SaladStop! Dapat Pendanaan Seri B dari Temasek, East Ventures, dan Lainnya; Memvalidasi Ketangguhan “Cloud Kitchen”

Startup pengembang food chain yang fokus pada makanan sehat, SaladStop! Group, mengumumkan penutupan pendanaan seri B senilai SGD12 juta atau setara 125,7 miliar Rupiah. Putaran tersebut dipimpin Temasek, dengan keterlibatan East Ventures, Vulcan Capital, K3 Ventures, dan DSG Consumer Partners.

Saat ini layanannya sudah digunakan 3,5 juta orang per tahun oleh pengguna di Indonesia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, dan beberapa negara lainnya. Di Indonesia sendiri, layanan SaladStop! baru bisa dinikmati oleh pengguna di Jakarta dan Surabaya. Mereka juga telah mengoperasikan beberapa merek, termasuk Heybo, Wooshi, dan GoodFoodPeople dengan 69 gerai di seluruh negara basis operasionalnya.

Sesuai namanya, menu yang disuguhkan berupa salad, memadukan bahan segar nabati dan hewani. Selain itu ada beberapa menu lain juga seperti Wraps, Protein Bowl, dan makanan Korea. Menariknya, melalui situs yang disuguhkan untuk pemesanan, kita bisa menyusun makanan kita sendiri dengan memilih bahan dasar, sayuran, topping, sampai dressing-nya.  Setiap makanan yang dipesan akan dihitung kandungan nutrisinya.

“Misi kami untuk membentuk masa depan makanan di Asia dan memastikan bahwa makanan sehat itu nyaman dan dapat diakses oleh semua orang. Pandemi menunjukkan ketahanan bisnis kami di semua pasar dan mempercepat penetrasi online. Dipicu oleh teknologi inovatif, jaringan cloud kitchen, dan generasi baru merek makanan sehat  kami sangat senang dapat bermitra dengan investor strategis untuk meningkatkan skala bisnis,” ujar Co-Founder & CEO SaladStop! Adrien Desbaillets.

Manfaatkan cloud kitchen

Dalam menjajakan produknya, SaladStop! memanfaatkan konsep cloud kitchen. Ini dipilih agar dapat mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi, terlebih didukung dengan teknologi yang mereka kembangkan. Di proses distribusi, mereka juga memanfaatkan ekosistem food delivery di masing-masing negara tujuannya. Seperti di Indonesia, mereka bermitra dengan GoFood dan Grab Food untuk pemesanan dan pengantaran makanan.

Selain itu, di Indonesia SaladStop! turut menggandeng operator cloud kitchen untuk membantu mereka memproduksi makanan untuk pelanggan. KitaKitchen menjadi platform yang mereka gandeng saat ini. Sebenarnya banyak opsi yang bisa digunakan juga, DailySocial.id mencatat setidaknya ada 15 operator yang kini terus memantapkan bisnis.

No Nama Operator Tahun berdiri Lokasi Minimum kontrak Ukuran dapur Harga sewa (mulai dari) Mitra brand
1 GrabKitchen 2018 45 outlet 1 tahun 10-20 m2 Bagi hasil Geprek Bensu, Reddog, The Good Habit Express
2 Dapur Bersama GoFood 2019 27 outlet 1 tahun 14-25 m2 Bagi hasil FamilyMart, Banzai, I am Geprek Bensu
3 Everplate 2019 9 outlet 1 tahun 6-17 m2 Biaya tetap, 6 juta/bln 2080 Burger, The Moo, Bakso Gembul
4 Yummy Kitchen 2019 40 outlet 6 bulan 5-10 m2 Bagi hasil, 7 juta/bln Dailybox, KyoChon, Se’i Sapi Lamalera
5 Kita Kitchen 2020 3 outlet 6 bulan 6-17 m2 Biaya tetap, 5 juta/bln Burgreens, Thai Alley, Yoshinoya, SaladStop
6 Telepot 2020 1 outlet 6 bulan 7-19 m2 Bagi hasil, 6 juta/bln Yuks Bowl, Kaka Bakes, CWIMS
7 Hangry 2020 40 outlet N/A N/A N/A Own brand
8 Popitsnack N/A 1 outlet N/A N/A N/A Segara Market, Tehna
9 Tabula 2020 53 outlet N/A N/A N/A Mujigae, Palava, Fondre
10 Eden Kitchen 2020 1 outlet N/A N/A Biaya tetap, 5 juta/bln Oppa Corn Dog, Unicorn Burger
11 Foodstory 2021 2 outlet N/A N/A N/A Ayam Sunda Empire, Nasi Goreng TikTok, Chick Pok!
12 Lookalkitchen 2021 50 outlet N/A N/A N/A Dapoer Bang Jali by Denny Cagur
13 DishServe 2021 100 outlet N/A N/A Komisi Phago, Daipan
14 Eatsii 2021 N/A N/A N/A N/A Nasi Goreng Endoy, Simply Fry
15 Boga Kitchen 2020 16 outlet N/A N/A N/A Own brand

Dengan mereduksi beban di sisi operasional, brand pengembang produk makanan memang cenderung bisa lebih gesit dalam melakukan inovasi produk dan ekspansi. Sebaran penyelenggara cloud kitchen yang terus meluas juga menjadi kesempatan tersendiri bagi pemain untuk memperluas pangsa pasarnya di tengah pergeseran kebiasaan pelanggan pascapandemi. Ini terbukti, sepanjang pandemi, lebih dari 50% penjualan SaladStop! dihasilkan secara online.

“Untuk mencapai strategi pertumbuhan ambisius kami berencana untuk memperdalam akar kami di pasar yang ada, sementara juga memperluas jejak di negara-negara baru yang dipilih. Kami telah membangun infrastruktur yang luas di seluruh wilayah selama beberapa tahun terakhir dan akan terus memanfaatkan kemampuan teknologi dan model operasi cloud kitchen eksklusif kami untuk mempercepat pertumbuhan kami di pasar negara berkembang,” imbuh Chief Growth Officer of SaladStop! Frantz Braha.

Konsep bisnis serupa di Indonesia

Hangry, Foodstory, Legit Group, dan beberapa pemain lokal lain sebenarnya juga telah mengadopsi model bisnis yang serupa, yakni “multi-brand cloud kitchen”. Melalui gerai-gerai mini yang tersebar di berbagai kota, bahkan sebagian tidak menyediakan opsi dine-in, mereka menghadirkan beberapa brand makanan sekaligus ke dalam satu opsi pemesanan. Contohnya Hangry!, dalam kedainya mereka memberikan beberapa opsi makanan mulai dari Moon Chicken, San Gyu, Kopi Dari Pada, dan Ayam Koplo.

Dari sisi pengguna model multi-brand ini juga menghadirkan keuntungan tersendiri. Dalam satu kali pemesanan, mereka bisa memperoleh varian item makanan dari merek yang berbeda — termasuk menghemat ongkos kirim.

Penerimaan pasar yang apik ternyata turut membuka mata pemodal ventura untuk turut menggarap lini industri ini. East Ventures berinvestasi ke Legit Group, sementara Alpha JWC Ventures juga turut mendukung Hangry! sejak debut awalnya.

Model bisnis yang dijalankan saat ini seperti bisa menjadi “template” untuk pengusaha kuliner generasi selanjutnya. Selain memungkinkan mereka bisa bergerak lincah untuk memperluas area bisnis, penerimaan pasar juga menjadi aspek penting yang kini mulai terbentuk. Di sisi lain infrastruktur yang mengakomodasi bisnis tersebut juga terus diperdalam. Sebut saja, untuk layanan pemesanan kini tidak hanya terpaku ke duo Grab-Gojek, platform lain seperti Shopee dan Traveloka mulai meningkatkan kualitas layanan food delivery mereka.

Tantangannya justru bagaimana ini pengusaha makanan menciptakan brand yang relevan dengan pangsa pasar di Indonesia – demi menghadirkan produk makanan berkualitas dengan biaya terjangkau. Toh di sisi operasional banyak biaya yang seharusnya bisa ditekan untuk diprioritaskan ke produk.

Klinik Pintar Memperoleh Pendanaan Seri A Sebesar 58 Miliar Rupiah

Startup healthtech Klinik Pintar mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $4,15 juta atau sekitar 58 miliar Rupiah. Golden Gate Ventures kembali terlibat dan kali ini memimpin pendanaan, ditambah partisipasi PT Bundamedik Tbk (BMHS), Skystar Capital, dan Sequis Life.

Golden Gate Ventures sebelumnya berinvestasi di Klinik Pintar pada putaran pendanaan pra-seri A yang diumumkan November 2020, bersama dua investor lainnya, yaitu Venturra Discovery dan Kenangan Kapital yang merupakan angel fund milik Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata.

Dalam keterangan resminya, perwakilan Golden Gate Ventures Justin Hall mengungkap optimistis terhadap industri kesehatan Indonesia. Menurut Hall, potensi pertumbuhan di Indonesia sangat besar dan Klinik Pintar mengambil peran dalam pertumbuhan tersebut dengan membangun ekosistem kesehatan terintegrasi. “Hal di atas meyakinkan kami mendukung Klinik Pintar dalam memajukan sistem kesehatan melalui sokongan pendanaan ini,” paparnya.

Sementara itu, perwakilan BMHS dr. Ivan Sini menambahkan bahwa partisipasinya di pendanaan Klinik Pintar menandakan komitmen perusahaan untuk mengembangkan ekosistem layanan kesehatan terintegrasi bersama Klinik Pintar di Indonesia. “Sinergi ini dapat dimulai dari sistem rujukan, laboratorium, dan supply chain,” katanya.

Sebagai informasi, Klinik Pintar di bawah naungan PT Medigo Teknologi Kesehatan (Medigo) menawarkan solusi melalui sistem bagi hasil dengan pemilik klinik. Kerja sama ini berupa pemberian solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan, standardisasi, dan investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usaha dan meningkatkan value based-care.

Demi mewujudkan ekosistem kesehatan terintegrasi ini, Klinik Pintar terus mengembangkan platform digital Klinik OS (Operating System) yang mendigitalkan operasional dan memberdayakan klinik melalui digital. Digitalisasi ini meliputi layanan end-to-end secara online dan offline, standardisasi SOP menyeluruh, pengelolaan inventaris dan manajerial, dan menghubungkan antar-klinik di jaringan dan mitra pendukung lainnya secara digital.

Rencana pengembangan layanan di 2022

DailySocial.id berkesempatan mewawancarai Co-founder & CEO Medigo Harya Bimo terkait rencana bisnis ke depan dengan pendanaan baru ini. Pada kesempatan ini, pria yang karib disapa Bimo ini menegaskan bahwa kini Medigo akan memakai nama Klinik Pintar sebagai branding layanannya ke depan.

Sesuai misinya untuk menjadi penyedia supply chain klinik di Indonesia, pendanaan baru ini akan digunakan untuk mengekspansi jaringan dan layanan Klinik Pintar. Saat ini, Klinik Pintar sudah memiliki 120 klinik yang tersedia di 60 kota di seluruh Indonesia.

“Kami sudah membuktikan bahwa framework [melalui model supply chain klinik] ini berhasil. Maka itu, dalam dua tahun ke depan, kami ingin memperkuat layanan yang sudah ada dengan meningkatkan value jaringan Pintar lewat interoperabilitas layanan,” ungkapnya.

Salah satunya adalah sinergi layanan dengan ekosistem yang dimiliki BMHS. Untuk memperkuat sinergi ini, BMHS melakukan penyertaan saham seri A sejumlah 2339 lembar saham yang ditempatkan dan dikeluarkan dalam Klinik Pintar Technologies Pte Ltd, dengan penyertaan saham langsung $1,5 juta atau setara Rp21 miliar pada 8 November lalu. BMHS menjadi bagian dari mitra operasional klinik melalui jaringan digital Klinik Pintar.

Sinergi ini akan dilakukan Bundamedik Healthcare System yang merupakan ekosistem layanan kesehatan terintegrasi milik PT Bundamedik Tbk, dan terdiri dari jaringan rumah sakit, klinik, laboratorium, hingga evakuasi medis.

Pihaknya akan mengimplementasi sistem rujukan berbasis digital, baik ke rumah sakit maupun laboratorium, dengan memanfaatkan ekosistem yang dimiliki BMHS. Menurut Bimo, selama ini sistem rujukan di Indonesia masih berbasis kertas yang dinilai kurang efisien bagi pasien dan petugas kesehatan.

Klinik Pintar
Klinik Pintar

Dengan rujukan digital, dokter dan petugas kesehatan dapat melihat rekam jejak pasien sebelumnya. Pada contoh lain, pasien yang dirujuk untuk melakukan tes laboratorium, dapat mengambil hasilnya di Klinik Pintar.

“Kami berupaya empower klinik existing. Mengingat tidak semua klinik punya laboratorium, kami mengambil approach dengan strategi jaringan. Nah, BMHS punya pemikiran serupa dengan yang kami cari. Sinergi utama kami untuk address kebutuhan di daerah yang selama ini tidak punya akses ke laboratorium. Kami akan mengembangkan sinergi jaringan ini bersama BMHS. Target kami tahun depan membangun 400 klinik,” jelasnya.

Pada use case lain, Klinik Pintar juga akan meningkatkan interoperabilitas di supply chain dengan menghubungkan klinik dan supplier (principal). Dengan demikian, klinik dapat memesan berbagai peralatan medis dan produk kesehatan, seperti farmasi, vaksin, jarum suntik, dan sarung tangan.

“Kami ingin go national sekarang. Saat ini, supply kami lakukan bertahap di Jabodetabek. Target kami selanjutnya adalah Jawa dan luar Jawa. Paling tidak, kami target bisa tembus kota baru setiap kuartal. Kami juga kerja sama dengan pemain farmasi besar karena izin kami bukan distributor,” ujar Bimo.

Selain itu, pihaknya akan membuka akses baru bagi layanan ibu dan anak. Bimo menilai, segmen ini masih underserved di Indonesia, terutama selama pandemi Covid-19 terjadi. Klinik Pintar akan menyediakan sejumlah layanan, termasuk home care dan telemedicine melalui video call.

Terakhir, pihaknya juga tengah mengembangkan sejumlah program kesehatan sebagai tindakan preventif penyakit berat (diabetes, hipertensi, jantung) melalui health plan. Saat ini, program tersebut baru dipasarkan ke konsumen B2B.

“Banyak penyakit dalam yang sebetulnya tidak dapat ditangani via chat dan sekali pertemuan saja. Perlu approach offline dan online, tidak hanya telekonsultasi, tetapi juga monitoring. Ini salah satu tantangan yang kami lihat di rumah sakit dan klinik, bukan di penanganan gejala berat,” katanya.

Application Information Will Show Up Here

Ula Umumkan Tambahan Pendanaan Seri B 328 Miliar Rupiah

Ula mengumumkan perolehan tambahan dana sebesar $23,1 juta (lebih dari 328 miliar Rupiah) untuk putaran seri B yang baru diumumkan satu bulan yang lalu. Investasi lanjutan ini dipimpin oleh Tiger Global dan Co-founder Flipkart Binny Bansal, membawa total perolehan untuk seri B ini senilai $110 juta.

Sebelumnya, mereka telah mengumumkan pendanaan seri B sebesar $87 miliar yang dipimpin oleh Prosus Ventures, Tencent, dan B Capital. Putaran ini turut diikuti oleh partisipasi Bezos Expeditions, VC besutan pendiri Amazon Jeff Bezos; beserta investor terkemuka lainnya, yakni Northstar Group, AC Ventures, dan Citius.

Tambahan dana ini, bila diakumulasi sejak perusahaan berdiri, telah memperoleh pendanaan sebanyak $140 juta (lebih dari 1,99 triliun Rupiah).

Dalam pernyataan resmi perusahaan, disebutkan dana segar ini akan menjadi amunisi perusahaan untuk mengembangkan fitur buy now, pay later dan mengutilisasi AI untuk melayani konsumen UMKM lebih baik. Selain itu, perusahaan akan melanjutkan ekspansi ke lokasi baru dan merekrut lebih banyak talenta berbakat.

“Tambahan pendanaan dalam putaran seri B ini menandakan ketertarikan investor dan kepercayaan mereka pada visi dan misi Ula. Kami bersyukur dan bersemangat atas kesempatan untuk membangun platform yang tidak hanya memberdayakan peritel tradisional, tetapi juga menata ulang industri ritel tradisional. Saat kami bergerak maju, kami akan terus mengambil pendekatan yang mengutamakan pelanggan untuk mengatasi masalah mendasar dengan teknologi,” kata Co-founder & CEO Ula Nipun Mehra, Selasa (16/11).

Sebelumnya disampaikan oleh Co-founder & CCO Ula Derry Sakti, solusi BNPL ini dihadirkan karena Ula telah memiliki 70 ribu warung yang bertransaksi melalui platform-nya, basis data tersebut menjadi bekal untuk melakukan skoring kredit sebelum menyalurkan pinjaman.

Diklaim perusahaan telah tumbuh 230 kali lipat, menawarkan lebih dari 6 ribu produk. Mayoritas pengguna Ula berasal dari kota lapis dua hingga empat yang masih kekurangan akses terhadap sumber daya dan infrastruktur logistik.

Seperti diketahui, ritel tradisional memiliki keterbatasan dalam mengakses produk perbankan, padahal mereka sangat bergantung pada pemasukan harian, hal ini membuat pilihan pembayaran paylater kepada supplier memiliki manfaat yang luar biasa bagi warung.

“Dengan Ula, mereka tidak perlu lagi khawatir tentang pembelian barang, ketersediaan produk, atau bahkan pembayaran, yang tentunya akan memberikan mereka waktu lebih banyak untuk fokus kepada hal lain yang lebih penting. Melihat secara langsung dampak yang telah Ula berikan pada kehidupan pelanggan tentunya menggerakkan tim kami untuk terus maju,” tuturnya.

Aplikasi Ula memungkinkan pemilik warung untuk memesan berbagai macam produk dan mengirimkannya langsung ke toko mereka. Dengan konsep yang sederhana, Ula mencoba fokus pada kebutuhan pelanggan daripada menambahkan fitur yang tidak perlu, untuk memastikan pengalaman terbaik. Aplikasi ini diklaim lebih ringan, cocok untuk lingkungan koneksi rendah dan perangkat paling dasar, serta memastikan tidak memakan terlalu banyak ruang di ponsel mereka.

Application Information Will Show Up Here

Karyakarsa Raih Pendanaan Awal 7 Miliar Rupiah dari Accelerating Asia, Sketchnote Partners, dan Sejumlah Angel Investors

Pasar apresiasi kreator Karyakarsa telah mengumpulkan pendanaan putaran awal senilai $498.000 atau Rp7 miliar dari Accelerating Asia, Sketchnote Partners, serta angel investor ternama. Perusahaan akan menggunakan dana tersebut untuk mengembangkan fitur baru dan menjajaki pasar regional.

Menurut penuturan Co-Founder dan CEO Karyakarsa, Ario Tamat, platform tersebut telah melayani lebih dari 35.000 kreator, mulai dari jurnalis, model, ilustrator, artis 3D, dan masih banyak lagi. Karyakarsa juga memiliki lebih dari 275.000 pengguna terdaftar sebagai penggemar/pendukung.

Seperti Patreon dan Tribe, Karyakarsa memungkinkan kreator untuk memonetisasi karya mereka dengan membangun basis penggemar. Mereka dapat menjual kreasi mereka dan mendapatkan dukungan langsung melalui platform. Kreator akan mendapatkan 90% dari pendapatan, sedangkan 10% akan dipotong untuk biaya platform.

Karyakarsa didirikan oleh Ario Tamat dan Aria Rajasa Masna pada tahun 2019.

“Pada bulan Oktober saja jumlah transaksi melalui platform KaryaKarsa telah meningkat 60% dari bulan ke bulan dan kami telah meningkatkan jumlah kreator baru di platform sebesar 135%. Dana baru akan memungkinkan kami untuk memperluas penawaran kami dan memberdayakan lebih banyak pembuat konten untuk mengembangkan mata pencaharian yang berkelanjutan. Kami berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan mitra kami terhadap visi kami,” kata Ario.

Inisiatif NFT

Model monetisasi kreator baru terus dieksplorasi, termasuk dengan Non-Fungible Tokens (NFT). Karyakarsa telah bermitra dengan crypto-marketplace Tokocrypto untuk memungkinkan kretor menjual karya mereka melalui NFT Marketplace, TokoMall. Inisiatif serupa kian populer di pasar global.

Beberapa penyesuaian dilakukan, misalnya mengunci harga NFT dengan Rupiah untuk menghindari fluktuasi yang tinggi. Beberapa NFT juga dapat diklaim dengan produk fisik.

Ini menjadi pertanda baik bagi ekosistem kreator Indonesia untuk memonetisasi karya (digital) mereka. Beberapa kreator di Karyakarsa bisa mendapatkan penghasilan Rp30-50 juta per bulan.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Karyakarsa Bags $500,000 Seed Funding from Accelerating Asia, Sketchnote Partners, and Angel Investors

Creator appreciation marketplace Karyakarsa has raised $500,000 or Rp7 billion seed round from Accelerating Asia, Sketchnote Partners, and high-profile angel investors. The company will use the fund to develop new features and explore the regional market.

According to Karyakarsa’s Co-Founder and CEO, Ario Tamat, the platform has served more than 35,000 creators, from journalists, models, illustrators, 3D artists, and many more. Karyakarsa also has more than 275,000 registered users as fans/supporters.

“In October alone the number of transactions via the KaryaKarsa platform has increased 60 percent month on month and we’ve increased the number of new creators on the platform by 135 percent. The new funds will enable us to expand our offering and empower more creators to develop sustainable livelihoods. We are grateful for the trust our partners have placed in our vision,” said Ario.

Like Patreon and Tribe, Karyakarsa allows creators to monetize their works by building a fan base. They can sell their creations and get support directly through the platform. Creators will get 90% of the revenue, while the 10% goes for platform fees.

Karyakarsa is founded by Ario Tamat and Aria Rajasa Masna in 2019.

“As second time founders, the KaryaKarsa team has deep experience in scaling a business with the founders also being creatives themselves. They are positioned to take advantage of existing global disaggregation trends and efficiently help creatives monetise their projects. Having grown the value of transactions through the platform 40 percent in October, KaryaKarsa’s traction is set to continue and Accelerating Asia is proud to be an early investor into the company as they build the creative economy in Indonesia,” Craig Bristol Dixon, General Partner of Accelerating Asia said.

To help KaryaKarsa scale, the company and Board have appointed J. P. Ellis as an official advisor. A seasoned Jakarta-based founder, technology executive and policy leader in the financial technology industry, Ellis said, “KaryaKarsa has achieved product-market-fit in a valuable and fast-growing space in the creative economy. Their growth and success are a proxy for Indonesian creative entrepreneurs. I am honoured to join the team as an advisor and excited about what we can accomplish together to benefit the creative economy and the livelihoods of millions of creators and their families.”

NFT initiative

New creator monetization models are constantly being explored, including with Non-Fungible Tokens (NFT). Karyakarsa has partnered with crypto-marketplace Tokocrypto to enable creators to sell their works through the NFT Marketplace, TokoMall. Similar initiatives are gaining popularity in the global market.

Several adjustments were implemented, for example locking the NFT price with Rupiah to avoid high fluctuations. Some NFTs can be claimed with physical products.

It’s a good sign for Indonesia’s creator ecosystem to monetize their (digital) works. A few creators at Karyakarsa can earn Rp30-50 million per month.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Leads Investment for TreeDots, Providing Social Commerce for Groceries

TreeDots, a Singapore-based social commerce startup for groceries (also maximizing the decent potential of the leftovers), announced a series A funding round of $11 million (over 157 billion Rupiah) led by East Ventures (Growth Fund) and Amasia. There are other investors join this round, including ACTIVE Fund, Seeds Capital, Nir Eyal (writer), and Fiona Xie (actress).

The funds will be used for platform development, the company’s food logistics optimization, TreeLogs and regional expansion, post entering the Malaysian market last year.  The company didn’t mention its next target country.

TreeDots’ Co-founder & CEO, Tylor Jong said to DailySocial that his team is currently in discussion regarding the plan. “We have plans to expand our regional coverage and we are in the middle of comprehensive exploration [the next country] where it will make sense for us,” Jong said.

TreeDots was founded by Tylor Jong, Lau Jia Cai, and Nicholas Lim in 2018. The company is a marketplace for surplus and imperfect groceries, in response to the wasted food isssues, especially decent food that is being thrown away. TreeDots technology helps redistribute unsold inventory from suppliers to businesses such as restaurants and cafes, enabling them to obtain affordable food supplies.

Globally, there is one-third food produced for consumption is wasted. In Asia, most of these problems are caused by inefficient supply chains. Imperfect food in terms of aesthetic is often dumped even though it is considered decent as the ones commonly found on grocery store shelves. This surplus food is often burned or left to rot, producing methane and other greenhouse gases with 86 times more harmful impact on global warming than carbon dioxide.

“We realized that grocery store chains tend not to buy a huge chicken or in the imperfect shape because it would look weird on the shelves. However, F&B outlets could not care less as it will be cut and processed to be served. Therefore, they’ll be very happy to be able to buy the same products for up to 90 percent cheaper than the alternatives. It encourages us to start a surplus food marketplace to match the supply and demand for these products,” Jong explained separately in an official statement, Thursday (11/11).

TreeDots’s target market is F&B franchises and social commerce to accommodate group purchasing. Thus, consumers can buy the same product with much cheaper price. TreeDots sends multiple orders at once to a single address and group buyers can pick up their individual orders from that address. It allows buyers to save on logistics costs, as well as reduce emissions compared to traditional e-commerce models that require a special trip for each order.

In terms of sales. prior to joining TreeDots, suppliers often paid for a delivery service to send their waste to a landfill. In this case, they can now earn additional income from these imperfect products in a way helping to preserve the earth.

TreeDots also helps digitize suppliers’ operations using an app, and they recently launched TreeLogs, a cold-chain logistics to improve the supplier’s operation efficiency. This vertically integrated ecosystem allows upstream suppliers to focus their efforts on their area of ​​excellence, food processing and production.

“Food wasted has becocme a trillion dollar issue, but what excites us is the fact that suppliers are starting to use the TreeDots system for their entire income, not just leftovers. When one of their trucks can make one delivery to an area, TreeDots can make five deliveries on the same trip by working with the entire supplier group. The increased network density allows for lower logistics costs and emission levels,” East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana said.

TreeDots Gross Merchandise Value (GMV) has grown more than 4 times year on year. “There are a lot of businesses serving the F&B industry that comes with difficulty during the pandemic. However, we are very impressed with the ability of the TreeDots team to drive exponential growth amid difficult circumstances,” Amasia’s Managing Partner, who also led TreeDots’ initial funding round in 2019, John Kim said.

As TreeDots business expands, Janet Sarah Neo, Vice President, Corporate Sustainability & Government Affairs at Lazada and Executive Board Member at Temasek Foundation Liveability, will join TreeDots as a Board Observer.

Startups with resembled energy

With the resembled energy to maximize the potential of surplus food, a local startup called Surplus has launched in Indonesia. The platform allows F&B businesses to sell excees and imperfect yet decent food products at certain hours before closing the shop with a half price discount.

More than 400 Surplus partners come from across Jabodetabek, Bandung and Yogyakarta. Most of them are engaged in businesses that produce a lot of excess food products, such as bakery & pastry, cafes, restaurants, hotels, supermarkets, catering, and agriculture.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GoTo Secures the First Pre-IPO Funding at 18.5 Trillion Rupiah

The GoTo Group announced its first pre-IPO funding of $1.3 billion (over 18.5 trillion Rupiah) from various investors, including the Abu Dhabi Investment  (ADIA) fully-owned subsidiary, Avanda Investment Management, Fidelity International. Participated also in this round, Google, Permodalan Nasional Berhad (PNB), Primavera Capital Group, SeaTown Master Fund, Temasek, Tencent, and Ward Ferry.

Other investors are expected to further join the pre-IPO fundraising round towards the final close in the coming weeks, aka towards the end of this year.

In an official statement, the funds will be used to invest deeper in developing its ecosystem, strengthening its position as a market leader in the region, and better serving the customers.

Further translated, GoTo to continuously focus on growing the customer base, expanding payment services and financial services, as well as encouraging the use of integrated transportation fleets and logistics networks to further enhance the hyperlocal experience, in order to better serve the customers.

“Indonesia and Southeast Asia are the two most promising markets in terms of growth prospects worldwide. The support we have received demonstrates the confidence that investors have in the rapidly growing digital economy in this region, as well as our position as a market leader,” GoTo Group’s CEO, Andre Soelistyo said, Thursday (11/11).

Andre also mentioned, the increasing digital adoption has driven consumer’s demand and brought many users online. As a result, GoTo’s services demand continues to increase, based on the company’s commitment to continue providing more options, value, and convenience to all customers in the GoTo ecosystem.

Primavera Capital Group’s Managing Director, Michael Woo said, “We discover growth opportunities in Indonesia and GoTo towards e-commerce, on-demand mobility and fintech  in all segments where Primavera has extensive investment experience. We are excited to partner and grow with GoTo and contribute our expertise and resources to the company.”

Indonesia has a GDP of over $1 trillion and is the fourth most populous country in the world. The GoTo ecosystem is said to account for nearly two-thirds of Indonesia’s consumer spending, and the total target market value will grow to over $600 billion by 2025. The country has nearly 140 million people with little or no access to the formal financial system, therefore, significant growth opportunities lies on the payment and financial service companies.

Through the Gojek and Tokopedia merger, GoTo’s services now include on-demand transportation, e-commerce, food and grocery delivery, logistics and fulfillment, as well as financial and payment services. The GoTo Group reached over 1.8 billion transactions in 2020, with over US$22 billion Group Gross Transaction Value “GTV” in total, and contributed to the economy equal to over 2% of Indonesia’s GDP.

The pre-IPO

The GoTo Group has not officially announced the date for the stock exchange. Rumor has it, the plan is to be executed in early 2022 with the go public process starting on the local exchange, then the New York exchange.

The success of Bukalapak’s IPO on the IDX has become a benchmark for many local technology companies to follow. By announcing the price at IDR 850 per share, Bukalapak was able to reap IDR 21.9 trillion. This is the largest number in the history of the Indonesian capital market, as well as the first listing of Southeast Asia’s tech unicorn on the stock exchange. When GoTo managed to go public on the IDX, it will be very likely to score a new record.

Gojek’s closest competitor, Grab, has decided to go public through the SPAC scheme at the end of this year. This plan was delayed from its initial target in the middle of this year, due to financial audit request from the local stock exchange authority. Grab is targeting a nearly $40 million valuation before going IPO.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

East Ventures Pimpin Pendanaan TreeDots, Hadirkan Solusi “Social Commerce” untuk Bahan Makanan

TreeDots, startup social commerce asal Singapura untuk bahan makanan (termasuk memaksimalkan potensi bahan makanan layak yang tersisa), mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $11 juta (lebih dari 157 miliar Rupiah) yang dipimpin East Ventures (Growth Fund) dan Amasia. Beberapa investor lain yang turut bergabung adalah ACTIVE Fund, Seeds Capital, penulis Nir Eyal, dan aktris Fiona Xie.

Pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk pengembangan platform, pengoptimalan logistik makanan milik perusahaan, TreeLogs, dan ekspansi secara regional, setelah masuk ke Malaysia pada tahun lalu. Tidak disebutkan negara berikutnya yang dibidik.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO TreeDots Tylor Jong menuturkan, pihaknya berada di tengah diskusi lebih dalam terkait rencana tersebut. “Kami memiliki rencana untuk memperluas cakupan regional kami dan kami berada di tengah pemahaman [negara berikutnya] di mana akan masuk akal bagi kami,” kata Jong.

TreeDots didirikan oleh Tylor Jong, Lau Jia Cai, dan Nicholas Lim pada 2018. Perusahaan adalah marketplace untuk bahan makanan yang surplus dan tidak sempurna, dalam menyikapi permasalahan makanan yang terbuang sia-sia, terutama makanan yang dapat dikonsumsi namun dibuang. Teknologi TreeDots membantu pendistribusian ulang inventaris yang tidak terjual dari pemasok kepada bisnis seperti restoran dan kafe, memungkinkan mereka untuk mendapatkan pasokan makanan dengan harga terjangkau.

Secara global, sepertiga dari semua makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi terbuang sia-sia. Di Asia, sebagian besar dari masalah tersebut disebabkan oleh rantai pasok yang tidak efisien. Makanan yang tidak sempurna secara estetis sering kali terbuang ke tempat pembuangan akhir padahal masih dalam kondisi segar dan bergizi sebagaimana makanan yang biasa ditemukan di rak-rak toko grosir. Makanan surplus tersebut sering dibakar atau dibiarkan membusuk, sehingga menghasilkan metana dan gas rumah kaca yang memiliki dampak 86 kali lebih berbahaya pada pemanasan global daripada karbon dioksida.

“Kami menyadari bahwa rantai toko grosir mungkin tidak akan membeli ayam yang terlalu besar atau memiliki tulang yang patah karena akan terlihat aneh di rak mereka. Tetapi gerai F&B tidak peduli karena mereka akan memotong dan menata makanan sebelum mereka sajikan. Jadi, jika mereka dapat membeli produk yang pada dasarnya sama dengan harga hingga 90 persen lebih murah daripada produk alternatif, mereka akan sangat senang. Hal tersebut mendorong kami untuk memulai marketplace makanan surplus untuk mencocokkan pasokan dan permintaan produk-produk tersebut,” terang Jong secara terpisah dalam keterangan resmi, Kamis (11/11).

Target pengguna platform TreeDots adalah waralaba F&B dan social commerce untuk mengakomodasi kebutuhan pembelian kelompok. Dengan demikian, konsumen dapat membeli produk yang sama dengan harga diskon yang lebih besar. TreeDots mengirimkan beberapa pesanan sekaligus ke satu alamat dan para pembeli dalam grup bisa mengambil barang pesanan masing-masing dari alamat tersebut. Langkah ini memungkinkan penghematan biaya logistik bagi para pembeli, juga mengurangi emisi jika dibandingkan dengan model e-commerce tradisional yang memerlukan perjalanan khusus untuk setiap pesanan yang dikirimkan.

Dari sisi penjualan, sebelum bergabung dengan TreeDots, para pemasok sering kali membayar layanan pengiriman untuk mengirim barang limbah mereka ke tempat pembuangan akhir. Dengan adanya TreeDots, sekarang mereka dapat memperoleh pendapatan tambahan dari barang bahan tersebut dan merasa puas karena dapat membantu melestarikan bumi.

TreeDots juga membantu digitalisasi operasi para pemasok menggunakan sebuah aplikasi, dan baru-baru ini mereka meluncurkan TreeLogs, penawaran logistik rantai dingin (cold-chain logistics) yang meningkatkan efisiensi proses operasi para pemasok. Ekosistem terintegrasi yang vertikal ini memungkinkan para pemasok di hulu untuk memfokuskan upaya mereka di area keunggulan mereka, yaitu pemrosesan dan produksi makanan.

“Makanan yang terbuang sudah menjadi sebuah masalah bernilai triliunan dolar, tetapi yang membuat kami sangat bersemangat adalah fakta bahwa para pemasok mulai menggunakan sistem TreeDots untuk seluruh pendapatan mereka, bukan hanya produk sisa makanan. Jika salah satu truk mereka dapat menjalankan satu pengiriman ke suatu daerah, TreeDots dapat melakukan lima pengiriman pada perjalanan yang sama dengan bekerja bersama seluruh kelompok pemasok. Kepadatan jaringan yang telah meningkat memungkinkan penurunan biaya logistik dan tingkat emisi,” kata Managing Partner East Ventures Roderick Purwana.

Nilai Gross Merchandise Value (GMV) TreeDots telah tumbuh lebih dari 4 kali lipat dari tahun ke tahun. “Terdapat banyak bisnis yang melayani industri F&B yang mengalami kesulitan selama pandemi. Akan tetapi, kami sangat terkesan dengan kemampuan tim TreeDots untuk mendorong pertumbuhan eksponensial di tengah keadaan yang sulit,” kata Managing Partner Amasia John Kim, yang juga memimpin ronde pendanaan awal TreeDots pada 2019.

Sejalan dengan pengembangan bisnis TreeDots, Janet Sarah Neo, Vice President, Corporate Sustainability & Government Affairs di Lazada dan Executive Board Member di Temasek Foundation Liveability, akan bergabung dengan TreeDots sebagai Board Observer.

Startup dengan semangat yang sama

Dengan semangat yang sama ingin memaksimalkan potensi dari makanan surplus, startup lokal bernama Surplus telah hadir di Indonesia. Surplus memungkinkan para pelaku usaha F&B untuk menjual produk makanan berlebih dan imperfect produce yang masih aman dan layak untuk dikonsumsi di jam-jam tertentu sebelum tutup toko dengan diskon setengah harga.

Mitra Surplus yang telah bergabung disebutkan telah lebih dari 400 yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Yogyakarta. Kebanyakan mereka bergerak di usaha yang menghasilkan banyak produk makanan berlebih, seperti bakery & pastry, kafe, restoran, hotel, supermarket, katering, dan pertanian.

Application Information Will Show Up Here

GoTo Tutup Dana Pra-IPO Tahap Pertama, Kumpulkan Investasi 18,5 Triliun Rupiah

Grup GoTo mengumumkan penutupan pertama penggalangan dana pra-IPO lebih dari $1,3 miliar (lebih dari 18,5 triliun Rupiah) dari berbagai investor, termasuk dari anak usaha yang dimiliki sepenuhnya oleh Abu Dhabi Investment (ADIA), Avanda Investment Management, Fidelity International. Kemudian, Google, Permodalan Nasional Berhad (PNB), Primavera Capital Group, SeaTown Master Fund, Temasek, Tencent, dan Ward Ferry.

Investor lainnya diharapkan untuk selanjutnya bergabung ke dalam putaran penggalangan dana pra-IPO menjelang penutupan akhir di beberapa minggu mendatang, alias menjelang akhir tahun ini.

Dalam keterangan resmi, dana yang terkumpul akan dimanfaatkan untuk berinvestasi lebih jauh dalam mengembangkan ekosistemnya, memperkuat posisinya sebagai pemimpin pasar di kawasan, dan melayani pelanggan lebih baik.

Diterjemahkan lebih jauh, GoTo terus fokus berkelanjutan untuk menumbuhkan jumlah pelanggan, perluasan jasa pembayaran dan penawaran layanan keuangan, serta mendorong pemanfaatan armada transportasi dan jaringan logistik yang terintegrasi untuk lebih meningkatkan pengalaman hyperlocal, guna melayani pelanggan dengan lebih baik.

“Indonesia dan Asia Tenggara adalah kedua pasar dengan prospek pertumbuhan yang paling menjanjikan di dunia. Dukungan yang kami peroleh menunjukkan kepercayaan yang dimiliki investor terhadap ekonomi digital yang berkembang pesat di kawasan ini, serta posisi kami sebagai pemimpin pasar,” tutur CEO Grup GoTo Andre Soelistyo, Kamis (11/11).

Andre melanjutkan, permintaan konsumen terdorong oleh pertumbuhan adopsi digital yang telah membawa banyak pengguna masuk ke ranah online. Akibatnya, permintaan akan layanan GoTo terus meningkat, dilandasi dengan komitmen perusahaan untuk terus memberikan pilihan, nilai, serta kenyamanan kepada seluruh pelanggan di ekosistem GoTo.

Managing Director Primavera Capital Group Michael Woo mengatakan, “Kami melihat peluang pertumbuhan di Indonesia dan GoTo pada e-commerce, mobilitas on-demand, dan fintech ― yaitu semua segmen di mana Primavera memiliki pengalaman investasi yang luas. Kami senang dapat bermitra dan tumbuh bersama GoTo dan mengontribusikan keahlian dan sumber daya kami kepada perusahaan.”

Indonesia memiliki PDB lebih dari $1 triliun dan merupakan negara terpadat keempat di dunia. Ekosistem GoTo diklaim mencakup hampir dua pertiga dari pengeluaran konsumen Indonesia, dan total nilai pasar yang dapat disasar akan tumbuh menjadi lebih dari $600 miliar pada 2025. Negara ini juga memiliki hampir 140 juta orang dengan sedikit atau tanpa akses ke sistem keuangan formal, sehingga terdapat peluang pertumbuhan yang signifikan bagi perusahaan dalam jasa pembayaran dan keuangan.

Lewat kombinasi Gojek dan Tokopedia, layanan GoTo kini mencakup transportasi on-demand, e-commerce, pengiriman makanan dan bahan makanan, logistik dan pemenuhan, serta layanan keuangan dan pembayaran. Grup GoTo mencatat lebih dari 1,8 miliar transaksi pada tahun 2020, dengan total Nilai Transaksi Bruto (“GTV”) Grup lebih dari US$22 miliar, dan berkontribusi ke ekonomi setara dengan lebih dari 2% PDB Indonesia.

Jelang IPO

Grup GoTo belum menyampaikan secara resmi kapan untuk segera melantai di bursa. Dalam berbagai kabar burung yang beredar, disinyalir akan dilaksanakan pada awal 2022 dengan proses go public dimulai di bursa lokal, kemudian diikuti New York.

Kesuksesan IPO Bukalapak di BEI menjadi tolak ukur bagi banyak perusahaan teknologi lokal yang ingin mengikuti jejaknya. Dengan melepas harga saham di Rp850 per saham, Bukalapak mampu meraup Rp21,9 triliun. Angka tersebut terbesar sepanjang sejarah pasar modal pasar modal Indonesia, sekaligus pencatatan perdana saham pertama oleh unicorn teknologi di bursa efek di Asia Tenggara. Besar kemungkinan bila GoTo dapat melantai di BEI akan menjadi pencetak rekor berikutnya.

Kompetitor terdekat Gojek, Grab sendiri memilih untuk melantai melalui skema SPAC pada akhir tahun ini. Rencana ini sempat mundur dari target awal rampung di pertengahan tahun ini, lantaran adanya permintaan audit keuangan dari otoritas bursa setempat. Grab menargetkan valuasi hampir $40 juta sebelum melantai.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

OnlinePajak Galang Pendanaan Seri C, Sejauh Ini Kumpulkan Rp243 Miliar dari Visa, Tencent, dan Sejumlah Investor

Startup SaaS perpajakan OnlinePajak dikabarkan tengah menggalang dana Seri C. Berdasarkan data yang kami peroleh, Tencent, Altos Korea, dan Warburg Pincus telah masuk sejak Juli 2021. Terbaru, per November 2021, Visa turut andil memberikan investasi senilai $5 juta. Total dana yang sudah terkumpul di putaran ini mencapai $17 juta atau setara 243 miliar Rupiah.

Sebelumnya, perusahaan telah mengumumkan pendanaan seri B senilai $25 juta pada Oktober 2018. Pendanaan ini dipimpin Warburg Pincus, dengan dukungan Global Innovation Fund (GIF) dan Endeavor Catalyst. Investor sebelumnya seperti Alpha JWC Ventures, Sequoia India, dan Primedge turut berpartisipasi. Sementara pendanaan seri A mereka berhasil mengumpulkan dana $3,5 juta di awal 2018.

Perjalanan pendanaan OnlinePajak / DailySocial.id

Diperkirakan, dengan perolehan investasi tersebut, valuasi OnlinePajak telah mencapai $184 juta atau sekitar 2,6 triliun Rupiah. Sebelumnya OnlinePajak telah mengklaim status unicorn di sebuah kesempatan temu media. Kami sudah mencoba menghubungi pihak terkait untuk keterangan lebih lanjut, namun belum mendapatkan respons.

Layanan dan kompetisi pasar

Hadir sebagai layanan SaaS untuk bisnis, saat ini OnlinePajak menyajikan beberapa layanan yang dikemas dalam tiga  kategori produk utama: Invoice, Payroll, dan Lainnya. Di dalam sub-layanan Invoice terdapat beragam fitur seperti hitung/setor/lapor PPn dan PPh, pembuatan buku potong, faktur, validasi NPWP, dan lainnya.

Menu Payroll terkait fitur penggajian, termasuk pajak PPh 21, perhitungan gaji, dan slip gaji. Lalu di kategori Lainnya terdapat kanal untuk pembayaran, pelaporan, termasuk untuk pajak pribadi. Mereka juga mengoperasikan layanan PajakPay untuk memudahkan proses pembayaran pajak. Tersedia juga sejumlah layanan berbasis API untuk integrasi layanan dengan pihak mitra.

Sejumlah startup telah mengembangkan layanan serupa. Untuk kepengurusan perpajakan bisnis, sejauh ini ada beberapa startup yang turut bermain di segmen tersebut, di antaranya HiPajak, Pajak.io, Catapa, Fast-8, dan Mekari.

Kendati demikian, jika meninjau dari beberapa statistik, posisi OnlinePajak sebagai layanan pengelolaan pajak memang lebih tinggi dari lainnya. Berdasarkan statistik kunjungan situs, situs OnlinePajak menempati peringkat pertama di kategori Finance (Accounting and Auditing).

Perbandingan trafik situs OnlinePajak dengan Mekari / SimilarWeb

Ukuran pasar

Menurut data Fortune Business Insight, ukuran pasar perangkat lunak manajemen pajak telah mencapai $5,24 miliar pada tahun 2018 secara global. Angka tersebut diproyeksikan meningkat menjadi $11,19 miliar pada 2026 dengan CAGR 10,4%.

Pada dasarnya sifat layanan tersebut membantu bisnis atau perusahaan untuk melakukan pengelolaan pajak. Kendati demikian, seperti di Indonesia, semua proses sebenarnya bisa dilakukan secara mandiri. Bahkan di kalangan korporasi, biasanya mereka memiliki konsultan khusus yang fokus melakukan advokasi pajak.

Segmen UMKM mungkin bisa menjadi sasaran utama. Menurut data dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada tahun 2019, kontribusi PPh final UMKM baru berkisar Rp7,5 triliun, atau hanya sekitar 1,1 persen dari total penerimaan PPh secara keseluruhan di tahun yang sama sebesar Rp711,2 triliun.

Namun demikian, menurut MSME Empowerment Report 2021 yang dirilis DSInnovate, layanan pengelolaan pajak digital belum banyak diminati. Hal tersebut dikarenakan urusan perpajakan dinilai belum menjadi pain point utama mereka saat ini, dibandingkan faktor lain seperti distribusi produk, modal, dan logistik.

Layanan digital yang saat ini banyak digunakan UMKM / DSInnovate
Application Information Will Show Up Here