BRI Ventures Siapkan Dana Kelolaan untuk Startup Non-Fintech di Jakarta dan Singapura

BRI Ventures, corporate venture capital milik BRI, tengah menyiapkan dana kelolaan baru sebagai kendaraan investasi untuk startup non-fintech di 2020.

Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI Indra Utoyo memastikan izin untuk berinvestasi di non-fintech (Special Purpose Vehicle/SPV) tengah diurus di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Ini masih dalam kendali BRI Ventures, tapi disebut venture fund karena bisa untuk [investasi] apa saja termasuk non-fintech. [Untuk funding] ada Limited Partner kami dari luar,” ujar Indra kepada DailySocial.

Dalam wawancara beberapa waktu lalu, VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman sempat menyebut bahwa persiapan dana kelolaan ini ditargetkan rampung pada Februari ini.

Ada tujuh ekosistem non-fintech yang menjadi target investasi, antara lain agro-maritim, kesehatan, pendidikan, pariwisata dan perjalanan, transportasi, serta retail dan industri kreatif.

“Kami oportunis secara jumlah, jadi kami tidak mengincar harus berapa deal. Tapi di pipeline, kami sudah ada 6-8 deal dalam setahun jika melihat bandwith dan opportunity yang ada,” tuturnya.

Berdasarkan informasi terbaru kepada DailySocial, Markus juga mengungkap bahwa pihaknya saat ini sedang menyiapkan izin SPV tak hanya Indonesia, tetapi juga di Singapura.

Entity akan dibentuk di Singapura untuk acquire license ke Monetary Authority of Singapore. Namun, kendaraan investasi tetap fund,” ungkap Markus.

Sementara, sebagaimana tercatat dalam laporan keuangan BRI di 2019, BRI Ventures disebutkan akan membidik industri retail dan kreatif sebagai fokus utama investasi di 2020.

Menurut Markus, industri retail dan kreatif di Indonesia maupun di luar memiliki pasar yang lebih siap. Ia menilai vertikal bisnis lainnya membutuhkan effort yang lebih panjang untuk bisa jalan.

“Sektor ini lebih siap, baik dari para pelaku [bisnis] maupun ekosistem pendukungnya,” tambahnya.

BRI Ventures yang baru berdiri di 2019, telah mendapatkan suntikan dana sebesar Rp1,5 triliun dari induk usahanya. Laporan keuangan mencatat dana ini telah disalurkan dalam tiga tahap, yakni Rp200 miliar (Maret), Rp800 miliar (Juli), dan Rp500 miliar (Desember).

Total investasi yang disalurkan BRI Ventures di 2019 baru sebesar Rp278,11 miliar dalam bentuk penyertaan saham 17 persen ke platform e-money LinkAja.

“PayLater” Perusahaan Teknologi Dongkrak Pertumbuhan Kredit Konsumsi

Kartu kredit merupakan produk keuangan premium, namun punya eksklusivitas yang tinggi. Baru mau mengajukan saja, prosesnya sangat selektif dan memakan waktu. Hal ini wajar karena bank harus prudent dalam menjalankan fungsinya sebagai intermediary.

Regulasi perbankan yang ketat menjadi alasan utama mengapa perkembangan kartu kredit di sini stagnan. Statistik dari Bank Indonesia per November 2019 memaparkan, jumlah kartu kredit yang beredar sebanyak 17,38 juta unit, naik tipis 0,65% secara year on year. Pertumbuhan volume transaksi hanya naik 4,19%, sedangkan secara nilai naik 5,32%.

Kenaikan ini tidak sedrastis dibandingkan transaksi uang elektronik. Jumlah uang elektronik sebanyak 278 juta unit kartu, naik 66,47% secara year to date. Volume transaksinya tercatat mencapai 356,4 juta unit (naik 21,93%), dengan nilai Rp127 triliun (naik 170,21%).

Ketimpangan ini membuat produk kartu kredit digital, atau kini lebih tren disebut PayLater, menjadi sesuatu yang sangat hit selama dua tahun terakhir.

Semua beramai-ramai masuk ke segmen ini, menggaet fintech lending untuk menawarkan kemudahan pengajuan yang singkat dan jargon andalan bunga 0% untuk 30 hari pinjaman semakin sering dipakai.

Traveloka dan perjalanan produk PayLater

Beberapa bulan sebelum GoPay dan Ovo merilis PayLater, Traveloka mencuri start memperkenalkan istilah ini. Premisnya sederhana: ingin mempersingkat durasi konsumen saat memutuskan rencana pembelian tiket perjalanan beserta akomodasinya, tanpa khawatir dengan ketersediaan dana. Solusi yang sebenarnya bisa dijawab oleh kartu kredit.

Dalam konferensi pers (15/1), President Traveloka Group Operations Henry Hendrawan menjelaskan sebelum merilis PayLater, 90% pengguna melakukan pembelian last minute alias kurang dari dua hari sebelum keberangkatan. Dampaknya harga yang harus mereka bayarkan jauh lebih mahal, tidak bisa memilih kursi, dan tidak mendapat akomodasi yang diinginkan.

MoU antara Traveloka dan BRI / Traveloka
MoU antara Traveloka dan BRI / Traveloka

“Saat Lebaran, kita melihat booking biasanya terjadi saat mereka sudah dapat THR. Jadi kita lihat dengan PayLater bisa menjadi alternatif untuk financial planning, merencanakan semua rencana libur dan booking dari jauh-jauh hari karena harganya pasti jauh lebih terjangkau,” ucapnya.

