Gandeng Gojek, Pinhome Luncurkan Layanan “On-Demand” untuk Jasa Kebersihan

Sebagai bentuk komitmen untuk mempermudah akses dalam mendapatkan jasa kebersihan properti yang dimiliki oleh pengguna, platform proptech Pinhome menghadirkan Pinhome Home Service dan memperluas jangkauan layanannya melalui aplikasi Gojek.

Kepada DailySocial, Head of Marketing & Project Partnership Pinhome Dani Budianto mengungkapkan, Pinhome Home Service merupakan produk baru dari Pinhome yang bermitra dengan GoService dalam menawarkan layanan pembersihan, cuci mobil, hingga cuci AC untuk membantu menjaga kebersihan dan lingkungan kerja yang aman — baik di rumah atau di kantor.

“Layanan Pinhome Home Service sudah tersedia di aplikasi GoService mulai bulan Januari 2021. Namun, hingga kini Pinhome Home Service belum melakukan press realese dikarenakan ekspansi wilayah yang dapat dijangkau oleh Pinhome Home Service dilakukan secara bertahap.”

Saat ini layanan Pinhome Home Service baru terbatas di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Cara Kerja Pinhome Home Service yaitu, sebagai platform yang mempertemukan antara penyedia jasa yang kredibel dengan pengguna melalui menu GoService di aplikasi GoJek. Mengingat luasnya pengguna aplikasi GoJek, hal ini sangat memudahkan bagi Pinhome Home Service untuk dapat menghubungkan pengguna dengan penyedia jasa yang dibutuhkan.

Untuk memastikan kualitas, Pinhome mengenakan syarat yang cukup ketat dalam menerima mitra. Termasuk dilengkapi dengan sertifikasi dan pelatihan yang diberikan oleh Mitra Bisnis Pinhome. Proses pelayanan mengedepankan protokol kesehatan 4P (Pengecekan berkala, Perlengkapan pelindung, Proses aman, Pencegahan dan pengawasan) dari Pinhome Home Service serta protokol J3K dari Gojek.

Geliat layanan on-demand untuk jasa kebersihan mulai tampak kembali seiring dengan awareness masyarakat untuk menjaga kebersihan. Terbaru, KliknClean menggandeng Bukalapak untuk sediakan layanan serupa melalui aplikasi. Saat ini sudah bisa diakses pengguna di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya. Sebelumnya JD.id juga mulai masuk ke segmen bisnis ini melalui JD Life, menghadirkan kanal khusus untuk menghubungkan penyedia jasa dengan pengguna.

Menampung mantan mitra GoLife

Pinhome Home Service bekerja sama dengan Gojek melalui Third-Party Platform (3PP). Sebelumnya CEO Pinhome Dayu Dara Permata pernah menjabat sebagai Sr.VP GO-JEK, Head of Lifestyle & Commerce Product Group, dan memiliki pengalaman membangun layanan GoLife yang resmi ditutup semua layanan pada awal tahun 2020 lalu.

Layanan Pinhome Home Service hadir pertama kali pada masa pandemi Covid-19. Kehadiran Pinhome Home Service juga diharapkan dapat memberikan dampak sosial yang positif juga beriringan dengan bangkitnya perekonomian masyarakat dengan cara membantu mitra penyedia jasa bertemu dengan pengguna jasa.

“Pinhome Home Service membuka kesempatan bermitra termasuk kepada mantan mitra GoLife untuk bergabung, di mana para Rekan Jasa mitra Pinhome Home Service adalah para penyedia layanan yang ahli di bidangnya dengan pengalaman kerja yang memenuhi syarat, dilengkapi dengan sertifikasi terpercaya, dan menerima pelatihan memadai yang diberikan oleh Mitra Bisnis Pinhome Home Service,” kata Dani.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Gojek Berikan Investasi ke LinkAja

LinkAja mengumumkan perolehan investasi strategis dari Gojek dengan nominal dirahasiakan. Gojek bergabung dalam penggalangan dana melalui penerbitan saham preferen seri B. Sebelumnya pernah disebutkan, melalui putaran ini perusahaan akan mengantongi total komitmen investasi lebih dari $100 juta (lebih dari Rp1,4 triliun).

Kabar ini mengukuhkan pertama kalinya baik Grab dan Gojek berinvestasi pada satu perusahaan yang sama, notabenenya adalah bagian dari perusahaan pelat merah.

CEO LinkAja Haryati Lawidjaja menuturkan rasa senangnya atas bergabungnya Gojek sebagai pemegang saham di LinkAja. “Bergabungnya Gojek sebagai salah satu pemegang saham strategis, akan memberikan akses bagi LinkAja ke ekosistem Gojek untuk dapat mendukung misi LinkAja dalam mempercepat inklusi keuangan di Indonesia,” ucapnya dalam keterangan resmi, Selasa (9/3).

Co-CEO Gojek Andre Soelistyo menambahkan, “Misi kami untuk meningkatkan inklusi keuangan dengan memberikan akses layanan keuangan seluas-luasnya kepada masyarakat unbanked dan underbanked sejalan dengan komitmen yang dimiliki oleh LinkAja […]  Kolaborasi ini memberi kesempatan untuk menggabungkan kekuatan teknologi dan jangkauan luas dari masing-masing perusahaan.”

Sebagai bagian dari kemitraan, LinkAja akan memperluas opsi metode pembayaran untuk beberapa layanan tertentu di aplikasi Gojek. Sebelumnya, LinkAja dapat digunakan untuk membayar layanan transportasi dan reservasi tiket. Dengan demikian, para pengguna dan pelaku usaha dapat memiliki lebih banyak pilihan saat bertransaksi, sekaligus memberikan nilai tambah bagi jutaan orang yang menggunakan layanan Gojek dan LinkAja.

Kedua perusahaan akan saling melengkapi satu sama lain. LinkAja fokus pada pembayaran untuk pembelanjaan ritel, layanan publik dan layanan kebutuhan sehari-hari dengan 80% penggunanya berasal dari kota lapis dua dan tiga. Sementara Gojek melalui GoPay, melayani kebutuhan sektor ritel dan bisnis khususnya UMKM, serta layanan kebutuhan sehari-hari dalam platform Gojek.

Sebelumnya, pada 10 November 2020, LinkAja mengumumkan perolehan pendanaan seri B yang dipimpin oleh Grab. Diikuti oleh jajaran investor sebelumnya, yaitu Telkomsel, BRI Ventures, dan Mandiri Capital. Tidak disebutkan berapa valuasi LinkAja saat ini. Pendanaan ini adalah yang pertama untuk LinkAja dari perusahaan di luar BUMN.

LinkAja sendiri makin fokus perkaya fitur dari kerja sama dengan jajaran investornya. Yang teranyar adalah bersama Pegadaian untuk menyediakan layanan finansial seperti Tabungan Emas untuk pembukaan baru dan top up saldo, Cicilan Mikro, Tebus Gadai, dan Ulang Gadai.

Application Information Will Show Up Here

Berdayakan Mitra UMKM, Telkomsel dan Gojek Integrasikan GoBiz ke DigiPOS Aja

Telkomsel dan Gojek kembali berkolaborasi untuk memperluas manfaat implementasi teknologi digital untuk sektor-sektor strategis di masyarakat Indonesia. Berkat kolaborasi ini, mitra usaha Gojek yang menggunakan aplikasi GoBiz mendapatkan akses ke aplikasi DigiPOS Aja! dari Telkomsel.

Continue reading Berdayakan Mitra UMKM, Telkomsel dan Gojek Integrasikan GoBiz ke DigiPOS Aja

Kompetisi “Go Public” Raksasa Teknologi Asia Tenggara

Analis dan laporan media memproyeksikan bahwa 2021 akan menjadi tahun yang bersemangat bagi ekosistem teknologi Asia Tenggara karena raksasa teknologi di kawasan itu sedang giat mengincar penawaran umum perdana (IPO). Gebrakan itu muncul pada tahun 2020, ketika e-commerce unicorn Tokopedia dilaporkan sedang menjajaki opsi untuk listing melalui perusahaan akuisisi bertujuan khusus (SPAC) pada bulan Desember dan menunjuk Morgan Stanley dan Citigroup sebagai penasihatnya.

Tak lama kemudian, tersiar kabar bahwa Traveloka, unicorn lain yang berbasis di Indonesia, sedang mempertimbangkan IPO melalui skema yang sama. Perusahaan harus melewati turbulensi pada tahun lalu, ketika industri perjalanan dan perhotelan terhenti di seluruh dunia. Namun, di bulan Januari, CEO Traveloka, Fery Unardi, mengatakan kepada Bloomberg bahwa bisnis telah pulih dan perusahaan sedang mempertimbangkan jalur yang harus ditempuh, seperti merger SPAC untuk IPO tahun ini. Traveloka dikabarkan telah mengadakan diskusi dengan beberapa perusahaan cek kosong, termasuk perusahaan yang baru dibentuk seperti Bridgetown Holdings, yang didukung oleh Peter Thiel dan Richard Li.

Ada perkembangan yang bahkan lebih mencekam. Setelah berbulan-bulan berspekulasi, diskusi merger Grab dan Gojek — percobaan pertandingan yang dilakukan oleh Masayoshi Son dari SoftBank — gagal pada bulan Januari, dan kedua perusahaan tersebut menempuh jalur yang berbeda. Gojek dilaporkan sedang dalam pembicaraan lanjutan dengan Tokopedia untuk megamerger lain sebelum go public, sementara Grab mungkin meluncurkan IPO-nya sendiri di AS tahun ini.

Investor sering mengharapkan perusahaan portofolio untuk go public dalam jangka waktu tertentu, sehingga mereka dapat menguangkan sahamnya. Jika perusahaan portofolio tidak melakukan ini, mungkin akan dikenakan pembayaran kontraktual yang cukup besar. Misalnya, Grab akan berutang kepada Uber $2 miliar jika perusahaan yang berbasis di Singapura tersebut tidak memiliki saham yang diperdagangkan secara publik pada Maret 2023. Sementara itu, IPO yang berhasil dapat memberikan imbal hasil yang menarik bagi investor awal — dan memberikan preseden yang berarti ketika mereka mengumpulkan uang untuk fund baru. dana. Ini adalah siklus yang melahirkan dana investasi yang lebih besar dan lebih beragam yang dapat memotong cek yang lebih besar untuk para startup.

Keempat perusahaan ini — Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka — mungkin akan memperdagangkan sahamnya di New York, di mana Sea Group dari Forrest Li memimpin jalan bagi perusahaan teknologi yang berkembang pesat di Asia Tenggara. Mereka mendapat pengakuan nama di wilayah asalnya, tetapi apakah mereka dapat meyakinkan investor di AS untuk mempertahankan saham mereka?

Berlomba-lomba IPO

Para pendiri Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka semuanya telah menyatakan niatnya untuk mencapai profitabilitas sejak 2019. Tekanan meningkat tahun lalu karena pandemi — para investor mereka mengharapkan hasil. Go public memberi investor jalan keluar yang alami; Jika semua berjalan sesuai rencana, empat perusahaan teknologi Asia Tenggara akan membuka jalur uang tunai dari AS untuk mengalir ke pundi-pundi para modal ventura.

“Pasar publik telah mencerminkan keinginan yang luar biasa untuk berinvestasi di kancah teknologi Asia Tenggara, dan orang tidak perlu melihat lebih jauh dari Sea Group untuk melihat sejauh mana minat pasar dalam opsi untuk berinvestasi ke perusahaan teknologi di kawasan itu,” ujar Gabriel Li, seorang rekan dari firma hukum Singapura Withers KhattarWong.

Sebagai perusahaan teknologi yang mencakup e-commerce, video game, dan pembayaran, Sea Group adalah anak emas Asia Tenggara untuk pasar publik. Meskipun harga sahamnya datar selama lebih dari dua tahun, pemegang saham meraup 400% keuntungan di kertas di tahun 2020 saja.

Itu menambah kapitalisasi pasar sebesar $6 miliar ke Sea. Ini beberapa kali lebih banyak dari pertumbuhan Indeks Komposit NYSE pada periode yang sama, sebut Gabriel, dan dapat mendorong perusahaan teknologi lain untuk membuka garda depan persaingan baru, kali ini di pasar modal. “Perlombaan untuk tercatat kemungkinan merupakan bagian dari persaingan abadi untuk mendapatkan pangsa pasar. Ini hanyalah salah satu manifestasi terbaru mengingat, sekarang, sebagian besar akan merasa bahwa daftar akan jadi sangat bermanfaat. Dan sebagian besar akan mencoba meniru pengalaman Sea Group,” ujar Gabriel.

Saat ini, hanya ada sedikit pilihan bagi investor yang ingin memasukkan uangnya ke sektor teknologi kawasan. Menjadi salah satu firma pertama yang memperoleh simbol ticker di New York sama saja dengan memanfaatkan kesempatan yang ada. “Kelangkaan opsi kemungkinan akan mengarah pada penilaian yang lebih baik,” kata Gabriel, terutama karena perusahaan Asia Tenggara berada di radar investor Tiongkok dan Amerika sebagai opsi yang layak untuk mendiversifikasi portofolio. “Investor ini tidak hanya mencari peluang pertumbuhan investasi yang lebih tinggi di Asia Tenggara, tetapi juga mencari teknologi dan solusi yang lebih baru sebagai area pertumbuhan yang dapat meningkatkan portofolio yang ada.”

Sementara itu, Masana Takahashi, pendiri firma penasihat akuntansi dan keuangan perusahaan yang berbasis di Singapura, Jidobox, percaya bahwa minat investor pada perusahaan bergantung pada fundamental ekonomi tempat mereka beroperasi.

“Ada dua jenis investor utama — ritel dan institusional. Investor ritel boleh membeli ‘pasar Indonesia’ daripada Gojek atau Tokopedia,” kata Masana. “Mereka tahu Indonesia memiliki populasi yang besar dan ekonomi yang berkembang, yang membuat mereka tertarik untuk membeli saham teknologi Indonesia. Investor institusional membangun portofolio untuk melindungi nilai risiko, sehingga mereka akan memilih perusahaan yang memainkan peran penting dalam perekonomian negara mereka. ”

Takahashi berpendapat bahwa investasi di Indonesia atau perusahaan Asia Tenggara akan menjadi pelengkap bagi sebagian besar investor. “Investor tidak membutuhkan banyak unicorn di Asia Tenggara. Mereka hanya perlu merasakan sebagian dari pertumbuhan ekonomi kawasan. Misalnya, menurut saya orang Amerika tidak akan berinvestasi di Grab sebanyak yang mereka investasikan di Apple, karena mereka tidak familiar dengan perusahaannya.”

Seperti Gabriel Li, Masana setuju bahwa perusahaan yang melakukan IPO pertama di antara keempatnya akan dinilai dengan valuasi yang lebih tinggi.

Mampukah perusahaan teknologi Asia Tenggara mencapai bursa Tiongkok?

Banyak investor institusional menikmati keuntungan luar biasa melalui kesuksesan perusahaan Tiongkok di pasar saham AS. Namun, kebuntuan geopolitik antara AS dan Tiongkok telah meninggalkan tanda tanya atas masa depan perusahaan Tiongkok yang terdaftar di New York. Ketegangan ini bahkan mungkin menghalangi perusahaan baru untuk mendaftar di bursa saham Amerika, menurut GlobalData, sebuah perusahaan analitik. Faktanya, sejumlah perusahaan Tiongkok sedang mempertimbangkan secondary listings yang lebih lokal di Hong Kong.

Itulah mengapa perusahaan-perusahaan dari Asia Tenggara mungkin menarik bagi investor di AS. Wilayah ini diakui sebagai ekonomi terbesar keempat di dunia. Ini adalah rumah bagi populasi muda yang merasa nyaman dengan alat teknologi baru yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan, Asia Tenggara memiliki 400 juta orang yang bergerak online, dan jumlah itu akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang. Ini berarti potensi pertumbuhan yang luar biasa mungkin diambil oleh investor asing, menurut Gabriel. “Masuknya dana ke Asia Tenggara mungkin terus meningkat karena semakin mendapat pengakuan sebagai pasar berkembang.”

Bagaimanapun, fragmentasi pasar di Asia Tenggara dapat menimbulkan tantangan, dan fundamental ekonomi regional tidak sekokoh Tiongkok, sehingga tidak mungkin perusahaan teknologi Asia Tenggara melihat keriuhan yang sama di pasar saham layaknya beberapa perusahaan Tiongkok, ujar Masana. “Tiongkok sudah memiliki sekitar 300 juta masyarakat kelas menengah ke atas, sehingga memiliki daya beli negara maju. Ini perbedaan yang signifikan dari Asia Tenggara,” ujarnya.

Meskipun raksasa teknologi Asia Tenggara mungkin memiliki rencana bisnis jangka panjang yang menjanjikan, harga saham mereka mungkin akan tetap stagnan atau bahkan turun setelah debut mereka, seperti halnya Sea Group.

“Jika keuangan mereka tidak menarik, mereka tidak akan bisa menarik investor. Mayoritas investor di pasar saham AS tidak mengenal Asia Tenggara dan Anda mungkin tidak ingin berinvestasi di aset yang tidak Anda ketahui,” sebut Masana. “Kecuali raksasa teknologi ini dapat membuktikan bahwa mereka akan tumbuh pesat seperti Sea Group, tidak ada yang akan memperhatikan perusahaan yang merugi di negara yang asing dan jauh.”

The US Stock Exchange- Photo by Aditya Vyas on Unsplash
Bursa Efek AS mungkin akan segera menjadi rumah bagi simbol ticker dari lebih banyak raksasa teknologi di Asia Tenggara. Foto oleh Aditya Vyas dari Unsplash

Kapten yang gigih

Salah satu investor besar telah menjadi pendorong konstan dalam perjalanan membawa perusahaan teknologi Asia Tenggara dari swasta ke publik. Masayoshi Son dari SoftBank berusaha mengatur monopoli dengan menggabungkan Grab dan Gojek, dan dia dilaporkan telah memberikan restunya kepada potensi merger Gojek dan Tokopedia.

Mungkin tahun 2020 — dengan pandemi, perjalanan liar di pasar saham, dan pergeseran signifikan dalam cara kita berinteraksi satu sama lain — telah memberi SoftBank dosis chutzpah. Hal itu berubah dari menderita kerugian besar pada awal tahun 2020 menjadi meraup keuntungan kertas yang sangat besar menjelang akhir tahun. Banyak valuasi perusahaan portofolionya yang telah melonjak.

“Banyak kesuksesan SoftBank di kuartal terakhir bermuara pada Visinya — pun intended. Kemampuan Masayoshi Son untuk berinvestasi secara agresif dalam teknologi yang akan mengubah pasar telah terbayar dengan baik, dan saya pikir kenaikan mereka akan terus berlanjut karena lebih banyak perusahaan portofolio SoftBank memutuskan untuk tercatat,” kata Gabriel.

Secara ambisius, SoftBank dilaporkan sedang mempersiapkan setidaknya enam lagi dari perusahaan portofolionya untuk go public tahun ini. Salah satunya adalah Tokopedia. Analis memproyeksikan IPO ini akan memberikan SoftBank lebih banyak putaran kemenangan setelah penawaran DoorDash dan KE Holdings (Beike) tahun lalu. Selain itu, gerakan Son sulit dibaca oleh orang luar.

“SoftBank secara tradisional dan teratur mengejutkan seluruh pasar dan analis dengan gerakan yang sangat kontroversial dan terbukti sukses. Karena itu, kami tau faktanya bahwa menimbun uang tidak ada dalam DNA Softbank dan ini akan menjadi berita yang menarik untuk diikuti,” tambah Gabriel.

Salah satu perusahaan cek kosong Softbank, SVF Investment Corp, mengumpulkan USD525 juta di bulan Januari. Bulan lalu, konglomerat Jepang mengajukan dua SPAC lagi, yang diberi nama SVF Investment Corp 2 dan SVF Investment Corp 3, yang bertujuan untuk mengumpulkan lebih dari USD 632 juta setelah penjatahan berlebih. Target merger mereka berada di sektor yang mendukung teknologi seperti teknologi komunikasi seluler, kecerdasan buatan, robotika, dan teknologi cloud, menurut laporannya. Itu cukup untuk menjelaskan perusahaan teknologi mana pun di planet ini, tetapi akan adil untuk menunjuk ke perusahaan yang telah menerima cek dari Dana Visi SoftBank.

Untuk saat ini, belum jelas kapan Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka akan meraih simbol ticker — atau bahkan yang lebih dulu. Tetapi satu kepastian adalah bahwa go public berarti perusahaan-perusahaan ini akan menghadapi pengawasan dari regulator serta publik, jadi mereka harus menunjukkan nilai mereka dan mempertahankan bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan. IPO mereka akan menjadi terobosan besar bagi kancah teknologi Asia Tenggara. Pertanyaannya adalah: Setelah Sea Group, siapa yang akan menjadi peruntungan baru unicorn ini?


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Diferensiasi Layanan yang Coba Disuguhkan Gopay Paylater

Memasuki tahun ketiga, Findaya (PT Mapan Global Reksa) pengembang dari layanan Gopay Paylater pada pekan lalu merilis fitur “Pick Your Limit” untuk menjawab kebutuhan pengguna dalam pengelolaan keuangan yang berbeda-beda setiap bulannya. Diklaim inovasi ini pertama kalinya hadir di ekosistem fintech Indonesia.

“Kami ingin memenuhi kebutuhan pengguna Gopay Paylater yang berbeda-beda dan ingin memiliki kendali sepenuhnya atas keuangan mereka melalui inovasi Pick Your Limit. Hal ini sesuai dengan komitmen kami untuk menjadikan paylater sebagai teman terpercaya masyarakat Indonesia dalam mengatur keuangan,” ucap Head of Growth Gopay Paylater Neni Veronica dalam keterangan resmi.

Secara terpisah dalam wawancara bersama DailySocial, Neni menjelaskan, pengguna memiliki kendali penuh menentukan limit Gopay Paylater mulai dari kelipatan Rp100 ribu di bawah limit awal yang dimiliki pengguna. Sebagai ilustrasi, jika seorang pengguna memiliki limit sebesar Rp500 ribu, maka dengan Pick Your Limit, ia dapat menentukan limit di bawahnya dengan kelipatan seperti Rp400 ribu, Rp300 ribu, sampai Rp100 ribu.

DailySocial turut menanyakan limit maksimal yang diberikan, namun tidak ditanggapi oleh Neni. Dari pantauan kami, mulai dari Rp500 ribu sampai Rp1,25 juta.

Selama ini Gopay Paylater tidak menetapkan bunga untuk setiap pemakaian limit, melainkan menggunakan satu biaya layanan yang tetap setiap bulannya. Adapun biaya layanan ini nominalnya tergantung seberapa sering pengguna menggunakan layanan tersebut, bila semakin sering maka akan semakin murah biayanya.

Ambil contoh, DailySocial memantau dengan limit Rp750 ribu, biaya yang dikutip adalah Rp25 ribu. Sementara dengan limit di bawahnya, misalnya Rp100 ribu biaya layanan jauh lebih murah sebesar Rp7.500, Rp200 ribu dikenakan biaya Rp10 ribu, dan seterusnya.

Neni melanjutkan, penggunaan layanan Gopay Paylater sudah diperluas, tidak hanya dapat digunakan untuk seluruh transaksi di aplikasi Gojek dan merchant offline afiliasinya. Kini limit dapat digunakan untuk membayar di mitra e-commerce seperti Blibli, JD.id, Zalora, dan lainnya.

Diungkapkan pada tahun lalu pertumbuhan transaksi dengan menggunakan Gopay Paylater naik hingga 3,3 kali lipat. Transaksi terbesarnya dikontribusikan dari pembelian makanan melalui GoFood dan membayar berbagai tagihan di GoBills.

“Gopay Paylater menjadi salah satu layanan yang paling digemari pengguna, terbukti dengan peningkatan transaksi sampai dengan 3,3 kali lipat sepanjang tahun 2020 dengan NPL di bawah industri.”

Tren layanan paylater di Indonesia

Tak hanya Indonesia, tren paylater ini juga menjamur di Singapura. Di sana, lebih familiar dengan memakai istilah Buy Now Pay Later (BNPL). Menurut data Fintech Report 2019 yang dirilis DSResearch, paylater (56,7%) jadi layanan favorit peringkat ketiga setelah dompet digital (82,7%) dan aplikasi investasi (62,4%).

Ada dua faktor utama yang membuat penetrasi layanan paylater makin tinggi. Pertama, tren pertumbuhan konsumen e-commerce Indonesia dari tahun ke tahun. Menurut laporan McKinsey, industri e-commerce di Indonesia diproyeksikan bernilai $40 miliar di tahun 2022 mendatang. Sementara per tahun 2019, nilai kapitalisasi pasar bisnis dagang online itu sudah menyentuh $21 miliar atau setara 294 triliun Rupiah. Hal ini diperkuat temuan WeAreSocial yang menyebutkan 90% pengguna internet di Indonesia pernah berbelanja online.

Faktor kedua terkait rendahnya kepemilikan kartu kredit dari perbankan. Menurut data Bank Indonesia, per Februari 2020 tercatat 17,61 juta kartu kredit yang beredar. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan total populasi. Kartu kredit memang cenderung tidak mudah didapatkan, karena persyaratan yang lebih sulit dipenuhi kebanyakan masyarakat.

Application Information Will Show Up Here

Same Day Delivery Gets Hyped, Logistics Competition Went Tight

The growth of the logistics market in Indonesia is predicted to get better in 2021. This has taken into account the current situation in Indonesia as the implementation of social restriction policies in some areas.

Indonesian Logistics Association’s (ALI) Chairman, Zaldy Ilham Masita revealed several predictions and trends in logistics to occur in Indonesia this year. First, he observed that logistics service players had started to adapt during the pandemic. This is visible as the emerging new services and collaboration between startups and large logistics companies, especially to accommodate the needs of instant courier services (on-demand).

“In the fourth quarter of 2020, logistics will get more popular due to increasing public spending. In the first quarter of 2021, it is a bit worrying as the implementation of social restrictions. However, we are optimistic because during the last six months, [logistics players] have been trained to adapt. We predict that the logistics peak [increase] will occur in the third and fourth quarters of 2021 as more people get vaccinated,” he said in recent contact with DailySocial.

According to Ken Research‘s report, Indonesia’s logistics market is estimated to reach $200.3 billion with a CAGR of 7.9% in 2024. This value includes goods transportation, freight forwarding, warehouse, express and parcel (CEP) and cold chain logistics businesses.

Second, he estimates that the increase in the logistics business this year will be boosted by the same day delivery service. With the current situation, he estimates that this trend can spur logistics industry players to evaluate whether the current duration of same day delivery times has met customer expectations and is business competitive.

Zaldy, who is also the President Director of Paxel, even admitted that he would consider the findings. Moreover, Paxel, which is a technology-based logistics delivery service platform startup, started a same-day delivery service with a duration of up to 10 hours.

Service

Ja(bo)detabek rate

Duration

GoSend Rp,.815/km (0-6km), Rp 18,000 (6-15km), Rp1,200/km (>15km) Up to 4hrs since the pick-up
Grab Express Start from Rp15.000 (0-5km) Up to 6hrs (motorcycle) since the pick-up
Paxel Flat s/d 5kg Rp8.000 (dalam kota), Rp15.000 (luar kota) 6-8hrs (within city), 10-12hrs (inter-city)
MrSpeedy Rp8.000 for the first 4km Up to 90 menit

Source: Official website of Gojek, Grab, Paxel, MrSpeedy / Organized by DailySocial

“Currently, Same day delivery within the city is only 2 hours. Over the last few years, customer expectations have increased significantly. [Paxel] is even evaluating whether the same delivery with a duration of 8-10 hours can compete. In addition, there is something more extreme at a lower cost. It means that the industry needs more innovation,” he added.

Same day delivery trend is driven by food delivery

Referring to the report The 2nd Series Industry Roundtable: Logistics Industry Perspective released by MarkPlus Inc in October 2020, the frequency of courier services increased rapidly during the pandemic. This increase was triggered by a number of main factors, including online shopping activities, prices, and delivery times.

Sumber: MarkPlus Inc / Diolah kembali oleh DailySocial
Source: MarkPlus Inc / Organized by DailySocial

In addition, same day delivery services are expected to get rapidly increased after the pandemic (67.2%) compared to regular delivery services (78.7%) even it has a larger portion. The research was done with 122 respondents from the Greater Jakarta area (59.8%) and non-Jabodetabek (40.2%).

Then, respondents have a main expectation for the delivery of services on time (36.7%) and logistics service providers are considered to need to improve pick-up services in the future.

Sumber: MarkPlus Inc / Diolah kembali oleh DailySocial
Source: MarkPlus Inc / Organized by DailySocial

Third, in Zaldy’s observations, the B2B logistics market is getting decrease due to the shifting of shopping behavior from offline to online. The effort is getting stronger as the pandemic and increasing customer expectations are considered increasingly extreme. He estimates that the composition of the logistics business in the B2C segment will increase from 10% to 25% this year.

Fourth, this year is also a proving ground to see which logistics business models are successful and which are not. New business models may emerge because many new markets are yet to open, such as food delivery services,” Zaldy explained.

Several giant startups, such as Gojek (GoFood), Bukalapak (BukaFood), and Shopee (ShopeeFood) are started to tighten its position in the market segment. The large logistics company SiCepat also acquired 51% shares in the DigiResto food delivery platform to boost revenue contribution from the food delivery market in Indonesia.

Quoting Momentum Works’ research, GMV food delivery services experienced accelerated growth during the pandemic. The report noted the GMV of food delivery services in six countries in Southeast Asia reached $11.9 billion in 2020.

In terms of the Indonesian market, the number has reached $3.7 billion or equivalent to Rp52 trillion, dominated by two big players, Grab and Gojek, with a share of 53% and 47% of the total market share, respectively.

Challenges for legacy logistics

Fifth, Zaldy continued, he said that older conventional logistics companies would find it difficult to catch up with future trends. This is because it is not easy for companies to transform or build infrastructure in a short time. The key is in collaboration.

At least, throughout 2020, there will be many collaborations between startups and corporations. For example, Ninja Xpress partners with Grab and Gojek partners with Paxel. The partnership was due to strengthening inter-city freight forwarding services (intercity).

According to Zaldy, the pandemic is an eye-opening experience, therefore, conventional logistics companies are willing to collaborate. “Many conventional legacy companies find it difficult to catch up with business as customer expectations getting higher now. We see some conventional companies, their service may be threatened by the same-day delivery,” Zaldy said.

In fact, he also saw an emerging new trend due to the pandemic, non-logistics companies entering the logistics sector. Blue Bird is one of which that executed this idea.

The company has made maneuvers in logistics since the second quarter of 2020, powered by the fleets. Blue Bird has started to expand its logistics services by partnering with Paxel for large package shipments with a same-day delivery service.

“We are using the existing fleet for cost-efficient. In essence, we want to contribute to logistics services during a pandemic, regarding hygiene in particular, we apply protocols according to our standards,” Blue Bird’s Chief Strategy Officer, Paul Soegianto said to DailySocial.

Zaldy also gave an example of how this will be a challenge to PT Pos Indonesia. He said the infrastructure is no longer possible to catch up with logistics service providers, SiCepat, for example.

“However, [models such as] PT Pos Indonesia can take advantage of infrastructure from other platforms, such as Anteraja. This means that the first and middle miles can collaborate with each other, while the competition is in the last mile,” he added.

Gojek and Tokopedia’s Merger to affect logistics industry

Sixth, he estimates that the plan of Gojek and Tokopedia’s merger can have a big impact on the Indonesian logistics industry. Also, he added, conventional logistics companies will be significantly affected.

“The merger of the two will struck the legacy companies. Why? It’s hard to get legacy companies to change their business models, especially those that already have thousands of courier fleets and hubs. Unless they have good IT systems or technology, this will be difficult. Blue Bird is an example of a legacy company with a ready system. The question is have they done the ‘homework’?” Zaldy said.

In a separate article, DailySocial Founder and CEO Rama Mamuaya said that the merger of the two can have a big impact on consumers and the industry. Rama said, cross-breeding of complementary products would be fantastic for consumers. Moreover, both of those have integrated e-commerce, transportation, and financial infrastructure in one application.

“Today, we have same-day delivery which works most of the time. The integration between Gojek and Tokopedia can produce something even better, Amazon Prime-style instant same-hour delivery, helping push e-commerce transaction and customer satisfaction even more while increasing driver utilization rate making it more economical as a business,” he explained.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kolaborasi dengan Allstars, Mitra Gojek Peroleh Akses Pemasaran Lewat Influencer

Gojek mengumumkan kerja sama dengan platform marketing influencer Allstars untuk permudah mitra UMKM Gojek terhubung dengan influencer melakukan kegiatan pemasaran. Selama ini dengan dana terbatas, seringkali mitra UMKM hanya mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut dan terus menjaga kredibilitas produk.

VP Commercial Solutions and Operations Gojek Vincent Bachtiar menjelaskan, kedua perusahaan memiliki kesamaan visi untuk memfasilitasi sebanyak-banyaknya UMKM dapat naik kelas. “Kami berharap dengan kerja sama ini para pelaku UMKM dapat menjangkau lebih banyak konsumen, memperluas pangsa pasar, dan lebih memiliki daya saing dalam pertumbuhan ekonomi digital dewasa ini,” ucapnya dalam konferensi pers virtual, Senin (15/2).

Business Director Allstars Alex Wijaya melanjutkan, pemanfaatan influencer marketing sangat efektif dalam mempromosikan brand maupun produk dan layanan. Namun, para UMKM seringkali menemukan tantangan karena keterbatasan jejaring mereka di ranah media sosial untuk dapat menerapkan strategi influencer marketing yang efektif.

Sumber: Gojek
Sumber: Gojek

Belum lagi akses mereka yang minim untuk berkolaborasi dengan para influencer, serta biaya kampanye digital yang tinggi. Dengan platform Allstars, kini brand dapat menemukan influencer yang memiliki dampak positif bagi bisnis. Ada analitik yang dapat dipantau brand untuk mempelajari langsung pencapaian target hingga performa engagement per post.

Allstars hadir menyediakan platform untuk menghubungkan brand dengan influencer untuk keperluan promosi di media sosial. Tidak hanya menguntungkan brand, influencer pun sebetulnya juga perlu dijembatani, terlebih bagi mereka yang baru beralih profesi. “Main target kami adalah UMKM karena brand besar biasanya enggak kesulitan saat marketing mereka bisa rekrut agensi, tapi UMKM itu susah,” kata dia.

Di dalam platform, brand dapat mengisi jenis kampanye yang diinginkan dengan memilih kategori influencer, lokasi, jumlah minimal followers, jenis kelamin dan usia, platform media sosial yang diinginkan, jumlah post dan harga yang diinginkan, hingga isi brief dari kampanye seperti timeline periode kampanye.

Lewat kolaborasi dengan Gojek, seluruh akses tersebut dapat diakses melalui aplikasi super apps khusus mitra yakni GoBiz. Otomatis, e-money milik Gojek, GoPay juga dapat dimanfaatkan sebagai alternatif metode pembayaran, selain bank transfer dan kartu kredit/debit.

“Prosesnya semua dipermudah. Di dalam platform sudah ada pricing influencer dan payment-nya kita jaga karena kami ingin semua pihak merasa aman. Security itu sesuatu yang paling kita titikberatkan.”

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa startup baik dari dalam maupun luar negeri yang jajakan layanan serupa untuk mengakomodasi kebutuhan pemasaran lewat influencer. Beberapa di antaranya Hiip, Partipost, AnyMind, Verikool, Raena, IconReel, dan lain-lain.

Allstars sendiri didirikan pada akhir 2019. Kini sudah menghubungkan lebih dari 7 ribu brand dan 120 ribu influencer, sukses mengerjakan lebih dari 4 ribuan kampanye. Perusahaan membagi kategori influencer berdasarkan jumlah pengikut yang mereka miliki. Mulai dari nano dengan 1.000 – 10.000 pengikut, mikro dengan 10.000 – 100.000 pengikut, makro dengan 100.000 – 1 juta pengikut, dan mega/top tier dengan lebih dari 1 juta pengikut.

Dalam kiprahnya, Alex menuturkan perusahaan mampu mendukung para UMKM dalam memperkenalkan dan mengangkat kredibilitas merek, produk dan layanan, dari berbagai jenis sektor, seperti makanan dan minuman, kecantikan dan mode, kesehatan dan well being, gaya hidup, travel, game dan teknologi, keluarga, hiburan, serta olahraga dan kebugaran.

Sejak kolaborasi pertama dengan Gojek diumumkan pada akhir Januari 2020, diklaim ada ribuan mitra UMKM yang bergabung. Diharapkan ke depannya akan semakin banyak bergabung, terlebih mitra UMKM di Gojek diklaim jumlahnya sudah lebih dari ratusan ribu.

“Kebanyakan mitra yang gabung hampir separuhnya berlokasi di Jawa. Kebanyakan dari mereka memanfaatkan platform Instagram, lalu TikTok untuk kegiatan pemasaran dari influencer di Allstars,” pungkas Vincent.

Collaboration of Startup and Digital Bank to Ramp up Innovation and Financial Inclusion

There was a time when corporations saw startups as a challenge. However, as years passed by, this assumption is getting hazier when the two parties are now collaborating with each other, to complete each other out in winning the market.

In the banking sector, a new phenomenon has occurred, that large startups have started to invest and become majority shareholders in banks that have just transformed into digital banks. For example, Akulaku joined Bank Neo Commerce (BNC), then Gojek invested in Bank Jago, and Sea Group, Shopee’s holding company, which reportedly entered the Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Currently, Akulaku, through PT Akulaku Silvrr Indonesia, is trying to extend ownership in BNC through the rights issue scheme. Therefore, Akulaku’s ownership is to increase from 24.98% to 27.25%. Akulaku has been a shareholder of BNC since 2019.

Moreover, in mid-December 2020, Gojek Group through its subsidiary GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) has invested into Bank Jago in the form of  22% equity at the end of 2020.

Meanwhile, there has not been any confirmation regarding the involvement of Sea Group in BKE. However, there is already strong evidence based on information from the recruitment website which says there is a new placement at “Sea Money-Bank BKE”.

Overseas, the dynamics of digital banks are escalated quickly. For instance, the Monetary Authority of Singapore (MAS) has issued digital bank operating licenses to four corporate groups. The four companies receiving these licenses are (1) Ant Group, a subsidiary of Alibaba Group, (2) the Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel) consortium, (3) the parent Sea Group of Shopee, and (4) a consortium consisting of companies from China, including Greenland Financial Holdings.

Thus, what is the meaning of this synergy between startups and digital banks? How can the synergy between the two be mutually beneficial without breaking the existing rules? The banking sector is a highly regulated sector with high-risk management when it comes to product and service development.

Strong capital and innovation development

Although the terminology for digital banking and the supporting regulations is still unclear, the sign for digital banks has occurred when BTPN launched Jenius. This step was followed by DBS through Digibank. It’s just that Jenius and Digibank are not quite legitimate as digital banks as their business processes are still under the owner’s company.

Therefore, digital banks such as Bank Jago and BNC are experiencing a massive transformation by changing faces and new branding in order to strengthen their position as a digital bank. Bank Jago is a new identity (previously Bank Artos), while BNC was previously named Bank Yudha Bhakti (BYB).

Bank Jago changed the name in June 2020 following its acquisition by a group of investors led by Jerry Ng and Patrick Waluyo through PT Metamorfosis Indonesia (MEI) and Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng is the former President Director of BTPN for a decade and also the person behind the development of Jenius, while Patrick Waluyo is the Co-Founder of Northstar Group, one of the former BTPN owners.

Next, Akulaku became a shareholder in BNC for the first time in March 2019 with 8.9% ownership of the current controlling shareholder, PT Gozco Capital. This fintech platform continues to increase its share ownership to become the controlling shareholder.

In previous reports, Bank Yudha Bhakti’s President Director, Tjandra Gunawan emphasized that his team is transferring the entire work process and business model from a conventional bank to digital, including the existence of branch offices with limited numbers.

In developing internal human resources, BNC recruited many talents in the technology sector, assisted by the collaboration of two giant technology companies, namely Huawei and Sunline.

In recent contact with DailySocial, Gunawan highlighted that BNC is trying to come up with a different positioning through its collaboration with Akulaku. It will target the retail and MSME segments through a number of digital banking products.

“Akulaku as one of the shareholders in BNC is a fintech company that focuses on e-commerce, B2B financing, and other digital financings, therefore, BNC and Akulaku is to combine market segments in the future,” said Tjandra.

Meanwhile, it is still unclear why Sea Group entered through BKE. If it is true, it is possible that BKE will have the same fate as the two banks mentioned above, coming with a new identity. It seems difficult to move forward without a new identity for legacy companies looking to undertake a major transformation.

Product development and integration to the ecosystem

The involvement of Gojek, Akulaku, and Shopee (Sea Group) has the same common thread, namely efforts to integrate innovation into a digital service ecosystem for people who are yet to be exposed to banking services.

Banks are a business of trust, while digital platforms have the strength in technological innovation. In this case, banks can push financial services into a broader platform services ecosystem with a large customer base.

Gojek already has an A to Z service ecosystem. Likewise, Shopee, according to iPrice data, is the e-commerce with the largest monthly visitors in Indonesia in the first quarter of 2020. Meanwhile, Akulaku is targeting a comprehensive financial ecosystem, from marketplaces, P2P lending, to financing.

Quoting KrAsia, Akulaku’s CEO, William Li said that the potential of digital banking in Southeast Asia is enormous. “There are 400 million workers, but only 5% -10% are using digital banking services. That means, we have 300 million potential customers,” Li said. He thought, if Akulaku can work on around 5% -10% of the market share, the company could potentially reap greater achievements.

In terms of technology, Tjandra also said that his team would optimize technology development and digitization of the loan origination system and online financing related to granting approval and lending. In the future, this coordination and integration can become a pilot ecosystem that can be replicated to other marketplaces.

In addition, BNC will develop open banking in the payment system through the formulation of Open API Standards, therefore, the transaction and identification process will be more seamless. “This is a piloting project of the digital product on Akulaku platform as well as the use of the BNC Virtual Account to make it easier for customers to make payments,” Gunawan added.

Platform Category Service Ecosystem User/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 million (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 million (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 million (2020)

Meanwhile, Gojek’s Chief Corporate Affairs, Nila Marita revealed that Gojek and Bank Jago are currently preparing a synergy for digital banking services. This is in line with the company’s efforts to increase financial inclusion at all levels of society.

Based on reports from Google, Temasek, and Bain & Company, as many as 52% or around 95 million adults in Indonesia do not have bank accounts and more than 47 million adults do not have adequate access to credit, investment, and insurance. On the other hand, smartphone penetration in Indonesia has reached up to 70% -80%. This indicates that the Indonesian people are ready to accept digital banking services.

“The number is quite large of people who do not have a bank account in Indonesia. Therefore, Gojek and Bank Jago will provide digital banking services on the Gojek platform to facilitate access to financial services,” she told DailySocial.

Referring to this, collaboration between startups and digital banks can encourage penetration of financial inclusion. One use case is that the digital platform can be a front-end channel for opening an online account. This is what Gojek and Bank Jago are currently preparing as their initial synergy plan. A number of banks in Indonesia have implemented a similar concept, such as opening a BRI online account on the Grab platform.

By utilizing the platform as an entry point, the public can be exposed to the integrated platform service ecosystem. Bank Jago can take advantage of the Gojek service ecosystem to increase its service penetration, as well as BNC-Akulaku and Sea Group-BKE. This means that the government’s efforts to encourage financial inclusion at all levels of society can be realized more quickly.

The next step is technology transfer. This is an expensive price to pay to leverage the technological innovations that have been built by Gojek, Shopee, and Akulaku. It will be free to develop innovations than to work together without investment commitments.

However, considering the current regulations have not accommodated digital banks, financial innovation players are still waiting and wondering about the limitations and potentials for future business development.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kolaborasi Startup dan Bank Digital untuk Memperkuat Inovasi dan Inklusi Keuangan

Ada masa di mana korporasi sempat menganggap eksistensi startup sebagai sebuah tantangan. Namun, dari tahun ke tahun, anggapan ini makin kabur tatkala kedua pihak kini saling berkolaborasi, mengisi satu sama lain untuk memenangkan pasar.

Di sektor perbankan, fenomena baru yang terjadi adalah startup besar mulai berinvestasi dan menjadi pemegang saham mayoritas di bank-bank yang baru bertransformasi menjadi bank digital. Misalnya, Akulaku masuk ke Bank Neo Commerce (BNC), lalu Gojek berinvestasi ke Bank Jago, dan Sea Group, induk usaha Shopee, yang kabarnya masuk ke Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Saat ini Akulaku, melalui PT Akulaku Silvrr Indonesia, tengah berupaya meningkatkan kepemilikan sahamnya di BNC lewat skema right issue. Dengan aksi ini, kepemilikan Akulaku bakal naik dari 24,98% menjadi 27,25%. Adapun Akulaku telah masuk menjadi pemegang saham BNC sejak 2019.

Kemudian, pada pertengahan Desember 2020, Gojek Group melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) menyuntikkan investasi ke Bank Jago berupa penyertaan saham sebesar 22% pada akhir 2020.

Sementara itu, belum ada konfirmasi apapun mengenai keterlibatan Sea Group di BKE. Namun, sudah ada bukti kuat berdasarkan informasi dari laman perekrutan yang menyebutkan ada penempatan baru di “Sea Money-Bank BKE”.

Di luar negeri, dinamika bank digital sudah berjalan cepat. Ambil contoh, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) telah menerbitkan izin operasi bank digital kepada empat kelompok perusahaan. Keempat perusahaan penerima lisensi ini adalah (1) Ant Group anak usaha Alibaba Group, (2) konsorsium Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel), (3) Sea Group induk dari Shopee, dan (4) konsorsium yang terdiri dari perusahaan asal Tiongkok, termasuk Greenland Financial Holdings.

Lalu, apa arti dari sinergi antara startup dan bank digital ini? Bagaimana sinergi keduanya bisa saling menguntungkan tanpa menerobos aturan yang ada? Sektor perbankan adalah high regulated sector yang memiliki manajemen risiko tinggi jika bicara pengembangan produk dan layanan.

Permodalan kuat dan pengembangan inovasi

Meski belum jelas terminologi bank digital dan regulasi yang mendukung, cikal bakal menuju bank digital sebetulnya sudah muncul ketika BTPN meluncurkan Jenius. Langkah ini kemudian diikuti DBS melalui Digibank. Hanya saja, Jenius dan Digibank belum sahih dikatakan sebagai bank digital karena proses bisnisnya masih berada di atap perusahaan empunya.

Untuk itu bank-bank digital seperti Bank Jago dan BNC melakukan transformasi besar-besaran dengan berganti wajah dan branding baru demi mengokohkan posisinya sebagai bank digital. Bank Jago adalah identitas baru dari nama sebelumnya Bank Artos, sedangkan BNC sebelumnya bernama Bank Yudha Bhakti (BYB).

Pergantian nama Bank Jago pada Juni 2020 menyusul aksi akuisisinya oleh grup investor yang dipimpin Jerry Ng dan Patrick Waluyo lewat PT Metamorfosis Indonesia (MEI) dan Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng adalah eks Direktur Utama BTPN selama satu dekade yang juga orang di balik pengembangan inovasi Jenius, sedangkan Patrick Waluyo merupakan Co-Founder Northstar Group, salah satu mantan pemilik BTPN.

Kemudian, Akulaku masuk menjadi pemegang saham di BNC pertama kali pada Maret 2019 dengan kepemilikan 8,9% dari pemegang saham pengendali saat itu PT Gozco Capital. Platform fintech ini terus menambah kepemilikan sahamnya untuk menjadi pemegang saham pengendali.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan telah menegaskan bahwa pihaknya mengalihkan keseluruhan proses kerja dan model bisnis sebagai bank konvensional menjadi digital, tak terkecuali keberadaan kantor cabang yang jumlahnya bakal dibatasi.

Untuk memperkuat SDM di internal, BNC bahkan merekrut banyak talent di bidang teknologi dan turut dibantu kerja sama oleh dua perusahaan teknologi raksasa, yakni Huawei dan Sunline.

Dihubungi DailySocial baru-baru ini, Tjandra kembali menegaskan bahwa BNC berupaya hadir dengan positioning yang berbeda melalui kolaborasinya dengan Akulaku. Pihaknya akan menyasar segmen ritel dan UMKM melalui sejumlah produk digital banking.

“Akulaku sebagai salah satu pemegang saham di BNC adalah perusahaan fintech yang berfokus pada e-commerce, financing B2B, dan pembiayaan digital lainnya, sehingga ke depannya BNC dan Akulaku akan melakukan kombinasi segmen pasar,” ujar Tjandra.

Sementara itu, belum diketahui alasan Sea Group masuk melalui BKE. Jika ini benar, bisa jadi BKE akan bernasib sama seperti dua contoh bank di atas, yakni hadir dengan identitas baru. Tampaknya, akan sulit untuk maju tanpa identitas baru bagi perusahaan legacy yang ingin melakukan transformasi besar-besaran.

Pengembangan produk dan integrasi ke ekosistem layanan

Keterlibatan Gojek, Akulaku, dan Shopee (Sea Group) memiliki benang merah yang sama, yakni upaya untuk memadukan inovasi terhadap ekosistem layanan digital bagi masyarakat yang masih banyak belum terpapar layanan perbankan.

Bank merupakan bisnis kepercayaan, sedangkan platform digital memiliki kekuatan pada inovasi teknologi. Dalam hal ini, bank bisa mendorong layanan keuangan masuk ke dalam ekosistem layanan platform yang lebih luas dengan basis pelanggan besar.

Gojek telah memiliki ekosistem layanan dari A sampai Z. Demikian juga Shopee yang menurut data iPrice merupakan e-commerce dengan pengunjung bulanan terbesar di Indonesia pada kuartal pertama 2020. Sementara Akulaku membidik ekosistem keuangan yang komprehensif, mulai dari marketplace, P2P lending, hingga pembiayaan.

Mengutip KrAsia, CEO Akulaku William Li mengatakan bahwa potensi perbankan digital di Asia Tenggara sangat besar. “Kami melihat ada 400 juta pekerja, tetapi hanya 5%-10% yang menggunakan layanan perbankan digital. Artinya, kami punya 300 juta pelanggan potensial,” tutur Li. Menurutnya, apabila Akulaku dapat menggarap sekitar 5%-10% dari pangsa pasar tersebut, perusahaan dapat berpotensi meraup pencapaian yang lebih besar.

Dari sisi teknologi, Tjandra juga menyebutkan bahwa pihaknya akan mengoptimalkan pengemba ngan teknologi dan digitalisasi loan origination system dan online financing terkait pemberian persetujuan dan penyaluran kredit. Ke depannya, kordinasi dan integrasi ini dapat menjadi percontohan ekosistem yang bisa direplikasi ke marketplace lain.

Selain itu, BNC akan mengembangkan open banking di sistem pembayaran melalui perumusan Standar Open API sehingga proses transaksi dan identifikasi akan lebih seamless. “Ini merupakan piloting project produk digital di platform Akulaku serta untuk penggunaan BNC Virtual Account guna yang memudahkan customer melakukan pembayaran,” tambah Tjandra.

Platform Kategori Ekosistem Layanan Pengguna/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 juta (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 juta (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 juta (2020)

Sementara itu, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengungkap bahwa Gojek dan Bank Jago saat ini tengah mempersiapkan sinergi layanan perbankan digital. Hal ini sejalan dengan upaya perusahaan untuk meningkatkan inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, and Bain & Company, sebanyak 52% atau sekitar 95 juta penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening bank dan lebih dari 47 juta penduduk dewasa tidak memiliki akses memadai kepada kredit, investasi, dan asuransi. Di sisi lain, penetrasi smartphone di Indonesia telah mencapai hingga 70%-80%. Ini menandakan masyarakat Indonesia sudah siap untuk menerima layanan perbankan digital.

“Jumlah penduduk yang belum memiliki rekening bank masih sangat banyak di Indonesia. Maka itu, Gojek bersama Bank Jago akan menyediakan layanan perbankan digital di platform Gojek untuk memudahkan akses terhadap layanan keuangan,” ujarnya kepada DailySocial.

Mengacu pada hal tersebut, kolaborasi startup dan bank digital dapat mendorong penetrasi inklusi keuangan. Salah satu use case-nya adalah platform digital bisa menjadi front-end channel untuk pembukaan rekening online. Inilah yang tengah disiapkan Gojek dan Bank Jago sebagai rencana sinergi awal mereka. Konsep serupa sebetulnya sudah diterapkan sejumlah bank di Indonesia, seperti pembukaan rekening online BRI di platform Grab.

Dengan memanfaatkan platform sebagai jalan masuk, masyarakat dapat terpapar oleh ekosistem layanan platform yang terintegrasi. Bank Jago dapat memanfaatkan ekosistem layanan Gojek untuk meningkatkan penetrasi layanannya, demikian juga berlaku pada BNC-Akulaku dan Sea Group-BKE. Ini berarti upaya pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat bisa semakin cepat terealisasi.

Langkah selanjutnya adalah transfer teknologi. Ini merupakan harga mahal yang harus dibayar untuk me-leverage inovasi teknologi yang telah dibangun oleh Gojek, Shopee, dan Akulaku. Akan lebih leluasa mengembangkan inovasi ketimbang bersinergi tanpa komitmen investasi.

Namun, mengingat regulasi yang ada saat ini belum mengakomodasi bank digital, pemain inovasi keuangan masih wait and see tentang limitasi dan potensi-potensi pengembangan bisnis di masa mendatang.

Terlalu Kolosal untuk Gagal: Akankah Terjadi Merger Tokopedia dan Gojek?

Dalam wawancara tahun 2019 dengan mantan menteri perdagangan Indonesia Gita Wirjawan, salah satu pendiri dan CEO Gojek Nadiem Makarim mendapat pertanyaan apakah dia pernah membayangkan masa depan di mana Gojek menjadi satu-satunya pemain di pasar. Nadiem mengatakan bahwa monopoli lebih cocok untuk perusahaan yang tidak mengenakan biaya kepada konsumen untuk menggunakan layanan mereka, seperti Google dan Facebook. Aplikasi super, yang menjadi cita-cita Gojek, harus menjadi bagian dari duopoli, katanya.

Selama bertahun-tahun, Gojek dan Grab telah menarik garis pertempuran mereka dalam layanan on-demand, dimulai dengan ride-hailing, kemudian pengiriman makanan, fintech, dan layanan gaya hidup. Kemudian, pada tahun 2020, mereka menjadi berita utama ketika Masayoshi Son dari SoftBank dikabarkan akan mengatur penggabungan kedua perusahaan. Diskusi gagal pada bulan Januari tahun ini, kemungkinan karena ketidaksepakatan mengenai kepemimpinan regional dalam usaha gabungan tersebut. Kedua perusahaan melanjutkan persaingan mereka, kembali ke pola yang dijelaskan Nadiem.

Namun, Gojek kini dikabarkan sedang berdiskusi dengan sesama raksasa teknologi Indonesia, Tokopedia, untuk merger yang berbeda: merger yang tidak akan menciptakan monopoli, melainkan berhadapan langsung dengan Sea Group — andalan di sektor teknologi Asia Tenggara yang mendominasi pengiriman makanan, e-commerce, serta pembayaran di wilayah ini — dan Grab, pesaing utama Gojek.

Gojek dan Tokopedia adalah dua startup teknologi terbesar dan tersukses di Indonesia, dengan valuasi masing-masing sekitar USD 10,5 miliar dan USD 7,5 miliar. Gojek memiliki sekitar 2 juta mitra pengemudi dan 900.000 pedagang UKM, sementara Tokopedia mengklaim memiliki 9,9 juta pedagang di pasarnya. Jika kedua perusahaan menggabungkan operasi mereka, hasilnya akan menjadi ekosistem teknologi yang kuat yang menghubungkan jutaan pelanggan, pedagang, serta mitra pengemudi — yang berakar di Indonesia tetapi memiliki jejak regional.

Baik Gojek dan Tokopedia menolak berkomentar mengenai spekulasi terkait potensi merger mereka, tetapi laporan media baru-baru ini menunjukkan kedua perusahaan sedang menjajaki opsi seperti struktur perusahaan induk, di mana Gojek dan Tokopedia masih dapat beroperasi secara independen namun saling mengakses ekosistem satu sama lain.

Merger antara Gojek dan Tokopedia dapat mendorong lebih banyak sinergi antara kedua perusahaan, daripada layanan yang tumpang tindih, sebut Aldi Adrian Hartanto, VP investasi di MDI Ventures, perpanjangan tangan investasi dari perusahaan BUMN Telkom Group, juga investor di Gojek. .

“Mereka akan memiliki kemampuan untuk berjalan mandiri tanpa mengganggu bisnis satu sama lain. Dan mereka akan memiliki narasi yang jauh lebih besar sebagai grup teknologi besar terkemuka di Indonesia yang mendominasi segmen internet konsumen seperti ride-hailing, pesan-antar makanan, e-commerce, dan pembayaran,” ujarnya kepada KrASIA.

Misalnya, Tokopedia akan memiliki akses ke sumber logistik Gojek untuk layanan pengiriman yang lebih efisien, sedangkan dompet digital Gojek, GoPay, dapat meningkatkan jumlah transaksinya dengan memanfaatkan pengguna Tokopedia. Usaha kecil dan menengah (UKM) di Tokopedia juga akan dapat mengakses layanan keuangan, termasuk kredit, yang ditawarkan oleh Bank Jago yang didukung oleh Gojek.

Merger tersebut juga akan disambut baik oleh komunitas pengemudi Gojek yang sebelumnya menentang gagasan persatuan antara Grab dan Gojek, karena pengemudi akan melihat saluran pendapatan baru, seperti layanan pengiriman instan atau same-day delivery yang ditawarkan oleh Tokopedia.

Gojek dan Tokopedia memiliki DNA investor yang sama. Kedua perusahaan tersebut didukung oleh Sequoia Capital India, Google, dan Temasek. SoftBank, sementara itu, adalah pemegang saham terbesar Tokopedia, dan CEO-nya, Masayoshi Son, dilaporkan telah memberikan restunya kepada potensi merger tersebut.

Entitas gabungan Gojek-Tokopedia akan bernilai lebih dari USD 18 miliar, melampaui valuasi Grab sebesar USD 14,3 miliar. Gojek dan Tokopedia akan memiliki lebih banyak sumber daya untuk meluncurkan produk atau layanan baru, dan mereka akan berada dalam posisi yang kuat untuk go public.

Aldi mengatakan kedua perusahaan itu tengah berusaha untuk go public melalui akuisisi perusahaan bertujuan khusus, atau SPAC. Penggabungan akan membawa “nilai besar ke pasar IPO”, katanya.

Dikenal sebagai perusahaan cek kosong, SPAC adalah perusahaan cangkang yang mengumpulkan dana melalui penawaran umum untuk mengakuisisi perusahaan yang tidak ditentukan. Perusahaan jenis ini tidak memiliki model bisnisnya sendiri di luar transaksi keuangan ini. Ketika proses IPO tradisional mahal dan memakan waktu, SPAC menjadi opsi penggalangan dana yang lebih murah dan efisien, yang menjadi sangat menarik bagi perusahaan rintisan teknologi di Asia.

Tokopedia menjadi e-commerce peringkat kedua setelah Shopee / Tokopedia

Pertarungan mencapai profitabilitas

Sejak 2019, perusahaan teknologi regional tersebut mengatakan bahwa mereka berniat untuk mencapai profitabilitas dan segera go public untuk menghasilkan keuntungan bagi investor. Baik Gojek dan Grab telah menegaskan tujuan ini, tetapi tekanan kian meningkat sejak tahun lalu, karena pandemi telah menyebabkan perubahan signifikan pada perusahaan teknologi terkemuka di Asia Tenggara dalam memperoleh pendapatan.

“Tidak masuk akal bagi investor modal swasta memotong cek untuk entitas dengan skala raksasa seperti itu,” kata Aldi, menjelaskan bahwa kedua perusahaan masih dalam tingkat EBITDA negatif, yang berarti mereka belum menghasilkan uang.

Masana Takahashi, pendiri firma penasihat akuntansi dan keuangan perusahaan yang berbasis di Singapura Jidobox, mengatakan bagi Gojek, mencari sekutu, seperti Tokopedia, mungkin merupakan cara teraman sebelum go public.

“Kalau Gojek cocok IPO sendiri, apakah ada motivasi untuk bicara dengan perusahaan lain [untuk merger]? Mungkin tidak. Gojek tampaknya belum siap untuk go public dengan apa pun alasannya. Mungkin secara finansial tidak begitu baik.” dia berkata.

Suntikan modal paling awal Gojek adalah pada tahun 2014, ketika mengumpulkan putaran Seri A sebesar USD 2 juta. “Gojek mengumpulkan miliaran dan investor mereka perlu keluar karena dana akan segera jatuh tempo,” jelas Takahashi. “Jatuh tempo dana VC biasanya tujuh sampai sepuluh tahun. Yang pasti, sebelum 2024, dana akan menuntut keluar dari Gojek. ”

Grab juga pertama kali mendapatkan investasi Seri A sebesar USD 10 juta pada tahun 2014, dan perusahaan tersebut dilaporkan mempertimbangkan untuk melakukan IPO di New York akhir tahun ini, di mana mereka dapat mengumpulkan lebih dari USD 2 miliar, penawaran saham luar negeri terbesar oleh sebuah perusahaan Asia Tenggara, menurut Reuters.

“Dengan aktivitas saat ini yang kami lihat seputar IPO secara global, serta peningkatan aktivitas SPAC di Asia, investor tampaknya memiliki minat yang besar untuk IPO yang berfokus pada Asia. Valuasi gabungan dapat membantu Gojek dan Tokopedia untuk menarik investor tertentu, tetapi yang lebih menarik adalah proposisi nilai gabungan yang dapat ditawarkan merger ini,” kata Zennon Kapron, direktur firma riset dan konsultasi fintech Kapronasia.

Gojek menggandeng 2 juta pengendara / Gojek

Menghadapi persaingan lokal

Baik Gojek maupun Tokopedia telah terjebak dalam persaingan yang ketat dengan Grab dan Group SEA di wilayah asalnya.

Shopee SEA telah melampaui Tokopedia sebagai situs e-commerce yang paling banyak dikunjungi pada kuartal ketiga tahun 2020 di Indonesia, berdasarkan data dari peringkat iPrice, sementara platform e-wallet ShopeePay telah mengungguli transaksi Gojek GoPay dan Ovo dari Juni hingga Agustus 2020 di negara ini, menurut penelitian Snapcart dan MarkPlus. Sea Group juga mulai menjajaki sektor perbankan digital di Indonesia.

Grab, di sisi lain, telah mengalahkan Gojek di sektor transportasi online Indonesia sejak 2018. Gojek mencapai pangsa pasar 64% pada tahun 2019, sementara itu memegang pangsa pasar 53% di sektor pengiriman makanan negara pada tahun 2020, menurut Momentum Works.

Perusahaan ride-hailing yang berkantor pusat di Singapura ini juga berinvestasi di LinkAja, sebuah platform pembayaran dengan jangkauan luas di kota-kota tier-2 dan tier-3 Indonesia, yang dapat memberikan akses ke basis pengguna yang lebih bervariasi dibandingkan dengan GoPay.

“Pembayaran adalah salah satu bisnis terpenting. Kehilangan hal itu bisa menuimbulkan masalah bagi Gojek,” ungkap Masana. “Indonesia merupakan pasar yang menarik karena ‘volume’, tetapi daya belinya masih rendah. Gojek dan Tokopedia perlu mengakuisisi saham besar-besaran di semua pasar tempat mereka beroperasi. Saya tidak punya alasan kuat untuk percaya Gojek akan memenangkan pasar internasional jikalau sebagai pemain lokal, mereka kalah di dalam negeri,” tambahnya.

Namun Zennon mengatakan, merger Gojek-Tokopedia akan memberi mereka amunisi baru untuk bersaing. “Saat Anda melihat keberhasilan aplikasi super lainnya di Asia, biasanya hal itu terjadi karena fungsi inti yang menciptakan ‘adiksi’ harian pada aplikasi.”

“Dalam kasus WeChat, hal itu adalah obrolan dan hiburan, sementara Alipay, e-commerce. Jika merger, Gojek dan Tokopedia akan memiliki proposisi nilai yang lebih komprehensif yang kemungkinan akan menarik lebih banyak pengguna, dan juga memungkinkan mereka untuk berbagi kumpulan data yang lebih komprehensif di backend,” tambah Zennon. Data tersebut akan memungkinkan entitas baru untuk menyediakan lebih banyak produk dan layanan, termasuk keuangan digital.

Secara internasional, Gojek juga lebih lemah dari Grab. Perusahaan berkembang pada 2018 di Vietnam dengan nama merek lokal, GoViet, dan pada 2019 di Thailand dengan Get. Namun, pada Juli tahun lalu, timnya mengumumkan penyatuan merek, yang menurut sumber KrASIA, merupakan “langkah yang sangat mahal” dan menambah kerugian finansial perusahaan.

Mengenai Tokopedia, perusahaan lebih memilih untuk tetap berpegang pada pasar dalam negeri dan belum berkembang secara internasional. Tidak jelas bagaimana persatuan antara Gojek dan Tokopedia akan meningkatkan daya saing mereka di pasar regional, karena kedua platform kehilangan taring di dalam dan luar negeri, menurut para ahli.

“Perusahaan yang lebih besar tidak selalu berarti perusahaan yang sukses secara global. GoJek – Tokopedia akan memiliki basis yang jauh lebih besar dari segi pasar, tetapi itu tidak menjamin kesuksesan internasional,” ujar Zennon.

“Ini seperti ‘dua pemain nomor dua’ bergabung untuk mencoba bersaing dengan pemain terkemuka,” sumber lain menambahkan.

Menyingkirkan Ovo?

Pihak ketiga yang mungkin mempersulit merger Gojek-Tokopedia adalah layanan pembayaran elektronik yang berbasis di Indonesia Ovo, yang merupakan penyedia pembayaran eksklusif untuk Tokopedia dan Grab di Indonesia saat ini.

Grab memegang 44,2% saham di Ovo, sementara Tokopedia memiliki 42%, menurut data perusahaan riset M2 Insights. Setelah merger dengan Gojek, kemungkinan besar Gojek mendorong platform fintechnya, GoPay, ke dalam ekosistem Tokopedia, sehingga mengikis eksklusivitas Ovo.

Selain itu, Tokopedia bisa jadi harus menjual sahamnya di Ovo, karena Bank Indonesia melarang satu perusahaan untuk memegang saham di lebih dari satu platform pembayaran. “Entitas yang akan merger akan mendorong agendanya agar Tokopedia memutus hubungan dengan Grab, yang akan bermanfaat bagi joint venture baru Gojek-Tokopedia,” kata Aldi.

Namun, seolah mengantisipasi potensi persatuan antara Tokopedia dan pesaing utama, Ovo telah mendiversifikasi hubungannya dengan platform e-commerce dengan menjalin kemitraan dengan Lazada, Zalora, dan Blibli sejak tahun lalu.

Untuk saat ini, Gojek dan Tokopedia masih bungkam tentang langkah selanjutnya dan bagaimana kerjasama dengan Ovo dapat berubah. Sementara itu, Ovo secara agresif menopang penawarannya di luar pembayaran. Perusahaan tersebut baru-baru ini bermitra dengan Zhong An untuk menciptakan pasar asuransi digital, dan meluncurkan produk investasi baru bulan lalu bekerja sama dengan platform reksa dana Bareksa, menunjukkan bahwa Ovo dapat melakukan lebih dari sekadar menangani transaksi e-commerce. Ruang layanan keuangan masih kurang dalam melayani populasi Indonesia, sehingga Ovo masih memiliki banyak ruang untuk berkembang — bahkan tanpa Tokopedia.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial