Ayoconnect Umumkan Pendanaan Seri B+ 199 Miliar Rupiah Dipimpin SIG Venture Capital

Startup open finance Ayoconnect kembali umumkan pendanaan lanjutan senilai $13 juta atau lebih dari 460 miliar Rupiah dalam putaran seri B+. Investasi ini dipimpin oleh SIG Venture Capital, diikuti oleh Innovation Capital serta beberapa investor sebelumnya, termasuk PayU dan Prosus.

Dengan tambahan pendanaan ini, Ayoconnect telah berhasil mengumpulkan total $28 juta atau setara dengan 420 miliar Rupiah untuk pendanaan ekuitas. Sebelumnya perusahaan telah mengumumkan penutupan putaran seri B di awal tahun 2022 dipimpin oleh Tiger Global.

Dana segar ini akan difokuskan pada pengembangan produk dan teknologi, serta investasi untuk peningkatan kualitas kepemimpinan dan pemberdayaan tim. Dalam hal ini, termasuk solusi baru untuk pembayaran, data dan perbankan serta API baru untuk pembukaan rekening dan penerbitan kartu.

Founder & CEO Ayoconnect Jakob Rost mengungkapkan bahwa kepercayaan investor merupakan hasil dari daya tarik terhadap pesatnya perkembangan solusi yang ditawarkan Ayoconnect di pasar Indonesia. Perusahaan berhasil menjalin kemitraan yang sinergis, meluncurkan berbagai produk yang berdampak besar, serta meningkatkan jangkauan nasabah dari bank yang menggunakan layanannya.

“Pendanaan ini akan mempercepat pencapaian visi kami untuk menghadirkan solusi berbasis API baru kepada klien perbankan dan mitra bisnis kami. Dalam 12 bulan ke depan akan menjadi waktu yang penting bagi kami untuk mengeksekusi inovasi dan meluncurkan solusi baru lebih cepat, serta melakukan investasi dengan cermat,” tambahnya.

Akshay Bajaj dari SIG Venture Capital menyebut Ayoconnect telah menjalankan API volume tinggi selama bertahun-tahun dan berada di posisi yang sangat baik untuk membantu pelanggan meluncurkan kasus penggunaan yang menarik dan menguntungkan dengan cepat dan aman.

Inovasi Ayoconnect

Didirikan pada tahun 2016, Ayoconnect merupakan rebranding dari startup fintech payment agregator Ayopop. Di pertengahan Agustus 2020, perusahaan mengubah fokus bisnis menjadi penyedia jaringan tagihan (open bill network) dengan solusi One API yang memungkinkan perusahaan penyedia tagihan untuk memperluas titik pembayaran mereka.

Ayoconnect meluncurkan Open Finance API pertama yang memungkinkan lembaga keuangan non-perbankan untuk memulai pembayaran direct debit berulang dari rekening tabungan pelanggan. Perusahaan bekerja sama dengan perbankan untuk menyediakan direct debit yang dapat diakses melalui satu API. Di antaranya BRI, Bank Mandiri, CIMB Niaga, BNI, Danamon, Bank Syariah Indonesia, dan Bank Neo Commerce.

Berfokus di Asia Tenggara, API Ayoconnect mempermudah bisnis untuk mengembangkan ragam layanan finansial alih-alih membangun infrastruktur sendiri. Perusahaan sudah bekerja sama dengan regulator dan bank incumbent, dan baru-baru ini dianugerahi lisensi Penyedia Layanan Pembayaran Kategori 1 oleh Bank Indonesia (BI). Selain Ayoconnect, pemain lain yang juga menawarkan solusi serupa termasuk Brick, Brankas dan Finantier.

Belum lama ini, Ayoconnect mengumumkan kemitraan strategis dengan perusahaan konsultan teknologi yang berfokus pada solusi cloud, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan analitik data, Searce. Kerja sama ini bertujuan untuk mempercepat akselerasi digitalisasi perbankan di Indonesia dengan memanfaatkan teknologi Application Programming Interface (API).

Penggabungan kedua pengalaman dan keahlian, Searce dan Ayoconnect disebut akan membantu lembaga keuangan, perusahaan rintisan dan bisnis meluncurkan produk layanan digital baru dengan cepat serta membuka lebar akses keuangan untuk pencapaian target 90% inklusi keuangan pada tahun 2024 di Indonesia.

Layanan keuangan lain yang telah diluncurkan oleh klien Ayoconnect termasuk embedded payment bermitra dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI), untuk meluncurkan fitur tiket dan produktivitas baru di KAI Access mobile app, yang memungkinkan pengguna untuk membeli pulsa, berlangganan data internet dan token listrik).

Perusahaan juga bermitra dengan Bank Syariah, bank syariah terbesar di Indonesia, untuk menambah kemampuan digital dan seluler baru dengan tujuan inklusi keuangan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar di antara para nasabahnya.

Hingga saat ini, Ayoconnect telah melayani 200 pelanggan, termasuk bank-bank besar, lembaga keuangan, startup unicorn, dan fintech melalui lebih dari 4.000 produk keuangan tertanam. API-nya mencakup dua kategori: API open banking dan API layanan pembayaran, dengan tujuan membangun ekosistem open finance terlengkap di Asia Tenggara.

Waste4Change Terima Pendanaan Seri A 76 Miliar Dipimpin AC Ventures dan Barito Mitra Investama

Platform pengelola sampah Waste4Change mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $5 juta (lebih dari 76 miliar Rupiah). AC Ventures dan PT Barito Mitra Investama menjadi lead dalam putaran ini, diikuti jajaran investor lain, yakni Basra Corporation, Paloma Capital, PT Delapan Satu Investa, Living Lab Ventures, SMDV, dan Urban Gateway Fund.

Perusahaan akan menggunakan modal segar ini untuk memperluas jangkauan, meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah hingga 100 ton per hari sampai 18 bulan ke depan, serta mencapai lebih dari 2 ribu ton per hari dalam lima tahun ke depan.

Untuk mencapai target tersebut, perusahaan akan melibatkan integrasi dengan lebih banyak teknologi digital dalam proses pemantauan, perekaman aliran pengelolaan limbah, dan otomatisasi fasilitas pemulihan material. Di samping itu, perusahaan berencana untuk memperkuat kemitraan dengan sektor persampahan informal di Indonesia yang saat ini didukung oleh pemulung, bank sampah, kios sampah, dan pengumpul sampah.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (14/10), Founder dan CEO Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan pemodal ventura terbaik di sektor teknologi. Menurutnya, semua investor di Waste4Change menanggapi ESG dengan serius dan bersedia berbagi wawasan mereka demi menciptakan solusi pengelolaan limbah terbaik.

“Kami lebih dari siap untuk mewujudkan misi bersama kami untuk memberikan dampak positif yang lebih cepat dan lebih besar terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi,” ucap Sano, panggilan akrab Bijaksana.

Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir menambahkan, Waste4Change adalah pionir yang menyediakan solusi pengelolaan sampah end-to-end. Keberlanjutan adalah fokus utama tim dengan komitmen yang ditunjukkan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.