Menurutnya, sejak PayLater diluncurkan medio 2018, penggunaan terbesar PayLater untuk pembayaran tiket perjalanan dan akomodasi hotel. Berikutnya, untuk pembayaran tiket atraksi dan hiburan. Henry tidak bersedia merinci lebih lanjut besaran transaksi terkait hal ini.

Nominal dana yang bisa diperoleh pengguna maksimal saat pertama kali dirilis berkisar Rp2 juta sampai Rp10 juta. Kini limitnya ditingkatkan hingga Rp50 juta dengan tenor sampai 12 bulan. Bunganya dimulai dari 2,14%-4,78% flat per bulan. Hampir seluruh layanan di Traveloka bisa memakai PayLater untuk opsi pembayarannya.

Mitra pertama fintech lending yang digaet Traveloka untuk menyediakan dana pinjaman adalah Danamas. Di situsnya dijelaskan ada tambahan mitra, yakni Caturnusa Sejahtera Finance, yang bertindak sebagai pemberi pinjaman (lender) di Danamas. Bisa diasumsikan dana PayLater yang diberikan ke pengguna Traveloka bersumber dari situ.

Caturnusa yang berlisensi sebagai perusahaan p2p lending juga terafiliasi dengan Danamas, alias masuk ke dalam naungan Sinar Mas Group.

Tepat pada Rabu (15/1), Traveloka menambah mitra lending. Kali ini adalah BNI. Bersama BNI perusahaan berambisi menyalurkan dana pinjaman hingga Rp6 triliun sepanjang tahun ini untuk satu juta pengguna Traveloka.

“Harapannya, [pinjaman PayLater] itu bisa disalurkan kepada sejuta pengguna PayLater pada tahun ini,” ujar Henry.

Direktur Bisnis Konsumer BNI Anggoro Eko Cahyo menjelaskan. melalui kerja sama ini, Traveloka PayLater terhubung dengan produk KTA milik BNI, yakni BNI Fleksi. Otomatis setiap pengguna PayLater akan menjadi nasabah BNI.

“Melalui kerja sama ini diharapkan terjadi peningkatan ekspansi kredit konsumer BNI sekaligus memberikan kemudahan kepada masyarakat luas, termasuk pengguna Traveloka PayLater yang pada akhirnya berpotensi menjadi nasabah BNI,” katanya.

Kembali ke asal sebagai kartu kredit fisik

Sepak terjang BNI dalam menggaet Traveloka menjadi contoh menarik bagaimana perbankan memanfaatkan perusahaan teknologi sebagai “kendaraan” untuk meningkatkan bisnisnya. Anggoro menerangkan keputusan BNI masuk sebagai pemberi pinjaman di Traveloka karena dia melihat adanya kesamaan target konsumen.

Strategi ini juga dilatarbelakangi keinginan perseroan memacu kinerja kredit konsumer di BNI karena Traveloka PayLater ini juga terhubung dengan BNI Fleksi. Ini adalah produk KTA untuk kebutuhan konsumsi bagi pegawai aktif yang punya penghasilan tetap dan gajinya di-payroll oleh BNI.

Pengguna Traveloka yang lolos verifikasi untuk pinjaman PayLater ini, menurut pengakuan Henry, mayoritas belum pernah memiliki kartu kredit. Proses KYC dalam setiap pengajuan aplikasi tergolong simpel. Traveloka membaca kebiasaan transaksi pengguna yang terekam di sistem.

“Lebih sering pakai Traveloka, maka kita akan lebih mudah mengerti pengguna dan mungkin kita akan lebih comfortable kasih limit-nya karena kita tahu siapa penggunanya.”

Anggoro mengungkapkan, sebelum kolaborasi ini dimulai, tentunya pihak BNI melakukan penilaian risiko kredit di dalam sistem Traveloka. Bagaimana mereka KYC, menentukan skoring kredit, dan lain-lain. “Kami sudah pastikan sesuai standar [perbankan].”

“Ini [hasil penilaian] memperlihatkan performa kami secara teknis dalam KYC,” tambah Henry.

Historis transaksi nasabah yang terkumpul di Traveloka, menjadi bank data yang sangat berharga untuk membangun sistem kredit skoring sendiri. Seluruh upaya Traveloka untuk membangun pembiayaan yang berkualitas akhirnya terbayar sudah ketika bank sekelas BNI masuk.

Sebelum BNI masuk, BRI juga menandatangani MoU dengan Traveloka untuk menyediakan PayLater Card. Fasilitas ini ditawarkan untuk pengguna terpilih Traveloka. Kebetulan, DailySocial termasuk salah satunya.

Cobranding kartu PayLater antara Traveloka bersama BRI / DailySocial
Cobranding kartu PayLater antara Traveloka bersama BRI / DailySocial

Kartu PayLater tidak jauh berbeda dengan kartu kredit yang diterbitkan bank pada umumnya. Fasilitas yang bisa dinikmati pengguna adalah bebas biaya tahunan selamanya, pengguna akan menerima notifikasi dari Traveloka setiap ada transaksi dengan kartu kredit untuk mempermudah pemantauan.

Seperti kartu kredit kebanyakan, limit dapat digunakan untuk transaksi online dan offline di luar ekosistem Traveloka, termasuk belanja di luar negeri terutama yang sudah terhubung dengan Visa. Bunga yang diberikan adalah 2,25% per bulan dan tagihan dapat dibayar melalui aplikasi Traveloka.

Ada kenaikan limit kredit yang diterima pengguna ketika meng-upgrade ke kartu fisik. Besarannya tergantung penilaian profil risiko.

Manfaat kemitraan Traveloka antara BRI dan BNI memberi nilai tambah bahwa secara sistem, kualitas perusahaan teknologi dalam penilaian risiko sudah sesuai standar perbankan. Bank pun tidak perlu khawatir.

Di tengah ketatnya regulasi di perbankan, perusahaan teknologi bisa menjadi “kendaraan” mengatasi stagnannya pertumbuhan kartu kredit. Akan ada saatnya penetrasi kartu kredit meningkat dengan cara yang prudent.

Tren cobranding kartu kredit di luar negeri

Apa yang dilakukan Traveloka dengan BRI bukan barang baru bila melihat benchmark di luar negeri. Di Singapura, Grab bersama MasterCard membuat GrabPay Card. Di India, ada Amazon dan perusahaan OTA MakeMyTrip yang menggaet ICICI Bank. Lebih jauh, di Amerika Serikat ada Uber bersama Visa dan Apple bersama Goldman Sachs.

Tren ini diprediksi akan terus berlanjut. Sempat beredar kabar Visa dan Gojek sedang berkongsi untuk merilis PayLater.

Patut dipahami, di Indonesia kebiasaan menggunakan kartu kredit belum terbentuk. Kondisi yang sama juga terjadi di Tiongkok. Di sana kartu kredit kurang peminat, karena ada Alipay dan WeChat Pay yang lebih ramah buat mereka.

Hal ini  berbeda dengan Amerika Serikat dan Singapura. Penetrasi kartu kredit di sana sudah signifikan, sehingga strategi perusahaan teknologi untuk membuat kartu kredit jadi lebih masuk akal.

Menurut laporan PwC, strategi cobranding kartu kredit merupakan strategi win win, baik buat perusahaan dan issuer (bank penerbit). Dari sisi issuer, mereka akan mendapat akses ke basis pelanggan tersegmen, kenaikan rata-rata transaksi, menurunkan tingkat akun dorman, dan meningkatkan “stickiness” dengan konsumen.

Untuk mitra, mereka mendapatkan visibilitas brand yang lebih baik, kontribusi top dan bottom line lewat pendapatan bersama, dan meningkatkan loyalitas konsumen. Sementara untuk pemegang kartu, mereka mendapat penawaran khusus semacam diskon atau voucher, benefit film gratis, perjalanan, menginap, dan manfaat tambahan untuk asuransi, akses lounge, dan lain sebagainya.

Application Information Will Show Up Here

A Kaleidoscope of Strategic Corporate Acts in 2019

The disruptive era has been driven not only by the startup industry. In recent years, a number of large-scale corporations have taken part in developing the digital ecosystem in Indonesia.

Moreover, innovation development within the scope of the corporation or corporate innovation will come back to its main goal, a sustainable business.

The year 2019 highlighted some strategic steps with various instruments, from internal innovation incubation, collaboration with startups, and the rise of venture capitals.

DailySocial summarizes the most engaging corporate actions of some sectors within the year of 2019 as follows:

A synergy of state-owned e-money products

Last year begins with Telkomsel’s e-money service transformation, Tcash, to LinkAja. This is said to be the former SOE Minister Rini Soemarno’s initiative who wants to put state-owned e-money companies altogether into one platform.

Tcash is considered to have the most ready ecosystem at that time than any other SOE e-money, therefore, It was designated as an “embryo” for the LinkAja platform. This is quite a surprising decision since Tcash plans to become an agnostic e-money service and spin off from Telkomsel in the mid-2018.

Meanwhile, LinkAja has been announced and started rolling in February. In fact, it was officially launched in the middle of the year due to the long-await for the integration of all SOE e-money to be completed.

It is to be highlighted that LinkAja is the result of a joint venture of state-owned companies in which 25% of the shares owned by Telkomsel, 20% each for Mandiri, BRI and BNI, BTN, Pertamina with 7%, and Jiwasraya Insurance also involved with 1%.

Prior to this, LinkAja positioned itself as e-money for daily basis. Therefore, this joint venture – to be followed by other shareholders – is considered to fasten the acceleration for the company’s use case, such as transportation and gasoline purchases.

Collaboration and Innovation

Innovation and collaboration between corporations and startups have made the news in 2019. It indicates a number of business sectors have realized the power of inclusiveness towards Indonesia’s digital business development.

As an example, Gojek officially partners with Indonesian Railways (KAI) to support the integration of digital ecosystems and railroad services through orders and payments in one transaction. In this case, Gojek is the first and last-mile provider, while KAI acts as the middle mile provider.

Next, BRI kicked off the market through its collaboration with Traveloka through the “PayLater Card” launching. This co-branding partnership allows users to transact at offline and online merchants in 53 million locations worldwide and receive payments by VISA.

In late 2019, BRI is to increase its digital service portfolio by launching a BRI Ceria virtual credit card that provides loans starting from Rp500 thousand to Rp1 million. The app-based service aims for BRI customers in the underbanked segment.

In terms of telco, Telkomsel initiated another breakthrough by launching the first digital app-based cellular service product by.U. It’s called digital-based for all activities of purchase, registration, and use are fully carried out in the application.

It was internally incubated and developed through MVP, the by.U service has become Telkomsel’s strategic “weapon” to win the market in the digital era. In fact, by.U is targeting gen Z for their digital literacy and unwillingness to be “regulated” for data packages.

The rise of Corporate Venture Capitals

2019 highlights the aggressive penetration of Corporate Venture Capital (CVC). In our observation, there are four new CVCs established to capture great opportunities in the Indonesian digital industry. They include Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi / TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), and Sarana Papua Ventura (BTN).

Furthermore, DailySocial also highlighted Nicko Widjaja‘s transfer from MDI Ventures to be the head of BRI Ventures. Nicko’s appointment as CEO is expected to bring a new success story in the coming year.

Broadly speaking, each CVC targets a different business vertical, depending on the demand and values ​​of the company’s business development. Likewise, the funding stage. For example, TMI is currently aiming for early-stage and BRI Ventures will focus on growth and late-stage startups.

In addition to the CVC, Telkom Group has recently added more to its managed funds by launching the Centauri Fund.  The new strategy is a joint venture between the telco giant with KB Financial Group, which is one of the largest banks in South Korea.

Expecting the next strategic step in 2020

Through the summarize of various corporate actions above, we can draw a common thread that inclusiveness will be the main key for players – whoever are both corporations and startups – in driving the development of the digital ecosystem in the future.

Collaboration will be more aggressive and there are more innovations to arrive. A number of Indonesian corporates have realized the power of innovation and digital transformation. Some of those, such as BRI and Telkomsel, have prepared themselves to start a new chapter in 2020.

Moreover, in line with the more mature startup ecosystem, the VC industry will be more selective for its investment. The investment climate is predicted to increase. However, we are likely to see a decrease in the initial funding.

For some reason, both CVC and VC will be more focused on growth and late-stage funding. Aside from minimizing risk — learn from the previous years — startups must have clear traction, scale-up, and monetizing plans.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kaleidoskop Aksi Korporasi Strategis di Sepanjang 2019

Era disruptif sesungguhnya tak hanya didorong oleh industri startup. Faktanya sejumlah korporasi berskala besar turut ambil bagian dalam pengembangan ekosistem digital di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Walau demikian, pengembangan inovasi di lingkup korporasi atau corporate innovation akan kembali mengacu pada tujuan utamanya, yakni kelangsungan bisnis untuk jangka panjang.

Tahun 2019 menandai ramainya sejumlah langkah strategis dengan instrumen bervariasi, mulai dari inkubasi inovasi internal, kolaborasi dengan startup, hingga pembentukan pemodal ventura.

DailySocial merangkum berbagai aksi korporasi menarik dari beberapa sektor industri di sepanjang 2019 berikut ini:

Sinergi besar-besaran e-money BUMN

Tahun 2019 diawali dengan transformasi layanan e-money Telkomsel, Tcash, menjadi LinkAja. Transformasi ini disebut sebagai inisiasi dari eks Menteri BUMN Rini Soemarno yang ingin menggabungkan seluruh e-money milik perusahaan pelat merah ke dalam satu platform.

Tcash dinilai punya ekosistem paling siap saat itu dibandingkan e-money BUMN yang lain sehingga Tcash ditetapkan sebagai “embrio” bagi platform LinkAja. Keputusan ini tentu cukup mengagetkan mengingat di pertengahan 2018, Tcash berencana untuk menjadi layanan e-money agnostik dan spin off dari Telkomsel.

Adapun, LinkAja diumumkan dan beroperasi pada Februari, namun baru diluncurkan secara resmi di pertengahan tahun karena menunggu integrasi seluruh e-money BUMN rampung.

Yang perlu digarisbawahi, LinkAja merupakan hasil kongsi perusahaan BUMN yang saat ini sahamnya dimiliki oleh Telkomsel sebesar 25 persen, Mandiri, BRI, dan BNI yang masing-masing menguasai 20 persen, BTN dan Pertamina 7 persen, serta Asuransi Jiwasraya 1 persen.

Sejak awal, LinkAja memposisikan diri sebagai e-money untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka itu, kongsi ini–dan akan bertambah dengan masuknya pemegang saham lain–dinilai akan memperkuat akselerasi use case yang disiapkan perusahaan, seperti transportasi dan pembelian bensin.

Kolaborasi dan inovasi

Inovasi dan kolaborasi antara korporasi dan startup mewarnai pemberitaan di sepanjang 2019. Ini menandakan sejumlah sektor bisnis telah menyadari pentingnya inklusivitas terhadap pengembangan bisnis digital di Indonesia.

Misalnya, Gojek resmi bermitra dengan Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mendukung integrasi ekosistem digital dan layanan perkeretaapian melalui penerapan pesanan dan pembayaran dalam satu transaksi. Dalam hal ini, Gojek menjadi penyedia first mile dan last mile, sedangkan KAI sebagai penyedia middle mile.

Kemudian BRI menggebrak pasar lewat kolaborasinya dengan Traveloka lewat peluncuran kartu kredit “PayLater Card”. Kerja sama co-branding ini memungkinkan pengguna untuk bertransaksi di merchant offline dan online yang tersebar di 53 juta lokasi di seluruh dunia dan menerima pembayaran dengan VISA.

