Aquatech Startup DELOS Receives Seed Funding Led by Arise

Aquatech startup DELOS announced seed funding with an undisclosed amount led by Arise, a special fund created by MDI Ventures and Finch Capital. MDI Ventures also participated in this round, along with other investors, such as Hendra Kwik (Number Capital), Irvan Kolonas (JAPFA Executive), and iSeed Asia.

The company plans to utilize the fresh funds to strengthen and improve its DELOS shrimp production software accurately to forecast and recommend actions to increase farm profitability and productivity. In addition, funds will also be channeld to develop value chain integration and on-board more DELOS agricultural partners.

DELOS was founded this year by Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, and Alexander Farthing. These three founders brings together a multidisciplinary team covering aquaculture, marine biology, technology, and business. The startup partners closely with Dewi Laut Aquaqulture, a leading local aquaculture company, and Alun, a leading aquaculture fintech company, to accelerate the development of in-house technology.

DELOS holds an ambition to encourage the growth and modernization of the Indonesian aquaculture industry. Currently, there are currently basic problems in the supply chain in this sector due to the lack of technology adoption. Whereas global demand for seafood-based protein is increasing, while wild-fished stocks are declining under immense pressure. Aquaculture supplies more than 60% of all seafood consumed.

With its 54,000 km coastline, abundant coastal human resources, and tropical climate, Indonesia is set to become a clear global leader for sustainable aquaculture, especially with Indonesian shrimp competing on a global scale as the world’s second most valuable aquaculture product, the greatest seafood export.

The Indonesian government recognizes a new revolution, targeting shrimp aquaculture and production to grow by 250% over the next 3 years. However, low technology adoption, non-standard management practices, and poor access to finance have set a limit to the growth of Indonesian aquaculture – particularly aquaculture productivity.

These factors have created bottlenecks in the middle of the value chain, and limited downstream processor output to an average of 40%-60% capacity. Less than 5% farms are 4 times more productive than neighboring farms (40 tonnes vs 10 tonnes/Ha).

This productivity gap has kept a $2 billion industry from fulfilling its latent potential and becoming a $4 billion industry, according to Indonesia’s Ministry of Fisheries.

DELOS‘s interdisciplinary team and cutting-edge technology will be critical to supporting the national agenda to promote this growth while maintaining economic, social and environmental sustainability.

Guntur and his team are trying to improve their experience, network and IP, a full-stack pond management system that is researched and developed internally to increase the productive capacity and output of existing Indonesian shrimp farms by 50%-150% – creating value for farmers, increase the volume of national exports, and enhance Indonesia’s reputation as the world’s leading aquaculture country.

In its official statement, Arise Partner Aldi Adrian Hartanto explained that the classic challenges in the layered value chain, low productivity, and lack of financing has blocked the Indonesian shrimp industry which has not been fully utilized, even though it accounts for 77% of the total value of fishery products.

“DELOS technology-based solutions have succeeded in immersing technology and operations into the culture and infrastructure of local farmers while bridging them with existing stakeholders. This leads to a higher FCR (Feed Conversion Ratio), SR (Survival Rate), and Harvest, making it a deadly flywheel,” he concluded, Thursday (28/10).

Aquaculture startup in Indonesia

The global Aquaculture market size is expected to have a market growth in the forecast period 2020 to 2025, at a CAGR of 3.5%% in the forecast period 2020 to 2025 and is expected to reach $239.8 trillion in 2025, from $209.4 trillion in 2019.

Every year, aquaculture increases its contribution to global seafood production. The sector produced 110.2 million tonnes in 2016, valued at $243.5 billion and constitutes 53 percent of the world’s seafood supply. According to FAO data, 90 percent of production volume is produced in Asia.

In Indonesia, there are already several startups that have started targeting similar segments. In includes Aruna, a technology startup that provides a platform to make it easier for fishermen to sell their products directly to global and domestic markets. The company has also successfully secured funding in 2020 from East Ventures, AC Ventures, and SMDV.

One more startup that is engaged in a more specific sector, Jala. This startup presents technological solutions to optimize the productivity of shrimp farmers in Indonesia. In 2019, his team managed to secure an initial round of funding from 500 Startups of 8 billion Rupiah.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Aquatech DELOS Peroleh Pendanaan Tahap Awal Dipimpin Arise

Startup aquatech DELOS mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dipimpin oleh Arise, fund khusus besutan MDI Ventures dan Finch Capital. MDI Ventures sendiri turut berpartisipasi dalam putaran tersebut, beserta investor lainnya, seperti Hendra Kwik (Number Capital), Irvan Kolonas (JAPFA Eksekutif), dan iSeed Asia.

Perusahaan berencana untuk memanfaatkan dana segar untuk memperkuat dan meningkatkan perangkat lunak produksi udang DELOS secara akurat untuk memperkirakan dan merekomendasikan tindakan agar profitabilitas dan produktivitas tambak meningkat. Selain itu, dana juga akan digunakan untuk mengembangkan integrasi value chain dan on-board lebih banyak mitra pertanian DELOS.

DELOS dirintis pada tahun ini oleh Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, dan Alexander Farthing. Perpaduan para founder ini menghadirkan tim multidisiplin yang mencakup akuakultur, biologi kelautan, teknologi, dan bisnis. Startup ini bermitra erat dengan Dewi Laut Aquaqulture, perusahaan akuakultur lokal terkemuka, dan Alun selaku perusahaan fintech akuakultur terkemuka, untuk mempercepat pengembangan teknologi in-house.

DELOS berambisi ingin mendorong pertumbuhan dan modernisasi industri akuakultur Indonesia. Saat ini masih terjadi masalah klasik dalam rantai pasok di sektor tersebut karena minimnya adopsi teknologi. Padahal permintaan global untuk protein berbasis makanan laut meningkat, sementara stok penangkapan ikan liar berkurang di bawah tekanan besar. Akuakultur memasok lebih dari 60% dari semua makanan laut yang dikonsumsi.

Dengan garis pantai sepanjang 54.000 km, sumber daya manusia pesisir yang melimpah, dan iklim tropis, Indonesia tampaknya akan menjadi pemimpin global yang jelas untuk akuakultur berkelanjutan, terutama dengan udang Indonesia yang bersaing dalam skala global sebagai produk akuakultur paling berharga kedua di dunia, yaitu ekspor makanan laut terbesar.