“Perusahaan ini telah mencapai kecocokan pasar produk dan memiliki potensi untuk berkembang di seluruh negeri. Waktu perusahaan juga ideal karena pemerintah Indonesia menginginkan setidaknya pengurangan 30% di sumbernya dengan 70% sisanya ditangani pada tahun 2025,” ujar dia.

Solusi Waste4Change

Waste4Change

Sano menjelaskan, Waste4Change didirikan pada 2014 dengan mengemban misi memecahkan masalah sampah guna mencegah kebocoran ke lingkungan dan mengurangi jumlah sampah yang berakhir di tempat pembuangan sampah. Perusahaan didirikan oleh PT Greeneration Indonesia (Ecoxyztem) dan PT Bumi Lestari Bali (EcoBali) di Bekasi, Jawa Barat.

Solusi yang ditawarkan Waste4Change ada empat, yakni Consult, Campaign, Collect, dan Create.

Khusus untuk layanan ketiga ini, pelanggan diminta untuk memilah sampahnya sesuai dengan panduan Waste4Change. Kemudian, Waste4Change akan mengirimkan tim untuk datang ke lokasi mereka guna mengambil sampah secara langsung, kemudian memberikan laporan detail setelah proses selesai. Pelanggan juga memiliki pilihan untuk membawa sampah ke salah satu titik drop-off Waste4Change atau mengirim sampah mereka ke Waste4Change.

Waste4Change hadir di 21 kota di Indonesia, mengelola lebih dari 8.000 ton sampah per tahun. Perusahaan telah mengumpulkan sampah dari 100 klien B2B dan 3.450 klien rumah tangga. Sejak 2017, telah memperoleh skor CAGR 55,1%.

Waste4Change saat ini memiliki 108 karyawan dan 141 operator pengelolaan sampah. Perusahaan berencana untuk menambah 52 orang tambahan ke dalam timnya dan melibatkan lebih dari 300 sektor informal dan UMKM di sektor limbah (sejumlah personel internal dan eksternal) untuk terus mendorong pertumbuhan.

Dengan populasi lebih dari 270 juta penduduk, Indonesia menghadapi masalah pengelolaan sampah terbesar di Asia Tenggara, dengan tingkat daur ulang berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih sangat rendah, yaitu 11-12%. Namun, tidak menutup kemungkinan jika hal ini akan segera berubah pasca regulasi atau kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah.

Baru-baru ini, pemerintah meluncurkan program Indonesia Bersih Sampah 2025 yang diresmikan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia 97/2017. Aturan ini mewajibkan semua pihak untuk mendukung realisasi pengurangan sampah 30% dari sumbernya (termasuk pemilahan sampah ke tempat sampah terpisah sehingga sampah tertentu dapat diolah menjadi produk daur ulang yang berbeda) dan 70% sampah diolah. Target agresif pemerintah perlu dicapai sebelum akhir tahun 2025.

Program ini juga telah memicu peraturan pengelolaan sampah baru dari pemerintah daerah dan inisiatif pengelolaan sampah dari sektor komersial. Dalam hal permintaan pasar baru, perubahan ini telah menciptakan lonjakan kebutuhan akan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab, dengan laporan pengelolaan sampah yang terperinci.

Ambisi Otofrens Wujudkan Transparansi Pasar Jual-Beli Mobil Bekas di Indonesia

Pasar jual-beli mobil bekas disebut mengalami pertumbuhan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Investasi yang dilakukan para pelaku industri untuk membangun jaringan diler juga mempengaruhi peningkatan kualitas dan reliabilitas mobil bekas yang kemudian mendorong minat konsumen. Selain itu, pandemi yang berdampak pada penurunan daya beli pelanggan untuk mobil baru disebut sebagai faktor meningkatnya volume penjualan mobil bekas.

Dalam bisnis jual beli mobil bekas, penjual mobil pribadi kerap dihadapkan pada dua pilihan, yaitu jual ke diler dan platform jual instan tanpa repot dengan harga lebih rendah, atau jual santai ke pemakai langsung tapi harus siap repot. Otofrens hadir untuk mendampingi segmen pasar yang ingin jual santai tanpa repot. Selain itu, perusahaan juga menawarkan garansi dan layanan selengkap diler, dengan transparansi dan harga kompetitif dari pemakai langsung.

Otofrens didirikan dua co-founder, yaitu David Alexander (CEO) dan Onie Sunoto (CTO). Sebelumnya, perusahaan mengaku sempat beroperasi dengan nama Prodiler yang awalnya dibuat sebagai platform SaaS untuk diler mobil bekas, lalu pivot menjadi platform titip jual mobil. PT Otofrens Teman Favorit resmi meluncur pada Agustus 2022.

Dalam operasionalnya, setiap mobil akan diinspeksi secara profesional, lalu dipasarkan dengan foto, video, dan iklan yang optimal. Penjual dapat memantau seluruh prosesnya secara online, hingga bertemu dengan calon pembeli serius untuk negosiasi final. Dengan demikian, penjual tidak perlu lagi melayani calon pembeli yang kurang serius, pedagang yang menawar dengan harga di bawah pasaran, ataupun modus penipuan.

Dari sisi pembeli, mereka akan mendapatkan laporan inspeksi yang komprehensif, sehingga sudah mempunyai ekspektasi yang tepat sebelum melihat mobilnya langsung, yang dapat dilakukan di lokasi penjual maupun layanan home test drive di lokasi pembeli.

Selain itu, pengguna juga ditawarkan keuntungan seperti garansi mesin & transmisi, jaminan bebas banjir & tabrakan, opsi kredit yang jujur & lengkap, reparasi, hingga pengurusan dokumen. Dengan berbagai nilai tambah tersebut, praktis mobil berkesempatan terjual dengan harga terbaik, walaupun masih lebih kompetitif dari harga jual diler.

Selama proses pemasaran, mobil tetap dapat digunakan oleh pemilik karena tidak perlu dititipkan. Komisi pun hanya dibayarkan apabila mobil sukses terjual melalui Otofrens.

“Sebagai pencinta otomotif, kami tidak puas dengan kondisi industri saat ini dan arahan yang diusung oleh para pemain besar. Maka itu kami memilih untuk berjuang melalui startup ini demi mewujudkan mimpi kami untuk industri. Hal ini hanya dapat terwujud dengan dukungan teman-teman pelaku dan pencinta otomotif sekalian,” ungkap David.

Perusahaan sendiri telah didukung oleh beberapa investor yang percaya pada visi misinya. Saat ini ada sekitar 3 angel investor yang memilih untuk tidak disebutkan namanya. Mereka merupakan bagian dari co-founding team (sebagai advisor) dengan latar belakang praktisi industri digital di Indonesia (e-commerce dan digital advertising).

Kedepankan efisiensi dan transparansi

David turut mengungkapkan masa-masa jatuh bangun dan kembali ke titik nol. Menurutnya, tantangan terbesar adalah membangun kepercayaan pengguna, baik seller maupun buyer. Hal ini disebabkan oleh minimnya transparansi di industri ini. Apalagi sebagai pemain baru, tidak mudah untuk membangun reputasi dalam waktu singkat.

Perusahaan memosisikan diri sebagai “biro jodoh” yang mempertemukan penjual dan pembeli mobil bekas yang pas. Mimpi besar Otofrens adalah transaksi antar pemakai langsung yang 100% transparan tanpa batas jarak & waktu, serta kesempatan bagi siapa pun untuk berkontribusi dan mencari rezeki. Atau singkatnya menjadi seperti ojol untuk industri mobil bekas.

David mengungkapkan, “Model bisnis kami yang berbeda dari diler konvensional membuat prosesnya lebih efisien dan transparan. Tanpa memegang stok sendiri, komisi yang kami terapkan jauh lebih rendah dari margin keuntungan diler. Kondisi mobil pun dapat dilihat dengan apa adanya, dan jika diperlukan pembeli dapat memilih opsi reparasi sesuai keperluan. Hasilnya adalah solusi yang win-win bagi penjual dan pembeli dari segmen yang sesuai.”

Selama menjalankan bisnis ini, David juga mengungkapkan bahwa timnya telah bekerja sama dengan beberapa perusahaan pembiayaan, baik konvensional maupun syariah, bengkel reparasi, biro jasa, dan yang terbaru dengan Warranty Smart Indonesia untuk penyediaan garansi mesin yang diberi nama “Otofrenshield”.

Hingga saat ini, David mengungkapkan bahwa perusahaan masih memiliki skala bisnis yang terbilang kecil. Namun, ia percaya bahwa timnya telah membangun fundamental yang semakin solid dengan pertumbuhan organik yang konsisten. Dari sisi pengguna, perusahaan bisa menangani sekitar 40-50 unit mobil setiap bulannya.

Target ke depan

Saat ini, lanskap industri tengah didominasi oleh dua kubu. Di satu sisi segelintir diler besar beserta beberapa platform raksasa yang tengah fokus pada layanan jual instan. Pada dasarnya, mereka mengadopsi model diler konvensional dengan modal yang jauh lebih besar dan dukungan teknologi. Di sisi lain, ada banyak sekali makelar dan pedagang rumahan yang masih bekerja secara tradisional dan sering kali kurang transparan dalam menjalankan bisnisnya.

Dikotomi ini persis seperti yang terjadi di industri transportasi beberapa tahun silam, hingga revolusi digital oleh ojek/taksi online berhasil membawa kebaikan bagi pelaku usaha dan konsumen. Tentu masih melekat di benak kita, bagaimana resistensi para pelaku usaha di fase awal, sebelum akhirnya mereka menyadari keuntungannya.

“Kami percaya suatu hari orang dari Sumatra bisa beli mobil dari Jawa tanpa perlu datang. Kami percaya suatu hari banyak orang awam yang bisa ikut mencari nafkah secara jujur melalui Otofrens,” ungkap Onie Sunoto selaku co-founder & CTO Otofrens.

Dengan mengusung konsep sharing economy, layanan Otofrens dilakukan oleh ‘Teman Jual Beli Mobil’, layaknya pengemudi ojol yang terbuka untuk semua kalangan. Bahkan ke depannya konsep Teman ini juga akan diterapkan ke UMKM pendukung ekosistem seperti bengkel, biro jasa, dll. Sama seperti ojol yang turut membawa dampak positif bagi warung makan dan UMKM lainnya.

“Keberadaan kami bukan bertujuan menggantikan atau mematikan makelar dan pedagang rumahan. Justru sebaliknya kami ingin merangkul mereka untuk bekerja lebih efektif dengan dukungan teknologi,” jelas Onie.

David turut menegaskan bahwa di tahun ini, timnya tengah fokus memperkuat fundamental perusahaan. “Dengan fondasi yang kuat, kami yakin bisa lepas landas di tahun depan. Targetnya, dalam 2 tahun ke depan, kami bisa menangani total 1000 mobil per bulan, yang akan dikelola oleh 100 mitra (Teman Jual Beli Mobil).”

Terima Dana Segar 15 Miliar Rupiah, Waku Gencar Ekspansi Solusi Kuliner ke Segmen B2B dan B2G

Ekspansi layanan kuliner jadi agenda utama startup penyedia solusi F&B Waku setelah terima pendanaan tahap awal sebesar $1 juta (sekitar 15,3 miliar Rupiah) dari modal ventura asal Australia “Nasa Ventures” diikuti 11th Space. Selain itu, perusahaan akan perluas area layanan ke seluruh Indonesia, penetrasi pasar baru, R&D produk baru, dan infrastruktur teknologi.

Perusahaan memperoleh pendanaan ini pasca menyelesaikan program akselerator “11th Space Indonesia” yang berakhir pada Juli 2022. Nasa Ventures dan 11th Space Indonesia merupakan entitas yang terafiliasi dengan Navanti Holdings dan Sapien Ventures. Satu bulan sebelumnya, Nasa Ventures berinvestasi pada startup kuliner lokal lainnya, yakni Wani Boemboe.

“Dengan pendanaan ini dan strategic investors yang baru, kami akan mempercepat perkembangan dan perluasan Waku di Indonesia. Masih banyak sekali yang perlu kami lakukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui makanan,” kata Founder & CEO Waku Group Anthony Gunawan.

Waku, yang sebelumnya dikenal dengan Wakuliner, memosisikan diri sebagai penyedia solusi F&B dengan fokus utama pasar B2B dan B2G. Layanan utamanya adalah katering karyawan dan acara, kantin & food facility management, pantry supplies, dan belasan kategori lainnya yang diusung oleh delapan merek di bawah manajemen Waku Group.

Sejak akhir 2019, Waku bertumbuh lebih dari 14x lipat, ekspansi ke 20 kota, melayani 573 klien perusahaan dan pemerintahan. Kemudian, menyajikan lebih dari 4 juta porsi makanan, memberdayakan lebih dari 60 dapur, dan satu-satunya penyedia F&B yang sanggup melayani pesanan serentak sebanyak 70.000 pax di 58 kota dalam satu hari.

“Ini menjadikan Waku sebagai salah satu leading F&B solution providers di Indonesia hanya dalam tiga tahun.”

Pencapaian Waku

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Anthony menuturkan rasa syukurnya karena Waku dapat bertahan selama pandemi. Menurutnya, pandemi benar-benar menjadi pembuktian bahwa startup harus agile, cepat beradaptasi dan bergerak cepat.

“Covid-19 memaksa kami untuk mereformasi semua departemen dan hampir seluruh KPI di Waku. Kami dipaksa bekerja lebih cepat, lebih efisien, dan efektif, dengan budget yang lebih ketat,” ujarnya.

Chief Creative Officer Waku Group Verawaty Effendy turut menambahkan, manajemen pun pada akhirnya mengubah banyak titel pekerjaan dan job desc baru yang tercipta karena kondisi. Meski berat, tim akhirnya jadi lebih inovatif dan kreatif terhadap layanan dan produk. Hasilnya meluncurkan brand dan label privat baru, di antaranya happYCheeks (frozen food, ready to eat meals), Kriz Kraz (makanan ringan), dan Kiseka (ready to heat meals & snack).

“Waku sama sekali tidak melakukan layoff karyawan karena pandemi. Di tengah pandemi di mana banyak perusahaan yang berhenti beroperasi atau layoff karyawan, Waku tetap bisa berkembang. Ekspansi ke 20 kota dan bertumbuh omzetnya.”

Tidak hanya melayani konsumen B2B dan B2G, kini Waku mulai masuk ke pasar B2C, melalui label privat yang sudah disebutkan di atas. Strategi pemasarannya pun berbeda, menggunakan platform marketplace dan media sosial menyesuaikan dengan kebiasaan belanja online bagi konsumen ritel di Indonesia. Tak hanya itu, dari distribusinya pun dilakukan oleh tim terdedikasi khusus B2C.

Ekspansi ke pasar baru ini akan mendukung bisnis utama Waku yang diestimasi punya pangsa pasar di Indonesia senilai $32 miliar, menurut sumber yang dilansir oleh Anthony. “Angka tersebut terus berkembang selama pandemi karena semakin meningkatnya awareness terhadap kebersihan dan kesehatan makanan, dan kepedulian terhadap wellness & performa karyawan perusahaan,” tutupnya.

Sebagai catatan, Waku juga menjadi afiliasi dari Boga Group dan Telkom Indonesia. Anthony menjelaskan Waku merupakan alumni dari program inkubator dan akselerator dari Telkom, Indigo Creative Nation pada 2018.

“Telkom memiliki convertible note di Waku, yang akan di-exercise oleh MDI. Sementara, owner dan founder Boga Group juga menjadi angel investor dan advisor di Waku. Boga Group juga menjadi strategic partner Waku dari sisi dapur dan suplai,” tutup Anthony.

Application Information Will Show Up Here

Perusahaan Label Rekaman “Trinity Optima” Rambah Bisnis Esports Melalui Investasi ke GPX

Perusahaan label rekaman dan manajemen artis Trinity Optima Production (TOP) mengumumkan investasi ke perusahaan esports PT Generasi Tangguh Luar Biasa atau GPX (Generation of Power and Xtraordinary). Investasi strategis dengan nominal dirahasiakan ini dilakukan melalui anak usaha TOP, yakni Trinity Optima Plus (TOP+).

GPX sendiri merupakan tim esports sekaligus perusahaan talent management dan entertainment. Pendirinya adalah mantan pro player di skena kompetisi Mobile Legends Professional League (MPL), yakni Eko Julianto (Oura), Yurino Putra Angkawijaya (Donkey), dan Steven Kurniawan (Marsha).

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (11/10), CEO TOP Yonathan Nugraha menyampaikan perusahaannya tengah mengarah ke transformasi, salah satunya dengan mengembangkan ekosistem hiburan yang komprehensif di Indonesia. “Guna menuju ke arah itu, kami ingin masuk ke beragam sektor yang strategis dan tentunya punya value jangka panjang, salah satunya industri esports,” kata dia.

CEO GPX Eko Julianto menyampaikan apresiasinya kepada TOP+ atas investasi strategis ini. Bagi dia, kolaborasi strategis yang tepat dengan bisnis berpengalaman seperti TOP tentunya berperan penting dalam manajemen klub. “Ke depan, harapannya tim GPX bisa semakin profesional dalam mengelola bisnis internal dan eksternal juga, tidak hanya sebagai pemain,” ucap Eko.

Juru Bicara Muda Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) Yudistira Adipratama mengatakan, terdapat sekitar 465 juta penonton esports di seluruh dunia, angka ini naik 6,7% dari tahun sebelumnya. Di Indonesia saja, terdapat lebih dari 53 juta gamers dengan mayoritas usia berada di kelompok generasi muda.

Saat ini tercatat sejumlah perusahaan, mulai dari startup sampai perusahaan blue chip sudah menjajaki peluang bisnis di industri esports, baik sebagai sponsor maupun investor. Misalnya, Grup Djarum melalui perusahaan venture capital GDP Venture yang kini memegang saham untuk Indonesian Esports Premier League (IESPL), selaku penyelenggara Piala Presiden Esports.

Rencana sinergi kedua perusahaan

Kedua perusahaan akan saling bersinergi untuk menciptakan nilai tambah di industri esports. Menurut Direktur TOP+ Dwi Santoso, keahlian perusahaan turut disumbangkan untuk membesarkan GPX dan komunitasnya, selaras dengan core bisnis utamanya yang bergerak di artist management.

“Misalnya, saat melakukan rekrutmen pemain dan talent, pengelolaan perusahaan, aspek legal, dan good governance practice. Ke depan, kami akan menyelenggarakan event Talent Hunt dan juga turnamen berbasis komunitas yang menarget setidaknya 50 tim peserta dari seluruh Indonesia,” kata Dwi.

Dwi menambahkan, keputusan untuk masuk ke bisnis esports adalah bagian dari strategi agar tetap relevan di kalangan generasi muda. GPX sendiri dinilai punya pengaruh besar. “Banyak talenta baru yang tumbuh dengan melihat permainan Oura, Donkey, dan Marsha yang berkali-kali menang di liga esports dunia. Ketiga founder juga menyalurkan visi misi yang cocok dengan TOP+ lewat GPX, yaitu bisnis yang jujur dan talent oriented.”

Potensi bisnis esports tidak hanya terbatas pada kompetisi, lantaran yang terlihat jelas di mata konsumen adalah ketika ada kompetisi dan figur para roster (pemain), sukses mendorong brand masuk ke sana. Tapi di luar itu juga menawarkan banyak area yang bisa digarap untuk dimaksimalkan melalui penguatan ekosistem.

Saat ini area pendapatan dari esports terbagi ke dalam beberapa segmen, antara lain sponsor, iklan, merchandise, streaming, hak siar, publikasi, hingga kemungkinan cross sector brand extension. Pihaknya sudah lama melakukan pemetaan ini agar setiap talent dan partner yang dikelola punya daya saing dan nilai jual tinggi untuk karya atau skill mereka. “Termasuk untuk GPX, banyak rencana kolaborasi konten dan program di media digital yang masih kita eksplor,” pungkasnya.

Induk Kredivo Dikabarkan Galang Pendanaan Seri D Lebih dari 2,5 Triliun Rupiah

Induk pengembang layanan paylater Kredivo, FinAccel, dikabarkan tengah menggalang pendanaan seri D. Menurut sumber, saat ini total dana sekitar $140 juta atau setara 2,5 triliun Rupiah telah terkumpul dari sejumlah investor termasuk Mirae Asset, Square Peg, Jungle Ventures, Openspace Ventures, dan beberapa nama lainnya.

Dengan pendanaan ini, diperkirakan valuasi FinAccel telah menyentuh $1,6 miliar. Pendanaan ekuitas terakhir yang diumumkan FinAccel adalah seri C pada akhir 2019, membukukan dana $90 juta dari MDI Ventures, Square Peg, Telkomsel Mitra Inovasi, dan investor lainnya.

Setelah itu mereka lebih banyak menerima pendanaan debt dan loan channeling untuk meningkatkan kemampuan layanan lending yang dimiliki. Salah satu yang terbesar adalah pinjaman 1,4 triliun Rupiah dari Victory Park Capital. Mereka juga mendapat komitmen joint financing dari DBS Indonesia senilai 2 triliun Rupiah pada tahun 2021 lalu.

Di Indonesia, FinAccel mengoperasikan dua unit bisnis utama, yakni paylater lewat Kredivo dan fintech cashloan lewat Kredifazz. Berdasarkan keterbukaan yang diinformasikan, per Agustus 2022 Kredifazz telah menyalurkan pinjaman 31,51 triliun Rupiah dengan pemberi peminjam di kisaran 4,23 juta akun dan peminjam aktif 1,6 juta akun.

Adapun aplikasi Kredivo saat ini sudah diunduh puluhan juta kali di Google Playstore. Layanannya juga telah terintegrasi di lebih dari 50 layanan marketplace dan e-commerce populer di Indonesia.

Potensi paylater masih besar

Menurut data yang dihimpun DSInnovate dalam “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021“, adopsi layanan paylater di Indonesia terus meningkat dari 2021-2028 dengan CAGR 27,4%. Di tahun 2021, kapitalisasi pasar yang berhasil dibukukan bisnis ini telah mencapai $1,5 miliar. Tingkat awareness layanan paylater juga sudah sangat baik, dari survei yang dilakukan 95% responden mengatakan telah memahami bagaimana mekanisme kerjanya.

Kredivo berhasil menjadi unicorn pertama dari segmen paylater di Indonesia. Kendati demikian, kini ia tengah bersaing dengan sejumlah platform lain mulai dari Akulaku, Gopaylater, Indodana, SPaylater, dan lain sebagainya.

Di tengah persaingan pasar ini, masing-masing mencoba menghadirkan proposisi nilai yang kuat. Beberapa pemain mengandalkan basis pengguna di platformnya — misalnya SPaylater untuk pengguna Shopee dan Gopaylater untuk pengguna Tokopedia/Gojek.

Adapun Atome memilih konsep O2O, mereka mengoptimalkan kehadiran untuk melayani pembayaran di ritel offline. Saat ini 60%+ total transaksi Atome berasal dari ritel offline. Meskipun demikian, Kredivo pun juga mulai melakukan penetrasi di ranah offline. Terbaru Kredivo menggandeng jaringan ritel Ramayana.

Application Information Will Show Up Here

ALAMI Kantongi Pendanaan Pra-Seri B, Dipimpin East Ventures

Startup platform p2p lending syariah ALAMI Group mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri B yang dipimpin oleh East Ventures, melalui growth fund. Tidak disebutkan nominal yang diterima perusahaan dalam putaran ini. Sejumlah investor dari putaran sebelumnya turut berpartisipasi, di antaranya AC Ventures, Quona Capital, dan FEBE Ventures.

Terdapat investor baru yang masuk, yakni Capria Ventures, VC berbasis Amerika Serikat. Investasi yang mereka kucurkan ini menandai debut perdananya untuk kawasan Asia Pasifik.

ALAMI akan menggunakan dana segar tersebut untuk memperkuat basis bisnisnya dengan memberikan akses layanan pembiayaan dan keuangan yang lebih baik dan mengikuti prinsip-prinsip Islam di Indonesia. Caranya dengan terus menciptakan teknologi keuangan berbasis syariah kelas dunia.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (10/10), Founder dan CEO ALAMI Group Dima Djani menyampaikan putaran pra-seri B ini menjadi validasi dan dukungan yang kuat dari para investor atas dampak positif yang diciptakan ALAMI di Indonesia. Terdapat potensi jangka panjang yang dilakukan ALAMI Group dengan membuka akses perbankan dan pembiayaan syariah, salah satunya melalui Bank Hijra untuk menghubungkan 230 juta umat Muslim dan UMKM di Indonesia.

“Kami akan berkomitmen dengan terus memberikan lebih banyak energi dan sumber daya ke depannya. Besar keyakinan kami akan potensi pasar yang dapat terlayani oleh produk dan layanan produk-produk kami,” kata Dima.

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana turut mengatakan, keuangan syariah adalah salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat dalam industri keuangan dan perbankan. “Kami sangat percaya bahwa keahlian dan integritas yang kuat dari Dima dan tim, dibuktikan melalui pertumbuhan positif perusahaan dan target yang terlampaui, akan terus mengembangkan dan memberdayakan industri perbankan di Indonesia, menggerakkan laju inklusi keuangan menuju keberlanjutan,” ucapnnya.

Dima melanjutkan, UMKM Indonesia telah berangsur-angsur pulih dari pandemi, namun nyatanya masih terdapat kebutuhan pembiayaan dan akses pembiayaan bagi UMKM mencapai $108 miliar. P2P lending menawarkan solusi pinjaman keuangan yang cepat dan mudah sebagai solusi baru.

Pertumbuhan bisnis ALAMI

Sejak didirikan pada 2019, ALAMI telah menyalurkan Rp3,5 triliun dengan NPF sebesar 0% dan Tingkat Keberhasilan Bayar (TKB90) mencapai 100%. ALAMI memiliki lebih dari 111 ribu investor p2p lending yang terlibat pada 10 ribu proyek UMKM, yang berfokus pada pertumbuhan eksponensial bagi UMKM Indonesia.

Kinerja yang ciamik ini diklaim karena didukung oleh rangkaian produk pembiayaan di ALAMI yang mampu menekan laju NPF dan kerja sama dengan BPRS untuk pembiayaan channeling maupun referral.

Kolaborasi antara ALAMI dengan BPRS dapat menjadi peluang bagi BPRS untuk menyalurkan pembiayaan kepada pelaku UMKM ke berbagai sektor dengan metode account receivable (AR) financing, purchase order (PO) Financing, maupun ecosystem financing, tentunya menggunakan akad syariah. Menejkan laju NPF ini adalah salah satu tantangan di BPRS. Berdasarkan data statistik perbankan syariah OJK per Februari 2022, NPF BPRS berada di level 7,27%.

Dari 165 BPRS yang ada di Indonesia, perusahaan sudah bekerja sama dengan 11 BPRS untuk pembiayaan dengan skema channeling dan referral dengan total plafon sebesar Rp108 miliar. Pembiayaan tersebut disalurkan ke berbagai industri, seperti human resources, logistik, healthcare, halal food, dan IT.

ALAMI memiliki beberapa produk pembiayaan, di antaranya Account Receivable (AR) Financing, Account Payable (AP) Financing, dan Ecosystem Financing. Dalam metode AR Financing, pembiayaan ditujukan bagi UMKM yang menyelesaikan proyek/pekerjaan dan telah melakukan penagihan pada pemberi kerja (klien), namun belum dilakukan pembayaran. Melalui produk ini, UMKM tersebut tetap mampu memastikan cash flow dan dapat mengerjakan pekerjaan lainnya tanpa khawatir atas keterlambatan pembayaran.

Sedangkan dalam metode AP Financing, pembiayaan diberikan berdasarkan invoice financing yang diterbitkan oleh supplier kepada penerima pembiayaan. ALAMI juga menyalurkan pembiayaan dengan metode Ecosystem Financing, yaitu pembiayaan berbasis ekosistem kepada anggota dari suatu ekosistem.

Anggota ekosistem merupakan pihak perorangan yang menjalankan aktivitas usaha tertentu untuk kemandirian ekonomi. Proses pengajuan hingga pencairan pembiayaan secara end to end dilakukan melalui platform digital, sehingga proses yang dilalui oleh calon penerima pembiayaan menjadi lebih cepat dan mudah.

Tim ALAMI kini mencapai lebih dari 484 orang yang tersebar di berbagai kota di Indonesia, juga di luar negeri, seperti Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat yang seluruhnya berkebangsaan Indonesia. Pada awal berdiri tim ALAMI diisi oleh 38 orang.

eFishery Peroleh Pinjaman 500 Miliar Rupiah dari Bank DBS Indonesia

Startup aquatech eFishery dan Bank DBS Indonesia mengumumkan kerja sama dalam bentuk pinjaman jangka pendek (loan) senilai Rp500 miliar. Hal ini merupakan perdana bagi kedua perusahaan. Bagi DBS Indonesia ini adalah pinjaman pertama untuk sektor aquatech, sementara bagi eFishery adalah fasilitas pinjaman pertama dari bank sejak perusahaan didirikan pada 2013.

Terkait penyaluran pinjaman melalui platform fintech lending, DBS sudah bekerja sama dengan sejumlah startup lokal. Di antaranya bersama Zenius dengan komitmen 100 miliar Rupiah, kemudian limit joint financing dengan Kredivo senilai 2 triliun Rupiah.

Dalam konferensi pers yang digelar Jumat (7/10), Co-founder dan CEO eFishery Gibran Hufaizah mengucapkan rasa terima kasihnya atas kepercayaan Bank DBS Indonesia terhadap perusahaannya untuk menyalurkan pinjaman dana demi merealisasikan rencana strategisnya. Dana tersebut akan dimanfaatkan untuk mengakselerasi revolusi sektor akuakultur dan meningkatkan kesejahteraan pembudidaya ikan dan udang di Indonesia.

“Dengan adanya dukungan ini, kami akan mengembangkan produk dan layanan kami ke kancah internasional dan memberikan dampak yang lebih besar lagi ke sektor pangan,” kata dia.

Director of Institutional Banking Group Bank DBS Indonesia Kunardy Lie menyampaikan, pihaknya sangat senang bisa menyalurkan pinjaman modal kerja kepada eFishery yang sangat visioner dalam memanfaatkan inovasi teknologi untuk memodernisasi ekosistem akuakultur dengan berfokus pada tambak udang dan ikan.

“Komitmen Bank DBS Indonesia untuk bermitra dengan eFishery merupakan salah satu bentuk fokus kami untuk menumbuhkan industri ekonomi digital di Indonesia dan juga bagian dari keseriusan kami dalam mengelola bisnis dengan memerhatikan isu environment, social, dan governance (ESG),” ucap Kunardy.

Ditanya lebih jauh, pertimbangan eFishery mengambil dana pinjaman dari bank ketimbang menggalang dana dari modal ventura, alasannya karena dana dari bank bila dihitung untuk jangka panjang termasuk dana murah. Bila mengambil ekuitas, ada saham bernilai yang harus dilepas dari perusahaan buat investor. Yang mana, bila perusahaan bertumbuh dengan naik, untuk kembali membeli saham tersebut di kemudian hari, maka harga yang dikeluarkan lebih mahal daripada saat pertama dilepas.

Kondisi sebaliknya, bila menghitung dari pinjaman bank, justru biayanya lebih murah karena hanya melihat dari bunga yang harus dibayarkan. Terlebih itu, berhasil mendapat pinjaman dari bank membuktikan bahwa kini eFishery, sebagai startup aquatech berada diposisi yang berhasil dinilai bankable oleh bank. Baginya, saat ini eFishery berada dalam fase yang membutuhkan tidak hanya VC, tapi juga institusi finansial lain yang bisa mendukung bisnis bisa bertumbuh lebih cepat.

Gibran juga menginginkan eFishery ke depannya dapat menjadi perusahaan-perusahaan taipan yang kini menjadi pemimpin di industri, yang dalam proses awalnya mengandalkan institusi finansial dalam mengembangkan bisnis. “Sekarang kami berada di titik yang mature, skala bisnisnya besar, profit terlihat, risiko lebih mature, sehingga kita bisa tumbuhkan revenue di market yang predictable buat kita. Ini juga jadi bukti sebagai company yang dirasa sudah matang.”

Ambisi eFishery cukup besar dalam mengembangkan solusi aquatech-nya ke pasar global. Perusahaan mengincar ekspansi ke India, lalu secara bertahap ke Tiongkok atau Vietnam. Menurut Gibran, solusi yang dikembangkan eFishery ternyata lebih kompetitif dibandingkan yang sudah ada di pasar Tiongkok atau India. Kondisi tersebut sukses membuat kepercayaan diri eFishery bisa mereplikasi kisah suksesnya di Indonesia ke negara ekspansi selanjutnya cukup tinggi.

“Kalau ini bisa berjalan ini bisa jadi bersejarah karena biasanya perusahaan dari sana yang masuk ke Indonesia. Kita cukup ambisius bisa sukses di Indonesia, menciptakan kisah sukses sembilan tahun eFishery di Indonesia bisa dicapai dalam tiga tahun di India. Sebenarnya kita ada 10 negara yang ingin dimasuki dalam lima tahun ini, tapi Tiongkok dan Vietnam sudah pasti lebih dulu.”

Dukungan Bank DBS Indonesia untuk startup

Kunardy melanjutkan dalam proses mitigasi risiko, perusahaan sudah menilai berbagai aspek sebelum memberi pinjaman kepada perusahaan manapun, termasuk eFishery. Dari segi risiko, industri aquatech memang tidak lepas dari risiko, yang paling utamanya adalah risiko penyakit.

Namun dari sisi eFishery, mereka dapat menyeimbangkan risiko tersebut dengan data-data pendukung untuk mencegah terjadinya penyakit. Di antaranya, menyediakan platform eFarm untuk petambak udang yang di dalamnya tersedia disease prevention system. Fitur tersebut berisi program pencegahan wabah penyakit pada tambak udang dan solusi pengaturan kualitas air yang efektif serta ramah lingkungan dengan berbasis teknologi.

Budidaya udang terkenal menjanjikan namun lebih rentan penyakit, makanya fitur-fitur di eFarm lebih kompleks daripada solusi eFishery untuk ikan. “eFishery bisa menjembatani risk appetite perbankan dengan menyediakan data-data untuk bisa mengurangi risiko dalam bisnisnya. Hal ini yang bisa memberikan kami kenyamanan sebagai bank untuk menyalurkan kredit,” ucap Kunardy.

Sebagai catatan, pemberian pinjaman kepada startup digital sebenarnya bukan pertama kali bagi Bank DBS Indonesia. Sebelumnya, perbankan telah menyalurkan pinjaman untuk online travel agent (OTA) dan Broom, startup penyedia platform bisnis showroom.

“Dalam menyalurkan pinjaman kita selalu lihat dari berbagai sisi, kebetulan banyak startup yang masih cetak loss. Meski loss, kita tetap berikan karena kita lihat potensi ke depannya. Apakah startup ini sudah menggurita di komunitasnya dan bisa berikan pengaruh. Kita bisa bantu mereka untuk terus grow.”

Sampai tutup tahun ini, Bank DBS Indonesia akan menyalurkan dua pinjaman untuk startup. Meski tidak bisa disebutkan identitasnya, namun startup tersebut satu bergerak sebagai superapp dan satu lagi di OTA. “Yang pertama, pinjamannya senilai Rp1,4 triliun dan satunya lagi sekitar Rp200 miliar.”

Adapun pinjaman khusus ESG, eFishery masuk sebagai startup pertama dalam outstanding pinjaman di Bank DBS Indonesia. Sudah ada beberapa inisiatif yang dilakukan perbankan, salah satunya pinjaman untuk anak usaha Indika Energy, yakni PT Jaya Bumi Paser sebesar $275 juta. Perusahaan ini bergerak di energi terbarukan berbasis biomassa.

Application Information Will Show Up Here

Wahyoo Dikabarkan Galang Pendanaan Seri B

Platform digitalisasi warung “Wahyoo” dikabarkan tengah menggalang pendanaan seri B. Dari data yang sudah dimasukkan ke regulator, saat ini putaran tersebut telah membukukan sekitar $6 juta atau setara 92 miliar Rupiah.

Sejumlah investor berpartisipasi di pendanaan ini, seperti Eugene Investment, Intudo Ventures, Asia Horizon, PT Trinity Optima, East Ventures, Indogen Capital, dan sejumlah lainnya.

Terakhir, Wahyoo secara resmi mengumumkan pendanaan dalam putaran seri A senilai 73 miliar Rupiah dipimpin Intudo Ventures pada Agustus 2020 lalu. Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer mengungkapkan, strategi bisnis dan rencana startupnya adalah memberikan dampak sosial kepada pelaku UMKM di Indonesia, khususnya pemilik warung makan.

Melansir data di situsnya, sejak didirikan tahun 2017 saat ini sudah ada lebih dari 27 ribu usaha F&B dengan sekala mikro s/d menengah yang telah dilayani Wahyoo. Salah satu layanan yang kini digenjot adalah e-commerce pemenuhan bahan baku, menyediakan lebih dari 2000 bahan segar — dengan area cakupan baru di seputar Jabodetabek dan Karawang.

Selain itu, Wahyoo telah mengembangkan unit bisnis “Bikin Tajir Group” untuk memanfaatkan aset dapur mitra UMKM kuliner guna mengoperasikan usaha cloud kitchen. Beberapa brand yang telah berjalan seperti Bebek Goreng Bikin Tajir dan Bakso Bikin Tajir yang dapat dioperasikan oleh mitra UMKM kuliner Wahyoo.

Untuk menambah potensi bisnis, Wahyoo juga telah lakukan sejumlah aksi penting. Salah satunya pada awal tahun 2022 mereka mengakuisisi Alamat.com — sebuah startup yang telah membantu 35 ribu pemilik bisnis offline mengadopsi teknologi online. Kolaborasi kedua startup dinilai dapat meningkatkan kehadiran warung dan pemilik usaha F&B naik kelas lewat platform digital yang dikembangkan bersama.

Di tengah pandemi, Wahyoo juga sempat menghadirkan platform online grocery B2C Langganan.co.id. Namun demikian, platform tersebut ditutup tahun lalu dengan dalih fokus Wahyoo ingin menggarap segmen B2B.

Dalam sebuah wawancara bersama DailySocial.id, Peter pernah mengatakan, “Memang warung makan tradisional terlihat kecil, tapi ternyata banyak sekali permasalahan yang perlu dibenahi dan mereka perlu dibantu. Kami percaya ketika mereka terbantu, efek ekonomi, efek lingkungan, efek sosial budaya yang lebih baik akan secara otomatis membuat Indonesia lebih baik.”

“Saat ini kami menargetkan [membantu] seluruh UMKM Kuliner, tidak hanya warung makan tapi juga mungkin tempat makan dan rumah makan yang skalanya kecil dan menengah. Dengan adanya infrastruktur yang sudah terbangun selama 4 tahun, dengan pengalaman dan kemampuan yang kami miliki, kami ingin dampak yang lebih luas lagi,” kata Peter.

Application Information Will Show Up Here

Jaring Pangan Dapat Pendanaan Pra-Seri A dari Gayo Capital, Akan Realisasikan Token Komoditas di 2024

Startup rantai pasok komoditas Jaring Pangan (JaPang) mendapat pendanaan pra-seri A sebesar $11,5 juta atau 175 miliar Rupiah dari Gayo Capital. JaPang akan memperkuat pasokan komoditas di sektor hulu (upstream) sebagai strategi kunci menuju pengembangan token komoditas (commodity token) di 2024.

DailySocial.id berkesempatan berbincang eksklusif dengan JaPang; Co-founder Tjong Benny dan Edison Tobing, Executive Chairman Ivan Arie Sustiawan, serta Gayo Capital; Co-founder dan Managing Partner Ishara Yusdian dan Investment Principal Eldo Wana Kusuma.

Disampaikan Ishara, Gayo Capital memiliki komitmen investasi sebesar $11,5 juta dengan menggabungkan antara debt financing dan equity. Investasi akan dikucurkan secara bertahap di mana fokus utama tahun pertama adalah memperkuat cakupan pasokan komoditas di Pulau Jawa.

Hal ini untuk memperkuat posisi JaPang dan mitra di sektor hulu dalam membangun dan mengendalikan sekitar 10% dari volume transaksi komoditas di wilayah terkait melalui kolaborasi dan/atau akuisisi mitra di sektor hulu. Strategi ini akan memperkuat underlying dari token komoditasnya nanti.

Sebelumnya pada akhir 2021, JaPang telah mendapat suntikan investasi awal (seed) senilai $500 ribu yang merupakan gabungan dari para pendiri dan sejumlah angel investor.

“Kami memiliki tiga lapis assessment risk untuk menentukan apakah startup dapat tumbuh, mencapai profitabilitas, dan punya exit path. Kami mulai dari debt financing, misalnya, tiga bulan pertama harus capai zero NPL. Ini penting untuk memastikan investasi dapat diputar menjadi GMV, opex, dan lainnya. Kemudian diputar lagi pada bulan berikutnya sampai 12-18 bulan ke depan,” tutur Ishara.

Selain memperkuat 10% kontrol supply chain pada wilayah yang ditargetkan, pihaknya berharap pertumbuhan bisnis dari mitra downstream (JaPang Warung Rakyat/JAWARA dan Juragan) juga tercapai. “Kami meyakini Japang dapat memiliki confidence level lebih dalam debut penawaran token komoditas dengan mitra strategis yang direncanakan apabila strategi KPI tersebut terpenuhi,” tambahnya.

