Edu-Wellness Startup “Mindtera” Secures Seed Funding from East Ventures

Educational platform for self-development (edu-wellness) Mindtera has announced seed funding with undisclosed amount led by East Ventures. Silicon Valley-based Hustle Fund, Henry Hendrawan, and several angel investors in the tech industry participated in this round.

The fresh funds will be used to accelerate its mission in helping people live their best lives, by providing access to a curriculum for self-development learning across a wide range of lives.

“This latest funding will be used to strengthen product and technology teams, launch more exciting features, increase brand awareness, and build capacity in response to market needs. We welcome passionate talent to join us on this journey,” Mindtera‘s Co-founder & CMO Bayu Bhaskoro said in an official statement, Monday (23/8).

The concept

This startup’s other founder is Tita Ardiati. She is a licensed life coach who has spent more than 500 hours with 100 clients and is a senior statistician with experience working at multinational research institutions, such as YouGov and Nielsen. Meanwhile, Bayu has experience as a senior creative professional with various achievements.

Mindtera’s Co-Founder & CEO, Tita Ardiati said, this platform was established to provide education and training on emotional, social and physical intelligence in digital format for individuals and companies. Mindtera’s multiple intelligence curriculum has been scientifically and clinically validated by life coaches, educators, and clinical psychologists.

In addition, this learning platform will also build a community as a daily support system for its users. “Mindtera aims to overcome this imbalance by designing and building educational products containing multiple intelligences (multi-intelligence approach),” she explained.

She also mentioned, “[..] We provide content that opens up insights about multiple intelligences to more individuals and companies. Through Mindtera, look forward to accessibility, relevance and community in a digital format that will help increase your potential.”

According to the Harvard Business Review (HBR), emotional intelligence (EQ) is twice as important as any other skill for achieving personal growth and well-being, whether at home or at work. Generally, in schools, even edtech, focus on technical and academic abilities.

Nowadays, it’s almost hard to find solutions to improve an individual’s EQ in a structured way to better navigate life. Especially amidst the pandemic, EQ has become an important aspect to help people adapt to unprecedented changes and uncertainties.

East Ventures’ partner, Melisa Irene said, “[..] We believe Mindtera will pave the way for changing people’s understanding of intelligence as a whole, equipping people with the right curriculum and services to achieve life satisfaction.”

Wellness market share

Indonesia’s market share for fitness and wellness industry has grown significantly over the past few years. Euromonitor International’s data shows that Indonesia’s health and wellness food and beverage market has grown 51% in five years and become the current $9 billion industry.

Meanwhile, according to a report from the International Association of Health Clubs, Rackets and Sports, the country’s fitness industry grew by 45% in three years to $271 million in 2017. In Indonesia, wellness players serve across multiple verticals. It includes Fit Company, DOOgether, Jovee, YouVit, ClassPass, R Fitness, and many more.

Source: Euromonitor

The lucrative potential for economic value has made several digital innovators jump into this area. Carrying the concept of an educational application that focuses more on fitness and physical health activities, Telkomsel released the “Fita” application this year. To date, the app is still in its early access phase. It offers several products, from 1-on-1 tutoring services with professional trainers, on-demand workout videos, exercise programs, tips and nutritious food recipes.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ambisi RaRa Delivery Optimalkan Pengiriman Instan Berbasis Data

Logistik last mile bisa dikatakan sebagai salah satu segmen di logistik yang memiliki banyak pemain baru beberapa tahun belakangan. Meski demikian, segmen ini masih memiliki pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, yakni mengatasi efisiensi. Hal inilah yang menjadi pendekatan RaRa Delivery untuk pengiriman instan (same day delivery).

Startup ini didirikan oleh Karan Bhardwaj pada 2019. Bhardwaj memiliki pengalaman bekerja untuk Unilever di bidang supply chain e-commerce di Asia Pasifik. Menurutnya, kepuasan konsumen terhadap hal-hal yang instan telah menjadi suatu norma di seluruh kategori.

Hal tersebut terjadi tak lain karena berubahnya kebiasaan belanja online masyarakat, sehingga pengiriman cepat menjadi kebutuhan dan bukan kemewahan. Sayangnya di Indonesia, untuk menikmati hal tersebut konsumen perlu membayar lebih mahal.

Dalam sebuah riset yang ia kutip, pasar pengiriman same-day diperkirakan akan tumbuh hingga 30% dengan total 4,5 juta paket per hari pada tahun 2023. Adapun, untuk biaya logistik di layanan pengiriman same-day diproyeksikan akan meningkat menjadi Rp65 triliun pada tahun yang sama, naik dari Rp4,4 triliun di 2018.

Ketika membahas soal layanan e-commerce di negara besar dan padat penduduk, seperti Indonesia, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana membangun teknologi dan infrastruktur untuk memecahkan masalah pengiriman cepat dan terukur dengan biaya paling optimal.

Dalam hal ini ada peluang pasar yang signifikan untuk perusahaan pengiriman last-mile khususnya dalam infrastruktur pengiriman instan yang melayani banyak pedagang melalui satu interface yang mulus.

Dibandingkan pemain sejenis yang fokus pada pengiriman one-to-one untuk pengiriman instan, RaRa fokus pada model many-to-many agar dapat membuat pengiriman instan lebih terukur dengan biaya yang paling optimal. “Hal ini dapat kami raih dengan alat pengelompokan (batching) secara real time dan serangkaian produk yang komprehensif,” ujarnya kepada DailySocial.

