Grab Akuisisi Saham OVO dari Tokopedia dan Lippo, Kini Kuasai Sekitar 90% Kepemilikan

Bertujuan untuk memperkuat posisi dan bersaing dengan kompetitornya di layanan finansial, Grab Holdings Inc. meningkatkan kepemilikannya atas OVO menjadi sekitar 90% dengan mengakuisisi saham dari Tokopedia dan Lippo Group.

“Kami menyambut baik komitmen yang lebih besar dari Grab di OVO. Kami sedang bekerja dan melakukan konsultasi dengan regulator untuk menyelesaikan proses restrukturisasi kepemilikan, dan yakin ini akan memungkinkan kami untuk melayani kebutuhan layanan keuangan masyarakat Indonesia dengan lebih baik,” ujar perwakilan OVO.

Sebelum proses akuisisi ini, PT Visionet Internasional [OVO] merupakan bagian dari PT Bumi Cakrawala Perkasa (BCP – OVO Group). Adapun menurut laporan MomentumWorks, BCP per Mei 2019 sahamnya dimiliki Grab (GP Network Asia) dengan persentase 41%; Tokopedia (PT Digital Investindo Jaya) 38%; Lippo Group (PT Inti Anugrah Pratama) 10%; dan Tokyo Century Corporation 8%.

Sejauh ini OVO memang telah menjadi opsi pembayaran utama di Grab. Akuisisi ini tentu berpotensi memperdalam sinergi. Sebagai informasi, dalam OVO Group juga terdapat beberapa layanan finansial lain, baik dari proses akuisisi [Bareksa dan Taralite] dan kerja sama strategis seperti layanan insurtech yang didirikan bersama ZA Tech [anak perusahaan ZhongAn Online P&C Insurance].

Kompetisi aplikasi pembayaran

Di Indonesia, kompetisi layanan e-money cukup ketat. Gopay saat ini berpotensi untuk menjadi sistem pembayaran utama di holding GoTo — sebelumnya OVO menjadi opsi pembayaran utama di Tokopedia. Integrasi Gopay ke Tokopedia semakin mendalam, belum lama ini mereka mengusung layanan Gopaylater ke raksasa online marketplace tersebut.

Sementara Shopeepay dan SPayLater hadir sebagai pemain baru; dengan ekosistem pengguna Shopee yang besar, layanan ini tergolong sangat cepat melakukan penetrasi. Beberapa survei menempatkan sebagai top e-money saat ini di Indonesia. Salah satunya dari hasil studi Ipsos Indonesia pada akhir 2020; dengan menitikberatkan pada tingkat kepuasan responden, ShopeePay mendapatkan peringkat pertama dengan skor 82%. Angka itu jauh melebihi pemain lain seperti Ovo (77%), Gopay (71%), Dana (69%), dan LinkAja (67%).

Belum lagi saat berbicara pemain lain, seperti DANA yang kini fokus menjadi super e-wallet untuk berbagai kebutuhan finansial seperti transfer bank, pengelolaan rekening bank dll; LinkAja yang semakin mendalam penetrasinya ke pasar O2O; hingga pemain-pemain lain yang memiliki skala yang lebih kecil dengan fokus spesifik, misalnya AstraPay di ekosistem Astra Group dan MotionPay di MNC Group.

Mengakomodasi UMKM

Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra mengungkapkan, saat ini lebih dari 1 juta pelaku UMKM telah menjadi merchant OVO dan menerima pembayaran digital melalui QRIS.

“Selain berkomitmen untuk merangkul lebih banyak pelaku usaha, masuk ke ekosistem digital nasional, OVO terus berupaya menghadirkan kesempatan bagi pelaku UMKM untuk mengembangkan bisnis mereka, melalui pendalaman literasi keuangan digital yang secara khusus menyasar para wirausahawan
Indonesia.”

Survei CORE Indonesia menunjukkan, saat pandemi 10% populasi merchant OVO berhasil mempertahankan pendapatan bulanan dan 5% pelaku UMKM mengalami peningkatan pendapatan bulanan. Saat ini OVO telah hadir di lebih dari 430 kota dan kabupaten.

Dalam survei tersebut juga terungkap, setelah bergabung dengan OVO, 71% pelaku UMKM melakukan pencatatan transaksi penjualan lebih teratur dan menerima transaksi pembayaran digital, 68% memiliki akses lebih luas terhadap layanan keuangan, dan 51% mengaku lebih memahami penggunaan teknologi untuk mempertahankan usaha.

Strategi serupa, dengan merekrut UMKM untuk menjadi tenant di ekosistem, juga menjadi standar layanan pembayaran lainnya saat ini. Seperti yang dilakukan LinkAja dengan menggandeng penjual di berbagai pasar tradisional. Namun sebenarnya dengan adanya QRIS, pemilik UMKM bisa menyuguhkan sistem pembayaran yang lebih umum. Pasalnya satu kode QR yang dipampang, bisa digunakan untuk menerima pembayaran dari berbagai jenis aplikasi e-money.

Pertajam integrasi layanan

Untuk memperluas jangkauan penggunaan, OVO juga terus memperluas kemitraan dengan mitra strategis. Dari daftar yang disampaikan, saat ini OVO diklaim sudah terintegrasi ke berbagai sistem seperti ditampilkan pada gambar di bawah ini.

Integrasi layanan OVO di merchant online dan offline / OVO
Integrasi layanan OVO di merchant online dan offline / OVO

Namun saat kami periksa, di Google Play, App Store, dan Netflix sampai saat ini (04/10) belum ada opsi pembayaran dengan OVO. Kemungkinan sedang tahap penjajakan atau proses integrasi layanan, dan akan hadir beberapa waktu mendatang. Jika proses tersebut selesai, OVO akan menemani fintech pembayaran lokal lain seperti Gopay, Shopeepay, DANA, dan DOKU yang sudah terlebih dulu menjadi opsi untuk pembayaran di lokapasar aplikasi.

“Sejak awal kehadirannya sendiri, OVO telah menerapkan strategi ekosistem terbuka, di mana kami memberikan keleluasaan bagi OVO untuk bisa bekerja sama atau berkolaborasi dengan lini industri mana pun yang berkaitan dengan layanan kami,” kata Head of Corporate Communications OVO Harumi Supit kepada DailySocial.id.

Application Information Will Show Up Here

Ajaib Resmi Sandang Status “Unicorn”

Platform wealthtech Ajaib mengonfirmasi status barunya sebagai unicorn berikutnya dari Indonesia, setelah menutup putaran seri B sebesar $153 juta (lebih dari 2,1 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh DST Global. Nilai ini sedikit lebih besar dari yang dirumorkan pada akhir September. Pendanaan ini membawa jumlah total yang dikumpulkan Ajaib menjadi $243 juta.