Pada pendanaan kali ini, Ishara Yusdian juga masuk sebagai Strategic Advisor di JaPang. Dengan pengalamannya sebagai serial investor dan corporate venture builder di Amerika Utara, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru, ia akan membantu memperkuat model bisnis dan operasional JaPang hingga siap menuju Sustainable Web3.

Sementara, Tjong Benny mengatakan pihaknya fokus mendigitalisasi sektor pertanian dan peternakan agar sejalan dengan visinya menjaga pasokan pangan di Indonesia. Ada dua segmen pasar yang dibidik, yakni B2B dan B2B2C untuk memberdayakan pelaku UMKM dengan produk utama beras, daging, dan ayam.

Produk ini dipilih mengingat potensi pasarnya besar, yakni potensi konsumsi beras nasional mencapai $22 miliar di 2020, sedangkan daging dan ayam nasional mencapai $6,3 miliar. Japang juga menyediakan bahan pokok makanan lainnya, yakni telur, gula, dan garam.

“Awalnya, kami mulai dengan B2B melalui strategi private label untuk masuk ke pasar. Memang traction B2B besar, tetapi belum bisa merata atau sustainable. Namun, kami melihat kebutuhan masyarakat sangat besar. Kami bergerak ke B2B2C agar dapat menjangkau lebih banyak user. Untuk skala pasar Indonesia, segmen ini kurang tersentuh,” jelasnya.

Kuasai 10% pangsa

Saat ini, JaPang baru mencakup sekitar 2%-3% permintaan pasokan di Jabodetabek dan Surabaya, itu pun dipenuhi oleh lini B2B2C JaPang Warung Rakyat (JAWARA). Menurut Ishara, dengan jumlah mitra RMU yang dimiliki saat ini, Japang dapat berpotensi memenuhi 10% dari permintaan commodity trading di kawasan tersebut.

“Jika dikalkulasi dalam 1-3 tahun ke depan, Japang bisa menjadi referensi index pricing berdasarkan transaksi yang terjadi. Maka itu, kami ingin JaPang engage dengan strategic partner yang dapat menjangkau pemain upstream. Sulit untuk menguasai 10% [pangsa] commodity trading kalau tidak bermitra dengan pelaku upstream,” lanjutnya.

Ivan Arie Sustiawan menambahkan, JaPang akan menambah jumlah sourcing pasokan mereka untuk memastikan ketersediaan supply dan demand dapat terpenuhi sesuai roadmap. JaPang kini telah bekerja sama dengan 10 rice milling unit (RMU), 3 rumah patok ayam, dan 2 kandang telur.

Selain itu, JaPang juga akan bekerja sama dengan penjamin komoditas (off-taker) untuk jangka panjang, baik dari BUMN maupun sektor swasta. Pada komoditas beras misalnya, produksi penggilingan padi oleh mitra RMU hanya untuk JaPang. Penambahan jumlah RMU juga akan bergantung dari milestone JaPang ke depan.

“JaPang tak hanya membidik sebagai pemimpin di pasar commodity trading, tetapi juga menjadi market maker. Kenapa memperkuat sisi upstream? Siapa pun yang bisa lock suplai di upstream, bisa menjadi market maker. Itu yang kami lakukan, baik itu beras, ayam, atau telur. Semoga bisa tercipta kestabilan harga dan jaminan ketersediaan,” ujarnya.

Token komoditas JaPang

Upaya JaPang untuk memperkuat pasokan dari sektor hulu dalam dua tahun ke depan menjadi langkah strategis untuk merealisasikan pengembangan token komoditas (commodity token) di 2024. Pengajuan lisensi ke Bappebti dan peluncuran token ini juga dilakukan secara bertahap sambil mengikuti perkembangan regulasi terkait.

Menurut Japang, commodity token justru memiliki underlying operation yang nyata dibandingkan dengan aset kripto, seperti Bitcoin atau Ethereum. Dalam kasus ini, JaPang fokus pada rantai pasok komoditas bahan pokok sebagai underlying. Token ini dapat menjadi salah satu cara bagi masyarakat yang tidak punya akses layanan keuangan untuk mencari modal usaha.

“Kami harap dapat menjadi yang pertama [meluncurkan token komoditas di Indonesia] karena kami sudah ada konsep dan kriteria. Staple food akan menjadi salah satu faktor utama kami menciptakan tokenomic. Apabila terwujud, ini bisa menjadi game changer di staple food. Kita tidak lagi bicara social commerce atau grocery karena harganya akan bergantung pada commodity token itu,” tambah Ivan.

Token komoditas bukanlah hal baru. Di 2017, ada sebuah proyek penggalangan dana bernama Bananacoin (BCO) yang diinisiasi pengembang asal Rusia untuk perkebunan pisang di provinsi Vientiane, Laos. Mengacu sejumlah sumber, harga BCO dipatok senilai $0,50 pada Initial Coin Offering (ICO). Untuk memastikan BCO bernilai, setiap token mengacu pada harga satu kilogram pisang di pasar.

“Sebelum masuk ke tokenomic, kami harus mencapai beberapa hal, termasuk target 10%. The closer we get there, ini akan menjadi kekuatan dalam proposal bahwa underlying kami sudah bisa represent komoditas supply chain, sehingga kami–bukan menentukan harga–berpartisipasi pada index pricing itu sendiri. Ini akan membuat stablecoin bisa di-exchange,” tutur Edison Tobing.

Sustainable Web3

Lebih lanjut, Ishara menuturkan sejak setahun terakhir Gayo Capital tengah mengeksplorasi potensi bisnis, terutama agritech, yang dapat dibawa ke jenjang Web3. Pihaknya mulai mengubah tesis investasinya di mana fokus utama tetap pada sektor impact. Namun, pihaknya membatasi investasi startup di sektor hulu yang modelnya masih tradisional.

“Di Gayo Capital, we will still focus on our part which is impact. Namun, kami ingin melihat portfolio mana yang sekiranya punya benang merah untuk kami embark ke Web3. That’s why our new investment thesis kita namai Sustainable Web3,” ungkapnya.

Menurutnya, JaPang siap melangkah menuju sustainable Web3 karena memiliki model bisnis yang baik dan bermain pada rantai pasok komoditas yang banyak dikonsumsi orang Indonesia. Baik beras, ayam, dan telur, punya trading cycle yang sangat tinggi atau bisa mencapai empat kali perputaran di pasar per minggu, per bulan, hingga per tahun.

Sementara itu, Eldo Wana Kusuma menambahkan inisiatif ini menjadi langkah besar untuk mendorong transparansi agrikultur di Indonesia. Apalagi pihaknya telah melihat sejumlah tantangan yang dialami pelaku agri di lapangan, salah satunya adalah kecurangan harga pada hasil panen petani oleh pihak ketiga.

“Kami melihat [commodity token] ini sebagai sustainable token, bukan yang bisa ‘digoreng’ sesuka hati. Commodity token tidak akan menggantikan fungsi P2P atau layanan inklusi keuangan. Idenya adalah [mendorong] transparansi harga komoditas. Token beras, misalnya, akan selalu diperbarui sesuai harga pasar di dunia. Real time.” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here