Dijelaskan lebih jauh, pihaknya mengembangkan teknologi pengelompokan real time yang eksklusif untuk melakukan pengiriman ke banyak titik (many-to-many) dalam beberapa jam, sehingga biaya pengiriman dapat ditekan secara optimal. Pada saat yang bersamaan, para kurir dapat menghasilkan pendapatan yang lebih banyak dalam waktu dan jarak tempuh yang lebih sedikit.

Selain pengiriman instan, platform RaRa juga menawarkan keandalan dan kenyamanan pelanggan melalui pemberitahuan dan pembaruan status secara real time. Pelanggan dapat berbincang dengan CS, kurir, atau keduanya secara bersamaan dalam satu platform chat.

Di dalam sistem, RaRa menerima pesanan dari bisnis dan merchant melalui integrasi API, kemudian menghitung kapasitas, slot waktu, jarak, dan optimalisasi rule untuk mengelompokkan pesanan-pesanan dan memaksimalkan produktivitas untuk mengurangi biaya per pesanan tersebut. Pihaknya juga mampu menyediakan rekonsiliasi CoD secara real time.

Pemain sejenis RaRa yang fokus pada pengiriman instan adalah Grab, Gojek, Paxel, Lalamove, Anteraja, Deliveree, Ninja Xpress, SiCepat, hingga perusahaan logistik konvensional seperti JNE dan Tiki.

Mengacu laporan The 2nd Series Industry Roundtable: Logistics Industry Perspective yang dirilis MarkPlus Inc pada Oktober 2020, frekuensi jasa kurir meningkat pesat selama masa pandemi. Peningkatan ini dipicu oleh sejumlah faktor utama antara lain kegiatan belanja online, harga, dan waktu pengiriman.

Selain itu, layanan same day delivery diproyeksikan bakal meningkat lebih pesat penggunaannya pasca-pandemi (67,2%) dibandingkan layanan pengiriman regular (78,7%) meski porsinya masih lebih besar. Adapun riset ini diikuti oleh sebanyak 122 responden dari wilayah Jabodetabek (59,8%) dan non-Jabodetabek (40,2%).

Terima pendanaan seri A

Armada pengemudi RaRa Delivery / RaRa Delivery

Untuk meneruskan misinya tersebut, RaRa mendapat dukungan pendanaan tahap awal dari sejumlah investor sebesar $3,25 juta (hampir Rp47 miliar). Putaran tersebut dipimpin oleh Surge dari Sequoia Capital India dan East Ventures. Juga didukung oleh 500 Startups, Angel Central, GK Plug and Play, dan angel investor Royston Tay dan Yang Bin Kwok.

RaRa sebelumnya masuk sebagai bagian dari kohor kelima Surge, bersama 23 perusahaan lainnya.

Bhardwaj menjelaskan pendanaan ini akan digunakan untuk meningkatkan penawaran produk, mengembangkan tim dari berbagai fungsi, dan memperluas jangkauan di Indonesia. Tidak disebutkan total armada RaRa yang beroperasi saat ini. ”Kami hadir di Jabodetabek saat ini dan akan meluncur ke beberapa kota lain sebelum akhir 2021.”

Bisnis RaRa selama setahun ini diklaim tumbuh 15 kali lipat. Para pengguna RaRa di antaranya adalah Sayurbox, Alodokter, Blibli, Kopi Kenangan, Merchant Grab, dan lainnya. Di Alodokter telah menjadi pelanggan utama yang menyediakan layanan pengiriman satu hingga tiga jam. Diklaim, RaRa mampu memberikan layanan pengiriman tiga jam hingga 20% lebih murah karena efisiensi teknologi pengelompokan cerdas (Smart Batching System).

Tak hanya perusahaan besar, perusahaan juga menyasar pelaku bisnis social commerce dan UMKM untuk memanfaatkan layanannya. “Kami sudah memiliki tim sales yang telah berhasil menarik UMKM dan social sellers. Mereka dapat melakukan pengelolaan order secara menyeluruh, pengelolaan pengantaran, rekonsiliasi dan penarikan kas, CS, analisa dan pelaporan dalam satu platform,” pungkasnya.

Perusahaan induk RaRa Delivery berada di Singapura, sementara pusat operasionalnya ada di Indonesia.

Startup Edu-Wellness “Mindtera” Tutup Pendanaan Tahap Awal dari East Ventures

Platform edukasi pengembangan diri (edu-wellness) Mindtera mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasiakan yang dipimpin East Ventures. Hustle Fund yang berbasis di Silicon Valley, Henry Hendrawan, dan beberapa angel investor di industri teknologi turut berpartisipasi dalam putaran tersebut.

Dana segar ini akan digunakan perusahaan untuk mempercepat misinya dalam membantu orang menjalani kehidupan terbaiknya, dengan menyediakan akses kurikulum pembelajaran pengembangan diri di berbagai kehidupan.

“Pendanaan baru ini akan digunakan untuk memperkuat tim produk dan teknologi, meluncurkan lebih banyak fitur menarik, meningkatkan brand awareness, dan membangun kapasitas dalam menanggapi kebutuhan pasar. Kami menyambut talenta yang bersemangat untuk bergabung dengan kami dalam perjalanan ini,” kata Co-founder & CMO Mindtera Bayu Bhaskoro dalam keterangan resmi, Senin (23/8).

