,” tambahnya.

Pengalaman saat melakukan product validation

Setiap startup pasti pernah melalui perjalanan berliku saat melakukan product validation. Marianne menceritakan bagaimana ia dan timnya pernah mengalami kegagalan memvalidasi produk karena pandemi Covid-19. Situasi ini membuat permintaan pasar terhadap produknya turun secara drastis.

Diungkapkannya, Member.id pernah meluncurkan aplikasi Madoo yang memungkinkan pengguna mengonversi point dan miles dari merchant, seperti OVO, Gopay, AirAsia, dan Garuda. Ketika perusahaan melakukan soft launch, pandemi pun terjadi dan penerbangan dilarang. Situasi ini menyulitkan proses validasi Madoo mengingat nilai jual aplikasi ini terletak pada tukar point dan miles.

“Padahal kami sudah lakukan riset satu setengah tahun pada R&D untuk membangun produk. Kami juga sudah investasi miliaran Rupiah. Such a bad timing. Akhirnya, kami postpone produk sampai situasinya membaik. Kadang-kadang ada situasi tidak terduga yang membuat demand pasar jatuh,” ungkapnya.

Situasi semacam ini memang tidak terelakkan. Terlepas dari itu, Marianne menyebut bahwa umumnya product validation dapat memakan waktu hingga 1-2 tahun. Ini untuk mengetahui apakah pada periode ini pelaku startup dapat memperoleh customer atau klien yang mau memakai produk/layanannya.

Mencari investor hingga exit plan

Pengembangan produk selalu akan berkaitan dengan kecukupan modal yang dimiliki startup di tahun-tahun pertamanya. Marianne menilai perkembangan industri startup semakin matang. Bagi pelaku startup, ini menjadi momentum yang tepat untuk membangun sebuah produk/layanan. Investor semakin banyak yang berani berinvestasi untuk pendanaan tahap awal (seed round).

“Situasi ini menjadi peluang bagus karena sebetulnya kita tidak perlu big money di awal untuk mengembangkan produk. We just need good amount of money dan konsep produknya untuk satu tahun pertama. Investor juga semakin banyak yang mau berinvestasi di seed,” paparnya.

Ia juga menggarisbawahi tentang beberapa hal lain seputar investor. Pertama, penting untuk mencari investor yang dapat menjadi strategic partner, terutama yang sudah memiliki banyak portofolio investasi. Ini dapat menjadi satu kesempatan bagi startup untuk mencari customer baru/klien dari portofolio milik investor.

Kedua, mencari investor yang dapat memberikan pendampingan dalam membangun produk dan bisnis hingga exit plan. “Kalau di VC, [investasi VC] startup tidak minta balik modal, hanya tutup bisnis yang berarti no longer burning money. Setiap investor punya exit plan yang berbeda. Makanya, cari investor yang dapat kasih konsultasi untuk bangun bisnis.”

Gojek to Focus on Vietnam and Singapore Expansion, Selling Its Thailand Branch to AirAsia

Low-cost carrier AirAsia officially acquired Gojek’s Thai business as a solid step into the digital business. As part of this agreement, Gojek will receive 4.76% of AirAsia’s super app service stake.

As reported by Nikkei Asia, the deal was taken as AirAsia exploring delivery growth in Thailand. Gojek alone wants to shift its regional business focus to Vietnam and Singapore.

According to AirAsia’s disclosure quoted by Nikkei, AirAsia’s super app business is worth $1 billion (around 14 trillion Rupiah), while Thailand’s Gojek is worth $50 million (around 700 billion Rupiah).

AirAsia’s CEO, Tony Fernandes assessed that Gojek’s business in Thailand is well established and can accelerate the company’s efforts to become a super app challenger in the Southeast Asian region.

“Gojek’s services in Thailand will operate until the end of July, while our platform will start operating in August. We ensure that there will be no redundancy from the transition of these two businesses,” Tony said.

Meanwhile, Gojek’s CEO, Kevin Aluwi said that his action to discharge the ride-hailing business in Thailand was a strategic step to reshape its regional business after the merger with Tokopedia to GoTo. He said, Gojek is unable to fully commit to the resources there.

Kevin thought that the business divestment in Thailand would allow Gojek to lead the market in Vietnam and Singapore by increasing its investment portion. He said that his team had been exploring this agreement since two months ago.

“After considering the product development and our team, we decided to prioritize investment in Vietnam and Singapore considering the scale of Gojek’s business in these two countries. We believe we can find the right partner with the resources we have. We remain fully committed to growing Gojek’s market outside Indonesia,” he said.

In this virtually announced deal, both Tony and Kevin mentioned the possibility of a potential joint partnership outside of Thailand, but provide no further details.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Gojek Thailand (@gojekthailand)

A new chapter for super app competition in Southeast Asia

Previously, Tony had stated his intention to compete with Gojek and Grab in the Southeast Asia region through AirAsia Digital or this super app.

AirAsia’s digital services are currently available in Malaysia, consisting of food delivery, grocery, farm goods, and beauty. As a form of expansion, rather than building from scratch, AirAsia acquired Gojek’s existing business which was considered to be well established in Thailand.

In the context of international business, GoTo is quite behind compared to its competitors. Tokopedia is only available in Indonesia, while Gojek’s operation stays in three regional countries, Vietnam, Thailand and Singapore.

In comparison, Grab is available in eight countries and Sea Group (Shopee’s parent) has operations in six Southeast Asian countries. Sea Group even operates in Taiwan and four other countries in South America.

Quoting Momentum Works‘ research, Gojek’s market share in Thailand is far behind Grab in 2020. GrabFood controls 50% of food delivery share in Thailand or worth $2.8 billion, followed by FoodPanda (23%), and LINE MAN (20%). GoFood only earned a 7% share of food delivery there.

The super app market in Thailand is also entering a very competitive phase with the involvement of local conglomerates in this business. Retail giant Central Group injected a $200 million investment into its Thai subsidiary Grab in 2019. While Thailand’s largest conglomerate Charoen Pokphand Group entered the business through its telecommunications subsidiary, TrueID.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Ingin Fokus Ekspansi Regional di Vietnam dan Singapura, Gojek Jual Bisnis di Thailand ke AirAsia

Perusahaan maskapai low-cost carrier AirAsia resmi mencaplok bisnis Gojek di Thailand sebagai langkah solid masuk ke bisnis digital. Sebagai bagian dari kesepakatan ini, Gojek akan memperoleh 4,76% saham layanan super app AirAsia.

Sebagaimana dilaporkan Nikkei Asia, kesepakatan tersebut diambil karena AirAsia mengincar pertumbuhan delivery di Thailand. Gojek sendiri ingin mengalihkan fokus bisnis regionalnya ke Vietnam dan Singapura.

Menurut keterbukaan AirAsia yang dikutip Nikkei, bisnis super app AirAsia bernilai $1 miliar (sekitar 14 triliun Rupiah), sementara Gojek Thailand bernilai $50 juta (sekitar 700 miliar Rupiah).

CEO AirAsia Tony Fernandes menilai bisnis Gojek di Thailand sudah mapan dan dapat mempercepat upaya perusahaan untuk menjadi super app penantang di kawasan Asia Tenggara.

“Layanan Gojek di Thailand akan beroperasi hingga akhir Juli, sedangkan platform kami mulai beroperasi di Agustus. Kami pastikan tidak akan ada redundancy dari transisi kedua bisnis ini,” ujar Tony.

Sementara CEO Gojek Kevin Aluwi mengatakan, aksinya melepas bisnis ride-hailing di Thailand merupakan langkah strategis untuk membentuk kembali bisnis regionalnya pasca merger dengan Tokopedia menjadi GoTo. Menurutnya, Gojek tidak mampu berkomitmen penuh dengan resource yang dimiliki di sana.

Kevin menilai divestasi bisnis di Thailand akan memungkinkan Gojek untuk memimpin pasar di Vietnam dan Singapura dengan meningkatkan porsi investasinya. Ia mengungkap pihaknya telah melakukan penjajakan kesepakatan ini sejak dua bulan lalu.

“Setelah menimbang dari pengembangan produk dan team yang kami miliki, kami memutuskan untuk memprioritaskan investasi di Vietnam dan Singapura jika melihat skala bisnis Gojek di kedua negara ini. Kami yakin bisa menemukan mitra yang tepat dengan resource yang kami miliki. Kami tetap berkomitmen penuh untuk menumbuhkan pasar Gojek di luar Indonesia,” jelasnya.

Pada kesepakatan yang diumumkan secara virtual ini, baik Tony dan Kevin menyinggung kemungkinan potensi kemitraan bersama selanjutnya di luar Thailand, tapi tidak merincikan detail.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Gojek Thailand (@gojekthailand)

Babak baru pertarungan “super app” di Asia Tenggara

Sebelumnya Tony sempat menyatakan niatnya bersaing dengan Gojek dan Grab di kawasan Asia Tenggara melalui AirAsia Digital atau super app ini.

Layanan digital AirAsia ini secar umum tersedia di Malaysia, terdiri dari pengantaran makanan, grocery, barang-barang dari petani (farm), dan beauty. Sebagai bentuk ekspansi, ketimbang membangun dari nol, AirAsia mencaplok bisnis existing Gojek yang dinilai sudah mapan di Thailand.

Di konteks bisnis internasional, GoTo terbilang cukup tertinggal ketimbang para pesaingnya. Tokopedia hanya beroperasi di Indonesia, sedangkan Gojek baru beroperasi di tiga negara regional, yakni Vietnam, Thailand, dan Singapura.

Sebagai perbandingan, Grab sudah hadir di delapan negara dan Sea Group (induk Shopee) sudah beroperasi di enam negara Asia Tenggara. Sea Group bahkan beroperasi di Taiwan dan empat negara lain di Amerika Selatan.