Di penghujung tahun 2019, BRI kembali menambah portfolio layanan digital dengan meluncurkan kartu kredit virtual BRI Ceria yang menyediakan pinjaman mulai dari Rp500 ribu-Rp1 juta. Layanan berbasis aplikasi ini hanya menyasar nasabah BRI di segmen underbanked.

Dari sektor telekomunikasi, Telkomsel juga membuat gebrakan baru dengan meluncurkan produk layanan seluler pertama berbasis aplikasi digital by.U. Disebut digital karena seluruh aktivitas pembelian, registrasi, dan pemakaian sepenuhnya dilakukan di aplikasi.

Diikubasi di internal dan dikembangkan secara MVP, layanan by.U menjadi “senjata” strategis Telkomsel untuk memenangkan pasar di era digital. Maka tak heran, by.U membidik generasi Z yang dianggap sudah melek digital dan tidak mau “diatur” dalam memilih paket.

Corporate Venture Capital paling bersinar

Tahun 2019 menyoroti agresifnya pembentukan Corporate Venture Capital (CVC). Menurut catatan kami, terdapat empat CVC baru yang didirikan untuk menangkap peluang besar di industri digital Indonesia. Mereka antara lain Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi/TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), dan Sarana Papua Ventura (BTN).

Kemudian, DailySocial juga menyoroti kepindahan Nicko Widjaja dari MDI Ventures untuk menakhodai BRI Ventures. Penunjukkan Nicko sebagai CEO diharapkan membawa kisah kesuksesan baru di tahun mendatang.

Secara garis besar, setiap CVC memiliki target vertikal bisnis berbeda, tergantung dengan kebutuhan dan nilai yang diincar untuk pengembangan bisnis perusahaan. Demikian pula tahapan pendanaan. Misalnya, TMI saat ini membidik early-stage dan BRI Ventures akan fokus terhadap startup di growth dan late stage. 

Selain pembentukan CVC, Telkom Group baru-baru ini juga menambah dana kelolaan dengan membentuk Centauri Fund. Strategi dana kelolaan baru tersebut merupakan hasil kongsi raksasa telekomunikasi ini dengan KB Financial Group, yakni salah satu perusahaan bank terbesar di Korea Selatan.

Menantikan langkah strategis selanjutnya di 2020

Lewat rangkuman beragam aksi korporasi di atas, kami dapat menarik benang merah bahwa inklusivitas akan menjadi kunci utama bagi pemain—siapapun itu baik korporasi dan startup—dalam mendorong pengembangan ekosistem digital di masa depan.

Kolaborasi akan semakin agresif dan inovasi akan terus berdatangan. Sejumlah korporasi di Indonesia sudah menyadari pentingnya inovasi dan transformasi digital. Beberapa di antaranya, seperti BRI dan Telkomsel, telah mempersiapkan diri memulai babak baru di tahun 2020.

Di sisi lain, sejalan dengan semakin matangnya ekosistem startup, industri VC akan semakin selektif dalam memilih pendanaan. Iklim investasi memang diprediksi meningkat. Akan tetapi, kita tampaknya bakal melihat menurunnya fokus pendanaan tahap awal.

Baik CVC atau VC akan mulai lebih fokus membidik pendanaan growth dan late stage karena sejumlah alasan. Selain minim risiko—belajar dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya—startup memang harus memiliki traction, rencana scale up, dan monetisasi yang jelas.

BRI Introduces “Ceria”, An Application for Virtual Credit Card Services

BRI has launched BRI Ceria, a paylater service or virtual credit card targeting underbanked debtors. The application is now available to download in the Android version.

It’s further detailed in the release that BRI Ceria is to provide loans start from Rp500 thousand up to Rp20 million with a tenor of 1-12 months. The interest rate is 1.42% per month or 17.04% per year. If it’s already past the due date, customers may incur a late payment fee for 3% of the total bill or up to Rp150 thousand.

This feature is limited only for BRI customers. It’s a strategy to make credit scoring and prevent fraud.

Another requirement is for the customers should at least 21-50 years old, with minimum income of Rp3 million, and have Taxpayer Identification Number (NPWP).

BRI claimed, once the data submitted, the verification process will only take 30 minutes. Once approved, the credit limit is available to shop at online merchants. This concept is similar to the ones issued by Kredivo and Akulaku.

In the initial stage, BRI Ceria has available to use for payment on Tokopedia, purchase flight tickets on the Panorama JTB site, and the electronic products e-commerce Dinomarket.

Quoted from Kontan, BRI’s Director of Digital, IT, and Operational, Indra Utoyo explained. Ceria is BRI’s paylater with a limit of up to Rp20 million targeting ultra micro customers.

“The new product Ceria is to be launched soon, BRI’s paylater up to Rp20 million limit for ultra micro,” he said.

Prior to this, BRI through its subsidiary, BRI Agro, has launched a similar application named Pinang.

The development of BRIBOX

Next year, the company will continue the digital initiation through BRIBOX, it’s a modernization of work unit network infrastructure throughout Indonesia, modernization of cloud-based data centers, and implementation of core banking modernization.

The initiation is to absorb the largest allocation for IT-related capital expenditure. Indra also revealed the bank has prepared Rp4.2 trillion for next year’s budget, increased by 13.5% from this year’s budget.

“The main effect of modernization is to be eager to face the growth and innovation of digital services that are flexible, scalable, secure, and reliable.”

