GMV Food Delivery di Asia Tenggara Hanya Naik 5% Sepanjang 2023

Laporan tahunan “Food Delivery Platforms in Southeast Asia” yang diterbitkan Momentum Works mengungkapkan total GMV layanan pesan-antar makanan di Asia Tenggara diperkirakan sebesar $17,1 miliar—hanya tumbuh 5% (yoy) sepanjang 2023. Angka pertumbuhan ini persis seperti yang terjadi di 2022.

Pertumbuhan terbesar datang dari Vietnam ($1,4 miliar atau 27%) dan diikuti Malaysia ($2,4 miliar atau 9%). Thailand dan Indonesia mencatat pertumbuhan satu digit, masing-masing GMV sebesar 2,7% ($3,7 miliar) dan 2,2% ($4,6 miliar). Sementara Singapura tetap terjaga di GMV yang sama, sebesar $2,5 miliar.

Bila melihat secara volume, Indonesia tetap jadi pasar terbesar, disusul Thailand. Singapura dan Filipina berada di urutan yang sama, lalu diikuti Malaysia, dan Vietnam.

Momentum Works

“Tingginya konsumsi makanan dan minuman, rendahnya penetrasi pesan-antar makanan, dan konsolidasi yang sedang berlangsung, menyisakan banyak ruang pertumbuhan bagi platform pesan-antar makanan di wilayah ini. Sambil berfokus pada kemampuan inti mereka, para pemain terkemuka juga perlu memperhatikan potensi perubahan pasar dan tantangan yang muncul,” kata Founder & CEO Momentum Works Jianggan Li dalam keterangan resmi, Senin (29/1).

Walau sebagian negara di kawasan ini hanya cetak pertumbuhan satu digit, ada catatan kecil yang menarik terjadi di Filipina. Di sana sebagian besar pasar pesan-antar makanannya dioperasikan oleh jaringan restoran cepat saji.

“Meskipun pasar tersebut tidak termasuk dalam cakupan laporan ini, kami memperkirakan ukurannya mendekati ⅓ dari total platform GMV di negara tersebut,” tulis laporan tersebut.

Lebih lanjut, berdasarkan kontribusi dari masing-masing pemain, Grab masih dinobatkan sebagai kontributor terbesar di kawasan ini, sebesar 55% atau $9,4 miliar dari total GMV. Foodpanda dan Gojek diperkirakan menyumbang 15,8% ($2,7 miliar) dan 10,5% ($1,8 miliar), atau masing-masing mengalami penurunan sebesar 12,9% dan 10,0% YoY.

Berikutnya, Shopee dan LINE MAN menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Keduanya diperkirakan berkontribusi masing-masing sebesar 8,8% ($1,5 miliar) dan 8,1% ($1,4 miliar).

Momentum Works

Pangsa pasar Grab mendominasi secara signifikan di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. ShopeeFood, yang hanya menerima sedikit perhatian dari luar karena persaingan e-commerce yang lebih besar yang diperjuangkan oleh Shopee, justru mengalami pertumbuhan paling besar (hampir ⅔); sedangkan LINE MAN di Thailand juga mencatatkan pertumbuhan dua digit.

Sorotan utama

Laporan ini juga menyoroti tren industri pada tahun 2023. Berikut rangkumannya:

  1. Merek F&B premium menghadapi tantangan meskipun belanja regional untuk F&B mulai pulih: belanja F&B di Asia Tenggara akhirnya pulih hingga melampaui tingkat sebelum pandemi ($125,2 miliar pada 2023 vs $115,7 miliar pada 2019). Namun, banyak merek premium (terutama di Singapura) mendapati tahun ini lebih sulit dibandingkan tahun 2022, dan banyak yang mengambil langkah pemotongan biaya di tengah ketidakpastian makro dan inflasi, yang mungkin meningkatkan sensitivitas harga di kalangan pengunjung kelas menengah.
  2. Masuknya merek-merek F&B asal Tiongkok secara massal meningkatkan persaingan: Pada tahun 2023 terjadi percepatan masuknya dan ekspansi merek-merek F&B Tiongkok ke Asia Tenggara. Tren ini terlihat dari 30 gerai Luckin Coffee di Singapura dan hampir 4.000 gerai Mixue di seluruh Asia Tenggara. Namun merek-merek dalam berbagai kategori dan ukuran juga telah hadir di wilayah tersebut. Mereka memanfaatkan pengetahuan mereka dalam pengoperasian toko, pemasaran, pengoperasian pengguna, dan manajemen waralaba. Harapkan lebih banyak lagi di tahun 2024.
  3. Pemain utama food delivery telah mencapai profitabilitas: Sebagian besar platform telah mencapai atau berada di jalur yang tepat untuk mencapai titik impas EBITDA yang disesuaikan (adjusted EBITDA), dengan beberapa target untuk mencapai arus kas bebas positif pada tahun 2024. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Meituan dan Uber, profitabilitas mungkin tidak akan bertahan lama – platform harus terus menyeimbangkan pertumbuhan dengan profitabilitas yang berkelanjutan.

“Setelah satu hingga dua tahun melakukan pengurangan biaya, optimalisasi operasional, dan terkadang PHK, sebagian besar platform, menurut definisi mereka sendiri, telah mencapai tingkat profitabilitas tertentu. Konsolidasi yang sudah terjadi di sektor ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2024,” tulis laporan tersebut.

  1. Para pemain pesan-antar makanan terus melakukan perbedaan strategi, memanfaatkan iklan untuk meningkatkan pendapatan: Para pemain pesan-antar makanan utama terus memanfaatkan produk iklan untuk mengunci lebih banyak investasi dari merchant. Kemudian, memperluas portofolio produk periklanannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dari semua merek, termasuk jaringan F&B besar, merchant UKM F&B, dan FMCG.
  2. Ruang untuk pertumbuhan basis pengguna dan optimalisasi operasional di kawasan ini: Grab hanya memiliki 5% dari 600 juta populasi di kawasan ini sebagai pelanggan transaksi bulanan. Di tengah tren topline sektor yang datar, populasi yang belum terlayani di kota-kota besar, ekspansi ke kota-kota kecil, dan melayani wisatawan memberikan peluang pertumbuhan lebih lanjut bagi platform pesan-antar makanan. Pemain didorong untuk terus mengoptimalkan operasi untuk mengurangi biaya dan meningkatkan keuntungan mereka.