Pemerintah Indonesia mengakui sebuah revolusi baru, telah menargetkan budidaya dan produksi udang untuk tumbuh 250% selama 3 tahun ke depan. Namun, adopsi teknologi yang rendah, praktik pengelolaan yang tidak sesuai standar, dan akses yang buruk ke pembiayaan telah membatasi pertumbuhan akuakultur Indonesia –terutama menghambat produktivitas akuakultur.

Faktor-faktor tersebut telah menciptakan hambatan di tengah-tengah rantai nilai, dan membatasi output prosesor hilir hingga rata-rata 40%-60% kapasitas. Kurang dari 5% pertanian 4 kali lebih produktif daripada pertanian tetangganya (40 ton vs 10 ton/Ha).

Kesenjangan produktivitas inilah yang membuat industri senilai $2 miliar tidak dapat memenuhi potensi terpendamnya dan menjadi industri senilai $4 miliar, menurut Kementerian Perikanan Indonesia.

Tim lintas disiplin DELOS dan teknologi mutakhir akan sangat penting untuk mendukung agenda nasional untuk mendorong pertumbuhan ini dengan tetap menjaga keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Guntur beserta tim berusaha untuk meningkatkan pengalaman, jaringan, dan IP-nya, sistem manajemen tambak full-stack yang diteliti dan dikembangkan secara internal untuk meningkatkan kapasitas produktif dan output tambak udang Indonesia yang ada sebesar 50%-150% –menciptakan nilai bagi petani, meningkatkan volume ekspor nasional, dan meningkatkan reputasi Indonesia sebagai negara akuakultur terkemuka dunia.

Dalam keterangan resmi, Partner Arise Aldi Adrian Hartanto menjelaskan, tantangan klasik dalam value chain berlapis, produktivitas yang rendah, dan kurangnya pembiayaan menghambat industri udang nusantara yang belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal menyumbang 77% dari keseluruhan nilai hasil perikanan.

“Solusi berbasis teknologi DELOS telah berhasil membenamkan teknologi dan operasi ke dalam budaya dan infrastruktur petani lokal sambil menjembatani mereka dengan pemangku kepentingan yang ada. Ini mengarah ke FCR (Feed Conversion Ratio), SR (Survival Rate), dan Harvest yang lebih tinggi, menjadikannya roda gila yang mematikan,” tutupnya, Kamis (28/10).

Startup akuakultur di Indonesia

Ukuran pasar akuakultur global diperkirakan akan memperoleh pertumbuhan pasar pada periode perkiraan 2020 hingga 2025, dengan CAGR 3,5%% pada periode perkiraan 2020 hingga 2025 dan diperkirakan akan mencapai $239,8 triliun pada 2025, dari $209,4 triliun pada tahun 2019.

Setiap tahun, akuakultur meningkatkan kontribusinya terhadap produksi makanan laut global. Sektor ini menghasilkan 110,2 juta ton pada tahun 2016, senilai $243,5 miliar dan merupakan 53 persen dari pasokan makanan laut dunia. Menurut data FAO, 90 persen volume produksi diproduksi di Asia.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa startup yang mulai menyasar segmen sejenis. Sebut saja Aruna, startup teknologi yang menyediakan platform untuk mempermudah para nelayan dalam menjual produknya langsung ke pasar global dan domestik. Perusahaan ini juga telah berhasil meraih pendanaan di tahun 2020 dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Satu lagi startup yang bergerak di sektor yang lebih spesifik yaitu Jala. Startup ini menghadirkan solusi teknologi untuk mengoptimalkan produktivitas petani udang di Indonesia. Di tahun 2019, timnya berhasil mengamankan pendanaan putaran awal dari 500 Startups sebesar 8 miliar Rupiah.

GoCement Terima Pendanaan Tahap Awal, Digitalkan Industri Konstruksi Melalui Marketplace B2B

Startup marketplace B2B khusus konstruksi “GoCement” berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal dari Arise (fund kolaborasi MDI Ventures dan Finch Capital), MDI Ventures, Beenext, dan Ideosource. Tidak disebutkan nominal dana yang didapat dalam putaran ini. Perusahaan memastikan dana segar akan dimanfaatkan untuk mempercepat pengembangan produk pasar B2B dengan memasukkan distributor besar ke dalam platform-nya, termasuk memanfaatkan jaringan Arise di perusahaan konstruksi pelat merah.

GoCement didirikan pada 2020 di tengah pandemi oleh Djonny Suwanto dan Asanga Abhayawardhana yang berpengalaman lebih dari 30 tahun di industri konstruksi karena keduanya berasal dari latar belakang pabrikan dan distributor. Dengan pengalaman matang di industri perdagangan bahan bangunan, menjadi bekal yang baik untuk mendorong tingkat pertumbuhan teknologi konstruksi.

Layanan tersebut berusaha mendigitalkan industri konstruksi yang ada dengan menciptakan pasar yang memanfaatkan distribusi bahan bangunan terdesentralisasi melalui manufaktur cloud. Model ini dicapai dengan mengarahkan produsen, distributor, membangun toko ritel, kontraktor, dan konsumen individu lainnya ke dalam satu platform. Dengan memanfaatkan manufaktur cloud, GoCement akan memberdayakan produsen UKM lokal untuk meningkatkan load cell mereka agar dapat menjaring klien yang lebih besar.

Kebutuhan dramatis untuk transformasi digital telah diperkuat melalui pandemi, pertumbuhan pasar B2B melonjak 16% selama beberapa tahun terakhir. Alasan ledakan teknologi konstruksi terutama berkisar pada tantangan yang dihadapinya dengan fragmentasi yang tinggi, komunikasi yang buruk, dan kurangnya transparansi data. GoCement memberikan solusi inovatif untuk menjawab tantangan yang ada di pasar tersebut.

CEO & Founder GoCement Djonny Suwanto menuturkan, konstruksi adalah industri yang masif, ekosistem yang kompleks dari pemilik proyek, pengembang, arsitek, kontraktor umum, subkontraktor hingga tukang (mandor/tukang), dan banyak lagi. Ia bahkan menyebut industri ini sebagai dinosaurus terakhir yang siap untuk disrupsi teknologi.

