Sepanjang 2020 Unicorn Indonesia Dominasi Perolehan Pendanaan di Asia Tenggara

Cento Ventures baru saja merilis laporan terbaru terkait lanskap investasi sektor teknologi di kawasan Asia Tenggara pada 2020. Dalam laporan bertajuk Southeast Asia Tech Investment 2020, total pendanaan startup di Asia Tenggara tercatat mencapai $8,2 miliar atau sebesar Rp118,8 triliun.

Nilai investasi startup di Asia tenggara dilaporkan turun 3% dibandingkan 2019. Demikian juga jumlah kesepakatan (deal) investasi merosot 8% di periode yang sama. Dari total investasi tersebut, hampir 50% dari total pendanaan di Asia tenggara masuk ke kantong startup raksasa, antara lain Grab, Gojek, Gopay, Bukalapak, dan Traveloka.

Laporan ini juga menyoroti tren pendanaan startup dengan ticket size $50-100 juta dengan total akumulasi hingga $1,1 miliar (Rp15 triliun) atau naik 26% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, pendanaan startup dengan ticket size $10-50 juta turun 17% menjadi $1,5 miliar atau Rp21 triliun di 2020.

Menurut pemaparan Investment Associate Cento Ventures Laphat Tantiphipop, kesepakatan investasi yang diterima startup raksasa (mega deals) biasanya mendominasi total akumulasi pendanaan. “Namun, perlu dicatat bahwa smaller deals dapat menjadi satu indikator terhadap ekosistem startup yang lebih baik,” ucapnya.

Lebih lanjut, Indonesia tercatat sebagai penerima investasi paling besar dengan porsi dua pertiga terhadap total pendanaan di Asia Tenggara. Utamanya ini dipicu oleh investasi ke Gojek dan sejumlah deal besar lain, seperti Bukalapak, Kopi Kenangan, Waresix, dan LinkAja.

Tren kenaikan investasi juga terjadi di sejumlah negara, yaitu Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sementara, Vietnam justru mengalami penurunan signifikan di 2020 karena sejumlah startup later stage di sana sudah menutup putaran pendanaan dengan nilai besar di 2019.

Sebagai catatan, data ini mengecualikan pendanaan yang diterima grup besar di kawasan tersebut, yaitu Grab, Sea Group, dan Lazada, untuk menghindari bias tren investasi di negara tertentu.

Dari sisi vertikal bisnis, laporan ini juga menemukan bahwa fintech menjadi sektor yang paling banyak memperoleh kesepakatan investasi di Indonesia atau sekitar 51% dibandingkan negara lainnya.

Asia Tenggara paling resilient

Jika dibanding negara-negara besar lain, pasar di Asia Tenggara mengalami dampak fluktuatif paling rendah dalam hal investasi. Partner di Cento Ventures Mark Suckling mengatakan volume investasi di kawasan ini memang menurun, tetapi tidak terlalu signifikan.

Berbeda dengan sejumlah negara lain di luar kawasan ini yang mengalami penurunan tajam, baik dari volume maupun jumlah deal investasi. Asia Tenggara mencatat penurunan volume investasi dan jumlah deal masing-masing 3% dan 8%.

Penurunan ini masih lebih baik daripada Tiongkok yang volume investasinya naik 6%, tetapi deal-nya turun 20%. Sebaliknya, deal investasi di India naik 3%, tetapi volumenya terjun ke 31%.

Tren “exit

Dalam laporannya, Cento mencatat jumlah aksi exit di 2020 tidak jauh berbeda dengan pencapaian di 2018, yaitu dengan nilai di bawah $1 miliar. Menurut Cento, tren ini dinilai wajar mengingat sejumlah rencana exit potensial bernilai besar terpaksa ditunda akibat pandemi. Kebijakan travel restriction menyulitkan proses due dilligence sejumlah rencana exit.

Hal ini salah satunya tercermin dari upaya liquidity dan proceeds untuk nilai $50-100 juta yang turun dari 6 aksi ($404 juta) di 2019 menjadi 3 ($221 juta) di 2020. Yang cukup signifikan adalah upaya liquidity dan proceeds untuk nilai di atas $100 juta merosot dari 5 aksi ($2,09 miliar) di 2019 menjadi 1 aksi ($176 juta) di 2020.

Di Indonesia, strategi exit di sepanjang 2020 cukup banyak terjadi. Mengacu Startup Report 2020 oleh DailySocial, terdapat 13 aksi korporasi melalui skema merger and acquisitions (M&A). Salah satunya adalah akuisisi startup SaaS Moka oleh Gojek pada April 2020. Selain itu, laporan ini juga mencatat dua IPO yang dilakukan oleh startup Indonesia, yakni Pigijo dan Cashlez masing-masing dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp17,57 miliar dan Rp400,71 miliar.

Beberapa startup unicorn telah memberikan sinyal untuk melakukan IPO, seperti Gojek, Tokopedia, dan Bukalapak. Demikian juga kabar aksi merger yang akan dilakukan Gojek dan Tokopedia di mana keduanya dikabarkan telah melakukan perjanjian jual beli saham bersyarat (conditional sales purchase agreement/CSPA).

Gambar Header: Depositphotos.com

Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 1 dari 2)

Sepuluh tahun lalu, Ferry Unardi adalah seorang mahasiswa di Harvard Business School. Berasal dari Padang, sebuah kota di Sumatera Barat, Ferry kerap kesulitan ketika ingin melakukan penerbangan dari kampung halamannya ke Amerika Serikat.

Prosesnya sangat rumit. Untuk pulang, Ferry memesan penerbangan untuk membawanya dari Boston ke Jakarta. Ketika sampai di ibu kota Indonesia dia baru bisa membeli tiket tambahan untuk kembali ke Padang, ungkapnya pada majalah Prestige di tahun 2018. Rumit, memakan waktu, dan sulit untuk direncanakan.

Frustrasi dengan masalah yang harus dia hadapi sebagai frequent flyer antara Amerika Serikat dan Indonesia selama sekitar delapan tahun, Ferry memutar otak kewirausahaannya dan mulai mencari solusi, percaya bahwa ini bisa menjadi sebuah bisnis. Dia bekerja sama dengan mantan rekannya bernama Derianto Kusuma, serta seorang teman lama dari sekolah bernama Albert (hanya Albert). Ferry meninggalkan Harvard. Setahun kemudian, ketiganya resmi mendirikan Traveloka di Jakarta.

Nama perusahaan adalah gabungan kata dari bisnis utamanya dan loka, kata Sansekerta yang berarti “dunia” atau “alam semesta”. Seorang juru bicara perusahaan mengatakan Traveloka dimaksudkan untuk diartikan secara harfiah sebagai “dunia perjalanan”.

Sampai ke tahun 2021. Traveloka telah menjadi biro perjalanan online terbesar di Indonesia. Aplikasinya telah diunduh lebih dari 60 juta kali, dan platform ini memiliki sekitar 40 juta pengguna aktif bulanan. Perusahaan juga mengatakan memiliki lebih dari 150 maskapai penerbangan rekanan dengan total 200.000 rute penerbangan internasional dan domestik. Selain itu, lebih dari 800.000 hotel, vila, dan wisma di 100 negara terdaftar.

Valuasi Traveloka kini disinyalir mencapai USD3 miliar. Tahun ini, Ferry berencana membawa Traveloka ke pasar saham AS, kemungkinan melalui merger SPAC untuk menghindari proses IPO konvensional. Sebelum itu terjadi, berikut merupakan seluk beluk yang perlu Anda ketahui tentang perusahaan.

