Dompet Kilat Hadirkan Layanan Fintech Lending untuk Masyarakat Kelas Bawah

Layanan digital berbasis fintech lending terus hadir di pasar Indonesia. Dompet Kilat jadi salah satu platform yang turut meramaikan. Resmi beroperasi di awal tahun ini, Dompet Kilat secara spesifik menargetkan kalangan bawah (berpenghasilan rendah) dengan nominal pinjaman kecil dan jangka waktu yang relatif singkat.

“Kami ingin menciptakan produk keuangan khusus menyasar kalangan bawah. Tapi dalam berjalannya waktu kita melihat bahwa sebetulnya kebutuhan itu tidak hanya untuk pinjaman konsumen, tetapi banyak yang terkait dengan kegiatan modal kerja,” terang founder Dompet Kilat, Sunu Widyatmoko

Di Dompet Kilat pengguna bisa mengajukan pinjaman dengan pilihan tenor mulai dari 7 hari, 15 hari, hingga 21 hari dengan kisaran pinjaman mulai dari 500 ribu Rupiah hingga 2 juta Rupiah. Bunga yang dikenakan berkisar 10% untuk setiap pinjaman.

Sementara untuk syarat pengajuan pinjaman, Dompet Kilat hanya membutuhkan KTP. Bila pengguna memiliki dan mau mengunggah slip gaji, maka akan mempercepat karena tidak akan lagi diwawancara melalui email.

Dompet Kilat sendiri baru beroperasi pada Februari 2018, meski perusahaannya sudah berdiri sejak tahun 2017 silam di bawah PT Indo Fin Tek. Saat ini layanannya sudah berizin dan diawasi oleh OJK.

Mengusung konsep p2p lending Dompet Kilat paham betul bahwa ada risiko besar yang harus ditanggung, untuk itu hingga saat ini Dompet Kilat masih belum membuka secara penuh layanannya untuk pengguna yang ingin menjadi penyedia dana. Dompet Kilat masih membatasi hanya untuk institusi dan individu dengan kriteria tertentu.

“Kerena risiko pinjaman di sektor ini relatif besar, saat ini kita masih dalam proses analisis dan risk modeling-nya. Untuk risk modeling membutuhkan data yang relatif besar, jadi kami belum membuka pintu besar-besar untuk umum. Kami  hanya berbicara di kalangan tertentu, institusi atau individu yang sangat memahami konsep risiko,” lanjut Sunu menjelaskan.

Di Indonesia Dompet Kilat akan bersaing dengan banyak pemain lain, baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri. Kendati demikian Sunu optimis dengan peluang yang dimiliki oleh Dompet Kilat. Selain potensi pasar yang besar, Dompet Kilat juga terus berusaha memberikan literasi keuangan untuk memberikan wawasan bagi masyarakat dan menghindarkan dari jeratan layanan teknologi finansial ilegal yang mulai banyak di Indonesia.

“Kita sangat optimis dengan market Indonesia bahwa banyak masyarakat yang masih belum tersentuh layanan perbankan, atau layanan pinjaman profesional, jadi menurut saya pintu untuk layanan fintech terbuka lebar, hanya tugas kita semua adalah bagaimana agar image tentang fintech ini tidak negatif karena pemain ilegal,” lanjut Sunu.

Ke depannya Sunu bercita-cita menjadikan Dompet Kilat sebuah layanan yang bisa membantu individu untuk menjadi wirausahawan dengan memudahkan mereka mendapatkan modal. Hal ini tidak terlepas dari besarnya potensi usaha mikro di Indonesia.

“Saya punya impian untuk membantu setiap individu untuk menjadi wiraswasta. Karena saya percaya kegiatan usaha mikro di Indonesia potensinya sangat besar,” tutup Sunu.

Application Information Will Show Up Here

Kredivo Siap Rambah Segmen Offline dan Ekspansi ke Filipina

Startup fintech lending Kredivo tengah mengembangkan layanan pinjaman untuk transaksi offline. Di saat yang bersamaan akan segera merealisasikan rencana ekspansi ke Filipina. Kedua rencana ini akan dilakukan pada awal tahun depan.

Co-Founder dan CEO Kredivo Akshay Garg menuturkan, rencana ini adalah bagian dari realisasi pendanaan seri B yang diumumkan Juli 2018 lalu. Menurutnya segmen offline juga menarik untuk diseriusi, lantaran ada potensi bisnis yang bisa digarap. Dari sisi konsumen pun ada permintaan agar Kredivo bermain ke sektor tersebut.

Pemain sejenis, Akulaku, sudah lebih dulu menghadirkan layanan serupa pada Oktober 2018. Agar tetap bisa berkompetisi dengan Akulaku, Kredivo akan tetap mengutamakan cicilan yang ringan seperti yang sudah dilakukan sejak awal berdiri. Pengguna tidak akan dikenakan beban biaya sama sekali atau 0% apabila melunasi utangnya kurang dari 30 hari.

Metode pembayaran yang dipakai untuk fitur teranyar adalah scan QR code yang nantinya bakal tersedia di toko elektronik, restoran, dan sebagainya. Implementasi pilot project akan dimulai dari Jakarta.

“Fitur ini sebenarnya kami hadirkan karena kemauan konsumen. Sama halnya dengan fitur personal loan, kredit limit bisa mereka cairkan sebagai dana tunai untuk membayar kebutuhan sehari-hari,” ucapnya, Kamis (22/11).

Terkait ekspansi ke Filipina, sambungnya, sebenarnya belum menjadi keputusan akhir. Namun Filipina bisa dikatakan sebagai negara yang paling sesuai dengan kriteria, karena tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Selain Filipina, ada dua negara lainnya yang sudah dipertimbangkan sejak awal, yakni Singapura dan Thailand.

“Kemungkinan baru bulan depan keputusan akhirnya, namun pilihan terdekat itu adalah Filipina dibandingkan dua negara lainnya.”

Co-Founder Kredivo Alie Tan menambahkan, perusahaan akan tetap menggunakan merek Kredivo. Hal ini dimaksudkan agar nama Kredivo semakin mudah dikenal, kalau menggunakan nama yang berbeda dikhawatirkan akan menyulitkan para pengguna.

Brand itu penting banget, kalau misalnya pakai nama yang berbeda akan sulit untuk penggunanya. Kalau satu warna tentunya akan lebih mudah dikenal,” ujar Alie.

Selain ekspansi ke luar negeri, Kredivo juga siap memperluas penetrasi pasarnya di Indonesia sebagai pasar utamanya. Co-Founder dan COO Kredivo Umang Rustagi mengatakan, Kredivo akan segera hadir di kota tier dua, kemudian merambah ke Makassar dan Yogyakarta.

Saat ini Kredivo baru bisa melayani pengguna yang berdomisili di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, Semarang dan Denpasar.

Kredivo diklaim telah menyalurkan pinjaman hingga belasan juta dolar per bulannya, tanpa menyebut angka pastinya. Terdapat hampir 1 juta pengguna terdaftar dan aktif menggunakan layanan Kredivo.

Tak hanya bisa digunakan untuk pembayaran cicilan di situs e-commerce, sejak dua bulan terakhir Kredivo merilis fitur personal loan. Fitur ini memungkinkan pengguna bisa mencairkan dana dari sisa kredit limit ke dalam rekening mereka untuk dipakai sebagai kebutuhan sehari-hari.

Diharapkan fitur personal loan ini bisa meningkatkan interaksi pengguna dengan Kredivo. Persentasenya diharapkan bisa seimbang dengan pembayaran di situs e-commerce.