Diterangkan lebih jauh, dalam putaran seri B ini diikuti oleh investor terdahulu, yakni Alpha JWC Ventures, Ribbit Capital, Horizons Ventures, Insignia Ventures, dan SoftBank Ventures Asia.

DST Global dan Ribbit Capital adalah investor dari Robinhood, platform sejenis dari Amerika Serikat. Sering disandikannya Ajaib dengan Robinhood membuktikan bahwa kemajuan kapabilitas teknologi dan pasar modal di Indonesia mampu bersaing dengan pasar global.

Co-founder & CEO Ajaib Group Anderson Sumarli mengatakan Ajaib akan menggunakan dana segar ini untuk merekrut besar-besaran talenta terbaik dan melakukan kampanye edukasi untuk menginspirasi lebih banyak investor pemula.

“Misi kami adalah untuk menyambut investor generasi baru ke layanan keuangan modern. Indonesia masih memiliki penetrasi investor saham sebesar 1% dan perjalanan kami masih panjang untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan inklusi dan literasi keuangan di Indonesia,” ujar Anderson dalam keterangan resmi, Senin (4/10).

Perusahaan saat ini telah memiliki 1 juta investor ritel saham, sejak pertama kali berdiri dua setengah tahun lalu. Pencapaian ini sangat pesat lantaran di Indonesia baru memiliki 2,7 juta investor saham. “Pertumbuhan jumlah investor ritel saham di Indonesia belum pernah secepat ini dalam sejarah Indonesia, sehingga hal itu tentu merupakan langkah awal untuk membangun kekuatan investor generasi muda Indonesia yang dapat mengubah masa depan bangsa.”

General Partner di Alpha JWC Ventures Chandra Tjan menuturkan, keberhasilan Ajaib merupakan bukti nyata pertumbuhan dan kekuatan teknologi dan pasar modal Indonesia. “Sebagai orang Indonesia, kami sangat bangga dapat ikut serta dalam membangun ekosistem digital Tanah Air, serta membawa dampak nyata bagi kehidupan sehari-hari masyarakat,” ujar Chandra.

Managing Partner DST Global Thomas Stafford menambahkan, “Ajaib telah membangun produk kelas dunia dengan menggunakan teknologi modern untuk melayani generasi muda Indonesia dalam memasuki pasar modal. Kami sangat bangga dapat berjalan bersama Ajaib dalam misi mereka untuk mendemokratisasikan akses investasi untuk semua.”

Dalam kesempatan yang sama, pada bulan lalu Ajaib turut mengumumkan pengangkatan Andi Gani Nena Wea, salah satu Komisaris Utama BUMN, sebagai Komisaris Utama Ajaib.

Seperti diketahui, menurut hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2020, tingkat literasi keuangan di pasar modal masih relatif rendah yaitu 4,9% dan tingkat inklusi hanya 1,6%. Perusahaan selama ini berkomitmen untuk memberikan edukasi keuangan terutama dalam bidang investasi melalui Program Generasi Saham yang telah dilakukan bersama BEI di berbagai daerah dengan literasi keuangan rendah.

Hingga saat ini, program tersebut sudah menjangkau 26 kota, dari ibukota hingga Papua. Selain itu, Ajaib juga melakukan edukasi secara daring setiap harinya sebagai bentuk komitmen Ajaib dalam meningkatkan inklusi dan literasi keuangan, terutama untuk pasar modal.

Daftar perusahaan unicorn dari Indonesia

Pihak Ajaib menyatakan dirinya sebagai unicorn ke-7 dari Indonesia. Meski begitu, dalam catatan DailySocial.id, sejauh ini ada 12 startup yang terkonfirmasi sebagai unicorn. Mereka adalah:

Perusahaan Est. Valuasi
Gojek-Tokopedia $18 miliar
Traveloka ~$3 miliar
Bukalapak $6 miliar
OVO ~$2,9 miliar
JD.id (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Blibli (dikonfirmasi perusahaan) undisclosed
Tiket.com (dikonfirmasi perusahaan) ~$1 miliar
J&T ~$7,8 miliar
Kredivo* $2,5 miliar
Xendit ~$1 miliar
Ajaib ~$1 miliar

*dengan asumsi telah menyelesaikan proses merger untuk selanjutnya go-public via SPAC

Application Information Will Show Up Here

Ula Raih Pendanaan Seri B 1,24 Triliun Rupiah, Segera Rilis Produk Paylater untuk Warung

Ula berhasil mengumpulkan pendanaan seri B sebesar $87 juta (sekitar 1,24 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh Prosus Ventures, Tencent, dan B-Capital. Putaran ini turut diikuti oleh partisipasi Bezos Expeditions, VC besutan pendiri Amazon Jeff Bezos; beserta investor terkemuka lainnya, yakni Northstar Group, AC Ventures, dan Citius.

Investor Ula terdahulu, seperti Lighstpeed India, Sequoia Capital India, Quona Capital, dan Alter Global, turut berpartisipasi kembali pada putaran kali ini. Dalam kesempatan ini, Ula sekaligus mengumumkan Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir diangkat menjadi penasihat perusahaan.

Pendanaan ini diumumkan berselang delapan bulan setelah pendanaan seri A di awal Januari ini. Bila diakumulasi, perusahaan telah memperoleh pendanaan sebanyak $117,5 juta dalam 20 bulan sejak pendiriannya.

Perusahaan akan memanfaatkan pendanaan untuk memperbesar cakupan area geografi dan tim, untuk mewujudkan visinya dalam pemberdayaan industri ritel tradisional di Indonesia. Di antaranya merilis kategori baru, pengembangan layanan paylater, pembangunan teknologi baru, infrastruktur logistik, dan rantai pasokan lokal.

Co-founder & Chief Commercial Officer Ula Derry Sakti menyampaikan solusi BNPL ini dihadirkan karena Ula telah memiliki 70 ribu warung yang bertransaksi melalui platform-nya, basis data tersebut menjadi bekal untuk melakukan skoring kredit sebelum menyalurkan pinjaman.

Diklaim perusahaan telah tumbuh 230 kali lipat, menawarkan lebih dari 6 ribu produk. Mayoritas pengguna Ula berasal dari kota lapis dua hingga empat yang masih kekurangan akses terhadap sumber daya dan infrastruktur logistik.

Seperti diketahui, ritel tradisional memiliki keterbatasan dalam mengakses produk perbankan, padahal mereka sangat bergantung pada pemasukan harian, hal ini membuat pilihan pembayaran paylater kepada supplier memiliki manfaat yang luar biasa bagi warung.

“Dengan Ula, mereka tidak perlu lagi khawatir tentang pembelian barang, ketersediaan produk, atau bahkan pembayaran, yang tentunya akan memberikan mereka waktu lebih banyak untuk fokus kepada hal lain yang lebih penting. Melihat secara langsung dampak yang telah Ula berikan pada kehidupan pelanggan tentunya menggerakkan tim kami untuk terus maju,” tuturnya dalam keterangan resmi, Senin (4/10).

Co-founder & Chief Operating Officer Ula Riky Tenggara menambahkan, “Memecahkan kompleksitas masalah rantai pasokan di Indonesia merupakan sebuah upaya yang sangat menantang dan berdampak. Sebagai perusahaan yang dibangun dari sebuah komunitas, kami tidak dapat meremehkan pentingnya memberikan layanan yang selalu dapat diandalkan oleh pelanggan kami, khususnya layanan yang dapat memberikan perbedaan yang nyata bagi kehidupan mereka.”

Investor Ula, AC Ventures dan Northstar, turut memberikan pernyataannya. Mereka menyatakan bahwa mereka memiliki kesamaan misi mengenai pentingnya pemberdayaan UMKM Indonesia melalui teknologi. Pasalnya, UMKM berkontribusi lebih dari 60% terhadap PDB Indonesia dan menjadi tulang punggung ekonomi negara.

“Ula menyediakan pengadaan dan sistem operasional yang lebih efisien, dan pada akhirnya membuka akses akan pemenuhan kredit yang sangat dibutuhkan untuk memperluas skala bisnis UMKM,” ujar Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Aplikasi Ula memungkinkan pemilik warung untuk memesan berbagai macam produk dan mengirimkannya langsung ke toko mereka. Dengan konsep yang sederhana, Ula mencoba fokus pada kebutuhan pelanggan daripada menambahkan fitur yang tidak perlu, untuk memastikan pengalaman terbaik. Aplikasi ini diklaim lebih ringan, cocok untuk lingkungan koneksi rendah dan perangkat paling dasar, serta memastikan tidak memakan terlalu banyak ruang di ponsel mereka.

Potensi digitalisasi warung

Solusi layanan tersebut menyelesaikan isu yang sangat fundamental. Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial perbankan (unbankable) – sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses layanan digital transaksional secara langsung. Jumlah tersebut sangat besar, bahkan lebih besar dari total penduduk negara-negara di Asia Tenggara kecuali Filipina.

Warung adalah sistem bisnis yang paling menjangkau – tempat ekonomi mikro di berbagai penjuru Indonesia berputar. Menurut data Sensus Ekonomi 2016 yang dirilis BPS, dari 26,4 juta unit Usaha Mikro Kecil (UMK) & Usaha Menengah Besar (UMB), sebanyak 46,38% masuk dalam kategori “Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor” – warung masuk di sana. Jumlah ini sekaligus menjadi yang paling besar di antara jenis usaha lain yang ada di Indonesia.

Dalam wawancara dengan DailySocial.id, Co-Founder Ula Nipun Mehra menjelaskan analisisnya mengapa startupnya mantap merambah sektor ini. Menurutnya, ritel tradisional seperti warung adalah pilar utama ekonomi Indonesia. “Ini adalah backbone dari ekonomi konsumsi, sekaligus mempekerjakan jutaan orang. Peritel tradisional tergolong cost-effective dan memiliki pengetahuan mendalam mengenai pasar lokal. Namun, sektor ini adalah bagian paling rentan dari value chain karena mereka biasanya bekerja secara individual dengan skala kecil,” ujarnya.

Diversifikasi yang coba dihadirkan adalah efisiensi sumber daya dan permodalan dengan menghadirkan sistem doorstep (pengiriman produk secara langsung) yang hemat biaya. Selain menghubungkan peritel dengan penyedia stok produk FMCG, mereka juga akan memperluas cakupan produk di kategori busana.

Application Information Will Show Up Here

Finansialku Luncurkan Ulang Situs Web, Utamakan Peningkatan Literasi Keuangan

Startup perencanaan keuangan Finansialku memperkenalkan kembali tampilan situs dengan tambahan fitur yang memiliki objektif utama meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Seperti diketahui, berdasarkan survei OJK, tingkat literasi masyarakat pada tahun lalu sebesar 40% dan indeks inklusi sebesar 61,7%.

“Visi kami dari 2016 adalah selalu fokus ingin bantu masyarakat Indonesia mewujudkan tujuan keuangan dengan perencanaan, inklusi, dan literasi keuangan. Situs Finansialku menjadi bagian dari visi tersebut,” ucap Founder Finansialku Melvin Mumpuni dalam konferensi pers virtual, Kamis (30/9).

Founder Finansialku Melvin Mumpuni / Finansialku

Dalam paparannya, ada tiga fitur baru yang dihadirkan dalam situs Finansialku. Pertama, Web Stories yang berisi storytelling keuangan berdasarkan kisah nyata dengan persetujuan klien Finansialku sebelum naik tayang. Cerita yang diangkat dalam fitur ini difokuskan pada topik yang relevan, berempati, dan dilengkapi dengan solusi.

Berikutnya, artikel Financial Planning dan Analisis Investasi berbasis riset. Penulisan artikel dan analisis ini ditulis oleh perencana keuangan Finansialku yang berkompeten, berpengalaman, berorientasi pada klien, dan objektif. Fitur ini juga dapat membantu investor dengan tampilan data-data IHSG dan kurs terkini setiap minggunya.

Terakhir, Panduan Belajar atau Guide yang berisi langkah-langkah perencanaan keuangan. Fitur ketiga ini dapat membantu pembaca untuk merencanakan keuangan dari nol. Panduan cara menambah pemasukan dan investasi juga turut disediakan dalam fitur ini. “Seluruh fitur ini semuanya dapat diakses secara gratis oleh pembaca,” tambahnya.

Melengkapi keberadaan aplikasi

Selain memiliki situs, Finansialku juga memiliki aplikasi perencanaan keuangan yang sudah diluncurkan sejak 2017. Menurut Melvin, kedua produk ini saling melengkapi tujuan Finansialku yang ingin meningkatkan literasi keuangan. Situs lebih mengarah pada informasi-informasi yang dibutuhkan untuk pemula.

“Sementara, dalam perencanaan keuangan itu tidak hanya literasi yang dibutuhkan, tetapi praktiknya. Aplikasi mengakomodasi kebutuhan tersebut karena dilengkapi dengan tools yang lengkap.”

Aplikasi Finansialku ini memiliki fitur premium yang mewajibkan pengguna perlu membayar biaya berlangganan sebesar Rp350 ribu per tahun atau Rp35 ribu per bulan. Menurut Melvin, biaya ini dikenakan karena bagian dari komitmen perusahaan dalam melindungi data nasabah dengan standar internasional.