Konsep layanan

Selain Bayu, startup ini turut didirikan oleh Tita Ardiati. Tita adalah life coach berlisensi yang telah menghabiskan lebih dari 500 jam dengan 100 klien dan ahli statistik senior dengan pengalaman kerja di lembaga penelitian multinasional, seperti YouGov dan Nielsen. Sementara, Bayu memiliki pengalaman sebagai senior kreatif profesional yang telah memenangkan berbagai penghargaan.

Co-Founder & CEO Mindtera Tita Ardiati menjelaskan, platform ini didirikan untuk memberikan edukasi dan pelatihan kecerdasan emosional, sosial dan fisik dalam format digital untuk individu dan perusahaan. Kurikulum kecerdasan majemuk Mindtera telah divalidasi secara ilmiah dan klinis oleh para life coach, edukator, dan psikolog klinis.

Selain itu, platform pembelajaran ini juga akan membangun komunitas sebagai support system harian bagi penggunanya. “Mindtera bertujuan untuk mengatasi ketidakseimbangan ini dengan merancang dan membangun produk edukasi bermuatan kecerdasan majemuk (multi-intelligence approach),” terangnya.

Dia melanjutkan, “[..] Kami menyediakan konten yang membuka wawasan tentang kecerdasan majemuk ke lebih banyak individu dan perusahaan. Melalui Mindtera, nantikan aksesibilitas, relevansi, dan komunitas dalam format digital yang akan membantu meningkatkan potensi diri.”

Menurut Harvard Business Review (HBR), kecerdasan emosional (EQ) dua kali lebih penting daripada keterampilan lain untuk mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan pribadi, baik di rumah atau di tempat kerja. Umumnya, di sekolah, bahkan edtech, berfokus pada kemampuan teknis dan akademis.

Namun, solusi untuk meningkatkan EQ individu secara terstruktur dalam menavigasi kehidupan dengan lebih baik hampir sulit ditemukan pada saat ini. Khusus di tengah pandemi ini, EQ menjadi aspek penting untuk membantu masyarakat beradaptasi dengan perubahan dan ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Partner East Ventures Melisa Irene mengatakan, “[..] Kami percaya Mindtera akan membuka jalan untuk mengubah pemahaman masyarakat tentang kecerdasan secara keseluruhan, membekali masyarakat dengan kurikulum dan layanan yang tepat sehingga mereka dapat mencapai kepuasan hidup.”

Pangsa pasar wellness

Pangsa pasar industri fitness dan wellness Indonesia telah tumbuh secara signifikan selama beberapa tahun terakhir. Data dari Euromonitor International menunjukkan bahwa pasar makanan dan minuman kesehatan dan kebugaran Indonesia telah tumbuh 51% dalam lima tahun menjadi industri senilai $9 miliar saat ini.

Sementara itu, menurut laporan dari Asosiasi Internasional Klub Kesehatan, Raket dan Olahraga, industri kebugaran negara itu tumbuh sebesar 45% dalam tiga tahun menjadi $271 juta pada tahun 2017. Di Indonesia, pemain wellness tersebar di berbagai vertikal. Di antaranya Fit Company, DOOgether, Jovee, YouVit, ClassPass, R Fitness, dan masih banyak lagi.

Sumber: Euromonitor

Potensi nilai ekonomi yang menggiurkan membuat beberapa inovator digital terjun ke ranah tersebut. Mengusung konsep aplikasi edukasi yang lebih fokus ke kegiatan kebugaran dan kesehatan fisik, Telkomsel tahun ini juga merilis aplikasi “Fita”. Sampai saat ini aplikasi tersebut masih di fase early access. Di dalamnya menawarkan beberapa produk, mulai dari layanan bimbingan 1-on-1 dengan pelatih profesional, video latihan on-demand, program olahraga, tips dan resep makanan bergizi.

ALAMI Reportedly Bags 252 Billion Rupiah Series B Funding Led by Quona Capital

ALAMI P2p lending startup is reportedly received $17.5 million (approximately 252 billion Rupiah) series B funding led by Quona Capital through the Accion Quona Inclusion fund.

According to DailySocial’s source, some Middle East venture capitalists and angel investors are participated in this round. It was also backed by East Ventures, AC Ventures, and K9 Industries.

We tried to contact ALAMI’s representative, however, they declined to comment on the matter.

Quona Capital is ALAMI’s existing investor of a $20 million funding round in equity and debt earlier this year. The round was led by AC Ventures and Golden Gate Ventures.

Quona has also led and been involved in several fundings for other local startups, including KoinWorks (2019, 2020), Julo (2019), Ula (2020, 2021), and BukuWarung (2020).

Developing digital bank

In a previous interview with DailySocial, ALAMI’s Co-Founder Dima Djani explained that the group is preparing to launch Bank Hijra to the public. Currently, the waiting list still open for interested prospective customers.

ALAMI’s existing customers will be the main target of Bank Hijra’s early market acquisition. They can make savings easier and the integration process more seamless. The yield offered is claimed to be higher for the average fixed income instruments such as sharia deposits, state sukuk, and sharia P2P.

In terms of SME banking segment, Bank Hijra and ALAMI will synergize business, from financing channeling and cross selling other Islamic financial products. The synergy is in compliance with OJK’s regulation and guidance. Therefore, Bank Hijra is not just ALAMI’s institutional lender for SME.

Statistically, based on OJK’s data, the market share of Islamic banking in Indonesia is still around 5.99%. Many believe that the large Muslim population can offer big potential in the future.

Sharia banking market share in Indonesia / OJK

Performance-wise, ALAMI users grew by 1,000% year-on-year (yoy) with total distribution of Rp200 billion in the first quarter of 2021. The distribution rate is claimed to be positive with the ratio of loss or default at 0%.