Selama bertahun-tahun, ia mengamati beberapa masalah signifikan dalam industri konstruksi, terutama didorong oleh pengadaan material yang tidak efisien dan pengangkutan barang-barang berukuran besar yang bernilai rendah. Masalahnya nyata. Kontraktor harus dapat menghemat waktu dan kerumitan untuk menghasilkan produktivitas.

“GoCement hadir untuk merevolusi industri dengan menghadirkan transparansi dan pengadaan bahan bangunan serta perekrutan peralatan yang efisien melalui inovasi & teknologinya,” ucapnya dalam keterangan resmi, Senin (18/10).

Partner Arise Aldi Adrian Hartanto menjelaskan, industri konstruksi Indonesia mirip dengan India karena didominasi oleh beberapa pemain besar. Kesempatan tersebut memungkinkan pemain seperti Infra.Market untuk membangun jaringan yang membantu produsen kecil mengembangkan bisnis mereka dan bersaing dengan perusahaan yang lebih mapan. Infra.Market adalah startup sejenis asal India yang memiliki pangsa pasar besar di negara tersebut.

Semangat tersebut membentuk visi yang sama bagi GoCement untuk mengurangi kelebihan kapasitas di industri ini melalui digitalisasi dan pemberdayaan seluruh pemangku kepentingan terkait di Indonesia.

“Kami memiliki keyakinan penuh bahwa Djonny dan Asanga, mengingat latar belakang mereka yang sangat kompatibel, bergabung dengan sumber daya dan jaringan kami yang kuat dalam ledakan konstruksi nasional untuk menjadi ujung tombak keberhasilan GoCement,” terangnya.

Partner Ideosource Edward Chamdani menambahkan, ”Kami percaya bahwa GoCement akan menjadi hal besar berikutnya dalam industri ConTech (construction tech) melalui digitalisasi rantai pasokan; sehingga kehadiran GoCement akan memungkinkan pengguna akhir untuk mengakses produk berkualitas tinggi namun terjangkau dan mengirimkannya ke daerah yang kurang dapat diakses bahkan.”

Pangsa pasar marketplace B2B

Dalam unggahannya, Arise menjelaskan dengan meningkatnya adopsi digital yang didorong oleh pandemi secara global, marketplace B2C telah menjadi salah satu yang paling diuntungkan. Namun di Asia, segmen ini menyumbang hampir 80% dari penjualan transaksi B2B global, mencapai $6,1 triliun. “Angka tersebut menunjukkan peluang signifikan yang belum dimanfaatkan di sisi lain, yang menarik perhatian kami di Arise,” tulis perusahaan.

Tidak seperti marketplace B2C, sektor marketplace B2B menghadapi batasan yang signifikan karena sifat industri yang berbeda – membutuhkan pendekatan yang disesuaikan dan khusus. Tren serupa juga muncul di Asia Tenggara yang mengambil jalan berbeda tentang aturan main marketplace B2C.

Alih-alih “pemenang mengambil semua” (winner takes all) menjadi “berbagai pemenang di setiap vertikal” seperti: agrikultur, ritel F&B, consumer goods, perlengkapan konstruksi, manufaktur, perlengkapan kantor, dan lainnya.

Modalku Debuts in Thailand, Securing Early Stage Funding from 500 Tuktuk

Funding Societies (known as Modalku in Indonesia) announced its operational debut in Thailand, after obtaining a crowdfunding license from the Thailand Securities and Exchange Commission (SEC) in February 2021. Simultaneously, the company secured early stage funding with an undisclosed nominal from 500 TukTuks.

Apart from Modalku, another fintech company pursuing on the same opportunity in the regional arena is Investree. In addition, Danacita has also been available in Thailand.

500 TukTuk is a venture capital part of 500 Startups which focuses on early-stage funding for startups across Thailand and CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, and Vietnam).

Funding Societies Thailand’s Country Head, Varun Bhandari said, the company’s vision is to always serve credit-worthy SMEs while growing wealth for investors. “[..] We believe that this will pave the way for Funding Societies to become the first choice digital lender for SMEs,” he said in an official statement.

500 TukTuk’s Partner, Krating Poonpol added, fintech is one of the rising industries with exponential growth in recent years. In Southeast Asia, there are many successful fintech startups due to many different factors including its large market size, population size, established financial institutions, and businesses that are open to new technologies and innovations.

They discover an opportunity for Funding Societies to grow exponentially with its capacity to solve the challenges faced by SMEs and startups in the region. “We strongly believe that Funding Societies can strengthen the Thai economy by offering solutions for entrepreneurs in Thailand,” he said.

Since the launching in Thailand, Funding Societies has funded local Thai SMEs and startups of up to more than THB100 million (approximately 42 billion Rupiah) at affordable prices, with no bad credit. Also, partnering with Central Retail, NocNoc, Freshket, and Accrevo as institutional lenders.

Funding Societies offer short-term financing to businesses, connecting them to retail and institutional clients seeking attractive alternative investment opportunities. In Thailand, there are more than 3 million SMEs operating in various industries, and more than 60% of them have experienced declining income due to the pandemic.

Many of these SMEs have no access to adequate funding from traditional financial institutions. As small businesses become the backbone of the economy, Funding Societies is committed to bridging the SME financing gap in the region by providing flexible loan products to meet working capital and expansion needs such as invoice financing, PO financing, project financing and term loans of up to THB 50 million (approx. 21 billion Rupiah).

The Modalku Group was founded in 2015 to address the S$300 billion SME funding gap, with the strong belief that every eligible SME deserves funding. Over the past six years, the company has disbursed over 58 billion (over 21 trillion Rupiah) THB through 4.8 million loans to more than 70,000 SMEs throughout the Southeast Asia region.

Its default rate during the pandemic remains less than 2%, supported by an AI-led credit scoring model. The platform has been trusted by regional partners such as Lazada, Shopee, CIMB, and FoodPanda, to fund SMEs in the supply chain, such as suppliers, distributors or merchants.

Southeast Asia SME market

Based on a study by the Asian Development Bank entitled “Asia Small and Medium Sized Enterprise Monitor 2020”, MSMEs accounted for an average of 97% of all types/scale companies, 69% of the total workforce, and 41% of the country’s gross domestic product (GDP) during 2010-2019.

The Covid-19 pandemic in 2020 exacerbated the high tense global trade and economic uncertainty in the region. In many ways, MSMEs hold the key to economic recovery in Asia’s developing countries.

Indonesia is a Southeast Asia’s country with the largest number of MSMEs in the region at 64 million, followed by Thailand with 3.5 million, and the Philippines with 1.2 million MSME units.

MSMEs are a major and important force to drive the Southeast Asian economy. The number is 97% of the business world and absorbs 97% of the national workforce from 2010 to 2019 period. MSMEs also contribute an average of 41% of GDP for each country in the same period.

However, there are still many business players have no access to financing. Many of them are considered ineligible to borrow from banks with no credit history.

Fintech can make it easier for MSMEs to optimize the effectiveness and efficiency of business operations, as well as make it easier for MSMEs with no sufficient requirements to access banking financing, in accessing working capital financing.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mulai Beroperasi, Modalku Thailand Terima Pendanaan Tahap Awal dari 500 TukTuk

Funding Societies (dikenal sebagai Modalku di Indonesia) mengumumkan dimulainya operasional di Thailand, setelah mendapat lisensi crowdfunding dari Thailand Securities and Exchange Commission (SEC) pada Februari 2021. Bersamaan dengan itu, perusahaan memperoleh pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dari 500 TukTuk.

Selain Modalku, perusahaan fintech lainnya yang turut menggarap peluang yang sama di kancah regional adalah Investree. Selain itu, terdapat Danacita yang sudah hadir di Thailand.

500 TukTuk merupakan modal ventura bagian dari 500 Startups yang berfokus pada pendanaan tahap awal untuk startup yang tersebar di Thailand dan CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, and Vietnam).

Country Head of Funding Societies Thailand Varun Bhandari mengatakan, visi perusahaan adalah selalu melayani UKM yang layak mendapat kredit sambil menumbuhkan kekayaan bagi investor. “[..] Kami percaya bahwa ini akan membuka jalan bagi Funding Societies untuk menjadi pemberi pinjaman digital pilihan bagi UKM,” ucapnya dalam keterangan resmi.

Partner 500 TukTuk Krating Poonpol menambahkan, fintech adalah salah satu industri yang sedang naik daun yang tumbuh secara eksponensial dalam beberapa tahun terakhir. Di Asia Tenggara, ada banyak startup fintech yang sukses karena banyak faktor yang berbeda termasuk ukuran pasarnya yang besar, jumlah populasi, lembaga keuangan yang mapan, dan bisnis yang terbuka untuk teknologi dan inovasi baru.

Pihaknya melihat peluang bagi Funding Societies untuk tumbuh secara eksponensial dengan kapasitasnya untuk memecahkan tantangan yang dihadapi oleh UKM dan startup di wilayah ini. “Kami sangat percaya bahwa Funding Societies dapat memperkuat ekonomi Thailand dengan menawarkan solusi bagi para pengusaha di Thailand,” ucapnya.

Sejak diluncurkan di Thailand, Funding Societies telah mendanai UKM dan startup lokal Thailand hingga lebih dari THB100 juta (sekitar 42 miliar Rupiah) dengan harga terjangkau, tanpa kredit macet. Serta, bermitra dengan Central Ritel, NocNoc, Freshket, dan Accrevo sebagai lender institusinya.

Funding Societies menawarkan pembiayaan jangka pendek untuk bisnis, menghubungkan mereka ke klien ritel dan institusi yang mencari alternatif peluang investasi yang menarik. Di Thailand, ada lebih dari 3 juta UKM beroperasi di berbagai industri, dan lebih dari 60% di antaranya mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi.

Banyak dari UKM ini tidak memiliki akses ke pendanaan yang memadai dari lembaga keuangan tradisional. Karena usaha kecil adalah tulang punggung perekonomian, Funding Societies berkomitmen untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan UKM di kawasan ini dengan menyediakan produk pinjaman yang fleksibel untuk memenuhi kebutuhan modal kerja dan ekspansi seperti pembiayaan faktur, pembiayaan PO, pembiayaan proyek dan pinjaman berjangka hingga THB 50 juta (sekitar 21 miliar Rupiah).

Grup Modalku didirikan pada 2015 untuk mengatasi kesenjangan pendanaan UKM sebesar S$300 miliar, dengan keyakinan kuat bahwa setiap UKM yang layak berhak mendapatkan pendanaan. Selama enam tahun terakhir, perusahaan telah menyalurkan lebih dari THB 58 miliar (lebih dari 21 triliun Rupiah) melalui 4,8 juta pinjaman kepada lebih dari 70.000 UKM di seluruh kawasan Asia Tenggara.

Tingkat default-nya selama pandemi tetap kurang dari 2%, didukung oleh model penilaian kredit yang dipimpin AI. Platform-nya telah dipercaya oleh mitra regional seperti Lazada, Shopee, CIMB, dan FoodPanda, untuk mendanai UKM dalam rantai pasokan, seperti pemasok, distributor, atau pedagang.

Pasar UMKM di Asia Tenggara

Berdasarkan studi oleh Asian Development Bank bertajuk “Asia Small and Medium Sized Enterprise Monitor 2020”, UMKM menyumbang rata-rata 97% dari semua jenis/skala perusahaan, 69% dari total tenaga kerja, dan 41% dari produk domestik bruto (PDB) negara selama 2010-2019.

Pandemi Covid-19 pada tahun 2020 memperburuk tensi perdagangan global yang sudah meningkat dan ketidakpastian ekonomi di wilayah regional. Dalam banyak hal, UMKM memegang kunci pemulihan ekonomi di negara berkembang Asia.

Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang mempunyai jumlah UMKM terbesar di kawasan sebanyak 64 juta disusul oleh Thailand dengan 3,5 juta, dan Filipina dengan 1,2 juta unit UMKM.

UMKM merupakan kekuatan utama dan penting untuk mendorong perekonomian Asia Tenggara. Jumlahnya 97% dari dunia usaha dan menyerap 97% angkatan kerja nasional dalam periode 2010 hingga 2019. UMKM juga menyumbang rata-rata 41% dari PDB tiap negara dalam periode yang sama.

Namun, masih ada banyak pelaku usaha yang belum memiliki akses terhadap pembiayaan. Banyak dari mereka dianggap tidak memenuhi syarat meminjam di bank dan tidak memiliki histori kredit.

Fintech dapat memudahkan UMKM untuk mengoptimalkan efektivitas dan efisiensi operasional usaha, serta memudahkan UMKM yang tidak memiliki persyaratan cukup untuk mengakses pembiayaan perbankan, dalam mengakses pembiayaan modal kerja.

Upaya KlinikGo Digitalisasi Klinik Kesehatan Setelah Mengantongi Pendanaan Awal

Pandemi yang melanda negeri ini di awal tahun 2020 lalu telah menciptakan berbagai keterbatasan di masyarakat. Salah satunya adalah pembatasan sosial yang mengharuskan kita untuk menjaga jarak dan interaksi satu sama lain. Hal ini berlaku di semua fasilitas umum termasuk fasilitas kesehatan.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran pasar, penyedia layanan teknologi kesehatan semakin fokus pada inovasi produk. Sektor healthtech membantu mengatasi tantangan dalam sistem perawatan kesehatan Indonesia. Solusi kesehatan digital, seperti apotek elektronik dan konsultasi online meningkatkan akses ke layanan kesehatan berkualitas di Indonesia. Salah satunya adalah KlinikGo, sebuah perusahaan teknologi yang menawarkan nilai tambah bagi pelayanan kesehatan di Indonesia

Dibentuk pada tahun 2019, KlinikGo merupakan pengembangan inisiatif dari layanan Perawatku yang fokus pada pengadaan tenaga kesehatan. Founder KlinikGo, Ogy Winenriandhika melihat bahwa ada kebutuhan dari stakeholder dalam hal ini fasilitas kesehatan untuk bisa memberikan pelayanan maksimal ke end customer. Perusahaan di sini berperan sebagai agregator rantai klinik berteknologi yang menyatukan semua kebutuhan perawatan kesehatan untuk pasien ke dalam satu platform.

“Kami memulai Klinikgo dengan fokus untuk dapat mengonsolidasikan sisi permintaan dan menurunkan biaya produk. Kami adalah rantai klinik dengan pertumbuhan tercepat yang bertujuan untuk mengurangi biaya perolehan produk dengan mengerjakan seluruh proses pembelian menggunakan teknologi,” jelas Ogy.

Digitalisasi Klinik di Indonesia

Dalam menjalankan bisnisnya, KlinikGo memiliki tiga pilar utama, yaitu digitalisasi klinik, procurement, dan pembiayaan. Terkait digitalisasi klinik, perusahaan menawarkan jasa untuk membantu klinik terdaftar meningkatkan traksi. Selain itu juga menyediakan sistem POS (Point of Sales) untuk mengelola penjualan mereka. Semua sudah terintegrasi dengan layanan yang sebelumnya telah tersedia di KlinikGo.

Selain itu, perusahaan juga menawarkan layanan procurement, timnya akan membantu bukan hanya dari sisi pengadaan alat kesehatan atau produk kesehatan, namun juga supply tenaga kerja kesehatan. Dalam hal ini memanfaatkan kerja sama strategis dengan Perawatku. Selanjutnya, dari sisi pembiayaan, KlinikGo juga menawarkan program paylater bekerja sama dengan perusahaan fintech Klikcair dan Danai.

Disinggung mengenai tantangan dalam menjalankan bisnis di sektor ini, Ogy mengungkapkan bahwa digitalisasi faskes memiliki pendekatan yang berbeda dengan perusahaan fintech atau yang lainnya. Ada banyak regulasi yang mengiringi tumbuh kembang sektor ini. Namun, keberadaan pandemi cukup melonggarkan beberapa regulasi terkait layanan kesehatan digital. KlinikGo sendiri sudah menjalin kerja sama dengan Kemenkes dan Asosiasi Telemedis Indonesia terkait hal ini.

Selain KlinikGo, ada beberapa pemain yang juga menawarkan solusi serupa. Sebut saja Klinik Pintar dari Medigo yang menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dalam hal digitalisasi rumah sakit, ada juga startup healthtech Zi.Care  yang belum lama ini mendapatkan pendanaan tahap awal.

Pendanaan dan rencana ke depan

Menurut laporan dari KenResearch berjudul Future Growth of Indonesia Health Tech Market yang dirilis di akhir tahun 2020, Dalam 4-5 tahun terakhir, berbagai perusahaan kesehatan digital dan solusi kesehatan digital telah muncul di Indonesia. Populasi Indonesia yang besar dan tersebar secara geografis memberikan basis pengguna yang kuat untuk aplikasi kesehatan digital yang sedang berkembang.

Sumber: KenResearch

Ogy mengakui, dari awal pandemi, timnya sudah bisa membaca peluang yang ada dan merasa harus mengambil kesempatan untuk penetrasi pasar ini. Di akhir tahun 2020, perusahaan berhasil mendapat pendanaan kedua dari Risjadson Holding. Lalu, disusul oleh Gaido Group dan 5Digital Ventures pada Q1 2021. Diketahui bahwa dewan direksi dari 5Digital Ventures juga sudah lama berkecimpung di industri kesehatan Singapura.

Gaido sendiri merupakan perusahaan travel haji, mereka salah satu yang punya cabang terbanyak di Indonesia. Dukungan dari perusahaan akan melahirkan sinergi yang diharapkan bisa merespons isu terkait persyaratan medis untuk kebutuhan perjalanan haji.

Selama kurang lebih 2 tahun berjalan, KlinikGo memiliki tiga sumber pemasukan. Pertama, datang dari comission fee dari berbagai layanan yang ditawarkan dalam platform. Selanjutnya, margin yang didapat dari produk kesehatan yang berhasil dijual. Lalu dari sisi pembiayaan, kita juga mendapat komisi untuk setiap dana yang berhasil dicairkan.

Hingga saat ini, KlinikGo telah melayani lebih dari 50 ribu pasien dan 10 ribu layanan homecare. Selain itu juga telah menyalurkan lebih dari 300 pengiriman produk kesehatan serta memiliki lebih dari 100 partner klinik. Targetnya adalah untuk bisa mendigitalisasi 1000 klinik di seluruh Indonesia mulai dari Q1 2022.

Application Information Will Show Up Here

Digital Marketing Platform Shoplinks Bags 12.8 Billion Rupiah Funding

Singapore-based FMCG marketing platform Shoplinks received seed funding worth of $900 thousand or around 12.8 billion Rupiah. The funding was led by venture capital firm Cocoon Capital with participation from the Indonesian Women Empowerment Fund (IWEF).

Recently, Cocoon Capital also invested in local logistics startup TransTRACK.id. Meanwhile, the Indonesia Women Empowerment Fund, jointly managed by Moonshot Ventures and YCAB Ventures, has announced its debut portfolio for Titik Pintar startup earlier this year.

In an official statement, Cocoon Capital’s Managing Partner and Shoplinks’ Director Michael Blakey said, “We believe this platform can accelerate the digital transformation of retailers in Southeast Asia.”

“We are impressed with the Shoplinks team and their ability to execute. Shoplinks solves the billion dollar problem that exists between FMCG promotions and consumers in Southeast Asia. This will significantly streamline FMCG marketing spending,” he added.

Shoplinks offers digital marketing services by simplifying coupon distribution and personalizing coupons for FMCG brands and retailers. The platform seeks to optimize brand promotion activities, therefore, consumers can get attractive offers, both online and offline.

It is due to Southeast Asia’s FMCG brands are considered difficult to distribute promotional activities to buyers. According to company data, Southeast Asia’s FMCG brands spend $28 billion on promotion every year, but 70% of this total budget is considered wasted because it is not right on target and lacks personalization.

Also, the impact of the Covid-19 pandemic which resulted in the loss of potential retailer income. Sharing shops and supermarket outlets is difficult to promote because the services are yet to be digitized.

Strengthen its position in Indonesia

Furthermore, Shoplinks’ Co-founder & CEO, Teresa Condicion said that she would use this funding to strengthen its position in Indonesia before expanding to other markets in the Southeast Asia region. She also plans to add more teams and expand the partnership networks, both retail companies and stalls, which currently account for 70% of total retail spending in Indonesia.

“We want to democratize Southeast Asia’s retail technology and create a win-win solution for brands, retailers and buyers. This industry is ripe for technological evolution, especially if you look at retailers in developed countries, such as the United States and Europe, which have grown rapidly thanks to technology,” Teresa said.

In general note, Shoplinks was founded by Teresa Condicion and JD Lee. Teresa is Snapcart’s Co-founder, and has served as CEO for four years. She has a strong background of 17 years at P&G. Meanwhile, JD is a techpreneur who is also the co-founder of venture builder Pulsar Ventures.

Was founded in 2020, Shoplinks has proceed thousands of monthly shopping coupons from major FMCG partners, such as Unilever, Johnshon & Johnson, and P&G. It is said to have doubled the use of coupons every month, where these FMCG brands have doubled the profit from its investment in promotions. In addition, Shoplinks said it had contributed to the growth of buyer transactions at the TipTop supermarket chain by up to 30%.

Marketing personalization

Digital transformation in the FMCG sector is taking place although it has not been fully realized at various levels. The world’s major retail brands are starting to focus on consumer data, using analytics to make strategic decisions

In its publication on marketing personalization, the McKinsey report states that advances in technology, data and analytics will greatly enable marketers to create personalized and more ‘human’ marketing across a wide variety of channels to shopping experiences.

Despite the great opportunity, most marketers feel they are not ready to provide such a personalized experience. A McKinsey survey of senior marketing leaders found only 15% of CMOs believe their company is on the right track with personalization. They believe this strategy is proven to drive revenue by 5%-15% and marketing budget efficiency by 10%-30%.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Pemasaran Digital Shoplinks Memperoleh Pendanaan 12,8 Miliar Rupiah

Platform pemasaran FMCG asal Singapura Shoplinks memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $900 ribu atau sekitar 12,8 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh perusahaan modal ventura Cocoon Capital dan partisipasi dari Indonesian Women Empowerment Fund (IWEF).

Belum lama ini, Cocoon Capital juga berinvestasi ke startup logistik lokal TransTRACK.id. Sementara untuk Indonesia Women Empowerment Fund, yang dikelola bersama oleh Moonshot Ventures serta YCAB Ventures, juga sudah mengumumkan portofolio perdananya pada startup Titik Pintar di awal tahun ini.

Dalam keterangan resminya, Managing Partner Cocoon Capital sekaligus Dewan Direksi Shoplinks Michael Blakey mengatakan, pihaknya meyakini platform ini dapat mengakselerasi transformasi digital pada peritel di Asia Tenggara.

“Kami terkesan dengan tim Shoplinks dan kemampuan mereka untuk mengeksekusi. Shoplinks memecahkan masalah miliaran dolar yang terjadi antara promosi FMCG dan konsumen di Asia Tenggara. Ini akan mengefisiensikan pengeluaran pemasaran FMCG secara signifikan,” tambahnya.

Shoplinks menawarkan layanan pemasaran digital dengan menyederhanakan distribusi kupon dan membuat personalisasi kupon bagi brand dan peritel FMCG. Platform tersebut berupaya mengoptimalkan kegiatan promosi brand sehingga konsumen bisa mendapatkan penawaran menarik, baik online maupun offline.

Alasannya, brand FMCG di Asia Tenggara dinilai sulit untuk mendistribusikan kegiatan promosi kepada pembeli. Menurut data perusahaan, setiap tahunnya brand FMCG di Asia Tenggara menghabiskan $28 miliar untuk promosi, tetapi 70% dari total budget ini dinilai sia-sia karena tidak tepat sasaran dan kurang personalisasi.

Ditambah dampak dari pandemi Covid-19 yang mengakibatkan hilangnya potensi pendapatan retailer. Berbagi toko dan gerai supermarket sulit untuk melakukan promosi karena layanannya belum terdigitalisasi.

Memperkuat posisi di Indonesia

Lebih lanjut, Co-founder & CEO Shoplink Teresa Condicion mengatakan akan menggunakan pendanaan ini untuk memperkuat posisinya di Indonesia sebelum ekspansi ke pasar lain di kawasan Asia Tenggara. Pihaknya juga berencana menambah jumlah tim dan memperluas jaringan mitra, baik perusahaan ritel maupun warung yang saat ini menyumbang sebanyak 70% terhadap total pengeluaran ritel di Indonesia.

“Kami ingin mendemokratisasikan teknologi ritel di Asia Tenggara dan menciptakan win-win untuk brand, retailer, dan pembeli. Industri ini sudah matang untuk berevolusi secara teknologi, apalagi jika melihat retailer di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa, telah berkembang pesat berkat teknologi,” ujar Teresa.

Sebagai informasi, Shoplinks didirikan oleh Teresa Condicion dan JD Lee. Teresa adalah Co-founder Snapcart, dan pernah menduduki posisi CEO selama empat tahun. Ia memiliki latar belakang kuat selama 17 tahun di P&G. Sementara JD adalah techprenuer yang juga Co-founder dari venture builder Pulsar Ventures.

Sejak berdiri di 2020, Shoplinks telah memproses ribuan penggunaan kupon belanja per bulannya dari sejumlah mitra FMCG besar, seperti Unilever, Johnshon & Johnson, dan P&G. Pihaknya mengklaim telah mengantongi penggunaan kupon dua kali lipat setiap bulannya, di mana para brand FMCG ini telah melipatgandakan laba dari investasinya di promosi. Selain itu, Shoplinks menyebut telah berkontribusi terhadap pertumbuhan transaksi pembeli di jaringan supermarket TipTop hingga 30%.

Personalisasi pemasaran

Transformasi digital pada sektor FMCG tengah terjadi meski belum terealisasi sepenuhnya di berbagai level. Para brand retail besar dunia mulai fokus terhadap data konsumen, hingga memanfaatkan analitik untuk membuat keputusan strategis

Dalam publikasinya terkait personalisasi pemasaran, laporan McKinsey menyebutkan bahwa kemajuan teknologi, data, dan analitik akan sangat memungkinkan marketer untuk menciptakan pemasaran yang bersifat personal dan lebih ‘manusiawi’ di berbagai macam kanal hingga pengalaman berbelanja.

Platform Konsultasi Gizi Sirka.io Segera Rampungkan Penggalangan Dana Lanjutan

Tercatat saat ini 1 dari 3 orang dewasa mengalami kelebihan berat badan dengan Body Mass Index (BMI) di atas 25. Meskipun BMI bukan satu-satunya referensi ukuran, namun biasanya dari hasil tersebut akan ada ada relasi dengan penyakit kronis terutama untuk jangka panjang.

Berangkat dari pengalaman pribadi kedua pendirinya yaitu Rifanditto Adhikara dan Vincentius Dito Krista Holanda saat harus berhadapan dengan persoalan penyakit kronis yang dimiliki oleh orang tua mereka, platform kesehatan Sirka.io diluncurkan. Layanan tersebut berfungsi untuk memonitor dan mencegah penyakit melalui program konsultasi terpadu dengan ahli gizi secara online.

Kepada DailySocial.id, Rifanditto selaku CEO mengungkapkan, melalui platform Sirka.io diharapkan bisa mendemokratisasi layanan konsultasi ahli gizi dan nutrisi yang berkualitas secara online fokus kepada chronic prevention program.

“Saat ini sudah banyak layanan yang menawarkan konsultasi program diet atau rekomendasi nutrisi yang tepat untuk mereka yang memiliki penyakit seperti hipertensi hingga diabetes secara offline. Melalui Sirka.io kami ingin menjembatani kebutuhan orang banyak terhadap masalah tersebut secara online sekaligus membantu ahli nutrisi dan ahli gizi di Indonesia untuk mendapatkan jenjang karier yang lebih baik.”

Sejak diluncurkan bulan April tahun ini, Sirka.io telah memiliki pertumbuhan pengguna hingga 60% setiap bulannya. Layanan tersebut sudah bisa diakses melalui perangkat Android dan segera menyusul di sistem operasi iOS dalam waktu dekat. Mereka juga telah melayani di 32 kota dengan jumlah ahli gizi dan nutrisi yang dimiliki sekitar 10 orang.

Untuk menyelaraskan misi dan visi perusahaan, Sirka.io tidak merekrut mitra, namun langsung mempekerjakan ahli gizi dan nutrisi menjadi pegawai. Cara seperti itu menurut mereka lebih efisien bagi perusahaan untuk saat ini dan ke depannya.

“Agar hasil program bisa lebih efektif kami menerapkan pilihan subscription kepada pengguna. Dengan demikian konsultasi dan program bisa dilakukan secara bertahap hingga mendapatkan hasil yang sesuai,” kata Rifanditto.

Terkait dengan program yang paling banyak dipilih oleh pengguna yaitu program weight loss dan wellness, yaitu program yang memberikan mereka rekomendasi makanan yang ideal berdasarkan ahli gizi dan nutrisi. Untuk kegiatan pemasaran, Sirka.io memanfaatkan jaringan ahli gizi dan nutrisi yang telah bergabung untuk melakukan kegiatan pemasaran. Fokus perusahaan saat adalah lebih kepada nutrisi dan membangun brand.

Segera rampungkan penggalangan dana lanjutan

Setelah mengantongi pendanaan tahap awal dari Sequoia Capital, Y Combinator, dan mantan partner Sequoia Tim Lee awal bulan September tahun ini, saat ini Sirka.io sedang dalam proses merampungkan penggalangan dana baru yang rencananya akan diumumkan awal tahun 2022 mendatang.

Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk membangun teknologi dan merekrut tim engineer, membuat perusahaan membutuhkan dana segar untuk mempercepat pertumbuhan. Pendanaan yang telah diterima sebelumnya, kebanyakan digunakan oleh perusahaan untuk mengembangkan produk, merekrut tim engineer dan sisanya untuk kegiatan pemasaran.

“Sebagai pemain baru kami belum ingin melakukan kegiatan pemasaran secara masif. Fokus kami saat ini adalah mengembangkan teknologi yang tujuannya untuk mempermudah pengguna mengakses layanan kami,” kata Rifanditto.

Startup yang merupakan lulusan program Y Combinator ini juga ingin menghadirkan konten yang relevan kepada pengguna dalam aplikasi. Dengan demikian bukan hanya mendapatkan informasi dari ahli gizi saja pengguna juga bisa mendapatkan informasi seputar gizi dan kesehatan dari konten yang dibuat sendiri oleh tim Sirka.io.

Disinggung siapa kompetitor Sirka.io saat ini, diungkapkan oleh Rifanditto hingga saat ini belum ada pemain lokal hingga asing yang tampil unggul menawarkan layanan seperti Sirka.io di Indonesia. Namun demikian saat ini sudah mulai ada pemain lokal yang menawarkan layanan hampir serupa dengan Sirka.io, demikian juga pemain asing dari India yang berencana untuk masuk ke pasar Indonesia dalam waktu dekat.

“Target Sirka.io selanjutnya adalah selain menambah jumlah pengguna, kami juga ingin terus menghadirkan fitur baru yang bisa bermanfaat untuk pengguna Sirka.io,” kata Rifanditto.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Suntik Pendanaan Tahap Awal 15,8 Miliar Rupiah untuk Luwjistik

Startup e-logistics berbasis di Singapura “Luwjistik” memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $1,1 juta (sekitar 15,8 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari Arise — fund hasil kolaborasi MDI Ventures-Finch, dan Global Founders Capital. Perusahaan akan menggunakan dana untuk mengembangkan tim lokal dan regionalnya di Singapura, Indonesia, dan Malaysia; menyempurnakan platform sembari terus perluas jangkauan.

Luwjistik masih berumur sebatang jagung, didirikan pada Juli 2021 oleh veteran logistik dan e-commerce, Syed Ali Ridha Madihid, dan Wong Yingming. Visinya mengembangkan infrastruktur logistik dan jangkauan regional kliennya secara instan melalui akses langsung menuju mitra jaringan global. Sembari memungkinkan mereka mendapatkan manfaat dari alur kerja yang terstandardisasi demi transparansi dan kemudahan.

Menurut Co-founder & CEO Luwjistik Syed Ali Ridha Madihid, solusi ini hadir karena ledakan e-commerce yang didorong oleh pandemi mengakibatkan naiknya tekanan pada perusahaan logistik dalam memperluas operasi mereka. “Sebagian besar orang tidak dapat melakukan perjalanan untuk membangun jaringan dan hubungan di lapangan. Banyak orang juga mengandalkan proses lama, dan tidak mampu membangun kemampuan teknologi mereka dengan cukup cepat untuk memenuhi permintaan,” ucapnya, Kamis (30/9).

Melalui platform Luwjistik, para klien cukup melakukan integrasi API tunggal untuk menjembatani diri mereka menuju mitra pilihan, dan mengikuti transaksi hingga selesai. Sebanyak hampir 30 mitra jaringan di Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Thailand telah terhubung dengan Luwjistik. Beberapa di antaranya adalah Ninja Van, J&T Express, dan JNE Express. Adapun klien yang telah memanfaatkan platform Luwjistik, di antaranya DHL eCommerce dan YCH Group Pte Ltd.

Madihid menuturkan, ada tiga nilai unggul yang ditawarkan. Pertama, dari sisi kelancaran, klien akan mendapat akses langsung menuju mitra jaringan di seluruh Asia Tenggara yang mencakup prosedur penerimaan barang impor dan pengiriman di titik terdekat, baik secara domestik maupun regional. Mereka dapat memilih penyedia jasa yang paling sesuai dengan kebutuhan.

Kedua, dari sisi standardisasi, yang mana dokumentasi, alur kerja, dan transparansi biaya dapat klien navigasi pergerakan lintas batasnya dengan mudah. Terakhir, dengan integrasi API tunggal, menjadi penggunaan platform yang cepat dan sederhana, sehingga memungkinkan pengelolaan data yang cepat, pemesanan langsung, penandatanganan kontrak, berbagi dokumen, hingga pemrosesan pembayaran, semuanya terjadi di dalam platform.

Menurut Madihid, apa yang mereka lakukan di sini adalah menggabungkan teknologi dan pengetahuan yang telah dibangun selama bertahun-tahun bekerja di sektor ini untuk menghubungkan titik-titik di seluruh supply chain. Pada akhirnya, akan membantu klien melakukan navigasi lintas batas dan menghadapi tantangan domestik, terutama di wilayah yang berkembang pesat, namun sangat terfragmentasi.

“Pada akhirnya, saat sektor logistik perlu segera ditingkatkan dan didigitalkan untuk memenuhi permintaan, Luwjistik menyediakan solusi teknologi yang cepat, efisien, dan aman, yang akan membantu mereka untuk tumbuh,” pungkasnya.

Ramaikan pendanaan sektor logistik

Sebelum East Ventures mengumumkan pendanaannya untuk Luwjistik, beberapa pekan sebelumnya juga telah berinvestasi untuk startup e-logistics lainnya, yakni McEasy. Segmen ini termasuk sangat bergairah di tengah pandemi karena perannya yang krusial dalam menyokong pertumbuhan industri e-commerce.

Sejak awal tahun 2019 hingga Juli 2021, tim riset DailySocial.id mencatat ada sekitar 16 transaksi pendanaan yang diumumkan melibatkan perusahaan logistik berbasis teknologi. Investasi ini berhasil membukukan total nilai dana $586 juta. Setidaknya ada 4 startup logistik yang memiliki valuasi di atas $100 juta, yaitu SiCepat, Waresix, Shipper, dan GudangAda.

Perusahaan Putaran Tahun
ASSA (induk AnterAja) Convertible Bond 2021
Andalin Series A 2021
Deliveree Series A 2017
Finfleet Series A 2019
GudangAda Series A

Series B

2020

2021

Kargo Technologies Seed Funding

Series A

2019

2020

Logisly Series A 2020
Pakde Seed Funding 2018
Ritase Series A 2019
Shipper Seed Funding

Series A

Series B

2019

2020

2021

SiCepat Series B 2021
Triplogic Seed Funding 2019
Waresix Seed Funding

Pre-Series A

Series A

Series A+

Series B

2018

2018

2019

2020

2020

Webtrace Seed Funding 2020