Ajaib Group Kini Miliki 40% Saham Bank Bumi Arta

Ajaib Group melalui PT Takjub Finansial Teknologi (TFT) kembali meningkatkan porsi kepemilikan sahamnya di PT Bank Bumi Arta Tbk (IDX: BNBA) sebanyak 443,52 juta saham atau setara 16 persen dari seluruh modal ditempatkan dan disetor penuh.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), transaksi pembelian saham ini dilaksanakan pada 8 April 2022 dengan harga pelaksanaan Rp1.345 per saham.

Sebelumnya, Ajaib Group mencaplok sebanyak 665,2 juta saham atau mewakili 24 persen saham Bank Bumi Arta pada November 2021. Dengan penambahan ini, Ajaib kini menguasai 1,10 miliar saham atau setara 40 persen dari seluruh modal ditempatkan dan disetor penuh.

Manajemen Ajaib Group mengungkap bahwa pihaknya ingin menjadi pemegang saham pengendali baru Bank Bumi Arta melalui penambahan kepemilikan saham ini.

Ekspansi produk

Dalam pemberitaan sebelumnya, Director of Stock Brokerage Ajaib Sekuritas Anna Lora sempat menyampaikan bahwa akuisisi ini akan memudahkan Ajaib untuk mengembangkan lebih banyak produk di masa depan.

Perusahaan mulai memperkenalkan layanan baru bernama Margin Trading Ajaib pada Maret. Sebagai informasi, margin trading merupakan pinjaman yang difasilitasi perusahaan sekuritas kepada nasabah pemilik rekening efek.

Margin Trading Ajaib memungkinkan pengguna untuk menebus jumlah saham lebih banyak dengan menggunakan pinjaman dana dari perusahaan sekuritas. Ajaib memfasilitasi Margin Trading dengan 0% pada biaya broker dan bunga margin.

Saat ini, bisnis utama Ajaib adalah platform investasi untuk saham dan reksa dana. Per Desember 2021, total investor Ajaib telah mencapai 1,4 juta orang. Dari angka tersebut, sebesar 96 persen merupakan investor pemula dan 90 persen masuk kelompok usia muda.

Sementara data BEI per akhir 2021 mencatat baru ada 7,48 juta investor retail di Indonesia. Namun, angka tersebut tumbuh signifikan sebesar 92,7 persen dibandingkan akhir 2020 yang hanya sekitar 3,88 juta investor.

Jika mengacu pada model bisnis Robinhood, platform trading dan investasi ini menerapkan komisi nol pada layanannya. Robinhood memonetisasi bisnis melalui sejumlah skema, termasuk margin trading, cash management fee, hingga Robinhood Gold.

Fintech akuisisi bank

Sempat dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan sejumlah faktor kuat yang melandasi aksi startup fintech mengakuisisi bank.

Akuisisi bank akan memampukan startup fintech untuk meningkatkan inklusi keuangan ke seluruh Indonesia. Salah satunya lewat fasilitas pinjaman modal usaha dengan plafon lebih tinggi. Dalam catatan kami, beberapa startup fintech yang mengakuisisi bank ini fokus di segmen UMKM.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial.id

Faktor lainnya, bank-bank yang diakuisisi ini merupakan bank kecil. Mereka dicaplok dengan harga murah karena tidak mampu memenuhi syarat modal minimum yang ditetapkan OJK. Lagi pula, akuisisi bank kecil lebih memudahkan perusahaan untuk melakukan transformasi karena infrastruktur dan kantor cabangnya kecil.

Application Information Will Show Up Here

Gurita Bisnis Ralali di Ranah E-Commerce B2B

Riset yang dilakukan Frost & Sullivan mengestimasi potensi pasar e-commerce B2B Indonesia mencapai $56,3 miliar pada 2022. Angka tersebut berjumlah dua kali lebih tinggi dari sektor B2C yang diestimasi sebesar $25,8 miliar. Angka tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan rekan-rekan regionalnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, tetapi lebih besar dibandingkan dengan Vietnam.

Thailand memiliki pasar B2B terbesar pada 2017 senilai $52,0 miliar dan kemungkinan akan tetap demikian selama periode perkiraan.  E-commerce B2G merupakan kontributor utama transaksi di Singapura, Malaysia, dan Thailand. Di beberapa negara ini, lebih dari 90% pengadaan pemerintah dilakukan melalui saluran online.

Logistik yang belum berkembang menjadi salah satu masalah terbesar di Indonesia. Ini adalah salah satu alasan utama mengapa semua daerah di Indonesia tidak tumbuh dengan kecepatan yang sama seperti Jakarta.

Dalam memainkan peran tersebut, berbondong-bondong pemain e-commerce, yang tadinya hanya di B2C, tancap gas dengan masuk ke B2B demi meramaikan para pemain e-commerce B2B yang sudah beroperasi. Salah satu pemain yang konsisten menyeriusi segmen B2B sejak awal adalah Ralali, yang didirikan Joseph Aditya sejak 2013.

Kepada DailySocial.id, Joseph menuturkan saat ini perusahaan tidak hanya fokus ke marketplace tapi juga membangun ekosistem B2B agar menjadi solusi utama bagi pelaku bisnis. Terhitung saat ini grup telah didukung lima lini bisnis, yakni situs e-commerce (Ralali.com), healthcare (Neoclinic), brand privat (Primero dan Fitmee), social commerce (Ralali Connect), dan on demand business (Ralali Agent).

“Berdasarkan performa, Ralali.com mencatat pertumbuhan secara organik [dan] telah berhasil meningkatkan transaksi hingga 174% di 2021 dari tahun sebelumnya, serta tercatat lebih dari 1,5 juta masyarakat dan pelaku usaha terhubung dan diperbantukan oleh solusi ekosistem digital dari Ralali Group,” kata Joseph.

Dia melanjutkan, masing-masing lini yang dikembangkan perusahaan saling terkoneksi satu sama lain, sehingga membentuk ekosistem B2B yang mampu menjawab kebutuhan di industri. Misalnya, Ralali Connect bertugas untuk bantu UMKM dengan menyediakan layanan digital storefront, pembuka akses jaringan, dan komunitas bisnis.

Dari situ, timbul kebutuhan yang besar akan tersedianya tenaga lapangan untuk penetrasi pasar, baik itu promosi, survei, atau aktivasi usaha. Lahirlah Ralali Agent, on demand business platform, untuk mencari penghasilan tambahan bagi masyarakat, sehingga membantu bisnis tumbuh dengan memberikan kolaborasi antara teknologi digital dan tenaga kerja dalam melakukan proses O2O.

Di tahun ini Ralali Agent ditargetkan dapat memperluas jaringannya hingga mencapai 1,5 juta agen di seluruh Indonesia untuk menyelesaikan 45 juta jenis pekerjaan. “Platform ini telah membantu ratusan ribu masyarakat dan hadir di 25 kota besar di Indonesia untuk mendapatkan penghasilan tambahan di waktu luangnya dengan cara mengerjakan pekerjaan yang tersedia di dalam platform.”

Berikutnya adalah Ralali Solution Center sebagai wadah bagi para pelaku usaha yang masih berjualan secara offline. Mereka dapat bergabung menjadi seller Ralali.com, sehingga dapat memasarkan produknya secara online. Ralali Solution Center menjembatani penjual dengan korporasi atau klien dari Ralali.com. Klien ataupun pembeli dapat membuat permintaan barang melalui RFQ (Request For Quotation), salah satu fitur unggulan Ralali.com.

Inovasi yang baru dirilis berikutnya adalah Ralali Business Collection untuk membuka kesempatan bagi masyarakat yang sedang berencana memulai bisnis dengan tawaran paket usaha dan harga grosir terbaik. Peluang ini terbuka untuk bisnis kopi, sembako, minuman kekinian, dan otomotif.

Masuk brand privat

Salah satu langkah terobosan yang dilakukan Ralali adalah masuk ke brand privat sebagai langkah pengembangan bisnis di luar e-commerce. Ada tiga brand yang sudah dirilis secara resmi oleh perusahaan, yakni Primero (produk masker), Neoclinic (klinik kesehatan berbasis teknologi), dan Fitmee (mi instan sehat).