The company has collaborated with eFishery and BukaPengadaan to widen the range of its credit distribution. In addition to individual lenders, ALAMI is supported by a range of institutional lenders, such as Bank Syariah Indonesia (BSI), BPR Syariah, and seven other BPRs.

OJK noted that as of April 2021, out of 381 licensed and registered fintechs in Indonesia, only 17 of those adopted the sharia economic system. Ten fintechs are engaged in p2p lending and the rest are in digital financial innovation (IKD).

With the current limited number, the opportunity is quite large for sharia-based fintech to grow and develop. Supported by the rapid development of fintech, the Islamic economic system could be the trend in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

ALAMI Dikabarkan Terima Pendanaan Seri B 252 Miliar Rupiah Dipimpin Quona Capital

Startup p2p lending ALAMI dikabarkan memperoleh pendanaan seri B senilai $17,5 juta (sekitar 252 miliar Rupiah) yang dipimpin Quona Capital melalui fund Accion Quona Inclusion.

Menurut informasi yang diperoleh DailySocial, sejumlah pemodal ventura dan angel investors asal Timur Tengah turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. Putaran ini turut didukung East Ventures, AC Ventures, dan K9 Industries.

Saat dihubungi, perwakilan ALAMI menolak untuk berkomentar soal kabar tersebut.

Quona Capital adalah investor existing di ALAMI dalam putaran pendanaan senilai $20 juta dalam bentuk ekuitas dan debt pada awal tahun ini. Putaran tersebut dipimpin oleh AC Ventures dan Golden Gate Ventures.

Quona juga sempat memimpin dan terlibat di beberapa pendanaan ke startup lokal lain, termasuk KoinWorks (2019, 2020), Julo (2019), Ula (2020, 2021), dan BukuWarung (2020).

Siapkan bank digital

Sebelumnya, dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder ALAMI Dima Djani menjelaskan ALAMI Group tengah mempersiapkan peluncuran Bank Hijra untuk publik. Saat ini masih membuka waiting list untuk calon nasabah yang berminat.

Nasabah existing ALAMI akan menjadi target utama akuisisi nasabah Bank Hijra pada tahap awal. Mereka dapat membuat tabungan dengan mudah dan proses integrasi yang lebih seamless. Imbal hasil yang ditawarkan diklaim lebih tinggi untuk rerata instrumen fixed income seperti deposito syariah, sukuk negara, dan P2P syariah.

Untuk segmen SME banking, Bank Hijra dan ALAMI akan bersinergi bisnis, dimulai dari financing channeling dan cross selling produk-produk keuangan syariah lainnya. Sinergi tersebut sesuai dengan arahan panduan yang disampaikan OJK. Jadi Bank Hijra tidak hanya sekadar lender institusi untuk ALAMI dalam penyaluran pinjaman ke UKM.

Secara statistik, menurut data OJK, market share perbankan syariah di Indonesia masih berkisar 5,99%. Banyak pihak meyakini bahwa populasi muslim yang besar dapat menghadirkan potensi di kemudian hari.

Market share perbankan syariah di Indonesia / OJK

Secara kinerja, pengguna ALAMI pertumbuhan pengguna ALAMI naik 1.000% secara year-on-year (yoy) dan total penyaluran sebesar Rp200 miliar pada kuartal I 2021. Kualitas penyaluran diklaim baik dengan rasio macet atau gagal bayar masih berada di angka 0%.

Perusahaan telah berkolaborasi dengan eFishery dan BukaPengadaan untuk memperlebar jangkauan penyaluran kredit. Selain pendana individu, ALAMI didukung jajaran pendana institusi, seperti Bank Syariah Indonesia (BSI), BPR Syariah, dan tujuh BPR lainnya.

OJK mencatat per April 2021, dari 381 fintech berizin dan terdaftar di Indonesia, hanya 17 di antaranya yang mengadopsi sistem ekonomi syariah. 10 fintech bergerak di ranah p2p lending dan sisanya bergerak di inovasi keuangan digital (IKD).

Meski jumlahnya masih terbatas, masih ada ruang yang lebar untuk fintech berbasis syariah untuk tumbuh dan berkembang. Didukung dengan perkembangan fintech yang pesat, sistem perekonomian syariah bisa lebih populer di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Pemodal Ventura Tatap Masa Depan Bisnis Coworking Space

Era kejayaan bisnis coworking space di Indonesia berbanding lurus dengan popularitas dan bermunculannya startup teknologi. Tidak hanya sekadar menyediakan tempat untuk bekerja, penyelenggara coworking berlomba menghadirkan ekosistem kewirausahaan menyeluruh untuk mendukung tenant di dalamnya. Mulai dari acara edukasi bisnis, akses ke jaringan investor, sampai dengan program inkubasi.

Sejak tahun lalu, bisnis ini terganggu aktivitasnya akibat pembatasan sosial yang diberlakukan semasa pandemi. Belum lagi karakteristik konsumen utama mereka, pekerja di bidang teknologi, yang lebih fleksibel untuk bekerja di mana saja, termasuk melakukan work from home.

Vice President Indogen Capital Kevin Winsen mengatakan, “Secara industri, semua bisnis real estate termasuk coworking space akan terdampak dengan adanya pembatasan sosial […] Namun dari kondisi economic stress ini, saya juga melihat ini adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi bisnis model coworking space mana yang bisa bertahan dan bagaimana para founder merespons tantangan ini. Saya rasa pemain yang bisa bertahan akan menjadi pemenang atau category leader dalam segmen ini untuk jangka panjang.”