The digital transaction has now dominated the entire transaction at BRI. About 80% [of the transactions] come from non-branches. Moreover, the company plans to shift the employees’ role in branch offices as customers’ advisors and counselors.

“Closing branch offices is a normal consequence, but its role will later be rethought. Teller’s current role is now being repurposed because there will be a lot of self-service and assisted service in the future,” Indra said.

Application Information Will Show Up Here

BRI Buat “Ceria”, Aplikasi Khusus Layani Kartu Kredit Virtual

BRI merilis aplikasi BRI Ceria, layanan paylater atau kartu kredit virtual untuk menyasar debitur yang underbanked. Aplikasi sudah dapat diunduh, namun baru tersedia versi Android.

Dalam penjelasannya, BRI Ceria memberikan pinjaman mulai dari Rp500 ribu sampai Rp20 juta dan tenor 1-12 bulan. Bunga per bulannya 1,42% atau 17,04% dalam setahun. Bila terlambat membayar, nasabah akan dikenakan tambahan 3% dari jumlah tagihan atau maksimal Rp150 ribu.

Fasilitas tersebut hanya diberikan untuk nasabah BRI. Hal ini sebagai strategi BRI dalam melakukan credit scoring dan mencegah wanprestasi.

Prosedur lainnya yang harus dipenuhi nasabah adalah berusia 21-50 tahun, minimal penghasilan Rp3 juta, dan memiliki NPWP.

Pihak BRI mengklaim bila seluruh data sudah diserahkan, proses verifikasi hanya memakan waktu 30 menit. Bila disetujui, limit kredit dapat digunakan untuk berbelanja di merchant online. Konsep ini sama dengan produk sejenis yang dikeluarkan Kredivo dan Akulaku.

Untuk tahap awal, BRI Ceria sudah dapat digunakan berbelanja di Tokopedia, pembelian tiket penerbangan di situs Panorama JTB, dan e-commerce produk elektronik Dinomarket.

Dikutip dari Kontan, Direktur Digital, TI, dan Operasi BRI Indra Utoyo menjelaskan, Ceria adalah paylater dari BRI dengan limit pinjaman maksimal Rp20 juta untuk nasabah ultra mikro.

“Produk baru Ceria sebentar lagi keluar, paylater-nya BRI yang Rp20 juta ke bawah untuk ultra mikro,” katanya.

Sebelumnya, strategi bisnis serupa juga telah dilakukan BRI melalui anak usahanya, BRI Agro, dengan aplikasi Pinang.

Pengembangan BRIBOX

Tahun depan perseroan akan melanjutkan inisiasi digital melalui BRIBOX, yakni modernisasi infrastruktur jaringan unit kerja seluruh Indonesia, modernisasi data center berbasis cloud, dan implementasi modernisasi core banking.

Inisiasi tersebut akan menyerap anggaran terbesar untuk belanja modal BRI terkait TI. Indra menjelaskan, tahun depan bank menyiapkan anggaran Rp4,2 triliun, naik 13,5% dibandingkan anggaran tahun ini.

“Efek modernisasi utamanya kesiapan menghadapi pertumbuhan dan inovasi layanan digital yang fleksibel, terukur, secured serta reliable.”

Transaksi digital kini mendominasi keseluruhan total transaksi di BRI. Sekitar 80% datang dari non-branch. Alhasil perseroan berencana untuk mengalihkan peran pegawai di cabang menjadi pendamping dan penyuluh nasabah.

“Pengurangan branch adalah konsekuensi yang normal, namun perannya pun nanti akan dipikirkan ulang. Peran teller yang sekarang di-repurpose karena ke depan akan banyak self service dan assisted,” pungkas Indra.

Application Information Will Show Up Here

Laporan DSResearch: Fintech Report 2019

Teknologi finansial (fintech) masih menjadi model bisnis yang sangat populer di Indonesia. Perkembangan bisnis dan inovasi produk yang terus berlanjut makin menarik untuk diamati.

Demikian juga menurut pengamatan CEO BRI Ventures Nicko Widjaja, “Tahun 2019 merupakan pencapaian penting bagi kita semua, dengan memasuki babak baru di dunia digital. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia memiliki peran penting dalam era ekonomi digital ASEAN. Dengan terciptanya unicorn dari anak bangsa, pasar yang lebih matan dan konsumen digital yang terus bertambah baik dari segi skala dan kualitas. Begitu pula pencapaian di bidang teknologi finansial dan jendela kesempatan yang terbuka lebar bagi para entrepeneur yang memiliki solusi tepat bagi lajunya pertumbuhan ekonomi Indonesia.”

Melihat dinamika pasar dan minat yang tinggi terkait lanskap bisnis tersebut, DSResearch merilis laporan tahunan “Fintech Report 2019”. Bertajuk “Moving Towards a New Era in Indonesia’s Financial Industry”, laporan ini mencoba mencatat tren-tren baru yang dihasilkan fintech. Sembari mengamati adopsi berbagai layanan di masyarakat – mulai dari pembayaran, pinjaman, hingga investasi.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, banyak hal disoroti dalam laporan ini, meliputi pergerakan industri, pemain fintech terkini, dan perspektif konsumen. Sudut pandang dari penyedia dan pengguna layanan yang dihadirkan diharapkan memberikan pengetahuan berharga bagi ekosistem fintech Indonesia.

Beberapa pembahasan yang dirangkum dalam laporan tersebut meliputi:

  • Fintech lending masih terus mengalami pertumbuhan. Tahun ini tercatat ada 47 pemain baru yang terdaftar di OJK. Sementara itu otoritas juga mulai menggulirkan status “izin usaha” untuk p2p lending, 11 pemain sudah mengantonginya.
  • Beleid mengenai Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) tahun ini diresmikan oleh BI. Dinilai akan berdampak signifikan pada bisnis pembayaran digital.
  • Digital wallet (82,7%) menjadi kategori produk fintech yang paling populer menurut responden, dilanjutkan investment (62,4%), paylater (56,7%), dan p2p lending yang mengakomodasi kebutuhan personal (40%).
  • Gopay (83,3%) masih menjadi aplikasi digital wallet yang paling banyak digunakan tahun ini. Sementara Ovo (99,5%) menjadi aplikasi digital wallet yang memiliki awareness masyarakat tertinggi.

Selain tiga poin di atas, masih banyak hal lain yang terangkum dalam laporan. Termasuk mengenai peran investor dalam mendukung fintech lokal, tren pendanaan startup fintech, hingga survei mengenai layanan fintech terfavorit untuk berbagai kategori.

Dapatkan laporan lengkapnya melalui tautan berikut ini: Fintech Report 2019.


Disclosure: DSResearch bermitra dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan unit bisnis ventura miliknya BRI Ventures dalam penerbitan laporan ini. Kedua perusahaan saat ini memiliki konsentrasi tinggi terhadap perkembangan fintech di Indonesia, termasuk memberikan dukungan dalam bentuk investasi dan kerja sama strategis.

BRI Ventures Pertimbangkan Investasi di Luar Sektor Fintech

BRI Ventures, ventura korporasi dari BRI, mengungkapkan rencana untuk berinvestasi di luar sektor fintech pada tahun depan. Sektor yang disasar adalah industri kreatif, agrikultur, maritim, kesehatan, pendidikan, travel, fesyen, dan ritel.

VP of Investment BRI Ventures William Gozali menjelaskan, sebelumnya perusahaan harus memenuhi beberapa aturan karena mereka adalah usaha ventura dari bank. Sebelum itu terpenuhi, maka fokus utama saat ini BRI Ventures adalah berinvestasi untuk startup fintech dan fintech-enabler.

“Jadi ada beberapa kerangka manajemen risiko dan operasional yang harus kita penuhi. Makanya kita pastikan comply, baru kita bisa agresif [berinvestasi ke sektor di luar fintech],” terang William di sela-sela NextICorn 2019, Jumat (15/11).

Sektor startup yang diincar beberapa di antaranya adalah DNA dari BRI sebagai bank mikro yang menyentuh nasabah di agrikultur dan maritim.

Adapun untuk sektor fintech, yang diminati BRI adalah yang bergerak di bawah payung regulasi OJK dan BI. Ada pembayaran, crowdfunding, p2p lending, dan IKD, termasuk di dalamnya insurtech, wealth management, credit scoring, big data, dan lainnya.

“Kami hanya mau berinvestasi ke startup yang sudah berlisensi dan terdaftar di regulator, karena kami respect dengan regulator.”

BRI juga melihat berdasarkan hierarki kebutuhan konsumen. Di Indonesia, pertama kali masyarakat mulai paham terhadap produk pembayaran, kemudian pinjaman, transfer uang, dan remitansi.

“Secara hierarki orang lebih butuh produk pinjaman, setelah itu lanjut ke saving, asuransi, dan wealth management. Tidak mungkin langsung ke asuransi dulu kalau tidak punya saving, berdasarkan siklusnya seperti itu.”

Kendati hadir sedikit terlambat daripada CVC lainnya, William meyakini banyak pembelajaran, terkait strategi berinvestasi, bisa menjadi bahan pertimbangan dan masukan.

Di antaranya mengenai apa yang sukses di Amerika Serikat (Silicon Valley), tidak bisa direplikasi begitu saja di Indonesia. Seperti posisi Uber saat ini yang kini ingin mengikuti model super app yang sudah diterapkan oleh Gojek.

Pun demikian di Tiongkok. Di sana kondisinya cukup berbeda, orang Tiongkok tergolong lebih hyper consumtive, kualitas internet sangat baik, dan sebagainya. Kondisi di Indonesia tidak demikian.

“Itu seninya, kita connecting the dots, pattern-pattern yang mirip, tapi enggak bakal 100% sama. Jadi kita harus mau learn dan unlearn. Intinya enggak boleh sok tahu, meski BRI ini punya banyak pengalaman tapi willing to learn.”

Pengumuman investasi berikutnya

BRI Ventures adalah salah satu inisiatif BRI yang ingin adaptif terhadap perkembangan digital. Untuk itu, di-plot sebagai venture investment yang fokus pada pendanaan seri A ke atas. Sementara pada tahap awal, BRI punya inisiatif lainnya berbentuk program inkubasi BRIncubator.

Di sisi venture build, ada salah satu inisiatif yang sudah diluncurkan lewat BRI Agro untuk aplikasi lending Pinang.

“Ini lebih ke arah appetite. Mungkin pada tahap seed, startup yang masuk ke BRI belum siap. Kita enggak ingin, sistem startup-nya down karena langsung diakses oleh 80 juta nasabah BRI.”

BRI Ventures telah disuntik dana senilai $250 juta (setara Rp3,5 triliun) untuk diinvestasikan kembali ke startup. Sejak diumumkan kehadirannya pada Juli 2019, baru ada satu pengumuman investasi BRI untuk LinkAja pada putaran seri A dengan nilai yang tidak disebutkan.

Ditanya mengenai komitmen untuk kembali berinvestasi ke LinkAja yang tengah menggalang seri B, William hanya memastikan dukungan penuhnya untuk LinkAja.

“Kita full support di LinkAja baik secara finansial dan sinergi. Itu komitmen kita dari awal. Mereka itu perusahaan independen, jadi sambil kita supervise, kita support strategi manajemennya.”

Dengan dana $250 juta ini menurutnya cukup untuk berinvestasi sampai tiga tahun mendatang. Perusahaan akan berinvestasi ke startup antara $5 juta-$10 juta per investasi (setara Rp70 miliar-Rp140 juta).

“Kami tidak target spend, tapi melihat market opportunity karena ada beberapa sektor yang capital intensive, tapi ada juga yang capital efficient. Kami melihat bagaimana sinerginya dengan BRI bisa leverage aset mereka dengan startup.”

Investasi berikutnya akan diumumkan pada pertengahan Desember mendatang.

Sebelumnya sumber kami mengonfirmasi bahwa BRI sedang menjajaki kemungkinan investasi ke Traveloka, namun sejauh ini belum ada keputusan final.

BRI Jajaki Potensi Investasi ke Traveloka

Sumber kami mengonfirmasi BRI memang sedang menjajaki investasi atau berbagai peluang lain ke Traveloka, namun belum ada keputusan final. Penjajakan ini dimulai dari tersedianya top up Brizzi, peluncuran kartu kredit PayLater, yang berlanjut pada potensi investasi.

Wacana ini diungkapkan Direktur Utama BRI Sunarso, kemarin (24/10). Dia menyebut perseroan mempertimbangkan untuk menyuntik modal ke Traveloka. Ada beberapa opsi yang bakal dilakukan, kerja sama operasi, titip jual produk BRI di aplikasinya, atau ikut ambil kepemilikan saham.

“Nanti kami pilih opsi yang paling optimal, kalau ketiganya optimal, ya kami lakukan semua,” terang Sunarso seperti dikutip dari Kontan.

Tidak dijelaskan berapa nominal yang disiapkan BRI untuk investasi ke Traveloka. Bisa jadi berasal dari alokasi dana tahunan sebesar Rp5 triliun untuk menggelar aksi korporasi.

“Setiap tahun kami mencadangkan dana hingga Rp5 triliun untuk aksi korporasi. Namun apakah dana tersebut akan disalurkan ke satu target (perusahaan) atau ke beberapa (perusahaan) nanti kita lihat.”

Di luar wacana ini, ambisi yang ingin dicapai BRI adalah menjadi perbankan yang kuat di kredit mikro yang dapat melayani rakyat sebanyak mungkin dengan harga semurah mungkin.

Sebelumnya, ada wacana untuk membuat perusahaan fintech di bidang kredit, tabungan, hingga pembayaran. Namun bentuk konkretnya masih dipikirkan, entah ditempatkan di anak perusahaan, memiliki sendiri, atau kolaborasi.

BRI sendiri telah mengumumkan pendirian BRI Ventures yang mengelola dana senilai $250 juta (setara Rp3,5 triliun) untuk startup fintech late stage atau Seri A ke atas. BRI Ventures dipimpin oleh Nicko Widjaja.

BRI dan Traveloka Luncurkan Produk Kartu Kredit “PayLater Card”

Kemarin (26/9) Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Traveloka mengumumkan kerja sama strategis untuk peluncuran kartu kredit PayLater Card. Produk kolaborasi tersebut akan menawarkan solusi inovatif untuk meningkatkan akses terhadap produk finansial, termasuk proses aplikasi dan verifikasi yang hanya memerlukan waktu maksimal 1 hari – diakses melalui aplikasi Traveloka. Seremoni penandatanganan kerja sama diadakan di Singapura, turut hadir CFO Visa Asia Pasifik Andrew Tan.

Persetujuan atas pendaftaran dilakukan melalui proses penilaian kredit yang efisien, dikembangkan bersama tim BRI dan Traveloka. Menggunakan kartu tersebut, pengguna dapat membeli seluruh produk dan layanan Traveloka. Selain itu, pengguna juga dapat menggunakan PayLater Card untuk bertransaksi di merchant online dan offline di lebih dari 53 juta lokasi merchants di seluruh dunia yang menerima pembayaran dengan Visa.

“Kehadiran PayLater Card menawarkan skema baru pembayaran dan pengalaman unik kepada para pengguna semakin melengkapi layanan perbankan kami. Kerja sama cobranding ini juga sejalan dengan strategi pemasaran kartu kredit kami untuk meningkatkan customer base dan penetrasi pasar di segmen milenial. PayLater Card menandai era baru bisnis kartu kredit di Indonesia,” ujar Direktur Konsumer Bank BRI Handayani.

“Kami optimis dengan kerja sama ini kami mampu mencapai target 5 juta pengguna PayLater Card di tahun 2025, mengingat potensi pasar yang besar serta tingginya pertumbuhan penggunaan teknologi digital di Indonesia,” ujar President Group of Operations Traveloka Henry Hendrawan.

Application Information Will Show Up Here