Pencapaian Traveloka

Mari menganalogikan Traveloka sebagai Expedia di Asia Tenggara. Daftarnya mencakup hampir setiap elemen perjalanan – penerbangan, hotel, atraksi, dan aktivitas. Pengguna dapat menyesuaikan dan membayar seluruh rencana perjalanan dalam platform. Layanannya mencakup Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Australia.

Traveloka dimulai sebagai situs pencarian dan perbandingan tiket penerbangan, yang secara fungsional mengotomatiskan sebagian tugas agen perjalanan yang Ferry pesan ketika masih di Harvard. Dengan limpahan uang tunai dari East Ventures pada tahun 2012 – beberapa tahun sebelum startup “booming” di Indonesia – ketiga pendiri membangun situs ini. Tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa pelanggan menginginkan lebih dari sekedar hasil pencarian. Ada komponen utama yang hilang: jika orang bisa memesan tiket pesawat dan membayar tiketnya hanya dengan beberapa klik, Traveloka bisa benar-benar menjadi biro perjalanan online. Kuncinya adalah kenyamanan yang belum tersedia sebelumnya.

Transformasi itu terjadi pada 2013, namun timnya tidak berhenti sampai di situ. Tahun berikutnya, Traveloka menambah vertikal pemesanan hotel dan meluncurkan aplikasi untuk Android dan iOS. Hal ini sejalan dengan pergeseran kebiasaan di Indonesia – ponsel menjadi hal lumrah, dan orang-orang mulai mengarah ke online. Traveloka bersiap melayani para pelanggan muda yang lebih nyaman membeli melalui perangkat pribadi.

Namun Traveloka telah berkembang jauh melampaui dua suku kata pertama dari namanya. Perusahaan telah terjun ke industri fintech, memastikan bahwa pelanggannya memiliki jalur untuk membayar apa yang dijual Traveloka. Lalu, hal ini menjadi penting untuk memfasilitasi transaksi besar dalam skala massal dari hari ke hari.

Perusahaan dilaporkan mengakuisisi perusahaan pembayaran digital lokal Dimo ​​Pay pada tahun 2018, namun pihaknya masih belum mengakui perannya dalam kesepakatan tersebut. Bagaimanapun, Traveloka merilis fitur PayLater tidak lama kemudian, yang dikembangkan bersama dengan pemberi pinjaman peer-to-peer Danamas. Saat itu, Traveloka adalah perusahaan (bukan fintech) pertama di Indonesia yang memasuki layanan “beli sekarang, bayar nanti”. Langkah tersebut memastikan Traveloka mampu menarik pengguna baru yang bukan nasabah lembaga keuangan formal dan konvensional.

“Kami memulai fintech untuk memfasilitasi pemesanan perjalanan oleh konsumen di Indonesia yang mungkin tidak memiliki kartu kredit atau uang tunai untuk membayar penuh dalam pemesanan perjalanan. Karena banyak pelanggan kami menggunakan aplikasi untuk berbagai transaksi, kami percaya bahwa pendapat pengguna yang kami peroleh memungkinkan kami untuk mengelola penawaran pinjaman kami dengan tepat,” Kepala Komunikasi Korporat Traveloka, Reza Juniarshah mengatakan kepada KrASIA. Perusahaan telah memfasilitasi lebih dari 6 juta pinjaman melalui layanan tersebut, sebutnya. Dan tidak hanya sampai di situ: Traveloka menjalin kemitraan dengan Bank BRI pada 2019, dan keduanya merilis kartu kredit yang dirancang untuk pengguna terdaftarnya. Tahun lalu, Traveloka menjalin kerja sama serupa dengan Bank Mandiri.

Dibalik tingginya valuasi perusahaan

Traveloka menyandang status unicorn pada Juli 2017, ketika mengantongi investasi sebesar USD350 juta dari Expedia, perusahan yang menjadi inspirasi awal Ferry. Daftar pendukungnya juga termasuk Global Founders Capital, GIC sovereign wealth fund Singapura, dan Qatar Investment Authority.

Saat ini, nilai perusahaan ditentukan oleh diversifikasinya, tetapi Traveloka memiliki banyak pesaing saat memasuki arena baru fintech. “Traveloka tidak unik dalam mencoba menangkap nilai peluang fintech di Asia Tenggara. Setiap raksasa teknologi dan perusahaan jasa keuangan tradisional semakin serius tentang strategi fintech mereka karena potensi pasarnya sangat besar, dan kami ikut mengawali sektor ini di kawasan,” kata Herston Powers, mitra pengelola dari 1982 Ventures, yang berinvestasi di perusahaan rintisan fintech dan teknologi perjalanan.

Dengan demikian, pergerakan ini dapat memulai fase baru konsolidasi di Asia Tenggara. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang memasuki dunia fintech, akan ada peluang baru bagi startup fintech untuk menjalin hubungan dengan pemain mapan dan mencari jalan keluar melalui merger dan akuisisi, kata Powers.

Inovasi baru telah memperluas jangkauan Traveloka. Pada 2019, jajaran asuransi perusahaan Traveloka Protect diluncurkan. Hal itu menginisiasi program asuransi kesehatan syariah yang disebut Bebas Handal untuk pelanggan Muslim bersama FWD Group yang berbasis di Hong Kong.

Fintech mungkin terbukti menjadi ruang tahan bencana di mana Traveloka dapat tumbuh lebih dalam lagi. Ke depannya, perusahaan berniat fokus di sektor ini. Dalam wawancara dengan KrASIA tahun lalu, salah satu pendiri, Albert, mengatakan Traveloka akan memperluas penawaran fintechnya “secara vertikal dan geografis”. Perusahaan juga dikabarkan sedang mempersiapkan layanan keuangan lokal untuk Thailand dan Vietnam. Baru-baru ini mereka membentuk usaha patungan dengan salah satu bank terbesar di Thailand untuk pengembangan fintech baru, meskipun detailnya belum terungkap.

Mengungguli fintech

Sebagai investor awal, Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca optimis dengan status Traveloka sebagai perusahaan multi-vertikal yang sedang berkembang sebagai perusahaan multinasional. “Traveloka memperkenalkan produk ‘beli sekarang, bayar nanti’, kartu kredit, dan pembayaran digital kepada pelanggannya sejak dua tahun lalu. Platformnya sudah matang dan maju, oleh karena itu inilah saat yang tepat untuk memperluas layanan keuangan ke Vietnam dan Thailand,” ujsr Willson.

Selain fintech, Traveloka juga merambah ke layanan gaya hidup dan hiburan. Juga meluncurkan halaman untuk direktori restoran, Kuliner Traveloka, pada tahun 2018. Sub-merek bernama Xperience diluncurkan pada tahun 2019. Terdapat sekitar 15.000 kegiatan di lebih dari 60 negara, mencakup acara, film, serta kelas khusus dan lokakarya.

Layaknya platform besar lainnya yang telah memberikan kemudahan untuk memesan makanan hanya dengan beberapa sentuhan di aplikasi, Traveloka Eats kini menawarkan layanan pengantaran untuk beberapa lokasi, meskipun belum begitu menguasai pangsa pasar Grab Food dan GoFood Gojek, keduanya semakin populer di Asia Tenggara. Namun, Traveloka sedang berusaha untuk menjadi aplikasi yang mencakup semua layanan perjalanan dan gaya hidup di wilayah ini, dan pivot yang dilakukan telah mengakselerasi perusahaan dalam melalui rintangan perjalanan internasional di tahun 2020.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Potensi Traveloka PayLater Bersaing di Pasar Vietnam dan Thailand

Kemunculan paylater atau buy now pay later (BNPL), atau yang di Indonesia dikenal sebagai paylater, yang hadir di dalam platform digital berupaya mendefinisikan ulang persepsi “utang”.

Dalam suatu wawancara, Executive VP Products and Innovation Asia Pacific Mastercard Sandeep Malhotra menerangkan, Covid-19 mampu mengakselerasi transformasi digital di berbagai sektor, termasuk layanan e-commerce tanpa terkecuali.

Transaksi digital beralih secara cepat dan mulus, membuka peluang besar bagi merchant dan issuer yang menawarkan fleksibillitas kepada konsumen untuk membayar nanti saat melakukan pembayaran di toko dan platform online.

“Menggunakan cicilan untuk melakukan pembelian saat ini menjadi lebih populer bagi orang-orang di seluruh dunia yang menginginkan pilihan pembayaran yang lebih luas, kemampuan untuk mengelola arus kas dengan lebih baik, dan kenyamanan menggunakan uang mereka sendiri untuk mengatur pembayaran, sekaligus untuk peralatan rumah tangga, perangkat TV, dan berbagai item lain yang lebih besar,” terangnya Malhotra.

Di negara maju, popularitas BNPL menjamur di banyak negara. Di Amerika Serikat, misalnya, disebutkan BNPL telah menyumbang $24 miliar pada tahun lalu dari total transaksi e-commerce. Angka ini tumbuh drastis daripada volume kartu kredit tradisional. Diproyeksikan transaksi BNPL di seluruh dunia tembus $350 miliar hingga 2025.

Inisiasi BNPL dipionirkan startup yang berada di negara Barat, seperti Klarna (Swedia), Affirm (Amerika Serikat), dan Afterpay (Australia). Di negara-negara Asia Tenggara sendiri, dengan tingkat penetrasi akses produk keuangan yang masih rendah, pemain BNPL kian memberikan warna.

Dalam perjalanannya Asia Tenggara, memiliki sejumlah champion di segmen BNPL dan hadir di lebih dari satu negara. Beberapa nama adalah Akulaku, Kredivo, Atome, Home Credit, Hoolah, OctiFi, Oriente, Pace, dan Pine Labs.

Indonesia, Malaysia, dan Filipina menjadi negara sasaran para pemain di atas.  Thailand dan Vietnam menjadi negara tersisa dengan populasi pemain BNPL yang minim. Singapura tidak masuk dalam radar mengingat posisinya yang dominan di semua aspek ekonomi dibanding negara tetangganya.

Saat ini, Thailand baru dihuni oleh Pace dan Pine Labs, sementara Vietnam dihuni oleh Akulaku, Atome, dan Home Credit. Pemain lain, seperti Hoolah, Oriente, dan Pine Labs, sedang mempersiapkan kehadirannya.

Traveloka, yang memiliki produk BNPL di Indonesia, berencana memboyong layanannya ini ke Thailand dan Vietnam dalam waktu dekat. Mengutip dari Reuters, kehadiran BNPL diharapkan dapat mendongkrak transaksi perjalanan domestik di kedua negara tersebut, mengingat keduanya telah berhasil melalui melampaui level pra-Covid-19.

Kondisi ekonomi di sana merefleksikan kinerja Traveloka yang membaik, terutama di bisnis perjalanan yang diklaim sudah mencetak untung pada akhir tahun lalu. “Rencananya adalah berinvestasi di fintech secara besar-besaran untuk memungkinkan lebih banyak konsumen melakukan perjalanan di kawasan ini,” kata Presiden Traveloka Caesar Indra.

Untuk mewujudkan wacana tersebut, perusahaan sedang berdiskusi dengan calon mitra institusi lokal di kedua negara tersebut.

Traveloka PayLater, yang merupakan produk Caturnusa Finance Sejahtera Finance, juga bermitra dengan Danamas, anak usaha Grup Sinarmas. Indra mengklaim, sejak dirilis dua tahun lalu, layanannya telah memfasilitasi lebih dari enam juta pinjaman.

DailySocial pernah membuat ulasan bagaimana memandang Traveloka (baca: Caturnusa) sebagai perusahaan fintech. Dengan besarnya ticket size belanja produk akomodasi, hal ini menjadi sumber bisnis yang bagus buat perusahaan.

Kondisi di Vietnam dan Thailand

Dalam suatu laporan disebutkan, Singapura, Indonesia, Vietnam, dan Thailand adalah empat negara yang paling menjanjikan buat industri p2p lending. Singapura bisa dibilang pusat regional terkuat di kawasan ini.

Vietnam kaya akan inovasi dan jumlah perusahaan rintisan dari negara tersebut telah meningkat secara eksponensial selama beberapa tahun terakhir. Salah satu pasar yang harus diperhatikan. Sementara Indonesia adalah rumah bagi banyak unicorn dan startup yang menjanjikan dan Thailand adalah penghasil bakat dan inovasi teknologi yang kuat.

Faktor pendorong lainnya, dibalik menariknya Thailand dan Vietnam, selain karena pemain yang masih sedikit, juga potensi adopsi digital yang terus tumbuh. Laporan e-Conomy 2020 menyebutkan, Thailand memiliki pertumbuhan 30% konsumen baru yang berkontribusi terhadap layanan ekonomi digital. Diprediksi GMV dari negara tersebut tumbuh 25% menjadi $53 miliar pada 2025 mendatang dari posisi $18 miliar di 2020.

Sementara Vietnam mencatatkan pertumbuhan 41% konsumen baru yang menggunakan layanan digital sepanjang pandemi. GMV diestimasi tumbuh 19% menjadi $52 miliar pada 2025 dari posisi tahun lalu sebesar $14 miliar.

BNPL sebenarnya bukan konsep baru. Secara konvensional, pengalaman bayar cicilan fleksibel adalah paket yang sudah umum hadir di kartu kredit yang diterbitkan bank. Namun pengalaman tersebut mengharuskan konsumen memiliki rekening bank dan lolos skoring kredit sebelum memiliki kartu kredit.

Metode tersebut membuat besarnya kesenjangan antara unbanked dan underbanked di kawasan ini. Menurut laporan Bain & Company di 2019, lebih dari 70% orang dewasa (sekitar 450 juta orang) masuk ke dalam dua kategori tersebut.

BNPL mengambil metode skoring yang berbeda untuk menyasar pengguna tanpa harus memiliki riwayat kartu kredit. Alhasil dua kategori yang tadinya tidak masuk radar perbankan kini jadi incaran para pemain BNPL, salah satunya Traveloka.

Menurut laporan National Financial Supervision Commission, pinjaman konsumtif di Vietnam berkembang pesat sejak 2015 dengan tingkat pertumbuhan 65% pada tahun 2017 dibandingkan dengan 50,2% pada tahun sebelumnya, persentase pinjaman konsumen dalam total kredit naik menjadi 18% pada tahun 2017 dari 12,3% pada tahun 2016.

Di balik itu, meski sebagian besar masyarakat Vietnam paham teknologi (84% dari populasi adalah pengguna smartphone pada akhir 2017), namun proses mendapatkan pinjaman sebagian besar dilakukan secara manual dan akibatnya, memakan waktu setidaknya 4-5 hari.

Menurut McKinsey, hingga akhir 2019, mayoritas pemain BNPL di Vietnam – delapan dari 16 perusahaan – dimiliki oleh atau bermitra dengan bank dengan pangsa pasar 60%, dipimpin oleh FE Credit, yang memegang hampir 50 persen. Sisanya, diisi pemain non bank yang mulai ramai dengan persentase 25%.

“Bisnis kredit konsumer juga semakin menjadi penyedia utama keuangan tanpa jaminan untuk segmen pelanggan yang secara tradisional tidak akan dilayani oleh bank dan yang harus menggunakan pemberi pinjaman uang,” kata Partner McKinsey & Co. Sumit Popli.

McKinsey juga menemukan bahwa Vietnam memiliki laba atas ekuitas (ROE) yang jauh lebih tinggi untuk kredit konsumen, sebesar 38% dengan margin yang meningkat pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata ASEAN, pada 15%-25%. Selain itu, pangsa pinjaman konsumer dalam total pinjaman Vietnam hanya sekitar 12%, dibandingkan dengan 34% di ASEAN dan 40%-50% di negara-negara maju.

Negara ini sedang bergerak dari fase jaminan tanah ke pinjaman konsumen yang lebih profesional, dengan pemain membangun tim manajemen profesional dan kapabilitas kelembagaan dan mengadopsi infrastruktur digital dan teknologi mutakhir.

Cara yang paling populer untuk perusahaan asing yang ingin masuk ke pasar keuangan Vietnam adalah dengan mengakuisisi saham di bank lokal atau membeli perusahaan keuangan alih-alih mendirikan perusahaan sendiri. Pasalnya, pembiayaan konsumen mengharuskan pemain memiliki pemahaman yang mendalam tentang pasar lokal dan kapabilitas operasional, yang hanya dapat dibawa oleh mitra lokal.

Masataka Yoshida, Senior Managing Director, Head of the Cross-Border Division, and CEO Vietnam Recof Corporation mengatakan, “Mendirikan perusahaan keuangan yang benar-benar baru di Vietnam akan menimbulkan banyak kesulitan hukum dan prosedural, sementara bekerja sama dengan mitra domestik memungkinkan investor asing masuk ke Vietnam dengan lebih cepat dan mudah.”

Kondisi tak jauh berbeda ditunjukkan Thailand. Pinjaman konsumtif baru menyumbang 0,2% dari total pinjaman ritel di industri perbankan Thailand, meskipun ada potensi untuk pertumbuhan lebih lanjut.

Di satu sisi, tantangan para pemain startup fintech di sini adalah mencari cara untuk memanfaatkan database lembaga keuangan mapan untuk skoring kredit. Otoritas Thailand secara hukum melarang startup menggunakan fasilitas berbagi data kredit.

Hal ini menghambat para pekerja lepas, wiraswasta, karyawan, yang belum pernah mendapat akses keuangan dari perbankan karena pendapatannya yang tidak konsisten. Karena alasan inilah sebagian besar perbankan memilih untuk menawarkan pinjaman kepada peminjam yang memiliki riwayat kredit yang baik atau klien baru yang berpenghasilan tetap dengan laporan bank yang diverifikasi.

Penghuni pasar ini dikuasai bank komersial karena punya basis data pelanggan yang besar. Persetujuan pinjaman pada dasarnya masih berdasarkan data konvensional. Dengan kata lain data pendapatan atau laporan bank yang mencerminkan kemampuan membayar utang pelanggan.

Karena kewewenangan ini, perbankan bermitra dengan sekutu bisnis dan penyedia layanan lainnya pada platform online terkemuka, seperti marketplace dan platform pengiriman makanan online besar dengan jaringan toko dan restoran yang luas.

Bank akhirnya mendapatkan akses ke data alternatif dari kelompok sasaran baru calon pelanggan untuk analisis pendapatan yang lebih efisien, misalnya omset penjualan, pesanan pembelian, dan pengembalian dana produk, bersama dengan ulasan produk dan layanan.


*Foto header: depositphotos.com 

Kompetisi “Go Public” Raksasa Teknologi Asia Tenggara

Analis dan laporan media memproyeksikan bahwa 2021 akan menjadi tahun yang bersemangat bagi ekosistem teknologi Asia Tenggara karena raksasa teknologi di kawasan itu sedang giat mengincar penawaran umum perdana (IPO). Gebrakan itu muncul pada tahun 2020, ketika e-commerce unicorn Tokopedia dilaporkan sedang menjajaki opsi untuk listing melalui perusahaan akuisisi bertujuan khusus (SPAC) pada bulan Desember dan menunjuk Morgan Stanley dan Citigroup sebagai penasihatnya.

Tak lama kemudian, tersiar kabar bahwa Traveloka, unicorn lain yang berbasis di Indonesia, sedang mempertimbangkan IPO melalui skema yang sama. Perusahaan harus melewati turbulensi pada tahun lalu, ketika industri perjalanan dan perhotelan terhenti di seluruh dunia. Namun, di bulan Januari, CEO Traveloka, Fery Unardi, mengatakan kepada Bloomberg bahwa bisnis telah pulih dan perusahaan sedang mempertimbangkan jalur yang harus ditempuh, seperti merger SPAC untuk IPO tahun ini. Traveloka dikabarkan telah mengadakan diskusi dengan beberapa perusahaan cek kosong, termasuk perusahaan yang baru dibentuk seperti Bridgetown Holdings, yang didukung oleh Peter Thiel dan Richard Li.

Ada perkembangan yang bahkan lebih mencekam. Setelah berbulan-bulan berspekulasi, diskusi merger Grab dan Gojek — percobaan pertandingan yang dilakukan oleh Masayoshi Son dari SoftBank — gagal pada bulan Januari, dan kedua perusahaan tersebut menempuh jalur yang berbeda. Gojek dilaporkan sedang dalam pembicaraan lanjutan dengan Tokopedia untuk megamerger lain sebelum go public, sementara Grab mungkin meluncurkan IPO-nya sendiri di AS tahun ini.

Investor sering mengharapkan perusahaan portofolio untuk go public dalam jangka waktu tertentu, sehingga mereka dapat menguangkan sahamnya. Jika perusahaan portofolio tidak melakukan ini, mungkin akan dikenakan pembayaran kontraktual yang cukup besar. Misalnya, Grab akan berutang kepada Uber $2 miliar jika perusahaan yang berbasis di Singapura tersebut tidak memiliki saham yang diperdagangkan secara publik pada Maret 2023. Sementara itu, IPO yang berhasil dapat memberikan imbal hasil yang menarik bagi investor awal — dan memberikan preseden yang berarti ketika mereka mengumpulkan uang untuk fund baru. dana. Ini adalah siklus yang melahirkan dana investasi yang lebih besar dan lebih beragam yang dapat memotong cek yang lebih besar untuk para startup.

Keempat perusahaan ini — Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka — mungkin akan memperdagangkan sahamnya di New York, di mana Sea Group dari Forrest Li memimpin jalan bagi perusahaan teknologi yang berkembang pesat di Asia Tenggara. Mereka mendapat pengakuan nama di wilayah asalnya, tetapi apakah mereka dapat meyakinkan investor di AS untuk mempertahankan saham mereka?

Berlomba-lomba IPO

Para pendiri Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka semuanya telah menyatakan niatnya untuk mencapai profitabilitas sejak 2019. Tekanan meningkat tahun lalu karena pandemi — para investor mereka mengharapkan hasil. Go public memberi investor jalan keluar yang alami; Jika semua berjalan sesuai rencana, empat perusahaan teknologi Asia Tenggara akan membuka jalur uang tunai dari AS untuk mengalir ke pundi-pundi para modal ventura.

“Pasar publik telah mencerminkan keinginan yang luar biasa untuk berinvestasi di kancah teknologi Asia Tenggara, dan orang tidak perlu melihat lebih jauh dari Sea Group untuk melihat sejauh mana minat pasar dalam opsi untuk berinvestasi ke perusahaan teknologi di kawasan itu,” ujar Gabriel Li, seorang rekan dari firma hukum Singapura Withers KhattarWong.

Sebagai perusahaan teknologi yang mencakup e-commerce, video game, dan pembayaran, Sea Group adalah anak emas Asia Tenggara untuk pasar publik. Meskipun harga sahamnya datar selama lebih dari dua tahun, pemegang saham meraup 400% keuntungan di kertas di tahun 2020 saja.

Itu menambah kapitalisasi pasar sebesar $6 miliar ke Sea. Ini beberapa kali lebih banyak dari pertumbuhan Indeks Komposit NYSE pada periode yang sama, sebut Gabriel, dan dapat mendorong perusahaan teknologi lain untuk membuka garda depan persaingan baru, kali ini di pasar modal. “Perlombaan untuk tercatat kemungkinan merupakan bagian dari persaingan abadi untuk mendapatkan pangsa pasar. Ini hanyalah salah satu manifestasi terbaru mengingat, sekarang, sebagian besar akan merasa bahwa daftar akan jadi sangat bermanfaat. Dan sebagian besar akan mencoba meniru pengalaman Sea Group,” ujar Gabriel.

Saat ini, hanya ada sedikit pilihan bagi investor yang ingin memasukkan uangnya ke sektor teknologi kawasan. Menjadi salah satu firma pertama yang memperoleh simbol ticker di New York sama saja dengan memanfaatkan kesempatan yang ada. “Kelangkaan opsi kemungkinan akan mengarah pada penilaian yang lebih baik,” kata Gabriel, terutama karena perusahaan Asia Tenggara berada di radar investor Tiongkok dan Amerika sebagai opsi yang layak untuk mendiversifikasi portofolio. “Investor ini tidak hanya mencari peluang pertumbuhan investasi yang lebih tinggi di Asia Tenggara, tetapi juga mencari teknologi dan solusi yang lebih baru sebagai area pertumbuhan yang dapat meningkatkan portofolio yang ada.”

Sementara itu, Masana Takahashi, pendiri firma penasihat akuntansi dan keuangan perusahaan yang berbasis di Singapura, Jidobox, percaya bahwa minat investor pada perusahaan bergantung pada fundamental ekonomi tempat mereka beroperasi.

“Ada dua jenis investor utama — ritel dan institusional. Investor ritel boleh membeli ‘pasar Indonesia’ daripada Gojek atau Tokopedia,” kata Masana. “Mereka tahu Indonesia memiliki populasi yang besar dan ekonomi yang berkembang, yang membuat mereka tertarik untuk membeli saham teknologi Indonesia. Investor institusional membangun portofolio untuk melindungi nilai risiko, sehingga mereka akan memilih perusahaan yang memainkan peran penting dalam perekonomian negara mereka. ”

Takahashi berpendapat bahwa investasi di Indonesia atau perusahaan Asia Tenggara akan menjadi pelengkap bagi sebagian besar investor. “Investor tidak membutuhkan banyak unicorn di Asia Tenggara. Mereka hanya perlu merasakan sebagian dari pertumbuhan ekonomi kawasan. Misalnya, menurut saya orang Amerika tidak akan berinvestasi di Grab sebanyak yang mereka investasikan di Apple, karena mereka tidak familiar dengan perusahaannya.”

Seperti Gabriel Li, Masana setuju bahwa perusahaan yang melakukan IPO pertama di antara keempatnya akan dinilai dengan valuasi yang lebih tinggi.

Mampukah perusahaan teknologi Asia Tenggara mencapai bursa Tiongkok?

Banyak investor institusional menikmati keuntungan luar biasa melalui kesuksesan perusahaan Tiongkok di pasar saham AS. Namun, kebuntuan geopolitik antara AS dan Tiongkok telah meninggalkan tanda tanya atas masa depan perusahaan Tiongkok yang terdaftar di New York. Ketegangan ini bahkan mungkin menghalangi perusahaan baru untuk mendaftar di bursa saham Amerika, menurut GlobalData, sebuah perusahaan analitik. Faktanya, sejumlah perusahaan Tiongkok sedang mempertimbangkan secondary listings yang lebih lokal di Hong Kong.

Itulah mengapa perusahaan-perusahaan dari Asia Tenggara mungkin menarik bagi investor di AS. Wilayah ini diakui sebagai ekonomi terbesar keempat di dunia. Ini adalah rumah bagi populasi muda yang merasa nyaman dengan alat teknologi baru yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan, Asia Tenggara memiliki 400 juta orang yang bergerak online, dan jumlah itu akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang. Ini berarti potensi pertumbuhan yang luar biasa mungkin diambil oleh investor asing, menurut Gabriel. “Masuknya dana ke Asia Tenggara mungkin terus meningkat karena semakin mendapat pengakuan sebagai pasar berkembang.”

Bagaimanapun, fragmentasi pasar di Asia Tenggara dapat menimbulkan tantangan, dan fundamental ekonomi regional tidak sekokoh Tiongkok, sehingga tidak mungkin perusahaan teknologi Asia Tenggara melihat keriuhan yang sama di pasar saham layaknya beberapa perusahaan Tiongkok, ujar Masana. “Tiongkok sudah memiliki sekitar 300 juta masyarakat kelas menengah ke atas, sehingga memiliki daya beli negara maju. Ini perbedaan yang signifikan dari Asia Tenggara,” ujarnya.

Meskipun raksasa teknologi Asia Tenggara mungkin memiliki rencana bisnis jangka panjang yang menjanjikan, harga saham mereka mungkin akan tetap stagnan atau bahkan turun setelah debut mereka, seperti halnya Sea Group.

“Jika keuangan mereka tidak menarik, mereka tidak akan bisa menarik investor. Mayoritas investor di pasar saham AS tidak mengenal Asia Tenggara dan Anda mungkin tidak ingin berinvestasi di aset yang tidak Anda ketahui,” sebut Masana. “Kecuali raksasa teknologi ini dapat membuktikan bahwa mereka akan tumbuh pesat seperti Sea Group, tidak ada yang akan memperhatikan perusahaan yang merugi di negara yang asing dan jauh.”

The US Stock Exchange- Photo by Aditya Vyas on Unsplash
Bursa Efek AS mungkin akan segera menjadi rumah bagi simbol ticker dari lebih banyak raksasa teknologi di Asia Tenggara. Foto oleh Aditya Vyas dari Unsplash

Kapten yang gigih

Salah satu investor besar telah menjadi pendorong konstan dalam perjalanan membawa perusahaan teknologi Asia Tenggara dari swasta ke publik. Masayoshi Son dari SoftBank berusaha mengatur monopoli dengan menggabungkan Grab dan Gojek, dan dia dilaporkan telah memberikan restunya kepada potensi merger Gojek dan Tokopedia.

Mungkin tahun 2020 — dengan pandemi, perjalanan liar di pasar saham, dan pergeseran signifikan dalam cara kita berinteraksi satu sama lain — telah memberi SoftBank dosis chutzpah. Hal itu berubah dari menderita kerugian besar pada awal tahun 2020 menjadi meraup keuntungan kertas yang sangat besar menjelang akhir tahun. Banyak valuasi perusahaan portofolionya yang telah melonjak.

“Banyak kesuksesan SoftBank di kuartal terakhir bermuara pada Visinya — pun intended. Kemampuan Masayoshi Son untuk berinvestasi secara agresif dalam teknologi yang akan mengubah pasar telah terbayar dengan baik, dan saya pikir kenaikan mereka akan terus berlanjut karena lebih banyak perusahaan portofolio SoftBank memutuskan untuk tercatat,” kata Gabriel.

Secara ambisius, SoftBank dilaporkan sedang mempersiapkan setidaknya enam lagi dari perusahaan portofolionya untuk go public tahun ini. Salah satunya adalah Tokopedia. Analis memproyeksikan IPO ini akan memberikan SoftBank lebih banyak putaran kemenangan setelah penawaran DoorDash dan KE Holdings (Beike) tahun lalu. Selain itu, gerakan Son sulit dibaca oleh orang luar.

“SoftBank secara tradisional dan teratur mengejutkan seluruh pasar dan analis dengan gerakan yang sangat kontroversial dan terbukti sukses. Karena itu, kami tau faktanya bahwa menimbun uang tidak ada dalam DNA Softbank dan ini akan menjadi berita yang menarik untuk diikuti,” tambah Gabriel.

Salah satu perusahaan cek kosong Softbank, SVF Investment Corp, mengumpulkan USD525 juta di bulan Januari. Bulan lalu, konglomerat Jepang mengajukan dua SPAC lagi, yang diberi nama SVF Investment Corp 2 dan SVF Investment Corp 3, yang bertujuan untuk mengumpulkan lebih dari USD 632 juta setelah penjatahan berlebih. Target merger mereka berada di sektor yang mendukung teknologi seperti teknologi komunikasi seluler, kecerdasan buatan, robotika, dan teknologi cloud, menurut laporannya. Itu cukup untuk menjelaskan perusahaan teknologi mana pun di planet ini, tetapi akan adil untuk menunjuk ke perusahaan yang telah menerima cek dari Dana Visi SoftBank.

Untuk saat ini, belum jelas kapan Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka akan meraih simbol ticker — atau bahkan yang lebih dulu. Tetapi satu kepastian adalah bahwa go public berarti perusahaan-perusahaan ini akan menghadapi pengawasan dari regulator serta publik, jadi mereka harus menunjukkan nilai mereka dan mempertahankan bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan. IPO mereka akan menjadi terobosan besar bagi kancah teknologi Asia Tenggara. Pertanyaannya adalah: Setelah Sea Group, siapa yang akan menjadi peruntungan baru unicorn ini?


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Member.id Announces 15,4 Billion Rupiah Worth of Series A Funding

The Member.id loyalty platform has announced series A funding worth of $1.1 million or equivalent to 15.4 billion Rupiah. This round was led by East Ventures and Traveloka. Fresh funds will be focused on strengthening content capabilities on the platform, in line with their mission to create a “creator economy”.

One of the launched initiatives is TS Media as a new content production division in the company. This unit allows brand owners to collaborate with the rapidly growing creator ecosystem in Indonesia through the support of Member.id’s technology and expertise.

Later, Member.id will focus on providing strategic consulting, data analysis, and technology solutions to encourage retention and increase customer acquisition. Meanwhile, TS Media will focus on content creation to increase awareness and activation to drive customer acquisition.

Along with the funding, they also launched “Travel Secret”, a travel content platform pioneered by the actress Luna Maya and Marianne Rumantir (Co-Founder & CEO of Member.id). Luna also joined the company as a Managing Partner.

The presence of Traveloka as an investor is expected to provide added value for the business, especially for connecting Member.id with merchant networks.

“The pandemic has triggered a change in consumer behavior. They spend more time viewing content on social media. By creating content geared towards domestic tourism [via Travel Secret], we can become a significant force in driving additional demand for Traveloka,” Member.id’s Co-Founder & CSO Robert Tedja said.

“The unique strategy driven by Member.id content can open up new opportunities for Traveloka users and our travel and lifestyle business partners,” Traveloka’s Group President, Caesar Indra added.

Apart from Member.id, Traveloka has also invested in three other startups, including KiotViet, PouchNATION, and PasarPolis.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Member.id Umumkan Pendanaan Seri A 15,4 Miliar Rupiah

Pengembang platform loyalty Member.id mengumumkan telah memperoleh pendanaan seri A senilai $1,1 juta atau setara 15,4 miliar Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin oleh East Ventures dan Traveloka. Dana segar akan difokuskan untuk memperkuat kapabilitas konten di platform, sejalan dengan misi mereka untuk menciptakan “creator economy”.

Salah satu yang sudah direalisasikan, mereka meluncurkan TS Media sebagai divisi produksi konten baru di perusahaan. Unit ini juga memungkinkan pemilik brand bekerja sama dengan ekosistem kreator yang sedang berkembang pesat di Indonesia melalui dukungan teknologi dan keahlian yang dimiliki Member.id.

Nantinya Member.id akan berfokus pada penyediaan konsultasi strategi, analisis data, dan solusi teknologi untuk mendorong retensi dan peningkatan pelanggan bisnis. Sementara itu, TS Media akan fokus pada pembuatan konten untuk meningkatkan kesadaran dan aktivasi guna mendorong akuisisi pelanggan.

Bersamaan dengan pendanaan tersebut turut diumumkan peluncuran “Travel Secret”, yakni sebuah platform konten perjalanan yang dipelopori aktris Luna Maya dan Marianne Rumantir (Co-Founder & CEO Member.id). Luna juga bergabung ke perusahaan sebagai Managing Partner.

Hadirnya Traveloka di jajaran investor juga diyakini dapat memberikan nilai tambah bagi bisnis, terutama untuk menghubungkan Member.id dengan jaringan merchant.

“Pandemi telah memicu perubahan perilaku konsumen, mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk melihat konten di media sosial. Dengan membuat konten yang diarahkan pada pariwisata domestik [lewat Travel Secret], kami dapat menjadi kekuatan yang signifikan dalam mendorong permintaan tambahan untuk Traveloka,” ujar Co-Founder & CSO Member.id Robert Tedja.

“Strategi unik yang didorong oleh konten Member.id dapat membuka peluang baru bagi pengguna Traveloka dan mitra bisnis perjalanan dan gaya hidup kami,” imbuh Presiden Grup Traveloka Caesar Indra.

Selain Member.id, Traveloka juga sudah berinvestasi ke tiga startup lain, di antaranya KiotViet, PouchNATION, dan PasarPolis.

Traveloka Drops Strong Signal to Go Public on The New York Stock Exchange

Traveloka’s plan to go public on the stock exchange is getting obvious. In an interview with Bloomberg, Traveloka’s Co-Founder & CEO Ferry Unardi said, after going through his most difficult period at the beginning of the Covid-19 pandemic, this year is the right time for companies to go public. He believes that the company’s current state is great and the market is quite welcoming.

He said Traveloka’s business model has a clear profit path. Currently, its main business (travel and accommodation) is claimed to be profitable, while continuing to explore other business models, such as fintech. One of Traveloka’s focuses is providing paylater services.

He also implied that the company has been prepared to go public this year. Ferry has mentioned that Traveloka is to go public on the New York Stock Exchange (NYSE), then the local stock exchange.

The SPAC scheme may be an option due to its efficiency in terms of time. He emphasized that companies like Traveloka need an agile approach, therefore, they can focus on executing business growth post going public.

Previously, a Bloomberg source said Traveloka had chosen JPMorgan Chase & Co. as a strategic partner to explore potential IPOs on the NYSE. In addition, a Reuters source said, several blank check companies were in discussion to help with this process, including Provident Acquisition, COVA Acquisition, and Bridgetown Holdings.

SPAC is becoming a startups’ choice to go public on the NYSE. In a simple way, a blank check company that already goes public will conduct M&A on startups in need to go public on the stock exchange, therefore the startup is automatically listed on the exchange (direct listing). The process is faster, it can be within weeks as it doesn’t require a complex financial reporting process like the traditional IPO.

Traveloka is a leading regional OTA platform that is available in 6 Southeast Asian countries and Australia.

Is it the right momentum?

The pandemic had stopped the OTA business globally. Traveloka transaction volume was seriously affected. Ferry claims, the company started to climb back up in July 2020, and the transaction volume has getting recovered, reaching 50% pre-Covid-19, making their core business profitable.

Last year, Traveloka has secured new funding of $250 million or the equivalent of 3.6 trillion Rupiah. In order to raise the fund, Traveloka’s valuation is estimated to drop to $2.75 billion (nearly 40 trillion Rupiah). This down round action was taken because the company’s business was hit by Covid-19 and experienced a decrease in service traction.

There are some risk mitigation acts as the impact of Covid-19, one of which was performing business and operational efficiency. The company reportedly made a significant number of employee layoffs. Domestic travel is being optimized to maximize sales potential amid the relaxing massive social restrictions implemented in many regions.

It becomes an interesting question, after the business dropping and conditions are yet to fully recovered (especially in the travel industry), is this the right time for an IPO? What is clear is that Traveloka’s IPO plan has been revealed since before the pandemic. At the end of 2019, Ferry said that the startup is to perform an IPO in the next 2-3 years.

We had a chance to talk with Traveloka’s early investors, Willson Cuaca, Managing Partner of East Ventures and EV Growth, regarding the startup’s IPO process. He said that the pandemic will not affect the IPO plans. He said Indonesia’s startup current situation is quite ready.

“Whether there is a pandemic or not, the IPO is about time. For example, Tokopedia is 11 years old, Traveloka 8 years old, and others. Besides, monetization has getting visible, many have started to be profitable, the roadmap is getting clear, it’s only a matter of means. However, due to the pandemic, the government has issued more initiative. [..] It can accelerate the opportunity for IPO,” Willson explained.

Apart from East Ventures and EV Growth, Traveloka is also supported by some other investors, such as GIC, Expedia Group, and Rocket Internet. The company’s valuation is estimated at $3 billion and they want to go public on the stock exchange with a market capitalization of $4-6 billion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com

Traveloka Beri Sinyal Kuat Melantai di Bursa Saham New York Tahun Ini

Rencana Traveloka melantai di bursa semakin terang terbaca. Dalam wawancara bersama Bloomberg, Co-Founder & CEO Traveloka Ferry Unardi mengatakan, setelah melewati masa tersulitnya di awal Covid-19, tahun ini menjadi waktu yang tepat bagi perusahaan untuk go public. Ia meyakini kondisi perusahaan sudah siap dan pasar juga dinilai akan menyambut baik.

Ia mengatakan model bisnis Traveloka sudah memiliki jalur profit yang jelas. Untuk sekarang, bisnis utama mereka (travel dan akomodasi) diklaim sudah mendapatkan profit, sembari terus mengeksplorasi model bisnis lain, seperti fintech. Salah satu fokus Traveloka menghadirkan layanan paylater.

Secara implisit tahun ini persiapan go public sudah diagendakan perusahaan. Ferry sudah menyebut Traveloka akan terlebih dulu melantai di bursa saham New York (NYSE), kemudian menyusul di bursa lokal.

Mekanisme SPAC kemungkinan menjadi pilihan karena efisiensi di sisi waktu. Ia menekankan perusahaan seperti Traveloka butuh pendekatan gesit, agar segera fokus ke eksekusi pertumbuhan bisnis pasca go public.

Sebelumnya sumber Bloomberg menyebutkan Traveloka telah memilih JPMorgan Chase & Co. sebagai mitra strategis untuk mengeksplorasi potensi IPO di NYSE. Sebelumnya sumber Reuters menyebutkan, beberapa perusahaan cek kosong (blank check company) tengah berdiskusi untuk membantu proses ini, di antaranya Provident Acquisition, COVA Acquisition, dan Bridgetown Holdings.

SPAC makin menjadi pilihan bagi startup melantai di NYSE. Secara sederhana, perusahaan cek kosong yang sudah go public akan melakukan M&A terhadap startup yang ingin melantai di bursa, sehingga secara otomatis startup tersebut langsung terdaftar di bursa (direct listing). Prosesnya lebih cepat, bisa dalam hitungan minggu, karena sudah tidak ada lagi proses pelaporan finansial yang kompleks seperti tahapan IPO tradisional.

Traveloka adalah platform OTA regional terdepan yang sudah hadir di 6 negara Asia Tenggara dan Australia.

Apakah akan jadi momentum terbaik?

Pandemi sempat menghentikan bisnis OTA secara global. Volume transaksi Traveloka pun sempat terdampak serius. Ferry mengklaim, perusahaan mulai merangkak kembali di bulan Juli 2020 dan kini volume transaksi mulai pulih, menyentuh angka 50% pra-Covid-19, membawa core business mereka jadi profitable.

Tahun lalu Traveloka juga membukukan pendanaan baru senilai $250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Untuk mendapatkan suntikan dana tersebut, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19 dan mengalami penurunan traksi layanan.

Beberapa hal dilakukan sebagai langkah mitigasi dampak akibat Covid-19, salah satunya dengan melakukan efisiensi bisnis dan operasional. Perusahaan dikabarkan melakukan lay off pegawai dengan jumlah signifikan. Perjalanan domestik juga terus dioptimalkan untuk memaksimalkan potensi penjualan di tengah pelonggaran setelah pembatasan sosial besar-besaran yang dilakukan di banyak daerah.

Menjadi pertanyaan menarik, setelah bisnis dihantam dan kondisi belum sepenuhnya baik (khususnya di industri perjalanan), apakah ini menjadi waktu yang tepat untuk IPO? Yang jelas rencana IPO Traveloka sudah mulai diungkapkan sejak sebelum pandemi. Di sebuah kesempatan pada akhir tahun 2019, Ferry menyebutkan IPO akan dilakukan startupnya dalam 2-3 tahun mendatang.

Kami sempat berbincang dengan investor awal Traveloka, Willson Cuaca, Managing Partner East Ventures dan EV Growth, terkait proses IPO startup. Ia mengatakan bahwa pandemi tidak akan berpengaruh pada rencana IPO. Menurutnya saat ini kondisi startup di Indonesia sudah sangat siap untuk melakukan itu.

“Ada pandemi ataupun tidak, IPO memang sudah waktunya. Contohnya, Tokopedia sudah 11 tahun, Traveloka 8 tahun dan lain-lain. Selain itu monetisasi sudah mulai clear, banyak yang sudah mulai profitable, banyak yang makin jelas roadmap-nya, jadi tinggal bagaimana cara IPO-nya. Tapi karena pandemi, pemerintah banyak mengeluarkan stimulus. [..] Jadi membuat kesempatan untuk IPO lebih dipercepat,” jelas Willson.

Selain East Ventures dan EV Growth, Traveloka juga didukung beberapa investor lain, seperti GIC, Expedia Group, dan Rocket Internet. Valuasi perusahaan ditaksir berada di angka $3 miliar dan mereka ingin melantai di bursa dengan kapitalisasi pasar $4-6 miliar.


Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Dikabarkan Juga Segera “Go Public”, Buka Opsi Melalui SPAC

Traveloka menjadi startup unicorn kedua yang disebutkan segera melantai di bursa saham. Kali ini mereka lebih terbuka mengungkapkan mempertimbangkan penggunaan SPAC (Special Purpose Acquisition Company) di proses go public-nya. Tidak disebutkan siapa mitra potensialnya, tapi hal ini memastikan Bursa Saham New York menjadi tujuan utama.

Seperti diberitakan Reuters, President Traveloka Henry Hendrawan menyebutkan perusahaan cek kosong SPAC sebagai salah satu opsi yang dievaluasi perusahaan. Henry mengklaim pihaknya telah didekati beberapa SPAC untuk proses ini.

Disebutkan Traveloka sedang mempertimbangkan opsi IPO atau SPAC dan mencari kapitalisasi pasar $5-6 miliar (70-85 triliun Rupiah). Tahun ini Traveloka telah mendapatkan pendanaan $250 juta (3,6 triliun Rupiah) dari sejumlah investor. Opsi SPAC saat ini dianggap memberikan proses go public yang lebih mudah dan cepat ketimbang IPO.

Sebagai startup OTA, Traveloka termasuk pihak yang terkena dampak paling besar selama pandemi. Perusahaan sempat melakukan pengurangan pegawai sepanjang tahun ini, tetapi mereka yakin bisa kembali ke jalur profit tahun  depan dengan fokus perjalanan domestik. Tak hanya di Indonesia, Traveloka juga beroperasi di 5 negara Asia Tenggara lainnya.

Sebelumnya Tokopedia dikabarkan menjajaki potensi go public dengan SPAC Bridgetown Holdings sebagai salah satu opsi mitra. Perusahaan mengonfirmasi telah menunjuk Morgan Stanley dan Citi sebagai penasihat.

Sumber DailySocial memberikan sinyalemen bahwa kedua proses go public ini bakal dilaksanakan dalam waktu dekat untuk memberikan kesempatan exit bagi para investornya yang telah mendukung perusahaan selama 8-10 tahun terakhir.

Application Information Will Show Up Here

Tren Perlambatan Iklim Investasi Startup Indonesia di Semester II 2020

Pandemi Covid-19 belum usai, perekenomian juga belum pulih. Indonesia bisa masuk ke periode resesi apabila perekonomian masih mencatat pertumbuhan minus di kuartal III 2020 .

Seluruh sektor bisnis dan industri saat ini sedang mengalami masa sulit karena pandemi. Meskipun demikian, ada juga yang melihat situasi ini sebagai momentum untuk mengakselerasi peran digitalisasi. Ini juga menjadi salah satu manuver terhadap perubahan pasar dan perilaku konsumen di tengah pandemi.

Bagaimana pencapaian transaksi pendanaan startup di Indonesia di semester I 2020 dan seperti apa tren selanjutnya di penghujung 2020?

Pendanaan di semester I 2020

Sebagaimana diberitakan Nikkei, tren investasi di Asia Tenggara justru melonjak pada kuartal II 2020 (periode April-Juni). Pandemi menjadi momentum bagi pelaku bisnis e-commerce dan fintech untuk memperoleh traksi layanan besar seiring dengan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pembatasan sosial dan Work From Home (WFH).

Menurut data DealStreetAsia, Indonesia menyumbang transaksi terbanyak pada periode tersebut dengan 45,8 persen dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara. Terbanyak kedua dan ketiga adalah Singapura (33,2%) dan Vietnam (7,9%).

Pada semester I 2020, DailySocial mencatat sebanyak 52 transaksi pendanaan startup Indonesia yang diumumkan. Apabila dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, memang ada peningkatan dari sebanyak 50 transaksi pendanaan, tetapi tidak signifikan.

Pendanaan Startup Indonesia Semester I 2020 / DailySocial
Pendanaan Startup Indonesia Semester I 2020 / DailySocial

Jumlah transaksi ini sebetulnya bisa lebih meningkat lebih besar dibandingkan periode sama tahun lalu. Hanya saja pandemi juga mengakibatkan sejumlah kesepakatan pendanaan menjadi mundur dari target semula.

Misalnya, Paxel awalnya menargetkan dapat mengantongi pendanaan baru di kuartal II 2020. Namun, rencana ini terpaksa diundur pada kuartal III 2020. Sementara, Mbiz mengaku kesulitan mencari investor baru karena situasi ini. Bahkan perusahaan di bidang e-procurement ini harus merevisi target penggalangan dana.

Dari sisi tahapan, startup pemula (seed) masih mendominasi transaksi pendanaan. Sementara, startup fintech dan edtech menjadi vertikal bisnis yang paling banyak memperoleh suntikan investasi di semester I 2020.

Tren investasi di kuartal III mulai melambat?

Kuartal ketiga 2020 memang belum berakhir. Namun, berdasarkan data yang dirangkum DailySocial, tren investasi pada kuartal ini terbilang cukup melambat.

Pada periode Juli hingga saat ini (year-to-date), terdapat sebanyak 19 transaksi pendanaan startup di Indonesia. Sebagai gambaran, pada kuartal ketiga 2019 terdapat 30 transaksi pendanaan yang diumumkan sebagaimana dirangkum pada Startup Report 2019.

Beberapa di antaranya berasal dari startup unicorn dan tahap lanjut, yaitu Traveloka dengan perolehan dana sebesar Rp3,6 triliun dan Sociolla sebesar Rp841 miliar.

Valuasi Traveloka sendiri diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir Rp40 triliun) demi memperoleh suntikan dana segar ini. Aksi down round ini terpaksa diambil karena bisnis perusahaan terpukul akibat Covid-19 sehingga mengakibatkan penurunan layanan.

Lebih lanjut, perolehan investasi periode Juli hingga awal September ini masih didominasi oleh beberapa vertikal bisnis yang mendapatkan keuntungan dari situasi saat ini, misalnya beautytech, e-commerce, logistik, dan fintech.

Startup Vertikal Bisnis Pendanaan
Sociolla Beautytech Series E
Payfazz  Fintech Series B
TiinTiin E-commerce Seed
SYCA Beautytech Seed
Kiddo  Edtech  Seed
Traveloka  OTA Series Unknown
Ayoconnect  Fintech Pre-Series B
Wahyoo  Social Enterprise Series A
CrediBook  Fintech  Seed
eFishery  Aquatech Series B
IUIGA E-commerce Series Unknown
BukuKas SaaS Pre-Series A
Tjetak Others Series A
SIRCLO E-commerce Enabler Series B
PasarPolis  Insurtech Series B
PropertyGuru Group Proptech Series Unknown
Webtrace Logistik Seed
CredoLab  Fintech Series A

Akselerasi digital picu optimisme iklim investasi

Dihubungi secara terpisah, Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa tren pendanaan startup di kuartal keempat 2020 diprediksi tetap lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini mengingat situasi pandemi masih berlanjut dan perekonomian belum pulih.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen (year-on-year). Pertumbuhan ini terburuk sejak krisis 1998 di Indonesia. Belum lagi, Jakarta kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid dua mulai pekan ketiga September ini.

Kendati demikian, Kenneth mengaku optismistis terhadap tren investasi ke depan mengingat ada banyak vertikal bisnis startup yang justru terdampak positif dari kondisi ini. Hal ini terutama berkaitan dengan akselerasi kapabilitas digital menjadi lebih cepat dan urgent.

Ia juga melihat ke depannya bisa saja jadi momentum konsolidasi lewat merger dan akuisisi (M&A) bagi industri startup. “Ini karena sekaligus mengevaluasi apakah para founder startup tersebut memiliki kemampuan untuk bertahan. Cara bertahan itu banyak, bisa lewat galang pendanaan baru, pivot, dan konsolidasi,” ujarnya kepada DailySocial.

Sebelumnya, perusahaan VC raksasa Sequoia Capital telah memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 bakal memberikan efek turbulensi terhadap bisnis dan iklim investasi di industri startup dunia. Sequoia bahkan menyebut Covid-19 sebagai “The Black Swan di 2020”.

Sequoia memperingatkan seluruh ekosistem startup dan turunannya untuk memikirkan ulang sejumlah aspek bisnisnya di sepanjang tahun ini. “Meskipun mungkin bisnis Anda belum akan terdampak langsung dari kasus ini, Anda perlu mengantisipasi bahwa konsumen bisa saja mengubah spending habit mereka,” menurut Sequoia.