Indogen saat ini berinvestasi di GoWork. Sebelumnya mereka termasuk pemegang saham Spacemob sebelum diakuisisi WeWork pada tahun 2017 lalu.

Pendanaan masih terus berlanjut

Menurut data yang DailySocial peroleh, dua pemain besar coworking space lokal mendapatkan pendanaan tambahan di tahun ini. Pertama ada GoWork yang dikabarkan memulai putaran pendanaan Seri C1. Sejumlah investor bergabung, termasuk Gobi Partners lewat Meranti Asean Growth Fund, dan telah mengumpulkan $3,6 juta atau setara 51,8 miliar Rupiah. Kami mencoba menghubungi eksekutif perusahaan untuk mengonfirmasi kabar ini, namun sampai tulisan ini terbit belum mendapatkan respons.

Pemain lainnya yang dikabarkan mendapatkan suntikan dana adalah CoHive. Tahun ini Stonebridge Ventures, East Ventures, Naver, LINE Ventures, dan sejumlah investor mengisi daftar investasi di putaran Seri B dengan nilai mencapai $16 juta atau setara 230,3 miliar Rupiah. Pihak terkait yang kami konfirmasi soal pendanaan ini memilih tidak berkomentar. Investor-investor tersebut merupakan mereka yang telah berinvestasi di tahap sebelumnya.

Operator Pendanaan Tahun Investor Pemimpin Kisaran Nilai
CoHive Seed Round 2017 East Ventures, Insignia Ventures Partners $4,3 juta
Series A 2018 Softbank Ventures Asia $20 juta
Series B 2019 s/d 2021 Stonebridge Ventures $16 juta
GoWork Seed Round 2017 ATM Capital, Convergence Ventures $3 juta
Series A 2018 Gobi Partners, The Paradise Group $10 juta
Series B 2019 undisclosed Undisclosed
Series C1 2021 Gobi Partners $3,6 juta

Keyakinan investor untuk bisnis coworking

East Ventures, yang merupakan pemegang saham penting di layanan coworking space CoHive di Indonesia dan CirCO di Vietnam, memberikan pendapatnya terkait kondisi yang dialami vertikal bisnis tersebut saat ini.

Operating Partner East Ventures David Fernando Audy mengatakan, “Ruang fleksibel atau coworking telah menjadi bagian terintegrasi dari tren pasar perkantoran dan akan terus berlanjut. Diyakini akan ada permintaan yang baik untuk layanan tersebut, ketika pandemi mereda. Tentu saja dalam jangka pendek, pembatasan mobilitas memberikan banyak tekanan pada operator. Oleh karena itu, masuk akal untuk mengharapkan beberapa strategi yang bergeser ke arah konsolidasi pasar.

Sayangnya tidak mudah untuk memprediksi kapan krisis pandemi ini akan berakhir. Demikian juga tren cara kerja di era new normal nantinya – apalagi saat ini beberapa perusahaan teknologi memberikan keleluasaan untuk pegawainya bekerja dari mana saja.

Kevin melanjutkan, “Hipotesis kami melihat bahwa permintaan terhadap coworking space akan bounce back dan tetap bertumbuh secara modest. Kami melihat future of working itu akan hybrid, orang sudah terbiasa dengan produktivitas kerja yang baru selama pandemi tapi secara bersamaan tidak mau kehilangan fungsi sosial untuk bertemu tatap muka. Alhasil akses multi-lokasi dari coworking space akan menjadi strong moat dalam jangka panjang untuk address change of behavior ini.”

Tren selama pandemi

Jika melihat dari tren pencarian dalam beberapa tahun terakhir, terminologi coworking mendapati traksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Di awal masa pandemi sekitar bulan Juni-Juli 2020, tren tersebut sempat turun drastis kendati secara perlahan mulai merangkak naik.

Menurut laporan “Coworking Space Global Market Report 2021” dari Research and Markets, adanya Covid-19 juga diperkirakan hanya akan membawa pertumbuhan pasar sebesar 2,1%, dari $7,97 miliar di tahun 2020 menjadi $8,14 miliar di tahun 2021.

Pertumbuhan ini disebabkan para penyedia layanan yang melanjutkan operasi mereka dan beradaptasi dengan new normalPasar diperkirakan akan mencapai $13,03 miliar pada tahun 2025 dengan kenaikan pertumbuhan tahunan mencapai 12%.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

East Ventures Pimpin Pendanaan Tahap Awal Startup D2C “mohjo”

East Ventures memimpin pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasiakan untuk startup D2C (direct-to-consumer) asal Singapura, mohjo. iSeed Southeast Asia, K3 Ventures, dan sejumlah angel investor ternama turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. Mohjo akan memanfaatkan dana segar ini untuk membangun kapasitas perusahaan, meluncurkan lebih banyak produk, memperkuat tim, dan meningkatkan penetrasi pasar.

mohjo didirikan pada Januari 2021 oleh Juhi Dang. Startup ini fokus menyajikan produk makanan dan minuman nabati yang 100% bersih. Perusahaan meluncurkan lini produk pertamanya, yaitu susu almond dan minuman berbahan dasar susu almond di Singapura. Produk ini dibuat dengan bahan-bahan berkualitas tinggi dan bebas dari bahan penstabil, pengental, pemanis buatan, dan bahan kimia lainnya.