Mengutip hasil riset Momentum Works, pangsa pasar Gojek di Thailand jauh tertinggal dari Grab di tahun 2020. GrabFood menguasai 50% pangsa food delivery di Thailand atau senilai $2,8 miliar, diikuti FoodPanda (23%), dan LINE MAN (20%). GoFood hanya meraup 7% pangsa pengiriman makanan di sana.

Pasar super app di Thailand juga tengah memasuki babak persaingan yang kuat dengan keterlibatan konglomerat lokal di bisnis ini. Raksasa retail Central Group menyuntik investasi $200 juta ke anak usaha Grab di Thailand pada 2019. Sementara konglomerat terbesar Thailand Charoen Pokphand Group masuk ke bisnis ini melalui anak usahanya di bidang telekomunikasi, TrueID.

Application Information Will Show Up Here

Bank Jago Siapkan Layanan Syariah dan Pembiayaan UMKM Tahun Ini

Selain integrasi bertahap dengan ekosistem Gojek, PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) juga bersiap menambah cakupan layanan perbankan digital di 2021.

Segmen pasar yang dibidik Bank Jago di tahun ini antara lain middle income dan mass market, termasuk dalamnya UMKM dan retail (consumer), baik konvensional maupun syariah.

President Director Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar mengungkap ada dua fokus utama yang dipersiapkan, yaitu layanan syariah berbasis digital dan penyaluran pinjaman melalui platform digital untuk UMKM.

Berikut ini adalah kelanjutan wawancara ekskusif DailySocial dengan Kharim Indra Gupta Siregar dan Komisaris Bank Jago Anika Faisal.

Perbankan syariah digital

Saat ini, Bank Jago tengah mengeksplorasi apakah syariah digital ini akan hadir dalam aplikasi baru atau hanya layanan tambahan di aplikasi yang sudah ada, yakni Jago App. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan perusahaan terkait pengembangan ini.

Menurut Kharim, selama ini produk perbankan syariah di Indonesia cenderung diasosiasikan sebagai produk berbeda dengan induk usahanya yang notabene merupakan bank konvensional. Faktor ini membuat pengembangan layanan syariah baru juga ikut-ikutan memakai cara konvensional.

Peluang pasar bank syariah juga sangat besar mengingat penetrasinya di Indonesia masih rendah. Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pangsa pasar bank syariah hanya 6,33% per Oktober 2020. Kenaikannya tidak terlalu signifikan dibandingkan pangsa pasar di 2017 yang cuma 5%.

Di samping itu, selama ini layanan perbankan mobile syariah kebanyakan memanfaatkan menu USSD mengingat ekosistem digital saat itu belum siap, smartphone dan airtime masih terbilang mahal.

Ia menilai posisi Bank Jago sebagai tech-based bank memberi ruang bagi perusahaan untuk memanfaatkan 100% kapabilitas yang sama dalam mengembangkan platform perbankan syariah. Jika memang hadir dalam bentuk aplikasi, pihaknya bakal menduplikasi fitur Pocket (Kantong) Jago App ke platform syariah.

“Saat ini, kami sedang melalui berbagai proses, seperti approval dan lainnya. We will have it soon. Kami lihat ada peluang bagus di mana pengguna syariah bisa mendapatkan layanan serupa di Jago App. Kami sediakan semua capabilities di situ,” ujar Kharim.

Sementara itu, Anika Faisal menganggap saat ini belum ada produk perbankan syariah di Indonesia yang mampu memberikan user experience yang bagus. Menurutnya, berbagai pertimbangan ini untuk memastikan perusahaan dapat memberikan product proposition yang sama bagusnya dengan Jago App.

“Saya memiliki preferensi sendiri untuk layanan syariah, bukan konteksnya [preferensi layanan] golongan riba atau tidak. Sayangnya, mobile banking syariah di Indonesia saat belum bisa kasih convenience. Makanya, saya challenge apakah Bank Jago bisa produk yang punya convenience yang bagus. Produk [syariah] pada dasarnya sama, tetapi yang penting adalah layanannya,” jelasnya.

Digital lending untuk UMKM

Pada 2020, jumlah pelaku UMKM di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 65 juta yang tercatat berkontrobusi lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia, dan menyerap sebesar 97% dari anggaran kerja aktif di Indonesia.

Laporan Bain & Company di 2019 mencatat ada sebanyak 92 juta jiwa atau 50% dari total populasi yang belum mendapatkan akses ke layanan perbankan (unbanked). 25% atau 47 juta jiwa di antaranya belum punya akses memadai ke layanan perbankan (underbanked).

Bank Jago melihat ada potensi menjanjikan pada kedua segmen ini. Dalam laporan keuangan 2020, Bank Jago menyebut akan membangun bisnis pembiayaan dengan ekosistem digital yang dikelola lewat Partnership Lending (Business Finance Solution). Sejak tahun lalu, Bank Jago telah menggandeng platform fintech untuk menyalurkan pembiayaan.