Application Information Will Show Up Here

OJK Resmikan Kehadiran AFPI, Asosiasi Khusus Fintech Lending

OJK meresmikan kehadiran Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Asosiasi dihadirkan khusus menangani isu seputar fintech lending yang diprediksi akan membesar seiring jumlah pemain yang terus bertambah. Asosiasi ini akan berjalan beriringan dengan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) dan OJK.

“Mengawal industri lending ini sangat berat karena harus melindungi dua jenis konsumen, lender dan borrower. Kami lihat industri ini akan membesar dan masalahnya pun akan ikut besar. Untuk itu kami tidak ingin industri ini berakhir seperti di Tiongkok, kami ingin industri baru ini tumbuh sehat, kuat, dan berkontribusi pada inklusi keuangan,” terang Direktur DP3F OJK, Hendrikus Passagi, dalam Fintech Days di Bali, Jumat (26/10).

Menurut Hendrikus, dalam program kerjanya AFPI akan fokus pada isu seputar p2p lending yang selama ini belum terurus saat masih di dalam naungan AFTECH. Pasalnya, dalam keanggotaan AFTECH tidak hanya diisi oleh pemain fintech lending saja, tapi ada juga fintech lain seperti pembayaran, agregator, e-commerce dan lainnya. Keseluruhannya bergerak di bawah payung regulasi yang berbeda.

“Malah dalam bayangan kami nanti AFTECH akan jadi sokoguru untuk fintech secara umum, menjadi payung untuk semua asosiasi fintech yang bakal lebih spesifik di bawahnya.”

Bagi regulator, kehadiran asosiasi yang spesifik ini tentunya sangat bermanfaat dalam mengawasi industri lending. OJK berkeinginan industri bergerak secara tangkas, sesuai dengan semangat startup.

Dalam praktiknya, regulator mengawasi industri dengan memanfaatkan empat lapisan. Pertama, dari publik untuk mengawasi dan melaporkan apabila ada yang berbeda dengan sosialisasi POJK 77/2016. Kedua, pengendalian dari internal penyelenggara untuk pelaksanaan sesuai GCG. Ketiga, pengawasan dari asosiasi yang ikut mengawal industri. OJK ada di lapis terakhir.

“Jadi OJK ada di lapis terakhir karena kami ingin industri fintech lending ini bisa bergerak lebih agile.”

Berdasarkan data terbaru OJK, ada 73 penyelenggara fintech lending yang sudah mengantongi surat tanda terdaftar, dua di antaranya bergerak di lending syariah. Domisilinya terpusat di Jabodetabek ada 71 perusahaan, satu perusahaan berada di Bandung.

Di internal OJK, ada 47 penyelenggara yang masih dalam proses pendaftaran, 59 penyelenggara dikembalikan permohonannya untuk dilengkapi kembali, dan 38 penyelenggara yang berminat mendaftar. Sehingga bila ditotal ada 217 penambahan penyelenggara yang akan masuk sebagai anggota AFPI dan AFTECH.

Sampai September 2018, industri lending telah menyalurkan Rp13,83 triliun. Jumlah lender sebesar 161.297 entitas dan borrower 2,3 juta entitas. Rasio NPL di saat yang sama tercapai 1,2% meningkat dari posisi akhir 2017 sebesar 0,99%.

Program kerja AFPI

Hendrikus melanjutkan dalam program kerjanya AFPI memiliki sekitar delapan kompartemen yang keseluruhannya mendukung jalannya industri fintech lending agar lebih kuat. Beberapa kompartemen tersebut di antaranya menangani soal isu pembiayaan multiguna, produktif, fintech pendukung, infrastruktur, dan syariah.

Masing-masing menangani isu spesifik yang selama ini belum pernah sempat dilakukan saat masih di bawah AFTECH, seperti digital signature, pajak, artificial intelligence, kode etik, dan lainnya.

“Menariknya ada isu besar dalam pendanaan, ada yang dalam bentuk konvensional dan syariah. Dari 73 total penyelenggara yang sudah dapat tanda terdaftar, hanya dua yang berbentuk syariah. Ini mungkin jadi penyebab mengapa lending syariah kurang berkembang, karena AFTECH kurang fokus ke sana. Kita harapkan dari AFPI bisa memulainya.”

AFPI diketuai oleh Adrian A Gunadi (Investree) dan Sunu Widyatmoko (Dompet Kilat) sebagai wakil ketua. Beberapa nama penggiat fintech lending juga turut menangani AFPI, di antaranya Cally Alexandra (Crowdo), Sendy Filemon (Futureready), Lutfi Adhiansyah (Ammana), dan lainnya.

Introducing PayLater, Go-Jek’s “Virtual Credit Card” with Zero Interest

Go-Jek introduces PayLater, a new payment feature to facilitate customers with credit under a certain limit. PayLater is a Fintech Lending product from Findaya (PT Mapan Global Rekas), developed by Mapan. Mapan is one of the three fintech startup acquisitions by Go-Jek last year.

Findaya has acquired the license as a lending service provider from OJK. In its business, Findaya has worked for Go-Jek, Go-Food, Go-Clean, Go-Massage, and Mapan with various facilities, such as installment for laptop, smartphones and its accessories, and many more.

Catherine Hindra, Go-Jek’s Chief Commercial Expansion, said, PayLater for now is only available for select Go-Food customers. The select customers are sorted out by Go-Jek and Findaya without any further details.

She illustrated PayLater mechanism similar to postpaid subscription. Customers have credit up to Rp500,000 and will be charged Rp12,500 monthly fee.

“Our focus with Findaya is to give the best experience for Go-Food’s select customers. We’ll learn from this to develop subscription feature in the future,” she said to DailySocial.

Regarding subscription, she said, it’s to be billed every month when using PayLater. If isn’t exercised, this feature will not take any administration fee. Free administration fee promo was given for the first month.

Hindra has no further explanation on when this feature will be available to all Go-Jek customers.

PayLater exploration

As we dig deeper, PayLater allows users to use credit up to Rp500,000. It should be paid before the last day of the month via Go-Pay.

There’s no further information regarding arrears and interest. Go-Jek will continue to provide notifications on the 25th of each month and every due date until payment’s finally made.

DailySocial has an opportunity to try this feature first. The flow is similar to Go-Food delivery, only on the check out page will appear PayLater as a payment option.

When choosing PayLater, the costs will automatically appear just as you’re paying with Go-Pay or cash. Once the order is received, the amount of PayLater credit will be reduced.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal PayLater, “Kartu Kredit Virtual” Tanpa Bunga dari Go-Jek

Go-Jek meluncurkan PayLater, fitur pembayaran terbaru memungkinkan pengguna untuk berutang dengan limit tertentu. PayLater merupakan produk fintech lending dari Findaya (PT Mapan Global Reksa) yang dikembangkan oleh PT Mapan Global Reksa (Findaya), tergabung sebagai bagian dari Mapan. Mapan sendiri adalah satu dari tiga startup fintech yang diakusisi Go-Jek akhir tahun lalu.

Findaya telah memperoleh surat tanda terdaftar sebagai penyelenggara lending dari OJK. Dalam bisnisnya, Findaya telah melayani mitra Go-Jek, Go-Food, Go-Clean, Go-Massage, dan Mapan dengan fasilitas cicilan laptop, smartphone beserta aksesorisnya, dan kebutuhan lainnya.

Dalam keterangannya, Chief Commercial Expansion Go-Jek Catherine Hindra mengatakan, untuk sementara ini PayLater baru bisa dinikmati secara terbatas untuk pengguna Go-Food. Mereka yang terpilih sudah disaring terlebih dahulu berdasarkan kriteria-kriteria yang ditentukan Go-Jek dan Findaya, namun Catherine tidak menjelaskan detailnya.