Dang menjelaskan, sebagian besar produk alternatif susu yang tersedia secara komersial itu rendah nutrisi dan mengandung zat penstabil. Produk tersebut mengandung 95%-98% air, dicampur dengan zat aditif, dan rasanya kurang enak atau tidak berasa sama sekali.

“mohjo dibuat berdasarkan pengalaman saya sebagai konsumen produk alternatif susu. Sejak kecil, saya minum susu segar, tapi ketika saya mengetahui bahwa saya tidak toleran laktosa, saya tidak dapat menemukan susu nabati yang rasanya enak. Ketika saya pindah ke Singapura, saya pikir saya akan menemukan alternatif susu yang enak dan bersih di sini, tapi ternyata tidak. Yang bisa saya temukan hanyalah cairan yang tampak seperti susu tanpa nutrisi atau rasa,” ucapnya, Senin (16/8).

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, seiring dengan pertumbuhan populasi intoleransi laktosa di seluruh dunia, pihaknya melihat peluang besar dari alternatif dari nabati (plant-based alternatives). Pasar ini mendapat momentum dan mengalami peningkatan permintaan karena orang mulai mengevaluasi kembali pola makan mereka.

“Sebagai perusahaan D2C, mohjo didirikan untuk melayani konsumen yang mencari makanan dan minuman yang lebih sehat namun lezat. Kami percaya bahwa mohjo dapat tumbuh dengan membawa inovasi ke pasar,” terangnya.

mohjo adalah digital native brand yang memiliki tim dengan pengalaman yang luas dalam inovasi, branding dan strategy. Dang memiliki latar belakang lebih dari 13 tahun di inovasi produk konsumen langsung. Selain itu, para profesional di bidang branding dan pemasaran digital menduduki kepemimpinan senior perusahaan.

mohjo sedang memperluas dan memperkuat operasi, penjualan dan pemasaran di Singapura. “Kami mencari orang-orang yang bersemangat dan memiliki ambisi serta percaya bahwa kita dapat mengubah planet ini dengan pilihan yang kita buat saat makan. mohjo sedang membangun tempat kerja yang inklusif di mana bisnis dilakukan dengan cara yang benar,” tambahnya.

Alternatif susu memiliki market size secara global senilai sekitar $23 miliar, dan diperkirakan CAGR akan tumbuh sebesar sekitar 12,5% di tahun 2021 hingga 2028. Wilayah Asia Pasifik mendominasi pasar ini dengan market share sebesar 44%, menurut Grand View Research.

Pasar produk alternatif susu sedang booming karena meningkatnya jumlah orang dengan intoleransi laktosa dan flexitarian, kesadaran masyarakat untuk fokus pada pilihan yang lebih sehat, serta perhatian terhadap etika dan lingkungan dalam mengonsumsi produk susu.

Alasan investor tertarik startup D2C

Mohjo menambah jajaran startup D2C yang mengantongi pendanaan dari investor lokal. Dari pantauan DailySocial, modal ventura lokal lain juga mulai mengalokasikan dana untuk startup nondigital. Beberapa di antaranya Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, Teja Ventures, Salt Ventures, dan lain-lain. Startup kecantikan merupakan salah satu vertikal D2C yang kian hari diminati investor.

Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengatakan, ada sejumlah faktor mengapa pelaku startup kecantikan menarik bagi VC. Pertama, brand lokal masa kini menggunakan model D2C untuk membidik segmen digital native.

Kedua, konsumen produk kecantikan cenderung memiliki user stickiness dan repeat purchase yang tinggi. Artinya, bisnis ini dapat mengantongi pertumbuhan bisnis dengan cepat. Tentu bagi VC, masuk ke vertikal ini dapat menjadi sebuah diferensiasi bisnis. Akan tetapi, investasi tetap memerlukan scalibility.

Sementara Senior Investment Analyst Kolibra Capital William Auwines menyoroti perspektif lain. Banyak brand kecantikan lokal mengembangkan strategi marketing yang berbeda untuk membangun brand equity-nya. Selain itu, yang cukup menonjol adalah produk kecantikan terbilang memiliki biaya produksi rendah sehingga keputusan untuk membeli produk menjadi lebih mudah dan nature bisnisnya akan selalu membutuhkan constant repurchasing.

Ia menilai kehadiran e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada menjadi game changer bagi industri ini karena mereka mampu mengantongi consumer purchasing journey. Alhasil, tak hanya pelaku industri kecantikan saja yang meningkat, tetapi juga bisnis pendukungnya, seperti sales, marketing, dan logistik untuk segmen SME. Dari paparan ini, industri kecantikan menjadi vertikal yang menarik bagi VC karena berhasil menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan dalam beberapa tahun terakhir.

“Sebagai VC, biasanya kami mengabaikan perusahaan tradisional, seperti fashion dan retail. Bagi kami, ada banyak perusahaan teknologi baru yang tumbuh eksponensial dengan menjaga biaya tetap rendah, menjangkau pasar lewat pemasaran online, dan meningkatkan layanan logistiknya untuk memperoleh keuntungan. Faktor ini membuat valuasinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan tradisional,” paparnya.

Fuse Insurtech Announces the Closing of Series B Funding

Fuse insurtech today (09/8) announced the closing of its series B funding with an undisclosed amount. The round was led by GGV Capital with the participation of previous investors, including East Ventures Growth, SMDV, Golden Gate Ventures, Heyokha Brothers, Emtek, and some undisclosed investors.