Melihat Kesiapan Industri Memasuki Era Agritech 2.0

Butuh delapan tahun bagi eFishery untuk “buka jalan” betapa seksinya industri perikanan di Indonesia sampai akhirnya merengkuh status unicorn pada tahun lalu. Pemain sejenisnya, baik yang bergerak di akuakultur dan agrikultur, ikut kecipratan rezeki karena investor mulai menengok mereka.

Pasalnya, industri pertanian, perhutanan, dan perikanan merupakan penyumbang PDB terbesar ketiga setelah manufaktur dan perdagangan, dengan persentase sebesar 12,4% pada 2022. Walau besar, industri ini punya segudang masalah, mulai dari inkonsisten kualitas produk, akses modal, fluktuasi harga, dan rantai pasok.

Didukung oleh pendekatan teknologi yang diusung startup, sisi hulu dan hilir mulai teredukasi dengan konsep baru ini. Namun, sektor ini tak lepas dari tantangan lainnya, terutama penurunan permintaan pasca-pandemi. Bagaimana startup ini mempertajam strategi mereka dalam menghadapinya?. Bagaimana juga dari sisi investor mengamati evolusi startup di sektor ini?.

Pertanyaan ini dibahas melalui sesi “Are agritech & aquatech ripe for Version 2.0 to scale to next level?” dalam konferensi tahunan Indonesia PE-VC Summit 2024 yang diselenggarakan oleh DealStreetAsia.

Diskusi panel ini menghadirkan empat pembicara: Anthony Tjajadi (Partner Trihill Capital), Aldi Adrian Hartanto (Managing Partner Ascent Venture Group), Liris Maduningtyas (Co-Founder & CEO JALA), Witny Tanod (Co-Founder, Chief Marketing & Corporate Affairs Gokomodo).

Agritech & Aquatech 1.0

Witny menyampaikan pada periode 1.0 ini Gokomodo merasa bersyukur karena mereka telah menemukan product market fit yang tepat sebagai landasan penting sebelum berinovasi lebih jauh. Gokomodo fokus pada pengadaan dan pengiriman agri-input atau produk dan bahan baku pertanian, seperti pupuk yang dibutuhkan para pelaku agrikultur, sehingga mereka dapat menerima produk akhir dengan tepat waktu, kualitas tinggi dan harga wajar.

“Solusi kami sudah membuat rantai pasok jadi lebih efisien dan lebih mudah diakses oleh konsumen. Dari berbagai limitasi sebelumnya, kami jadi memahami bahwa versi 1.0 Gokomodo telah memberikan nilai tambah,” ucapnya.

Tidak jauh berbeda, Liris menyampaikan pihaknya menyelesaikan satu per satu masalah di budidaya udang yang saat ini jadi fokus utama perusahaan. Meluncurkan aplikasi yang bisa membantu petani udang adalah salah satu solusi yang ditawarkan JALA.

“Jadi tingkat adopsi teknologi ke dalam industri akuatik sudah ada, namun masih perlu penetrasi lebih jauh ke dalam diri para petani. Tujuannya agar mereka benar-benar dapat manfaatnya. Sebab, teknologi itu selalu dapat mengatasi beberapa masalah, meminimalkan risiko, meminimalkan biaya rantai pasokan, dan lain-lain,” kata dia.

Dorong disrupsi lebih jauh

Baik Aldi dan Anthony sepakat bahwa aspek sains yang menjadi ‘beauty’ harus lebih digalakkan untuk keberlanjutan industri ini. Anthony mengaku dirinya sudah menggeluti industri agrikultur sejak 30 tahun lalu, namun hingga detik ini masih minim disrupsi di sisi hulunya.

“Jadi perbaiki pasokannya, perbaiki sumbernya. Mungkin kembali ke lab dan mendeteksi, menemukan pupuk baru, benih baru, pestisida baru, atau apa pun. Saya ingin lebih banyak disrupsi dan teknologi, serta lebih banyak orang yang terlibat di sisi hulu bisnis,” ujar Anthony.

Aldi juga mengingatkan, menerapkan lebih banyak teknologi di sisi hulu, banyak memberikan pengaruh pada efisiensi di keseluruhan rantai pasok. Saat itu, startup perlu memikirkan bagaimana bisa meningkatkan profitabilitasnya, misalnya dengan membuat merek baru khusus untuk produk ayam potong karena punya margin yang lebih tinggi.

“Namun sebelumnya harus mengatasi masalah pasokan. Kami prediksi model farming-as-a-service jadi tren yang kami perkirakan akan terjadi,” kata dia.

Tantangan menuju 2.0

Liris menyoroti tantangan talenta yang dibutuhkan untuk buat inovasi sains di sektor akuakultur masih sulit dicari. Lulusan pertanian masih lebih tertarik bekerja di bank atau jadi pegawai negeri sipil, ketimbang menyalurkan ilmunya di bidang yang sesuai. Di samping itu, perjalanan untuk penetrasi ke para petani agar naik level dari dasar ke lanjutan tetap dibutuhkan.

Agar perusahaan tetap efisien, JALA memanfaatkan keberadaan big data yang sumbernya diperoleh dari cara yang murah dan efisien, yakni melalui aplikasi yang diunduh para petani.

“Dengan big data, kami bisa mengumpulkan data historis dan data terkini dari petani, mengambil sampelnya untuk membuat prediksi dan proyeksi biomassa mereka tanpa perangkat keras. Jadi itu solusi termurah menurut saya. Langkah pertama bagi petani di aquatech untuk membiasakan diri dengan teknologi.”