Dia mengibaratkan mekanisme PayLater yang mirip dengan berlangganan paket telekomunikasi pascabayar. Pengguna memiliki batas pemakaian hingga Rp500 ribu dan akan dikenai biaya berlangganan sebesar Rp12.500 per bulannya.

“Fokus kami bersama Findaya adalah memberikan pengalaman terbaik kepada pengguna Go-Food terpilih terlebih dahulu. Pelajaran yang kami petik tentunya akan dimanfaatkan untuk pengembangan fitur berlangganan di masa mendatang,” tuturnya kepada DailySocial.

Terkait biaya berlangganan, sambung Catherine, hanya akan ditagih sekali setiap bulan apabila menggunakan PayLater. Apabila fitur ini tidak dipakai, maka biaya administrasi juga tidak akan dikenakan. Untuk bulan pertama, biaya berlangganan akan digratiskan sebagai promosinya.

Catherine juga tidak memberikan penjelasan lebih lanjut kapan fitur ini akan digulirkan ke semua pengguna Go-Jek.

Menjajal PayLater

Bila ditelusuri lebih dalam, PayLater memperbolehkan pengguna untuk berutang sampai limit maksimal Rp500 ribu. Tagihan harus dibayarkan setiap akhir bulan lewat Go-Pay.

Apabila menunggak, tidak ada penjelasan dari Go-Jek apakah ada bunga yang dibebankan. Pihak Go-Jek hanya akan terus memberikan notifikasi mulai dari tanggal 25 setiap bulannya dan juga setiap tanggal jatuh temponya sampai akhirnya utang terlunasi.

DailySocial berkesempatan menjajal fitur tersebut untuk pertama kalinya. Alurnya sama seperti saat memesan Go-Food pada umumnya, namun akan muncul pilihan PayLater dalam opsi pembayaran.

Ketika memilih PayLater, secara otomatis akan tertera biaya pesanan makanan yang harus dibayar, sama halnya bila memilih opsi pembayaran dengan Go-Pay atau tunai. Setelah pesanan diterima, secara otomatis akan muncul notifikasi limit PayLater telah berkurang. Kita bisa memilih membayar tagihan tersebut kapan saja, sejak limit berkurang, sampai akhir bulan.

Application Information Will Show Up Here

Fintech Lending Startup Helicap Expands to Indonesia, Raising $5 Million Funding

Helicopter Capital (Helicap), a Singapore-based lending platform developer startup, today (9/13) announced it has raised $5 million (around IDR 74 billion) of Pre-Series A Funding. It was led by East Ventures and Soilbuild Group Holdings. It’s to focus on the expansion to the Indonesian market.

In its Indonesian debut, there will be data and technology teams to improve the company’s data collection capacity. In the distribution to SMEs, Helicap is using its own data analysis platform. The analysis was intended to generate return and credit score to convince investors (institutions) in providing loans.

Helicap introduced itself as the Capital as a Services platform within B2B2C scope. They didn’t provide direct loans, but distributing loans from partners with data analysis as the collateral. Particularly in Indonesia, Helicap admits providing loans only from the registered lenders in OJK to ensure obedience with the local regulation.

The name “Helicopter” is said to have a certain meaning. Helicap covers all access to credit data collected by some financial organizations. The data was managed to produce insights for investment allocation. It’s considered to be the helicopter view or comprehensive knowledge of the to-be-invested business.

“Southeast Asia becomes the most developing economic region, driven by SMEs. However, it also produced a fragmented loan ecosystem, incapable to serve capital loans for business as a whole,” David Wang, Helicap’s CEO and Co-Founder added.

He continued, East Ventures entree in business will give essential contribution in Indonesia. Support from Soilbuild is to validate Helicap’s portfolio, because of their expertise in the property business segment in particular. Since its operational debut in the second quarter of 2018, Helicap claims to distribute loans to more than 100,000 customers.

Indonesian expansion has set an optimistic target for this startup. The business in Indonesia is targeted to run in this year’s fourth quarter. Soon, they’ll appoint the Country Manager to lead the business maneuver in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dapatkan Pendanaan 74 Miliar Rupiah, Startup Fintech Lending Helicap Ekspansi ke Indonesia

Helicopter Capital (Helicap), startup pengembang platform pinjaman yang berbasis di Singapura, hari ini (13/9) mengumumkan perolehan pendanaan Pra-Seri A senilai $5 juta (atau setara 74 miliar Rupiah). Pendanaan tersebut dipimpin East Ventures dan Soilbuild Group Holdings. Rencananya pendanaan tersebut akan difokuskan untuk berekspansi ke pasar Indonesia.

Debutnya di Indonesia akan dimulai dengan membangun tim teknologi dan data untuk meningkatkan kapasitas pengumpulan data perusahaan. Dalam menyalurkan pinjaman ke UKM, Helicap memanfaatkan platform analisis data yang dimiliki. Analisis dimaksudkan untuk menghasilkan skor kredit dan pengembalian untuk meyakinkan investor (institusi) dalam memberikan pinjaman.

Helicap menyebut dirinya sebagai platform Capital as a Services dengan cakupan B2B2C. Mereka tidak memberikan pinjaman secara langsung, tetapi menyalurkan pinjaman dari organisasi yang telah menjadi mitra dengan memberikan jaminan dari analisis data yang dilakukan. Khusus di Indonesia, Helicap mengaku hanya memberikan pinjaman dari badan peminjaman yang sudah terdaftar di OJK demi memastikan kepatuhan terhadap regulasi di sini.

Pemilihan nama “Helicopter” disebut memiliki makna tersendiri. Helicap menampung akses data kredit yang dikumpulkan berbagai organisasi keuangan. Data tersebut diolah sedemikian rupa sehingga memberikan wawasan untuk memberikan alokasi investasi. Wawasan tersebut dinilai menjadi “helicopter view” atau pemahaman menyeluruh terkait bisnis yang akan diinvestasi.

“Asia Tenggara menjadi kawasan ekonomi yang paling bertumbuh, didorong oleh UKM. Namun pertumbuhan tersebut juga menghasilkan ekosistem pinjaman yang terfragmentasi, belum dapat melayani pinjaman modal untuk bisnis secara keseluruhan,” ujar Co-Founder & CEO Helicap David Wang.

Wang melanjutkan, masuknya East Ventures dalam bisnis akan memberikan dukungan penting untuk kehadirannya di Indonesia. Didukung kontribusi Soilbuild yang akan memvalidasi portofolio Helicap, terutama karena keahlian mereka di segmentasi bisnis bidang properti. Sejak memulai operasionalnya pada kuartal kedua 2018, Helicap mengklaim telah menyalurkan pinjaman ke lebih dari 100.000 nasabah.

Kehadiran di Indonesia membuat startup ini mematok target optimis. Operasional di Indonesia ditargetkan berjalan pada kuartal keempat tahun ini. Dalam waktu dekat mereka juga akan menunjuk Country Manager untuk memimpin manuver bisnis di Indonesia.

Akulaku Mulai Rambah Cicilan Tanpa Kartu Secara Offline

Akulaku, startup yang bergerak di bidang pembiayaan, mulai merambah ke segmen cicilan offline lewat peluncuran produk “Akulaku Pay Offline”. Segmen ini dinilai memiliki potensi yang menarik, lantaran masih ada stigma yang menyebut pinjaman hanya dilakukan oleh orang yang tidak punya uang.

Layanan Akulaku Pay Offline bisa digunakan di merchant offline dengan sistem scan barcode dan kode OTP. Untuk sementara, fitur ini baru tersedia di 15 merchant yang telah bekerja sama dengan Akulaku di Mal Gandaria City, Jakarta.