Beberapa yang sudah diumumkan antara lain Akseleran, Akulaku Finance, dan AdaKami.

Kolaborasi ini diharapkan dapat mempercepat proses akuisisi customer yang didefinisikan Bank Jago sebagai segmen pra sejahtera produktif. Segmen ini dinilai sudah melewati tingkat kemiskinan, tetapi tetap membutuhkan pembiayaan. Pihaknya menargetkan lending ini akan terdistribusi secara signifikan ke segmen tersebut.

Kami akan menyiapkan produk/layanan untuk segmen wirausaha karena kami melihat ada potensi besar dari segmen pelaku usaha yang belum sepenuhnya formal ini. We are going to announce and it’s in progress. Setelah right issue kedua, kami dapat modal kuat untuk pursue pertumbuhan lending karena legacy produk lending kami tidak banyak. Jadi kami bisa lebih fokus ke partnership. Saat ini, kami sudah bermitra dengan sepuluh lending sites,” papar Kharim

Secara keseluruhan, ungkapnya, Bank Jago menutup pertumbuhan apik pada penyaluran pinjaman. Menurut catatannya, per akhir 2020 hingga kuartal pertama 2021, Bank Jago telah menyalurkan pinjaman dari sekitar Rp900 miliar ke Rp1,3 triliun dengan kenaikan 40%.

Kharim mengungkap, pihaknya akan berkolaborasi dengan mitra untuk menyediakan produk lending di Jago App demi mendukung proses underwriting dan menentukan apakah calon customer layak diberikan pinjaman.

“Saat ini, nasabah Gojek sudah ditawarkan produk PayLater. Artinya, ada analitik di belakang untuk menyediakan lending ke customer. Untuk model ini, kami ingin perluas apa yang bisa diberikan lewat produk lending. Ini juga tergantung ekosistem, seperti Gojek punya ekosistem pengguna, mitra driver, dan mitra merchant. Masing-masing punya pendekatan berbeda. We can do this setelah integrasi Jago App dan Gojek berjalan,” jelasnya.

Application Information Will Show Up Here

The Great Synergy of Bank Jago with Bibit and Gojek Ecosystem

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) officially launched the Jago banking application in early April 2021. Three months after launching to date, the application currently has 4.1 star rating with total downloads reaching nearly half a million.

Jago app offers some excellent features that are said to provide freedom for users to manage their financing. With the fully digital e-KYC process, users can do financial budgeting through the Pocket feature which can be personalized accordingly.

Aside from these features, the long awaited movement is a synergistic partnership between Bank Jago and Gojek. Public is currently looking forward to how both parties synergize with each other’s ecosystem.

When Gojek was announced as a shareholder in December 2020, the service that would mark the first synergy between the two companies was account opening feature of Bank Jago on the Gojek application.

Today, DailySocial had the opportunity to interview Bank Jago’s President Director, Kharim Indra Gupta Siregar and to exclusively find out the big picture of Bank Jago’s synergy with Gojek and the ecosystem’s partners in 2021.

Positive feedback

Without revealing any statistics, Kharim admitted that he had good traction and positive feedback of the Jago application launching. Some of the highlighted response was the fast onboarding process for account opening and the Pocket feature.

For Kharim, this positive response is seen as a challenge for Bank Jago to make quick adjustments, especially during the e-KYC process. In addition, he considers the Pocket feature to be one of the important milestones in creating something new such as money sharing transparency.

“Even our [debit] card can be connected to whatever Pocket, whenever is good for users. For me, it’s very cool because users can know exactly how to use their money, including cash withdrawals or online shopping. We put a lot of effort for design and architecture in order to produce an excellent response time. We are continuously upgrading the technology as we speak,”

Currently, his teams are exploring the implementation of machine learning in the Jago application. The form that is being tested is, for example categorizing transactions to produce a recommendation (suggestion) to users.

Jago’s great synergy

Among the number of plans throughout 2021, Kharim pretty much highlights the realization of the synergy between Bank Jago and Gojek. The big picture is to connect both Bank Jago and Gojek ecosystems. For starter, the two companies will first enter through the account opening service.

Technically, Kharim said, there will be a link that directly connects Gojek and Bank Jago to open an account. He said, opening an account on the Gojek application will have a similar process to Bank Jago. This is an important note as it relates to regulatory issues.

“The minute you do the download or registration, all the processes are recorded in the bank. You can seamlessly link Gojek, therefore, the Jago application can directly become a source of Gopay. I make sure that these features will be available this year,” he said.

Apart from Gojek, Kharim also revealed a lot about Bank Jago’s collaboration with the mutual fund marketplace Bibit which was announced today, Monday (5/7). In accordance with its vision by offering life centric financial services, it seeks to democratize investment services which have been identical only to the established class.

There are several advantages that users can enjoy through this collaboration. First, users can open a Jago account in the Bibit application. Users would not have to worry about which funds are the main source of mutual fund payments at Bibit. This means that users can use the Jago application as the main source of investment in Bibit.

Then, users can also set it as a recurring transaction where mutual fund purchases can be made directly from Jago’s account. Automatically, Bibit Pocket will appear in the Jago application. This also applies if GoPay becomes a source of funding, then GoPay Pocket appears in Jago.

“We are definitely at the latest stage of development. We are ready for production. When? Very very soon. Therefore, I am confident enough to say that after we go live with Bibit, the next one will be with Gojek. Gojek is a huge ecosystem. Along the way, we will explore new things,” he said.

Partnership opportunity with GoTo

Since the beginnig, Bank Jago has always emphasized its vision to connect financial and lifestyle solutions into one platform. Therefore, collaboration with the digital ecosystem is a key strategy to realize this.

With the increasingly fierce competition for digital banks today, he believes that the industry needs to realize that banking products are no longer a product of the future. What should be highlighted, he said, is where and what is the bank’s position in the digital ecosystem, both financial and lifestyle.

Bank Jago’s business model / Bank Jago

Kharim emphasized that Bank Jago is currently focusing on developing its strategic partnership this year. The company aims for synergies with large customer base partners, also to speed up the process of acquiring new users. In this case, he assesses that the mutual interest of both parties makes user acquisition costs more efficient because acquisitions occur through partners’ services/products.

“Currently, Gojek and Jago’s synergy is only one-way use case, where our functionality is only available in partner applications. The next step will be the other way around to put Gojek’s functionality in the Jago application. It will be similar to Bibit. One of the future use cases is that users do not need to leave the Jago application when they want to use Bibit. Vice versa,” Kharim said.

On the other hand, his team also positively welcomed the merger of Gojek and Tokopedia to become GoTo. He said, this action creates more opportunities to explore new collaborations/synergies. Kharim is yet to reveal a possible new use case with GoTo. However, he took this momentum as an opportunity to learn more as an organization.

“In early 2021, we all know that our main ecosystem that we are planning to work together is Gojek. We did not see GoTo in the picture. Now we should be ready for what’s coming because you really have to react quickly to this, therefore, we can focus on our main strategy. We have to see what collaboration opportunities can be accessed with Gojek. I think this is an exciting journey,” he said.

Collaboration challenges

In his collaboration journey with the ecosystem, Kharim also highlighted how a common vision and passion are crucial in building partnerships. With its position as a tech-based bank, it is also required to make decisions quickly but still refer to the existing regulatory framework.

He said, for example, the strategic partnership with Gojek and Bibit. It elaborates the concept of an embedded ecosystem where both parties must become seamless in the ecosystem. Kharim said, to build this seamless integration, it’s not possible to do it transactionally. This means that there must be alignment at all levels of the organization.

“If you talk with a different language, it will be difficult. The process is different, the way of working is different, OKR is also different. It clearly has to start from the top, starting from ownership, leadership, vision, and execution. Implementation challenges is definite, but an aligned vision will make it much easier. It has to be learning by doing process, how to make decisions quickly. To date, our partners have a good alignment with us.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Telkom Launches Ad-Inventory Platform “Tanah Air Digital Exchange”

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) officially launched the Indonesia Digital Exchange (TADEX) advertising inventory platform. This is the collaboration between two of Telkom’s subsidiaries, Telkomsel and Metranet, along with the Press Council, Task Force Media Sustainability, and the Advertising Association.

In the virtual launch, President Joko Widodo believes TADEX will add up value into the Indonesian digital advertising industry. TADEX is also expected to open up new opportunities for advertisers, publishers, marketers, and other stakeholders.

“TADEX’ launching is an important momentum to deliver new leaps to encourage a better Indonesian digital ecosystem and become the largest in Southeast Asia,” he said.

Meanwhile, Telkom’s President Director Ririek Adriansyah believes that advertising will not lost its market even though people’s purchasing power is weakening in the current economic situation. In fact, she notices shifting in the need for advertising through digital platforms.

“We are committed to supporting various ecosystems through optimizing digital technology. This is all in line with our efforts to transform into a digital telecommunications operator (digico) in Indonesia,” Ririek said.

On the other hand, the Chairman of the Indonesian Press Council, Mohammad Nuh, considered that TADEX can raise awareness of data as an essential asset this generation should manage properly. “We expect that TADEX can create a healthy digital advertising industry, therefore, it can contribute to a national press ecosystem that is friendly to readers, especially in terms of content experience,” she said.

Supported by big data analytic

The TADEX platform is said to be the first platform to present the premium programmatic advertising publisher in Indonesia. The company mentioned, there are three excellent features offered.

First, this platform is connected to Telkom Group’s big data analytics, which is said to be able to boost advertising effectiveness. Second, TADEX provides a wide selection of digital advertising medium categories, ranging from SMS, MMS, applications, and websites from trusted publishers.

Third, TADEX allows users to personalize ads extensively. All of these features are expected to drive targeted advertising and reach a broader range of users and ad recipients.

Supported by Telkom Group’s big data analytic system, TADEX is claimed to be able to offer great scalability and impact as it provides various kinds of inventories that allow advertising content to be broadcast widely and on target.

Brand owners or media agencies can find the services they need with a variety of quality inventory. All inventories are owned by media publishers who have been verified by the Press Council.

“We are trying to create access and optimizing digital potential in various industrial sectors. This is a continuation of Telkomsel’s business transformation which is our basis for presenting products and services to meet people’s digital lifestyles,” Telkomsel’s President Director, Hendri Mulya Syam said.

Hendri said, TADEX can help advertisers optimize their ad campaigns, from traffic, placement, to delivery time , therefore, they can connect with the right segments. By leveraging data, TADEX generates comprehensive insights that advertisers can use for target profiling.

Previously, Nielsen said that the digital advertising prospect in Indonesia is expected to increase in 2021. Referring to the data in 2020, advertising in the digital space increased by four times compared to the previous year. One of the factors is said that advertisers have shifted their budget to digital during the Covid-19 pandemic.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Sinergi Besar Bank Jago dengan Ekosistem Gojek dan Bibit

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) resmi meluncurkan aplikasi banking Jago pada awal April 2021. Tiga bulan pasca meluncur hingga saat ini, aplikasi Jago tercatat telah mengantongi rating 4.1 dengan total unduhan mencapai hampir setengah juta.

Aplikasi Jago menawarkan sejumlah fitur unggulan yang disebut dapat memberikan kebebasan pengguna dalam mengelola keuangan. Dengan proses e-KYC yang sepenuhnya digital, pengguna dapat melakukan budgeting keuangan lewat fitur Pocket (Kantong) yang dapat dipersonalisasi sesuai kebutuhan.

Selain fitur-fitur tersebut, salah satu yang cukup lama dinantikan adalah realisasi dari kemitraan sinergis antara Bank Jago dan Gojek. Publik menantikan bagaimana kedua belah pihak bersinergi dengan ekosistemnya satu sama lain.

Ketika Gojek diumumkan sebagai pemegang saham pada Desember 2020, layanan yang bakal menandai sinergi tahap awal keduanya adalah pembukaan rekening Bank Jago di aplikasi Gojek.

Kali ini, DailySocial berkesempatan mewawancarai Direktur Utama Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar dan secara eksklusif untuk mengetahui bagaimana gambaran besar sinergi Bank Jago dengan Gojek dan mitra-mitra di ekosistem digital lainnya di 2021.

Klaim respons positif

Meski tidak mengungkap angka statistik, Kharim mengaku mengantongi traksi dan feedback yang sehat dari peluncuran aplikasi Jago. Beberapa respons positif yang disoroti pengguna Bank Jago adalah kecepatan proses onboarding pada pembukaan rekening dan kehadiran fitur Pocket.

Bagi Kharim, respons positif ini ditanggapi sebagai sebuah tantangan tersendiri agar Bank Jago dapat melakukan adjustment secara cepat, terutama saat proses e-KYC. Di samping itu, ia menilai fitur Pocket menjadi salah satu milestone penting dalam menciptakan sesuatu yang baru, yakni transparansi berbagi uang.

“Bahkan kartu [debit] kami dapat terhubung ke Pocket manapun dan kapanpun sesuai keinginan pengguna. For me, it’s very cool karena pengguna bisa tahu persis penggunaan uang mereka, seperti tarik tunai atau belanja online. We put a lot of effort by design and architecture supaya bisa menghasilkan response time yang sangat baik. We are continuously upgrading the technology as we speak,”

Untuk saat ini, pihaknya mengaku tengah mengeksplorasi implementasi machine learning di dalam aplikasi Jago. Bentuk implementasi yang tengah dijajal misalnya melakukan kategorisasi transaksi untuk menghasilkan sebuah rekomendasi (suggestion) kepada pengguna.

Sinergi besar Jago

Dari sejumlah rencana di sepanjang 2021, Kharim cukup banyak menyoroti realisasi sinergi Bank Jago dengan Gojek. Gambaran besarnya, ekosistem Bank Jago dan Gojek ditargetkan dapat terhubung satu sama lain. Untuk tahap awal, keduanya akan masuk dulu lewat layanan pembukaan rekening.

Secara teknis, ungkap Kharim, akan ada link yang menghubungkan langsung Gojek dan Bank Jago untuk membuka rekening. Menurutnya, pembukaan rekening di aplikasi Gojek akan memiliki proses yang serupa dengan Bank Jago. Ini menjadi catatan penting karena berkaitan dengan regulatory.

The minute you do the download or registration, semua proses itu ada di bank. You can seamlessly link Gojek sehingga aplikasi Jago bisa langsung menjadi sumber dana Gopay. The first aim of this adalah memastikan kemudahan sehingga pengguna tidak perlu terus-menerus top up Gopay. Saya pastikan fitur-fitur ini bisa dinikmati pengguna di tahun ini,” ungkapnya.

Selain Gojek, Kharim juga banyak mengungkap kolaborasi Bank Jago dengan marketplace reksa dana Bibit yang diumumkan hari ini, Senin (5/7). Sesuai dengan visinya menawarkan layanan keuangan yang berpusat pada life centric, pihaknya berupaya mendemokratisasi layanan investasi yang selama ini identik hanya untuk golongan mapan.

Ada beberapa keunggulan yang dapat dinikmati pengguna lewat kerja sama ini. Pertama, pengguna dapat membuka rekening Jago di aplikasi Bibit. Pengguna tidak perlu memikirkan dana yang menjadi sumber utama pembayaran reksa dana di Bibit. Artinya, pengguna dapat menjadikan aplikasi Jago sebagai sumber utama investasi di Bibit.

Kemudian, pengguna juga dapat mengaturnya sebagai recurring transaction di mana pembelian reksadana dapat dilakukan langsung dari rekening Jago. Secara otomatis, Bibit Pocket akan muncul di aplikasi Jago. Ini juga berlaku apabila GoPay menjadi sumber pendanaan, yaitu muncul GoPay Pocket di Jago.

We are definitely already at the latest stage of development. Kami sudah siap production. Kapan? Very very soon. Makanya, saya sudah cukup confident bilang after we go live with Bibit, the next one will be with Gojek. Gojek is a huge ecosystem. Sambil jalan, kami akan eksplorasi hal baru,” ujarnya.

Peluang kemitraan dengan GoTo

Sejak awal, Bank Jago selalu menekankan visinya untuk menghubungkan solusi keuangan dan gaya hidup ke dalam satu platform. Maka itu, kolaborasi dengan ekosistem digital menjadi strategi kunci untuk merealisasikan hal tersebut.

Dengan semakin ketatnya persaingan bank digital saat ini, ia menilai industri perlu menyadari bahwa produk perbankan kini bukan lagi menjadi produk masa depan. Yang patut digarisbawahi, ungkapnya, adalah di mana dan apa saja posisi bank di dalam ekosistem digital, baik keuangan maupun gaya hidup.

Model bisnis Bank Jago / Bank Jago

Kharim menegaskan, saat ini Bank Jago fokus untuk mengembangkan kemitraan strategisnya dulu di tahun ini. Perusahaan membidik sinergi dengan partner yang memiliki customer base besar sehingga mempercepat proses akuisisi pengguna baru. Dalam hal ini, ia menilai mutual interest kedua belah pihak membuat biaya akuisisi pengguna menjadi lebih efisien karena akuisisi terjadi lewat layanan/produk milik partner.

“Saat ini, use case sinergi Gojek dan Jago baru satu arah, di mana our functionality baru tersedia di aplikasi mitra. Langkah selanjutnya adalah the other way around atau functionality Gojek ada di aplikasi Jago. Begitu juga dengan Bibit, misalnya. Salah satu use case ke depan adalah pengguna tidak perlu keluar dari aplikasi Jago ketika mau pakai Bibit. Begitu juga sebaliknya,” jelas Kharim.

Di sisi lain, pihaknya juga menyambut positif aksi merger Gojek dan Tokopedia menjadi GoTo. Menurutnya, aksi ini membuka lebih banyak peluang untuk mengeksplorasi kolaborasi/sinergi baru. Kharim belum dapat mengungkap kemungkinan use case baru dengan GoTo. Namun, ia mengambil momentum ini sebagai kesempatan untuk belajar lebih banyak sebagai organisasi.

“Di awal 2021, we all know that our main ecosystem that we are planning to work together is Gojek. We did not see GoTo in the picture. Now we should be ready for what’s coming because you really have to react dengan cepat terhadap hal ini sehingga kami bisa fokus dengan strategi utama kami. Kita harus melihat peluang kolaborasi apa saja yang bisa diakses dengan Gojek. I think this is an exciting journey,” katanya.

Tantangan kolaborasi

Dalam perjalanannya berkolaborasi dengan ekosistem, Kharim turut menyoroti bagaimana kesamaan visi dan passion menjadi hal krusial dalam membangun kemitraan. Dengan posisinya sebagai tech-based bank, pihaknya juga dituntut untuk membuat keputusan dengan cepat, tetapi tetap mengacu pada regulatory framework yang ada.

Ia mengambil contoh, kemitraan strategis dengan Gojek dan Bibit. Pihaknya menggunakan konsep embedded ecosystem di mana kedua belah pihak harus menjadi seamless partner di ekosistem tersebut. Menurut Kharim, untuk membangun integrasi seamless ini tidak dapat dilakukan secara transaksional. Artinya, harus ada alignment hingga di seluruh level organisasi.

If you talk with a different language, itu akan sulit. Proses berbeda, way of working berbeda, OKR juga berbeda. It clearly has to start from the top, mulai dari ownership, leadership, visi, dan eksekusi. Tantangan implementasi pasti ada, tetapi kesamaan visi akan jauh lebih memudahkan. Ini harus learn by doing, bagaimana membuat keputusan dengan cepat. Sejauh ini, partner-partner kami memiliki alignment yang bagus dengan kami.”

Application Information Will Show Up Here

Telkom Meluncurkan Platform Inventori Iklan “Tanah Air Digital Exchange”

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) resmi meluncurkan platform inventori periklanan Tanah Air Digital Exchange (TADEX). Platform ini merupakan hasil kolaborasi dua anak usaha Telkom, yakni Telkomsel dan Metranet, bersama Dewan Pers, Task Force Media Sustainability, dan Asosiasi Periklanan.

Dalam peluncuran TADEX yang digelar virtual, Presiden Joko Widodo meyakini TADEX akan memberikan angin segar bagi industri periklanan digital Indonesia. TADEX juga diharapkan dapat membuka peluang baru bagi advertiser, publisher, marketer, dan para pemangku kepentingan lainnya.

“Kehadiran TADEX menjadi momentum penting untuk melahirkan lompatan-lompatan baru sehingga dapat mendorong ekosistem digital Indonesia yang lebih baik dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara,” ujarnya.

Sementara, Direktur Utama Telkom Ririek Adriansyah meyakini bahwa kebutuhan beriklan tidak akan hilang meskipun daya beli masyarakat sedang melemah di situasi perekonomian saat ini. Malahan, pihaknya melihat adanya pergeseran kebutuhan beriklan melalui platform digital.

“Kami telah berkomitmen untuk mendukung berbagai ekosistem melalui optimalisasi teknologi digital. Ini semua sejalan dengan upaya kami bertransformasi menjadi operator telekomunikasi digital (digico) di Indonesia,” ucap Ririek.

Di sisi lain, Ketua Dewan Pers Indonesia Mohammad Nuh menilai bahwa TADEX dapat membangkitkan kepedulian terhadap data sebagai aset luar biasa yang harus dikelola dengan baik oleh anak bangsa. “Kami harap TADEX dapat menciptakan industri periklanan digital yang sehat sehingga bisa berkontribusi terhadap ekosistem pers nasional yang ramah bagi pembaca, khususnya pada pengalaman menikmati konten,” jelasnya.

Dukungan big data analytic

Platform TADEX diklaim sebagai platform pertama di Indonesia yang menghadirkan premium publisher programmatic advertising pertama di Indonesia. Perusahaan menyebut, ada tiga fitur unggulan yang ditawarkan.

Pertama, platform ini terhubung dengan big data analytic milik Telkom Group yang diyakini dapat mendorong efektivitas iklan. Kedua, TADEX menyediakan berbagai pilihan kategori medium iklan digital, mulai dari SMS, MMS, aplikasi, hingga website dari para publisher terpercaya.

Ketiga, TADEX memungkinkan penggunanya untuk melakukan personalisasi iklan secara luas. Seluruh fitur ini diharapkan dapat mendorong iklan tepat sasaran serta menjangkau pengguna dan penerima iklan secara luas.

Dengan dukungan sistem big data analytic milik Telkom Group, TADEX diklaim dapat menawarkan skalabilitas dan impact yang besar karena menyediakan berbagai macam inventori yang memungkinkan konten iklan ditayangkan secara luas dan tepat sasaran.

Para pemilik merek atau media agency dapat menemukan layanan yang dibutuhkan dengan beragam inventory berkualitas. Seluruh inventori dimiliki oleh media publisher yang sudah terverifikasi oleh Dewan Pers.

“Kami berupaya membuka akses dan potensi digital secara optimal di berbagai sektor industri. Ini merupakan lanjutan dari transformasi bisnis Telkomsel yang menjadi landasan kami untuk menghadirkan produk dan layanan untuk memenuhi gaya hidup digital masyarakat,” papar Direktur Utama Telkomsel Hendri Mulya Syam.

Menurut Hendri, TADEX dapat membantu para pengiklan mengoptimalkan kampanye iklan, baik dari hal trafik, penempatan, hingga waktu tayang sehingga dapat terhubung dengan segmen yang tepat. Dengan memanfaatkan data, TADEX menghasilkan insight menyeluruh yang dapat dimanfaatkan pengiklan untuk melakukan profiling target.

Sebelumnya, Nielsen menyebutkan bahwa prospek belanja iklan digital di Indonesia di 2021 diperkirakan bakal terus meningkat. Jika mengacu pada data 2020, belanja iklan di ruang digital naik hingga empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Salah satu faktornya adalah pengiklan mengalihkan bujet iklan ke digital selama pandemi Covid-19.