Witny menambahkan, bermitra dengan ekosistem dibutuhkan untuk masuk ke tahap berikutnya 2.0, baik dengan pemerintah, akademisi, petani, investor, dan startup.

“Kami punya banyak program yang mendapat dorongan dari pemerintah sendiri untuk dorong petani milenial. Kami juga berdiskusi dengan pemerintah itu sendiri, saat membuat produk baru. Kami perlu menjadi lebih baik lagi. Jadi kami tidak bisa berdiri sendiri, tapi semuanya harus saling dukung,” pungkasnya.

Flip Mulai Hadirkan Fitur Pembayaran QRIS

Baru-baru ini, startup fintech Flip mulai merilis fitur pembayaran QRIS. Kapabilitas baru ini memungkinkan pengguna aplikasi untuk melakukan pembayaran di berbagai merchant, termasuk ritel offline, menggunakan saldo yang dimiliki.

Dalam menghadirkan layanan QRIS, Flip memanfaatkan lisensi milik DutaMoney (PT Duta Teknologi Kreatif) yang sudah terdaftar sebagai penyelenggara QRIS di Bank Indonesia sejak Oktober 2023. Diketahui, DutaMoney juga merupakan backend di balik layanan Saldo di aplikasi Flip.

Kepada DailySocial.id, Head of Marketing Flip Andri Rahmad Wijaya mengatakan, “Dalam beberapa tahun terakhir, pengguna setia terus merekomendasikan Flip untuk menyediakan layanan QRIS untuk mempermudah transaksi mereka dalam satu platform keuangan. Oleh karena itu, Flip dengan bangga memenuhi kebutuhan dan masukan tersebut dengan menyediakan fitur QRIS di Flip untuk membantu pengguna Flip bertransaksi dengan mudah.”

Andri juga menerangkan, bahwa di fase awal ini layanan QRIS di Flip masih terus dioptimalkan bersamaan dengan upaya perusahaan untuk terus mendengar kritik dan saran pengguna. Kendati masih fokus ke B2C, namun Flip tidak menutup kemungkinan bahwa nantinya layanan QRIS juga akan tersedia sebagai bagian dari Flip for Business.

Bank Indonesia merilis data, bahwa sepanjang 2023 transaksi QRIS mencapai 229,96 triliun Rupiah. Capaian ini naik 130,01% dibanding tahun sebelumnya. Adapun jumlah pengguna QRIS sudah mencapai 45,78 juta akun, dengan total merchant mencapai 30,41 juta dengan mayoritas dari kalangan UMKM.

Terakhir, Flip telah menutup putaran tambahan untuk pendanaan seri B senilai $55 juta pada pertengahan 2022 lalu. Secara keseluruhan, kurang lebih Flip sudah mengumpulkan total pendanaan senilai $120 juta.

Dimulai dari layanan transfer gratis antarbank, kini Flip telah menjelma menjadi aplikasi keuangan dengan berbagai fitur. Untuk konsumer, selain QRIS dan transfer gratis, Flip juga menyediakan layanan e-money, remitansi, PPOB, hingga fitur Minta Uang (payment link). Mereka juga menjalankan model bisnis freemium lewat layanan Flip Plus, untuk mengakomodasi pengguna dengan intensitas transfer yang tinggi.

Sementara untuk B2B, Flip for Business juga telah diluncurkan dengan menyediakan solusi untuk memudahkan mitra mengelola transaksi bisnis. Layanan utamanya membantu bisnis untuk melakukan transfer uang domestik dan internasional, dapat diakses melalui dasbor ataupun terhubung lewat Open API yang disediakan.

Kabar kurang baiknya, awal tahun ini Flip mengumumkan telah melakukan layoff terhadap sejumlah karyawan. Co-founder & CEO Flip Rafi Putra Arriyan menyampaikan kondisi ekonomi global yang masih tidak menentu, jadi dalang di balik keputusan ini ditempuh.

Keputusan sulit ini juga dilandasi pertimbangan atas keberlangsungan bisnis Flip di jangka panjang. Dari data terakhir yang diungkap, Flip telah memiliki lebih dari 400 pegawai dengan persentase mayoritas tim engineer dan operasional.

Sejauh ini Flip telah melayani 13 juta pengguna (B2C) dan 1000 pengguna bisnis (B2B). Adapun transaksi bulanannya telah menapai miliaran Rupiah. Flip telah terhubung dengan lebih dari 100 bank dan transfer internasionalnya dapat terhubung ke lebih dari 50 negara.

Application Information Will Show Up Here

Investor dan Startup “Climate Tech” Bicara Tantangan Industri

Dalam beberapa tahun terakhir, solusi di ranah hijau yang digarap oleh perusahaan rintisan terus berkembang. Terlepas tingginya investasi VC mengalir, sektor climate tech masih terbilang baru.

Founder mungkin masih terbentur isu pendanaan dan bagaimana menyeimbangkan dampak yang dihasilkan sembari menjalankan bisnis. Sementara, VC mungkin perlu mencari cara untuk memahami penilaian investasinya.

Dalam sesi “Opportunities in climate tech investing: Bridging gap between ambition and action” terungkap bagaimana startup Arkadiah, serta East Ventures dan British International Investment menghadapi isu-isu di atas.

Memanfaatkan pendanaan campuran

Panel diskusi Indonesia PE-VC Summit 2024 terkait investasi “climate tech” / DealStreetAsia

Co-Founder & CEO Arkadiah Reuben Lai menyebut, jika tidak punya bisnis yang solid, semua yang dikerjakan selama ini akan jadi sekadar amal. Dalam perjalanan membangun bisnisnya, ia menemukan sumber pendanaan yang menjadi tantangan signifikan alih-alih bicara pengembangan teknologi baru. Justru pendanaan ini diperlukan agar startup dapat meningkatkan skalanya.

Sekadar informasi, Arkadiah mengembangkan teknologi berbasis AI untuk menghidupkan kembali lahan terdegradasi untuk mengatasi isu penggundulan hutan.

Ia mengakui pendanaan eksternal dan opsi blended finance sangat diperlukan. Tidak ada satu formula yang pakem untuk memanfaatkan keduanya. Maka itu, ia memakai dua pendekatan saat mencari investor, yakni segmen korporat dan segmen yang fokus pada proyek tertentu.

Ia mencontohkan investor berdampak fokus pada dampak lingkungan, sedangkan investor lain fokus pada imbal hasil–misalnya dari penjualan kredit karbon. Kedua pendekatan secara sinergis ini dinilai dapat menguntungkan baik startup maupun investor.

“Menyatukan kedua sumber modal ini memungkinkan kami untuk mendanai proyek-proyek dalam skala besar dan memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan. Kami melihat blended finance terjadi, memang diperlukan lebih banyak pendanaan.”

Menilai investasi berdampak

Partner East Ventures Avina Sugiarto mengomentari tentang bagaimana investor melakukan penilaian pada investasi startup climate tech mengingat sektor ini mungkin masih terbilang baru dibandingkan sektor e-commerce atau fintech.

Ia menggarisbawahi perihal langkah mitigasi yang dapat terukur, seperti pengurangan gas rumah kaca. Memang, metrik pengukuran ini di lapangan tidak semudah yang dikatakan, tetapi ia menilai hal itu masih tetap menarik minat investor, terutama startup yang mengakomodasi kebutuhan petani kecil dengan tool untuk prediksi cuaca atau potensi gagal panen karena cuaca

Terlepas dengan itu semua, ia menekankan profitabilitas tetap menjadi faktor kunci investasi climate tech, tak ada bedanya dengan sektor-sektor lain. “Saya pikir saat ini banyak pemodal ventura berbicara tentang profitabilitas, bagian dari profitabilitas dan unit ekonomi. Hal yang sama juga berlaku pada climate tech.”

Dampak dulu atau keuntungan?

Sementara itu, Rohit Anand, Regional Head (SE Asia) & Head of Infrastructure Equity Asia di British International Investment, menekankan pentingnya punya keuangan yang stabil bagi startup climate tech. Tak masalah jika itu berarti pertumbuhan perusahaan bakal melambat, atau target berdampak yang ingin dicapai kurang tercapai (contoh: pengurangan emisi).

Ia berargumen, apapun dampak lingkungan yang ingin diciptakan, bisnis harus layak dulu secara komersial agar dapat memikat investor ke depannya. Dengan begitu, bisnisnya dapat berkelanjutan dalam jangka waktu lama. Penciptaan dampak tak boleh menjadi satu-satunya alasan eksistensi mereka.

Kebijakan dan insentif terhadap kelangsungan bisnis juga sangat penting bagi keberhasilan jangka panjang industri ini. Ia mencontohkan, penjualan kendaraan listrik dapat berhasil karena didukung oleh kebijakan pemerintah.

“Mungkin saja, Anda dapat pendanaan berkat sebuah ide cemerlang, tetapi Anda tidak bisa menciptakan bisnis yang berkelanjutan dari situ. Dampak pengurangan emisi karbon adalah implikasinya, tetapi tidak bisa jadi satu-satunya alasan bisnis Anda ada.”

Evolusi Fintech: Skalabilitas dan Pemahaman Regulasi Kini Jadi Fokus Inti

Beberapa panelis mewakili sektor fintech dan pemodal ventura bicara banyak terkait perkembangan industri teknologi finansial dulu dan sekarang dalam konferensi Indonesia PE-VC Summit 2024 oleh DealStreetAsia, Kamis (25/1). Konferensi tahunan ini mempertemukan para investor dengan pelaku industri teknologi digital.

DailySocial.id merangkum sesi “Fintech in Indonesia: The models in the spotlight” dari  C-level LinkAja dan DANA, serta pemodal ventura ATM Capital yang berkaitan dengan:

  • Evolusi dompet digital dulu dan sekarang
  • Pivot B2C ke B2B untuk skalabilitas dan profitabilitas bisnis
  • Pelaku fintech perlu memahami betul soal regulasi

Evolusi dompet digital

Membuka sesi ini, Chief Operating Officer DANA Dean Krstevski membagikan pandangannya terkait evolusi fintech, terutama platform dompet digital (e-wallet) dulu hingga saat ini. DANA merupakan salah satu e-wallet yang lahir di generasi awal industri digital Indonesia.

Ada tiga perubahan signifikan yang ia temukan. Pertama, peningkatan signifikan pada penetrasi layanan digital, didorong oleh penggunaan e-wallet. Menurutnya, sebelum 2018, transfer bank atau rekening virtual menjadi metode pembayaran yang paling banyak menggunakan untuk berbelanja online, atau tunai (COD) untuk pengguna yang tidak memiliki rekening.

Kedua, peningkatan pembayaran digital semakin besar sejalan dengan peluncuran QR hingga distandardisasi menjadi QRIS. Ketiga, pemain e-wallet seiring berjalannya waktu mulai fokus terhadap bisnisnya dan mengurangi insentif (promo atau cashback) untuk meningkatkan unit ekonomi bisnis.

“Dan kami telah melihat perubahan tersebut secara signifikan selama bertahun-tahun. Bahkan semakin banyak pedagang yang memiliki dompet digital sebagai metode pembayaran utama untuk transaksi online. Meski cashback berkurang, tetap ada growth. Kita menuju ke arah yang tepat,” ujar Dean.

Pivot demi skalabilitas

Dalam kasus LinkAja, perusahaan memutuskan untuk menggeser model bisnisnya ke B2B untuk meningkatkan skala bisnisnya demi mencapai profitabilitas, sebagaimana juga tengah dikejar oleh pelaku startup lainnya. Pivot ini juga bukan semata soal efisiensi operasional.

LinkAja pivot sejak 2022, sebuah langkah signifikan mengingat model bisnis dompet digital di Indonesia didominasi oleh model B2C. Menurut Chief Finance & Strategy Officer LinkAja Reza Ari Wibowo, pivot ini mampu mengurangi opex hingga 50%, didorong oleh pemangkasan biaya pemasaran dan biaya infrastruktur sekitar 40%-50%, selama dua tahun berturut-turut.