“Ini pertama kalinya Akulaku merambah segmen offline, selama ini kami hanya fokus ke online saja. Tim mulai menambah merchant offline, nanti tidak hanya dari mal saja tapi juga akan ke toko kelontong,” terang Komisaris Akulaku, Martha Adlina, Kamis (23/8).

Ia melanjutkan, nantinya masyarakat bisa memanfaatkan cicilan saat membeli barang dalam jumlah grosir di toko kelontong yang mereka kunjungi. Tentunya kemudahan seperti ini akan menguntungkan pengguna karena pengaturan cash flow bakal lebih teratur, terlebih bagi pedagang.

“Jadi nanti pengguna bisa belanja di agen toko kelontong dalam jumlah besar, nanti tinggal pakai fitur cicilan. Akulaku yang akan bayarkan ke agennya sesuai dengan limit kredit yang dimiliki pengguna.”

Akulaku juga tengah menyiapkan produk cicilan lainnya untuk kebutuhan pendidikan dan medis. Untuk cicilan penididkan, Akulaku bakal bekerja sama dengan universitas dalam menyaring calon debitur. Cicilan dapat digunakan membayarkan biaya uang masuk dan biaya semester.

Sementara untuk medis, Akulaku akan membayarkan berbentuk premi asuransi yang terhutang dalam setahun. Ambil contoh, apabila pengguna punya premi tahunan sebesar Rp5 juta, maka Akulaku akan membayarkan sesuai nominal tersebut. Lalu pengguna akan mencicil sesuai ketentuan yang diberikan.

Capaian bisnis Akulaku

Akulaku hadir di Indonesia sejak Juni 2016 dengan perizinan sebagai perusahaan multifinance dengan fokus bisnis awal di kredit virtual. Setelah Indonesia, Akulaku hadir di Malaysia, Vietnam, dan Filipina dengan merek dagang yang sama.

Martha menyebut perusahaan telah menyalurkan pembiayaan sekitar US$300 juta (lebih dari Rp4,2 triliun) hingga pertengahan tahun ini. Rata-rata Akulaku menyalurkan sekitar US$50 juta (sekitar Rp700 miliar) pinjaman setiap bulan dengan total transaksi mencapai 1,5 juta kali.

Total merchant online yang telah bermitra dengan Akulaku sudah mencapai 3 ribu unit, termasuk di dalamnya platform besar seperti Bukalapak, Blibli, Tiket.com, Shopee dan JD.id. Martha menargetkan sampai akhir tahun ini perusahaan dapat menyalurkan kredit hingga US$450 juta (sekitar Rp6,3 triliun).

Aplikasi Akulaku telah diunduh lebih dari 15 juta kali, sementara dari angka tersebut yang sudah menjadi anggota mencapai 10 juta orang. Kebanyakan mereka berasal dari Jabodetabek, Semarang, Yogyakarta dan beberapa kota di Jawa Timur.

Tahun ini Akulaku juga akan memperluas cakupan bisnis di luar Pulau Jawa, menyasar kota Medan, Palembang, dan Bali. Perluasan ini penting, pasalnya Indonesia menjadi kontributor bisnis utama Akulaku. Jumlah tim di Akulaku juga sudah mencapai 1200 orang yang terdiri atas tim penagihan, manajemen risiko, anti fraud, operasional, dan pengembangan bisnis.

Akulaku disokong oleh beberapa investor ternama, di antaranya Sequoia Capital, IDG Capital, Arbor Ventures, Fidelity VC Fund Arbor, dan masih banyak lagi.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Siapkan Layanan Cicilan Tanpa Kartu “BukaCicilan” Bersama Akulaku

Bukalapak merilis layanan finansial teranyar “BukaCicilan”, sebuah layanan cicilan tanpa kartu yang menggandeng Akulaku sebagai mitra pembayaran. Fitur ini sudah dirilis ke sebagian pengguna Bukalapak, baik di Android maupun iOS.

Belum ada keterangan resmi yang diberikan Bukalapak soal BukaCicilan. Dalam laman situsnya, Bukalapak menerangkan layanan BukaCicilan memungkinkan pengguna Bukalapak dapat membeli barang apapun dari semua kategori, menggunakan metode pembayaran secara cicilan.

Angsuran dapat dibayar selama 1, 3, 6, hingga 12 bulan dengan tenor yang sudah ditentukan sebelumnya. Tidak ada harga minimum barang untuk melakukan pembayaran secara cicilan, namun pengguna harus memastikan terlebih dahulu limit Kredit BukaCicilan cukup.

Sebelum menggunakan fitur ini, pengguna akan diarahkan untuk mendaftar sebagai pengguna Akulaku. Persyaratan yang dibutuhkan antara lain memiliki akun Bukalapak dengan alamat email dan nomor ponsel yang sudah terverifikasi.

Saat ini fitur BukaCicilan baru dibuka untuk konsumen yang berdomisili di Pulau Jawa dan memiliki penghasilan bulanan. Proses pendaftaran BukaCicilan akan dikonfirmasi (disetujui atau ditolak) dalam waktu maksimum 3 jam.

Apabila disetujui, maka pengguna akan mendapat saldo limit kredit yang jumlahnya telah ditentukan berdasarkan penilaian oleh mitra BukaCicilan. Kalaupun ditolak, pengguna bakal menerima pemberitahuan dan bisa mengajukan kembali.

Alur pendaftaran, verifikasi, hingga proses penagihan sepenuhnya diberikan Bukalapak ke pihak Akulaku. Menurut proses penagihan, pengguna perlu mengunduh aplikasi Akulaku untuk pembayaran cicilan.

Sebelumnya, Bukalapak juga mendukung berbagai layanan finansial untuk investasi emas “BukaEmas”, reksa dana “BukaReksa”, cicilan roda empat “BukaMobil,” dan kalkulator finansial untuk menghitung kurs, KPR, dan investasi.

Sebenarnya tidak hanya dengan Akulaku, Bukalapak juga telah menyediakan opsi pembayaran tanpa kartu kredit dengan Kredivo. Strategi ini bisa membawa nilai tambah bagi Bukalapak dalam memberikan kebebasan metode pembayaran untuk para penggunanya saat bertransaksi. Sementara bagi Akulaku, kemitraan melalui BukaCicilan menjadi cara untuk menjaring lebih banyak pengguna.

Langkah serupa

Tokopedia sudah mengambil pemanfaatan layanan cicilan ini dengan Kredivo. Tak hanya itu, perusahaan juga menyediakan layanan finansial lainnya seperti pinjaman online instan, tanpa jaminan, dan dengan jaminan. Pengguna bisa memilih mitra finansial yang sesuai dengan preferensi masing-masing.

Mitra tersebut di antaranya perusahaan multifinance seperti Sinarmas Finance, CS Finance, Adira Finance, Mandiri Tunas Finance. Ada pula mitra perbankan seperti Standard Chartered, Bank Syariah Mandiri, Bank Permata dan startup fintech lending seperti Julo dan Teman Kredit.

Beragam layanan finansial yang dihadirkan pemain marketplace menjadi perpanjangan tangan yang cukup efektif bagi para pemain jasa keuangan dalam mengakuisisi pengguna baru.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Hiruk Pikuk KTA Online, Produk Kartu Kredit Virtual Masa Kini

Dhimas sudah dua kali mencicil smartphone lewat aplikasi Akulaku, yang satu untuk ibunya dan satunya lagi untuk dirinya sendiri. Setelah dihitung-hitung besaran bunga yang ditetapkan, baginya justru lebih murah ketimbang mengambil cicilan di perusahaan multifinance.

Ia membeli smartphone seharga Rp2,1 juta dengan tenor enam bulan. Saat ia hitung, total bunga yang dibayarkan hanya sekitar Rp200 ribu.

“Waktu itu sebenarnya coba dua aplikasi, Akulaku sama Kredivo. Tapi akhirnya ambil yang paling cepat aja verifikasinya, yaitu Akulaku karena cuma dua jam saja tapi limit-nya Rp2,5 juta. Ada plus minus-nya sih. Tapi kalau ambil cicilan handphone di multifinance lebih mahal,” ujar Dhimas kepada DailySocial.

Berkat rekam jejaknya yang baik selama jadi nasabah Akulaku, setelah cicilan pertama lunas tanpa tunggakan ia mendapat kenaikan limit menjadi Rp7 juta saat memutuskan mengambil cicilan kedua.

Dhimas pun juga mulai tertarik untuk membeli pulsa prabayar secara mencicil, artinya dia baru bayar tagihan pulsa sebulan setelahnya. Fitur cicil pulsa itu ada di dalam aplikasi Akulaku. Biasanya dia beli pulsa sekitar Rp100 ribu-Rp200 ribu.

“Lebih enak beli pulsanya di sini [Akulaku] biar nanti pas akhir bulan pengeluarannya cukup sekali saja. Biar kelihatan uang [gajian] ke mana saja.”

Lukman tak jauh berbeda dengan Dhimas. Membeli barang secara mencicil jadi suatu kebiasaan yang ia lakoni saat ini. Lukman terdaftar sebagai nasabah di aplikasi Kredivo, mirip seperti Akulaku, sejak akhir tahun lalu. Limit yang ia dapat Rp14,5 juta. Dengan limit sebesar itu, ia beli kamera mirrorless seharga Rp5 juta, bunga 2,95% flat dan tenor 1 tahun. Beli mainan untuk anak, sampai pulsa pun juga dibeli lewat aplikasi tersebut.

Sama seperti Dhimas, Lukman beralasan belanja kebutuhan justru lebih simpel karena dia hanya sekali membayar semua tagihannya satu kali saja. Tidak harus keluar “uang printilan” setiap harinya.

“Pas gajian semuanya dibayar, jadi lebih simpel. Bunganya juga jauh lebih ringan. Kalau bayar sebelum jatuh tempo bisa enggak kena bunga.”

Potensi KTA online

Pengalaman Dhimas dan Lukman bisa memberi gambaran tentang kondisi produk Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang makin merambah ke berbagai segmen masyarakat berkat perusahaan penyedia teknologi, meski bukan dari perusahaan jasa keuangan. Akulaku dan Kredivo adalah dua dari sekian banyak pemain startup fintech di Indonesia yang menggeluti potensi dari produk KTA berbasis smartphone.

Bila diibaratkan, produk KTA yang mereka kembangkan itu seperti kartu kredit virtual, bisa belanja apapun di toko online kapan saja sesuai dengan limit masing-masing. Bayar tagihannya cukup lewat rekening bank. Tak jauh berbeda dengan pengalaman bagi pemegang kartu kredit.

Pengalaman seperti inilah yang ingin diberikan para pemain tersebut kepada seluruh masyarakat Indonesia. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan, pasar KTA online masih sangat luas terutama di kelas menengah perkotaan.

Budaya konsumtif seperti pembelian barang-barang elektronik dan fesyen jadi pemicu meningkatnya permintaan KTA. Jenis debitur KTA pun kini beragam, bagi segmen yang punya rekam kredit kurang bagus biasanya menghindari bank dan memilih startup fintech.

Mereka yang malas berurusan dengan administrasi bank juga preferensinya lebih condong ke startup fintech, terlebih prosedurnya yang lebih mudah dan cepat. Meski kini bank memiliki fasilitas pengajuan secara online, mengingat bank adalah industri yang diatur dengan ketat, tetap saja banyak aturan yang harus dipenuhi.

“Berarti ada konsekuensi kemudahan dan kecepatan proses pengajuan KTA dari pemain fintech yang memang harus dibayar dengan bunga lebih mahal atau denda keterlambatan yang tinggi. Sehingga dengan kata lain, bank yang masuk ke KTA online tidak bersaing secara langsung dengan fintech. Pasarnya masih berbeda,” terang Bhima.

Tokopedia, sebagai salah satu layanan marketplace terbesar, ingin mendukung penguatan daya beli masyarakat Indonesia. Salah satunya dengan pengembangan produk dan layanan keuangan digital seperti KTA yang sudah meluncur sejak tahun lalu.

Menempatkan diri sebagai platform, Tokopedia menyediakan berbagai pilihan KTA dari mitra-mitra penyedia layanan tersebut dan memilih program sesuai para pengguna Tokopedia. Seluruh proses approval serta penagihan dilakukan sepenuhnya oleh mitra penyedia produk yang bersangkutan. Tokopedia hanya menjadi jalur distribusi pemasarannya.

“Kami melihat potensi besar dalam perluasan pemanfaatan produk dan layanan keuangan. Spesifik untuk KTA online, potensi pengembangannya masih sangat besar. Apalagi saat ini KTA merupakan salah satu jenis pinjaman favorit di antara pengguna Tokopedia,” terang Head of Fintech Tokopedia Samuel Sentana.

Kondisi masyarakat

Pemain KTA online juga unjuk bicara ketika membahas potensi bisnisnya. Co-Founder dan CEO Kredivo Akshay Garg mengatakan Indonesia masih menghadapi kesenjangan dalam hal penetrasi kartu kredit. Hanya 3,2% orang Indonesia yang memiliki kartu kredit dari hampir 260 juta populasi.

Ada 70 -80 juta segmen kelas menengah yang layak mendapatkan pinjaman tapi ditolak oleh bank karena profil pekerjaannya. Ini adalah celah besar untuk diisi pemain KTA berbasis online.

Mendukung pernyataan Akshay, COO TunaiKita Andry Huzain menambahkan berdasarkan data OJK, kebutuhan pinjaman nasional mencapai Rp1.600 triliun, namun baru sekitar Rp600 triliun yang sudah terlayani lewat bank.

TunaiKita merupakan perusahaan patungan antara WeCash Southeast Asia, JAS Kapital, dan Kresna Usaha Kreatif (KUK). Dalam memperoleh pinjaman, TunaiKita bekerja sama lewat skema p2p lending dengan investor dari bank dan lembaga keuangan konvensional yang selama ini tidak terlayani oleh lembaga-lembaga tersebut.

“Pendanaan berbasis fintech hadir sebagai alternatif untuk menjangkau masyarakat yang tidak terlayani oleh instrumen pendanaan konvensional, sehingga menjadi komponen penting dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan secara nasional,” ucap Andry.

Masih timpangnya antara potensi dan realisasi pembiayaan, juga tercermin dari kontribusi transaksi e-commerce pada tahun lalu sekitar $10 miliar. Jauh dibandingkan total transaksi ritel offline di Indonesia sebesar $500 miliar.

Pangsa e-commerce masih 2% dari ritel offline. Ini dari pasar sesungguhnya dan masalah inklusi keuangan yang jauh lebih besar untuk dipecahkan,” tambah CEO Awan Tunai Dino Setiawan.

Sama seperti TunaiKita, Awan Tunai juga merupakan salah satu pemain KTA online. Dalam pendekatan bisnisnya, Awan Tunai lebih mengarah ke fasilitas pemberian cicilan untuk nasabah saat berbelanja di toko/agen offline yang sudah bermitra, seperti bengkel, toko susu, apotik, toko HP, dan toko bangunan.

Baik Kredivo, TunaiKita, Awan Tunai, dan Akulaku adalah sebagian dari sekian banyak startup fintech lending yang bergerak di produk KTA berbasis aplikasi.

Coba saja tengok Play Store dan App Store dengan kata kunci pencarian “pinjaman”, “uang”, “kilat”, “cepat”, “tunai”, dan sebagainya. Niscaya, Anda pasti menemukan berbagai aplikasi yang menyediakan jasa KTA online.

Masing-masing perusahaan mengeluarkan berbagai jurus sakti untuk menarik nasabah dengan berbagai penawaran. Entah itu proses verifikasi yang singkat, hanya cukup menggunggah KTP, bisa mendapat fasilitas bunga rendah, limit tinggi, dan sebagainya.

Istilah KTA ini sebenarnya juga ada di perbankan dan multifinance, biasanya di sering lebih dikenal dengan kredit multiguna. Produk ini bisa digunakan untuk kebutuhan konsumsi, renovasi rumah, naik haji, bayar sekolah, dan lainnya.

Dari data OJK, kinerja pembiayaan multiguna di multifinance mencapai Rp252,83 triliun per Mei 2018 atau naik 8,36% secara year-on-year (yoy). Pembiayaan ini mendominasi dibandingkan jenis lainnya seperti pembiayaan investasi Rp126,26 triliun dan pembiayaan modal kerja Rp23,36 triliun.

Sayangnya OJK, tidak merilis secara detail data soal kredit macet di multiguna. Secara keseluruhan NPL di mulfinance sebesar 3,12% di periode yang sama.

Untuk industri perbankan, mengutip data BI, kinerja kredit multiguna sebesar Rp491,49 triliun naik 13,88% secara yoy per April 2018. Di sektor ini saja, kredit macetnya sebesar 1,09%, naik tipis dibandingkan bulan sebelumnya 0,99%.

Survei penetrasi produk KTA

Bekerja sama dengan JakPat, DailySocial melalukan survei singkat terkait penetrasi produk KTA terhadap 1938 responden di Indonesia, mayoritas didominasi oleh kalangan usia 20-25 tahun (37,77%) dan 26-29 (23,43%).

Hasilnya cukup menarik, 55,37% responden mengatakan bahwa mereka pernah belanja online dengan fitur cicilan tanpa agunan. Yang tidak pernah, mereka beralasan memberatkan (38,5%), riba (26,01%), besaran bunga (22,31%), dan lainnya (13,18%).

Responden yang menyatakan pernah memakai, mengaku menggunakan fitur tersebut sekitar 1-3 kali (83,13%). Ada juga yang pernah pakai antara 3-10 kali (13,23%) dan di atas 10 kali (3,63%). Mereka memakainya untuk beli handphone (52,56%), barang elektronik (26,37%), properti (12,4%), barang mewah (2,24%), dan lainnya (6,43%).

Untuk opsi jawaban lainnya, ada yang menjawab untuk beli tiket pesawat, baju, modal usaha, bayar hutang, biaya medis, kendaraan, pulsa PLN, dan sebagainya. Responden menyatakan alasan mengambil produk cicilan ini, lebih ringan (50,89%), sama saja (33,83%), memberatkan (14,54%), dan lainnya (0,75%).

Secara umum responden menyebut proses pengajuan KTA yang ada sejauh ini lebih simpel (83,69%), sisanya menjawab rumit (16,31%). Ketika ditanya pertimbangan saat memilih perusahaan tempat mengambil cicilan, mayoritas dikarenakan penawaran bunga lebih ringan (31,13%), promosi yang ditawarkan menarik (27,59%), referensi orang lain (23,95%), reputasi perusahaan (15,94%), dan lainnya (1,4%).

Terkait perusahaan yang responden pilih untuk mengambil produk, responden mayoritas memilih bank (62,63%), fleksibel tergantung penawaran (21,81%), startup lending (8,48%), lembaga non bank (7,08%).

Terakhir, responden merasa paling familiar atau pernah gunakan pinjaman dari Akulaku (57,5%), Kredivo (44,55%), Home Credit (44,45%), UangTeman (34,4%), TunaiKita (31,8%), Kredit Pintar (29,54%), dan sisanya dari perusahaan seperti Dana Rupiah, Awan Tunai, Go Rupiah, Pinjaman Go, We Cash, dan sebagainya.

Dari hasil survei ini bisa disimpulkan bahwa responden sudah cukup familiar dengan produk KTA. Terlihat dari respons mereka yang mengatakan prosedur pengajuannya yang simpel. Hanya, responden masih mempercayakan bank sebagai institusi pemberi pinjaman, meski mereka masih mempertimbangkan opsi memilih perusahaan di luar bank karena mereka akan kembali melihat penawaran yang ditawarkan.

Mitigasi risiko

Profil beberapa penyedia layanan KTA online
Profil beberapa penyedia layanan KTA online

Produk KTA online dengan segala kemudahannya, juga menyimpan rasa was-was bagi perusahaan penyelenggaranya apabila nasabahnya gagal bayar hutang di kemudian hari. Wajib hukumnya untuk para penyelenggara memitigasi bisnis dengan mengembangan sistem credit scoring sendiri menggunakan teknologi termutakhir demi memastikan nasabah yang mereka pinjami adalah orang yang tepat.

Terlebih mereka bukan lembaga jasa keuangan yang diwajibkan OJK untuk terdaftar sebagai pelapor Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau dikenal OJK Checking (dulu BI Checking). SLIK adalah infrastruktur penting dalam industri keuangan untuk mitigasi risiko, terutama risiko kredit sehingga dapat menurunkan tingkat kredit macet.

SLIK menyimpan berbagai data akurat, antara lain data cicilan seperti Telkom, PLN, PDAM, termasuk BPJS. Kemudian nama ibu kandung, nama istri (dulu tidak ada), NPWP, fasilitas pinjaman, agunan, jaminan, informasi keuangan. Informasi penghasilan, data pasangan, informasi keuangan badan usaha yang lebih rinci dan informasi lain-lain.

Mitigasi risiko ini merupakan salah satu upaya para perusahaan penyelenggara untuk menekan kredit macet yang kemungkinan bakal terjadi ke depannya. Dalam ketentuan BI, bank diwajibkan untuk menjaga rasio kredit macet bersih (NPL nett) di bawah 5%. Rasio ini juga menjadi acuan bagi para penyelenggara dalam menunjukkan kualitas penyaluran, terlebih ada beberapa penyelenggara yang mendapat sumber dana pinjaman dari bank atau multifinance.

Andry Huzain menerangkan TunaiKita memanfaatkan lending robot yang mengombinasikan prinsip-prinsip finansial, teknologi mobile, big data, dan machine learning untuk mengevaluasi kredit dan menyetujui pinjaman dengan lebih cepat, berkualitas, dan bekerja 24/7.

Lending robot ini mampu mengelola risiko dalam penyaluran pinjaman secara transparan dan efisien. Proses pengajuan kredit pun bisa dituntaskan dalam hitungan detik jika nasabah tersebut memang punya kelayakan kredit yang tinggi. Nilai pinjaman yang ditawarkan mulai Rp500 ribu sampai Rp20 juta dengan tenor 10 hari hingga 6 bulan. Untuk pinjaman harian, bunganya dimulai 0,95% per hari.

Sejak berdiri tahun lalu hingga Q1 2018, TunaiKita telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp700 miliar dan menargetkan pertumbuhan bulanan 25%-30% setiap bulannya.

Sedangkan dari sisi Kredivo, perusahaan mengusung pelayanan cepat, mulai dari pengunduhan aplikasi sampai proses persetujuan kurang dari 5 menit. Proses checkout belanja hanya memakan dua kali klik saja, sehingga memudahkan konsumen dan mengurangi tingkat pengabaian keranjang bagi pedagang.

Akshay Garg mengatakan perusahaan mengembangkan sistem penilaian kredit dan verifikasi identitas digital yang memenuhi syarat sebagai pengguna potensial berdasarkan ribuan variabel yang berbeda. Ada kombinasi metodologi pembelajaran mesin dan statistik untuk menambang data di berbagai sumber, antara lain ponsel, grafik sosial, akun e-commerce, rekening bank, lokasi, dan sebagainya.

“Cara ini bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar data palsu, serta peminjam buruk. Ada pemberitahuan berkala untuk membantu pengguna tetap mengetahui tanggal jatuh tempo mereka.”

Kredivo bekerja sama dengan lebih dari 200 perusahaan e-commerce yang bergerak di bidang marketplace, gadget & elektronik, pulsa, fesyen, perlengkapan rumah, jasa, travel & hotel, lifestyle, dan masih banyak lagi. Akshay mengklaim setiap bulannya dia mengklaim pertumbuhan bisnis secara keseluruhan tumbuh 20%.

Dalam kesempatan sebelumnya, Akshay menargetkan penyaluran pinjaman Kredivo sebesar US$150 juta (lebih dari Rp2 triliun) sepanjang tahun ini atau naik empat kali lipat dibandingkan sebelumnya US$40 juta (sekitar Rp500 miliar). Nasabah Kredivo diungkapkan telah menyentuh angka sekitar 500 ribu orang dan ditargetkan dapat tembus 1 juta.

Tahun lalu Kredivo mencatatkan sebanyak 20-25 ribu transaksi di e-commerce setiap harinya. Diharapkan tahun ini bisa tembus 150 ribu-200 ribu transaksi, seiring makin bertambahnya jumlah mitra e-commerce Kredivo.

Awan Tunai tak mau kalah. Mengingat pendekatan bisnis perusahaan yang berbeda, pihaknya memilih tidak masuk ke pasar e-commerce karena Dino Setiawan menilai pasar ritel offline jauh lebih besar karena juga mencakup pelaku UKM. Dalam mitigasi risiko, perusahaan bekerja sama dengan bank untuk menilai kredit, sementara AwanTunai menyediakan datanya.

“Kami menggunakan teknologi kami untuk membantu bank mengakses 85% orang Indonesia yang saat ini tidak dapat mereka layani. Bank itu sangat pandai dalam mengelola risiko, sedangkan fintech memiliki kekuatan yang dapat memproses pinjaman dengan biaya sangat rendah.”

Nominal pinjaman yang dapat diajukan antara Rp1,5 juta sampai Rp3 juta, tenor 9 bulan dan bunga mulai dari 3%. Hingga kini Awan Tunai menyalurkan ke lebih dari 10 ribu nasabah dari sekitar 150 ribu aplikasi yang mengajukan. Nilai pembiayaan yang telah disalurkan lebih dari Rp20 miliar dengan NPL yang selalu di jaga di bawah 5% sesuai industri.

Saat ini total mitra pengecer Awan Tunai ada lebih dari dua ribu toko yang tersebar di Jabodetabek. Perusahaan memperolah sumber dana pembiayaan dari lembaga keuangan, salah satunya KreditPlus sebesar $30 juta.

Secara industri, OJK mencatat hingga tengah tahun ini, NPL perusahaan fintech berada di kisaran 0,58%. Angka tersebut turun dibandingkan Januari 2018 di level 1%. Penurunan ini diklaim berkat teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) yang ketat menyeleksi calon peminjam karena banyak data yang diterima dan dikelola.

Buntut cerita Rupiah Plus

Cerita Rupiah Plus yang menjadi sorotan selama beberapa pekan belakangan karena cara penagihan hutang yang “tidak biasa” terhadap nasabahnya yang menunggak, menggerakkan asosiasi dan regulator untuk menenangkan masyarakat.

Rupiah Plus termasuk perusahaan yang menyediakan produk KTA online, mulai dari Rp800 ribu sampai Rp 1,5 juta dengan jangka waktu jatuh tempo 14 hari. Bila terlambat membayar akan dikenakan denda 2% per hari.

Kabar terbaru (13/7), OJK telah mengeluarkan sanksi berupa penangguhan proses izin usaha selama tiga bulan kepada pihak Rupiah Plus, mulai berlaku sejak awal Juli ini. Adapun status perusahaan tersebut baru mengantongi surat tanda terdaftar sebagai perusahaan p2p lending.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan dampak dari sanksi tersebut rencana-rencana perusahaan yang akan dilakukan ketika sudah mendapat izin harus ditunda. Mereka harus memperbaiki internal perusahaan dan persyaratan lainnya yang diminta OJK.

“Kami sudah evaluasi, penyelenggara sudah punya SOP yang spirit-nya mirip dengan SE OJK. Tapi karyawannya dan pihak ketiga tidak bertindak sesuai SOP. Artinya ada kesalahan pengendalian internal yang lemah, sanksi tetap ada untuk mereka,” kata Hendrikus, Jumat (13/7).

Di pihak lain, OJK juga menemukan kesalahan debitur Rupiah Plus. Debitur itu menunjukkkan kesengajaannya menghindar dari kewajiban membayar tagihan dengan menonaktifkan nomor ponselnya, sehingga sulit dihubungi. Menurut Hendrikus, solusi yang baiknya dilakukan penyelenggara adalah melaporkannya ke OJK karena sudah ada itikad tidak baik di sini, bukan dengan memakai data pribadi di luar persetujuan.

“Kami coba lihat dari dua sisi, jadilah penyelenggara yang adil dan transparan, kerahasiaan data konsumen harus dijaga. Jadi jalan tengahnya bisa laporkan ke OJK atau ke asosiasi, kumpulkan data debitur bermasalah dalam satu pusat data biar direkam.”

Entah sanksi dari OJK ini bisa dikatakan membuat timbulnya efek jera atau tidak. Terpampang jelas di laman situs Rupiah Plus di Pusat Bantuan, pihak Rupiah Plus berjanji tidak akan mengungkapkan informasi pribadi nasabah pada pihak ketiga tanpa persetujuan Anda. Namun janji tersebut akan diingkari bila nasabah menunggak dan kebutuhan layanan. Apakah pernyataan ini sejalan dengan aturan OJK?

Tak hanya OJK yang bisa memberi sanksi, asosiasi pun demikian. Menurut Legal Coordinator Fintech Lending Division Aftech Chandra Kusuma, asosiasi bisa memberikan surat teguran kepada Rupiah Plus bahkan sampai dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi.

“Kepercayaan masyarakat perlu dijaga. Selama ini industri fintech lending sangat dipercaya masyarakat dan terbukti telah berkontribusi bagi perekonomian negara. Kami sangat yakin konsumen akan tetap percaya pada bidang usaha fintech, pelaku usaha lain masih banyak yang bersikap baik, patuh hukum, dan beretika,” kata Chandra.

Bhima Yudhistira ikut menambahkan, fintech dapat dengan mudah bagi-bagi kredit ke debitur lewat teknologi. Namun untuk penagihan biasanya berat dan mahal, akhirnya melakukan outsource ke pihak ketiga, mirip dengan yang terjadi di mulfinance. Akhirnya menimbulkan konflik antara debitur dan debt collector.

“Di sini OJK tidak bisa tinggal diam. Jangan karena fintech lalu pengawasan yang berkaitan dengan nasabah lalu diperlonggar. Atau kalau sudah ada aduan baru diproses, itu kurang bijak,” katanya.

Bila kembali ke cerita Dhimas dan Lukman, mereka mengaku proses pembayaran tagihan sangat mudah. Dhimas misalnya, dia bisa bayar tagihan lewat virtual account yang bisa dibayarkan di bank manapun. Lukman pun selalu berusaha bayar tepat waktu agar tidak dikenakan bunga sama sekali bila membayar di bawah 30 hari.

