Zi.Care Fokus Kembangkan Solusi Digitalisasi Rumah Sakit

Pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor kuat yang mendorong banyak sektor bergerak ke arah digital, termasuk di dunia kesehatan. Dengan latar belakang lebih dari sepuluh tahun di beberapa rumah sakit ternama, Founder dan CEO Zi.Care Indonesia Jessy Abdurrahman melihat sebuah fenomena, dengan kemampuan dokter yang mumpuni serta teknologi yang tak kalah canggih, mengapa masih banyak masyarakat Indonesia yang lebih memilih akses kesehatan di luar negeri?

Hal ini mendorong ia untuk menemukan pain points dalam sistem operasional rumah sakit di Indonesia lalu mengembangkan solusi digital untuk mengatasi masalah tersebut.

Dibangun pada tahun 2017 bersama rekannya Sanjaya I Mayluddin, Zi.Care menawarkan solusi end-to-end untuk digitalisasi rumah sakit. Sebuah platform Sistem Informasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan yang sepenuhnya secara komprehensif menangani seluruh siklus dalam proses dari manajemen sumber daya hingga klaim asuransi.

Solusi yang ditawarkan

Saat ini, Zi.Care membagi bisnisnya dalam tiga macam konsep, yaitu B2B untuk menyediakan dan mengembangkan platform SaaS untuk fasilitas kesehatan; B2C untuk merevolusi utilitas aplikasi seluler perawatan kesehatan dan memasukkan rekam medis elektronik pribadi; serta B2G untuk menyelaraskan dan mendukung regulator dalam menetapkan standar ekosistem perawatan kesehatan digital.

Jodi Susanto, Co-Founder dan Executive Director Zi.Care Indonesia menyampaikan, “Solusi digital yang ingin kami tawarkan adalah end-to-end business process meliputi dokter, pasien, manajemen rumah sakit, perawat, back and front office, hingga purchasing dan procurement. Namun saat ini, kami fokus mengedepankan solusi EMR (Electronic Medical Record).”

Dalam ranah B2B, Zi.Care menerapkan bisnis model berlangganan untuk platform SaaS mereka dengan waktu minimum 3 tahun pemakaian. Dalam paket ini, pihaknya akan menangani secara keseluruhan Sistem Informasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan pada rumah sakit berikut pemeliharaannya. Saat ini, perusahaan mengaku telah melayani 76 Rumah Sakit, terdiri dari 70 RS nasional yang menangani Covid-19 serta 6 kontrak komersial.

Tekait layanan SaaS yang ditawarkan, Jodi turut menambahkan, “Zi.Care dibangun dengan kompleksitas yang lengkap, namun dalam penerapannya, sifatnya initialization, berdasarkan permintaan.”

Selain fokus pada beberapa fitur unggulan di atas, Zi.Care juga tengah mengembangkan solusi B2C yang disebut health passport, yaitu catatan medis elektronik untuk individual berbasis cloud yang terintegrasi sepenuhnya dengan stakeholder yang berkepentingan. Namun, perusahaan mengaku masih dalam perbincangan dengan beberapa stakeholder mengenai regulasi.

“Kita sudah berkomunikasi intensif dengan tim dari otoritas, seperti KemKes, Mendagri, dan lainnya. Karena dalam penggunaannya sendiri, terdapat juga integrasi antar kementrian dan butuh NIK. Namun, secara produk sudah jadi dan siap di-launching bersamaan dengan distribusi vaksin,” tambah Jodi.

Selain menawarkan solusi dalam hal sistem, Zi.Care juga memiliki modul yang memudahkan pasien BPJS untuk berobat di rumah sakit melalui fitur dana talangan BPJS. Saat ini telah bermintra dengan bank BNI, Mandiri, dan Mandiri Syariah, untuk rumah sakit yang belum bankable, kita juga sudah kerja sama dengan alami dalam mengakomodasi kebutuhan tersebut.

“Kami menyebut ekosistem ini cloud hospital, di mana setiap layanan kesehatan bisa terjadi di bawah payung rumah sakit. Dengan konsep ini, setiap rumah sakit bisa menjangkau pasien di mana saja. Hal ini otomatis akan meningkatkan daya saing rumah sakit dengan solusi healthtech lainnya,” ujar Jodi.

Dalam perjalanan bisnisnya, Zi.Care telah bekerja sama dengan beberapa pihak terkait inklusi kesehatan. Pada tahun 2019, Zi.Care bersama lima startup kesehatan dan Kemenkes telah meneken MoU yang menyebut bahwa perusahaan akan mendukung aspek pengembangan teknologi dari platform SehatPedia. Aplikasi ini memfasilitasi masyarakat untuk berkonsultasi dengan dokter-dokter beragam spesialisasi dari 33 rumah sakit vertikal Kemenkes.

Potensi pasar dan target

Bulan Juni 2020, Zi.Care akhirnya meluncurkan versi beta platformnya. Dalam aplikasi ini, ada beberapa fitur utama seperti Reservasi Online, Telekonsultasi, serta EMR. Perusahaan mengklaim telah mendapatkan 500 pengguna hingga saat ini.

Terkait pendanaan, Zi.Care berhasil meraih seed round dari Lima Ventura, sebuah venture capital milik Garuda Food senilai $600 ribu di tahun 2019. Perusahaan mengklaim valuasi saat itu berada di angka $2,5 juta. Saat ini, perusahaan tengah dalam proses penyelesaian putaran pendanaan seri A senilai $1,5 juta dari venture capital asal Singapura yang fokus pada healthech. Perusahaan juga mengungkap adanya beberapa potensi partisipasi dari grup farmasi lokal. Harapannya adalah untuk bisa close di akhir tahun 2020 ini.

Pada dasarnya, semua healthtech menikmati upside effect dari pandemi, namun ada yang ternyata nasibnya tidak begitu baik, yaitu rumah sakit dan klinik. Ketika pandemi, orang-orang sebisa mungkin untuk menghindari datang langsung ke rumah sakit, di sini Zi.Care ingin lebih dulu membantu pihak rumah sakit dalam melancarkan program internal sebelum akhirnya melakukan kesepakatan eksternal.

“Dalam artian, Rumah Sakit harus lebih dulu menerapkan digitalisasi sebelum bisa mencanangkan konektivitas dan integrasi dengan aplikasi,” tutup Jodi.

Application Information Will Show Up Here

Gambar header: Depositphotos.com

OPPO Umumkan Pemenang Ajang Reno4 Virtual Run

Setelah berlangsung selama lebih dari dua pekan dan diikuti oleh 2.593 peserta, ajang OPPO Reno4 Virtual Run akhirnya usai, dan sudah terpilih lima orang pemenang yang ternyata berhasil menyelesaikan lomba hanya dalam dua hari pertama. Mereka adalah:

  • Juara 1: Yudo Adrian, dengan total jarak tempuh 68,14 km
  • Juara 2: I Dewa Gede Astawa, dengan total jarak tempuh 63,17 km
  • Juara 3: Johan Tri Efendi, dengan total jarak tempuh 55,45 km
  • Juara 4: Fadli Ariesta, dengan total jarak tempuh 53,44 km
  • Juara 5: Pajrin, dengan total jarak tempuh 51,10 km

“OPPO mengucapkan terima kasih untuk partisipasi para peserta, komunitas lari, dan media partner yang telah memeriahkan gelaran Reno4 Virtual Run. Untuk seluruh peserta juga bisa mengunduh sertifikat yang telah disediakan secara daring. Event lari virtual ini semoga menjadi penyemangat kita untuk terus hidup sehat dengan terus berolahraga mandiri,” ucap Aryo Meidianto, PR Manager OPPO Indonesia, dalam siaran persnya.

Seperti yang sudah dijanjikan, kelima pemenang ini berhak mendapatkan hadiah yang menarik. Juara pertamanya berhak memperoleh OPPO Reno4 Pro, model paling premium dari seluruh lini Reno4 yang dilengkapi layar 90 Hz dan dukungan fast charging 65 W, tidak ketinggalan pula OPPO Watch varian 46 mm dan TWS anyar OPPO Enco W51 yang dibekali fitur active noise cancellation.

Untuk runner-up-nya, OPPO menyediakan Reno4 dan OPPO Watch 46 mm sebagai hadiah. Reno4 sendiri adalah model tengah yang memiliki spesifikasi nyaris identik seperti Reno4 Pro, dengan perbedaan utama pada refresh rate layar, desain, dan kecepatan teknologi fast charging yang didukung. Reno4 juga unik karena dilengkapi dengan fitur AON Smart Sensor.

Di posisi ketiga, pemenangnya berhak mendapatkan hadiah Reno4 F yang masih sangat gres, dan yang desainnya paling berbeda sendiri dengan modul kamera mengotak ketimbang memanjang, plus sebuah OPPO Watch varian 41 mm. Untuk pemenang keempat dan kelima, masing-masing berhak mendapatkan hadiah berupa Reno4 dan Reno4 F.

Selain itu, OPPO tidak lupa mengumumkan tiga pemenang social media competition yang juga menjadi bagian dari ajang Reno4 Virtual Run. Juara pertamanya berhak mendapatkan hadiah berupa OPPO Reno4 F, juara keduanya OPPO Watch 41 mm, dan juara ketiganya OPPO Enco W51.

Smartfren Technology Update 2020: Tingkatkan Kapasitas dan Jangkauan

2020 merupakan tahun yang sangat berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun ini, kegiatan bekerja dan sekolah di rumah diperkenalkan dan dijalankan dengan terpaksa. Oleh karena itu, kebutuhan internet menjadi lebih besar. Sementara itu, kepemilikan internet berbasis kabel pada setiap rumah belum banyak dimiliki.

Smartfren sebagai salah satu penyedia layanan internet berbasis seluler pun menjadi salah satu pilihan. Smartfren mencatat terjadi peningkatan traffic di berbagai wilayah operasional, dengan kenaikan tertinggi di wilayah-wilayah pemukiman. Oleh karena itu, Smartfren terus melakukan peningkatan kapasitas, coverage serta optimasi jaringan.

Kenaikan lalu lintas data internet Smartfren pada paruh kedua 2020 ternyata mencapai 24 % dibanding paruh pertama. Kenaikan traffic terbesar terjadi di Samarinda mencapai 58%, kemudian Semarang mencapai 38% dan Balikpapan mencapai 36%. Smartren juga melakukan penambahan kapasitas jaringan yang kini sudah meningkat 29% sekaligus perluasan coverage 4G yang sudah mencapai 21% secara nasional.

Smartfren Tech update 2020

“Sekarang kita sudah mengoptimasi 42% dari keseluruhan network, dan masih terus bertambah. Selain itu kami juga menerapkan berbagai teknologi yang memungkinkan akses internet berkecepatan tinggi,” jelas Munir Syahda Prabowo, VP Technology Relations and Communications Smartfren. Pada sisi teknologinya, saat ini Smartfren telah menerapkan sejumlah teknologi pada seluruh aspek network, yaitu multiple carrier, milimeter wave, small cell, 4×4 MIMO, Beam Forming, Full Duplex, serta 256 QAM.

Pada sisi produk, Smartfren memiliki teknologi eSIM terbaru. Teknologi ini baru diterapkan pada smartphone Samsung dan yang pasti, iPhone. Untuk menggunakan eSIM, pengguna hanya harus melakukan pemindaian kode QR saja dan langsung bisa terhubung ke network Smartfren. Teknologi ini juga memungkinkan iPhone generasi baru untuk bisa terhubung dengan dua operator seluler.

Kemana VoWiFi?

Bagi Anda yang belum tahu, saat ini Smartfren sudah memiliki teknologi yang bernama VoWiFi. Teknologi ini memungkinkan penggunanya untuk tetap dapat melakukan panggilan dan menerima SMS saat tidak ada sinyal dari jaringan Smartfren, asalkan terhubung dengan WiFi. Saat ini, hanya iPhone dan smartphone dari Xiaomi saja yang bisa menggunakan VoWiFi dari Smartfren dengan lancar. Mengapa?

Ternyata, Smartfren sendiri belum secara resmi meluncurkan teknologi VoWiFi tersebut. Pak Munir mengatakan bahwa secara network dari Smartfren sudah tidak ada masalah. Namun belum resminya VoWiFi dari Smartfren disebabkan oleh dua hal.

VoWiFi Xiaomi - Extra

Yang pertama adalah sesuai dengan undang-undang atau aturan dari pemerintah Indonesia. Smartfren juga masih menunggu karena WiFi belum dinyatakan sebagai sarana carrier yang diformalkan oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi carrier dalam telekomunikasi.

Alasan kedua yang menyebabkan Smartfren belum meresmikannya adalah karena komunikasi melalui aplikasi pihak ketiga lebih diminati. Aplikasi seperti Whatsapp, Skype, dan lain sebagainya saat ini sudah bisa digunakan untuk melakukan panggilan suara langsung saat terhubung dengan WiFi. Hal ini yang harus dilihat untuk mengetahui tren kedepannya.

Oleh karena itu, Pak Munir mengatakan bahwa pihak Smartfren juga harus menunggu. Jika memang nanti VoWiFi cukup bagus dan bisa diterima masyarakat serta pemerintah Indonesia juga sudah meresmikannya, dari sisi Smartfren sudah tidak ada masalah lagi. Smartfren juga akan langsung menjalankannya.

DJI Mini 2 Diluncurkan, Kini dengan Kemampuan Merekam Video 4K dan Jarak Transmisi Lebih Jauh

DJI baru saja memperkenalkan Mini 2, penerus langsung dari Mavic Mini yang diluncurkan setahun lalu. Drone mungil ini hadir membenahi sejumlah kekurangan milik pendahulunya, tapi di saat yang sama juga mempertahankan beberapa keunggulannya meski tak lagi mengusung nama Mavic.

Yang paling utama, desain dan dimensinya tidak berubah. Dalam posisi terlipat, ukuran DJI Mini 2 cuma sebesar telapak tangan orang dewasa, dan bobotnya tercatat hanya 249 gram. DJI sangat bangga dengan pencapaian ini sampai-sampai informasi berat tersebut mereka sematkan langsung pada bodi Mini 2.

Satu kelebihan yang bisa disombongkan oleh Mini 2 jika dibandingkan dengan pendahulunya adalah terkait kemampuan merekam videonya. Mini 2 sanggup merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps dengan bitrate 100 Mbps, jauh mengungguli Mavic Mini yang cuma mampu merekam video beresolusi 2,7K.

Sensor yang tertanam pada kameranya sebenarnya sama besarnya, dengan luas penampang 1/2,3 inci. Juga ikut di-upgrade adalah kemampuan fotografinya. Mini 2 tak hanya bisa menjepret foto 12 megapixel dalam format JPEG, melainkan juga RAW. Gimbal yang digunakan sendiri sama-sama model 3-axis seperti di Mavic Mini.

Namun pembaruan yang paling signifikan terletak pada teknologi transmisinya. Mini 2 sepenuhnya mendukung teknologi OcuSync 2.0, yang berarti ia mampu terhubung dengan controller dan meneruskan video 1080p dari jarak sampai sejauh 10 kilometer, alias 2,5 kali lipat lebih jauh daripada sebelumnya. Controller-nya sendiri adalah model baru yang DJI perkenalkan bersama Mavic Air 2 pada bulan April lalu.

Kemampuan mengudaranya pun juga tidak lupa disempurnakan. Mini 2 mampu melesat dalam kecepatan maksimum 57 km/jam, dan ia juga siap menahan tiupan angin hingga sekencang 38 km/jam. Terlepas dari semua pembaruannya itu, Mini 2 sama sekali tidak mengorbankan efisiensi energinya. Malahan, ia bisa mengudara satu menit lebih lama daripada pendahulunya, dengan daya tahan baterai maksimum hingga 31 menit per charge.

Selebihnya, Anda masih akan menjumpai berbagai fitur berbasis software yang impresif yang sudah kita ekspektasikan dari DJI. Di Amerika Serikat, DJI Mini 2 saat ini telah dipasarkan dengan banderol $449, atau dalam bundel Fly More Combo seharga $599.

Sumber: DJI.

Dua Tahun Perjalanan Quora di Indonesia

Identitas Quora sebagai platform tanya jawab sudah begitu melekat di seantero jagat. Kepopulerannya tersebut mendorongnya untuk masuk ke Indonesia, negara dengan populasi tertinggi keempat di dunia, pada 2018 dengan menghadirkan situs berbahasa Indonesia.

Quora kemudian menunjuk Alanda Kariza sebagai Community Manager Quora Indonesia. Ia jadi satu-satunya pegawai lokal di Indonesia.

Kepada DailySocial, Alanda mengklaim sejak hadir dalam bahasa Indonesia, antusiasme pengguna sangat baik. Meski tidak melampirkan data terkait pertumbuhan kunjungan, konten, maupun pengguna, ia menyebut bisa dikatakan Quora di Indonesia adalah salah satu pasar Quora dengan pertumbuhan tercepat di luar Amerika Serikat dan India.

Peluncuran Quora untuk versi bahasa Indonesia
Peluncuran Quora untuk versi bahasa Indonesia

Untuk membuktikan pernyataan Alanda, DailySocial menggunakan data SimilarWeb untuk mendapatkan sedikit gambaran. Dengan membandingkan situs Quora berbahasa Inggris dan Indonesia, serta kompetitornya, ditemukan bahwa selama Juli-September 2020, situs Indonesia setiap bulannya dikunjungi 3,6 juta kali.

Adapun pengunjung unik bulanan (monthly unique visitor) sebanyak 2,1 juta orang, rata-rata waktu yang dihabiskan pengguna saat mengunjungi situs Quora Indonesia adalah 3 menit 14 detik dengan 2.19 halaman tiap kunjungan.

Menariknya, situs Quora bahasa Indonesia lebih banyak dikunjungi ketimbang versi Inggris. Menurut SimilarWeb, situs tersebut dikunjungi sebanyak 2,5 juta kali dan pengunjung unik bulanan 1,19 juta orang, untuk periode yang sama.

DailySocial juga membandingkan kompetitornya, meski tidak apple-to-apple, dengan Reddit (yang diblok) dan Brainly. Tak lupa kami memasukkan Yahoo Answers ID, satu-satunya yang memiliki irisan segmen secara langsung. Ternyata Brainly menempati urutan teratas untuk semua metrik pengukuran yang digunakan SimilarWeb.

Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb

Brainly dikunjungi 140,9 juta kali dan 30,99 juta orang adalah pengunjung unik bulanan. Brainly punya konsep yang mirip dengan Quora, hanya saja ia lebih dikhususkan untuk dunia pendidikan, sehingga penggunanya terbatas untuk kalangan pelajar dan edukator. Brainly sendiri sudah hadir di Indonesia sejak 2014.

Alanda menjelaskan, topik yang paling banyak diakses oleh Quoran (sebutan pengguna Quora) di antaranya sejarah, kesehatan, pendidikan tinggi, teknologi informasi, kuliner, sains, dan psikologi. “Saat pandemi, pengguna menghabiskan waktu lebih banyak di Quora dibandingkan saat sebelum pandemi,” katanya.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai platform tanya jawab, Alanda menerangkan Quora selalu berusaha menjaga kualitas kontennya melalui beberapa kebijakan, termasuk kewajiban pengguna menggunakan nama asli dan kredensial profesi atau pendidikan untuk menunjukkan kredibilitasnya dalam menjawab pertanyaan.

Selain itu, membuat sistem moderasi untuk menurunkan konten spam atau plagiat dengan memanfaatkan kombinasi manusia dan bot, terutama untuk konten-konten dengan kata-kata kasar. “Kami juga membuat kebijakan BNBR (Be Nice, Be Respectful), di mana sesama pengguna harus saling menghargai dan menghormati.”

Dari sisi pengembangan fitur, sambungnya, baru-baru ini Quora meluncurkan Ruang (“Spaces” di Quora bahasa Inggris). Di sana pengguna bisa mengkurasi konten pertanyaan, jawaba, atau blog yang menurut mereke menarik sesuai dengan topik masing-masing.

“Antusiasme pengguna Quora di Indonesia sangat tinggi terhadap Ruang ini, dan kini fitur ini bisa digunakan oleh semua pengguna.”

Sumber: Quora
Sumber: Quora

Di Indonesia, operasional Quora dijalankan oleh Alanda sendiri. Ia juga mengonfirmasi bahwa di sini Quora belum melakukan monetisasi, sementara untuk Quora dalam bahasa Inggris sudah memiliki iklan. Kantor pusat Quora saat ini hanya di Mountain View, California, dan India.

Karena pengaruh pandemi, sejak Juni ini perusahaan bertransformasi menjadi remote first, sehingga karyawan bisa bekerja dari manapun yang mereka inginkan dan tetap berlaku hingga pandemi dinyatakan selesai.

Dalam berbagai pemberitaan, Quora termasuk “terlambat” dalam monetisasi, bertahan dengan idealismenya untuk tidak mengacaukan situsnya dengan tampilan iklan. Perusahaan akhirnya “menyerah” pada 2016 dan mulai menerima iklan pertama dari Uber.

“Tidak ada yang menyukai iklan banner, iklan dari perusahaan yang curang, atau iklan yang tidak relevan dengan kebutuhan mereka,” kata perusahaan saat itu. “Namun, kami optimis bahwa kami akan dapat memperkenalkan iklan di Quora dengan cara yang sesuai dan idealnya membuat produk menjadi lebih baik.”

Menurut data per 23 Januari 2020, dikatakan Quora memiliki 300 juta pengguna aktif bulanan. Komposisi terbesar datang dari India, disusul Amerika Serikat, dan Kanada. Pendapatan mereka disebutkan sebesar $8 juta pada 2018.

Sumber: Quora
Sumber: Quora

Kesempatan pemain lokal

Di kancah global, ada banyak platform tanya jawab seperti Quora dengan target konsumen yang berbeda-beda. Ada Stack Overflow yang telah berevolusi menjadi platform untuk topik tentang teknologi, budaya/rekreasi, hobi/seni, sains, profesional, dan bisnis yang disajikan dalam situs tersendiri untuk masing-masingnya.

Sedangkan, untuk topik yang lebih universal, seperti Quora, dapat ditemukan di Yahoo Answers, WikiHow, Ask.com, Answers.com, Reddit, dan sebagainya. Sementara untuk topik mengenai edukasi, yang menjadi fokus utama Brainly, juga tak kalah banyak. Ada Byju, Teachoo, Photomath, dan sebagainya. Di level lokal pun ada Kelas Kita yang punya konsep serupa.

Masih bicara tentang kesempatan pemain lokal, untuk menyaingi Quora bukanlah hal yang mudah. Sebelumnya sudah ada beberapa pemain yang sudah mencoba peruntungan di sini dan akhirnya tenggelam dengan sendirinya. Mereka adalah TADO (Tanya Dong), Tanyain.com, dan Infonesia.

Kisah ini mungkin mirip dengan fakta bahwa belum ada aplikasi pesan instan lokal yang mendominasi di negaranya sendiri. Salah satu pemain baru yang mencoba peruntungan di sini adalah Philoit yang baru beroperasi sejak tahun lalu. Mereka menolak disandingkan oleh Quora, walau secara fungsi dasarnya adalah sama.

Kiblat mereka justru Zhihu, platform serupa dari Tiongkok yang dilengkapi dengan gamifikasi untuk menarik pengguna dari kalangan milenial. Philoit punya optimis tinggi dengan membangun ekosistem platform tanya jawab terlebih dahulu, baru mengundang orang-orang kredibel ke dalamnya.

Kesalahan pemain sebelumnya adalah langsung menggunakan expert atau figur publik untuk menarik audiens, sementara ekosistem diskusi belum terbentuk bahkan belum tervalidasi. Kesalahan ini akhirnya membuat platform kesulitan untuk mempertahankan expert.

Media Sosial: Panggung Pertempuran Utama untuk Organisasi Esports

Jika kita berbicara soal pertempuran antara organisasi esports, seringnya kita akan terbayang pada panggung megah, gemerlap lampu, dan riuhnya teriakan para fans.

Meski begitu, kompetisi bukanlah satu-satunya panggung pertempuran untuk organisasi-organisasi esports. Panggung pertempuran yang tak kalah sengit adalah jejaring media sosial.

Bahkan, mungkin kompetisi bisa jadi kalah penting dibanding media sosial karena sebagian besar pendapatan tim esports justru berasal dari sponsor ataupun investor, bukan hadiah turnamen.

Kali ini, kita akan membahas panjang lebar soal pertempuran di media sosial bagi organisasi esports bersama Bigetron. Salah satu organisasi esports terbesar, paling populer, dan paling berprestasi ini buka-bukaan data media sosial mereka kepada Hybrid.

Buat yang belum tahu, Anda bisa membaca profil dan sejarah Bigetron di artikel kami sebelumnya. Namun singkatnya, Bigetron adalah organisasi esports Tier 1 asal Indonesia yang beberapa kali membanggakan Ibu Pertiwi dengan membawa pulang piala turnamen tingkat internasional di PUBG Mobile.

Semua pemerhati esports Indonesia ataupun dunia harusnya tahu dominasi mereka di skena esports PUBG M lokal ataupun internasional.

Data by: Social Blade. Graphic by: Hybrid
Data by: Social Blade. Graphic by: Hybrid

Namun demikian, Anda mungkin tidak tahu jika, saat ini, mereka adalah organisasi esports asal Indonesia dengan tingkat engagement tertinggi di sosial media. Selama satu tahun terakhir, selain engagement, popularitas mereka di media sosial juga melesat cepat.

Saya pun berbincang dengan Shena Septiani, Marketing Manager dari Bigetron Esports untuk mengupas lebih dalam tentang sepak terjang mereka lewat media sosial.

 

Strategi Media Sosial Bigetron Esports

Jika Anda melihat sejumlah tangkapan layar yang kami tampilkan di sini, ada lonjakan besar dari performa media sosial Bigetron selama satu tahun belakangan. Tentu saja, dominasi Bigetron RA di skena esports PUBG Mobile berpengaruh terhadap mencuatnya popularitas organisasi esports yang satu ini — yang akan kita bahas nanti. Namun, sebenarnya apa yang terjadi di belakang layar? Strategi baru apa yang mereka lakukan?

Menurut penuturan Shena, Bigetron melakukan perombakan di berbagai aspek, mulai dari workflow sampai tahapan kreatif yang langsung terpusat pada sang CEO, Edwin Chia. “Karena itu, seluruh tim dapat saling belajar dengan konsultasi langsung. Baik CEO maupun karyawan, dapat saling bertukar pendapat. Hal ini membuat tim kami tetap kecil, tanpa birokrasi, namun dengan kualitas yang konsisten.” Ujar Shena.

Credit: Bigetron Esports
Credit: Bigetron Esports

Lebih lanjut ia menjelaskan, “kami sadar bahwa pendukung adalah salah satu aspek utama tercetaknya prestasi-prestasi bagi tim. Hingar-bingar fans berhasil membentuk mental pemain untuk lebih semangat menggali kemampuan mereka hingga ke titik tertinggi. Selain itu, kami ingin terus menggapai prestasi yang terbaik karena tak ingin mengecewakan harapan dari para pendukung Bigetron.

Pendukung, baik fans maupun sponsor, merupakan bentuk penghargaan yang harus dipertahankan.”

Saat ini, dari sisi konten Bigetron, mereka memiliki 3 kriteria yang harus dipenuhi yaitu menghibur, mendidik, dan positif. Kriteria tadi diambil karena Bigetron ingin membentuk komunitas di dalam media sosial resmi mereka, yang sebelumnya jarang dilakukan.

“Kami menanamkan karakter dasar dari esports yang bisa diterima oleh orang awam sekalipun. Pada YouTube, setiap detail baik gambar maupun alur cerita sengaja dibuat natural dan sederhana. Sehingga, masyarakat yang tidak mengenal esports pun dapat menikmati konten kami.” Cerita Shena.

Sedangkan dari sisi media sosial, Bigetron juga sangat menghargai pendapat dari fans dan kerap berinteraksi dengan mereka. Tim media sosial Bigetron juga menghindari aspek-aspek yang dapat memancing bully ataupun komentar negatif. Mereka sadar bahwa komentar negatif dapat memberikan dampak yang buruk. Makanya, mereka pun menindak tegas ujaran kebencian dengan penghapusan komentar, blokir, sampai juga ke jalur hukum.

Shena pun mengatakan, “kami bertanggung jawab atas ekosistem yang telah kami bentuk di media sosial dengan harapan, semua orang dapat menikmati sosial media Bigetron Esports tanpa emosi negatif.”

Saya pribadi sepenuhnya setuju dengan keyakinan tadi. Tak jarang, fenomena yang ramai di komunitas esports memang seputar drama personal. Menurut saya, hal ini bisa jadi hambatan bagi industri esports untuk bisa menunjukkan profesionalitasnya — yang penting di mata sponsor dan investor. Belum lagi, kita juga masih harus berjuang melawan paradigma negatif dari masyarakat awam soal esports. Tentunya, interaksi dan komunitas yang positif bisa jadi salah satu sarana untuk melawan paradigma negatif tadi.

Untuk strateginya, Bigetron Esports ingin menciptakan euforia esports di tengah pandemi agar industri ini terus bertahan meski tanpa pertandingan yang bisa disaksikan langsung. Maka dari itu, tim marketing dari Bigetron pun menggunakan strategi yang fleksibel dengan tujuan membuat fans menjadi bagian dari tim kesayangan mereka. Hasil dari strategi tersebut berupa Vlog perjalanan, Mic Check yang menghibur, Podcast yang mendidik, nobar komunitas, Giveaway, Q&A, ngobrol langsung dengan pemain profesional setiap pekan, Scrim bersama komunitas, dan lain-lainnya.

 

Antara Follower vs. Engagement

Mungkin, berhubung Indonesia memang masih muda dalam hal persaingan di dunia digital, kebanyakan pelaku industri memang lebih fokus pada angka dasar semata (jumlah Follower, Pageviews, dkk.). Padahal, faktanya, angka dasar tadi bukanlah satu-satunya tolak ukur dalam menentukan performa di ranah digital.

Di media sosial, misalnya, ada angka yang sebenarnya tak kalah (atau bahkan lebih) penting ketimbang jumlah follower yaitu engagement rate. Engagement rate berbicara soal aktif atau tidaknya interaksi pelaku bisnis dengan penggunanya. Untuk organisasi esports, engagement rate berarti interaksi mereka dengan para pendukungnya.

Menariknya, tim marketing Bigetron Esports juga sudah menyadari pentingnya engagement rate selain jumlah follower. Menurut mereka, Bigetron lebih fokus terhadap interaksi ketimbang jumlah follower karena mereka menyadari pentingnya memberikan ruang interaksi ke pendukungnya — karena Bigetroopers (sebutan untuk fans Bigetron) juga merupakan bagian dari tim.

“Saat ini Bigetron sudah memiliki hampir 1 juta followers organik dengan persentase engagements lebih dari 5%, dan total views mencapai 100 juta di Bigetron TV. Konten vlog sepak terjang atlet esports Bigetron menuju prestasi juga telah disaksikan belasan juta kali. Hal ini membuktikan bahwa Bigetron berhasil menggaet minat masyarakat untuk melihat sisi menarik Industri esports.” Kata Shena yakin.

Shena pun menjelaskan lebih lanjut tentang pentingnya engagement, “dengan menambah angka engagement, artinya kita berhasil membuat suatu circle yang terus berkembang. Engagement berpengaruh terhadap popularitas setiap karya-karya kami karena semakin banyak orang serius dalam menanggapi. Hal ini adalah pertanda yang baik karena artinya kami berhasil menciptakan ekosistem yang kuat.”

Selain itu, engagement yang tinggi juga berguna buat manajemen dan juga sponsor.

“Dari sisi fans, pendukung yang besar membuat manajemen maupun pemain jadi semakin bersemangat. Baik menang maupun kalah, mereka tahu fans tetap akan mendukung mereka. Fans juga membantu kami menjaga antusiasme kami dalam bekerja.

Dari sisi sponsorship, angka engagement juga penting karena membuktikan kepedulian fans pada produk atau aktivitas brand. Kepedulian itu tentunya satu tingkat lebih berharga ketimbang jumlah follower.”

Masih seputar engagement vs. follower, mari kita selami lebih dalam lagi. Bagi saya pribadi, follower atau subscriber itu penting meski hanya sebatas first impression karena angka tersebut yang paling mudah terlihat oleh sponsor ataupun investor. First impression itu memang penting namun tak hanya itu saja targetnya jika Anda ingin bertahan cukup lama.

Credit: Bigetron Esports
Credit: Bigetron Esports

Lagi pula, jika kita berbicara algoritma YouTube saat ini, kita bisa saja melihat rekomendasi video yang berkaitan dengan video-video yang sering kita tonton sebelumnya meski video tersebut berasal dari kanal yang tidak kita subscribe. Sebaliknya, konten-konten dari kanal yang kita subscribe belum tentu muncul di laman utama YouTube kita jika kita jarang menonton konten yang dianggap berkaitan oleh algoritma YouTube.

Hal ini juga sebenarnya terjadi di Facebook dan juga Instagram. Tak semua postingan dari orang ataupun fanpage yang kita follow atau like akan muncul di Newsfeed kita pribadi. Silakan perhatikan sendiri laman utama YouTube, Instagram, atau Facebook Anda. Sayangnya, saya jarang bermain di Twitter jadi saya tidak bisa berbicara banyak soal media sosial tersebut.

Tadi kita masih berbicara soal reach. Misalnya pun sebuah post atau konten sampai ke layar Anda, apakah Anda akan berinteraksi dengan postingan tersebut? Seringnya, sebagian besar post yang Anda lihat, Anda tidak akan berinteraksi dengannya. Sebagian besar video yang muncul di rekomendasi juga tidak akan Anda tonton. Sekali lagi, jika Anda sadari sendiri perilaku Anda dalam menggunakan media sosial, saya yakin Anda akan setuju dengan pendapat saya tadi.

Credit: Bigetron Esports
Credit: Bigetron Esports

Jika Anda masih tidak percaya, silakan googling kata kunci ini ‘good engagement rate’. Anda akan menemukan bahwa angka engagement rate yang lebih kecil dari yang Anda bayangkan sebelumnya — jika Anda belum pernah benar-benar riset soal marketing di ranah digital. Ada yang mengatakan bahwa engagement rate sebesar 1-4% itu sudah bagus namun angka rata-ratanya berada pada kisaran 2,4%. Ada juga yang mengatakan bahwa, di Twitter dan Facebook, engagement rate-nya hanya ada pada angka 0,5-1%. Sedangkan di Instagram angkanya lebih bagus dengan kisaran 3-6%.

 

Antara Prestasi dan Popularitas

Tentu saja, jika kita berbicara soal tim/organisasi esports, perdebatan ini akan selalu muncul seperti yang pernah kita bahas sebelumnya.

Dikotomi antara prestasi dengan popularitas memang sering menjadi perdebatan. Pasalnya, ada tim esports yang begitu populer namun tak sebanding dengan prestasinya. Ada juga tim esports yang punya segudang prestasi namun tak mampu bersaing merebut perhatian di media sosial.

Mungkin juga dikotomi tadi juga bentuk distorsi dari tokoh-tokoh publik. Selebriti yang populer mungkin tak punya prestasi yang berguna bagi kemaslahatan orang banyak. Sebaliknya, ilmuwan, engineer, ataupun bahkan peraih nobel sekalipun biasanya memang minim eksposur meski prestasi mereka memang bisa dibanggakan.

Namun demikian, jika kita berbicara tim esports, prestasi dan popularitas sebenarnya bisa berjalan berdampingan dan sejalan. Untuk satu individu, salah satu mungkin memang harus dikorbankan atau diambil jalan tengahnya (seperti yang pernah saya tuliskan sebelumnya) karena waktu masing-masing individu yang sangat terbatas. Sebaliknya, jika kita berbicara soal organisasi esports, dua kebutuhan tadi dijalankan oleh orang-orang ataupun tim yang berbeda.

Bagaimana Bigetron melihat fenomena tersebut? Apakah justru ada korelasi antara prestasi dan popularitas di media sosial?

Menurut Shena, “Prestasi dan popularitas dapat dikatakan sejalan. Semakin banyak prestasi, semakin banyak orang mengenal dan ingin berpartisipasi dalam perjalanan tim. Meskipun popularitas tidak hanya bisa didapatkan dengan prestasi. Semua kembali lagi kepada bagaimana suatu tim ingin membentuk brand mereka.”

Ia pun memberikan contohnya. “Selama PMPL SEA Finals berlangsung, media sosial milik Bigetron Esports dibanjiri oleh belasan ribu komentar dan ratusan ribu Like dari para fans. Komentar dari para fans yang berasal dari luar negeri juga tidak kalah banyak. Hal ini semakin membuktikan bahwa fans bersatu untuk mendukung Bigetron di PMPL SEA Finals.”

“Meski popularitas dapat sejalan dengan prestasi, namun popularitas memiliki ruang lingkup yang lebih besar. Popularitas tidak selalu dapat dimenangkan hanya dengan prestasi. Bisa juga dengan kualitas konten, ide kreatif, dan lainnya. Kami memilih untuk menjalankan dua sisi aspek tersebut. Jadi ya tentu tingkat kesulitannya sama saja. Dan keduanya sama-sama menyenangkan ketika berhasil untuk dicapai. Kesuksesan di bagian marketing dan konten adalah ketika karya yang kami ciptakan menjadi populer/viral. Sedangkan kesuksesan bagi pemain, adalah ketika mereka berhasil meraih gelar juara.” Tutup Shena mengakhiri perbincangan kami.

 

Kesimpulan

Dari pembahasan tadi, ada beberapa poin penting yang bisa Anda ambil jika Anda ingin meningkatkan daya serang Anda bertempur di panggung media sosial. Pertama, ada tolak ukur lain seperti engagement yang satu tingkat lebih tinggi ketimbang jumlah follower yang bisa Anda masukkan ke target strategi.

Kedua, sedangkan cara untuk mendapatkan angka engagement yang lebih tinggi, menurut saya — jika kita belajar dari Bigetron, adalah mindset yang menjadikan fans sebagai bagian dari tim; bukannya target iklan. Terakhir, yang tak kalah penting, prestasi dan popularitas sebenarnya bisa saja berjalan seiringan dan berbanding lurus jika kita memang bisa menarik korelasi antara keduanya dan membuatnya relevan satu sama lain.

Dengan demikian, inilah alasannya kenapa saya mengatakan bahwa media sosial menjadi panggung pertempuran utama untuk organisasi esports. Selain media sosial menjadi ruang berinteraksi aktif untuk komunitas, media sosial yang memiliki tingkat engagement tinggi seperti milik Bigetron juga lebih menguntungkan untuk sponsor karena mampu memancing kepedulian dari fansnya.

Disclosure: Artikel ini dan data-data dari sosial medianya adalah hasil kerjasama dengan Bigetron Esports

Feat Image via: Deposit Photos

Catatan AMVESINDO Terkait Ekosistem Startup Digital Selama Pandemi

Lanskap startup Indonesia diwarnai sejumlah investasi dari perusahaan modal ventura lokal hingga asing. Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) mencatat, pandemi memberikan dampak yang beragam kepada perusahaan rintisan dan UKM. Sejumlah pelaku usaha mengalami dampak negatif, seperti menurunnya transaksi hingga tutupnya layanan; tapi sebagian lainnya mengalami dampak positif, seperti melonjaknya permintaan/transaksi dan jangkauan konsumen yang semakin meluas.

Dalam sesi webinar yang diinisiasi oleh AMVESINDO terungkap, beberapa tren hingga potensi yang cukup menarik di beberapa sektor yang bisa dijadikan acuan kegiatan investasi para perusahaan modal ventura lokal hingga asing.

