Member.id Dikabarkan Memperoleh Tambahan Pendanaan Baru [UPDATED]

17 Februari 2021 [17.20 WIB]: Kami melakukan pembaruan informasi pendanaan didasarkan pada rilis yang diterima oleh Member.id.

Startup penyedia layanan loyalitas Member.id dikabarkan memperoleh pendanaan baru senilai $1,1 juta. Pendanaan didapat dari East Ventures dan Traveloka.

Berdasarkan catatan kami, Member.id terakhir kali menerima dana pada 2018 lalu. Perusahaan mengantongi pendanaan pra-seri A dari East Ventures, Ace Capital, dan beberapa angel investor dengan nilai yang tidak dapat disebutkan.

DailySocial telah menghubungi Co-Founder & CEO Member.id Marianne Rumantir untuk mengonfirmasi kabar tersebut, tetapi belum ada respons hingga berita ini diturunkan.

Seperti diketahui, Member.id membidik segmen B2B dengan membuat (design), mengembangkan (build), dan mengelola (operate) program loyalitas perusahaan di Indonesia. Beberapa program loyalitas yang dikelola termasuk di antaranya Ismaya Group, Djarum Group, Garuda Indonesia. Per September 2018, Member.id tercatat telah mengantongi transaksi hingga lebih dari 45 juta poin.

Sebelumnya, Marianne sempat mengungkap bahwa pihaknya bakal memperluas segmen bisnisnya ke B2C dengan meluncurkan loyalty wallet. Melalui inovasi ini, pihaknya dapat mengedukasi pasar Indonesia yang dinilai masih minim informasi mengenai cara mengecek hingga menukarkan poin. Di sisi lain, peluang untuk mengembangkan inovasi dan bisnis di industri loyalty Indonesia dinilai masih besar.

Rencana tersebut tampaknya direalisasikan melalui peluncuran aplikasi Madoo pada 2019 lalu. Platform ini merupakan points agregator yang menghubungkan royalty program dari dua atau lebih platform yang berbeda. Tidak diketahui apakah platform ini masih berjalan mengingat aplikasi sudah tidak tersedia di Play Store.

Gambar Header: Depositphotos.com

Carro Starts Selling New Cars, Strengthen Collaboration with Tokopedia

The car trading platform Carro expands its collaboration with Tokopedia. Recently, the collaboration that was formed in 2020 has provided more than 50 payment options for purchasing certified used cars on Tokopedia.

In recent contact with DailySocial, Carro’s Co-founder, Aditya Lesmana said consumers can enjoy more flexible financing options at Tokopedia. Carro is working with a number of finance companies in Indonesia to facilitate the payment options, both cash and credit with various types of down payment (DP) tenors, and the desired insurance.

“Last year was a year full of challenges for us. However, the Covid-19 pandemic has actually triggered the automotive industry to innovate. We are taking strategic steps, one of which is with Tokopedia. This has had a positive impact where the demand for certified used cars has jumped up to 600%,” Aditya said.

In July 2020, Carro expanded access to certified used car purchases by opening Carro Automall through the Tokopedia platform. This collaboration allows more than 100 million active Tokopedia users to view and buy certified used cars on the platform.

For Aditya, the trend of contactless car purchases has increased 100% from month to month. As of September 2020, three out of ten cars were sold, through the contactless process. With the increasing trend of online car purchasing, Carro keeps the door open for collaboration with marketplace platforms in Indonesia.

“Sales of new used cars show a positive trend, especially in the midst of a pandemic. This change has an impact on the automotive sector in Indonesia in line with the increasing online demand for cars,” he said.

Apart from financing options, Carro also announced a new chapter by entering a new car market segment. This step was taken in line with optimism for Indonesia’s economic growth this year.

Quoting data from the Association of Indonesian Automotive Industries (GAIKINDO), Aditya said that domestic sales of new cars are predicted to reach 750 thousand units in 2021. This has taken into account Indonesia’s economic growth potential which is projected to grow by 3% -4%. GAIKINDO also believes that people’s purchasing power for new cars is to improve this year.

“We are optimistic that the automotive industry in Indonesia and Southeast Asia, both the used car and new car market sectors, will recover in 2021. Technological advances, collaboration, and adaptation made by various stakeholders in the automotive industry to develop online businesses will encourage car sales,” he explained.

He considered that the automotive industry continues to develop and transform over time. Transactions through digital platforms certainly make it easier for consumers to find out more detailed product information, prices, payment options, features, and complete car history.

Meanwhile, in a written statement, Tokopedia’s AVP of Business David Kartono said the partnership with Carro is an ongoing effort to encourage all opportunities for the Indonesian people. He expects this collaboration can help promote economic recovery in Indonesia through digital platforms.

Carro is a car buying and selling platform in the Southeast Asia region with transactions of more than $1 billion in 2019. The company offers the convenience of buying cars with online transactions and checking cars offline at Carro Automall located in Bekasi.

Carro claims the Automall is the largest certified used car showroom in Indonesia. In addition, it also offers contactless sales of used cars and trade in new cars from various brands on its platform. In order to improve the offline experience before consumers make transactions, Carro also provides a test drive facility that can be ordered through the Carro and Tokopedia platforms.

This startup was founded in 2015 and used the C2B and B2C business models where consumers can sell used cars through the Carro platform and offer them to consumers. In this vertical, Carro competes with a number of players, such as OLX Autos and Carsome.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Carro Rambah Penjualan Mobil Baru, Perkuat Kolaborasi dengan Tokopedia

Platform jual-beli mobil Carro kembali memperluas kolaborasinya dengan Tokopedia. Kali ini, kolaborasi yang terjalin sejak 2020 ini resmi mengumumkan kehadiran lebih dari 50 opsi pembayaran untuk pembelian mobil bekas bersertifikat di Tokopedia.

Dihubungi oleh DailySocial, Co-founder Carro Aditya Lesmana mengatakan, konsumen kini dapat menikmati opsi pembiayaan yang lebih fleksibel di Tokopedia. Carro bekerja sama dengan sejumlah perusahaan pembiayaan di Indonesia untuk memfasilitasi jenis pembayaran, baik itu tunai maupun kredit dengan pilihan down payment (DP) tenor, dan asuransi yang diinginkan.

“Tahun lalu merupakan tahun penuh tantangan bagi kami. Namun, pandemi Covid-19 justru memicu industri otomotif untuk berinovasi. Kami melakukan langkah strategis, salah satunya dengan Tokopedia. Hal ini memberikan dampak positif di mana permintaan mobil bekas bersertifikat melonjak hingga 600%,” ungkap Aditya.

Pada Juli 2020, Carro memperluas akses pembelian mobil bekas bersertifikasi dengan membuka Carro Automall melalui platform Tokopedia. Kolaborasi ini memungkinkan lebih dari 100 juta pengguna aktif Tokopedia untuk melihat dan membeli mobil bekas bersertifikasi di platform tersebut.

Menurut Aditya, tren pembelian mobil secara contactless mengalami peningkatan 100% dari bulan ke bulan. Per September 2020, sebanyak tiga dari sepuluh mobil terjual, terjadi secara contactless. Dengan meningkatnya tren pembelian mobil secara online, Carro akan terus membuka peluang kolaborasi dengan platform marketplace di Indonesia.

“Penjualan mobil baru bekas menunjukkan tren positif, terlebih di tengah pandemi. Perubahan ini berdampak terhadap sektor otomotif di Indonesia sejalan dengan meningkatnya permintaan mobile secara online,” katanya.

Selain opsi pembiayaan, Carro juga mengumumkan babak barunya dengan memasuki segmen pasar mobil baru. Langkah ini diambil sejalan dengan optimisme pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini.

Mengutip data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Aditya menyebut penjualan mobil baru dalam negeri diprediksi mencapai 750 ribu unit di 2021. Prediksi ini telah memperhitungkan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diproyeksi tumbuh 3%-4%. GAIKINDO juga meyakini daya beli masyarakat terhadap mobil baru akan membaik tahun ini

“Kami optimistis industri otomotif di Indonesia dan Asia Tenggara, baik sektor pasar mobil bekas dan mobil baru, akan kembali pulih di 2021. Kemajuan teknologi, kolaborasi, dan adaptasi yang dilakukan berbagai stakeholder di industri otomotif untuk mengembangkan bisnis secara online akan mendorong penjualan mobil,” paparnya.

Ia menilai bahwa industri otomotif terus berkembang dan bertransformasi seiring waktu. Transaksi melalui platform digital tentu mempermudah konsumen untuk mengetahui informasi produk lebih rinci, harga, opsi pembayaran, fitur, hingga riwayat lengkap mobil.

Sementara itu dalam keterangan tertulis, AVP of Business Tokopedia David Kartono mengatakan kemitraan dengan Carro adalah upaya berkelanjutan untuk mendorong segala peluang bagi masyarakat Indonesia. Ia berharap kolaborasi ini dapat membantu mendorong pemulihan ekonomi di Indonesia lewat platform digital.

Carro merupakan platform jual-beli mobil di kawasan Asia Tenggara dengan transaksi lebih dari $1 miliar di 2019. Perusahaan menawarkan kemudahan pembelian mobil dengan transaksi online dan pengecekan mobil secara offline di Carro Automall yang berlokasi di Bekasi.

Carro mengklaim Automall ini sebagai showroom mobil bekas bersertifikat terbesar di Indonesia. Selain itu, Carro juga menawarkan penjualan mobil bekas dan trade in mobil baru dari berbagai merek secara contactless di platformnya. Untuk meningkatkan offline experience sebelum konsumen bertransaksi, Carro juga menyediakan fasilitas test drive yang dapat dipesan melalui platform Carro dan Tokopedia.

Startup yang berdiri pada 2015 ini menggunakan model bisnis C2B dan B2C di mana konsumen dapat menjual mobil bekas melalui platform Carro dan menawarkannya kepada konsumen kembali. Pada vertikal ini, Carro bersaing dengan sejumlah pemain, seperti OLX Autos dan Carsome.

4 Catatan Menarik Seputar Menentukan Strategi untuk Penetrasi Pasar

Ada banyak inovasi yang dapat dikembangkan untuk mendigitalisasi UMKM atau pemilik usaha kecil di Indonesia. Dengan inovasi ini, mereka punya kesempatan untuk mengembangkan bisnisnya. Jalan masuknya bisa melalui layanan keuangan hingga pembukuan.

Hal ini juga seperti yang dilakukan BukuWarung melalui inovasi layanan SaaS pembukuan untuk kalangan UMKM. Apa saja pengalaman BukuWarung dalam melakukan penetrasi ke pasar hingga menetapkan strategi yang tepat?

Simak paparan menarik yang dibagikan Head of Growth/Funding Team of BukuWarung Mario Nicolas selengkapnya di sesi #SelasaStartup.

Cari masalah dan validasi di lapangan

Berkaca pada pengalamannya di BukuWarung, Mario menegaskan pentingnya menemukan masalah dan memvalidasinya di lapangan. Pada konteks ini, ia menilai pelaku usaha warung di Indonesia terbiasa menggunakan cara konvensional dalam mencatat pembukuan usahanya, misalnya buku dan kertas.

Terlebih lagi, masih banyak pemilik warung yang belum sepenuhnya dapat membedakan konsep keuangan pribadi, keluarga dalam mengelola bisnis. Menurutnya, kebanyakan dari mereka masih mencampur-campur keuangan ini menjadi satu.

“Ketika kami memulai BukuWarung di pertengahan 2019, saat itu belum banyak yang fokus ke segmen warung. Kalaupun ada, kebanyakan [membidik segmen] di kota-kota. Nah, kami validasi ke Jawa dan menemukan masih banyak yang pakai kertas dan buku,” ungkap Mario.

Malahan, lanjutnya, banyak pemilik warung melakukan pembukuan hanya untuk mencatat utang, itupun hanya nominalnya saja. Bahkan, sebanyak 90% dari yang disurvei BukuWarung, tidak mencatat data pengutang, seperti nama dan nomor telepon.

“Dari sini, kami dapat beberapa problem, lalu kami buat aplikasi dan minta ke orang sama yang kami survei untuk mencobanya. Kami pun dapat banyak feedback. Jadi, always come with a problem dan validasi ke lapangan. Pelaku usaha ini jadi punya outlet terhadap masalah yang mereka hadapi,” tuturnya.

Kenali user untuk tentukan strategi

Ketika bicara fase awal startup berdiri, segala macam strategi pasti dicoba untuk mencapai target bisnis. Ada yang berhasil dan ada yang gagal. Kendati begitu, ia menggarisbawahi bahwa semua strategi yang sukses, tidak berarti berlaku untuk semua kategori bisnis.

Ambil contoh, banyak startup yang menggunakan influencer untuk memperkenalkan produk atau layanan, tetapi tidak berarti strategi ini fits untuk vertikal bisnis lain. Startup dapat melakukan eksperimen untuk mencari tahu growth channel yang tepat.

“Maka itu, kenali dulu siapa user kita dan coba memahami sampai ke core level. Biasanya, any kind of tech, [strategi] yang paling laku itu word of mouth. Jadi, coba saja strategi satu-satu, lihat result-nya, then move on,” tambahnya.

Mengambil pelajaran dari upaya akuisisi pelanggan

Sekali lagi, Mario menekankan pentingnya melakukan validasi atas teori yang dibangun dan coba bereksperimen untuk mencari tahu. Ini merupakan salah satu pelajaran penting yang dialami Mario dalam menentukan strategi akuisisi pelanggan.

“Apapun yang kita pernah pelajari itu semuanya salah. Kami pernah berasumsi bahwa [target pengguna] kami tidak paham aplikasi, ternyata kami salah. Makanya, kami selalu validasi dan mencari cara kecil-kecilan untuk membuktikannya, seperti survei yang bisa menghasilkan data berharga,” kata Mario.

Tak kalah penting adalah membangun koneksi dengan pengguna untuk memahami apa yang sebetulnya diinginkan. Dari feedback yang diterima, startup dapat mengembangkan user experience terbaik kepada pengguna. Menurutnya, ini jauh lebih penting dibandingkan membangun basis pengguna dengan memberikan promo terus-menerus.

Kompetisi mendorong edukasi lebih cepat

Strategi diperlukan untuk membangun basis pengguna, meningkatkan bisnis, dan mempertahankan posisinya di persaingan pasar. Bagi Mario, kompetisi merupakan aspek yang baik untuk membantu edukasi pasar lebih cepat. Semakin banyak pemain, semakin bagus untuk mendorong penetrasi produk atau layanan.

“Jika hanya ada satu pemain, mungkin butuh bertahun-tahun untuk mengedukasi layanan kami. Lagipula, banyaknya pemain akan mendorong lebih banyak inovasi. Contoh, kami hadirkan inovasi pembayaran digital. Kalau sekadar aplikasi pembukuan saja, impact-nya kurang. Dengan inovasi ini, kami bisa kasih impact besar,” tuturnya.

BukuWarung sejak akhir tahun lalu menghadirkan pembayaran digital dan mengklaim telah menguasai 95% pangsa pasar pembayaran digital di aplikasi pembukuan di Indonesia.

Collaboration of Startup and Digital Bank to Ramp up Innovation and Financial Inclusion

There was a time when corporations saw startups as a challenge. However, as years passed by, this assumption is getting hazier when the two parties are now collaborating with each other, to complete each other out in winning the market.

In the banking sector, a new phenomenon has occurred, that large startups have started to invest and become majority shareholders in banks that have just transformed into digital banks. For example, Akulaku joined Bank Neo Commerce (BNC), then Gojek invested in Bank Jago, and Sea Group, Shopee’s holding company, which reportedly entered the Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Currently, Akulaku, through PT Akulaku Silvrr Indonesia, is trying to extend ownership in BNC through the rights issue scheme. Therefore, Akulaku’s ownership is to increase from 24.98% to 27.25%. Akulaku has been a shareholder of BNC since 2019.

Moreover, in mid-December 2020, Gojek Group through its subsidiary GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) has invested into Bank Jago in the form of  22% equity at the end of 2020.

Meanwhile, there has not been any confirmation regarding the involvement of Sea Group in BKE. However, there is already strong evidence based on information from the recruitment website which says there is a new placement at “Sea Money-Bank BKE”.

Overseas, the dynamics of digital banks are escalated quickly. For instance, the Monetary Authority of Singapore (MAS) has issued digital bank operating licenses to four corporate groups. The four companies receiving these licenses are (1) Ant Group, a subsidiary of Alibaba Group, (2) the Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel) consortium, (3) the parent Sea Group of Shopee, and (4) a consortium consisting of companies from China, including Greenland Financial Holdings.

Thus, what is the meaning of this synergy between startups and digital banks? How can the synergy between the two be mutually beneficial without breaking the existing rules? The banking sector is a highly regulated sector with high-risk management when it comes to product and service development.

Strong capital and innovation development

Although the terminology for digital banking and the supporting regulations is still unclear, the sign for digital banks has occurred when BTPN launched Jenius. This step was followed by DBS through Digibank. It’s just that Jenius and Digibank are not quite legitimate as digital banks as their business processes are still under the owner’s company.

Therefore, digital banks such as Bank Jago and BNC are experiencing a massive transformation by changing faces and new branding in order to strengthen their position as a digital bank. Bank Jago is a new identity (previously Bank Artos), while BNC was previously named Bank Yudha Bhakti (BYB).

Bank Jago changed the name in June 2020 following its acquisition by a group of investors led by Jerry Ng and Patrick Waluyo through PT Metamorfosis Indonesia (MEI) and Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng is the former President Director of BTPN for a decade and also the person behind the development of Jenius, while Patrick Waluyo is the Co-Founder of Northstar Group, one of the former BTPN owners.

Next, Akulaku became a shareholder in BNC for the first time in March 2019 with 8.9% ownership of the current controlling shareholder, PT Gozco Capital. This fintech platform continues to increase its share ownership to become the controlling shareholder.

In previous reports, Bank Yudha Bhakti’s President Director, Tjandra Gunawan emphasized that his team is transferring the entire work process and business model from a conventional bank to digital, including the existence of branch offices with limited numbers.

In developing internal human resources, BNC recruited many talents in the technology sector, assisted by the collaboration of two giant technology companies, namely Huawei and Sunline.

In recent contact with DailySocial, Gunawan highlighted that BNC is trying to come up with a different positioning through its collaboration with Akulaku. It will target the retail and MSME segments through a number of digital banking products.

“Akulaku as one of the shareholders in BNC is a fintech company that focuses on e-commerce, B2B financing, and other digital financings, therefore, BNC and Akulaku is to combine market segments in the future,” said Tjandra.

Meanwhile, it is still unclear why Sea Group entered through BKE. If it is true, it is possible that BKE will have the same fate as the two banks mentioned above, coming with a new identity. It seems difficult to move forward without a new identity for legacy companies looking to undertake a major transformation.

Product development and integration to the ecosystem

The involvement of Gojek, Akulaku, and Shopee (Sea Group) has the same common thread, namely efforts to integrate innovation into a digital service ecosystem for people who are yet to be exposed to banking services.

Banks are a business of trust, while digital platforms have the strength in technological innovation. In this case, banks can push financial services into a broader platform services ecosystem with a large customer base.

Gojek already has an A to Z service ecosystem. Likewise, Shopee, according to iPrice data, is the e-commerce with the largest monthly visitors in Indonesia in the first quarter of 2020. Meanwhile, Akulaku is targeting a comprehensive financial ecosystem, from marketplaces, P2P lending, to financing.

Quoting KrAsia, Akulaku’s CEO, William Li said that the potential of digital banking in Southeast Asia is enormous. “There are 400 million workers, but only 5% -10% are using digital banking services. That means, we have 300 million potential customers,” Li said. He thought, if Akulaku can work on around 5% -10% of the market share, the company could potentially reap greater achievements.

In terms of technology, Tjandra also said that his team would optimize technology development and digitization of the loan origination system and online financing related to granting approval and lending. In the future, this coordination and integration can become a pilot ecosystem that can be replicated to other marketplaces.

In addition, BNC will develop open banking in the payment system through the formulation of Open API Standards, therefore, the transaction and identification process will be more seamless. “This is a piloting project of the digital product on Akulaku platform as well as the use of the BNC Virtual Account to make it easier for customers to make payments,” Gunawan added.

Platform Category Service Ecosystem User/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 million (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 million (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 million (2020)

Meanwhile, Gojek’s Chief Corporate Affairs, Nila Marita revealed that Gojek and Bank Jago are currently preparing a synergy for digital banking services. This is in line with the company’s efforts to increase financial inclusion at all levels of society.

Based on reports from Google, Temasek, and Bain & Company, as many as 52% or around 95 million adults in Indonesia do not have bank accounts and more than 47 million adults do not have adequate access to credit, investment, and insurance. On the other hand, smartphone penetration in Indonesia has reached up to 70% -80%. This indicates that the Indonesian people are ready to accept digital banking services.

“The number is quite large of people who do not have a bank account in Indonesia. Therefore, Gojek and Bank Jago will provide digital banking services on the Gojek platform to facilitate access to financial services,” she told DailySocial.

Referring to this, collaboration between startups and digital banks can encourage penetration of financial inclusion. One use case is that the digital platform can be a front-end channel for opening an online account. This is what Gojek and Bank Jago are currently preparing as their initial synergy plan. A number of banks in Indonesia have implemented a similar concept, such as opening a BRI online account on the Grab platform.

By utilizing the platform as an entry point, the public can be exposed to the integrated platform service ecosystem. Bank Jago can take advantage of the Gojek service ecosystem to increase its service penetration, as well as BNC-Akulaku and Sea Group-BKE. This means that the government’s efforts to encourage financial inclusion at all levels of society can be realized more quickly.

The next step is technology transfer. This is an expensive price to pay to leverage the technological innovations that have been built by Gojek, Shopee, and Akulaku. It will be free to develop innovations than to work together without investment commitments.

However, considering the current regulations have not accommodated digital banks, financial innovation players are still waiting and wondering about the limitations and potentials for future business development.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

“Micro Payment” Jadi Alternatif Industri Media untuk Mendorong Monetisasi Konten Berbayar

Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dalam hal konsumsi digital. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Seluruh Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet pada kuartal kedua 2020 telah mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari total populasi.

Pasar Indonesia juga cukup tinggi dalam hal konsumsi konten digital, terutama yang berkaitan dengan segmen hiburan, seperti musik, film, dan video. Sebagian besar platform digital sudah mulai menerapkan sistem berlangganan (subscription) untuk memonetisasi bisnisnya.

Namun, bagaimana dengan monetisasi di industri media? Apakah pasar Indonesia sudah siap untuk mengonsumsi konten berbayar?

Simak paparan dan temuan menarik yang akan dibagikan oleh Founder & CEO DailySocial Rama Mamuaya, Co-founder & CCO Fewcents Dushyant Khare, dan Founder & Editor in Chief DealStreetAsia Joji Thomas Philip pada sesi bertajuk “Micro Payment: Is it possible to convert free readers to start paying for content?” yang diadakan Indonesia Digital Association.

Arti pandemi terhadap industri media

Sejumlah media (mungkin) baru terdorong untuk mulai memonetisasi kontennya di situasi pandemi. Hal ini juga yang salah satunya mulai diterapkan oleh DailySocial efektif sejak akhir November 2020.

Rama mengatakan, DailySocial sedang mencoba model berlangganan dengan tiga skema, yakni pay per view, monthly, dan annually subscription. Menurutnya, ketiga skema ini dipilih karena konsep berlangganan berita terbilang yang lebih preferable bagi pembaca Indonesia.

“Sudah ada konten berlangganan semacam Netflix dan Spotify, but when it comes to news, konsep ini terbilang weird bagi pasar Indonesia. Setelah kami coba, hasilnya monthly revenue dan annual membership kami mulai naik. Ini tidak terduga karena 80% konten kami berbahasa Indonesia. Apalagi di awal kami sempat khawatir trafik akan turun,” ujar Rama.

Dari sisi bisnis, Rama menilai sistem berlangganan dapat membantu team bisnis dan editorial dalam membuat keputusan. Hal ini karena biasanya kedua tim ini dinilai sering berbenturan jika bicara soal memproduksi konten berkualitas, tetapi bisa dimonetisasi. “Dengan sistem berlangganan, kami jadi tahu kategori konten seperti apa yang banyak dibaca pengguna,” tambahnya.

Sementara menurut Joji, pandemi membawa dampak positif terhadap bisnisnya. Dengan situasi Work From Home (WFH), masyarakat memiliki waktu untuk mengeksplorasi konten. Dan hal ini berdampak terhadap peningkatkan jumlah pelanggan sebesar 60% dibandingkan 2019.

Sejak awal berdiri, ungkapnya, DealStreetAsia memang berkomitmen untuk membangun world class jorunalism product yang tidak bertumpu pada trafik, tetapi dari subscription. Mereka berupaya memproduksi konten yang membawa impact dan value kepada pembaca sehingga mendorong kemauan pembaca untuk membayar.

“Yang kami pelajari selama pandemi ini adalah, kami meluncurkan banyak produk komplimentari bagi pelanggan, seperti research report dan database. Overall, sebagai sebuah perusahaan, [bisnis] kami tumbuh 30%, memang tidak sesuai target, tetapi tidak ada yang pernah tahu pandemi bakal terjadi,” ujarnya.

Tantangan industri media menerapkan sistem berlangganan

Bagi Rama, tantangan terbesar industri media dalam memperkenalkan sistem berlangganan adalah mengedukasi pengguna Indonesia. Terlebih bagi industri media dengan cakupan pemberitaan umum yang fokus terhadap page views.

Selain itu, ia menilai bahwa pasar Indonesia masih sangat enggan untuk mengeluarkan budget untuk berlangganan konten media. Contohnya saja, artikel mengenai riset dan analisis seharga Rp50.000 dinilai masih mahal bagi pengguna.

Kendati demikian, bagi media niche seperti DailySocial, menurutnya upaya yang dilakukan selama bertahun-tahun untuk memproduksi konten berkualitas dan tidak bermain di page views membuahkan hasil.

“Ketika kami switch ke premium, mereka sudah paham bahwa kami menyediakan konten berkualitas dan percaya konten ini hanya ada di DailySocial,” paparnya.

Micro payment menjadi alternatif untuk monetisasi

Dalam presentasinya, Dushyant memaparkan sejumlah temuan menarik terkait pasar Indonesia terkait monetisasi di industri media. Paparan ini juga berdasarkan dari pengalamannya bekerja sama dengan banyak publisher di Asia Tenggara dan India. Menurutnya, ia sangat familiar terhadap tantangan yang dihadapi publisher saat ini.

Umumnya, ada dua model monetisasi yang dipakai industri media, yakni iklan dan berlangganan. Kelebihan iklan adalah dapat memonetisasi semua pengguna, sayangnya revenue per user sangat rendah. Memang ada banyak media yang mulai memberlakukan sistem berlangganan, tapi hanya sedikit yang mau berlangganan. Ketika pandemi menghantam, publisher memikirkan cara untuk memonetisasi mengingat ads yield turun akibat Covid-19.

“Selama beberapa tahun terakhir, iklan berkontribusi besar terhadap pendapatan media sehingga mereka banyak fokus memproduksi artikel yang punya page views tinggi. Sekarang, mereka sepertinya mulai pivoting untuk mengoptimalkan kualitas konten,” katanya.

Dalam temuannya, ia menemukan ada big gap dalam hal monetisasi revenue per user di iklan dan langganan. Sekitar 60%-70% pasar Indonesia disebut tidak pernah mau membayar konten digital. Hal ini bukan karena mereka tidak bisa membayar, hanya saja pasar Indonesia cenderung menyukai konten gratis. Kendati demikian, sebanyak 30%-50% pengguna punya kemauan untuk membayar.

“Mereka mulai paham, untuk menikmati konten bagus ya harus bayar. Makanya, kami pikir micro payment bisa address dan take advantage di sini. Di sini modelnya bukan berbasis subscription, tetapi value for money,” ujar Khare.

Ia juga menemukan sejumlah tantangan dalam aspek user readiness terhadap sistem berlangganan. Pertama, ada kecenderungan terhadap subscription fatigue. Contohnya, apabila pengguna sudah berlangganan di New York Times, kecil kemungkinan mereka akan berlangganan di media lain.

Kedua, loyalitas pengguna masih rendah di mana sebanyak 72% mengonsumsi konten dari media sosial. Dan ketiga, terkait digital spending. Menurut data Statista di 2019, pengguna Indonesia hanya mengeluarkan sekitar $30 untuk layanan digital per bulannya, dan kebanyakan untuk belanja di e-commerce. “Itu saja e-commerce, apalagi digital content. Makanya model subscription may not be best di Indonesia,” ucapnya.

Kendati demikian, ia menilai pandemi membawa momentum yang tepat untuk mengaplikasikan model micro payment, seperti yang dilakukan Fewcents dengan sistem pay per view. Terlebih, sistem pembayaran saat ini sudah semakin variatif dan memudahkan pengguna.

Two years ago, the payment infrastructure that we see today or take for granted, actually not really there. And now all coming together in terms of timing, mereka mau mengonsumsi konten berkualitas dan ini menjadi suatu hal yang baik bagi micropayment.”

 

Kolaborasi Startup dan Bank Digital untuk Memperkuat Inovasi dan Inklusi Keuangan

Ada masa di mana korporasi sempat menganggap eksistensi startup sebagai sebuah tantangan. Namun, dari tahun ke tahun, anggapan ini makin kabur tatkala kedua pihak kini saling berkolaborasi, mengisi satu sama lain untuk memenangkan pasar.

Di sektor perbankan, fenomena baru yang terjadi adalah startup besar mulai berinvestasi dan menjadi pemegang saham mayoritas di bank-bank yang baru bertransformasi menjadi bank digital. Misalnya, Akulaku masuk ke Bank Neo Commerce (BNC), lalu Gojek berinvestasi ke Bank Jago, dan Sea Group, induk usaha Shopee, yang kabarnya masuk ke Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Saat ini Akulaku, melalui PT Akulaku Silvrr Indonesia, tengah berupaya meningkatkan kepemilikan sahamnya di BNC lewat skema right issue. Dengan aksi ini, kepemilikan Akulaku bakal naik dari 24,98% menjadi 27,25%. Adapun Akulaku telah masuk menjadi pemegang saham BNC sejak 2019.

Kemudian, pada pertengahan Desember 2020, Gojek Group melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) menyuntikkan investasi ke Bank Jago berupa penyertaan saham sebesar 22% pada akhir 2020.

Sementara itu, belum ada konfirmasi apapun mengenai keterlibatan Sea Group di BKE. Namun, sudah ada bukti kuat berdasarkan informasi dari laman perekrutan yang menyebutkan ada penempatan baru di “Sea Money-Bank BKE”.

Di luar negeri, dinamika bank digital sudah berjalan cepat. Ambil contoh, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) telah menerbitkan izin operasi bank digital kepada empat kelompok perusahaan. Keempat perusahaan penerima lisensi ini adalah (1) Ant Group anak usaha Alibaba Group, (2) konsorsium Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel), (3) Sea Group induk dari Shopee, dan (4) konsorsium yang terdiri dari perusahaan asal Tiongkok, termasuk Greenland Financial Holdings.

Lalu, apa arti dari sinergi antara startup dan bank digital ini? Bagaimana sinergi keduanya bisa saling menguntungkan tanpa menerobos aturan yang ada? Sektor perbankan adalah high regulated sector yang memiliki manajemen risiko tinggi jika bicara pengembangan produk dan layanan.

Permodalan kuat dan pengembangan inovasi

Meski belum jelas terminologi bank digital dan regulasi yang mendukung, cikal bakal menuju bank digital sebetulnya sudah muncul ketika BTPN meluncurkan Jenius. Langkah ini kemudian diikuti DBS melalui Digibank. Hanya saja, Jenius dan Digibank belum sahih dikatakan sebagai bank digital karena proses bisnisnya masih berada di atap perusahaan empunya.

Untuk itu bank-bank digital seperti Bank Jago dan BNC melakukan transformasi besar-besaran dengan berganti wajah dan branding baru demi mengokohkan posisinya sebagai bank digital. Bank Jago adalah identitas baru dari nama sebelumnya Bank Artos, sedangkan BNC sebelumnya bernama Bank Yudha Bhakti (BYB).

Pergantian nama Bank Jago pada Juni 2020 menyusul aksi akuisisinya oleh grup investor yang dipimpin Jerry Ng dan Patrick Waluyo lewat PT Metamorfosis Indonesia (MEI) dan Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng adalah eks Direktur Utama BTPN selama satu dekade yang juga orang di balik pengembangan inovasi Jenius, sedangkan Patrick Waluyo merupakan Co-Founder Northstar Group, salah satu mantan pemilik BTPN.

Kemudian, Akulaku masuk menjadi pemegang saham di BNC pertama kali pada Maret 2019 dengan kepemilikan 8,9% dari pemegang saham pengendali saat itu PT Gozco Capital. Platform fintech ini terus menambah kepemilikan sahamnya untuk menjadi pemegang saham pengendali.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan telah menegaskan bahwa pihaknya mengalihkan keseluruhan proses kerja dan model bisnis sebagai bank konvensional menjadi digital, tak terkecuali keberadaan kantor cabang yang jumlahnya bakal dibatasi.

Untuk memperkuat SDM di internal, BNC bahkan merekrut banyak talent di bidang teknologi dan turut dibantu kerja sama oleh dua perusahaan teknologi raksasa, yakni Huawei dan Sunline.

Dihubungi DailySocial baru-baru ini, Tjandra kembali menegaskan bahwa BNC berupaya hadir dengan positioning yang berbeda melalui kolaborasinya dengan Akulaku. Pihaknya akan menyasar segmen ritel dan UMKM melalui sejumlah produk digital banking.

“Akulaku sebagai salah satu pemegang saham di BNC adalah perusahaan fintech yang berfokus pada e-commerce, financing B2B, dan pembiayaan digital lainnya, sehingga ke depannya BNC dan Akulaku akan melakukan kombinasi segmen pasar,” ujar Tjandra.

Sementara itu, belum diketahui alasan Sea Group masuk melalui BKE. Jika ini benar, bisa jadi BKE akan bernasib sama seperti dua contoh bank di atas, yakni hadir dengan identitas baru. Tampaknya, akan sulit untuk maju tanpa identitas baru bagi perusahaan legacy yang ingin melakukan transformasi besar-besaran.

Pengembangan produk dan integrasi ke ekosistem layanan

Keterlibatan Gojek, Akulaku, dan Shopee (Sea Group) memiliki benang merah yang sama, yakni upaya untuk memadukan inovasi terhadap ekosistem layanan digital bagi masyarakat yang masih banyak belum terpapar layanan perbankan.

Bank merupakan bisnis kepercayaan, sedangkan platform digital memiliki kekuatan pada inovasi teknologi. Dalam hal ini, bank bisa mendorong layanan keuangan masuk ke dalam ekosistem layanan platform yang lebih luas dengan basis pelanggan besar.

Gojek telah memiliki ekosistem layanan dari A sampai Z. Demikian juga Shopee yang menurut data iPrice merupakan e-commerce dengan pengunjung bulanan terbesar di Indonesia pada kuartal pertama 2020. Sementara Akulaku membidik ekosistem keuangan yang komprehensif, mulai dari marketplace, P2P lending, hingga pembiayaan.

Mengutip KrAsia, CEO Akulaku William Li mengatakan bahwa potensi perbankan digital di Asia Tenggara sangat besar. “Kami melihat ada 400 juta pekerja, tetapi hanya 5%-10% yang menggunakan layanan perbankan digital. Artinya, kami punya 300 juta pelanggan potensial,” tutur Li. Menurutnya, apabila Akulaku dapat menggarap sekitar 5%-10% dari pangsa pasar tersebut, perusahaan dapat berpotensi meraup pencapaian yang lebih besar.

Dari sisi teknologi, Tjandra juga menyebutkan bahwa pihaknya akan mengoptimalkan pengemba ngan teknologi dan digitalisasi loan origination system dan online financing terkait pemberian persetujuan dan penyaluran kredit. Ke depannya, kordinasi dan integrasi ini dapat menjadi percontohan ekosistem yang bisa direplikasi ke marketplace lain.

Selain itu, BNC akan mengembangkan open banking di sistem pembayaran melalui perumusan Standar Open API sehingga proses transaksi dan identifikasi akan lebih seamless. “Ini merupakan piloting project produk digital di platform Akulaku serta untuk penggunaan BNC Virtual Account guna yang memudahkan customer melakukan pembayaran,” tambah Tjandra.

Platform Kategori Ekosistem Layanan Pengguna/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 juta (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 juta (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 juta (2020)

Sementara itu, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengungkap bahwa Gojek dan Bank Jago saat ini tengah mempersiapkan sinergi layanan perbankan digital. Hal ini sejalan dengan upaya perusahaan untuk meningkatkan inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, and Bain & Company, sebanyak 52% atau sekitar 95 juta penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening bank dan lebih dari 47 juta penduduk dewasa tidak memiliki akses memadai kepada kredit, investasi, dan asuransi. Di sisi lain, penetrasi smartphone di Indonesia telah mencapai hingga 70%-80%. Ini menandakan masyarakat Indonesia sudah siap untuk menerima layanan perbankan digital.

“Jumlah penduduk yang belum memiliki rekening bank masih sangat banyak di Indonesia. Maka itu, Gojek bersama Bank Jago akan menyediakan layanan perbankan digital di platform Gojek untuk memudahkan akses terhadap layanan keuangan,” ujarnya kepada DailySocial.

Mengacu pada hal tersebut, kolaborasi startup dan bank digital dapat mendorong penetrasi inklusi keuangan. Salah satu use case-nya adalah platform digital bisa menjadi front-end channel untuk pembukaan rekening online. Inilah yang tengah disiapkan Gojek dan Bank Jago sebagai rencana sinergi awal mereka. Konsep serupa sebetulnya sudah diterapkan sejumlah bank di Indonesia, seperti pembukaan rekening online BRI di platform Grab.

Dengan memanfaatkan platform sebagai jalan masuk, masyarakat dapat terpapar oleh ekosistem layanan platform yang terintegrasi. Bank Jago dapat memanfaatkan ekosistem layanan Gojek untuk meningkatkan penetrasi layanannya, demikian juga berlaku pada BNC-Akulaku dan Sea Group-BKE. Ini berarti upaya pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat bisa semakin cepat terealisasi.

Langkah selanjutnya adalah transfer teknologi. Ini merupakan harga mahal yang harus dibayar untuk me-leverage inovasi teknologi yang telah dibangun oleh Gojek, Shopee, dan Akulaku. Akan lebih leluasa mengembangkan inovasi ketimbang bersinergi tanpa komitmen investasi.

Namun, mengingat regulasi yang ada saat ini belum mengakomodasi bank digital, pemain inovasi keuangan masih wait and see tentang limitasi dan potensi-potensi pengembangan bisnis di masa mendatang.

Optimisme Home Credit Hadapi Pandemi dengan Memperkuat Inovasi Pembiayaan Nontunai

Home Credit baru-baru ini memperkenalkan layanan paylater kepada 4,6 juta pelanggannya. Layanan bernama “BayarNanti” ini rencananya bakal tersedia di lebih dari 15 ribu titik penjualan Home Credit di Indonesia.

BayarNanti merupakan salah satu strategi perusahaan untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses pembiayaan multiguna, terutama di masa pandemi Covid-19.

DailySocial berkesempatan mengulik lebih dalam mengenai BayarNanti, dampak pandemi, hingga rencana dan strategi pengembangan Home Credit ke depan. Berikut wawancara kami dengan Chief Marketing and Strategy Home Credit Indonesia Moin Uddin.

Memperluas akses ketersediaan “BayarNanti”

Menurut Uddin, saat ini menjadi momentum yang tepat untuk meluncurkan layanan paylater setelah pihaknya melakukan riset dan analisis mendalam terhadap kondisi pasar. Upaya ini juga sejalan dengan komitmen Home Credit untuk berinovasi memberikan kemudahan kepada pelanggannya.

Untuk saat ini, layanan Home Credit BayarNanti baru tersedia bagi pelanggan terpilih yang memiliki kontrak pembiayaan di jaringan mitra retailer di lebih dari 15 ribu titik penjualan. Layanan BayarNanti juga dapat digunakan di lebih dari 5 juta merchant di Indonesia yang menggunakan QRIS.

“Home Credit selalu mengedepankan open ecosystem approach untuk mengembangkan bisnis dan produknya. Saat ini, kami sedang memperluas akses BayarNanti ke seluruh pelanggan existing dan platform lainnya. Kami telah berkolaborasi dengan beberapa bank terbesar di Indonesia untuk pembayaran tagihan BayarNanti dan pendanaan produk pembiayaan multiguna kami,” jelas Uddin dalam keterangan tertulisnya kepada DailySocial.

Adapun, pelanggan dapat bertransaksi dengan BayarNanti minimal Rp10.000 dan maksimal plafon hingga Rp1,2 juta. Namun, plafon tersebut dapat meningkat sejalan dengan pola penggunaan dari para pelanggan. Selain itu, setiap transaksi dengan BayarNanti juga tidak dikenakan biaya tambahan alias gratis.

Berdasarkan Fintech Report 2019 yang dirilis DailySocial, paylater (56,7%) berada di posisi ketiga setelah dompet digital (82,7%) dan aplikasi investasi (62,4%) sebagai layanan keuangan digital terfavorit.

Ada dua faktor yang membuat penetrasi paylater semakin berkembang. Pertama, pertumbuhan e-commerce setiap tahun meningkat di mana kapitalisasi bisnis belanja online telah menembus $21 miliar (setara Rp294 triliun) di 2019 menurut laporan McKinsey, dengan 90% pengguna internet pernah berbelanja online menurut temuan WeAreSocial.

Kedua, penetrasi kartu kredit yang diterbitkan perbankan masih rendah. Data Bank Indonesia mencatat 17,61 juta kartu kredit beredar per Februari 2020. Angka ini sangat kecil dibandingkan total populasi Indonesia. Sementara, penetrasinya rendah karena persyaratan mengajukan kartu kredit sulit dipenuhi oleh masyarakat.

Dampak pandemi terhadap Home Credit

Selama masa pandemi, Home Credit melakukan beberapa penyesuaian untuk menjaga kinerjanya dengan fokus utama meningkatkan transaksi produk dan engagement kepada para pelanggan. Perusahaan melakukan evaluasi ulang terhadap portofolio produk dan memperkenalkan produk digital terbaru, seperti Home Credit Card, Home Credit Pay, dan Home Credit BayarNanti.

Diungkapkan Uddin, pihaknya menjadi lebih selektif dalam menyalurkan pembiayaan selama pandemi Covid-19 di 2020. Hal ini sejalan dengan berkurangnya jumlah pengguna yang mengajukan pembiayaan ke Home Credit.

Menurut catatannya, volume penjualan di Home Credit turun 34% per Juni 2020 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Kendati begitu, dengan seleksi underwriting yang lebih ketat, Home Credit mengklaim telah berhasil menekan risiko gagal bayar dengan rasio Non Performing Financing (NPF) sebesar 2,17%. Tingkat NPF ini terbilang masih jauh di bawah batas maksimal yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu sebesar 5%.

Selain itu, Uddin mengungkap juga memperkuat kerja sama strategis dengan sejumlah bank untuk meningkatkan penyaluran pembiayaan. Pada kuartal III 2020, Home Credit menyepakati perjanjian fasilitas pinjaman sindikasi luar negeri (offshore) $60,5 juta.

Beberapa kreditur yang tergabung dalam sindikasi ini antara lain ING Bank N.V. Hong Kong Branch dan Bank of China (Hong Kong) Limited sebagai Mandated Lead Arrangers dan Bookrunners, BNP Paribas sebagai Mandated Lead Arranger,
serta SinoPac Financial Holdings Company Ltd. (Bank SinoPac) dan Singapore Branch Malayan Banking Berhad (Maybank).

Dari sisi pelanggan existing, Home Credit memberikan keringanan pembiayaan yang memenuhi kriteria tertentu. Misalnya, pertama, keringanan ini berlaku bagi pelanggan yang terkena dampak langsung Covid-19 (baik secara medis maupun finansial).

Kedua, pekerja sektor informal atau pengusaha UMKM. Ketiga, pelanggan bekerja di sektor yang terpengaruh langsung oleh pandemi (transportasi online, pariwisata, perhotelan, perdagangan, pertanian, pertambangan, real estate, infrastruktur, dan F&B).

Keempat, keringanan ini berlaku pada pelanggan yang memiliki riwayat pembayaran cicilan lancar dan tidak memiliki tunggakan sebelum tanggal 2 Maret 2020 (dapat diperiksa di My Home Credit App). Dan kelima, barang yang dicicil sesuai dengan kontrak pembiayaan dan tidak berpindah tangan.

“Secara umum, tahun 2020 memang menjadi tahun yang sangat menantang. Hampir seluruh lapisan masyarakat terkena dampak dari pandemi Covid-19, termasuk industri pembiayaan dan Home Credit. Namun, kami memandang positif tahun 2021, di mana kami percaya 2021 akan menjadi masa pemulihan,” tambahnya.

Optimisme di industri pembiayaan dan penguatan jaringan merchant

Pihaknya mengaku optimistis 2021 bakal menjadi tahun pemulihan karena sejumlah faktor. Uddin, sebagaimana mengutip laporan pada webinar MarkPlus Inc, mengungkap bahwa data beli masyarakat menengah ke atas akan meningkat di 2022.

Dalam webinar MarkPlus Inc bertajuk “Actualizing The Post Normal: Year 2021 and Beyond Multifinance Industri Perspective”, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) juga menyebutkan bahwa kekuatan ekonomi akan bangkit kembali di 2022-2025.

Apalagi, pandemi turut berkontribusi terhadap akselerasi digital dan perubahan perilaku konsumen. Menurut Uddin, konsumen mempertimbangkan sejumlah faktor utama dalam berbelanja, antara lain pilihan produk beragam dan harga kompetitif yang memengaruhi pengambilan keputusan.

“Dalam hal ini, industri keuangan, termasuk Home Credit harus melakukan persiapan menghadapi 2021 dan seterusnya. Maka itu, kami akan terus mengembangkan teknologi dan inovasi digital untuk mengubah cara masyarakat berbelanja dan memudahkan mereka terhadap akses pembiayaan,” kata Uddin.

Perihal perilaku belanja, Home Credit juga sebetulnya melakukan survei pada Agustus 2020 yang diikuti 2.500 responden di Indonesia. Hasilnya, pelanggan masih menyukai aktivitas belanja offline. Alih-alih sepenuhnya berbelanja online, responden justru lebih menyukai pola berbelanja offline dan online.

“Maka itu, implikasinya bagi bisnis [kami] adalah untuk [melakukan] diversifikasi pilihan metode pembayaran dan pembiayaan mereka, baik dalam platform belanja online maupun offline agar lebih mudah, nyaman dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan para konsumen,” ujarnya.

Dengan temuan tersebut, Home Credit akan memperkuat kehadiran pembiayaan offline di jaringan merchant di tahun ini. Fasilitas atau layanan transaksi nontunai merupakan salah satu strategi inovatif perusahaan untuk mencapai target, yakni melalui Home Credit Card, Home Credit Pay, dan Home Credit BayarNanti.

Saat ini, rata-rata ticket size pembiayaan pelanggan Home Credit berkisar Rp4,5 juta. Adapun, aplikasi My Home Credit telah mencapai hampir 10 juta download per Januari 2021.

Application Information Will Show Up Here

Tren “Same Day Delivery” Diprediksi Meningkat, Persaingan Jasa Logistik Semakin Ketat

Pertumbuhan pasar logistik di Indonesia diprediksi semakin membaik di 2021. Prediksi tersebut sudah mempertimbangkan pada faktor situasi Indonesia saat ini dengan pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial di sejumlah wilayah.

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita mengungkap sejumlah prediksi dan tren logistik yang bakal terjadi di Indonesia di tahun ini. Pertama, ia mengamati bahwa pelaku jasa logistik sudah mulai beradaptasi selama masa pandemi. Hal ini terlihat dari kemunculan layanan baru dan kolaborasi antara startup dan perusahaan logistik besar, terutama untuk mengakomodasi kebutuhan layanan kurir instan (on-demand).

“Di kuartal IV 2020, logistik sudah mulai naik karena spending masyarakat sudah mulai jalan. Di kuartal pertama 2021, memang agak mengkhawatirkan karena ada pemberlakuan pembatasan sosial kembali. Tetapi, kami optimistis karena selama enam bulan terakhir, [pelaku logistik] sudah terlatih untuk beradaptasi. Kami prediksi puncak [kenaikan] logistik terjadi di kuartal III dan IV 2021 sejalan dengan semakin banyak orang yang divaksin,” tuturnya dihubungi DailySocial.

Berdasarkan laporan Ken Research, pasar logistik Indonesia diestimasi mencapai nilai $200,3 miliar dengan CAGR 7,9% pada 2024. Nilai ini sudah termasuk untuk bisnis angkutan barang, pengiriman barang, warehouse, express and parcel (CEP), hingga cold chain logistic.

Kedua, ia memperkirakan kenaikan bisnis logistik di tahun ini akan banyak didongkrak oleh layanan same day delivery. Dengan situasi saat ini, ia memperkirakan tren tersebut dapat memacu pelaku industri logistik untuk mengevaluasi apakah durasi waktu pengiriman same day delivery yang sudah ada saat ini telah memenuhi ekspektasi pelanggan dan kompetitif secara bisnis.

Zaldy yang juga Direktur Utama Paxel bahkan mengaku akan mempertimbangkan temuan tersebut. Terlebih, Paxel yang merupakan startup platform jasa pengiriman logistik berbasis teknologi ini awalnya memulai layanan same day delivery dengan durasi pengiriman hingga 10 jam.

Layanan

Tarif Ja(bo)detabek

Durasi

GoSend Rp2.815/km (0-6km), Rp 18.000 (6-15km), Rp1.200/km (>15km) Max 4 jam terhitung setelah pick-up barang
Grab Express Dimulai dari Rp15.000 (0-5km) Max 6 jam (motor) terhitung setelah pick-up barang
Paxel Flat s/d 5kg Rp8.000 (dalam kota), Rp15.000 (luar kota) 6-8 jam (dalam kota), 10-12 jam (luar kota)
MrSpeedy Rp8.000 untuk 4km pertama Max 90 menit

Sumber: situs resmi Gojek, Grab, Paxel, MrSpeedy / Diolah kembali oleh DailySocial

“Sekarang, same day delivery di dalam kota hanya 2 jam. Selama beberapa tahun terakhir ini, ekspektasi customer naik signifikan. [Paxel] bahkan mengevaluasi lagi apakah same delivery berdurasi 8-10 jam masih bisa berkompetisi. Apalagi, ada yang lebih ekstrem dengan biaya lebih rendah. Ini berarti industri butuh inovasi lebih besar,” paparnya.

Tren same day delivery didorong oleh pengiriman makanan

Jika mengacu laporan The 2nd Series Industry Roundtable: Logistics Industry Perspective yang dirilis MarkPlus Inc pada Oktober 2020, frekuensi jasa kurir meningkat pesat selama masa pandemi. Peningkatan ini dipicu oleh sejumlah faktor utama antara lain kegiatan belanja online, harga, dan waktu pengiriman.

Sumber: MarkPlus Inc / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: MarkPlus Inc / Diolah kembali oleh DailySocial

Selain itu, layanan same day delivery diekspektasi bakal meningkat lebih pesat penggunaannya pasca-pandemi (67,2%) dibandingkan layanan pengiriman regular (78,7%) meski porsinya masih lebih besar. Adapun riset ini diikuti oleh sebanyak 122 responden dari wilayah Jabodetabek (59,8%) dan non-Jabodetabek (40,2%).

Kemudian, responden juga memiliki ekspektasi utama terhadap pengiriman layanan yang tepat waktu (36,7%) dan penyedia jasa logistik dinilai perlu meningkatkan layanan pick-up di masa depan.

Sumber: MarkPlus Inc / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: MarkPlus Inc / Diolah kembali oleh DailySocial

Ketiga, menurut pengamatan Zaldy, pasar logistik B2B sudah mulai berkurang porsinya dikarenakan terjadi shifting perilaku belanja dari offline ke online. Dorongannya semakin kuat ketika pandemi dan meningkatnya ekspektasi customer yang dinilai semakin ekstrem. Ia memperkirakan komposisi bisnis logistik di segmen B2C bakal naik porsinya dari 10% menjadi 25% di tahun ini.

Keempat, tahun ini sekaligus menjadi ajang pembuktian untuk melihat mana model bisnis logistik yang berhasil, mana yang tidak. Model bisnis baru mungkin akan lebih banyak bermunculan karena banyak pasar baru yang belum terbuka, misalnya jasa pengiriman makanan,” jelas Zaldy.

Beberapa startup raksasa, seperti Gojek (GoFood), Bukalapak (BukaFood), dan Shopee (ShopeeFood) sudah mulai bersiap untuk memperkuat posisinya di segmen pasar ini. Perusahaan logistik besar SiCepat juga bahkan mencaplok 51% saham platform pengiriman makanan DigiResto demi mendorong kontribusi pendapatan dari pasar pengiriman makanan di Indonesia.

Mengutip hasil riset Momentum Works, GMV layanan pengiriman makanan (food delivery) mengalami percepatan pertumbuhan selama pandemi. Laporan ini mencatat GMV layanan pengiriman makanan di enam negara di Asia Tenggara mencapai $11,9 miliar di 2020.

Untuk pasar Indonesia saja, angkanya mencapai $3,7 miliar atau setara Rp52 triliun yang didominasi dua pemain besar, yakni Grab dan Gojek dengan porsi masing-masing sebesar 53% dan 47% dari total pangsa pasar.

Tantangan bagi perusahaan logistik legacy

Kelima, lanjut Zaldy, ia memperkirakan perusahaan logistik konvensional yang sudah lama beroperasi bakal sulit mengejar tren ke depan. Hal ini karena tidak mudah bagi perusahaan untuk melakukan transformasi atau membangun infrastruktur dalam waktu singkat. Kuncinya ada pada kolaborasi.

Setidaknya, sepanjang 2020 terdapat banyak kolaborasi yang terjadi antara startup dan korporasi. Misalnya, Ninja Xpress bermitra dengan Grab dan Gojek bermitra dengan Paxel. Kemitraan keduanya dilakukan untuk memperkuat jasa pengiriman barang antar-kota (intercity).

Menurut Zaldy, pandemi menjadi pembuka mata agar perusahaan logistik konvensional mau berkolaborasi. “Banyak perusahaan legacy konvensional susah mengejar bisnis karena sekarang ekspektasi customer jauh lebih tinggi. Kita lihat beberapa perusahaan konvensional, service-nya mungkin terancam karena sudah ada same day delivery,” ujar Zaldy.

Bahkan ia juga melihat tren baru yang bakal muncul akibat pandemi, yakni perusahaan non-logistik masuk ke sektor logistik. Blue Bird merupakan salah satu yang sudah melakukannya.

Perusahaan melakukan manuver ke logistik sejak kuartal II 2020 yang diperkuat dengan dukungan aset armadanya. Blue Bird juga mulai memperluas cakupan layanan logistiknya dengan menggandeng Paxel untuk pengiriman paket berukuran besar dengan layanan same day delivery.

“Kami menggunakan armada existing jadi secara cost [efisien]. Intinya, kami ingin berkontribusi pada layanan logistik di masa pandemi, terutama soal higienis yang kami terapkan sesuai standar kami,” ungkap Chief Strategy Officer Blue Bird Paul Soegianto kepada DailySocial.

Zaldy juga mencontohkan bagaimana tantangan ini bakal dihadapi oleh PT Pos Indonesia. Ia menilai infrastruktur yang dimiliki sudah tidak memungkinkan untuk mengejar ketertinggalan dengan penyedia jasa logistik, SiCepat misalnya.

“Akan tetapi, [model seperti] PT Pos Indonesia bisa memanfaatkan infrastruktur dari platform lain, seperti Anteraja. Artinya, first mile dan middle mile bisa saling berkolaborasi, sedangkan kompetisinya ada di last mile,” tambahnya.

Dampak merger Gojek dan Tokopedia terhadap industri logistik

Keenam, ia memperkirakan rencana merger Gojek dan Tokopedia dapat memberikan dampak besar terhadap industri logistik Indonesia. Dan, menurutnya yang bakal terdampak signifikan adalah perusahaan logistik konvensional.

“Merger keduanya bakal membuat perusahaan legacy ‘berkeringat’. Kenapa? Susah membuat perusahaan legacy untuk mengubah model bisnis bisnis, apalagi yang sudah memiliki ribuan armada kurir dan hub. Kecuali mereka punya sistem IT atau teknologi yang bagus, ini bakal sulit. Blue Bird itu satu contoh perusahaan legacy yang sistemnya sudah siap. Pertanyaannya adalah apa mereka sudah mengerjakan ‘PR’-nya?” ucap Zaldy.

Dalam artikel terpisah, Founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya beropini bahwa merger keduanya dapat memberikan dampak besar bagi konsumen dan industri. Dikatakan Rama, kawin silang produk yang saling melengkapi akan menjadi sangat fantastis bagi konsumen. Terlebih, keduanya telah memiliki infrastruktur e-commerce, transportasi, hingga keuangan yang terintegrasi dalam satu aplikasi.

“Saat ini, kita sudah menikmati sistem pengiriman di hari yang sama.
Integrasi antara Gojek dan Tokopedia dapat menciptakan sesuatu yang lebih mengunggah, misalnya pengiriman instan ala Amazon Prime dalam hitungan jam, membantu mendorong transaksi ecommerce, hingga meningkatkan utilisasi pengemudi sehingga lebih ekonomis sebagai bisnis,” paparnya.

RestockID Bidik Penyaluran Pinjaman Rp600 Miliar, Jajaki Penggalangan Dana Pra-Seri A di 2021

Platform pembiayaan digital RestockID membidik penyaluran kredit sebesar Rp600 miliar di 2021. Untuk mencapai target tersebut, mereka akan memperkuat peluang kemitraan penyaluran kredit dengan berbagai jenis institusi, seperti bank dan multifinance.

Co-Founder & CEO RestockID M. Farid Andika mengatakan bahwa pihaknya akan menjalin kerja sama baru, baik dari sisi lender maupun penyedia teknologi di ekosistem e-commerce yang melayani pasar UMKM.

“Visi kami adalah menjadi rekan finansial UMKM. Dengan kerja sama dengan berbagai pihak, kami berharap dapat terjalin kepercayaan berbasis data sehingga dapat membantu percepatan pertumbuhan UMKM di Indonesia,” ungkapnya kepada DailySocial.

Terlebih tak sedikit pelaku usaha dalam negeri yang terdampak signifikan akibat pandemi Covid-19. Situasi ini memang dianggap sebagai tantangan, tetapi dapat menjadi peluang bagi UMKM untuk meningkatkan usahanya. Menurut Farid, situasi ini dapat menjadi momentum bagi masyarakat untuk beradaptasi memasarkan produk lewat digital.

Sebelumnya pada November 2020, RestockID telah menyepakati kerja sama dengan Bank Agro sebagai salah satu mitra penyaluran kredit (institutional lender). Diungkap Farid, BRI Agro yang ditunjuk induk usahanya BRI sebagai digital attacker, juga menjadi rekanan RestockID untuk bersinergi mengembangkan produk bersama ke depan.

Sebagaimana diketahui, RestockID merupakan platform P2P lending yang menyediakan akses pembiayaan terhadap UMKM dengan skema aset dan inventori usaha sebagai jaminan tambahan dalam proses pembiayaannya.

Credit scoring dan mekanisme

Dalam memberikan akses pembiayaan, startup yang berdiri di 2019 ini masih fokus membidik pelaku usaha di sektor ritel online dan FMCG. Hal ini sejalan dengan karakteristik bisnis di industri ini; aset atau inventori merupakan faktor utama yang menentukan pertumbuhan usaha mereka.

RestockID memiliki mekanisme yang disesuaikan dengan skema bisnis yang dipakainya. Untuk menentukan kelayakan calon peminjam, perusahaan melakukan validasi dengan mengacu pada laporan keuangan dan data perputaran barang. Tujuannya tak lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih tepat mengenai usaha terkait.

“Beberapa industri memiliki sifat atau rasio yang berbeda antara satu sama lain. Hal tersebut menjadi basis penilaian kelayakan kami bagi para calon peminjam. Secara umum, batas pinjaman yang kami berikan berkisar dari 25%-80% dari nilai total jaminan barang yang kami terima,” jelasnya.

Sementara itu, untuk mengetahui data aset dan inventori peminjam secara real-time, RestockID bermitra dengan sejumlah penyedia jasa warehouse dan fullfilment, seperti Shipper dan Haistar. Perusahaan juga bermitra dengan penyedia teknologi atau ecommerce untuk membantu digitalisasi UMKM.

“Para mitra kami telah memiliki sistem berbasis cloud yang memungkinkan kami memantau pergerakan inventori peminjam secara real-time sehingga risiko gagal bayar dapat kami mitigasi lebih cepat, bahkan sebelum kegagalan tersebut terjadi,” kata Farid.

Menurut Farid, RestockID memiliki keunggulan karena diperkuat oleh tim dengan latar belakang karier di perbankan dan e-commerce. Hal ini dinilai dapat membantu perusahaan memahami masalah yang dihadapi UMKM dalam mengembangkan usahanya melalui kanal digital.

“Kami memosisikan diri bukan hanya sebagai platform pembiayaan, tetapi juga sebagai rekan belajar dan diskusi dalam membuat keputusan usaha, di mana sebagian besar dapat berdampak terhadap finansial usaha mereka,” papar Farid.

Hingga saat ini (year-to-date), RestockID menyalurkan pembiayaan dengan akumulasi sebesar Rp176,3 miliar dengan pembiayaan lunas sebesar Rp98,1 miliar. Sementara di 2021, perusahaan baru menyalurkan Rp25,9 miliar. Total borrower mencapai 51 dan lender 19.

Target penggalangan dana pra-seri A

Dihubungi secara terpisah, Co-founder RestockID Rega Sardjono mengungkapkan bahwa pihaknya tengah melakukan penjajakan untuk penggalangan dana pra-seri A. Sebelumnya, perusahaan telah mengantongi pendanaan seed sebesar $750 ribu dari investor lokal yang tidak dapat disebutkan namanya.

“Sekarang, kami lagi roadshow untuk [penggalangan dana] pra-seri A. Kami mainly mencari pendanaan dari VC. I think not leaning towards private equity yet just because of the matter of size,” ungkap Rega.  

Bahkan, pihaknya juga tengah berdiskusi dengan BRI Ventures meskipun masih dalam fase awal. Rega menargetkan closing pendanaan baru ini dapat terealisasi di kuartal kedua 2021. “Saat ini, kami sedang proses due diligence dengan satu VC dari luar negeri dan tengah mencari co-investor.”