Fairbanc Secures Pre Series A Funding, Expanding Distributor Partners Network and Indonesian Tech Team

The fintech startup Fairbanc’s steps to expand to Indonesia is getting intensive. Moreover, they secured new funding for the pre-series A stage. Several investors involved including ADB Ventures, Accion Venture Lab, East Ventures, and Sampoerna Strategic Group.

The new funding was obtained after Fairbanc received an investment with undisclosed nominal from 500 Startups and Indonesian billionaire Michael Sompoerna earlier this year to expand its business coverage in Indonesia.

In its official statement, the company is said to scale up loans to MSME players in Indonesia with limited access to working capital. Previously, the World Bank estimated MSMEs credit shortage in Indonesia would reach $166 billion.

Accion’s President & CEO, Michael Schlein said, micro merchants are the most vulnerable segment to the economic impact, especially during the Covid-19 pandemic which will last for a long time. “Fairbanc can fill the access gap to credit for business players. That way, they can do operational and maintain livelihoods,” he said.

Meanwhile, ADB Ventures’ Senior Fund Manager, Daniel Hersson added, Fairbanc has a unique and different position in the microenterprise inventory financing market. His participation in this funding will help Fairbanc to accelerate Indonesia’s financial inclusion and support climate resilience in the Asia Pacific region.

Business Expansion in Indonesia

Fairbanc’s Founder & CEO, Mir Haque revealed that this new funding will be used to expand the network of distributor partners to strengthen its technology team in Indonesia. Currently, Fairbanc loan access has been connected to 60 thousand merchants. Some of these big consumer brands include Unilever, L’oreal, and Danone networks.

His team is currently developing a product recommendation system that can help merchants’ inventory planning when there is a natural disaster since Indonesia is a country prone to natural disasters.

“Through this loan, we are able to help unbanked and underbanked merchants to boost revenue growth by increasing the inventory of business players. Since 2019, Fairbanc through these merchants has helped MSMEs to drive sales up to 35% by reducing the NPL ratio to almost zero,” Haque said.

Fairbanc works with a large FMCG company to offer “Buy Now Pay Later” productive loans to 10,000 retailers without having to apply via smartphone. Fairbanc uses AI-based credit scoring that can help process microcredit loans instantly.

With a system integrated into various consumer brands, Fairbanc can access merchant orders and payment track records. Companies can further utilize this data to underwrite loans and boost merchant sales by keeping an efficient operating cost.

In previous reports, Fairbanc said that it has a slightly different business model from others. Fairbanc makes money by optimizing direct cash payments to distributors and using discounts from sales volumes. That way, micro merchants are not charged with interest and additional fees from FMCG merchants and their distributors.

Several fintech players in Indonesia has accommodated similar concept through invoice financing services. In order to maximize the paylater potential for business people, Investree has recently launched a similar new product, in collaboration with Andalin. Moreover, there is AwanTunai and several other players are trying to facilitate the same needs.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bukukan Pendanaan Pra-Seri A, Fairbanc Perluas Jaringan Mitra Distributor dan Tim Teknologi di Indonesia

Langkah startup fintech Fairbanc untuk ekspansi ke Indonesia semakin agresif. Terlebih mereka kembali membukukan pendanaan baru untuk tahap pra-seri A. Adapun beberapa investor yang terlibat antara lain ADB Ventures, Accion Venture Lab, East Ventures, dan Sampoerna Strategic Group.

Pendanaan baru ini diperoleh usai Fairbanc menerima investasi dengan nominal yang dirahasiakan dari 500 Startups dan miliarder Indonesia Michael Sompoerna pada awal tahun ini untuk memperluas jangkauan bisnisnya ke Indonesia.

Dalam keterangan resminya, perusahaan menyebut akan melakukan scale up pinjaman ke pelaku UMKM di Indonesia yang memiliki keterbatasan akses terhadap modal kerja. Sebelumnya, World Bank memperkirakan kebutuhan kredit yang belum terpenuhi pada UMKM di Indonesia mencapai $166 miliar.

Presiden & CEO Accion Michael Schlein mengatakan, pedagang mikro merupakan segmen paling rentan terdampak ekonominya, terutama di situasi pandemi Covid-19 yang bakal berlangsung lama. “Fairbanc dapat mengisi kesenjangan pada akses kredit ke para pelaku usaha. Dengan begitu, mereka tetap dapat mengoperasikan toko-tokonya dan mempertahankan mata pencaharian mereka,” tuturnya.

Sementara Senior Fund Manager ADB Ventures Daniel Hersson menambahkan, Fairbanc memiliki posisi unik dan berbeda di pasar pembiayaan inventaris pelaku usaha mikro. Keterlibatannya pada pendanaan ini akan membantu Fairbanc untuk mempercepat inklusi keuangan Indonesia dan mendukung climate resilience di kawasan Asia Pasifik.

Ekspansi bisnis ke Indonesia

Founder & CEO Fairbanc Mir Haque mengungkap, pendanaan baru ini akan digunakan untuk memperluas jaringan mitra distributor hingga memperkuat tim teknologinya di Indonesia. Saat ini, akses pinjaman Fairbanc telah terhubung di 60 ribu merchant. Beberapa brand consumer besar ini antara lain jaringan merchant Unilever, L’oreal, dan Danone.

Pihaknya juga tengah mengembangkan sistem rekomendasi produk yang dapat membantu perencanaan inventory para merchant ketika ada bencana alam di mana Indonesia termasuk negara rawan bencana alam.

“Lewat pinjaman ini, kami dapat membantu merchant yang unbanked dan underbanked untuk menggenjot pertumbuhan pendapatan dengan meningkatkan inventory pelaku usaha. Sejak 2019, Fairbanc melalui merchant-merchant ini telah membantu UMKM untuk mendorong penjualan hingga 35% dengan menekan rasio NPL ke hampir nol,” ujar Haque.

Fairbanc bekerja sama dengan perusahaan FMCG besar untuk menawarkan pinjaman produktif “Buy Now Pay Later” ke 10 ribu peritel tanpa perlu mengajukan melalui smartphone. Fairbanc menggunakan credit scoring berbasis AI yang dapat membantu memproses pinjaman microcredit secara instan.

Dengan sistem yang terintegrasi ke berbagai brand consumer, Fairbanc dapat mengakses pesanan merchant dan rekam jejak pembayarannya. Perusahaan dapat mengutilisasi data ini lebih lanjut untuk melakukan underwriting pinjaman serta mendongkrak penjualan merchant dengan menjaga biaya operasional tetap rendah.

Pada pemberitaan sebelumnya, Fairbanc menyebutkan bahwa pihaknya memiliki model bisnis yang sedikit berbeda dengan lainnya. Fairbanc menghasilkan uang dengan mengoptimalkan pembayaran tunai langsung ke distributor dan penggunaan diskon dari volume penjualan. Dengan begitu, pedagang mikro tidak dibebankan bunga dan tambahan biaya dari merchant FMCG dan para distributornya.

Konsep serupa sebenarnya juga sudah diakomodasi oleh beberapa fintech di Indonesia melalui layanan invoice financing. Untuk memaksimalkan potensi paylater bagi kalangan pebisnis, Investree baru-baru ini juga meluncurkan produk baru serupa, bekerja sama dengan Andalin. Di luar itu ada AwanTunai dan beberapa pemain lainnya yang juga mencoba memfasilitasi kebutuhan yang sama.

BCA Digital Perkenalkan Aplikasi Mobile Banking “blu”, Perluas Pangsa Pasar Induk Usaha

PT Bank Digital BCA (BCA Digital) resmi memperkenalkan aplikasi mobile banking “blu” yang mengusung konsep branchless banking dan merangkul ekosistem digital. Di tahap awal, blu baru akan hadir pada 2 Juli 2021 untuk pengguna Android, dan menyusul dalam waktu dekat untuk perangkat iOS.

CEO BCA Digital Lanny Budiati mengatakan, BCA Digital memiliki tiga fokus utama, yakni menjadi customer base generator bagi BCA Group, nurturing nasabah baru dan memperluas ekosistem yang sudah dimiliki induk usaha, serta menjadi tech incubator dengan mencoba cara kerja baru yang dapat dimanfaatkan induk usaha dalam dalam skala besar.

“Segmen pengguna, strategi, dan model bisnis blu berbeda dengan BCA Group. blu diharapkan dapat menjaring nasabah baru yang belum terlayani sebelumnya sehingga dapat memperbesar pangsa pasar secara grup,” ungkapnya dalam Media Gathering BCA Digital yang digelar secara virtual (30/6).

BCA Digital melalui blu akan membidik kalangan anak muda serta kalangan berbagai usia yang tech savvy. Lanny mengungkap, blu diposisikan sebagai “the next generation bank” yang dapat memberikan kebebasan kepada pengguna untuk mengatur dan mengelola keuangannya.

“Target utama kami adalah memberikan pengalaman bertransaksi yang nyaman dan aman kepada pengguna. Salah satu benchmark kami, sebagai contoh, adalah memberikan kenyamanan transaksi, seperti tanda hijau pada aplikasi mBCA. Kami harap tahun ini bisa mengantongi ratusan ribu pengguna blu,” tambahnya.

Fitur blu

Sesuai konsep branchless banking yang diusungnya, BCA Digital hanya memiliki satu kantor pusat tanpa kantor cabang. Pembukaan rekening blu juga sepenuhnya dilakukan secara online dengan dukungan call center “haloblu” yang beroperasi selama 24 jam setiap hari.

Ada beberapa fitur dan produk unggulan blu yang ditawarkan. Pertama, blu Account atau rekening untuk bertransaksi. Kedua, blu Saving atau rekening tabungan yang dapat dibuka hingga sepuluh tabungan dalam satu rekening tanpa nomor.

“Mengapa nasabah tidak cukup punya satu rekening saja? Dari hasil riset kami, ternyata mereka membagi rekening untuk tujuan masing-masing. Misal, rekening untuk pendidikan dan kebutuhan belanja sehari-hari,” tutur Lanny.

Selanjutnya, ada fitur blu-gether yang memungkinkan pengguna untuk membuka satu rekening bersama. Pemegang rekening dapat mengundang hingga sepuluh pengguna lain ke dalam rekening ini, di mana mereka dapat melihat mutasi dan saldo. Sebagai contoh, apabila ada penarikan uang, seluruh anggota yang tergabung di rekening tersebut akan mendapatkan notifikasi.

Terakhir, blu Deposito yang diklaim perusahaan sebagai satu-satunya deposito yang dapat ditambahkan saldonya (top up). Dengan catatan, top ini hanya dapat dilakukan hingga H+6 pasca-pembukaan rekening. Lanny menambahkan, deposito ini dapat dicairkan sebelum jatuh tempo

Jaringan BCA Group dan ekosistem digital

Pengguna blu dapat melakukan tarik tunai tanpa kartu di seluruh jaringan ATM BCA di Indonesia. Maksimal penarikan sebesar Rp1.250.000 per transaksi dan Rp7.000.000 per harinya. Menurut Lanny, proses penarikan uang tunai dari aplikasi blu akan serupa dengan cara penarikan lewat aplikasi mBCA.

“Kami juga akan siapkan penarikan tunai di jaringan convenience store. Untuk saat ini, kami sedang eksplorasi apakah blu butuh kartu fisik atau virtual card saja. Kami mau lihat respons dari customer dulu, tapi semua kemungkinan bisa terjadi,” ujarnya.

Sementara itu, CTO & COO BCA Digital Iman Sentosa mengatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan pengembangan infrastruktur sekaligus ekosistem digital bagi BCA Digital. Salah satunya adalah ekosistem e-commerce. Dengan kolaborasi ini, BCA Digital diharapkan dapat berfungsi seperti Bank-as-a-Service (BaaS) di mana blu bisa terintegrasi di dalam platform digital ini.

Bank Mandiri Integrasikan Solusi “Autobilling API” Ayoconnect untuk Dorong Kinerja Kartu Kredit

PT Bank Mandiri Tbk mengintegrasikan layanan Mandiri Power Bill dengan solusi Autobilling API dari Ayoconnect. Solusi ini memungkinkan pengguna kartu kredit Mandiri untuk melakukan pembayaran berbagai transaksi tagihan secara otomatis di lebih dari 200 merchant dari 8 kategori produk.

Dalam keterangan resminya, VP Bank Mandiri Noorman Andrianto mengatakan, kerja sama ini menjadi strategi perusahaan untuk meningkatkan kembali pertumbuhan bisnis kartu kredit.

Pasalnya, mengutip Data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), penjualan kartu kredit turun hingga 30%. Jumlah transaksinya juga turun 28,98% juta menjadi 29,98% dari Januari 2020 (year-on-year). Adapun, pertumbuhan penjualan dan transaksi kartu kredit anjlok dikarenakan banyak berbagai gerai ritel tutup dan masyarakat cenderung mengurangi pengeluaran di masa pandemi Covid-19.

Noorman mengaku, integrasi solusi Autobilling API telah membawa kinerja positif terhadap volume penjualan kartu kredit Mandiri yang tercatat naik sebesar 19%. Sementara, pertumbuhan transaksinya mencapai 23% per akhir 2020 (year-on-year).

“Solusi ini berhasil mendorong kepuasan dan loyalitas nasabah kartu kredit Mandiri. Bahkan Autobilling API juga memperluas cakupan layanan Mandiri Power Bill yang kini dapat menjangkau pembayaran PDAM ke lebih dari 60 kota dan 100 kabupaten di Indonesia. Jumlah merchant kami pun bertambah dari sebelumnya 20 menjadi lebih dari 200,” ungkap Noorman.

Per Q1 2021, jumlah kartu kredit Bank Mandiri yang beredar tercatat sebanyak 1,5 juta kartu dengan volume penjualan sebesar Rp7 triliun. Jumlah kredit yang disalurkan lewat kartu kredit Bank Mandiri berkontribusi sebesar 15% terhadap total kredit konsumen.

Sementara, Co-Founder & COO Ayoconnect Chiragh Kirpalani menambahkan, solusi Autobilling dirancang untuk membantu industri keuangan dalam mengelola dan meningkatkan pendapatan dari transaksi berulang yang komprehensif bagi penerbit kartu kredit, serta aman dan mudah bagi pelanggan.

Menurutnya, pihaknya tengah menjajaki peluang kerja sama untuk membuka akses Autobilling API dengan lebih banyak pelaku di industri keuangan, baik bank dan fintech, dalam waktu dekat.

Sekadar informasi, Ayoconnect merupakan startup marketplace API yang fokus pada pengembangan API di industri keuangan Indonesia. Layanan mereka memungkinkan developer memilih berbagai produk white-label finansial di platform dan meluncurkan dengan cepat ke pengguna.

Dalam lima tahun terakhir, solusi Ayoconnect telah diadopsi di lebih dari 1000 perusahaan Indonesia dan memproses lebih dari 500 juta klik API per tahunnya. Perusahaan kini telah mengantongi pendanaan Rp142 miliar dari sejumlah investor lokal dan internasional, termasuk BRI Ventures, AC Ventures Indonesia, dan Finch Capital.

Layanan keuangan inklusif lewat API

Di era open banking, keterhubungan bank dengan ekosistem keuangan digital menjadi aspek krusial dalam menghadirkan layanan keuangan yang inklusif. Perbankan di Indonesia pun sudah lama mulai merangkul tren tersebut dengan mengimplementasikan Open API.

API atau program aplikasi yang memungkinkan perusahaan terintegrasi antar-sistem dapat membantu mentransformasikan industri keuangan di era digital. Pandemi Covid-19 mungkin dapat dikatakan sebagai faktor yang memecut industri keuangan dan turunannya untuk memudahkan transaksi keuangan.

Bahkan Bank Indonesia (BI) akan segera merilis standar Open API yang ditargetkan terbit tahun ini. Tak cuma inklusi keuangan, BI menilai standar Open API akan meningkatkan efisiensi dalam transaksi pembayaran, meningkatkan inovasi dan persaingan, serta mengurangi risiko.

Di Indonesia, pelaku startup yang menawarkan layanan API bagi perusahaan masih dapat dihitung dengan jari. Misalnya, Brick dan Finanter yang menyediakan layanan API Open Finance, atau Instamoney yang membantu perusahaan mengembangkan layanan fintech remitansi. Ayoconnect sebetulnya juga tak cuma menawarkan solusi Autobilling, tetapi juga solusi seperti Digital Products API dan Payment Point API.

Bank Neo Commerce Bidik Lima Besar “Top of Mind” Bank Digital Indonesia

Aksi transformasi sejumlah bank konvensional menjadi bank digital ramai mewarnai industri perbankan Indonesia di 2020. PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) merupakan salah satu yang berganti identitas baru dari nama sebelumnya, PT Bank Yudha Bhakti Tbk.

Menilik singkat perjalanannya, rebranding ini dilakukan satu tahun usai perusahaan dicaplok oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang menggenggam mayoritas sahamnya sebesar 24,98%. Perkembangan dan adopsi teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari menjadi alasan utama rebranding ini.

Bank Neo Commerce akhirnya merealisasikan salah satu produk transformasinya, yakni aplikasi mobile banking Neo+. Meski belum diluncurkan secara resmi, aplikasi ini sudah dapat diunduh secara terbatas di Android dan iOS pada akhir Maret 2021. Saat ini, Neo+ mengantongi rating 3.7 dengan lebih dari 1 juta unduhan di Play Store dan 4.1 di App Store.

Menjelang paruh kedua 2021 ini, Bank Neo Commerce mempersiapkan sejumlah produk dan fitur baru demi menyempurnakan pengalaman perbankan yang fully digital kepada nasabah.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan untuk memahami strategi perusahaan lebih lanjut.

Bidik lima besar bank digital Indonesia

Sejak akhir 2020, perusahaan mulai menggenjot pengembangan produk dan fitur baru serta kemitraan strategis dengan ekosistem digital. Menurut Tjandra, ini semua untuk memberikan pengalaman perbankan digital yang baru kepada nasabah. Secara jangka panjang, Bank Neo Commerce menargetkan dapat menjadi bank digital yang punya cakupan layanan dan produk yang lengkap.

Saat ini, Bank Neo Commerce masih membidik segmen mass market, terutama anak muda yang mendominasi jumlah populasi Indonesia. Mengacu data Sensus Penduduk 2020 oleh BPS, generasi Z di Indonesia mencapai 74,49 juta jiwa atau 27,9%, sedangkan generasi milenial tercatat sebanyak 69,38 juta jiwa atau 25,8% terhadap total populasi.

“Kami belum dapat mengungkap target pengguna di tahun ini. Namun tahun ini kami menargetkan dapat masuk lima besar bank digital secara top of mind di Indonesia. Fokus kami tetap melayani perorangan dan korporasi untuk mempercepat pertumbuhan Bank Neo Commerce,” paparnya.

Untuk mendukung pemerataan akses finansial, Bank Neo Commerce juga akan melayani kalangan unbanked dan underbanked di daerah sub-urban maupun luar pulau Jawa, termasuk pelaku UMKM yang belum memanfaatkan layanan digital banking.

Per 31 April 2021, Bank Neo Commerce memiliki total aset sebesar Rp5,91 triliun, total penyaluran kredit Rp3,76 triliun, dan total ekuitas Rp1,07 triliun. Adapun, komposisi pemegang saham per 27 Mei 2021 adalah PT Akulaku Silvrr Indonesia (24,98%), PT Gozco Capital (20,13%), PT Asabri (16,3%), Yellow Brick Enterprise Ltd. (11,1%), dan publik (27,49%).

Sinergi dengan Akulaku

Keterlibatan startup teknologi menjadi strategi kunci yang banyak diadopsi  bank yang bertransformasi menjadi bank digital. Beberapa di antaranya hanya sebatas berkolaborasi, tetapi ada juga yang masuk sebagai pemegang saham. Selain kawin silang teknologi, bank akan mudah mengakselerasi pertumbuhan dengan ekosistem layanan terbuka, termasuk Akulaku masuk ke dalam ekosistem Bank Neo Commerce dan sebaliknya.

Tjandra menyebut, Akulaku memiliki ekosistem digital yang mapan, dan perannya sangat signifikan dalam membantu transformasi perusahaan menjadi bank digital.

Saat ini Akulaku menawarkan produk P2P, marketplace, dan pembiayaan di empat negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Di Indonesia, Akulaku telah bekerja sama dengan sejumlah merchant online dan offline, juga dengan 120 ribu UMKM.

Pada sinergi tahap awal, Bank Neo Commerce akan merealisasikan pembukaan rekening Neo+ melalui platform Akulaku. Kemudian, perusahaan juga akan memanfaatkan ekosistem Akulaku untuk menyalurkan pinjaman ke pengguna.

Keduanya tengah mengembangkan loan origination system dan online financing yang ditargetkan komersial pada semester II 2021. Loan origination system merupakan sistem untuk memproses persetujuan kredit, khususnya untuk direct loan/online financing.

“Kami sedang menunggu persetujuan OJK, tetapi direct loan ini sudah masuk proses pengembangan tahap akhir. Untuk tahap awal, direct loan ini akan terhubung dengan marketplace Akulaku,” ungkapnya.

Dengan mengadopsi model sinergi dengan ekosistem terbuka, pihaknya tak menutup kemungkinan untuk menambah kemitraan strategis di luar ekosistem Akulaku, baik itu fintech, ecommerce, dan lini bisnis digital lainnya.

Pengembangan produk dan fitur baru

Selain sinergi Akulaku, perusahaan tengah mempersiapkan sejumlah produk dan fitur baru untuk memperkuat pengalaman perbankan digital di Neo+. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, direct loan akan tersedia di platform Neo+ dan terintegrasi di ekosistem marketplace di luar Akulaku.

Kedua, Bank Neo Commerce akan terus menambah kemitraan P2P untuk penyaluran pinjaman dengan skema channeling. Di 2021, Bank Neo Commerce menargetkan penyaluran sebesar Rp500 miliar yang didistribusikan ke 20 fintech. Saat ini, pihaknya baru menggandeng lima platform P2P dengan ticket size berkisar Rp20-50 miliar.

“Saat ini kami sudah bekerja sama dengan Crowdo, Danamart, Eska Kapital, Modal Rakyat, dan Restock.id. Kami sedang berdiskusi dengan beberapa fintech yang akan kami umumkan dalam waktu dekat,” tambahnya.

Startup Nilai Pembiayaan
Crowdo Rp30 miliar
Danamart Undisclosed
Eska Kapital Rp20 miliar
Modal Rakyat Rp50 miliar
Restock.id Rp20 miliar

Sumber: Kontan

Ketiga, Bank Neo Commerce akan melengkapi produk dan fitur di Neo+ secara bertahap, seperti proses onboarding secara fully digital dan e-KYC dengan biometric. Rencananya, semua ini akan komersial setelah pihaknya mengantongi persetujuan dari Otoritas Jasa keuangan (OJK). Neo+ juga nantinya bisa digunakan untuk melayani pembayaran, seperti Payment Point Online Bank (PPOB).

“Secara bertahap kami akan bertransformasi sepenuhnya digital. Ini semua sesuai dengan tujuan kami menjadi sebuah neobank, tidak hanya secara produk, tetapi juga dari back-end sampai front-end,” tuturnya.

Sementara untuk melayani kebutuhan transaksi tunai, pihaknya telah bekerja sama dengan jaringan ATM Bersama dan Alto di seluruh Indonesia. Cakupan ini akan ditambah lagi melalui berbagai convenience store atau minimarket untuk transaksi tarik tunai di kasir.

Memperkuat aspek keamanan

Teknologi dan keamanan menjadi aspek penting ketika bertransformasi menjadi bank digital. Ini juga menjadi salah satu alasan utama mengapa OJK mengatur kebijakan modal inti minimal Rp10 triliun untuk mendirikan bank digital. Komitmen investasi sangat penting dalam menunjang pengembangan teknologi.

Tjandra mengungkap, pihaknya telah bekerja sama dengan berbagai perusahaan teknologi untuk memperkuat sistem keamanan di server serta jaringan perangkatnya, antara lain Tencent Cloud, Huawei, dan Sunline.

Dari aspek keamanan dan privasi nabasah, perusahaan memanfaatkan teknologi berbasis database management system alias Tencent Distributed Database (TDSQL) dari Tencent Cloud. Bank Neo Commerce juga menggandeng Sangfor untuk melindungi keamanan dari tindak kejahatan akibat social engineering.

“Kami pastikan untuk mengedukasi pentingnya menjaga keamanan data pribadi kepada para nasabah. Kebiasaan cyber-hygiene mulai harus dikenalkan lebih umum kepada masyarakat luas Indonesia, yaitu menggunakan two-authentication factor atau biometric login untuk masuk ke aplikasi mobile banking miliknya.”

Application Information Will Show Up Here

Bank CTBC Indonesia Masuk ke Segmen Pinjaman Online Lewat “Dana Cinta”

PT Bank CTBC Indonesia (Bank CTBC) resmi meluncurkan platform Kredit Tanpa Agunan (KTA) Instan Dana Cinta. Melalui platform berbasis web ini, pelanggan dapat mengajukan pinjaman secara digital dengan proses persetujuan dalam 60 detik.

Dalam keterangan pers, Presiden Direktur Bank CTBC Indonesia Iwan Satawidinata mengatakan, peluncuran KTA digital ini menandai tonggak baru perusahaan dalam menghadapi disrupsi ekonomi digital di industri keuangan dan perbankan Indonesia.

“Langkah ini menjadi komitmen kami untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan inklusi keuangan ke masyarakat yang tidak punya akses layanan perbankan,” ungkap Iwan.

Selain itu, peluang pinjaman online dinilai masih besar di Indonesia, terlebih dengan semakin teredukasinya masyarakat dengan produk ini. Hal ini semakin diperkuat juga dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang mulai memprioritaskan kegiatan nonfisik selama masa pandemi Covid-19.

Sebelumnya beberapa bank lain juga rilis platform KTA Online serupa, misalnya Amar Bank dengan aplikasi Tunaiku, atau BRI dengan Pinang yang kini tengah disiapkan menjadi bank digital. Sementara di pasar saat ini layanan serupa lebih banyak disajikan oleh startup fintech lending.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pencairan pinjaman melalui fintech lending di 2020 tercatat sebesar Rp74,4 triliun atau naik 24% dari pencapaian di 2019, yaitu Rp58,84 triliun.

Sementara, Executive Director of Retail Banking PT Bank CTBC Indonesia Bambang Simon Simarno meyakini bahwa pertumbuhan bisnis KTA di Indonesia dapat mencapai 24% di 2021. Pihaknya menyebut CTBC Indonesia sebagai satu-satunya bank yang menawarkan persetujuan prinsipal secara instan untuk pinjaman pribadi tanpa jaminan dengan limit mencapai Rp200 juta.

Sejak tahap awal dari proses uji coba, Bank CTBC Indonesia mencatat telah menerima sebanyak 20 ribu pengajuan pinjaman online dalam kurun waktu kurang dari empat bulan. Pihaknya menargetkan pinjaman online KTA Instan Dana Cinta dapat mengantongi 50% pangsa pasar dalam lima tahun ke depan.

Sebagai informasi, Bank CTBC Indonesia bekerja sama dengan Dukcapil dan PEFINDO untuk mendukung proses pengajuan pinjaman online, mulai dari verifikasi eKYC hingga credit scoring. Pengguna dapat memperoleh persetujuan pinjaman dalam 60 detik saja, di mana pinjaman memiliki opsi tenor 6-36 bulan dengan bunga flat 0,85% per bulan.

Sekadar informasi, PT Bank CTBC Indonesia sebelumnya bernama PT Bank Chinatrust Indonesia. Saat ini saham Bank CTBC Indonesia dikuasai oleh CTBC Bank Co. Ltd sebesar 99% dan sisanya 1% oleh PT Bank Danamon Indonesia Tbk.

The Trade Desk Umumkan Kemitraan Strategis dengan RCTI+ dan IndiHome

The Trade Desk (TTD) mengumumkan kemitraan strategis dengan dua platform OTT lokal, yakni RCTI+ dan IndiHome. Melalui kemitraan ini, pihaknya berupaya untuk mendorong pengembangan ekosistem OTT lokal di Indonesia melalui layanan programmatic advertising.

Sekadar informasi, The Trade Desk merupakan perusahaan teknologi berbasis di Amerika Serika yang menawarkan layanan inventory iklan untuk berbagai situs web, aplikasi, podcast, dan platform streaming Over The Top (OTT). Selain menjangkau cakupan audiens lebih luas, layanan ini juga memungkinkan marketer untuk mendapatkan laporan dan insight dari campaign yang dilakukan.

Country Manager The Trade Desk Indonesia Florencia Eka mengatakan, saat ini belum banyak layanan yang menawarkan layanan serupa di Indonesia. Dapat dikatakan, The Trade Desk menjadi pionir dengan model ini. “Kami ingin mengedukasi pentingnya [pemasaran melalui] Connected TV (CTV) bagi marketer,” ujarnya dalam konferensi pers virtual.

Florence mengakui perkembangan teknologi telah mengubah cara masyarakat berperilaku digital. Perubahan ini juga berdampak pada cara masyarakat mengonsumsi konten dari offline ke online. Dengan terjadinya shifting ini, pihaknya melihat peluang bagi pengiklan untuk menjangkau audiens melalui perangkat dan terhubung dengan journey mereka di platform digital.

Menurutnya, pemasaran dengan model linear TV, dinilai memiliki kelemahan dalam menentukan target pasar yang presisi. Linear TV merupakan konsep tradisional beriklan di mana audiens menonton program TV terjadwal saat disiarkan dan disalurkan lewat channel aslinya.

Sementara, pemasaran melalui Connected TV (CTV) dapat menjangkau penonton berdasarkan preferensi konten, profil audiens, dan tidak hanya ketika acara disiarkan. Pemasaran via CTV dinilai lebih presisi karena ditunjang dengan kekuatan data.

Selain itu, ia juga menilai tren pemasaran global mulai mengarah ke OTT dan VTC di mana adopsinya tumbuh secara signifikan saat pandemi Covid-19. Mengadopsi model ini akan mempercepat akselerasi pemasaran dari TV tradisional ke TV internet.

“Kemitraan ini menawarkan akurasi dan presisi sehingga marketer bisa menghindari pemborosan budget. Layanan ini juga lebih efisien karena mereka tidak perlu menghubungi, melakukan negosiasi, atau mendapatkan invoice satu per satu. Marketer dapat melewatkan peluang baru jika hanya fokus pada model lama dan terpaku pada media sosial saja,” ujarnya.

Seperti diketahui, RCTI+ merupakan platform OTT milik MNC Group, yang memiliki jaringan televisi free-to-air MNC, RCTI, Global TV, dan iNews. Sementara, IndiHome merupakan penyedia IPTV milik operator telekomunikasi pelat merah, Telkom Group.

“Layanan kami dapat membantu pengiklan untuk menjangkau 3,6 juta pengguna IndiHome dan 14 juta pemirsa potensial di lebih dari 300 kota di Indonesia, serta lebih dari 30,5 juta pengguna aktif bulanan RCTI+.” Tambahnya.

Indonesia gemar streaming

Dalam kesempatan ini, The Trade Desk sekaligus memaparkan hasil riset yang dilakukan bersama Kantar. Laporan ini menyebutkan, masyarakat Indonesia streaming konten OTT hampir tiga miliar jam per bulan. Temuan ini menjadikan Indonesia sebagai negara terbanyak menonton OTT di kawasan Asia Tenggara.

Tak hanya itu, laporan ini mengungkap bahwa konsumen Indonesia paling toleran terhadap iklan. Sebanyak 95% responden pemirsa menonton iklan untuk dapat menikmati konten gratis, dan 66% mengaku mengingat merek, produk, dan iklan yang mereka lihat.

Hal ini juga turut diperkuat temuan Integral AD Science (IAS), pionir penyedia verifikasi iklan digital, yang mengungkap bahwa mayoritas konsumen Indonesia pengguna CTV menunjukkan perilaku baru, yaitu terbiasa menonton konten gratis diselingi iklan.

Ini menandakan adanya peluang besar pada OTT/CTV bagi marketer. Pasalnya, laporan ini mengungkap, peluang untuk menjangkau audiens secara lebih cepat justru terjadi di platform open internet (62%). Contoh platform open internet antara lain CTV/OTT (Viu, Vidio, Iflix), Video (dailymotion), Audio (Spotify, JOOX), Display (detiknetworl. KLY), Native (triplelift). Sedangkan, 38% dari platform sosial, seperti Facebook, YouTube, dan Instagram.

Babak Baru Transformasi Digital Telkomsel, Masuki Ranah Edtech dan Healthtech

Pada Jumat, 18 Juni 2021 lalu, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) resmi mengganti logo lamanya yang sudah berusia 26 tahun dengan identitas baru. Direktur Utama Telkomsel Hendri Mulya Syam menyebutkan, langkah ini menjadi babak selanjutnya untuk melanjutkan roadmap transformasi digital secara komprehensif.

“Ini menjadi simbol perubahan di mana Telkomsel ingin memperkuat visi dan misinya kepada masyarakat dengan memaksimalkan peluang di segala aspek kehidupan. Kami berkomitmen untuk melanjutkan transformasi sehingga Telkomsel dapat menjadi pilihan utama dalam memenuhi kebutuhan gaya hidup digital mereka,” ungkap Hendri dalam keterangan resminya.

Menurut Hendri, pihaknya akan mengembangkan banyak terobosan dan kolaborasi lintas industri. Salah satunya adalah memperkuat kemitraan strategis bersama Gojek dengan fokus mengembangkan industri mobile gaming. Menariknya, di babak baru ini, Telkomsel turut memperkenalkan solusi berbasis aplikasi Kuncie sebagai salah satu terobosan terbaru.

Kuncie merupakan platform edtech yang menyediakan layanan pembelajaran pengembangan bisnis di berbagai macam kategori dengan mentor berpengalaman. Edtech merupakan vertikal bisnis yang mungkin belum pernah menjadi diversifikasi lini bisnis operator telekomunikasi, baik dikembangkan sendiri maupun lewat skema investasi atau kemitraan strategis.

Operator telekomunikasi umumnya mengembangkan solusi digital yang masih relevan dengan bisnis utama mereka. Misalnya, IoT, big data, dan hiburan (musik, video, games). Apa yang menjadi hipotesis besar Telkomsel masuk ke kategori baru ini?

Kuncie dan Fita

Beberapa tahun terakhir, Telkomsel memperluas cakupan solusi digitalnya melalui divisi inkubasi dan akselerasi internal Telkomsel Innovation Center (TINC) dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) sebagai perusahaan perpanjangan investasi di luar ekosistem perusahaan. Ini menjadi salah satu langkah strategis untuk mencari model bisnis yang tepat bagi bisnis telekomunikasinya.

Sebagaimana diketahui, perjalanan industri telekomunikasi dalam mengembangkan solusi digital sejak awal tidak selalu berjalan mulus. Salah satu tantangannya adalah telekomunikasi tidak memiliki ekspertis untuk mengembangkan solusi digital yang product-market fit. Sulit juga untuk berkomitmen investasi jangka panjang demi mengembangkan bisnis yang sustainable.

Menurut informasi yang dihimpun DailySocial dari sumber internal, pengembangan solusi digital Telkomsel berfokus pada dua hipotesis besar. Pertama, hipotesis “inside-out“, Telkomsel berpotensi melepas (spin off) solusi ini untuk membesarkan valuasinya apabila sukses di pasar.

Ambil contoh, dompet digital Tcash yang dilepas dan berganti nama menjadi LinkAja di 2020. Hipotesis ini dapat berlaku pada platform Kuncie dan Fita yang merupakan platform edtech dan healthtech. Kedua, hipotesis “outside-out” berfokus dalam mencari ide atau use case yang punya keterkaitan erat dengan business unit Telkomsel. Misalnya, kolaborasi B2B.

Lebih lanjut, Telkomsel menilai bahwa edtech dan healthtech memiliki potensi besar untuk berkembang di masa depan. Jika mengacu laporan e-Conomy SEA 2020 oleh Google, Temasek and Bain & Company, edtech dan healthtech berkontribusi signifikan selama masa pandemi Covid-19.

Laporan tersebut juga menyebutkan, untuk layanan telemedicine saja, penggunaannya naik empat kali lipat selama pandemi. Sementara, jumlah instal aplikasi edtech naik tiga kali lipat pada periode Januari-Agustus 2020 dibandingkan periode sama di tahun sebelumnya.

Perusahaan telah melakukan analisis pasar pada kedua vertikal ini dengan melihat tren investasi, pasar, dan kebutuhan di global dan lokal. Telkomsel mendapati bahwa kebutuhan street learning atau pendidikan nonformal di Indonesia masih tinggi. Ini menjadi starting point Kuncie dengan mempertimbangkan sejumlah aspek, seperti market size, pemain, dan masalah yang ada di pasar. Apabila Kuncie mendapat respons positif di pasar, tidak menutup kemungkinan cakupan layanan Kuncie diperluas.

Demikian juga Fita, Telkomsel juga menemukan bahwa sebagian besar sub-vertikal healthtech yang cukup banyak diadopsi di Indonesia adalah layanan yang bersifat post-treatment, seperti medical. Namun, belum banyak platform healthtech yang masuk ke layanan pre-treatment, seperti layanan wellness.

Memang ada beberapa platform wellness dari luar negeri yang digunakan pengguna. Namun, kontennya kurang terlokalisasi sesuai kebutuhan pasar Indonesia. Telkomsel juga membeberkan, sub vertikal layanan semacam Fita sudah 70% product-market fit di pasar global. Kebalikannya, di Indonesia sebanyak 70% justru berasa dari layanan medical.

Model bisnis

Kuncie memungkinkan penggunanya untuk upskill dan re-skill lewat konten pembelajaran dan melakukan sesi mentoring berbasis on demand melalui aplikasi. Sementara, Fita menawarkan sejumlah layanan kesehatan yang lebih personal, seperti program olahraga dan resep makanan sehat. Keduanya sudah dapat diunduh di Google Play Store dan App Store.

DailySocial sempat menjajal kedua aplikasi ini. Untuk platform Kuncie, konten yang tersedia sudah cukup banyak. Pelaku bisnis, konten, dan mentor yang dihadirkan juga beragam. Pengguna juga dapat membuat learning plan sesuai topik yang diinginkan.

Untuk menikmati konten baru, pengguna mendapatkan reward tiga token setiap harinya. Apabila ingin menambah token unlimited, pengguna bisa bergabung menjadi pengguna premium. Pengguna juga dapat mengumpulkan poin dari setiap konten yang ditonton di mana poin ini bisa dipakai untuk membeli token. Sayangnya, kami belum menemukan cara menjadi anggota premium, maupun kemungkinan untuk membeli token dengan metode pembayaran digital.

Adapun, kami belum dapat mengeksplorasi lebih banyak di platform Fita. Yang baru bisa kami nikmati adalah program olahraga, tutorial olahraga, serta tutorial dan tutorial resep makanan sehat.

Terlepas dari itu semua, Telkomsel memiliki banyak resource untuk dapat mengeksplorasi model bisnis Kuncie dan Fita. Ini sekaligus membuktikan apakah kedua layanan ini dapat menjadi model percontohan sukses di luar vertikal bisnis yang biasa digarap oleh telekomunikasi.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Berbagi Pelajaran dan Pengalaman Menarik dari Program Inkubator Startup DSLaunchpad

Selalu ada pengalaman menarik yang diperoleh para peserta program inkubasi startup. Tak hanya pelajaran berharga bagi pengembangan bisnis, pelaku startup juga dipertemukan dengan berbagai orang hebat di bidangnya. Salah satunya melalui DSLaunchpad, program inkubator yang diselenggarakan oleh DailySocial.id.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, kami berbincang dengan Head of Marketing GoPlay Rizki Suluh Adi dan Co-founder Sertiva Saga Iqranegara yang masing-masing pernah berpartisipasi sebagai mentor dan peserta di DSLaunchpad 1.0. Simak selengkapnya, sejumlah pengalaman menarik yang dibagikan keduanya berikut ini.

Mengambil langkah pertama

Secara umum, Rizki menilai salah satu tantangan utama yang dihadapi pelaku startup adalah bagaimana mengambil langkah pertama untuk memvalidasi ide. Istilahnya adalah sanity check. Menurutnya, sanity check dilakukan untuk memastikan ide yang diambil dapat berguna atau tidak, dapat dikembangkan atau tidak, atau apakah sudah pernah digunakan orang lain atau tidak.

Sanity check menjadi aspek yang krusial mengingat peserta program inkubasi ini datang dengan idealisme masing-masing. Mereka bahkan tak hanya diikuti oleh pelaku startup yang sudah memiliki perusahaan, tetapi ada juga yang datang hanya dengan ide matang, tetapi masih ingin melakukan brainstorming.

Berbagi pada pengalamannya tahun lalu, ungkap Rizki, para mentor menambahkan satu aspek sanity check lagi, yaitu mengembangkan ide bisnis dengan mempertimbangkan pandemi Covid-19.

“Mengapa sanity check perlu? Banyak startup yang datang dengan mimpi the romance of startup. Misalnya, ingin menjadi startup unicorn, atau startup yang punya growth, dan bisa burning money. Namun, dunia ini mulai berubah, ada masalah baru dan orang-orang menjadi selektif,” ungkap Rizki.

Dengan menambahkan satu aspek baru, startup kini tak lagi hanya fokus untuk bertumbuh, tetapi bagaimana fokus untuk mencapai garis tersebut. Pandemi Covid-19 juga mengakselerasi kebutuhan yang sebelumnya dianggap belum waktunya dikembangkan. “Salah satu keunggulan startup dibanding lainnya adalah speed. Co-founder bisa kasih keputusan dengan cepat untuk mengakselerasi kebutuhan,” tambahnya.

Mempertemukan dengan koneksi baru

Rizki melanjutkan, program inkubator turut membantu mempertemukan pelaku startup dengan jaringan investor dan klien potensial. Dari pengalaman sebelumnya pada batch pertama, ia memperkenalkan grup peserta yang ia mentori dengan para investor dan klien B2B. Dengan catatan, peserta yang dipertemukan dengan investor ini adalah mereka yang sudah memiliki ide tervalidasi.

“Kita tidak bisa membangun semua sendiri. Maka itu penting punya ide yang tervalidasi, mempertajam masalah, dan mencoba apakah orang mau membayar produk yang kita buat. Selain itu, penting juga untuk bisa mengeksekusi ide. Orang bisa punya banyak ide, tetapi yang bisa mengeksekusinya itu yang bisa survive,” paparnya.

Mengembangkan startup dari luar Jakarta

Menurut data internal DailySocial.id, sebanyak 73% peserta DSLaunchpad berasal dari luar Jakarta. Dalam kaitannya dengan industri startup, sering kali ada anggapan sulit membangun startup dari luar Jakarta karena keterbatasan akses untuk mengembangkan bisnisnya. Contoh, akses pasar dan permodalan. Maka itu, program inkubator dirasa menjadi salah satu medium penting untuk memperoleh akses tersebut.

Saga mengakui bahwa ada satu titik di mana startup mau tak mau harus ke Jakarta untuk mencari mitra strategis dan mengembangkan pasar dengan strategi tertentu. Akan tetapi, ia menilai hal tersebut bukan selalu menjadi faktor penentu kesuksesan. Sekadar diketahui, Sertiva berasal dari Yogyakarta yang bergabung menjadi peserta DSLaunchpad angkatan pertama.

“Mendirikan startup bisa itu dari mana saja. Toh para startup unicorn saja pada akhirnya membangun tim di luar Jakarta,” ucapnya.

Merealisasikan kebutuhan lebih cepat

Ada pengalaman menarik lainnya yang dialami Saga saat menjadi peserta. Sejak akhir 2019 hingga awal pandemi Covid-19, Saga bersama timnya sempat melakukan pivot layanan sertifikat digitalnya. Sebut saja dari produk A ke B.

Ketika ia bergabung menjadi peserta DSLaunchpad, ia mengaku bertemu kenalannya yang kebetulan menjadi mentor di program tersebut. Yang menariknya lagi, mentor ini ternyata berminat menggunakan produk awal Sertiva sebelum di-pivot.

“Mentor kami hampir saja membeli layanan serupa Sertiva dari luar negeri yang harganya mahal. Setelah bicara soal kebutuhan mereka, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke produk awal. Intinya, pandemi ini seperti mesin waktu, di mana sesuatu yang bakal terjadi dalam 2-3 tahun ke depan, justru terealisasi lebih cepat. Di sisi lain, kami juga tak hanya dapat mentor, tetapi juga customer di program ini,” tuturnya.

Mentoring virtual tetap efektif

Terlepas dari kegiatan yang dilakukan secara virtual, Rizki menyebut ada banyak kesempatan dan pelajaran baru yang diperoleh di program inkubator DSLaunchpad. Para mentor juga diberikan keleluasaan untuk meracik kegiatan mentoring sesuai dengan preferensinya masing-masing.

Hal ini juga turut diamini oleh Saga yang menjadi alumni angkatan pertama. Menurut pengalamannya, para mentor yang disediakan tak cuma berbekal teori saja, tetapi juga pengalamannya dalam mengembangkan bisnis startup.

“Memang ada sedikit perbedaan dalam mengikuti program inkubator offline dan online. Tapi, kami lihat semua berjalan lancar dan tetap efektif. Bahkan, permintaan kami untuk tukar mentor yang sudah di-assign juga diperbolehkan karena kami pikir sebelumnya kurang pas dengan produk yang kami buat,” kata Saga.

AXA Mandiri Meluncurkan Layanan Telekonsultasi Berbasis Aplikasi

PT AXA Mandiri Financial Services (AXA Mandiri) resmi meluncurkan layanan telekonsultasi berbasis aplikasi, yaitu AXA Mandiri Telekonsultasi. Layanan ini merupakan kerja sama dengan perusahaan penyedia solusi kesehatan korporasi, PT Suprima Mitra Adihusada (Fullerton Health Group).

AXA Mandiri Telekonsultasi menjadi fasilitas tambahan yang dapat diakses secara gratis oleh para nasabah AXA Mandiri. Aplikasi ini tersedia di Play Store dan App Store. Melalui layanan ini, nasabah dapat berkonsultasi dengan dokter umum atau spesialis melalui fitur percakapan video (video call) maupun chat yang tersedia di dalam aplikasi.

Presiden Direktur AXA Mandiri Handojo G. Kusuma menyadari bahwa masyarakat cenderung takut untuk memeriksakan diri ke rumah sakit atau klinik terdekat selama masa pandemi Covid-19. Dengan fasilitas ini, nasabah dapat berkonsultasi dengan dokter umum selama 24/7 dan dokter spesialis selama hari kerja pukul 08.00-17.00.

“Fasilitas ini tidak dikenakan biaya kepada nasabah AXA Mandiri, sehingga tidak mengurangi premi nasabah juga karena ini adalah manfaat tambahan yang bisa mereka nikmati,” ungkap Handojo dalam konferensi pers virtual beberapa waktu lalu.

Handojo juga melihat bahwa penggunaan layanan telekonsultasi meningkat selama satu tahun terakhir. Dengan kenaikan tren tersebut, pihaknya mencoba mengembangkan terobosan baru agar konsultasi online memiliki nilai lebih bagi para nasabahnya.

Salah satunya adalah memberikan akses terhadap dokter spesialis sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan nasabah yang lebih personalized. Sejumlah dokter spesialis yang disediakan AXA Mandiri antara lain penyakit dalam, ahli jantung, THT, mata, gigi, hingga spesialis kesehatan kerja.

Nasabah tinggal memilih jadwal konsultasi. Kemudian, dokter sendiri yang akan menghubungi langsung nasabah. Tak hanya itu, Handojo juga menyebut platform ini juga memberikan akses bagi nasabah yang membutuhkan second opinion ke dokter spesialis lainnya, misalnya dokter di Singapura.

“Aplikasi ini menyimpan riwayat medical record secara aman setiap kali nasabah berkonsultasi. Di sini, nasabah bisa mengakses layanan konsultasi dengan dokter yang sama sebelumnya. Jika perlu, layanan ini bisa memfasilitasi rujukan. Semua terobosan ini mengapa kami menghadirkan AXA Mandiri Telekonsultasi. Kami bisa kasih confidence level yang tinggi,” paparnya.

Sementara, Medical Director PT Global Assistance & Healthcare dr. Rieny Stefanny Halim memastikan bahwa semua dokter yang berpraktik di platform ini telah melalui proses seleksi dan telah memiliki Surat Izin Praktik (SIP).

“Nasabah yang menggunakan layanan ini juga dapat meng-upload hasil cek lab, rontgen, dan lainnya yang dapat mendukung proses konsultasi. Dokter juga dapat meresepkan obat dan memprosesnya ke mitra apotek melalui online,” tambahnya.

Tren telekonsultasi saat pandemi

Pandemi Covid-19 telah mengubah sejumlah aspek kehidupan selama setahun terakhir. Tak cuma soal peralihan dari belanja offline ke online, Covid-19 juga mengubah cara orang mengakses layanan kesehatan, mulai dari telekonsultasi hingga membeli produk kesehatan (obat, suplemen, vitamin).

Mengutip riset Katadata di 2020, Menkominfo Johnny G. Plate mencatat terdapat lonjakan kunjungan telemedicine atau layanan kesehatan jarak jauh melalui aplikasi hingga 600% selama masa pandemi.

Menurutnya, para pemangku kepentingan tengah berupaya mengembangkan inovasi untuk meningkatkan kualitas dan kecepatan layanan telemedicine. Pengembangan ini turut melibatkan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI), IoT, hingga big data analytic untuk mendukung pengecekan hingga pendeteksian lebih dari 600 jenis penyakit secara digital.

Di Indonesia, tak cuma pelaku startup di bidang kesehatan, seperti Halodoc dan Alodokter saja, korporasi juga mengembangkan telemedicine sebagai salah satu upaya mitigasi di masa pandemi ini. 

Salah satunya, PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia yang menghadirkan layanan telekonsultasi Dokter Leo pada tahun lalu. Fasilitas ini juga dapat diakses secara gratis oleh para nasabah. Dalam menghadirkan Dokter Leo, perusahaan bermitra dengan startup telekonsultasi berbasis AI Prixa.

Application Information Will Show Up Here