Pemetaan perubahan kebiasaan konsumen

Pemetaan perubahan kebiasaan pengguna
Pemetaan perubahan kebiasaan pengguna

Pandemi yang datang sejak awal tahun, secara khusus telah mengubah kebiasaan kebanyakan konsumen. Mereka sebelumnya masih melakukan kegiatan online dan juga offline, ketika aturan PSBB diberlakukan, kegiatan mulai shifting kepada online. Menurut Ketua I AMVESINDO William Gozali, hal ini mendorong perusahaan rintisan untuk mampu beradaptasi dengan situasi seiring perubahan perilaku masyarakat.

“Jika kita lihat perusahaan rintisan atau perusahaan teknologi yang mampu bertahan saat pandemi adalah ride-hailing. Ketika demand untuk ride-hailing menurun, mereka kemudian mulai shifting kepada produk atau layanan lainnya sepeti makanan dan logistik,” kata William.

Sektor lain yang juga mengalami peningkatan cukup drastis adalah sektor edutech, e-commerce, dan healthtech. Meskipun produk yang mereka hadirkan belum maksimal, namun adopsi digital menjadi lebih terakselerasi saat pandemi. Amvesindo juga mencatat, peranan layanan fintech dan logistik sangat penting untuk memperkenalkan dan membiasakan masyarakat Indonesia untuk melakukan transaksi secara nontunai. Kebiasaan tersebut menurut William semakin meningkat jumlah adopsinya saat pandemi.

“Yang perlu diperhatikan adalah, apa yang dibutuhkan dan tentunya bisa berjalan dengan baik saat ini dan mulai lakukan perubahan. Karena ke depannya atau yang dikenal dengan istilah new normal, memiliki potensi untuk berjalan seterusnya,” kata William

Potensi social commerce, supply chain, dan UKM

Selama pandemi juga semakin banyak perusahaan rintisan yang secara khusus menargetkan UKM sebagai target pasar. Meskipun dalam 3 tahun terakhir sudah banyak startup yang menyasar sektor tersebut, namun tahun ini tercatat semakin banyak jumlah startup yang menghadirkan layanan, khususnya layanan warung digital yang ingin memudahkan pelaku UKM menjalankan bisnis.

Sektor kecantikan juga menjadi potensi bagi startup hingga investor yang ingin memberikan pendanaan. Makin banyaknya pemain lokal hingga asing yang menghadirkan produk kecantikan untuk masyarakat Indonesia, terlihat makin banyak pemainnya dan tentunya menjadi peluang tersendiri.

“Sebagai negara yang sarat dengan pengguna media sosial, konsep social commerce menjadi relevan, untuk memetakan seperti apa kebutuhan dan biaya logistik yang perlu dikeluarkan oleh pemain saat menawarkan produk kepada pelanggan,” kata William.

Di sisi lain perlahan tapi pasti, food tech atau platform kuliner yang berbasis teknologi juga mulai banyak menunjukkan pertumbuhan yang positif saat ini. Diinisiasi oleh platform ride hailing, kini makin banyak platform food tech yang mengalami pertumbuhan yang positif. Salah satu kekuatan mereka adalah, dengan dukungan big data yang sebelumnya telah diimplementasikan oleh platform ride hailing di Indonesia.

“Sejak awal terdapat 3 sektor yang memiliki peranan penting dalam ekosistem startup, yaitu finansial, e-commerce, dan logistik. Ketiga sektor tersebut saling membutuhkan dan masing-masing memiliki peranan terkait. Kini sektor turunan e-commerce mulai muncul dan memiliki potensi yang menarik untuk dijajaki,” kata William.

Masih besarnya jumlah pendanaan

Dinamika investasi perusahaan rintisan Indonesia
Dinamika investasi perusahaan modal ventura

Industri modal ventura secara umum juga mengalami peningkatan kinerja pada tahun 2019. Mulai dari kenaikan aset, sumber pendanaan, dan modal yang merupakan tanda bahwa industri modal ventura masih bisa tumbuh. Adapun tantangan yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah masih besarnya porsi instrumen Pembiayaan Bagi Hasil dari portofolio perusahaan modal ventura yang ada.

AMVESINDO mencatat hingga 31 Desember 2019, pertumbuhan aset PMV termasuk PMVD (Perusahaan Modal Ventura Daerah) mencapai Rp 19.65 Triliun, mengalami peningkatan sebesar 58.72% dibandingkan periode 2018.

Meskipun kondisi sedang mengalami krisis secara global, namun jumlah pendanaan sejak awal tahun hingga bulan November ini masih cukup besar jumlahnya. Tercatat Q3 tahun 2020, ada 52 transaksi pendanaan yang dilakukan oleh perusahaan modal ventura untuk startup, dengan jumlah pendanaan mencapai $1.920.900.000.

Pendanaan ini disalurkan kepada startup dari berbagai sektor, dengan tiga sektor terbanyak yaitu fintech (6 transaksi pendanaan), edutech (6 transaksi pendanaan), dan SaaS (6 Transaksi Pendanaan).

 

Dalam memberikan pendanaan kepada startup, setidaknya ada empat poin yang menjadi pertimbangan PMV, yaitu: potensi pertumbuhan pasar, kemampuan beradaptasi, kualitas founders, serta model bisnis yang jelas, dan penggunaan dana yang efisien.

“Ke depannya diprediksi sektor yang terakselerasi dengan baik adalah e-health, e-groceries, edutech dan e-logistic yang memiliki potensi besar untuk berkembang dan saat ini masih belum terjawab di Indonesia. Diversifikasi juga menjadi sangat baik untuk diterapkan oleh perusahaan rintisan, agar bisa bertahan saat pandemi dan ketika kondisi memasuki new normal,” kata William.

DAMWON Gaming Juara LoL Worlds 2020 dan Supremasi Korea Selatan di Esports

Tanggal 31 Oktober 2020 kemarin kita semua menjadi saksi kembalinya tahta juara dunia League of Legends ke tangan pemain-pemain asal Korea Selatan. Hal tersebut terjadi setelah tim asal Korea Selatan yaitu DAMWON Gaming berhasil mengalahkan tim tuan rumah asal Tiongkok yaitu Suning Gaming.

Kemenangan DAMWON Gaming secara tidak langsung mengangkat kembali derajat Korea Selatan di skena esports League of Legends internasional. Hal tersebut terjadi mengingat tim-tim asal liga LCK (liga LoL utama Korea Selatan) menorehkan hasil kurang memuaskan pada gelaran League of Legends World Championship (Worlds) 2 tahun belakangan.

Melihat kemenangan DAMWON Gaming dan sejarah kejuaraan Worlds yang dikuasai oleh pemain asal Korea Selatan memunculkan pertanyaan tersendiri di benak saya. Kenapa begitu banyak pemain Korea Selatan ada di skena esports internasional? Kenapa juga mereka bisa begitu mahir di game yang mereka tekuni?

 

Selayang Pandang Supremasi Korea Selatan di League of Legends dan Esports Lainnya

Sebelum menuju ke pokok pembahasan dan menjawab dua pertanyaan tersebut, mari kita ingat-ingat sedikit soal sejarah supremasi Korea Selatan di League of Legends dan beberapa pertandingan esports lainnya.

Dalam League of Legends, pemain Korea Selatan kerap kali menjadi momok bagi pemain lain karena kemampuannya yang kerap kali di atas rata-rata. Dari 10 tahun perjalanan Worlds dilaksanakan, hanya ada tiga masa tim asal Korea Selatan tidak bertanding di laga Grand Final. Tiga masa tersebut adalah Worlds pertama di tahun 2011, Worlds tahun 2018, dan Worlds tahun 2019.

Tahun pertama Worlds memang tidak mengikutsertakan tim asal Korea Selatan. Kala itu hanya ada tiga kawasan yang mengikuti turnamen “Season 1 Championship”. Tiga kawasan tersebut adalah Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Tenggara. Korea Selatan baru mulai diikutsertakan dalam Worlds di tahun kedua (2012) dan langsung mendapat peringkat kedua.

Pasca Worlds 2012 “LCK Domination” dimulai dan berjalan selama 5 tahun lamanya (2013 – 2017). Selama durasi tersebut, era “SKT Dynasty” juga terjadi gara-gara dominasi kuat yang dilakukan oleh tim SK Telecom T1. Tim yang diperkuat oleh Lee “Faker” Sang-Hyeok tersebut berhasil menjadi juara dunia sebanyak 3 kali yaitu pada Worlds 2013 dan secara berturut-turut pada Worlds 2015 serta 2016.

Mirip seperti M1 MLBB World Championship 2019 yang punya All-Indonesia Finals, League of Legends Worlds punya “All-Koreans Finals” yang terjadi pada tahun 2015-2017. Ketika SKT Dynasty berjalan, ada Koo Tigers dan Samsung Galaxy asal Korea Selatan yang menempel dan menjadi kontestan kuat bagi Faker sang “Demon King”.

Dinasti Korea di skena internasional LoL tumbang tahun 2018 dan 2019 setelah tim Eropa muncul sebagai “LCK Killer”. Meski begitu tetap saja tim asal Eropa takluk di hadapan tim Tiongkok saat berlaga di pertandingan Grand Final. Sampai akhirnya terjadilah momen pertandingan Worlds 2020 kemarin ketika DAMWON Gaming mengembalikan tahta juara dunia League of Legends ke pangkuan pemain-pemain Korea Selatan.

Sumber: Overwatch League Official
San Francisco Shock, tim esports Overwatch yang juga banyak mengandalkan gamers asal Korea Selatan. Sumber: Overwatch League Official

League of Legends mungkin cuma satu dari beberapa game yang dikuasai dan dipenuhi oleh jawara-jawara gaming asal Korea Selatan. Sebelum League of Legends, ada skena esports StarCraft yang terbilang sebagai cikal bakal esports yang juga didominasi pemain-pemain Korea Selatan ketika populer di awal tahun 2000an. Fenomena supremasi Korea Selatan di esports juga bisa kita lihat pada liga Overwatch League yang dipenuhi pemain-pemain asal negeri ginseng walaupun tim yang bertanding memiliki nama dari kota besar di Eropa/Amerika Serikat.

 

Korea Selatan, Budaya Warnet, Lingkungan Akademis yang Kompetitif, dan Tingginya Pengangguran Usia Muda

Sebuah artikel dari WIRED yang ditulis oleh Jonathan Lee pada tanggal 27 Oktber 2020 lalu menjadi landasan awal saya menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Dari pembahasan tersebut, muncul hipotesa bahwa masalah sosial ekonomi budaya jadi alasan kenapa banyak anak muda Korea Selatan memutuskan menjadi pemain esports.

Pada tulisannya, Jonathan Lee menceritakan pengalamannya sebagai wartawan esports sejak 2011. Sepanjang pengalaman juga ia sadar soal banyaknya jumlah pemain esports datang dari Korea Selatan. Karena memiliki rasa penasaran yang sama seperti saya, ia lalu melakukan obrolan terhadap beberapa pemain asal Korea Selatan secara acak.

Dari obrolan acak tersebut, Jonathan menemukan satu kesamaan latar belakang sosial-ekonomi pemain/pelatih asal Korea Selatan. Kesamaan tersebut adalah fakta bahwa ternyata kebanyakan pemain/pelatih asal Korea Selatan di skena esports datang dari keluarga kelas pekerja. Fakta lain yang juga ditemukan adalah bahwa kebanyakan dari pemain Korea Selatan yang berkarir sebagai pemain esports adalah lulusan SMA dan hanya sedikit yang lulus kuliah.

“Jung Ki-hyo ‘Xzi’ pemain Overwatch dari tim Paris Eternal merupakan anak dari seorang mekanik bus. Park Jong-ryeol ‘Saebyeolbe’ bekerja sebagai barista sebelum menjadi pemain Overwatch profesional dan merupakan anak dari seorang supir taksi.” Tulis Jonathan dalam artikel tersebut dengan menggunakan para pemain Overwatch League sebagai contoh.

Lalu kenapa banyak anak muda dari kelas pekerja di Korea Selatan menjadi atlet esports? Jonathan berasumsi bahwa hal tersebut terjadi karena fenomena PC Bang (istilah orang Korea Selatan untuk menyebut warnet), besarnya populasi anak muda, dan persaingan akademis/kerja yang ketat.

Fenomena PC Bang di Korea Selatan sempat saya jelaskan ketika membahas sejarah esports dunia. Tahun 1997, Korea Selatan mengalami krisis ekonomi yang besar yang berdampak kepada kebanyakan orang di Korea Selatan. Menanggapi krisis tersebut, pemerintahan Korea Selatan memutuskan investasi besar-besaran di industri IT.

Dampak investasi tersebut adalah harga PC jadi turun drastis dan jaringan internet berkecepatan tinggi tersalurkan secara merata ke berbagai daerah di Korea Selatan. Jaehoon Jeong dan David Jang dari Invenglobal sempat menulis artikel yang juga membahas alasan di balik banyaknya anak muda Korea Selatan menjadi pemain esports. Dalam artikel tersebut mereka menjelaskan bagaimana warnet berkembang menjadi bisnis yang sangat populer di masa itu.

“Saya ingat jumlah warnet sebelum masa krisis cuma kurang dari 10. Tetapi setelah investasi pemerintah, jumlah warnet berkembang dengan sangat pesat. Mengingat harga PC yang sangat murah dan internet berkecepatan tinggi tersedia di berbagai daerah Korea Selatan, tidak heran kalau warnet menjamur karena dianggap sebagai bisnis yang cenderung mudah dan murah modalnya pada masanya.” Tulis Jaehoon Jeong dan David Jang dalam artikel.

Berbarengan dengan pesatnya pertumbuhan bisnis warnet, tempat berkumpulnya anak muda Korea Selatan yang sebelumnya menjadi tren (seperti kafe komik ataupun Video Games Arcade) tutup satu per satu. Dampaknya adalah PC Bang menjadi salah satu pilihan utama tempat nongkrong anak muda di zaman itu. Berdekatan dengan fenomena PC Bang, ada StarCraft yang rilis tahun 1998. Akhirnya kombinasi fenomena PC Bang dan rilisnya StarCraft yang yang kompetitif mengawali perjalanan maraknya budaya esports di Korea Selatan.

Lalu kenapa bermain game di PC Bang menjadi budaya yang kental di Korea Selatan? Invenglobal menjelaskan dari sudut pandang lokal menceritakan bahwa salah satu penyebabnya adalah durasi sekolah yang panjang dan pilihan aktivitas waktu luang di ruang terbuka yang terbatas.

Siswa-siswa kelelahan karena terlalu lama belajar. Melakukan olahraga atau kegiatan pengisi waktu luang di ruang terbuka juga bukan pilihan yang menyenangkan . Mereka menceritakan bahwa ada satu masa sebuah lapangan sepakbola diisi 100 siswa sekaligus dan memainkan 4 pertandingan sepakbola berbeda. Akhirnya bermain game di PC pun menjadi sarana hiburan pilihan yang paling mudah diakses.

Melanjutkan hipotesa soal hubungan antara karir pemain esports dengan kelas ekonomi sosial, WIRED juga menyebut soal tingginya persaingan lingkungan akademis di Korea Selatan. Data Statista tahun 2019 mengatakan bahwa tingkat pendaftaran anak muda untuk pendidikan tingkat Universitas berada di angka 67,8% tahun 2019 lalu.

Walaupun begitu, Jang Seob Yoon yang mempublikasi data tersebut menuliskan soal tingginya persaingan untuk bisa masuk ke universitas unggulan. Apalagi masuk universitas ternama juga acap kali dianggap sebagai bentuk privilege yang hanya bisa dirasakan oleh masyarakat kelas sosial atas.

Dampaknya, jadi ada banyak anak muda yang tidak mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Tanpa pendidikan di tingkat universitas, anak muda di Korea cenderung kesulitan mendapatkan karir yang mentereng sehingga meningkatkan jumlah pengangguran di usia muda.

Laporan Asian Boss yang mengutip data milik badan statistik nasional Korea Selatan bulan Juni 2019 mengatakan ada 453.000 orang berusia 15-29 tahun menganggur. Pada video wawancara yang dilakukan Asian Boss, kebanyakan masyarakat Korea Selatan mengatakan tingginya tingkat pengangguran terjadi karena dua hal.

Dua hal tersebut adalah tingginya persaingan untuk mendapat pekerjaan di perusahaan ternama dan keengganan anak muda masuk perusahaan kecil karena khawatir akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Dari berbagai data dan fakta tersebut, maka asumsinya, anak-anak muda yang tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas jadi punya waktu luang lebih banyak. Mengingat bermain game sudah menjadi budaya, maka pergi ke PC Bang jadi salah satu pilihan untuk mengisi waktu luang. Lalu dari bermain game, karir menjadi pemain esports pun menjadi salah satu pilihan untuk bisa “panjat sosial” demi mengubah kehidupan mereka dengan memenangkan turnamen game berhadiah jutaan dollar AS. Menanggapi hal tersebut, General Manager tim Florida Mayhem pun turut berkomentar dalam artikel dari WIRED.

“Saya sendiri sebenarnya tidak ingin menarik kesimpulan terlalu dini. Walau begitu memang ada kecenderungan mereka (para pemain esports asal Korea) sangat termotivasi oleh uang. Jumlah gaji yang diterima sangatlah berarti bagi para pemain asal Korea. Perbedaan tersebut cukup terasa apabila dibandingkan dengan pemain dari barat yang cenderung lebih fokus kepada passion.” General Manager Florida Mayhem juga menambahkan bahwa ada beberapa pemain esports Korea Selatan yang mengirimkan hasil jerih payahnya kepada keluarganya yang tinggal di Korea. Bahkan ada beberapa pemain yang menjadi tulang punggung keluarga karena karirnya sebagai pemain esports.

Alasan kenapa begitu banyak pemain esports datang dari Korea Selatan mungkin sudah bisa terjawab walaupun masih sebatas hipotesa dengan menyambungkan beberapa temuan dari Jonathan dan tulisan milik Invenglobal.

Lalu pertanyaan berikutnya adalah kenapa pemain asal Korea bisa sebegitu lihai, ulet, dan tangkas di dalam game? Tulisan Invenglobal yang memang menggunakan perspektif lokal mengatakan bahwa salah satu alasannya mungkin karena sistem pendidikan di Korea Selatan.

Jaehoon Jeong dan David Jang pertama menjelaskan soal sistem pendidikan Korea Selatan yang kuno. Guru menjelaskan, murid menyimak, dan ujian besar terjadi setahun sekali. Kurang lebih seperti itu bentuk sistem pendidikan di Korea Selatan yang mungkin terasa familiar bagi kita yang ada di Indonesia. Tetapi selain itu, standar edukasi di Korea Selatan juga amat tinggi. Banyak murid sudah mempelajari ilmu matematika tingkat universitas ketika mereka masih bersekolah setingkat SMA.

Kepandaian siswa-siswa Korea Selatan dalam berhitung pun menurun ke dalam game. Jaehoon Jeong dan David Jang juga menceritakan bagaimana dia kerap kali menghtung HP, defense, dan jumlah Damage yang ia miliki untuk menentukan timing menyerang sang musuh.

“Kemampuan tersebut mungkin krusial bagi pemain profesional. Tetapi kebanyakan gamers di Korea melakukan hal serupa walaupun mereka hanya main game untuk hobi saja.” tulis Jaehoon Jeong dan David Jang dalam artikel tersebut.

Dalam hal ketangkasan, pemain asal Korea Selatan juga mendapatkan hal tersebut karena budaya kompetitif di lingkungan pendidikan. Artikel Invenglobal menceritakan bagaimana anak-anak di Korea Selatan dituntut untuk bisa mendapatkan nilai yang bagus oleh keluarganya masing-masing. Alhasil, anak-anak muda Korea Selatan jadi terbiasa dengan jam belajar yang panjang demi mendapat nilai sekolah yang diidam-idamkan oleh keluarganya.

Invenglobal menceritakan bahwa kebiasaan disiplin dan daya juang tersebut juga turut menurun ketika anak-anak muda tersebut terjun ke esports. Terkadang, saking tingginya daya juang, para pemain esports di Korea Selatan tidak hanya bersaing dengan tim lawan tetapi juga dengan sesama kolega tim. Karena hal tersebut, durasi latihan para pemain esports di Korea Selatan pun jadi cenderung lebih panjang demi menjaga kemampuan bermain tetap prima.

Bahkan beberapa pemain Korea Selatan mengatakan bahwa salah satu hal yang mereka suka ketika bermain untuk tim Eropa atau Amerika adalah waktu senggang yang lebih banyak dibanding bermain untuk tim Korea Selatan. “Tim dari negara lain cenderung punya keinginan juara yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tim Korea. Bukannya mereka tidak memiliki semangat kompetisi, melainkan semangat tersebut kurang terlihat tindakan nyatanya.” Tulis Invenglobal mengutip perkataan dari salah satu pemain.

 

Fenomena Korea Selatan yang Tidak Beda Jauh dengan Indonesia

Melihat temuan kasus pemain Korea Selatan di esports jadi mengingatkan saya terhadap kasus yang mungkin kurang dan lebihnya mirip-mirip dengan fenomena perkembangan esports di Indonesia. Saya jadi ingat karena cerita anak muda yang mengaku sudah lama mengejar karir esports namun belum juga mencapai apapun di tahun 2020 di artikel “Bintang Esports dan Survivorship Bias”.

Impian jadi pemain esports terbilang menjadi magnet tersendiri bagi kaum muda. Janji uang hadiah yang besar dan salah kaprah karir esports sebagai “hanya main game lalu kaya raya” menjadi beberapa faktor kenapa karir tersebut menjadi magnet.

Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah walau karir menjadi pemain esports sebenarnya punya risiko gagal yang tinggi. Terlepas dari risiko yang ada, harapan mengubah nasib di esports lewat karir yang menyenangkan (bermain game) sepertinya terlalu manis bagi anak-anak muda dari kalangan keluarga kelas pekerja

Apa yang terjadi di Korea Selatan sana juga terjadi dalam kasus lokal. Saya ingat beberapa cerita orang dalam esports Indonesia soal latar belakang sosial ekonomi pemain esports lokal yang sebenarnya biasa-biasa saja.

Ada beberapa cerita yang pernah saya dengar. Ada cerita soal pemain esports datang dari dusun demi mengubah nasib. Ada juga cerita lain tentang pemain esports yang melakukan banyak pengorbanan hanya demi mendapat akses internet stabil untuk latih tanding atau turnamen. Atau mungkin kita juga bisa melihat fenomena nyata dari apa yang kita bahas sebelumnya lewat kisah Dreamforest, mantan pemain profesional League of Legends Indonesia yang merangkap kerja sebagai PNS di kota Tangerang.

Pada akhirnya satu yang patut disyukuri dari cerita relasi kondisi sosial ekonomi anak muda Korea dengan esports adalah kenyataan bahwa ekosistem esports masa kini yang sudah jauh berkembang jika dibandingkan dengan dahulu. Zaman dulu menjadi gamers mungkin dianggap sebagai “beban keluarga”. Sekarang berkat perkembangan industri esports, gamer profesional akhirnya bisa menjadi karir yang nyata walau tetap dengan tingkat persaingan yang tinggi dan risiko gagal yang besar.

Dalam konteks Indonesia, kita juga bisa melihat perkembangan zaman tersebut dalam bentuk akses turnamen yang semakin mudah, pergeseran tren esports ke game mobile, dan koneksi internet yang semakin merata. Walaupun persaingannya begitu ketat, kemajun zaman tersebut tetap menjadi satu hal yang patut disyukuri dalam bentuk kesempatan karir baru yang menyenangkan bagi anak muda Indonesia yaitu menjadi atlet esports.

Perkembangan Beleid yang Memayungi Ekosistem Fintech Indonesia

Survei Nasional Literasi Keuangan ketiga yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan mencapai 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%. Lantas jika dibandingkan dalam tiga tahun terakhir, ada peningkatan 8,33% untuk literasi atau pemahaman masyarakat tentang layanan keuangan; serta peningkatan 8,39% terkait akses masyarakat terhadap produk dan layanan jasa keuangan.

Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara mengakui, peningkatan tersebut adalah hasil kerja keras bersama antar berbagai pihak, meliputi pemerintah, otoritas, industri, dan komponen lainnya. Tak terkecuali inovasi, khususnya di bidang teknologi, berbagai aplikasi keuangan yang telah meluncur beberapa tahun terakhir nyata-nyata memberikan dampak yang sangat terasa bagi masyarakat untuk melakukan berbagai transaksi: menyimpan, mengirim, hingga menginvestasikan uang mereka.

Terkait digitalisasi layanan keuangan, peran otoritas jelas dominan. Industri ini memang diregulasi secara ketat. Sesuai yang diamanatkan UU No. 21 Tahun 2011, pemerintah membentuk OJK dengan tujuan mengatur dan mengawasi berbagai kegiatan di sektor jasa keuangan. Sejauh ini berbagai jenis layanan teknologi finansial (fintech) terus diakomodasi dalam ruang lingkup aturan OJK.

Dimulai dari fintech lending

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 77 Tahun 2016 menjadi salah satu ujung tombak perkembangan fintech di Indonesia. Beleid tersebut mengatur layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Sejak diterbitkan, hingga kini tercatat 158 pemain p2p lending yang terdaftar di otoritas, 33 pemain lainnya sudah mendapatkan status berizin. Banyaknya pemain yang terjun di sektor ini tidak terlepas dari besarnya minat masyarakat dalam mendapatkan alternatif kredit dari lembaga nonbank.

Seperti diketahui, akses layanan finansial dari perbankan belum bisa sepenuhnya dinikmati oleh semua elemen masyarakat. Misalnya terkait kredit, di lingkungan perbankan variabel skoring yang digunakan meliputi aspek-aspek yang mengakomodasi kalangan tertentu saja, misalnya terkait pekerjaan, pendapatan bersih, status pendidikan, dll. Sementara pinjaman mikro yang datang dari fintech variabelnya lebih sederhana, misalnya menggunakan catatan tagihan listrik, histori belanja di e-commerce dll.

Dari 158 pemain yang ada, bentuknya memang berbeda-beda. Ada yang memberikan pinjaman ke personal seperti UangTeman dan KreditPintar, ada yang fokus memberikan pinjaman modal kepada pemilik warung seperti AwanTunai, ada yang memberikan modal usaha dengan sistem berkelompok seperti Amartha, ada yang memberikan pinjaman untuk pembelian di layanan e-commerce seperti Akulaku, dan masih banyak lagi.

Dalam POJK terkait fintech lending, berbagai hal diatur secara jelas. Termasuk tentang bentuk badan hukum usaha yang mengisyaratkan harus berupa perseroan terbatas atau koperasi. Kemudian terkait modal usaha, pertukaran data, pusat data dll. Spesifikasi teknis tersebut sangat diperlukan, agar pemain terdaftar/berizin memiliki diferensiasi yang signifikan dengan pemain-pemain ilegal. Tidak dimungkiri, platform ilegal menjadi salah satu celah dari sistem keuangan berbasis teknologi informasi.

Terkait penindakan pemain ilegal, OJK bersama 13 kementerian dan lembaga negara lainnya membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI). Sejak tahun 2018 hingga Oktober 2020, SWI telah menghentikan sebanyak 2923 fintech lending ilegal. Sepanjang tahun ini 206 pemain ilegal dibekukan. Langkah ini penting mengingat banyak kalangan masyarakat, termasuk UKM, yang terdampak pandemi. Meminjam dana modal ke fintech menjadi opsi yang banyak dipilih. Sehingga ekosistemnya perlu dijaga dan diawasi secara ketat.

Pembaruan aturan

Aturan mengenai fintech lending rencananya segera diperbarui. Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta menyebutkan, pembaruan tersebut nantinya akan mengikuti rancangan UU Perlindungan Data Pribadi yang tengah disusun oleh DPR. Jika ditelaah lebih dalam, aspek perlindungan data dan privasi memang layak dijadikan urgensi dalam POJK, pasalnya proses bisnis dan operasional layanan fintech memang erat dengan pengumpulan dan pengelolaan data.

Hal lain yang mungkin akan dituangkan dalam pembaruan beleid adalah untuk mendorong pelayanan platform lebih menyeluruh, tidak hanya terpusat di Jawa. Selain itu, beberapa komponen teknis juga akan ditambahkan, misalnya terkait penggunaan tanda tangan digital. Pihak OJK masih terus berkomunikasi dengan asosiasi dan pelaku ekosistem, dalam berbagai diskusi dan kesempatan, pematangan aturan masih terus dilakukan.

Dari perspektif publik, memang cukup layak jika otoritas memperketat aturan – setidaknya menambah syarat bagi pemain untuk mendapatkan status terdaftar atau berizin. Hal ini untuk membatasi laju pertambahan pemain baru yang saat ini jumlahnya sudah sangat banyak. Di samping itu, penguatan aspek teknis terkait keamanan sistem, proses pinjaman/pengembalian/buka, hingga integrasi layanan juga perlu  menjadi perhatian untuk menciptakan perspektif yang lebih baik terkait layanan fintech.

Terbuka dengan inovasi digital

OJK juga merilis surat edaran No. 21 Tahun 2019, spesifik mengakomodasi berbagai inovasi fintech yang terus bermunculan (di luar lending). Di dalamnya mengatur beberapa hal, tentang inovasi keuangan digital (IKD) dan regulatory sandbox. Regulatory sandbox adalah mekanisme pengujian yang dilakukan oleh OJK untuk menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola penyelenggara. Sementara IKD adalah aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.

Proses di dalamnya meliputi penetapan prototipe berdasarkan kesepakatan forum panel, dilanjutkan dengan kegiatan evaluasi dan eksperimen. Prosesnya paling lama dilakukan satu tahun, atau dapat ditambah enam bulan jika masih dirasa kurang. Sejauh ini aturan tersebut berhasil merangkul inovasi keuangan digital di berbagai klaster, meliputi: aggregator (36 pemain), blockchain (1), claim service handling (1), credit scoring (13), e-KYC (4), financial planner (7), financing agent (7), funding agent (1), insurance broker marketplace (1), insurtech (2), online distress solution (1), project financing (5), property investment management (2), regtech (1), tax & accounting (3), dan verification non-CDD (4).

Lahirnya model bisnis baru sebenarnya juga didorong oleh peningkatan layanan dari pemain legasi. Ambil contoh e-KYC, platform mereka memungkinkan pemain digital seperti fintech lending untuk secara mudah melakukan verifikasi data diri. Atau credit scoring yang menyajikan algoritma sistem pengambil keputusan untuk membantu fintech lending memastikan kelayakan kredit didasarkan pada data-data tertentu yang didapat dari perangkat pengguna. Sehingga tidak menutup kemungkinan, tiap tahun posisi IKD akan terus bertambah dengan inovasi-inovasi baru lainnya.

Pemain lainnya yang mulai dipayungi OJK adalah equity crowdfunding. Didasarkan pada POJK No. 37 Tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi. Hingga tahun ini baru tiga pemain yang mendapatkan izin, yakni Santara, Bizhare, dan Crowddana.

Saran dan masukan

Kendati bertumbuh, literasi finansial di Indonesia belum bisa dikatakan tinggi. Masih banyak PR yang harus diselesaikan bersama. Sebenarnya dalam POJK fintech, aspek edukasi dan perlindungan pengguna sudah disinggung pada bab ke-7. Meskipun demikian, masih perlu penekanan dan petunjuk yang jelas terkait edukasi seperti apa yang wajib disampaikan oleh penyelenggara kepada calon nasabahnya. Pembaruan aturan bisa menjadi kesempatan untuk memperkuat aspek ini.

Cukup sangsi jika kemudahan yang diberikan fintech dapat tepat sasaran – dalam artian memberikan manfaat yang sebenar-benarnya kepada nasabah. Tanpa pemahaman yang baik tentang layanan keuangan, tidak menutup kemungkinan nasabah fintech akan “terjebak” karena tidak memahami bagaimana sistem bekerja. Mungkin beberapa kali kita mendengar tentang pengguna fintech yang meminjam di banyak layanan untuk “gali-tutup lubang”. Model edukasi sudah selayaknya untuk meminimalisir hal tersebut.

Poin berikutnya terkait dengan kolaborasi antar pemain – baik fintech maupun non-fintech. Pangsa pasar yang masih besar, ditambah dengan persaingan perebutan kue bisnis yang makin ketat, membuat para pemain memikirkan strategi sinergi. Aturan perlu ditegakkan untuk mengantisipasi implikasi buruk sebagai langkah preventif, misalnya menghindari monopoli yang justru tidak menyehatkan ekosistem.

Berikutnya adalah kelonggaran untuk melakukan ekspansi layanan. Jelas pasar Indonesia masih cukup besar untuk digarap, sehingga ekspansi yang dimaksud masih di kancah domestik. Jawa dan pulau-pulau lainnya memiliki kondisi yang sangat berbeda, secara kultur maupun infrastruktur. Sementara pemerataan penting untuk dilakukan demi memperluas akses keuangan. Bukankah target utama mereka (unbankable) justru banyak di luar Jawa.

Dari data OJK, saat ini 147 penyelenggara masih terpusat di Jabodetabek dan hanya 3 pemain yang memiliki basis di luar Jawa. Hingga September 2020, akumulasi penyaluran pinjaman fintech lending, sebanyak Rp110 triliun, masih di seputar Jawa, sementara di luar Jawa hanya Rp18 triliun.

Pegadaian Gaet Shopee, Incar Transaksi Emas dari Kanal Digital

Pegadaian menggaet Shopee sebagai rekanan channeling penjualan emas lewat kanal digital. Kerja sama ini bertujuan untuk memperluas akses produk tabungan emas dan mempermudah masyarakat dalam investasi emas. Kerja sama serupa sebelumnya sudah dilaksanakan dengan Tokopedia pada Mei 2019.

Kepada DailySocial, Direktur TI dan Digital Pegadaian Teguh Wahyono mengatakan, menggaet mitra e-commerce merupakan strategi perseroan dalam memperluas akses masyarakat untuk mendapatkan produk dan layanan Pegadaian secara online.

Pengguna aplikasi e-commerce rata-rata memiliki demografi milenial yang digital savvy dan sebagian besar dari mereka adalah investor pemula yang masih belajar investasi. Dari situ, Pegadaian mendapat pangsa pasar yang besar dan transaksi yang besar pula.

“Sehingga cocok dengan Tabungan Emas Pegadaian yang dijual mulai dari small denominasi Rp500,” tuturnya.

Dipaparkan kemitraan dengan Shopee mendapat antusiasme yang baik. Sejak Oktober kemarin, saat kemitraan baru dimulai, pada minggu-minggu awal konsumen baru tembus 60 ribu orang dengan saldo emas hampir 2 kg. Sekarang sudah tembus 120 ribu konsumen dengan saldo emas 6 kg.

“Bulan November ini akan lebih banyak program kreatif di Shopee seperti 11.11, saya yakin akan semakin ramai.”

Adapun dengan Tokopedia, transaksi yang tercatat pada akhir September 2020 sudah mencapai 1,5 juta konsumen dengan saldo emas 137 kg. “Yang menarik, transaksi bulanan Tokopedia rata-rata 500 ribu transaksi per bulan, bahkan di puncak pandemi April-Mei transaksi di atas 1,2 juta transaksi/bulan.”

Menurutnya, investasi emas semakin diminati masyarakat karena secara fundamental, emas menguntungkan jika digunakan untuk investasi jangka panjang. Nilainya selalu naik di atas inflasi, melebih bunga tabungan atau deposito. Selain itu, secara badan hukum, Pegadaian menjamin fisik emas tersedia sebelum transaksi dan merupakan BUMN yang diawasi OJK.

“Transaksi bisa online maupun offline di lebih dari 4 ribu outlet, 13 ribu agen dan partner seperti BRILink, LinkAja, dan sebagainya. Selain itu, emas bisa dicetak, ditransfer ke seluruh Indonesia atau dijual belikan kapan saja, masih banyak benefit lainnya.”

Selain Tokopedia dan Shopee, sebenarnya Pegadaian juga telah bekerja sama dengan mitra dari perusahaan teknologi lainnya. Salah satunya dengan Bukalapak untuk aplikasi Mitra Bukalapak.

Di sana Bukalapak menyediakan fitur tabungan emas untuk permudah pelanggan warung Mitra Bukalapak untuk mulai menabung dan berinvestasi emas dengan harga mulai dari Rp10.000. “Yang di marketplace masih dalam proses, tapi di Mitra Bukalapak sudah jalan sekitar Juli 2020.”

Selain itu, Pegadaian menyediakan produk pinjaman seperti kredit motor dan multiguna di Blibli, OYO, OLX, Mobil123.com, dan LinkAja. “Ada beberapa lagi dalam pipeline yang menyasar nasabah mature, tapi belum bisa sebut nama [perusahaannya].”

Dengan semakin banyaknya mitra digital yang digaet Pegadaian, sambungnya, tidak membuat perseroan mengurangi ekspansi lokasi kantor cabangnya. Dia berencana untuk mengalihkan fungsinya, yang dulunya hanya menerima transaksi gadai saja, akan ditransformasi ke layanan mandiri (self service) dan layanan edukasi atau konsultasi produk yang butuh percakapan tatap muka.

“Saat ini kantor cabang terus ditambah dengan kerja sama dengan agen dari BRILink yang saat ini sudah mencapai 450 ribu agen itu,” pungkasnya.

Kerja sama dengan Shopee

Teguh menuturkan kerja sama dengan Shopee pada tahap awal ini untuk fitur Tabungan Emas Pegadaian. Ia adalah layanan beli dan titip emas yang memudahkan investasi emas secara aman, mudah, murah, dan terpercaya.

Produk ini dapat diakses secara konvensional maupun digital, salah satunya dengan aplikasi Shopee. Investasi mulai dari Rp500, selanjutnya nasabah bisa membeli emas mulai dari Rp5 ribu.

Lalu, terdapat fitur transfer emas ke sesama pengguna Shopee minimal 0,01 gram dan maksimal 100 gram; wajib memiliki saldo yang tidak bisa ditarik (mengendap) minimal 0,05 gram dan mendapat buku setelah nasabah ke cabang Pegadaian yang didaftarkan.

Direktur Shopee Indonesia Christin Djuarto mengatakan, kerja sama ini adalah bentuk komitmen perusahaan untuk terus berinovasi dalam menghadirkan kebutuhan pengguna yang selaras dengan perkembangan zaman. Selain itu, dapat menjadi perpanjangan tangan dari Pegadaian dalam menghadirkan akses mudah bagi masyarakat untuk membangun budaya menabung dan berinvestasi, khususnya dalam bentuk tabungan emas.

“Shopee berharap kolaborasi ini dapat menghadirkan solusi praktis dalam bertransaksi dengan aman dan terpercaya, serta mendukung perluasan jangkauan produk dan layanan produk investasi melalui platform e-commerce untuk seluruh lapisan masyarakat,” imbuh Christin dalam keterangan resmi.

Bagi nasabah baru yang hendak membuka Tabungan Emas di Shopee, cukup mengunjungi halaman Tabungan Emas pada aplikasi Shopee. Lalu menentukan jumlah emas yang akan dibeli dalam bentuk satuan gram atau Rupiah.

Pengguna aplikasi wajib melengkapi data agar verifikasi KTP dapat dilakukan. Pada tahap akhir, nasabah diminta untuk melakukan proses pembayaran. Jika proses pembayaran sukses, maka secara otomatis emas yang dibeli akan tercatat di fitur Tabungan Emas pada akun pengguna Shopee.

Selanjutnya, nasabah diberi waktu 6 (enam) bulan terhitung dari tanggal pembukaan rekening Tabungan Emas untuk melakukan registrasi ke Cabang Pegadaian. Pada tahun pertama, nasabah dibebaskan dari biaya penyimpanan, selanjutnya Pegadaian akan mengenakan biaya sebesar Rp 30.000 per tahun.

Application Information Will Show Up Here