Sebenarnya seperti apa prosedur penagihan yang dilakukan oleh startup fintech? Tunai Kita misalnya, hanya menagih ke nomor kontak yang diberikan nasabah. Keseluruhan proses dilakukan tim Tunai Kita dan tidak melibatkan pihak ketiga.

“Tata cara kami mengikuti regulasi OJK tentang penagihan utang yang diterapkan di perbankan dan lembaga keuangan,” kata Andry Huzain.

Kredivo pun sependapat. Akshay Garg menginginkan Kredivo berjalan sebagai perusahaan untuk jangka panjang. Untuk itu perusahaan sangat menjunjung standar profesionalisme yang ketat.

“Rating aplikasi kami yang mewakili indeks kepuasan kepuasan adalah salah satu yang tertinggi di industri ini [4,5 bintang di Play Store dan 4,7 di App Store],” terang Akshay.

Founder dan CEO Uang Teman Aidil Zulkifli menambahkan, apabila ada nasabah yang kredit macetnya di atas 60 hari dari tanggal jatuh tempo, pihaknya baru akan menggunakan jasa pihak ketiga yang bersertifikasi dari APPI (Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia). Di bawah kurun waktu tersebut, perusahaan tetap menggunakan SOP sesuai standar berlaku di OJK.

“Jatuh tempo di Uang Teman dimulai dari 10-30 hari setelah tanggal tagihan, hitungannya bunga harian. Kalau di atas 60 hari baru kita pakai jasa pihak ketiga yang bersertifikasi. Ada track record bermitra dengan bank BUKU IV. Bila gagal baru di-write off, jadi kami tetap jaga image nasabah,” terang Aidil.

Aidil mengklaim dengan metode penagihan ini, perusahaan berhasil menjaga rasio NPL di bawah kisaran 3%. Saat ini perusahaan telah menyalurkan pinjaman lebih dari Rp500 miliar untuk sekitar 50 ribu nasabah. Uang Teman berharap tahun ini dapat tembus Rp1 triliun untuk penyaluran pinjamannya.

Apa yang dilakukan Awan Tunai juga tak jauh berbeda. Hanya saja Dino Setiawan menekankan bahwa industri fintech lending masih menjadi industri yang baru. Untuk beroperasi di skala besar, jelas bahwa perusahaan harus menyesuaikan diri dengan peraturan collections yang sudah ada.

“Industri baru, apalagi yang mencari inovasi baru pasti akan coba macam-macam. Jelas jika ada yang melanggar, itu perlu diperbaiki, atau ada hal jelek yang belum dilarang oleh peraturan, ya mekanisme seperti media atau lapor ke asosiasi atau regulator perlu dilakukan. Konsekuensi tidak bayar pinjaman pasti ada, mau di mana pun itu,” terang Dino.

Tindakan preventif Aftech

Peresmian acara Fintech Fair 2018 di Jakarta
Peresmian acara Fintech Fair 2018 di Jakarta

Pasca kejadian Rupiah Plus, Aftech makin gencar memformalkan dokumen “Pedomen Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab” yang sempat molor dari jadwal pengesahan yang semestinya April 2018.

Direktur Kebijakan Publik Aftech Ajisatria Suleiman menuturkan, dokumen tersebut sebenarnya sudah disahkan secara informal untuk antar anggota asosiasi. OJK pun sudah memberikan restu. Namun pihaknya ingin diformalkan dengan membentuk komite etik yang terdiri atas tiga advokat idependen.

“Minggu depan [pekan ketiga Juli] kita akan angkat dewan komite etik, sudah ada nama-nama advokatnya. Kemudian kita juga sudah buat coworking grup khusus pinjaman harian. Mereka akan buat standarisasi SOP penagihan, semuanya sudah kita rapatkan dengan 18 anggota,” kata Aji, Jumat (13/7).

Berikutnya asosiasi juga telah menetapkan pilot project untuk sharing data yang dimulai dengan delapan perusahaan fintech. Sharing data ini dimaksudkan untuk memeriksa daftar blacklist dan fraud debitur. Ini mirip seperti SLIK yang sudah berlaku di industri jasa keuangan.

“Kita inginnya semua perusahaan ikut, tapi kan ini isunya lagi sensitif jadi dimulai dulu dari yang mau dulu. Sekarang sistemnya masih dibentuk, tapi sudah ada PIC-nya, Pak Izak Jenie.”

Lebih cerdas beri akses data

Pada dasarnya apapun aplikasi yang sudah diunduh di smartphone, ada data digital yang telah diambil oleh perusahaan pengembang aplikasi tersebut. Data digital tersebut bisa digunakan untuk credit scoring, membaca kebiasaan pengguna, verifikasi data, dan lainnya.

Seluruh data baru bisa diambil pemilik aplikasi ketika pengguna mendapat pertanyaan, meminta pengguna untuk memberi akses daftar kontak, SMS, lokasi, foto/dokumen, kamera, koneksi internet, nomor IMEI smartphone, dan riwayat panggilan. Lalu menjawab “ya” dari pop up tersebut.

“Ketika pakai smartphone dan pakai aplikasi apapun pasti ada pertanyaan yang meminta izin dibuka aksesnya terhadap smartphone Anda. Ketika pilih Yes, data Anda akan pindah ke pemilik aplikasi. Harus sadar sesadar-sadarnya bahwa data digital Anda sudah berpindah, terserah mau diapakan. Jadi jangan dikira hanya fintech online saja yang ambil data,” ungkap Hendrikus Passagi.

Dengan kata lain, sambung Hendrikus, apa yang dilakukan Rupiah Plus juga dilakukan perusahaan fintech lainnya dan seluruh aplikasi pada umumnya. Hanya saja ada kesalahan internal Rupiah Plus yang menyalahgunakan daftar kontak pengguna untuk kebutuhan penagihan.

DailySocial mencoba membandingkan dan menjabarkan akses data apa saja yang diminta berbagai aplikasi fintech kepada penggunanya. Agar adil, kami hanya membandingkan antar aplikasi yang bergerak di produk KTA online. Ada Kredivo, Akulaku, Awan Tunai, TunaiKita, Rupiah Plus, dan Uang Teman.

Data pribadi pengguna yang diminta penyedia layanan KTA online
Data pribadi pengguna yang diminta penyedia layanan KTA online

Kesimpulannya keenam aplikasi secara detail meminta informasi data digital pengguna, mulai dari informasi perangkat dan aktivitas aplikasi, riwayat panggilan, membaca kontak pengguna, mengirim dan melihat pesan SMS, kamara, foto dan dokumen baik di perangkat maupun eksternal, hingga koneksi Wi-Fi yang dipakai.

Namun yang sedikit berbeda, Akulaku dan Rupiah Plus juga mensyaratkan akses untuk mikrofon di perangkat. Kredivo, Awan Tunai, dan TunaiKita tidak meminta akses tersebut. Kemudian, hanya Kredivo yang mensyaratkan akses untuk kalender. Aplikasi lainnya tidak meminta akses itu.

Pada akhirnya, kemudahan yang ditawarkan produk KTA online jangan membuat Anda lengah. Tetap kritis saat memilih pinjaman, jangan sampai lengah untuk terperangkap ke layanan yang “abal-abal”. Harus bertanggung jawab atas segala risiko yang sudah dipilih dan tertib membayar angsurannya.

Saat mengunduh aplikasi baru, perhatikan apa saja data yang diminta oleh pemilik aplikasi. Pencurian data saat ini semakin mudah, bahkan bisa tidak disadari sama sekali. Pemilik layanan pun harus lebih berhati-hati dalam menyimpan data digital pengguna, jangan sampai jatuh ke pihak yang tidak bertanggung jawab.