Saat ini Finansialku sudah tersertifikasi ISO 27001: 2013 terkait keamanan dan kerahasiaan data. Perusahaan telah tercatat sebagai Certified Financial Planner, juga tercatat sebagai penyelenggara IKD di OJK, dan menjadi anggota dari Asosiasi Fintech Indonesia.

Perusahaan juga memiliki channel monetisasi lainnya, yakni menyediakan jasa konsultasi dengan tenaga perencana keuangannya. Diklaim perusahaan telah melayani hampir ribuan klien, tak hanya dari individu maupun korporasi.

Melvin menargetkan relaunch situs ini dapat mendongkrak tingkat kunjungan situs antara 9-10 juta kunjungan dalam setahun. Adapun untuk pengguna aplikasi diklaim telah mencapai lebih dari 350 ribu orang dan diharapkan dapat meningkat jadi 500 ribu orang hingga akhir tahun ini.

Dalam waktu dekat, perusahaan berencana untuk menambah fitur pencatatan keuangan dari berbagai bank terangkum ke dalam aplikasi Finansialku. “Fitur ini akan segera kami rilis pada November 2021 mendatang,” pungkasnya.

Lima pemain tercatat di IKD OJK

Finansialku menjadi salah satu dari lima penyelenggara IKD yang tercatat di OJK di cluster financial planner per Juni 2021. Empat pemain lainnya adalah Arkana Finance, Halofina, Fundtastic, PayOk, dan Savio. Belum ada pemain yang sudah mengantongi status berizin.

Menurut terminologi OJK, Financial Planner adalah sebuah platform yang membantu individu dalam merencanakan keuangan, memberikan advise terkait pilihan produk investasi yang ditawarkan oleh LJK yang terdaftar dan/atau berizin dan diawasi OJK sesuai risk profile masing-masing individu untuk tercapainya sebuah tujuan tertentu.

Sumber OJK
Application Information Will Show Up Here

East Ventures Suntik Pendanaan Tahap Awal 15,8 Miliar Rupiah untuk Luwjistik

Startup e-logistics berbasis di Singapura “Luwjistik” memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $1,1 juta (sekitar 15,8 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari Arise — fund hasil kolaborasi MDI Ventures-Finch, dan Global Founders Capital. Perusahaan akan menggunakan dana untuk mengembangkan tim lokal dan regionalnya di Singapura, Indonesia, dan Malaysia; menyempurnakan platform sembari terus perluas jangkauan.

Luwjistik masih berumur sebatang jagung, didirikan pada Juli 2021 oleh veteran logistik dan e-commerce, Syed Ali Ridha Madihid, dan Wong Yingming. Visinya mengembangkan infrastruktur logistik dan jangkauan regional kliennya secara instan melalui akses langsung menuju mitra jaringan global. Sembari memungkinkan mereka mendapatkan manfaat dari alur kerja yang terstandardisasi demi transparansi dan kemudahan.

Menurut Co-founder & CEO Luwjistik Syed Ali Ridha Madihid, solusi ini hadir karena ledakan e-commerce yang didorong oleh pandemi mengakibatkan naiknya tekanan pada perusahaan logistik dalam memperluas operasi mereka. “Sebagian besar orang tidak dapat melakukan perjalanan untuk membangun jaringan dan hubungan di lapangan. Banyak orang juga mengandalkan proses lama, dan tidak mampu membangun kemampuan teknologi mereka dengan cukup cepat untuk memenuhi permintaan,” ucapnya, Kamis (30/9).

Melalui platform Luwjistik, para klien cukup melakukan integrasi API tunggal untuk menjembatani diri mereka menuju mitra pilihan, dan mengikuti transaksi hingga selesai. Sebanyak hampir 30 mitra jaringan di Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Thailand telah terhubung dengan Luwjistik. Beberapa di antaranya adalah Ninja Van, J&T Express, dan JNE Express. Adapun klien yang telah memanfaatkan platform Luwjistik, di antaranya DHL eCommerce dan YCH Group Pte Ltd.

Madihid menuturkan, ada tiga nilai unggul yang ditawarkan. Pertama, dari sisi kelancaran, klien akan mendapat akses langsung menuju mitra jaringan di seluruh Asia Tenggara yang mencakup prosedur penerimaan barang impor dan pengiriman di titik terdekat, baik secara domestik maupun regional. Mereka dapat memilih penyedia jasa yang paling sesuai dengan kebutuhan.

Kedua, dari sisi standardisasi, yang mana dokumentasi, alur kerja, dan transparansi biaya dapat klien navigasi pergerakan lintas batasnya dengan mudah. Terakhir, dengan integrasi API tunggal, menjadi penggunaan platform yang cepat dan sederhana, sehingga memungkinkan pengelolaan data yang cepat, pemesanan langsung, penandatanganan kontrak, berbagi dokumen, hingga pemrosesan pembayaran, semuanya terjadi di dalam platform.

Menurut Madihid, apa yang mereka lakukan di sini adalah menggabungkan teknologi dan pengetahuan yang telah dibangun selama bertahun-tahun bekerja di sektor ini untuk menghubungkan titik-titik di seluruh supply chain. Pada akhirnya, akan membantu klien melakukan navigasi lintas batas dan menghadapi tantangan domestik, terutama di wilayah yang berkembang pesat, namun sangat terfragmentasi.

“Pada akhirnya, saat sektor logistik perlu segera ditingkatkan dan didigitalkan untuk memenuhi permintaan, Luwjistik menyediakan solusi teknologi yang cepat, efisien, dan aman, yang akan membantu mereka untuk tumbuh,” pungkasnya.

Ramaikan pendanaan sektor logistik

Sebelum East Ventures mengumumkan pendanaannya untuk Luwjistik, beberapa pekan sebelumnya juga telah berinvestasi untuk startup e-logistics lainnya, yakni McEasy. Segmen ini termasuk sangat bergairah di tengah pandemi karena perannya yang krusial dalam menyokong pertumbuhan industri e-commerce.

Sejak awal tahun 2019 hingga Juli 2021, tim riset DailySocial.id mencatat ada sekitar 16 transaksi pendanaan yang diumumkan melibatkan perusahaan logistik berbasis teknologi. Investasi ini berhasil membukukan total nilai dana $586 juta. Setidaknya ada 4 startup logistik yang memiliki valuasi di atas $100 juta, yaitu SiCepat, Waresix, Shipper, dan GudangAda.

Perusahaan Putaran Tahun
ASSA (induk AnterAja) Convertible Bond 2021
Andalin Series A 2021
Deliveree Series A 2017
Finfleet Series A 2019
GudangAda Series A

Series B

2020

2021

Kargo Technologies Seed Funding

Series A

2019

2020

Logisly Series A 2020
Pakde Seed Funding 2018
Ritase Series A 2019
Shipper Seed Funding

Series A

Series B

2019

2020

2021

SiCepat Series B 2021
Triplogic Seed Funding 2019
Waresix Seed Funding

Pre-Series A

Series A

Series A+

Series B

2018

2018

2019

2020

2020

Webtrace Seed Funding 2020

Bizhare Meluncurkan Aplikasi Mobile, Bidik Pertumbuhan Pengguna dan Investasi Berulang

Platform securities crowdfunding Bizhare resmi meluncurkan aplikasi mobile miliknya. Dengan kehadiran aplikasi ini, mereka membidik pertumbuhan investornya sebesar 5-10 kali lipat.

Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent mengatakan, Bizhare telah mengantongi traksi dan tingkat investasi berulang yang baik sejak pertama kali berdiri. Aplikasi ini diharapkan dapat terus menjaga tren investasi berulang tersebut. Mereka juga mengatakan ada kebutuhan pendanaan pada 1.200 calon penerbit bisnis UKM sebesar Rp100 triliun dan Rp2,4 triliun kebutuhan pendanaan calon penerbit khusus bisnis berbasis syariah.

“Pertumbuhan penerbit dan calon penerbit Bizhare mendorong kami mengembangkan sistem lebih baik lagi lewat aplikasi. Kami harap inovasi ini dapat memudahkan proses pendanaan bisnis, terlebih minat investasi di usia produktif sedang meningkat di mana 80% di antaranya mengakses mobile,” ungkapnya saat konferensi pers virtual pekan lalu.

Berdiri sejak 2017, Bizhare menawarkan instrumen investasi lengkap mulai dari saham, obligasi, hingga sukuk. Profil pengguna Bizhare juga berasal dari beragam sektor bisnis, yaitu F&B (41,8%), ritel (29,1%), agrikultur (18,2%), dan jasa (9,1%).

Berdasarkan data perusahaan, Bizhare mencatat pertumbuhan investor aktif sebesar 346% dan 166% untuk investor terdaftar. Total omzet yang dihasilkan penerbit UMKM di Bizhare mencapai Rp82 miliar, dengan total dividen sebesar Rp5,4 miliar dividen. Adapun, total investasi di Bizhare mencapai Rp50,6 miliar dari 73.400 investor kepada 57 penerbit.

Dari survei internal yang dilakukannya, CTO Bizhare Giovanni Umboh mengatakan, investor Bizhare lebih banyak mengakses mobile web (79,5%), sedangkan sisanya memakai perangkat dekstop (20,5%). “Sebelum memutuskan upgrade menjadi aplikasi, pertumbuhan investor kami di 2018 sangat signifikan. Maka itu, kami coba mengembangkan aplikasi demi meningkatkan kualitas layanan, fitur, dan keamanan pengguna Bizhare,” tambahnya.

Potensi securities crowdfunding

Hadir dalam kesempatan sama, Managing Director Plug & Play Indonesia Wesley Harjono mengatakan pasar securities crowdfunding di Indonesia dapat dikembangkan lebih besar agar industri fintech tak hanya terpusat pada layanan peer-to-peer (P2P) lending saja.

“Saya melihat banyak potensi dari para founder di Indonesia dalam merealisasikan mindset dan komitmen mereka. Saya pikir securities crowdfunding punya potensi besar, apalagi industri dan inovasinya masih terbilang baru. Regulator pun sangat memberikan dukungan,” ujarnya

Secara umum, pasar SCF di Indonesia masih terlampau jauh dengan P2P lending. Total penyaluran P2P per 31 Juli 2021 mencapai Rp236,47 triliun dengan jumlah lender 709.000 dan jumlah borrower sebanyak 66,7 juta. Adapun, total P2P legal yang terdaftar maupun berizin di OJK sebanyak 124 perusahaan.

Sementara, OJK mencatat total dana yang dihimpun dari securities crowdfunding per 23 Juli 2021 baru sebesar Rp313,56 miliar. Jumlah penyelenggara yang sudah terdaftar maupun mengantongi izin usaha dari OJK masih terhitung jari, antara lain PT Dana Saham Bersama (Dana Saham), PT Santara Daya Inspiratama (Santara), PT Investasi Digital Nusantara (Bizhare), PT Numec Teknologi Indonesia (LandX), PT Crowddana Teknologi Indonusa (Crowddana).

Platform Penerbit Investor Dana Dihimpun
Santara 89 23.445 Rp149,7 miliar
Dana Saham 37 N/A N/A
LandX 15 5.200 Rp84 miliar
Crowddana 9 3.249 Rp35,7 miliar

Mengutip Bisnis.com, Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2B OJK Ona Retnesti Swaminingrum sebelumnya mengungkap bahwa pasar semakin antusias terhadap skema penawaran efek lewat layanan urun dana berbasis teknologi atau securities crowdfunding (SCF). Menurutnya, respon positif pasar sejalan dengan diri

Antusiasme ini sejalan dengan dirilisnya peraturan baru terkait SCF karena kini bisa memperluas akses permodalan ke sektor UKM. Peraturan ini juga memperluas jenis efek yang ditawarkan lewat crowdfunding, tak cuma efek saham, ada efek bersifat surat utang dan sukuk (EBUS).

Application Information Will Show Up Here

MDI Ventures dan Sejumlah Investor Berikan Pendanaan 1,79 Triliun Rupiah ke Kredivo Melalui PIPE

FinAccel selaku induk usaha Kredivo kembali memperoleh investasi sebesar $125 juta atau 1,79 triliun Rupiah dari MDI Ventures, Cathay Innovation, dan Endeavour Catalyst melalui Private Investment in Public Equity (PIPE). Investasi tambahan ini akan memperkuat posisinya menjelang persiapan IPO lewat skema SPAC.

Dalam keterangan resminya, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengaku terkesan dengan visi perusahaan dalam membangun platform kredit konsumen digital berbasis AI lewat pemanfaatan data alternatif pasca-pendanaan pertamanya ke putaran seri B. Kredivo juga didukung dengan kemitraan berkelanjutan dengan delapan platform e-commerce terkemuka di Indonesia.

Dalam kesempatan sama, FinAccel turut mengumumkan tiga jajaran baru yang akan mengisi posisi Dewan Komisaris Kredivo Indonesia, yaitu Arsjad Rasjid, Darmin Nasution, dan Karen Brooks. Ketiganya masih menunggu persetujuan dari regulator. Adapun, Dewan Komisaris baru ini akan berperan untuk membantu merancang pertumbuhan strategis dan perluasan pasar Kredivo.

Profil singkat ketiganya terdiri dari Arsjad Rasjid saat ini menjabat sebagai CEO PT Indika Energy Tbk serta Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia); Darmin Nasution merupakan ekonom terkemuka di Indonesia yang juga mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (2015-2019), dan mantan Gubernur Bank Indonesia (2010-2013); serta Karen Brooks yang pernah bertugas sebagai Staf Dewan Keamanan Nasional di Gedung Putih, memiliki pengalaman lebih dari satu dekade di private equity dan pengelolaan investasi global.

Dalam pernyataan bersama, ketiganya mengatakan bahwa Indonesia masih menjadi salah satu pasar unbanked terbesar di dunia meski beberapa tahun terakhir ada peningkatan inklusi keuangan. “Kami berkomitmen membantu Kredivo untuk memberikan dampak kepada puluhan juta pelanggan selama beberapa tahun ke depan karena kami optimistis dengan sistem sistem penilaian kredit mereka yang inovatif,” paparnya.

Seperti diketahui, FinAccel mengumumkan langkahnya menjadi perusahaan publik di NASDAQ melalui skema SPAC. Untuk memuluskan rencana ini, Kredivo akan merger dengan perusahaan cangkang VPC Impact Acquisition Holdings II (NASDAQ: VPCB) yang merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC). Dari peleburan keduanya, FinAccel akan mengantongi valuasi pro-forma ekuitas sebesar $2,5 miliar, dengan asumsi tidak ada penebusan.

Pasar pinjaman digital

Menurut data yang dikutip DSInnovate dalam laporan “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021“, layanan paylater akan bertumbuh 76,7% dibanding tahun sebelumnya, membukukan GMV $1,5 miliar pada 2021. Diproyeksikan akan terus meningkat mencapai $8,5 miliar pada tahun 2028. Hal ini turut didukung pemahaman tentang model bisnis paylater yang semakin akrab di masyarakat.

Selain Kredivo, di Indonesia ada beberapa pemain lainnya seperti Akulaku, Atome, Indodana, Julo, Vospay, Kreditmu, dan Home Credit. Selain itu, aplikasi super juga turut mengembangkan layanan serupa, seperti Gopaylater, Traveloka Paylater, dan SPayLater dari Shopee.

Terkait pendanaan, beberapa startup juga telah menerima dukungan dari investor. Dari data yang kami himpun, Akulaku menjadi salah satu pemain dengan valuasi terbesar setelah Kredivo, nilainya sudah mendekati $1 miliar.

Pendanaan startup paylater di Indonesia / DSInnovate
Application Information Will Show Up Here

Jaygan Fu Ponnudurai Kini Jadi CEO OVO, Gantikan Jason Thompson

OVO mengangkat Jaygan Fu Ponnudurai sebagai CEO baru menggantikan Jason Thompson per September 2021 ini. Jaygan sebelumnya adalah COO OVO sejak Juni 2018, setelah menempati berbagai posisi di Grab Malaysia dan Grab Indonesia.

Terkait suksesi ini, Jaygan Fu telah mengonfirmasi posisi barunya tersebut kepada tim DailySocial.id. Jaygan sebelumnya adalah COO perusahaan.

Pihak Ovo mengatakan, Jaygan Fu menggantikan Jason Thompson yang sudah menyelesaikan masa jabatannya dan telah pindah ke Singapura. Pengalamannya bersama OVO sejak 2018 diyakini akan memberikan nilai lebih bagi pertumbuhan dan peran OVO dalam mengakselerasi transformasi pembayaran dan layanan keuangan digital, menuju literasi dan inklusi keuangan yang merata di seluruh Indonesia.

Baik Jaygan Fu maupun Thompson adalah mantan petinggi Grab sebelum memimpin OVO. Thompson sebelumnya juga menjabat sebagai Managing Director GrabPay sebelum menjadi orang nomor satu di OVO. Sebelum Thompson bergabung di OVO, pada awal berdirinya OVO dipimpin oleh Adrian Suherman yang merupakan bagian dari grup Lippo.

Setelah Thomson mengisi posisi CEO, Adrian berpindah posisi menjadi Presiden Direktur OVO, hingga akhirnya posisi tersebut diisi oleh Karaniya Dharmasaputra sampai saat ini. Kini Adrian menjadi Presiden Direktur Matahari Putra Prima (MPPA).

Secara terpisah, dalam konferensi pers yang digelar kemarin (28/9), OVO kini telah memasuki usianya yang ke-4 dan telah bertransformasi dari awalnya hanya sekadar platform e-money, kini mulai masuk ke layanan keuangan digital. “Salah satu inovasinya di area investasi bersama Bareksa, ada deep integration antara e-money dengan e-investment. Ini yang saya rasa pertama di Indonesia,” ujar Karaniya.

Bahkan, pada tahun ke-2 OVO, telah menyabet posisi sebagai unicorn ke-5 di Indonesia. Alias perusahaan termuda dibandingkan peers-nya.

Di tengah persaingan layanan pembayaran digital yang begitu ketat, sambung dia, menurut riset yang diungkapkan Kadence International Indonesia menyebutkan bahwa OVO merupakan pembayaran digital nomor satu yang paling sering digunakan. Disebutkan OVO memiliki 71% pengguna aktif dan tingkat brand awareness hingga 96%. Diungkapkan juga, profil pengguna OVO datang dari kalangan usia 25-45 tahun dengan komposisi 51% laki-laki dan 49% perempuan.

Beberapa alasan konsumen memilih OVO antara lain bisa digunakan di banyak aplikasi atau merchant online, dapat melakukan transfer saldo ke rekening bank, memiliki banyak promo dan cashback, biaya top-up paling rendah, dan dipergunakan banyak toko dan merchant online.

Dalam riset tersebut juga mengungkapkan sebanyak 8 dari 10 pengguna OVO memesan makanan secara online dan 7 dari 10 pengguna menggunakan OVO untuk transaksi pembayaran di restoran secara offline.

OVO kini telah hadir di lebih dari 430 kota dan kabupaten, dengan lebih dari 1,2 juta merchant dari berbagai industri, termasuk UMKM yang telah mengimplementasikan QRIS.

Kompetisi aplikasi pembayaran digital

Menurut data Bank Indonesia, pada tahun 2020 jumlah transaksi uang elektronik telah mencapai Rp161 triliun dengan 4,6 miliar volume transaksi. Trennya terus meningkat dari tahun ke tahun, per Agustus 2021 ini saja sudah membukukan nilai transaksi Rp161 triliun dengan 3,3 miliar transaksi.

OVO sendiri memiliki posisi yang cukup kuat di pasar, terlebih saat ini digunakan sebagai layanan pembayaran utama di Tokopedia dan Grab. Menurut laporan BOKU 2021, didasarkan pada market share dari total pemain yang ada, didapati beberapa peringkat sebagai berikut: OVO (38,2%), ShopeePay (15,6%), LinkAja (13,9%), Gopay (13,2%), dan DANA (12,2%).

Kendati demikian OVO jelas tidak bisa berleha-leha, dinamika bisnis yang terjadi akhir-akhir ini berpotensi ‘mengancam posisinya’. Sebut saja penggabungan usaha Gojek-Tokopedia, secara khusus mereka turut mendirikan GoTo Financial yang akan mengakomodasi seluruh fintech di kedua platform. Gojek sendiri punya Gopay dan Gopaylater yang bersaing langsung dengan OVO. Akhir-akhir ini layanannya juga mulai diintegrasikan ke Tokopedia.

Pun demikian untuk posisi di Grab, kemesraan raksasa ride-hailing tersebut dengan EMTEK makin rekat akhir-akhir ini. Sementara konglomerasi teknologi tersebut juga mengoperasikan DANA di lini bisnisnya. Sejauh ini belum ada gelagat yang akan menggeser posisi OVO di Grab; yang ada justru rencana merger antara OVO dan DANA.

Pemain lain juga memiliki strateginya sendiri-sendiri. ShopeePay masih fokus mengakomodasi para pelanggannya yang sangat masif, sembari mulai terjun ke ranah O2O. Sementara LinkAja juga terus memperkuat keberadaannya sebagai pembayaran di merchant offline — dengan terus meningkatkan integrasi ke platform konsumer seperti Gojek.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Bidik Pertumbuhan Kinerja Mitra Berkelanjutan, Perluas Jangkauan ke Daerah

PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) berupaya memperkuat jaringan Mitra dengan pencapaian kinerjanya saat ini. Di semester I 2021, perseroan mencatat pendapatan Mitra sebesar Rp290 miliar atau naik 350% (YoY) dengan jumlah sebesar 8,7 juta. Capaian jumlah Mitra ini tumbuh signifikan dibandingkan ketika mereka baru memulai layanan ini di 2017, yaitu 2.800 Mitra saja.

Berdasarkan laporan keuangan semester I 2021, Mitra Bukalapak berkontribusi besar terhadap total bisnis perusahaan dengan membukukan Total Processing Value (TPV) Mitra Rp23,9 triliun atau naik 227% (YoY). Kontribusi Mitra terhadap TPV meningkat 22%.

Average Transaction Value (ATV) juga naik 98% (YoY) yang dipicu oleh kenaikan jumlah produk dan jasa yang ditawarkan Bukalapak kepada para Mitra. Adapun, kontribusi pendapatan Mitra Bukalapak terhadap total pendapatan naik dari dari 12% (2Q20) menjadi 33% (2Q21).

Kepada DailySocial.id, CEO Buka Mitra Indonesia Howard Gani mengatakan, Bukalapak juga berupaya untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan sambil terus meningkatkan kualitas pengelolaan biaya operasional yang baik.

Pihaknya akan terus mengembangkan produk dan layanan sehingga para mitra dapat meningkatkan kapabilitas bisnisnya dan bersaing dengan usaha ritel modern. Apalagi, segmen warung dan UMKM di Indonesia masih banyak yang belum terdigitalisasi dan tersentuh oleh platform digital, seperti e-commerce, ride hailing, online payment, digital banking, dan OTA.

“Kami akan terus memperluas jangkauan kami ke berbagai area di Indonesia terutama di luar kota tier 1. Kami ingin mengoptimalkan persebaran teknologi di kota-kota tersebut dengan memperkenalkan manfaat teknologi lewat warung dan agen individual,” ujarnya.

Survei Nielsen terhadap 1.800 warung dan 1.200 kios pulsa juga menyebutkan Mitra Bukalapak sebagai pemimpin di pasar O2O dengan penetrasi sebesar 42% dibandingkan pemain O2O yang memiliki pengguna 2,5 kali lipat lebih banyak di survei ini.

Mitra Bukalapak juga disebut menguasai kategori grocery/bahan makanan sebesar 55% dan penetrasi produk virtual 52%. Saat ini, Mitra Bukalapak berbagai macam kategori produk, mulai dari produk fisik, virtual, keuangan, hingga produk kebutuhan sehari-hari.

Ekosistem matang dorong konsep O2O

Dalam publikasi bertajuk “Differences in Implementation and Implication of O2O Commerce in Indonesia and Other Countries” yang diterbitkan di 2016, konsep O2O commerce sebetulnya sudah mulai familiar di Indonesia. Tren ini mulai populer sejalan dengan upaya sejumlah platform digital masuk ke segmen tersebut. Kendati demikian, penetrasinya masih terbatas dan terpusat di kota besar saja.

Ekosistem e-commerce saat itu pun dinilai belum sematang sekarang. Masyarakat masih enggan bertransaksi di e-commerce karena sejumlah faktor, antara lain ketidakmampuan melihat produk fisik, ketidakpastian kualitas produk, keamanan pembayaran, hingga buruknya infrastruktur logistik. Selain itu, penetrasi pembayaran online juga belum sekencang saat ini.

Riset ini juga menyebutkan bahwa implementasi layanan O2O di Indonesia masih kurang dibandingkan negara-negara lain, terutama dalam hal pemanfaatan smartphone, media sosial, dan layanan gamifikasi. Padahal, Indonesia punya potensi besar untuk mengembangkan O2O dengan membidik 3,6 juta warung dan 65 juta UMKM.

Sumber: Laporan internal Bukalapak
Sumber: Riset CSLA

Berdasarkan riset CSLA di September 2019, sebanyak 65% dari total 189 juta transaksi ritel berasal dari warung. Transaksi tersebut sebagian besar berupa pembelanjaan kebutuhan sehari-hari yang biasanya diperoleh dari pasar tradisional. Angka ini jauh lebih besar dari transaksi dari platform digital, seperti e-commerce, ride hailing, dan online payment, yang hanya mencapai 81 juta saja.

Maka itu, sejak beberapa tahun terakhir, pelaku e-commerce mulai agresif membidik mitra warung atau UMKM di kota-kota tier 2 dan 3, dan tidak terbatas di pulau Jawa saja. Ada pula yang melebarkan jangkauannya hingga ke Indonesia Timur. Sektor e-commerce juga kini sudah memiliki ekosistem produk yang lengkap untuk mendukung bisnisnya, seperti pengiriman logistik dan pergudangan.

Application Information Will Show Up Here

Verihubs Kantongi Pendanaan Tahap Awal 39,9 Miliar Rupiah, Segera Rilis Layanan Skoring Kredit

Startup pengembang layanan e-KYC Verihubs mengumumkan penutupan pendanaan tahap awal sebesar $2,8 juta (sekitar 39,9 miliar Rupiah) yang dipimpin Insignia Venture Partners dengan partisipasi dari Central Capital Ventura (CCV) dan Armand Ventures. Perusahaan berencana ekspansi ke pasar regional, serta mengembangkan produk baru, salah satunya skoring kredit.

Putaran ini juga diikuti oleh sejumlah angel investor startup lokal. Di antaranya, Budi Handoko (co-founder Shipper), Jefriyanto dan Ricky Winata (co-founder Payfazz), Rohit Mulani (co-founder Gotrade), Chinmay Chauhan (founder Bukuwarung), dan Pramodh Rai (eks-Chief Product Officer Modalku).

Sebelumnya, dalam putaran pra-tahap awal di 2019 kemarin, Co-founder Payfazz Hendra Kwik dan Co-founder Xfers Tianwei Liu turut serta dalam tahap ini selain Indigo Creative Nation.

Mengutip dari TechCrunch, sejumlah angel investor ini sebelumnya adalah pengguna layanan Verihubs. Bersama Payfazz, Verihubs membuka kesempatan bagi pelanggan menyetor uang dengan agen lokal untuk digunakan untuk pembayaran online, dan BukuWarung, untuk mengakses data transaksi.

Kedua contoh di atas adalah solusi Verihubs untuk segmen unbanked. Sementara itu, perusahaan juga melayani segmen pengguna yang sudah memiliki rekening bank. Masuknya CCV sebagai jajaran investor Verihubs, membuka kemungkinan implementasi verifikasi e-KYC terutama bagi pengguna yang memiliki rekening bank, karena dapat bermitra dengan BCA untuk mengakses data nasabahnya.

Terhitung, saat ini ada 46 perusahaan yang telah menjadi pengguna Verihubs, sebagian besar bergerak di bidang keuangan. Ditargetkan jumlah pengguna akan dilipatgandakan menjadi 100 perusahaan, lantaran teknologi Verihubs juga dapat digunakan untuk perusahaan e-commerce, rental marketplace, dan hospitality. Salah satu pengguna Verihubs datang dari perhotelan, mereka menggunakan platform tersebut untuk permudah proses check-in kamar.

Co-founder & CEO Verihubs Rick Firnando mengatakan, sebelum mengadopsi Verihubs banyak kliennya yang masih memverifikasi pelanggan secara manual yang membutuhkan waktu antara satu hingga dua minggu. Verihubs berfungsi sebagai solusi verifikasi secara menyeluruh menjadi lima detik, menggunakan teknologi autentikasi identitas berbasis AI dan API yang memungkinkan perusahaan terus memverifikasi pelanggan yang kembali melalui SMS, WhatsApp, atau panggilan kilat.

“Karena integrasi dengan banyak vendor itu sulit dilakukan oleh developer, itulah mengapa Verihubs memungkinkan klien untuk melakukan KYC, menawarkan verifikasi nomor telepon menggunakan WhatsApp atau SMS, dan juga memverifikasi data keuangan pelanggan,” ujar Rick.

Saat pengguna masuk ke aplikasi yang menggunakan Verihubs untuk pertama kalinya, mereka akan diminta untuk mengambil foto selfie dan kemudian mengunggah foto tanda pengenal berfoto yang dikeluarkan pemerintah. Teknologi AI Verihubs membandingkan kedua foto untuk melihat apakah mereka cocok, dan melakukan referensi silang ID dengan skor kredit operator telekomunikasi dan database pemerintah Indonesia, termasuk catatan kriminal.

Perusahaan menerapkan model bisnis berbasis transaction fee, klien akan membayar sesuai dengan jumlah verifikasi yang berhasil dilakukan.

Rick melanjutkan, perusahaan sedang membangun sistem skoring credit berdasarkan data-data transaksi dan saldo akun. Selain itu, berencana untuk memperluas ke pasar regional, seperti Vietnam dan Filipina.

“Untuk sistem verifikasi ID, kami menemukan bahwa Verihubs sudah ada product-market fit di Indonesia, tetapi kami ingin memperluas ke produk baru. Kami mengkonsolidasikan data keuangan dari berbagai sumber, tidak hanya untuk bank, tetapi juga populasi yang tidak memiliki rekening bank. Dan kami juga menjajaki ekspansi ke pasar baru, seperti Filipina dan Vietnam.”

Startup ini baru saja selesai ambil bagian dalam batch musim panas Y Combinator 2021, pendanaan ini diklaim sebagai startup AI pertama dari Indonesia yang didukung YC.

Verihubs didirikan pada 2019 di Jakarta oleh Rick Firnando yang memiliki pengalaman lebih dari 9 tahun di industri B2B, dan Williem, peneliti AI yang memegang gelar PhD dalam bidang computer vision dari Universitas Inha Korea Selatan.

Kompetisi pasar

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan yang menargetkan segmen sejenis seperti ASLI RI. Bekerja sama dengan LoginID, perusahaan asal Silicon Valley, ASLI RI luncurkan AsliLoginID, sebuah platform Biometric-Authentication as a Service (BaaS) yang mempunyai sertifikasi FIDO2. Sertifikasi tersebut menjadi salah satu standar keamanan yang paling ketat saat ini, diakui secara internasional dan kompatibel dengan beragam jenis sistem operasi perangkat komputasi.

Selain itu, salah satu startup pengembang layanan berbasis kecerdasan buatan Nodeflux juga memiliki lini bisnis yang fokus mengembangkan solusi untuk mempermudah proses eKYC yaitu Identifai. Nodeflux sendiri menjadi salah satu mitra Ditjen Dukcapil sebagai penyedia platform bersama untuk memberikan performa terbaik dalam pemanfaatan data tanpa risiko keamanan.

Terkait lanskap industri SaaS yang spesifik mengembangkan solusi verifikasi berbasis API, Rick turut menyampaikan bahwa dari segi edukasi, target pasar untuk layanan ini sudah memiliki pemahaman yang baik akan pentingnya solusi verifikasi. “Seiring pertumbuhan industri fintech serta perusahaan lain yang berbasis digital, solusi ini akan semakin dibutuhkan dan berkembang,” pungkasnya.

Menurut laporan dari ReportLinker, pasar perangkat lunak sebagai layanan (SaaS) global diperkirakan akan tumbuh dari $225,6 miliar pada tahun 2020 menjadi $272,49 miliar pada tahun 2021 dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 20,8%. Pasar diperkirakan akan mencapai $ 436,9 miliar pada tahun 2025 dengan CAGR 12,5%.