Joseph tidak menuturkan lebih rinci hipotesis dibalik peluncuran brand privat tersebut. Ia mengatakan, Primero dan Neoclinic (PT Langkah Infinit Fortuna Era) dirintis karena selama pandemi pihaknya melihat peluang besar di sektor kesehatan. Primero terbuat dari bahan hypoallergenic, aman untuk kulit sensitif karena tidak menimbulkan reaksi alergi. Masker ini telah mengantongi izin dari Kementerian Kesehatan Indonesia dan direkomendasikan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

“Primero dapat menjadi solusi masyarakat di tengah kelangkaan masker pada saat itu dan menjadi top 5 sales brand masker yang dapat ditemukan di modern market di seluruh Indonesia.”

Neoclinic memadukan kesehatan dan teknologi untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, seperti booking dan appointment, pemberian hasil tes, hingga konsultasi dengan dokter. Klinik ini memiliki layanan kesehatan yang lengkap, mulai dari pemeriksaan kesehatan, tindakan medis ringan, pemeriksaan Swab Test, tes laboratorium, serta vaksinasi Covid-19. Lokasinya tersebar di delapan titik di Jakarta, Tangerang, Surabaya dan akan hadir di lima kota besar lainnya.

“Dengan hadirnya lini bisnis terbaru kami (healthcare) tentunya membuat positioning Ralali semakin kuat di berbagai segmen dan keterkaitan antar platform kami sebagai satu entitas dalam group.”

Berikutnya, Fitmee merupakan hasil akuisisi Ralali dari The Fit Company. Tidak disebutkan nominal dalam transaksi tersebut. Hipotesis perusahaan terhadap prospek bisnis di sektor ini adalah selama pandemi masyarakat mulai peduli terhadap masalah kesehatan. Asupan gizi dan gaya hidup sehat mulai menjadi prioritas utama bagi sebagian besar orang.

Atas dasar tersebut, Ralali melihat babak baru dalam industri porang (shirataki) buatan Indonesia dan memutuskan untuk mengakuisisi Fitmee. Fitmee adalah produk mi instan yang menggunakan umbi porang sebagai bahan dasar yang diolah menjadi mi shirataki. Mi jenis ini bebas kolesterol, rendah gula, dan tinggi akan serat.

Joseph menjelaskan, saat ini pangsa pasar dalam produsen mi instan sehat di Indonesia baru 1%, sehingga banyak peluang yang ditawarkan dalam industri F&B ini. Data lainnya juga menyebutkan pasar makanan organik dunia diperkirakan mencapai $272,18 miliar pada 2027 dengan pertumbuhan 12% per tahun.

“Ralali Group (sebagai ekosistem) tentunya memperluas pasar agar produk ini dapat penuhi kebutuhan bagi para kosumen dalam menjalani gaya hidup sehat. Selain itu, melalui kolaborasi antar dua entitas (Ralali dan The Fit Company) memberikan kontribusi yang signifikan untuk penuhi target laba dalam ekosistem Ralali.”

The Fit Company adalah startup wellness yang didirikan Jeff Budiman dengan beberapa lini bisnis di bawahnya, termasuk Kredoaum, 20Fit, Fitstop, Fit Lokal, Fitmee, Slim Gourmet, Wellnez Indonesia, dan FITCO.

Penggalangan dana berikutnya

Ralali di bulan Februari lalu mengumumkan perolehan pendanaan Seri D batch pertama senilai $10,9 juta (lebih dari 155 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh SBI Group, investor sebelumnya yang memimpin putaran Seri B, dan Bee Accelerate. Putaran ini diikuti jajaran investor lainnya, seperti Beenos Asia, ICMG Partners, dan Arbor Venture.

Dana segar ini akan digunakan memperkuat solusi integrasi e-commerce B2B bagi pelaku usaha, merealisasikan target penerapan open finance system, dan merilis Ralali Big Data yang dapat memberikan acuan maupun rekomendasi dalam bentuk laporan black journal–sebuah sistem informasi keuangan yang dikelola perusahaan untuk membantu pelaku usaha mendapatkan data bisnis yang valid.

Berikutnya Ralali berencana menghadirkan fitur terbaru bernama Ralali Plus, sebuah solusi pengembangan usaha untuk mendapatkan kemudahan pembayaran dalam penuhi kebutuhan berbisnis. “Fasilitas unggulan yang diberikan, mulai dari permodalan usaha, credit scoring, one bill services untuk keperluan utilitas, penggunaan instan untuk transaksi kebutuhan usaha di dalam platform Ralali, dukungan pemasaran hingga edukasi finansial.”

Untuk rangka mewujudkan ambisi tersebut, perusahaan tengah membuka pendanaan Seri D batch kedua. Ralali juga mengundang mitra strategis yang bergerak di industri potensial, seperti perbankan, logistik, API, platform POS untuk dapat berkolaborasi. Jika usaha-usaha ini lancar, target perusahaan yang membidik enam juta pengguna dan ekspansi ke 50 kota dapat segera terealisasi.

“E-commerce B2B memiliki potensi perkembangan yang pesat di Indonesia. Dapat terlihat dari Laporan EigenRe, bahwa market size B2B di Indonesia diprediksi capai $21,3 miliar pada 2023 mendatang. Pandemi Covid-19 membuat para pemain B2B perlu adaptasi kebiasaan baru Covid-19, dan hal ini dapat menjadi menjadi peluang rebound untuk bisnis B2B,” tutupnya.

Komunal Akuisisi BPR Asal Kediri, Dijadikan sebagai Percontohan dan Lab Inovasi

BPR Prima Dadi Arta kini sudah resmi menjadi bagian dari startup p2p lending Komunal, setelah mendapat izin efektif dari OJK yang telah diterbitkan sejak Februari 2022. Perusahaan akan menjadikan BPR asal Kediri, Jawa Timur ini sebagai BPR percontohan sekaligus laboratorium inovasi untuk pengembangan solusi BPR di Indonesia agar dapat beroperasi secara efisien, serta terintegrasi dengan ekosistem Komunal.

“Sebelum kita punya BPR, ketika mau memperkenalkan inovasi ke OJK itu lama karena posisi kita bukan sebagai BPR tapi sebagai fintech. Banyak pihak yang harus kita yakinkan dan tidak bisa dipaksa. Namun ketika posisinya sudah menjadi BPR, kita bisa lebih mudah presentasi di depan OJK dan bisa sharing ke BPR lain juga,” ucap Co-founder dan CEO Komunal Hendry Lieviant saat dihubungi DailySocial.id, Selasa (12/4).

Sebelumnya pengumuman rencana aksi korporasi ini sudah diumumkan pada November 2021. Mengutip dari Bisnis.com, Komunal mengakuisisi 100% saham BPR Prima Dadi Arta atas nama direktur dan pendirinya, yakni Hendry Lieviant (34%), Rico Tedyono (33%), dan Kendrick Winoto (33%). Ketiganya mengambil alih kepemilikan saham BPR yang sebelumnya digenggam Peter Lumanpauw, Arthur Lumanpau, Elsye Susana, dan Fendy dengan total nominal saham Rp2,7 miliar.

Hendry melanjutkan, area inovasi digital yang dilakukan Komunal untuk BPR ini tidak ingin jauh-jauh dari DNA BPR sebagai spesialis di bisnis simpan-pinjam dan kredit. Hal itu dimaksudkan dengan penambahan solusi digital, dapat membuat BPR jadi tumbuh secara efisien, aman, dan mendorong masyarakat untuk menaruh dananya di BPR.

“Ini jadi cycle, masyarakat mau simpan dana di BPR, BPR-nya jadi tumbuh lebih besar, ekonomi lokal pun akan semakin terbantu. Sebab kami percaya, di daerah itu semua harus jalan bareng-bareng, fintech lending jalan, bank digital jalan, dengan demikian inklusi keuangan akan berjalan jauh lebih cepat.”

Dengan ambisi menjadi BPR percontohan, sambungnya, untuk urusan pendanaan di industri BPR bisa sepenuhnya mengandalkan kehadiran startup fintech. Kemampuan data analitik yang mumpuni dari startup, dapat membantu BPR menyalurkan kredit secara efisien, namun dengan tetap mengedepankan aspek prudensial.

Secara industri, BPR yang beroperasi di Indonesia itu berkisar di angka 1.500 dengan total 5.800 kantor cabang. Ia pun merinci, sekitar 5.500 dari total kantor cabang BPR ini setara dengan kantor cabang lima bank besar di Indonesia. Ialah, Bank Mandiri, BCA, CIMB Niaga, BTPN, dan BTN.

“Dari angka itu, 97% ada di luar Jabodetabek dan Banten, berlokasi di kota lapis dua dan tiga. Jadi masih banyak potensi yang bisa dikembangkan, asal mereka [BPR] mau berkembang. Maka, DepositoBPR ini jadi langkah pertama dan bisa jadi solusi win-win untuk semuanya.”

Salah satu implementasi yang akan dilakukan lewat BPR Prima Dadi Arta adalah e-bilyet. Hendry menuturkan, penerbitan bilyet kini sudah tidak relevan dengan perkembangan di era digital. Bilyet itu merupakan dokumen fisik untuk membuktikan keabsahan deposito yang dimiliki seseorang itu adalah asli.

Dicontohkan, BPR di Bali harus mengirimkan bilyet fisik ke deposan yang berlokasi di Jakarta, begitu pun sebaliknya saat deposan ingin menarik depositnya. Akibatnya biaya logistik harus ditanggung oleh konsumen. Pihaknya sedang mengajukan proses perizinan untuk e-bilyet di OJK.

“Banyak cara lain untuk solve that issue. Tapi kan kegiatan tersebut sudah dijalankan oleh BPR yang sudah puluhan tahun beroperasi, kita mau dobrak inovasi e-bilyet begitu sukses di BPR Prima Arta Dadi kita mau ajak yang lain.”

Peresmian aplikasi DepositoBPR

Pekan lalu (7/4), Komunal meresmikan aplikasi DepositoBPR untuk menghubungkan berbagai BPR dan nasabah di seluruh Indonesia yang ingin melakukan pembukaan DepositoBPR secara online. Produk ini dirintis melalui anak usaha Komunal (PT Komunal Finansial Indonesia), yakni PT. Komunal Sejahtera Indonesia yang telah tercatat di OJK sebagai penyelenggara inovasi keuangan digital (IKD).

Hendry menjelaskan sampai saat ini Komunal telah berhasil menyalurkan dana nasabah senilai Rp500 miliar kepada mitra-mitra BPR yang sudah bekerja sama dengan Komunal. Disebutkan DepositoBPR telah bekerja sama dengan 110 BPR, dengan persebaran sekitar 50% terpusat di area Jawa Timur, sisanya tersebar Pulau Jawa dan Bali.

“Kami mau perdalam penetrasi BPR ke luar Pulau Jawa dan Bali BPR, di Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi. Kami baru ada masing-masing 1 BPR yang bekerja sama untuk masing-masing pulau tersebut. Meski sedikit ini bukan berarti tidak ada BPR di sana, tapi belum ada pihak yang mau ke sana. Ini jadi kesempatan kami.”

Seluruh BPR yang telah bekerja sama ini sebelumnya sudah disortir oleh perusahaan, hanya mereka yang sudah terdaftar di LPS. DepositoBPR dapat diunduh melalui App Store dan Play Store, menawarkan bunga deposito hingga 6% per tahun dan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)sampai dengan Rp2 miliar.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Lebih Dalam Esensi Teknologi Cloud Bagi Pertumbuhan Bisnis Startup

Mengacu pada perekonomian digital yang terus berkembang, dan konsumsi digital yang kian terakselerasi pasca pandemi menuntut pelaku startup wajib mengelola infrastruktur teknologinya secara cermat. Terlebih bagi startup yang tengah berada di fase ‘growth’, fleksibilitas dalam mengelola infrastruktur dalam menangani peningkatan skala secara signifikan menjadi faktor esensial dalam menjalankan bisnis.

Dengan semakin berkembangnya teknologi cloud saat ini, fleksibilitas dalam mengelola infrastruktur startup untuk menangani peningkatan skala secara signifikan dapat dengan mudah dilakukan, berkat tersedianya penyedia solusi teknologi cloud yang semakin komprehensif. Solusi teknologi cloud menjadi garda terdepan tatkala adopsi digital meningkat signifikan sejak pandemi 2020 lalu. Pun riset WEF mengatakan, cloud computing menjadi salah satu teknologi yang paling banyak diadopsi selama pandemi, yakni sebesar 95%.

Salah satu platform penyedia layanan teknologi cloud computing yang terkemuka adalah AWS Indonesia, yang dikenal tak hanya menyediakan fasilitas solusi komputasi awan (cloud computing), namun juga memberikan dukungan secara langsung kepada industri. Seperti yang telah dikenal sebelumnya, AWS merupakan platform penyedia solusi cloud ternama yang menawarkan lebih dari 200 layanan unggulan yang lengkap dari pusat data secara global.

Di Indonesia, platform AWS melayani solusi cloud bagi korporasi, maupun juga pelanggan yang datang dari kalangan startup. Berbicara mengenai startup, AWS Indonesia memiliki program bernama AWS Activate Founders. Program ini diklaim dirancang secara khusus memberikan dukungan taktis terhadap industri startup, melalui berbagai macam dukungan baik itu dukungan teknologi, sumber daya, hingga dukungan ahli.

Program AWS Activate Founders mengusung sejumlah benefit untuk menunjang pertumbuhan startup yang signifikan. Dalam laman resminya disebutkan, startup yang tergabung di program bakal langsung memperoleh sejumlah benefit seperti; kredit AWS hingga US$10 ribu, kredit AWS support senilai US$350, panduan best practice melalui akses AWS Trusted Advisor dan AWS Personal Health Dashboard, template infrastruktur ciri khas AWS, penawaran eksklusif bagi anggota, hingga konten dan dukungan sumber daya yang bermanfaat dalam Activate Console.

Penawaran menarik yang ditawarkan di atas tentu dapat dimanfaatkan oleh startup dalam kriteria tertentu. Misalnya saja startup baru terverifikasi sebagai anggota baru AWS Activate Founders, tingkat pendanaan yang beragam mulai dari bootstrap hingga seri-A, memiliki website aktif, dan juga telah didirkan selama 10 tahun terakhir.

Untuk mendalami lebih lanjut seputar solusi teknologi cloud dan penerapannya bagi industri startup, AWS Indonesia bersama dengan DailySocial.id kembali menggelar event webinar #StartupUntukNegeri dengan tema kali ini; “AWS Activate Program Untuk Startup Indonesia”. Topik webinar ini dirancang khusus untuk mengenalkan ekosistem solusi cloud computing dari AWS, dengan formula khusus yang diusung oleh program AWS Activate khusus untuk kalangan startup. Tertarik untuk mendaftar, Anda bisa kunjungi tautan berikut ini untuk mendaftar. Selamat mencoba!

Waresix Dikabarkan Mendapat Pendanaan Tambahan Seri B 718 Miliar Rupiah

Startup logistik Waresix dikabarkan mendapatkan pendanaan tambahan untuk putaran seri B. Sejumlah investor yang tergabung di antaranya Tiger Global, Temasek, dan East Ventures. Menurut data yang sudah disetorkan ke regulator, kisaran dana yang didapatkan mencapai $50 juta atau setara 718,4 miliar Rupiah.

Capaian ini melambungkan valuasi perusahaan di angka $420 juta, memboyong Waresix sebagai salah satu penyedia platform teknologi logistik paling bernilai di Indonesia. Sebelumnya mereka membukukan pendanaan seri B senilai $100 juta dari sejumlah investor, termasuk East Ventures, Jungle Ventures, SoftBank Ventures Asia, EMTEK, Pavilion Capital, dan Redbadge Pacific. Berselang kurang dari satu tahun, MDI Ventures juga turut masuk ke pendanaan seri B tersebut.

Saat ini Waresix menyediakan teknologi logistik untuk dua solusi utama, yakni terkait manajemen transportasi dan warehouse. Di sektor transportasi, mereka mengembangkan platform Transportation Management System, memudahkan bisnis untuk mengelola penugasan pengantaran barang, pemantauan real time, administrasi pengemudi, hingga pelaporan.

Sementara untuk solusi warehouse, mereka memungkinkan bisnis untuk menemukan layanan gudang — dan memungkinkan pemilik gudang untuk menjual ruang yang mereka miliki secara efisien. Di tahun 2020, Waresix telah memiliki 30 ribu armada truk yang terhubung di platform dan 300 operator gudang di berbagai kota.

Perluasan bisnis juga direncanakan, salah satunya untuk masuk ke layanan logistik first-mile dan mid-mile yang belum terakomodasi. Tahun 2020 lalu, Waresix mengakuisisi Trukita yang dikenal sebagai portal marketplace untuk membantu pengguna menemukan penawaran jasa angkut barang dan truk untuk pengiriman.

Harapannya melalui aksi perusahaan ini, Waresix ingin mengakomodasi semua aspek di rantai pasokan melalui pendekatan teknologi, termasuk manajemen truk, pergudangan, transportasi multi-moda, dan manajemen vendor.

Layanan seperti yang disediakan Waresix menjadi relevan di Indonesia. Kondisi yang berbentuk negara kepulauan membuat biaya logistik di menjadi salah satu yang tertinggi di Asia, bahkan berkontribusi terhadap seperempat dari produk domestik bruto Indonesia yang mencapai $1 triliun.

Posisi Indonesia dalam Indeks Daya Saing Logistik 2018 yang dirilis Bank Dunia memang terus membaik. Namun, rasio biaya logistik terhadap PDB Indonesia masih mencapai 24%, tertinggal dari Thailand dan Malaysia. Kondisi tersebut menciptakan potensi senilai $240 miliar dalam sektor logistik di Indonesia. Biaya logistik yang tinggi tidak hanya melemahkan daya saing industri, tetapi juga meningkatkan cost of doing business bagi pelaku UKM di Indonesia.

Dengan berbagai solusi yang unik, banyak startup lokal yang mencoba peruntungan di dunia logistik. Beberapa model bisnis mereka tervalidasi baik dan mendapatkan dukungan investor, di antaranya:

Tiket.com Pertimbangkan Merger dengan Blibli Sebelum IPO

Platform OTA Tiket.com dilaporkan tengah mempertimbangkan merger dengan e-commerce Blibli untuk memuluskan rencana IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kabar tersebut pertama kali mencuat dari pemberitaan Bloomberg.

Sebelumnya kepada DailySocial.id, baik Tiket.com maupun Blibli mengonfirmasi bahwa saat ini valuasinya sudah lebih dari $1 miliar dan masuk ke jajaran unicorn. Sehingga aksi go public dengan penggabungan bisnis ini dapat menghasilkan gabungan valuasi setidaknya $2 miliar saat IPO.

“Penjajakan [merger dengan Tiket] tengah berlangsung tetapi belum ada keputusan final,” ungkap sumber tersebut. Baik perwakilan COVA dan Tiket.com menolak berkomentar terkait rencana merger ini. Sementara, perwakilan Blibli belum menanggapi kabar tersebut.

Apabila ini rencana ini benar, Tiket.com ini berpotensi bergabung ke PT Global Digital Niaga yang menaungi Blibli, sebelum melantai di bursa saham — atau membuat sebuah entitas holding seperti yang dilakukan GoTo. Kedua perusahaan mengandalkan konglomerat Djarum Group untuk mendukung IPO ini.

Sebelumnya, Blibli dikabarkan bekerja sama dengan Credit Suisse Group AG dan Morgan Stanley untuk merealisasikan rencana IPO ini.

Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, Tiket.com awalnya juga mempertimbangkan untuk merger dengan COVA Acquisition Corp dengan nilai $2 miliar. Namun, menurut laporan terbaru Bloomberg, sumber menyebut pembicaraan dengan perusahaan cek kosong atau SPAC ini dihentikan karena tidak menemui titik temu.

Selain opsi SPAC, Chief Executive Officer George Hendrata juga tengah mengeksplorasi opsi IPO secara tradisional serta kemungkinan untuk melakukan penggabungan bisnis dengan salah satu super app di Asia Tenggara.

Tiket.com resmi diakuisisi sepenuhnya oleh Blibli yang berada di bawah naungan GDP Ventures. Adapun, GDP Venture merupakan perusahaan venture capital di sektor digital milik Djarum Group. Platform ini tercatat memiliki jaringan lebih dari 90 maskapai penerbangan serta 2,8 juta hotel dan penginapan lainnya. 

Blibli.com merupakan platform e-commerce yang mengandalkan model bisnis B2C, B2B, hingga B2B2C untuk memasarkan berbagai produk dengan lebih dari 100.000 mitra bisnis.

Sinergi

Jika IPO ini terealisasi, Blibli bakal menyusul PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) yang go public dengan opsi merger. GoTo resmi melantai di BEI hari ini, Senin (11/4), dan berhasil memperoleh dana IPO sebesar Rp15,8 triliun.

Pada kasus Blibli dan Tiket.com, sinergi keduanya sudah lebih dulu terjalin manakala keduanya mengumumkan integrasi akun pengguna dan program loyalitas di masing-masing platform pada Februari 2022 lalu. Sinergi ini diklaim menjadi yang pertama antara platform e-commerce dan OTA di Indonesia.

Kemudian, Blibli juga bermitra secara eksklusif dengan bank digital “blu”, yang juga anak usaha BCA yang dimiliki Djarum Group. Seperti halnya kolaborasi Tiket dan Blibli, sinergi ini diklaim juga yang pertama antara e-commerce dan bank digital.

Dalam skala besar, merger ini memungkinkan Blibli untuk mengeksekusi bisnis utamanya untuk memenangkan pasar online dan offline di Indonesia, terutama di segmen UMKM.

Saat ini baik Tiket.com dan Blibli juga turut didukung Cermati Fintech Group, salah satunya dengan mengaplikasikan layanan paylater dari Indodana (salah satu produk CFG). Adapun Cermati juga sebelumnya telah menjadi bagian dari Djarum Group melalui investasi strategis yang digelontorkan. Selain paylater, mereka memiliki sejumlah layanan finansial lainnya, termasuk insurtech, agregator, hingga open finance.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Unggulkan Sistem Kelas Dunia, iSeller Bersiap Menjadi Solusi Transformasi Digital Bagi Seluruh Pebisnis

Salah satu kunci penting dalam upaya pemulihan ekonomi adalah melalui transformasi digital. Pergeseran yang komprehensif pada pola dan perilaku konsumsi di masyarakat akibat pandemi, membuat transformasi digital menjadi langkah yang esensial. Tak heran di tahun 2024, pemerintah pun menargetkan ada sekitar 30 juta pelaku ekonomi mikro, kecil, dan menengah (UMKM) telah terdigitalisasi. Dalam merespon isu tersebut, dibutuhkan inovasi dan langkah yang strategis dari para stakeholder.

Berbicara mengenai inovasi, salah satu stakeholder yang memiliki peranan ini datang dari sektor startup teknologi. Hingga kini industri startup teknologi tanah air telah cukup rajin menelurkan berbagai macam inovasi layanan dan produk dalam mendorong kesiapan pebisnis dalam memasuki ekosistem digital. Seperti halnya yang disuguhkan oleh iSeller – startup penyedia platform omnichannel sebagai solusi bisnis yang mampu membantu para pemilik bisnis dalam mengelola sekaligus mendistribusikan beragam kebutuhan bisnis ke berbagai kanal melalui satu platform. Mari kita kenali iSeller lebih lanjut.

Solusi mendigitalisasi bisnis yang paling komprehensif dengan SLA 99.99 persen

Di ranah global, model bisnis dan solusi yang diusung iSeller sekilas hampir serupa dengan Shopify, meski begitu, keberadaan iSeller juga mampu menjadi jawaban bagi tantangan pasar di negara berkembang perihal pemahaman bisnis online – terlebih bagi pasar yang berada di wilayah tier 2 dan 3. Solusi omnichannel yang ditawarkan iSeller bisa jadi memangkas isu tersebut. iSeller memungkinkan pebisnis untuk berjualan dan mengelola semua bisnis baik itu secara online, maupun offline, dengan SLA kelas dunia yang mencapai 99,99 persen, berikut dengan bandwidth dan performa sistem online store yang 10 kali lebih optimal. Sehingga memudahkan pebisnis dalam mengelola, sekaligus memanjakan konsumen dalam berbelanja.

Tingkat SLA yang tinggi dengan jaminan performa sistem yang mumpuni menjadi hal yang menarik, sebab, iSeller pada akhirnya mampu menyuguhkan sistem yang paling lengkap dalam bentuk portal web modern, yang memungkinkan klien bisnis memanfaatkan fitur integrasi, dashboard online untuk mengatur inventori, pemasaran, layanan pelanggan, sampai operasional bisnis, hingga sistem POS (point of sale) yang bisa dimanfaatkan bagi pebisnis luring.

Mendukung pertumbuhan pebisnis melalui teknologi dan layanan yang saling terintegrasi

Integrasi layanan dalam pengelolaan bisnis online menjadi salah satu dari sekian yang diunggulkan iSeller di atas untuk memikat pasar. Fitur integrasi iSeller terpusat pada beberapa elemen yang esensial dalam menjalankan bisnis online seperti; integrasi multi kanal penjualan, integrasi pembayaran digital melalui iSeller Pay, dan juga integrasi layanan logistik yang seluruhnya bisa diakses melalui satu dashboard. iSeller Pay sendiri merupakan fitur yang ditawarkan iSeller dalam membuka akses layanan pembayaran secara lengkap mulai dari pemanfaatan produk e-wallet populer, kartu debit/kredit, platform “pay later” seperti Atome, dan lain sebagainya.

Sistem serba terintegrasi yang ditawarkan iSeller diklaim merupakan solusi terbaik bagi segala jenis bisnis, mulai dari bisnis kuliner, retail, elektronik, dan lain sebagainya. iSeller juga menyediakan akses layanan yang cepat dan mudah dilakukan di mana saja melalui Admin App iSeller yang membantu pelaku bisnis memantau penjualan dan operasional tanpa terkendala lokasi dan waktu.

“Melalui ekosistem iSeller yang lengkap, kami percaya mampu mempercepat proses digital transformasi bangsa dengan menyediakan berbagai inovasi serta pelayanan kelas dunia guna membantu UMKM bertumbuh dan naik kelas” terang Jimmy Petrus, Founder & CEO iSeller Commerce dalam keterangannya.

Melihat inovasi dan pengembangan yang diusung iSeller tadi rasanya tak begitu berlebihan jika iSeller layak memperoleh apresiasi dalam kehadirannya sebagai salah satu startup teknologi yang mampu membantu mempercepat kemajuan ekonomi digital Indonesia, terlebih bagi sektor UMKM yang justru beberapa kali terbukti sebagai sektor yang memberikan dampak pemulihan yang besar di tengah ketidakpastian ekonomi. Meski begitu, dukungan dan dorongan dari stakeholder seperti yang dilakukan oleh iSeller harus tetap lestari di masa mendatang untuk menghadirkan solusi yang efisien bagi dunia wirausaha.

“Semangat untuk berwirausaha di Indonesia ini sangat tinggi, Meskipun begitu, kami melihat masih banyak kendala yang kerap dialami, seperti menjalankan bisnis yang kurang efisien dan berujung pada bisnis yang merugi. Adanya iSeller diharapkan bisa membantu para pebisnis meningkatkan efisiensi dan menumbuhkan bisnis mereka lebih besar lagi”, ujar Kevin Ventura selaku CCO iSeller Commerce.

Dari sisi bisnis, iSeller menutup tahun 2021 dengan apik. Pada Oktober lalu, perusahaan ini dikabarkan telah menerima pendanaan pra-seri B senilai 120 miliar rupiah dengan target ekspansi bisnis yang masif dan pertumbuhan yang diincar hingga 3 kali lipat. Terakhir, iSeller juga mengklaim telah digunakan oleh lebih dari 60 ribu pelaku usaha yang tersebar di 10 kota di Indonesia. Sangat menarik untuk kita nantikan perkembangan selanjutnya dari iSeller.

Advertorial ini didukung oleh iSeller.

Mengenal Oval, Platform Media Sosial Khusus Perbincangan Seputar Investasi

Efek domino yang terlihat dari meningkatnya jumlah investor baru selama pandemi adalah kebutuhan meng-upgrade diri dalam mengakses konten-konten finansial. Sumber informasi tersebut dapat diperoleh dengan cara gratis dan juga berbayar. Akan tetapi, perjuangan untuk memperolehnya terpencar di berbagai sumber. Siapa sangka ternyata pengalaman berinvestasi itu ternyata sesunyi ini, terutama bagi investor pemula.

Permasalahan tersebut menjadi cikal bakal berdirinya Oval, platform media sosial khusus investasi. Ide startup ini muncul dari tiga orang, yakni Ariestyo Reza (CEO), Danny Sudarsono (COO), dan Vivian Secakusuma (CSO). Ketiganya adalah rekan kerja dengan latar belakang yang saling mendukung satu sama lain di lintas industri finansial hingga berhasil meluncurkan Oval.

Ariestyo punya pengalaman kuat di bidang finansial, lewat bekerja di London Stock Exchange, VC asal Singapura, MUFG, dan lulusan London Business School. Sementara Danny pernah menjadi co-founder untuk aplikasi manajemen keuangan personal, dan Vivian sebelumnya menjabat sebagai pimpinan tertinggi di BNP Paribas.

Problem-nya sendiri kita temukan saat maraknya pertumbuhan investor sejak pandemi. Lalu, kita lihat experience berinvestasi selama ini lonely experience. Orang pasti pergi mencari komunitas yang sesuai minat mereka tapi belum ada satu wadah untuk mereka,” ucap Ariestyo kepada DailySocial.id.

Riset tentang komunitas

Mengutip dari survei yang dilakukan Tokenomy dan Indodax di 2021, ditemukan bahwa kehadiran komunitas yang berisi kelompok investor tertentu penting karena membantu mereka memahami kelancaran teknis. Sebab, nantinya dapat membentuk cara mereka mengambil keputusan investasi dan membantu adopsi teknologi baru di masa depan.

Dalam survei juga ditemukan bahwa satu dari tiap tiga responden menyatakan tidak terbiasa dengan konsep di balik blockchain. Secara rata-rata para investor Indonesia adalah bagian dari satu hingga tiga komunitas online yang berbeda (Telegram, grup Facebook) — komunitas ini digunakan untuk kampanye pemasaran terpadu dan tujuan pendidikan.

Laporan lain yang disusun oleh YouGov bertajuk The Power of Virtual Communities 2021, memperlihatkan bahwa semakin banyak orang di seluruh dunia yang menemukan makna dan rasa memiliki terutama dalam kelompok online. Dalam survei tersebut, sekitar 1.000 responden di masing-masing dari 15 negara ditanya apakah kelompok terpenting yang mereka ikuti berada di channel online, offline, atau keduanya.

Hasilnya, sebanyak 11 dari 15 negara menyatakan proporsi terbesar kelompok terpenting bagi mereka adalah channel online. Dari 11 negara tersebut, tiga negara di antaranya memegang proporsinya sebesar 50%. Mereka adalah Brazil, Maroko, dan Meksiko. Indonesia sendiri masuk dalam kelompok responden yang mayoritas memilih kanal online sebanyak 49,28%. Lalu disusul campuran (online-offline) sebanyak 32,57%, dan offline saja (18,15%).

Selanjutnya, temuan survei lain menunjukkan bahwa kelompok online yang paling banyak menghasilkan rasa memiliki terbesar adalah, berlawanan dengan intuisi, kelompok yang memiliki ikatan dengan komunitas dan kota lokal. Sebanyak 38% responden menominasikan kategori kelompok tersebut sebagai menghasilkan “cukup banyak atau banyak rasa memiliki”, sementara hanya 12% responden menominasikan kelompok global.

Hal lainnya yang cukup menarik, mereka mengungkapkan kelompok online yang diikuti memiliki seorang pemimpin yang kuat dan inklusif. Ada tiga sifat paling penting dalam diri seorang pemimpin, ialah menerima perbedaan pendapat di antara anggota, terlihat dan berkomunikasi dengan baik, dan bertindak secara etis setiap waktu.

Solusi Oval

Berdasarkan hasil temuan di atas, membentuk konsep Oval yang sangat mengedepankan unsur komunitas. Ariestyo menuturkan, Oval menyediakan platform media sosial untuk memfasilitasi pembelajaran dan berinteraksi antara investor dengan para ahli dan pemengaruh finansial (key opinion leader/KOL) terverifikasi dalam satu grup.

Selayaknya platform media sosial, Oval terbuka untuk untuk membahas semua jenis produk investasi, baik paper asset maupun physical asset, demi meningkatkan literasi dan jumlah investor di Indonesia. Terdapat 10 kelas aset yang dapat dibahas antar pengguna, mulai dari saham, reksa dana, emas, properti, FX, dan mata uang kripto.

Pengguna dapat mengunggah tulisan, menaruh link, dan saling berkomentar dengan sesama pengguna. Tersedia OvalSeleb yang merupakan ahli atau market enthusiast di bidangnya untuk menyajikan konten-konten berkualitas. OvalSeleb adalah akun-akun inspiratif yang siap membimbing investor pemula dalam memulai dan mengembangkan perjalanan investasi, sekaligus jadi teman berbagi.

Fitur lainnya yang tersedia adalah OvalGrup. Ini adalah komunitas yang dipimpin oleh ahli finansial dan KOL untuk mengedukasi dan mengajak berdiskusi para investor seputar dunia investasi. Melalui fitur ini, pengguna dapat mengakses konten eksklusif berupa artikel, diskusi, dan edukasi secara mudah dari OvalSeleb yang tidak bisa diakses di platform lain.

Untuk menjamin kualitas dan kredibilitas, OvalGrup memanfaatkan basis berlangganan. Masa berlangganan konten eksklusif dari OvalSeleb tidak bersifat mengikat dan akan diperbaharui setiap bulannya.

Akan tetapi, sebelum para ahli memiliki akun, tim Oval akan menyeleksi kredibilitas mereka di industri finansial. Jadi, bisa dipastikan mereka yang punya akun resmi di Oval sudah terbukti kiprahnya di industri, tidak sebatas tenar di platform media sosial pada umumnya saja.

Nilai tambah yang ditawarkan Oval ini pada dasarnya untuk menyatukan semua ahli finansial dan investor pemula dalam satu platform. Selama ini, untuk berkomunikasi dengan anggota/pengikut harus berpindah-pindah platform. Misalnya, memanfaatkan Telegram untuk diskusi, lalu Instagram/Twitter agar visibilitas lebih mudah ditemukan, dan memanfaatkan Zoom saat mengadakan webinar. Pengalaman tersebut begitu panjang dan tidak efisien.

“Para KOL ini bisa mengelola grup dan komunitasnya sendiri. Mereka bisa kasih info investasi yang real time, baik itu dari saham, emas atau kripto. Di sini kami menerapkan platform fee sebesar 5%-10%. Dari riset kami, interaksi di grup premium ini sebesar 50% punya e-book, kelas webinar, yang harganya mulai dari Rp25 ribu-Rp2,5 juta. Ini jadi potensi buat kami jembatani.”

Konsep yang ditawarkan Oval, menurut Ariestyo, diklaim menciptakan kategori baru dalam media sosial bahwa terdapat media sosial yang menggabungkan manajemen konten berbayar. Dengan demikian, para kreator dapat leluasa unggah konten yang berkualitas, yang secara prinsip dapat menjadi keberlanjutan. Bahkan di pasar global pun, belum ada yang sama persis seperti Oval. “Mungkin bisa dibilang kami ini Public.com x Patreon, tapi kami sesuaikan dengan segmen di Indonesia khusus investasi dan finansial.”

Ariestyo melanjutkan, “Hal unik lainnya yang kami gunakan adalah pendekatan gamification. Ada daily challenge Earn & Learn untuk pengguna ikuti dan dapat mengumpulkan OvalCoins yang dapat ditukar dengan berbagai hadiah. Ini yang akan kami kembangkan lebih lanjut karena berhasil dorong orang untuk menggunakan Oval.”

Rencana berikutnya

Sejak aplikasi Oval membuka daftar tunggu (waiting list) pada awal tahun ini selama sebulan, diklaim telah menghimpun 14 ribu orang yang mendaftar. Kemudian, aplikasi dirilis resmi pada 23 Maret 2022 berhasil menghimpun 1000 orang dalam kurun waktu tiga hari. Jumlah KOL yang bergabung mencapai puluhan yang terdiri dari perseorangan dan perusahaan.

Pencapaian tersebut akan terus digenjot perusahaan karena Oval sendiri berambisi menjadi jaringan media sosial investasi terbesar di Indonesia. Mimpi ini akan dicapai dengan melakukan penetrasi komunitas investasi yang gencar ke seluruh Indonesia dan sejauh ini masih terfragmentasi di berbagai platform untuk convert ke satu aplikasi di Oval. Langkah ini juga akan didukung dengan penggalangan pendanaan yang rencananya akan digelar segera.

Disebutkan bahwa Oval telah menerima pendanaan dengan nominal dan identitas investor yang dirahasiakan. Namun, Ariestyo menyebut ada beberapa angel investor yang menyuntik Oval pada pertengahan 2020, saat Oval masih berupa ide awal. Tim Oval sendiri kini berjumlah 30 orang. “Nantinya kami akan gunakan dananya untuk support growth Oval selama 12 bulan ke depan, rekrut talenta, dan merilis fitur baru yang masih berkisar soal media sosial,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Cara Arise Dukung Startup Indonesia

DailySocial bersama Aldi Adrian Hartanto, Partner Arise, dana kelolaan MDI Ventures dan Finch Capital, membahas bagaimana dana kelolaan ini memberikan dukungan bagi startup Indonesia, tak hanya dari sisi modal jangka panjang, tetapi juga terlibat langsung di keseharian perusahaan.

Di video ini, Aldi juga memberikan opini terkait perkembangan ekosistem startup ke depan dan tips bagi para pendiri yang ingin melakukan fundraising.

Untuk video menarik lainnya seputar modal ventura (venture capital) dan seperti apa dukungannya terhadap startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi VCTalks.

Upaya Monetisasi Karya Dalam Negeri di Platform “Creator Economy”

Terhitung hampir lima miliar orang atau setara 62,5 persen dari total populasi di dunia mengakses internet per Januari 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 92,1 persen di antaranya online dengan perangkat mobile. Rata-rata masyarakat global menghabiskan waktu hingga tujuh jam setiap harinya untuk online.

Tak terbayang berapa banyak konten yang telah kita baca, tonton, atau lihat di perangkat mobile selama dua tahun belakangan. Situasi Covid-19 yang belum juga usai memaksa orang untuk menghabiskan banyak waktu di rumah, membatasi mobilitas kerja dan sekolah. Alhasil, kesempatan untuk mengakses internet semakin besar.

Di Indonesia, ledakan konten juga terjadi. Orang-orang membuat konten, mengeksplorasi ide, dan semakin kreatif untuk memonetisasi karyanya. Bahkan ladang subur industri creator economy memicu banyak kelahiran platform apresiasi karya dalam negeri, membidik pasar ekonomi kreatif yang selama ini belum tergarap dengan maksimal.

Saat ini belum ada laporan komprehensif mengenai creator economy di Indonesia. Kendati begitu, pertumbuhan ekosistem dan infrastruktur digital di Tanah Air mengindikasikan potensi pasar creator economy yang belum tergarap dengan optimal. Pemerintah pun tengah mendorong industri ekonomi kreatif sebgai salah satu penggerak ekonomi di masa depan.

DataReportal per Januari 2022 mencatat jumlah pengguna internet Indonesia telah menyentuh angka 204,7 juta orang atau setara 73,7 persen dari total populasi. Kemudian, jumlah pengguna media sosial mencapai 191,4 juta atau 68,9 persen dari total populasi.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai lanskap industri creator economy, model monetisasi, dan proyeksi bisnis, DailySocial berbincang dengan Founder KaryaKarsa Ario Tamat, Founder Storial Brilliant Yotenega, serta Founder Famous All Stars Arief Rakhmadani dan Co-CEO Famous All Stars Alex Wijaya.

Mengenal creator economy

Creator economy didefinisikan sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan kreator untuk memperoleh penghasilan dengan bantuan teknologi. Sementara melansir laporan CBInsight, creator economy merujuk pada berbagai kegiatan bisnis oleh kreator independen, dari vlogger, influencer, hingga writer, untuk memonetisasi karya dan kemampuannya.

Keberadaan platform creator economy memungkinkan mereka untuk berkreasi dengan dukungan tools atau fitur analitik yang tersedia di dalamnya. Dengan tools, kreator manapun, termasuk yang punya jumlah follower kecil, bukan akun bercentang biru (verified), atau yang baru berdiri dapat memonetisasi karya mereka sendiri secara langsung.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini tak lepas dari keterlibat investor yang mengucurkan investasi terhadap bisnis creator economy. Di sepanjang 2021, investor di dunia telah menyuntik sebesar $1,3 miliar ke platform creator economy.

Di Indonesia, creator economy masuk dalam ekonomi kreatif yang di dalamnya juga membawa banyak subsektor. Menurut data Kemenparekraf, subsektor ini terdiri dari game developer, seni kriya, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, fashion, kuliner, film, animasi, video, fotografi, desain komunikasi visual, televisi, radio, arsitektur, periklanan, seni pertunjukan, penerbitan, dan aplikasi.

Tantangan dan model monetisasi

Siapa saja dapat menjadi kreator. Namun, tidak semua mampu bertahan untuk tetap berkarya dan menghasilkan. Berbeda dengan situasi sekarang, satu dekade lalu–meski sudah ada internet–harga smartphone dan paket data masih mahal. Cakupan internet masih terbatas dan belum sampai ke wilayah pedesaan.

Jika Anda hobi menulis fiksi, menggambar, atau bermain game, belum tentu semua itu dapat menghasilkan uang. Kreator-kreator yang sudah punya nama pun mengalami kesulitan untuk produktif dan tak bisa sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari karya.

Ario Tamat dan Brilliant Yotenega atau Ega menilai upaya monetisasi karya dan kestabilan pendapatan memang menjadi isu usang yang kerap dialami oleh para kreator, misalnya komikus, penulis, musisi, atau pelukis. Jauh sebelum ada teknologi, ada jalan panjang yang harus dilakukan kreator untuk memasarkan karyanya.

Ario melihat banyak kasus di mana kreator tidak bisa produktif berkarya karena tidak punya pemasukan tetap. Dari sini, ia melihat ada disconnect antara kreator dan pembeli konten karena tidak ada jalur diskusi, dan model pemasaran dulu masih tradisional. Meski sudah masuk era digital pun, belum ada platform yang menyasar kreator langsung  di Indonesia. Bisa jadi karena kategori kreator masih sangat luas, dan belum ada definisi mutlak tentang apa yang mereka lakukan dan cara monetisasinya.

Yotenega atau karib disapa Ega juga merasakan kegelisahan yang sama. Pria yang berkecimpung di industri penerbitan ini mencontohkan proses panjang penulis yang ingin menerbitkan bukunya. Asumsinya ada naskah lolos seleksi, penulis perlu waktu enam bulan hingga satu tahun bagi penerbit untuk melakukan penyuntingan, produksi, dan distribusi. Royalti yang diterima pun umumnya berkisar 10%-15%, itu belum termasuk potongan pajak.

Ini belum lagi bicara kreator di segmen lain yang punya isu serupa, seperti musisi atau pelukis. Faktor-faktor tersebut membuat kreator sulit berkarya karena tidak ada kestabilan pendapatan.

Teknologi memang membantu memotong rantai panjang ini. Kita sudah merasakan bagaimana media sosial menghubungkan kreator dengan penggemarnya, menjadi wadah untuk mempromosikan karyanya. YouTube, Instagram, dan Twitter memampukan siapapun untuk terpapar dengan kreator atau karya yang belum pernah ditemui pengguna sebelumnya. Sampai akhirnya YouTube memberlakukan adsense, Instagram dengan influencer tools, dan TikTok lewat marketplace. Namun, sejatinya platform-platform ini sejak awal dirancang sebagai media sosial, bukan platform monetisasi karya.

Sebelum ada model Direct-to-Consumer (DTC), kreator mengandalkan sponsorship dan iklan dari pemilik brand sebagai salah satu revenue stream kreator. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan ekosistem digital, pelaku startup mengembangkan platform DTC yang membantu kreator memonetisasi langsung dari fans/audiens/follower. Bentuknya bisa dalam bentuk penjualan karya atau donasi.

Dalam konteks pasar Indonesia, platform-platform apresiasi konten lokal memang baru muncul beberapa tahun belakangan untuk mengisi pasar ekonomi kreatif yang belum tergarap optimal. Ini menandakan sebuah sinyal manis bahwa pasar Indonesia mengapresiasi peran platform lokal sekaligus karya-karya yang layak untuk dibeli.

Dari berbagai sumber yang kami rangkum, ada beberapa platform apresiasi karya yang cukup mendapat perhatian penikmat konten di Indonesia, di antaranya ada Storial, KaryaKarsa, Saweria, GoPlay, Noice, dan Trakteer. Format karya yang dipasarkan beragam, mulai dari gambar, cerita fiksi, lukisan, hingga konten livestreaming. Ini baru model berbasis DTC.

Ada pula platform Allstars yangmenghubungkan pemilik brand, baik dari skala kecil sampai skala besar dengan influencer untuk mempromosikan produk/jasa sebuah brand melalui kreasinya.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial

Untuk konten yang bersifat live streaming, Saweria memungkinkan kita untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk tip. GoPlay juga salah satunya, kreator dapat menerima dukungan finansial dengan konsep virtual gift, yang juga dapat dicairkan secara instan ke rekening bank atau dompet digital.

Adapun, Storial memakai skema penjualan karya satuan (ecer) agar bisa lebih terjangkau bagi pembaca dan pembaca hanya membeli bab cerita yang diinginkan. Per bab (chapter) dapat dibeli minimal Rp2.000 hingga Rp10.000. Harga juga ditentukan sesuai kesepakatan dengan penulis. “Skema ini menguntungkan kreator atau penulis karena mereka akan mendapat pemasukan sebanyak 35%-50% dari bab yang terjual. Porsi ini terbilang jauh lebih besar dibandingkan yang diterima dari penjualan buku fisik,” jelas Ega.

Sementara, Karyakarsa memberikan 90% pembelian karya ke kantong kreator, di mana 10% diambil untuk biaya platform. KaryaKarsa juga menampilkan fitur Simulasi Pendapatan di mana kreator dapat memperhitungkan harga, jumlah follower, berapa persen [audiens] yang akan dikonversi, hingga seberapa produktif dalam sebulan.

Ario mencontohkan, sekitar 1% dari 10.000 follower yang dimiliki kreator, dapat dikonversi untuk menjadi pembeli konten, yakni 100 yang dikalikan dengan Rp10ribu (asumsi harga per bab). Artinya, kreator bisa meraup Rp1 juta untuk satu karya. Apabila ingin meningkatkan pendapatan, kreator harus produktif menelurkan karya.

“Di sini, kreator bebas pakai sesuai kebutuhan, ini menjadi keunggulan karena mereka bisa mengatur pola kreasi, tanpa ada deadline dari publisher. Jadi kami tidak terlibat di situ. HAKI 100% dimiliki kreator. Proses kreatif sepenuhnya oleh kreator. Kami berupaya edukasi, jika ingin monetisasi karya, harus pikirkan metrik di atas. Masalah bagus atau tidak, itu relatif tergantung audiens,” tutur Ario.

Sebagai perbandingan pada platform luar, YouTube menjadi salah satu platform yang menjadi kiblat kreator untuk momentisasi karya. Kebijakannya ketat, kreator harus memiliki lebih dari 4.000 jam tonton publik yang valid dalam 12 bulan terakhir dan memiliki lebih dari 1.000 pelanggan.

Webtoon memasang ad revenue sharing bagi kreator dengan sejumlah ketentuan. Di awal mungkin yang diterima belum seberapa, tetapi kreator punya kesempatan meningkatkan pemasukan sejalan dengan meningkatnya fanbase. Sumber pendapatan lain dapat diterima lewat merch, buku (apabila diterbitkan secara fisik), dan lewat dukungan Patreon.

Sementara, Patreon memakai sistem keanggotan (membership) yang memampukan kreator untuk menghasilkan uang dari fans maupun supporter. Beberapa contoh model bisnis Patreon di antaranya fan relationship model (video chat atau personalized message), community model, dan gated content model.

Monetisasi dari sudut pandang pengguna

Selain bicara soal isu dan tantangan, pada tulisan ini, DailySocial menyertakan survei kecil-kecilan yang diikuti 32 responden terkait pola konsumsi konten di berbagai platform. Sebagai disclaimer, hasil riset ini tidak menggambarkan atau mewakili pendapat mayoritas penikmat konten di Indonesia. Tujuan kami semata ingin mendapat sudut pandang pengguna menghargai sebuah konten.

Terlepas dari popularitas platform asing, DailySocial menemukan beberapa responden mengakses konten (berbayar maupun gratis) dari platform lokal, seperti KaryaKarsa, Storial, dan Saweria. Kendati begitu, pengguna juga banyak yang mengakses konten dari platform Wattpad, Webtoon, Kakaopage, OpenSea, Patreon, dan YouTube.

Cerita bergambar (komik, manga, manhwa) merupakan konten (berbayar maupun gratis) yang paling banyak diakses oleh responden (46,4%), diikuti cerita fiksi/novel online (35,7%), video (28,6%), game dan musik (masing-masing 25%), ilustrasi/lukisan/desain (14,3%), dan NFT (3,6%).

Kehadiran metode pembayaran digital tampaknya mempermudah responden untuk membeli konten favoritnya, karena sebesar 75 persen responden menggunakan platform, seperti OVO, GoPay, dan DANA untuk membeli konten. Selebihnya menggunakan metode transfer bank (39,3%) dan kartu kredit (28,6%). Adapun, sebanyak 51,7 persen memilih skema bayar per konten, 31 persen memilih berlangganan.

Responden bicara soal konten gratis versus berbayar

Apabila karya kreator menarik, patut untuk dibayar. Tetapi saya tetap menikmati konten gratis jika ada. Free contents are good, but supporting the brain behind ’em is better
Gratis in exchange of ads tidak apa, selama harga berlangganan masih oke. Untuk game, saya memilih berbayar supaya tidak ada insentif buat developer yang memaksa kita menonton iklan terus-menerus.  Saya bersedia membayar konten dari kreator yang saya suka dan percaya. Jika belum saya kenal, kemungkinan saya butuh melihat karya gratisnya dulu
Konten gratis banyak yang sama bagus dengan konten berbayar. Biasanya [mau bayar] di konten Webtoon soalnya saya penasaran dengan chapter selanjutnya. Mau tidak mau beli.
Tidak punya waktu untuk refreshing dengan membaca, jadi tidak efektif jika harus bayar konten digital. Saya menikmati kedua-duanya. Beberapa author perlu start bagus untuk tahu apakah karyanya layak dijual atau tidak. Dengan cara ini, saya tertarik untuk menikmati konten gratis. 

Menurut 72,4% responden, harga yang ditetapkan kreator untuk karyanya sudah sesuai dengan ekspektasi mereka. Namun, beberapa menilai bahwa ada karya gratis yang tingkat pengerjaannya sulit, tetapi kreator mematok harga terlalu murah. Sebaliknya, ada pula yang menilai sebuah karya yang tidak sebaik itu kualitasnya, tetapi terlalu mahal.

Responden juga menyampaikan aspirasinya agar Indonesia dapat memiliki platform-platform apresiasi kreator yang tak kalah saing dengan Webtoon dan TikTok di masa depan. Selain itu, mereja berharap platform fasilitator dapat meningkatkan fungsinya agar harga dapat lebih ekonomis bagi penikmat karya.

True fans hingga fitur penemuan

Monetisasi adalah satu hal, tetapi bagaimana memastikan keberlangsungan kreator dalam jangka panjang? Bagaimana mendukung upaya monetisasi kreator yang belum punya fanbase? Bagaimana jika kreator tidak percaya diri dengan karyanya sehingga memberi harga murah pada karya-karyanya?

Ega sempat menyingung bahwa ledakan creator economy ini akan membawa kita pada natural selection. Orang akan semakin kewalahan (overwhelmed) dengan banyaknya konten. Maka, kualitas lah yang akan mengikat orang yang punya value yang sama, atau istilahnya law of attraction.

Dari sudut pandang Ario, ketidakyakinan ini dinilai dapat memengaruhi potensi pemasukan kreator di masa depan. Maka itu, platform memang harus mengambil peran lebih untuk memberi dukungan kepada para kreator yang baru membangun fanbase. Selama ini audiens tahu informasi mengenai suatu kreator karena mengikuti karya-karyanya sejak awal. Namun, bagi kreator yang baru merintis, ini tentu sulit.

“Fokus kami adalah kreator. Karya mereka bernilai sehingga bisa dihargai, ini jadi afirmasi kalau mereka beli konten. Yang dibutuhkan dalam siklus perjalanan kreator adalah apa yang dapat ditawarkan oleh platform selanjutnya. Apa yang dapat dicapai pada titik kreator bisa dapat pemasukan bulanan di platform kami? Bagaimana supaya mereka bisa punya fanbase? Ini juga menjadi tanggung jawab kami sebagai penyedia platform untuk menemukan [kreator] lalu kami ekspos,” jelas Ario.

Sementara, menurut CEO GoPlay Edy Sulistyo, alih-alih terpaku pada metrik jumlah follower atau subscriber dan view, kreator dapat lebih fokus membangun hubungan dengan penggemar loyal (disebut sebagai true fans). Semakin erat engagement dengan true fans, kreator dapat tetap mempertahankan relevansinya, membuat konten apa adanya tanpa perlu kehilangan jati diri.

True fans menjadi indikator penting karena mereka memiliki tingkat retensi tinggi. Artinya, ada kemungkinan besar mereka akan kembali menonton tayangan baru dari kreator. Ini menjadi kunci utama bagi kreator karena mereka bisa lebih sustainable tanpa perlu punya jutaan view atau follower,” ujar Edi beberapa waktu lalu.

Indonesia di antara era Web2 dan Web3

Dalam laporan The New Creator Economy Report yang diterbitkan Antler bersama Speedinvest, era Web3 akan membawa generasi kreator berikutnya terhadap kemampuan monetisasi yang lebih besar. Komunitas memainkan peran besar dalam mendukung upaya kreator meningkatkan sumber monetisasi konten lewat tools. Konten di era Web3 juga semakin eksploratif dengan blockchain, seperti NFT dan Metaverse.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Laporan ini sedikit menyentil suatu platform yang mengambil bagian lebih banyak dari yang dihasilkan kreator. Masih ada platform yang tidak menyediakan algoritma atau tools yang memampukan konten suatu kreator ditemukan lewat algoritma.

Overall, stronger loyalty. Para kreator dapat memberikan reward kepada penggemar loyal lewat engagement berkelanjutan yang tidak terlalu terikat dengan $$$. Saya menantikan tools yang dapat menjembatani engagement Web2 dengan Web3. Misalnya, menentukan fans terbesar dari kehadiran di konser, biaya yang dihabiskan untuk merchandise dan interaksi langsung, yang dapat menjadi kickstart tiered loyalty di platform Web3. Dengan begitu, kreator tidak perlu mulai dari nol membangun fanbase, dan memberikan reward ke penggemar yang mengikutinya sejak awal,” tutur Investor Lerer Hippeau Meagan Loyst dalam laporan tersebut.

Baik Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani melihat era Web3 datang lebih cepat di Indonesia. Padahal industri creator economy Tanah Air baru berada di fase Web2, di mana supply dan demand belum mencapai puncak pertumbuhannya (peak growth). Situasi ini membuat seolah-olah industri creator economy di Tanah Air mengalami overlap dari Web2 ke Web3.

“Namun, saya melihat situasi saat ini sebagai exciting period karena ada banyak faktor pendukung [mengoptimalkan pertumbuhan di Web2], yakni pertumbuhan jumlah populasi, penetrasi internet, dan penetrasi smartphone di Indonesia,” tutur Alex.

Ia memproyeksi era Web3 bakal melahirkan istilah kreator baru. Dalam 2-3 tahun ke depan, jika tadinya disebut seniman atau pelaku seni, istilah ini akan berubah menjadi NFT artist. Perkembangan teknologi dan industri akan membentuk terminologi, identitas, dan lapangan kerja baru. Apalagi Web3 berbasis desentralisasi sehingga kreator tak hanya dapat membuat dan menjual karya, tetapi juga memiliki Intellectual Property (IP) atas karyanya.

Arief menambahkan, creator economy di era Web3 akan menjadi bisnis independen di mana mereka dapat momentisasi langsung karyanya. Di fase selanjutnya, creator economy akan berevolusi kembali di mana kreator dan fans/audiens bisa berkolaborasi menciptakan sesuatu bersama.

Terlepas dari independensi monetisasi karya di era Web3, Arief menilai pemilik brand tidak akan kehilangan posisinya. Malahan, brand akan tetap melihat kreator sebagai salah marketing channel yang menarik untuk mengejar target secara organik.

“Jadi brand deal dan model monetisasi D2C bisa saling berpengangan tangan interpendensi bagi kreator karena Web3 tidak serta merta menghilangkan model monetisasi dari brand,” tuturnya.

Catatan penutup penulis, lima tahun lagi satu miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator. Kreator tak lagi akan dipandang sebagai sebuah kegiatan iseng belaka untuk mengisi waktu luang, melainkan sebagai pilihan karier.

Apakah Anda tertarik menjelajahi pengalaman baru sebagai kreator independen?