Dalam menjalankan model B2B, LinkAja memanfaatkan ekosistem dan aset yang dimiliki induk usaha, Telkomsel, serta masuk ke ekosistem BUMN. Misalnya, LinkAja memfasilitasi transaksi produk pulsa atau paket data pada ratusan ribu reseller Telkomsel.

“Kami yakin strategi ini akan membantu kami meraih pelanggan dalam jumlah besar dan meningkatkan profitabilitas kami. Rata-rata pendapatan bersih per pengguna LinkAja kini naik 8x lipat. Tingkat retensi kami melesat dari 55% menjadi 275%. Profitabilitas kami juga naik menjadi EBITDA positif triwulanan.”

Perlu pahami regulasi

Founding Partner ATM Capital Minjung Liang mengaku telah menyaksikan perkembangan industri fintech dalam enam tahun terakhir. Ia berujar, saat pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia, fintech masih sebatas konsep. Investor tidak yakin konsep ini dapat berhasil dan berkembang di Indonesia atau negara-negara lain di Asia Tenggara.

Namun, setelah 6 tahun, ia telah melihat banyak pelaku fintech berkembang signifikan dan memberikan dampak besar terhadap kehidupan masyarakat; membuktikan bahwa fintech tak hanya sekadar konsep di atas kertas.

Terlepas dengan hal itu, faktanya masih banyak populasi unbanked dan underbanked yang persentasenya masing-masing mencapai 40% dan 20%. Ini akan menjadi peluang dan PR bagi startup keuangan untuk memecahkan masalah tersebut.

“[Startup] manapun di industri ini, harus memiliki pemahaman kuat terhadap regulasi. Mereka harus tahu bahwa industri keuangan punya dampak sosial yang sangat besar terhadap perekonomian dunia secara keseluruhan. Mereka harus memahami perkembangan sosial negara ini selanjutnya. Bagi sektor keuangan, masalah terbesarnya adalah bagaimana mereka dapat bertahan di siklus tersebut. Di awal, mereka bisa menghasilkan pendapatan, tetapi bisakah melalui situasi tech winter?”

ATM Capital adalah VC asal Tiongkok yang telah berinvestasi di sejumlah startup Indonesia, seperti J&T Express, Tomoro Coffee, Kargo, dan Jumpstart.

Total Pendanaan Startup Asia Tenggara Anjlok 51% di 2023, Indonesia dan Singapura Sumbang 90%

Total pendanaan yang diraup startup (ekuitas dan debt) di kawasan Asia Tenggara anjlok hingga 51% (yoy) sepanjang 2023. Penurunan ini dilatarbelakangi oleh faktor makro ekonomi yang membebani sentimen investor.

Menurut laporan Southeast Asia Deal Review 2023 yang disusun DealStreetAsia dan Rigel Capital, terdapat 30% penurunan kesepakatan jadi 718 kesepakatan dengan total nilai $7,96 miliar (Rp 126,2 triliun).

Kesepakatan terbesar berasal dari Lazada yang disuntik oleh induknya, Alibaba, sebesar $1,89 miliar. Angka ini menyumbang sekitar 24% dari total pendanaan ekuitas di kawasan ini. “Besarnya peran yang dimainkan Lazada dalam menopang nilai transaksi secara keseluruhan membuat penurunan pendanaan startup menjadi lebih nyata,” kata laporan tersebut.

Urutan berikutnya disumbangkan oleh Kredivo yang menutup putaran seri D senilai $270 juta, startup insurtech Bolttech mengumpulkan pendanaan seri B senilai $246 juta, Investree mengumpulkan $231 juta dalam pendanaan seri D (kendati menurut kabar yang DailySocial.id terima pendanaan tersebut tidak jadi terealisasi), dan startup aquatech eFishery menyelesaikan putaran seri D senilai $200 juta.

“Kesepakatan ini merupakan salah satu kesepakatan langka yang bernilai lebih dari $100 juta, karena investor yang skeptis enggan menulis cek dalam jumlah besar di tengah ketidakpastian geopolitik, suku bunga tinggi, dan inflasi yang terus-menerus.”

Lebih jauh dipaparkan, tahun lalu adalah tahun tersulit dalam mencetak unicorn baru bervaluasi di atas $1 miliar. Hanya dua startup, yakni eFishery dan Silicon Box (berbasis di Singapura) yang merengkuh status tersebut

Tren ini terus menunjukkan penurunan. Di tahun sebelumnya, ada delapan startup yang mendapat status unicorn. Lalu pada 2021, tercatat ada 23 startup di wilayah ini yang valuasinya melampaui $1 miliar.

Singapura dan Indonesia raup 90% kesepakatan

Data menarik lainnya yang diungkap, tercatat Singapura dan Indonesia meraup hampir 90% dari total pendanaan ekuitas. Singapura memperoleh $5,5 miliar dari 415 transaksi, sementara Indonesia memperoleh $1,51 miliar dari 131 transaksi.

Baik Thailand dan Malaysia mengalami koreksi paling besar dalam total perolehan modal swasta, secara berurutan turun sebesar 86% dan 83%. Thailand memperoleh total $0,13 miliar dari 28 kesepakatan. Malaysia mencatat 52 transaksi yang menghasilkan total $0,11 miliar.

Vietnam terlihat relatif tangguh dengan penurunan nilai transaksi sebesar 9,55%, mengantongi $0,51 miliar dari 54 kesepakatan. Filipina memperoleh $0,19 miliar dari 34 kesepakatan.

Healthtech paling banyak didanai

Bila melihat dari vertikal startup, fintech tetap menjadi paling banyak disuntik oleh investor, kendati secara jumlah dan nilai transaksi tercatat menurun. Total kesepakatan di sektor ini turun 39% menjadi 142 transaksi dan nilai transaksi turun 67% menjadi $1,82 miliar.

Dikerucutkan lebih rinci, startup lending paling banyak raih pendanaan dengan nilai $734 juta dengan 35 kesepakatan. Disusul secara berurutan, insurtech ($361 juta dengan 15 kesepakatan), pembayaran digital ($287 juta dengan 37 kesepakatan), wealthtech ($148 juta dengan 37 kesepakatan), dan solusi fintech ($73 juta dengan 10 kesepakatan).

Berdasarkan nilai transaksi, posisi pertama diduduki oleh sektor e-commerce yang mengumpulkan dana paling banyak, yaitu $2,32 miliar, berkat Lazada. Lalu disusul fintech dan healthtech dengan 60 kesepakatan investasi, naik 20% dibandingkan tahun lalu. Namun, nilainya turun 34% menjadi $582 juta karena nominal kesepakatannya yang lebih kecil.

Startup healthtech yang berasal dari Singapura menyumbang kue terbesar di sektor ini dengan porsi 72,1%. Lalu disusul Indonesia dengan 21,7%. Layanan telemedis jadi turunan bisnis yang paling banyak didanai dengan nilai $191 juta dengan 17 kesepakatan. Lebih dari separuh nominal pendanaan ini datang dari putaran seri D yang direngkuh Halodoc.

Masa-masa sulit bagi startup tahap awal

Hal lain yang disoroti dari laporan ini, mengutip dari pengumuman perusahaan, pengajuan peraturan, laporan media, dan penelitian DealStreetAsia, mengungkapkan bahwa kesulitan penggalangan pendanaan pada 2023 melampaui startup late-stage karena kesepakatan tahap awal turun 29% menjadi 659 kesepakatan sementara total modal yang dikumpulkan turun 49% menjadi $3,42 miliar.

“Pendanaan tahap awal, yang dianggap sebagai penentu tren investasi tahap awal, telah menunjukkan tren penurunan sejak kuartal kedua tahun 2022, menandakan kemunduran dari puncak kegembiraan yang menjadi ciri pasar pada tahun 2021,” kata laporan itu.

Prospek untuk tahun 2024

Untuk tahun ini, beberapa sektor siap untuk tumbuh meskipun terdapat tantangan pendanaan saat ini dan tema-tema baru kemungkinan akan menarik investasi modal ventura. Sektor-sektor berkelanjutan, termasuk teknologi ramah lingkungan, kendaraan listrik, teknologi iklim, dan teknologi kesehatan semakin mendapat daya tarik. Ekosistem mobilitas bersih, kecerdasan buatan, dan sektor terkait keberlanjutan juga diperkirakan akan tumbuh.

Laporan tersebut mengungkapkan ada hikmah pada akhir tahun kemarin, bahwa tren kespakatan per kuartal memperlihatkan tanda-tanda stabilitas yang muncul dalam lanskap investasi startup.

Pada kuartal keempat tahun 2023 terdapat 167 transaksi, naik dari 151 transaksi pada kuartal sebelumnya ketika volume transaksi berada pada titik terendah dalam tiga tahun.

Kuartal keempat juga lebih kuat dalam hal perolehan investasi karena startup regional mengumpulkan $2,28 miliar, naik 9% dari kuartal sebelumnya.

“Namun, menjelang akhir tahun, kondisi sektor swasta di kawasan ini mulai menunjukkan tanda-tanda stabilitas, dengan kuartal keempat mencatat peningkatan volume kesepakatan sebesar 12% setelah mencapai titik terendah dalam tiga tahun terakhir pada kuartal ketiga,” tutup laporan tersebut.

Ada lima catatan lainnya yang patut diperhatikan untuk industri startup di kawasan ini. Berikut rangkumannya:

Living Lab Ventures Luncurkan Dana Kelolaan untuk Startup Healthtech dan Biotech

Sinar Mas Land melalui kendaraan investasinya Living Lab Ventures (LLV) meluncurkan Biomedical Fund, dana kelolaan yang mendukung pelaku startup di bidang biomedis, pusat penelitian, biobank, hingga teknologi kesehatan.

Chief Transformation Officer Sinar Mas Land Mulyawan Gani berharap Biomedical Fund dapat berperan dalam memastikan infrastruktur kesehatan di tanah air.

“Tidak hanya tangguh, tetapi juga berada di garis depan kemajuan teknologi. Melalui partisipasi LLV dalam biomedis, kini BSD City dapat benar-benar menjadi laboratorium yang hidup,” tambahnya dalam keterangan resmi.

Peluncuran ini didorong oleh pasca-pandemi yang memunculkan tren baru di lanskap kesehatan masyarakat Indonesia. Selain memperkuat kesadaran, permintaan terhadap akses layanan kesehatan yang lebih mudah dan murah ikut meningkat.

World Bank melaporkan, persentase pengeluaran kesehatan masyarakat Indonesia terhadap PDB naik dari 2,6% pada 2014 menjadi 3,2% pada 2022. Namun, persentase tersebut masih lebih rendah dibandingkan rata-rata pengeluaran negara berpendapatan rendah, yakni 4,9%.

“Biomedical Fund akan memberikan pendanaan ke startup yang berpotensi membawa perubahan positif dalam penyediaan layanan kesehatan, termasuk teknologi diagnosis, manajemen data kesehatan, telemedis, dan solusi inovatif lainnya,” tutur Partner Living Lab Venture Bayu Seto.

Sejauh ini, LLV telah berinvestasi di sejumlah startup, seperti Jumpstart, Amoda, Paper.id, dan BRIK. Investasi ini tidak hanya ditujukan ke sektor proptech, tetapi juga mencakup sektor agnostik yang memiliki fleksibilitas dan peluang yang tajam. Hingga saat ini, LLV telah memberdayakan 27 startup yang berfokus pada tiga aspek teknologi utama, yakni smart technologies, digital life, dan mobility.

Inisiatif genomik dan bioteknologi

Belum banyak dana kelolaan yang difokuskan untuk pengembangan teknologi di bidang kesehatan di Indonesia. Dua tahun lalu, Bio Farma sempat meluncurkan Bio Health Fund dengan fokus pada investasi biotech, menggandeng MDI Ventures. Namun, belum diketahui kapan dana tersebut akan di-deploy.

Sementara, East Ventures dilaporkan tengah menggalang dana kelolaan baru sebesar $30 juta untuk Healthcare Fund sejak tahun lalu. Dana ini spesifik akan disuntikkan ke startup tahap awal healthcare dan vertikal turunannya.

Adapun, inisiatif lain untuk pengembangan genomik telah digulirkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Biomedical & Genome Science Initiative (BGSi). Targetnya, sebanyak 100 ribu sample dapat terkumpul pada 2025.

Kitabisa Resmi Akuisisi Asuransi Amanah Githa

PT Asuransi Jiwa Syariah Amanahjiwa Giri Artha (Asuransi Amanah Githa) resmi berganti nama menjadi PT Asuransi Jiwa Syariah Kitabisa. Informasi ini sekaligus mengonfirmasi kabar akuisisi oleh platform donasi Kitabisa yang sudah berhembus sejak tahun lalu.

Perubahan nama ini telah disetujui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui surat keputusan KEP-283/PD.02/2023 tertanggal 29 Desember 2023.

“Dengan diberikannya pemberlakuan izin usaha perusahaan, PT Asuransi Jiwa Syariah Kitabisa diwajibkan agar dalam menjalankan kegiatan usaha selalu menerapkan praktik usaha yang sehat dan senantiasa mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku,” sebagaimana dikutip dari situs OJK.

Situs Asuransi Kitabisa sudah bisa diakses secara publik. Dalam situs Asuransi Kitabisa, disampaikan bahwa mereka hadir dengan konsep back to basic. “Basic-nya asuransi adalah Saling Jaga,” tulisnya.

Dari pantauan DailySocial.id, aplikasi Kitabisa sudah menyediakan fitur SalingJaga untuk membeli polis asuransi jiwa. Manfaat yang ditawarkan adalah asuransi jiwa. Jadi jika anggota tutup usia selama masa perlindungan, maka keluarga akan mendapat bantuan tunai sesuai dengan besaran manfaat yang dipilih sejak awal.

Premi yang dibayarkan mulai dari Rp22 ribu (bulanan), Rp124 ribu (per 6 bulan), dan Rp246 ribu (tahunan).

Sempat terkendala

Berdasarkan situs Kitabisa, Kitajaga adalah program lanjutan dari Saling Jaga yang sudah ditutup sejak Juli 2021. Praktiknya seperti asuransi pada umumnya sehingga OJK melarang Kitajaga untuk beroperasi dan harus memenuhi aturan yang berlaku dengan mengajukan izin asuransi.

Setelah dioperasikan kembali dengan nama Kitajaga, mereka bermitra dengan pialang asuransi PT PasarPolis Insurance Broker, menyediakan produk asuransi jiwa dari Takaful Keluarga. Manfaat asuransi yang ditawarkan adalah perlindungan jiwa.

Dalam perjalanannya, kemitraan Kitabisa dengan Asuransi Amanah Gita dimulai sejak meluncurkan Koperasi Kitabisa (Koperasi Jasa Multi Pihak Kita Bisa Indonesia). Dalam keanggotaannya, koperasi ini terbatas hanya untuk anggota Kitabisa −sekaligus mendaftar jadi pemegang polis asuransi− yang sudah mendaftar dengan iuran bulanan (disebut patungan) sebesar Rp8 ribu per bulan.

Manfaat yang bisa diterima, anggota bisa mengajukan pinjaman tanpa bunga dengan limit maksimal Rp3 juta untuk kebutuhan mendadak. Juga, santunan bila jatuh sakit kritis, kecelakaan, dan meninggal. Terdapat pula program beasiswa, pelatihan usaha, dan galang dana. Koperasi Kitabisa juga bisa diakses melalui aplikasi Kitabisa.

Reorganisasi

Kitabisa mengumumkan perubahan struktur organisasi perusahaan. Vikra Ijas naik posisi jadi CEO Kitabisa dari sebelumnya CMO. Posisi CEO ini sebelumnya ditempati oleh rekan founder-nya Alfatih Timur. Timmy, panggilan akrabnya, sekarang menjabat sebagai Presiden.

Dalam akun media sosialnya, memasuki usia satu dekadenya yang pertama, Kitabisa mengklaim telah menggaet lebih dari 8 juta donatur dan menyalurkan ratusan juta bantuan.

Application Information Will Show Up Here

DOKU Luncurkan ‘Wallet-as-a-Service’, Mudahkan Pemilik Bisnis Buat Dompet Digitalnya Sendiri

DOKU resmi merilis layanan Wallet-as-a-Service (WaaS) bagi mitra bisnis yang ingin menambah fitur dompet elektronik (e-wallet) ke dalam ekosistem bisnisnya. Layanan WaaS memiliki fungsi untuk memfasilitasi transaksi pengguna dan mengelola arus keuangan.

WaaS didukung dengan infrastruktur e-wallet yang akan dihubungkan dengan API ke ekosistem mitra. Saat ini, DOKU menggandeng Tomoro Coffee dan Coda sebagai merchant pertama yang menerapkan layanan WaaS ke dalam operasional perusahaan.

“Selama ini, lisensi e-money dan e-wallet dari Bank Indonesia diterapkan DOKU e-Wallet sebagai salah satu opsi pembayaran di ekosistem kami. Lewat interaksi bersama merchant, kami dapat ide baru untuk mengoptimalkan layanan ini,” tutur Co-Founder & COO DOKU Nabilah Alsagoff dalam keterangan resminya.

Ia menambahkan inovasi ini akan memudahkan para merchant karena bisnis berbasis aplikasi tinggal menambahkan fitur e-money di dalamnya. Adapun, layanan WaaS hadir dalam dua fungsi dan dua segmen pasar, yakni:

  1. E-wallet Bisnis: untuk mengelola arus uang dalam ekosistem internal merchant. Tomoro Coffe, contohnya, tercatat perlu menyalurkan uang kas ke sekitar 300 cabang di seluruh Indonesia.
  2. E-wallet Konsumen: untuk ditambahkan ke dalam aplikasi merchant, memungkinkan pengguna top up dan bertransaksi di platform merchant. Misalnya Coda, pelanggan dapat mengisi saldo untuk membeli berbagai konten game di platform ini.

Sebelumnya, pada pertengahan 2023, DOKU meluncurkan Juragan DOKU untuk mempermudah pengelolaan transaksi pembayaran UMKM secara online dan offline. Juragan DOKU ditargetkan dapat mendorong pasar social seller.

DOKU juga kini memposisikan diri sebagai beyond payment, bagian dari transisi bisnisnya sejak awal berdiri sebagai payment gateway 16 tahun silam. Ini menjadi strategi selanjutnya untuk memimpin pasar di Indonesia maupun kawasan Asia Tenggara.

Dihubungi secara terpisah, Nabila mengungkap pasar Indonesia sangat terfragmentasi dan punya erilaku pembayaran yang berbeda sesuai kebutuhan dan lingkungannya. “Terlebih lagi, kebutuhan bisnis merchant berubah secara dinamis. Maka itu, kami yakin industri ini perlu infrastruktur pembayaran yang terukur dan bisa tumbuh bersama dengan bisnis mereka,” ujarnya lewat pesan singkat kepada DailySocial.id, Rabu (24/1).

DOKU WaaS membidik segmen B2B dan pemilik bisnis yang membutuhkan pengelolaan keuangan, baik keuangan internal atau bisnis di segmen B2C. Layanan WaaS dapat melayani kategori, seperti marketplace, fintech, bisnis ritel tradisional, FMCG, atau logistik.

Mengutip informasi di situs resminya, DOKU telah memiliki lebih dari 150 ribu merchant dan 4 juta pengguna dengan volume transaksi mencapai 360 juta dan nilai transaksi sebesar Rp330 triliun (year-to-date).

Indonesia adalah salah satu pasar dengan volume transaksi pembayaran digital yang besar. Menurut riset Katadata Insight Center (KIC), dompet digital menjadi metode pembayaran yang paling banyak (84%) digunakan masyarakat saat belanja online, diikuti uang tunai (61,4%) dan transfer bank (47,8%).

Kehadiran fitur QRIS juga memudahkan masyarakat untuk bertransaksi, baik melalui mobile banking maupun aplikasi dompet digitalnya. Pada periode Januari-Oktober 2023, BI mencatat total volume transaksi QRIS mencapai 1,6 miliar dengan nilai sebesar Rp24, triliun.

Application Information Will Show Up Here

AC Ventures Tutup Putaran Akhir Dana Kelolaan Kelima Sebesar Rp3,2 Triliun

AC Ventures (ACV) menutup putaran akhir dana kelolaan kelimanya ACV V L.P (ACV Fund V) dengan total $210 juta (sekitar Rp3,28 triliun). Nilai tersebut sudah termasuk dana co-investasi.

ACV Fund V didukung oleh sejumlah Limited Partner (LP) global, melibatkan IFC dan lembaga keuangan terkemuka dari Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Asia Utara. Dari total nilai ini, 50% dana terkumpul berasal dari investor terdahulu, dan 90% dana berasal dari modal institusional.

Putaran pertamanya ditutup pada 2022 senilai Rp2,4 triliun. Berdasarkan data yang dirangkum DailySocial.id di sepanjang 2023, ACV telah menggulirkan investasi ke sejumlah startup Indonesia, termasuk ALAMI, BRIK, Broom, Maka Motors, dan Rosé All Day Cosmetics.

“Indonesia menjadi pusat investasi yang dinamis, berkembang pesat di tengah pergeseran ekonomi global. Pertumbuhan ini didorong oleh populasi yang muda, peningkatan kesejahteraan, dan pemerintahan yang stabil dan pro-investasi. Indonesia berada di jalur untuk menjadi satu dari sepuluh ekonomi terbesar di dunia dalam dekade mendatang,” ujar Founding Partner ACV Pandu Sjahrir.

Lebih lanjut, ACV mengungkap komitmennya pada dampak berkelanjutan sejalan dengan pencapaian kinerja keuangan yang positif, tak hanya penciptaan nilai ekonomi saja.

Pihaknya menyebut dana kelolaan III menyentuh rasio dampak bersih sebesar 37% oleh The Upright Project, sebuah model berbasis AI buatan Finlandia untuk mengukur dampak bersih perusahaan dan dana kelolaan. Capaian ini disebut telah menempatkan ACV dan portofolionya di atas rata-rata Nasdaq Small Cap Index (NQUSS) sebesar 29%.

“Fokus kami pada keseimbangan hasil finansial dan keberlanjutan, tidak hanya mencerminkan respons pasar saat ini. Hal ini adalah prinsip dasar filosofi investasi jangka panjang kami untuk menciptakan nilai yang substansial bagi semua pemangku kepentingan, dengan pendekatan strategis serta menekankan dampak berkelanjutan dan tata kelola keuangan yang bertanggung jawab,” tutur Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Dalam memberikan nilai tambah portofolionya, ACV memiliki tim penciptaan nilai (value creation) yang mendampingi startup meraih pertumbuhan, inovasi, dan sukses berkelanjutan. Tim juga memiliki keahlian khusus dalam pemasaran, pertumbuhan, humas, dan panduan ESG.

Ekonomi digital Indonesia diperkirakan masih tumbuh dalam beberapa tahun mendatang dengan proyeksi total GMV sebesar $110 miliar pada 2025. Kendati begitu, iklim investasi startup Indonesia pada tahun ini diprediksi masih akan sulit, dipicu oleh ketidakpastian ekonomi global.

Menurut sejumlah investor, tahun 2024 masih akan menjadi momentum startup teknologi dan digital untuk membenahi fundamental bisnisnya. Startup perlu meraih profitabilitas untuk mengembalikan kepercayaan investor terhadap bisnisnya.