The fresh funds will be focused on developing its digital platform and continuing the expansion to other countries in Southeast Asia, outside of Indonesia and Vietnam. Previously, Fuse has secured series A funding in late 2019, led by EV Growth.

This insurtech platform was founded in 2017 by Andy Yeung and Ivan Sunandar. The company claimed to be a pioneer application that focuses on the agent-base model. This is considered relevant to Indonesia, as 97% of the population is still underinsured due to lack of confidence in the current insurance system.

Using the approach, the company is said to record Gross Written Premium (GWP) exceeding $50 million or equivalent to Rp720 billion in 2020 and is confident enough to claim as the largest insurtech platform in Indonesia [by transaction].

Fuse has partnered with 30 insurance companies, offering more than 300 products, including through employee benefit programs and integrated e-commerce sites.

“We always focused on product innovation and will continue to invest in developing platforms that make insurance accessible and affordable to everyone in Southeast Asia. A total of 7 insurance companies have chosen Fuse to be their strategic insurtech partner in Indonesia,” the CEO, Andy Yeung said.

Market competition

Discovering the current insurtech landscape in Indonesia, Fuse’s two closest competitors, in terms of business size, are PasarPolis and Qoala. With different metrics, PasarPolis confirmed, as of August 2020 they had issued 70 million new policies every month. The total successful policies released in 2019 reached 650 million in its operational countries, Indonesia, Thailand and Vietnam.

Earlier this year, PasarPolis secured IDR 70 billion funding from IFC, following the IDR 796 billion Series B round which was announced in September 2020. The startup is backed by several investors, including LeapFrog Investments, SBI Investment, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, etc.

Another insurtech startup is Qoala. Last April 2020 the firm announced 209 billion Rupiah series A funding led by MDI Ventures through the Centauri Fund. Also participated several investors including Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, Mirae Asset Sekuritas, Central Capital Ventura, SeedPlus, etc.

Since March 2020, the company claims to have proceed more than 2 million policies per month, the number increased from the previous one 7,000 policies per month in March 2019.

Market potential

According to DSInnovate data in the “Insurtech Report 2021“, the GWP recorded by the insurance industry in Indonesia has reached $20.8 billion in 2020. The number is dominated by Life insurance with 73.8%.

Although the pandemic has affected its emerging penetration in Indonesia, this sector was relatively able to recover quickly as viewed from the Gross Premium Income.

The insurtech potential to democratize the insurance business in Indonesia is wider than ever, including in the context of capturing new users and educating the market. Further from the report, there are several important factors to encourage insurance adoption in Indonesia in relation to digital services.

First, in terms of the claim process, convenience is the key (48% of respondents). Moreover, the service provider brand must be convincing (39%). Furthermore, proceed with costs (37%) and benefits provided (11%).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup Insurtech Fuse Umumkan Perolehan Pendanaan Seri B

Startup insurtech Fuse hari ini (09/8) mengumumkan penutupan pendanaan seri B. Tidak disampaikan nominal investasi yang didapat. Adapun putaran ini dipimpin oleh GGV Capital dengan keterlibatan investor sebelumnya, termasuk East Ventures Growth, SMDV, Golden Gate Ventures, Heyokha Brothers, Emtek, dan sejumlah investor yang tidak disebut identitasnya.

Dana segar yang didapat akan difokuskan untuk pengembangan platform digital mereka dan melanjutkan ekspansi ke negara lain di Asia Tenggara, di luar Indonesia dan Vietnam. Sebelumnya Fuse mendapatkan pendanaan seri A pada akhir 2019, dipimpin oleh EV Growth.

Platform insurtech ini didirikan sejak 2017 oleh Andy Yeung dan Ivan Sunandar. Mereka mengklaim sebagai aplikasi pionir yang berfokus pada model keagenan. Hal ini dinilai relevan dengan kondisi di Indonesia, sebanyak 97% dari populasi masih berstatus underinsured dikarenakan kurang percaya dengan sistem perasuransian yang ada saat ini.

Dengan pendekatan tersebut, perusahaan juga mengatakan telah mampu membukukan Gross Written Premium (GWP) melebihi $50 juta atau setara Rp720 miliar pada 2020 dan cukup percaya diri untuk mengklaim jadi platform insurtech terbesar di Indonesia [secara transaksi].

Fuse juga telah bermitra dengan 30 perusahaan asuransi, menyajikan lebih dari 300 produk, termasuk melalui program employee benefit dan terintegrasi di situs e-commerce.

“Kami selalu fokus pada inovasi produk dan akan terus berinvestasi dalam mengembangkan platform yang membuat asuransi dapat diakses dan terjangkau oleh semua orang di Asia Tenggara. Sebanyak 7 perusahaan asuransi telah memilih Fuse untuk menjadi mitra strategis insurtech mereka di Indonesia,” kata CEO Andy Yeung.

Kompetisi pasar

Melihat lanskap insurtech di Indonesia saat ini dua pesaing terdekat Fuse, jika dilihat dari sisi ukuran bisnis, adalah PasarPolis dan Qoala. Dengan metrik yang berbeda, PasarPolis menyebut, per Agustus 2020 mereka telah menerbitkan 70 juta polis baru setiap bulan. Adapun total polis yang berhasil dirilis pada tahun 2019 mencapai 650 juta polis di negara mereka beroperasi, yakni Indonesia, Thailand, dan Vietnam.

PasarPolis awal tahun ini mendapatkan pendanaan 70 miliar Rupiah dari IFC, melanjutkan perolehan pendanaan 796 miliar Rupiah untuk putaran seri B yang diumumkan pada September 2020 lalu. Startup ini didukung beberapa investor, termasuk LeapFrog Investments, SBI Investment, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, dll.

Adapun startup insurtech lainnya ada Qoala. April 2020 lalu mereka membukukan pendanaan seri A senilai 209 miliar Rupiah yang dipimpin MDI Ventures melalui Centauri Fund. Turut mendukung beberapa investor termasuk Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, Mirae Asset Sekuritas, Central Capital VEntura, SeedPlus, dll.

Sejak Maret 2020, perusahaan mengklaim telah mampu memroses lebih dari 2 juta polis per bulan, naik dari sebelumnya sebanyak 7.000 polis per bulan pada Maret 2019.

Potensi pasar

Menurut data yang diolah DSInnovate dalam “Insurtech Report 2021“, GWP yang telah dibukukan industri perasuransian di Indonesia telah mencapai $20,8 miliar pada tahun 2020. Asuransi jiwa mendominasi angka dengan persentase 73,8%.

Kendati sempat terdampak pandemi di awal kemunculannya di Indonesia, namun sektor ini relatif bisa cepat pulih jika dilihat dari Gross Premium Income yang didapat.

Potensi insurtech untuk mendemokratisasi bisnis asuransi di Indonesia masih terbuka sangat lebar, termasuk dalam rangka menjaring pengguna baru dan mengedukasi pasar. Masih dari laporan di atas, dari survei yang dikutip terdapat beberapa faktor penting yang dapat mendorong adopsi asuransi di Indonesia, dalam kaitannya dengan layanan digital.

Pertama dari sisi proses klaim yang harus memudahkan (48% responden). Kemudian yang kedua terkait brand penyedia layanan yang harus meyakinkan (39%). Lalu dilanjutkan biaya (37%) dan manfaat yang diberikan (11%).

Application Information Will Show Up Here

Feedloop Receives Pre Series A Funding, Currently Operating a Codeless Application Development Platform

SaaS service developer for business digitization Feedloop secures pre-series A funding of an undisclosed amount. This round was led by Telkomsel Mitra Innovation (TMI) with the participation of Aksara Ventures and the previous investor, East Ventures.

Funds will be focused on accelerating the development of technology products, recruiting more human resources, and building distribution networks.

Was founded by Ahmad Rizqi Meydiarsi (CEO), Ronaldi Kurniawan Saphala (CTO), and Muhammad Aji Santika (CMO) in 2018; Feedloop provides much different services than in the early days. They first debuted with a platform that allows marketers to create interactive content such as surveys, quizzes, or digital stories to support online marketing.

While the existing SaaS has been expanded with two main products, Qore and AIXP. Qore is a no code development platform (NCDP), allowing users to develop applications without code/programming for various purposes, such as HR management, warehouse management, consumer applications, and others.

Moreover, AXIP was developed as a customer data and experience platform (CDXP), enabling users to manage digital data from various channels to improve their marketing capabilities. Including aimed at analyzing customer behavior in real-time.

“Entering its third year, Feedloop will continue its commitment to become a digital-enabler for Indonesian companies [..] The investment from TMI will help us to accelerate the realization of our great mission to create equitable digital transformation throughout Indonesia,” Rizqi said.

Potential synergy

Since its debut in May 2019 with an initial managed fund of IDR 576 billion, TMI focused on investing in various types of startups that can be synergized with the main business of the parent. Synergy is an important point that is underlined, as a corporate venture capital (CVC), they carry an important mission to help companies achieve certain goals, in this case digital transformation.

The strategic partnership with Feedloop is no exception. Along with that, Telkomsel will jointly develop a data management platform and consumer experience. Various types of customer data will be formulated to be a more targeted marketing reference and product innovation. The purpose of developing this platform is also to help other SOEs (outside the Telkomsel group) adopt digital transformation.

Feedloop is now TMI’s 13th portfolio company. Previously they have invested in Kredivo, Inspigo, EVOS Esports, TaniHub, Qlue, Tada, PrivyID, Roambee, Halodoc, SiCepat, Skor, and Sekolahmu.

“In the future, TMI will be further developed to open up various opportunities for collaboration and wider startup empowerment. We have prepared many things to realize various strategic plans in the future,” TMI’s CEO, Marlin R. Siahaan said on a media briefing (22/7).

Data and no-code platform projection

Previously there were Typedream and Cotter, no-code platforms developed by founders from Indonesia. They managed to secure seed funding from Y Combinator and some global angel investors. The service concept takes the form of a web builder and a passwordless login platform, allowing users to build their websites without programming; and create secure login access without requiring a password.

The convenience offered makes the no-code platform, or often also called low-code, growing rapidly. In the global arena, currently there are many SaaS-based platforms that offer similar capabilities for various specific needs.

No-Code Platform
Various kinds of no-code platforms in global market / Petro Inverinizzi (Stride VC) and Ben Tossell (Makerpad)

According to the findings of the Appinventiv survey, no-code services are in great demand by business people because it makes it easier for them to innovate and transform. As is known, businesses are required to agilely carry out digital transformation by going online. The manual development process can take a long time for companies just starting out, as they have to go through many stages, from planning to recruiting programming experts.

Survey on user’s reasons to use low-code platform / Appinventiv

This potential brings the market value of these services to $45.5 billion by 2025. The existing platform variants not only facilitate the specific needs of large companies, but also for MSMEs who want to increase their online presence or minimize friction in their operational activities.

No-code platform market share in the world / MarketsandMarkets


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian