Qlue Umumkan Tambahan Pendanaan Seri B1 dari ICMG

Startup pengembang platform smart city “Qlue” mengumumkan tambahan pendanaan seri B1 dari Intellectual Capital Management Group (ICMG) Pte Ltd (Singapura) dengan nominal yang dirahasiakan.

Sebagai informasi, ICMG merupakan perusahaan yang berfokus pada co-create bisnis di vertikal smart city & smart villages, MaaS & logistic, healthcare & life science, energy & water, digital, dan sustainability (SDG).

“ICMG merupakan investor strategis bagi Qlue untuk scale up solusi kami di berbagai kota di Jepang,” ujar Founder & CEO Qlue RaMa Raditya dalam laman LinkedIn pribadinya.

Sebelumnya pada Juni 2021, Qlue menerima pendanaan seri B1 dari perusahaan telekomunikasi Jepang KDDI, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), dan startup pengembang layanan biometrik ASLI RI. Diketahui pendanaan ini akan dipakai untuk menggenjot ekspansi agresif Qlue ke pasar Asia melalui pengembangan solusi smart city terintegrasi. Target pasar utamanya adalah Jepang, Malaysia, dan Filipina.

Kerja sama strategis juga dilakukan dengan para investor. Salah satunya adalah sinergi dengan KDDI, keduanya akan mengintegrasikan berbagai platform yang dikembangkan Qlue ke lini bisnis KDDI di Asia Tenggara.

Ekspansi Qlue

Dalam keterangan terpisah, perwakilan ICMG mengungkap investasi ini penting dalam menghadirkan smart city yang aman dan terjamin, baik di Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya. Pengembangan solusi ini dapat mendukung akuisisi pelanggan dan ekspansi Qlue lebih lanjut.

Di samping itu, ekspansi ini juga sejalan dengan peningkatan urbanisasi di seluruh dunia, di mana 70 persen penduduk dunia diproyeksi tinggal di wilayah perkotaan di 2050. Situasi ini tentu akan memunculkan persoalan baru, terkait masalah keamanan hingga peningkatan kualitas hidup dan ekonomi.

“Maka itu, kami berencana untuk memperluas solusi pemantauan AI perusahaan ke berbagai kota tier 1 dan tier 2 di Indonesia. Kami juga berencana memperluas ekspansi ke wilayah lain di Asia, dengan Vietnam, Filipina, Thailand, Jepang, sebagai tujuan utama,” tambahnya.

ICMG juga menyebut akan mendukung rencana ekspansi Qlue ke Jepang dengan memanfaatkan jaringannya ke perusahaan skala besar di Jepang. Selain itu, ICMG juga akan mendukung sinergi anak usaha dan afiliasi dari perusahaan Jepang yang akan ekspansi ke Indonesia.

Ke depan, Qlue akan memperkuat posisinya sebagai pengembang solusi pemantauan berbasis teknologi AI di Indonesia melalui kemitraan dengan segmen pemerintahan maupun korporasi.

Qlue mengembangkan solusi terintegrasi yang dapat mengotomatisasi aktivitas pemantauan dan meningkatkan produktivitas pekerja lewat solusi berbasis AI. Solusi-solusi ini dapat diimplementasikan di sektor pemerintah maupun bisnis untuk mendorong sejumlah efisiensi, seperti pengurangan biaya, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan peningkatan keamanan.

Solusi Qlue saat ini terdiri dari QlueApp (aplikasi pelaporan warga), QlueVision (analisis video CCTV berbasis kecerdasan buatan), QlueWork (mobile workforce management), QlueDashboard (platform visualisasi data), QlueSense (solusi produk berbasis IoT), dan QlueThermal (solusi pemindai suhu tubuh dan penggunaan masker otomatis).

Per Juni 2021, sekitar 120 kota/kabupaten telah memanfaatkan solusi Qlue. Beberapa solusi Qlue juga telah diimplementasi di sejumlah negara, termasuk Singapura, Filipina, Tiongkok, Jepang, India, Rusia, Australia, dua negara di benua Eropa, dan empat negara di benua Amerika.

Application Information Will Show Up Here

Privy Gencarkan Transaksi Dokumen Elektronik Lewat Peluncuran E-meterai

Startup penyedia tanda tangan digital Privy resmi meluncurkan layanan e-meterai yang dapat dibubuhkan pada dokumen elektronik. Layanan ini telah tersedia di web app Privy dan dapat diperoleh melalui koneksi API.

Founder & CEO Privy Marshall Pribadi mengatakan, fitur ini untuk mendukung pemerintah yang tengah menggencarkan pemakaian e-meterai sejalan dengan meningkatnya transaksi dengan dokumen elektronik.

Berdasarkan catatannya, Privy telah memproses hingga 400 ribu tanda tangan setiap harinya. Apabila separuh dari tanda tangan tersebut memakai e-meterai, Privy dapat berkontribusi terhadap pendapatan negara sebesar Rp2 miliar per hari.

“Dengan terintegrasinya e-meterai di sistem Privy, pengguna akan lebih mudah dokumen elektronik yang memerlukan bukti bayar pajak atas dokumen berupa meterai,” tutur Marshall dalam siaran persnya.

Selain layanan e-meterai, Privy juga mengumumkan telah memperoleh akreditasi WebTrust for Certification Authority (CA) untuk memperkuat jaminan kekuatan pembuktian tanda tangan digital Privy dan keamanan data para penggunanya.

Sekadar informasi, WebTrust seal diberikan kepada penyelenggara sertifikasi elektronik (PSrE) yang lolos audit mengikuti standar dari Canadian Institute of Chartered Accountants (CICA) dan American Institute of Chartered Public Accountants (AICPA).

Adapun standar-standar ini meliputi aspek privacy, security, business practices/transaction integrity, availability, dan confidentiality or non-repudiation.

Marshall menyebutkan bahwa akreditasi ini menjadi pembuktian Privy dalam mengelola layanan dengan mengacu pada standar internasional. Apalagi di era digital, validasi atau kebenaran terhadap identitas menjadi aspek penting dalam berkomunikasi maupun bertransaksi, baik individu maupun korporasi.

Dunia digital juga rentan terhadap serangan siber di mana potensi pencurian data pribadi dan perusahaan sangat besar. Siapa pun dapat menjadi siapa saja tanpa adanya sebuah identitas digital yang terverifikasi.

“Tanda tangan digital, didukung sertifikat digital yang berinduk ke Kementerian Kominfo RI dengan akreditasi Webtrust for CA serta e-meterai, menghadirkan layanan penandatanganan dokumen elektronik dengan kekuatan pembuktian dan kepatuhan hukum yang penuh,” ucap Marshall.

Implementasi tanda tangan elektronik

Data Statista melaporkan pasar solusi identitas digital secara global diestimasi sekitar $23,3 miliar pada 2020, dan diproyeksi mencapai $49,5 miliar pada 2026. Di Indonesia selain Privy, ada sejumlah startup lainnya yang sajikan layanan serupa, sebut saja Vida, TekenAja, hingga Digisign.

Pertumbuhan industri ini juga didorong oleh meningkatnya kasus penipuan identitas, pelanggaran data, dan kebijakan pemerintah terkait Tanda Tangan Elektronik (TTE).

Untuk mendorong implementasi ini, Privy telah berkolaborasi dengan sejumlah pihak dalam memudahkan proses verifikasi data, mulai dari pembukaan rekening tabungan bank dan rekening sekuritas, pengajuan kartu kredit dan pinjaman fintech, polis asuransi, hingga penandatanganan kontrak sewa.

Sebelum ini, Privy sudah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Privy dipercaya mengolah dan memanfaatkan informasi untuk melakukan verifikasi data secara digital.

Privy juga merambah sektor perbankan dengan menjalin kerja sama strategis ke beberapa bank besar, di antaranya Bank Mandiri, BRI, BNI, BNI Syariah, Bank CIMB Niaga, dan Bank Mega untuk mempermudah proses pengajuan kartu kredit dengan memanfaatkan tanda tangan digital.

Application Information Will Show Up Here

Peluang Platform Car Marketplace “Autopedia” Masuk ke Ekosistem GoTo

Baru-baru ini, Garibaldi ‘Boy’ Thohir resmi menggenggam saham PT Tri Adi Bersama (Anteraja) sebesar 10 persen senilai Rp70,55 miliar. Kini, Boy Thohir kembali dikabarkan akan membeli 5-10 persen saham milik PT Autopedia Sukses Lestari Tbk (IDX:ASLC).

Baik Anteraja dan Autopedia sama-sama merupakan anak usaha dari PT Adi Sarana Armada Tbk (IDX: ASSA). Sementara, Boy tercatat sebagai Komisaris Utama PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO) yang mana juga baru saja resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Akuisisinya terhadap saham Anteraja otomatis membawa perusahaan logistik tersebut ke dalam ekosistem raksasa milik GoTo. Tentu aksi korporasi ini akan sejalan dengan strategi hyperlocal yang tengah digenjot oleh GoTo.

Berdasarkan paparan publik beberapa waktu lalu, Co-founder dan CEO GoTo Andre Soelistyo menyebut akan menggunakan dana IPO untuk mengeksekusi strategi hyperlocal lewat tiga anak usaha, yakni Gojek (ride-hailing), Tokopedia (e-commerce), dan GoTo Financial (fintech). Pada lini ride-hailing dan e-commerce, logistik memainkan peran yang sangat penting.

Ekosistem digital GoTo / Sumber: IndoPremier

Lalu bagaimana dengan Autopedia?

Penjualan mobil O2O

Jika melihat model bisnisnya, Adi Sarana saat ini punya posisi kuat di sektor otomotif lewat tiga pilar bisnis, yakni JBA Indonesia, Caroline.id, dan Cartalog.

JBA merupakan platform lelang kendaraan, baik online maupun offline, yang didukung 34 jaringan lelang offline di seluruh Indonesia. Sebagian besar menyasar B2B yang melibatkan perusahaan pihak ketiga, yakni pembiayaan dan diler. Cartalog adalah platform untuk engine berbasis teknologi AI yang menyediakan daftar harga kepada seluruh pemain di industri otomotif, khususnya penjual dan pembeli mobil bekas.

Kemudian, Caroline.id adalah marketplace C2C dan B2C yang menghubungkan pembeli dan penjual mobil bekas dengan harga transparan. Melalui platform ini, penjual dapat mengirimkan appraisal untuk menilai, melakukan listing, dan memproses mobil yang akan dijual. Di ranah B2C, Caroline.id bersaing dengan sejumlah pemain, seperti Carro, OLX, dan Carsome.

Per kuartal ketiga 2021, JBA Indonesia telah melelang sebanyak 75.000 unit kendaraan, lebih dari 20.000 pengguna, dan lebih dari 50.000 unduhan di Google Play Store. Caroline mencatat transaksi lebih dari 100 unit mobil, dan memiliki 1.000 unduhan aplikasi di Play Store, sedangkan Cartalog masih 5.000 unduhan.

Berdasarkan wawancara dengan DailySocial.id tahun lalu, Direktur Adi Sarana Armada Jany Candra mengatakan tengah fokus memperkuat digitalisasi pada tiga pilar bisnisnya dan meningkatkan ekosistem otomotif berbasis digital yang terintegrasi dengan teknologi terkini. Autopedia juga tengah membidik untuk menjadi O2O untuk mobil bekas lewat brand Caroline dan JBA.

“Saat ini, kami masih fokus untuk mengembangkan bisnis yang sudah ada dan memperkuat fundamental perusahaan dengan melakukan inovasi-inovasi teknologi berbasis digital. Namun, kami masih harus lihat perkembangan bisnis ke depan jika bicara kemungkinan kolaborasi dengan platform yang punya ekosistem digital besar,” ujarnya kepada DailySocial.id.

Jika benar masuk ekosistem GoTo, skenario yang cukup memungkinkan adalah mengintegrasikan layanan yang dimiliki Adi Sarana ke platform Tokopedia yang juga sudah merambah ke penjualan mobil baru maupun bekas. Ekosistem raksasa yang dimiliki GoTo memungkinkan Adi Sarana untuk memperluas channel penjualan mobilnya.

Salah satu kolaborasi Tokopedia yang sudah berjalan adalah bersama Carro. Carro mencatat tren pembelian mobil secara contactless mengalami peningkatan 100% dari bulan ke bulan. Per September 2020, sebanyak tiga dari sepuluh mobil terjual, terjadi secara contactless.

Selain itu, platform car marketplace juga bisa menjadi alternatif bagi mitra pengemudi Go-Car yang mungkin membutuhkan bantuan pengadaan armada. Seperti diketahui, platform serupa Autopedia biasanya juga bekerja sama dengan lembaga pembiayaan untuk pembelian mobil bekas — atau kegiatan tukar-tambah.

Bisnis car marketplace berkembang pesat

Di Indonesia, bisnis car marketplace berkembang dengan baik dengan model bisnis C2B2C. Beberapa platform yang telah melayani pasar ini di antaranya Carsome, Carro, Moladin, OLX Autos, sampai dengan yang paling baru ada Broom. Selain memberikan platform, mereka juga bertindak untuk membeli dan menjual mobil bekas langsung dari/ke pelanggan.

Di industri jual-beli kendaraan bekas memang masih ada sejumlah tantangan klasik yang dihadapi pelakunya. Mulai dari fragmentasi pasar, transparansi harga, inventarisasi produk, sistem inspeksi, sampai dengan kemudahan dalam pembiayaan. Setiap bermain berlomba-lomba untuk menyajikan solusi terbaik dalam menyelesaikan isu tersebut.

Netflix Gandeng Telkom untuk Rangkul Lebih Banyak Pengguna di Indonesia

Hampir dua tahun usai pembukaan blokir, Telkom akhirnya mengumumkan kerja sama dengan platform streaming Netflix. Kerja sama ini menghadirkan paket bundling pada layanan IndiHome dan Telkomsel, baik untuk pelanggan baru maupun existing.

“Kolaborasi dengan Netflix menjadi salah satu konsep IndiHome dalam mewujudkan window of entertainment bagi para pelanggan. Kemudahan melakukan pembayaran juga menjadi prioritas kami dalam kolaborasi ini,” ujar Direktur Consumer Service Telkom Venusiana dalam keterangan resminya.

Direktur Marketing Telkomsel Derrick Heng ikut menambahkan, kolaborasi ini dapat memperkuat posisi Telkomsel sebagai ‘The Home of Entertainment’ untuk membuka akses ke berbagai platform hiburan digital dan meningkatkan kualitas gaya hidup digital pelanggan.

“Kami mengedepankan layanan berbasis customer-centric yang didukung dengan ketersediaan konektivitas digital berteknologi broadband terdepan yang merata dan berkualitas hingga pelosok negeri,” tutur Derrick.

Bagi pengguna IndiHome, paket bundling dengan Netflix dapat dinikmati sebagai layanan add-on. Untuk aktivitasi, pelanggan existing tinggal mengklik tautan yang dikirimkan Netflix ke email terdaftar di aplikasi myIndiHome atau kanal lainnya.

Bagi pengguna Telkomsel, pelanggan Prabayar maupun Telkomsel Halo dapat berlangganan setiap bulan tanpa perlu menggunakan kartu kredit. Telkomsel menyediakan varian paket bundling kuota data dan berlangganan Netflix untuk 1 bulan mulai dari Rp62 ribu dengan pembayaran lewat pulsa.

Jika dibandingkan dengan paket yang sudah ada, paket bundling terbaru sedikit lebih mahal. Sebagai catatan, paket berlangganan untuk smartphone berkisar Rp54 ribu per bulan. Namun, layanan ini hanya dapat diakses lewat satu perangkat saja.

Sementara, paket bundling terbaru ini sudah termasuk akses ke berbagai perangkat seperti TV, laptop, smartphone dan tablet. Biaya langganan juga akan tergabung dalam satu tagihan bulanan. Keduanya sama-sama menawarkan nilai tambah tergantung dengan kebutuhan dari pelanggan. 

Pemblokiran akses

Kolaborasi ini tampaknya telah lama dinantikan oleh banyak pengguna Telkom pasca-konflik pemblokiran akses beberapa tahun silam. Apalagi, Telkom (IndiHome dan Telkomsel) menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar telekomunikasi di Indonesia.

Sedikit kilas balik, Telkom pertama kali memblokir akses Netflix pada 27 Januari 2016. Terhitung mulai pukul 00.00 WIB saat itu, seluruh sambungan internet Telkom tidak dapat mengakses Netflix. Pemblokiran ini pun berlaku ke seluruh penggunanya, mulai dari IndiHome, WiFi.id, dan Telkomsel.

Kala itu, dalih Telkom memblokir Netflix karena platform tersebut tidak memenuhi regulasi di Indonesia. Selain itu, pemblokiran ini disebut karena ada konten berbagai pornografi yang di platform tersebut. Kemudian hampir 4,5 tahun berselang, Telkom pun menyerah dan membuka akses Netflix ke seluruh penggunanya pada 7 Juli 2020.

Jumlah pengguna Netflix global / Diolah kembali oleh Katadata

Menariknya, sebelum kolaborasi ini diumumkan, Telkomsel sudah lebih dulu bekerja sama dengan Disney+ untuk menghadirkan paket layanan. Menurut survei Media Partners Asia (MPA), Disney+ bisa lebih cepat unggul penetrasinya karena menggandeng operator seluler lokal. Padahal, Disney+ baru masuk Indonesia per September 2020 kemarin.

MPA melaporkan jumlah pengguna Disney+ di Indonesia mencapai 2,5 juta, sedangkan Netflix yang sudah mengudara di tanah air sejak 2016 baru mengantongi 850 ribu per Januari 2021. Netflix pun masih kalah dari platform on-demand Viu yang memiliki 1,5 juta pengguna di periode tersebut.

Dapat dikatakan bahwa kolaborasi dengan operator seluler menjadi strategi kunci untuk memudahkan jalan masuk terhadap model pembayaran layanan dengan opsi pulsa. Dompet digital juga bisa jadi opsi pembayaran, tetapi belum semua masyarakat memakainya terlepas dari awareness-nya yang terus tumbuh. Pelanggan seluler di Indonesia masih bergantung pada pengisian pulsa.

Dari sudut pandang operator, kerja sama dengan platform streaming dapat berpotensi meningkatkan ARPU pelanggan. Operator dapat meningkatkan nilai tambah mereka sebagai penyedia jaringan.

Kolaborasi antara Telkomsel dan Disney+ juga dinilai strategis karena memberikan akses layanan Disney+ secara gratis pada paket data. Dalam pengamatan kami, operator XL Axiata pun memberikan akses gratis (semacam add-on) layanan Netflix pada beberapa paket data.

Persaingan platform on-demand

Cara-cara tersebut dapat membantu meningkatkan jumlah pelanggan–meski tidak secara organik–untuk memenangkan kompetisi di pasar streaming dan on-demand Indonesia.

Berbeda dengan Netflix yang tidak menggunakan skema iklan, platform streaming milik EMTEK, Vidio memakai skema tayangan premium dan iklan. Berbeda dengan platform on-demand sejenis, Vidio memperkuat posisinya dengan masuk ke konten olahraga yang dinilai punya peminat signifikan di Indonesia. Saat ini Vidio punya 62 juta pengguna, di mana 2,3 juta di antaranya adalah pelanggan berbayar.

Dalam konteks preferensi, survei The Trade dan Kantar melaporkan bahwa drama Korea menjadi konten paling favorit bagi 74 persen penonton OTT perempuan di Indonesia. Sementara, sebanyak 61 persen penonton laki-laki memilih konten berbau olahraga.

Total penonton Indonesia di platform OTT mencapai 83 juta dengan total menonton sebanyak 3,5 miliar jam setiap bulannya atau rata-rata 41,4 jam per bulan tiap penonton.

Application Information Will Show Up Here

Kinerja Bukalapak Sepanjang 2021 Disokong Pertumbuhan Bisnis Mitra

PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) membukukan total pendapatan sebesar Rp1,9 triliun atau naik 38 persen (YoY) di sepanjang 2021. Pertumbuhan pendapatan perusahaan disokong oleh lini bisnis Mitra yang meroket sebesar 284 persen menjadi Rp764,5 miliar dari Rp198 miliar di 2020.

Berdasarkan laporan keuangan 2021, Bukalapak mencatatkan penurunan pendapatan pada dua lini bisnis lainnya. Marketplace yang merupakan kontributor pendapatan terbesar mengalami penurunan 4 persen menjadi Rp990 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu, yakni Rp1 triliun. Pendapatan Buka Pengadaan juga merosot sebesar 5 persen menjadi Rp120 miliar di sepanjang 2021.

Rugi perusahaan juga membengkak 24 persen dari Rp1,3 triliun di periode sama 2020 menjadi Rp1,6 triliun di 2021. Kendati demikian, perusahaan menyebut telah menekan kerugian operasional sebesar 7 persen menjadi Rp 1,7 triliun di sepanjang 2021 dari sebelumnya Rp1,83 triliun.

Selain itu, Bukalapak menyebut telah berhasil menekan kerugian EBITDA sebesar 6 persen lebih baik dibandingkan 2020. Rasio kerugian EBITDA terhadap Total Processing Value (TPV) membaik menjadi 1,3 persen di sepanjang 2021 dari sebelumnya 1,9 persen.

TPV dan ATV

Bukalapak membukukan TPV sebesar Rp122,6 triliun atau naik 44 persen di 2021. Dari angka tersebut, sebesar 73 persen berasal dari transaksi di luar daerah tier 1 yang turut dipicu oleh meningkatnya digitalisasi warung dan toko ritel tradisional serta all e-commerce.

Selain itu, pertumbuhan TPV ini juga didukung oleh peningkatan jumlah transaksi sebesar 26 persen dan kenaikan sebesar 14 persen pada Average Transaction Value (TV) di sepanjang 2020 hingga 2021. Adapun, TPV Mitra Bukalapak naik 146 persen secara tahunan dengan pencapaian Rp56,2 triliun.

“Kami berkomitmen untuk fokus pada strategi agar dapat mencapai pertumbuhan yang kuat dan berkelanjutan, diiringi dengan pengelolaan yang baik terhadap biaya operasional,” demikian pernyataan manajemen Bukalapak.
Didorong oleh peningkatan jumlah transaksi sebesar 26 persen dan kenaikan 14 persen pada Average Transaction Revenue (ATV) dibandingkan 2020 (YoY).

Per akhir Desember 2021, posisi kas perusahaan tercatat sebesar Rp24,7 triliun.

Diversifikasi

Berdasarkan laporan iPrice di kuartal II 2021, Tokopedia berada di posisi teratas dengan pengunjung web bulanan terbesar di Indonesia, yakni 147,7 juta. Diikuti oleh Shopee di urutan kedua dengan 126,9 juta pengunjung web bulanan. Adapun, Bukalapak berada di posisi ketiga dengan gap yang cukup jauh dari peringkat pertama dan kedua, yakni 29,4 juta pengunjung web bulanan.

Data ini dapat mengindikasikan bahwa Bukalapak tidak memiliki posisi kuat dibandingkan dua pemain petahana yang mendominasi pasar marketplace di Indonesia. Kinerja keuangan Bukalapak juga memperlihatkan penurunan pendapatan dua lini bisnis lain dibandingkan Mitra Bukalapak yang mengantongi pertumbuhan signifikan.

Fokus Bukalapak untuk mendigitalisasi segmen warung dan UMKM di Indonesia mulai menunjukkan pencapaian positif. Survei Nielsen terhadap 1.800 warung dan 1.200 kios pulsa menyebut Mitra Bukalapak sebagai pemimpin pasar O2O dengan penetrasi sebesar 42% dibandingkan pemain O2O yang memiliki pengguna 2,5 kali lipat lebih banyak di survei ini.

Mitra Bukalapak disebut menguasai kategori grocery/bahan makanan sebesar 55% dan penetrasi produk virtual 52%. Saat ini, Mitra Bukalapak berbagai macam kategori produk, mulai dari produk fisik, virtual, keuangan, hingga produk kebutuhan sehari-hari.

Bukalapak tampaknya mulai melakukan diversifikasi layanan untuk mendorong revenue stream baru. Terlihat dari upaya akuisisi startup edtech dan pembentukan usaha patungan di kuartal pertama 2022. Menariknya, meski sudah memiliki lini marketplace, Bukalapak justru menjajal quick commerce untuk produk segar melalui usaha patungannya dengan CT Corp, yakni AlloFresh.

Selain itu, Bukalapak juga masuk ke ranah edtech dengan mengakuisisi startup Bolu pada akhir Maret 2022. Bolu membidik pembelajaran online bagi segmen komunitas, terutama yang ingin mengembangkan bisnis rumahan. Hal ini sejalan dengan upaya Bukalapak mendigitalisasi warung dan UMKM lewat Mitra.

Application Information Will Show Up Here

Ajaib Group Kini Miliki 40% Saham Bank Bumi Arta

Ajaib Group melalui PT Takjub Finansial Teknologi (TFT) kembali meningkatkan porsi kepemilikan sahamnya di PT Bank Bumi Arta Tbk (IDX: BNBA) sebanyak 443,52 juta saham atau setara 16 persen dari seluruh modal ditempatkan dan disetor penuh.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), transaksi pembelian saham ini dilaksanakan pada 8 April 2022 dengan harga pelaksanaan Rp1.345 per saham.

Sebelumnya, Ajaib Group mencaplok sebanyak 665,2 juta saham atau mewakili 24 persen saham Bank Bumi Arta pada November 2021. Dengan penambahan ini, Ajaib kini menguasai 1,10 miliar saham atau setara 40 persen dari seluruh modal ditempatkan dan disetor penuh.

Manajemen Ajaib Group mengungkap bahwa pihaknya ingin menjadi pemegang saham pengendali baru Bank Bumi Arta melalui penambahan kepemilikan saham ini.

Ekspansi produk

Dalam pemberitaan sebelumnya, Director of Stock Brokerage Ajaib Sekuritas Anna Lora sempat menyampaikan bahwa akuisisi ini akan memudahkan Ajaib untuk mengembangkan lebih banyak produk di masa depan.

Perusahaan mulai memperkenalkan layanan baru bernama Margin Trading Ajaib pada Maret. Sebagai informasi, margin trading merupakan pinjaman yang difasilitasi perusahaan sekuritas kepada nasabah pemilik rekening efek.

Margin Trading Ajaib memungkinkan pengguna untuk menebus jumlah saham lebih banyak dengan menggunakan pinjaman dana dari perusahaan sekuritas. Ajaib memfasilitasi Margin Trading dengan 0% pada biaya broker dan bunga margin.

Saat ini, bisnis utama Ajaib adalah platform investasi untuk saham dan reksa dana. Per Desember 2021, total investor Ajaib telah mencapai 1,4 juta orang. Dari angka tersebut, sebesar 96 persen merupakan investor pemula dan 90 persen masuk kelompok usia muda.

Sementara data BEI per akhir 2021 mencatat baru ada 7,48 juta investor retail di Indonesia. Namun, angka tersebut tumbuh signifikan sebesar 92,7 persen dibandingkan akhir 2020 yang hanya sekitar 3,88 juta investor.

Jika mengacu pada model bisnis Robinhood, platform trading dan investasi ini menerapkan komisi nol pada layanannya. Robinhood memonetisasi bisnis melalui sejumlah skema, termasuk margin trading, cash management fee, hingga Robinhood Gold.

Fintech akuisisi bank

Sempat dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan sejumlah faktor kuat yang melandasi aksi startup fintech mengakuisisi bank.

Akuisisi bank akan memampukan startup fintech untuk meningkatkan inklusi keuangan ke seluruh Indonesia. Salah satunya lewat fasilitas pinjaman modal usaha dengan plafon lebih tinggi. Dalam catatan kami, beberapa startup fintech yang mengakuisisi bank ini fokus di segmen UMKM.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial.id

Faktor lainnya, bank-bank yang diakuisisi ini merupakan bank kecil. Mereka dicaplok dengan harga murah karena tidak mampu memenuhi syarat modal minimum yang ditetapkan OJK. Lagi pula, akuisisi bank kecil lebih memudahkan perusahaan untuk melakukan transformasi karena infrastruktur dan kantor cabangnya kecil.

Application Information Will Show Up Here

Tiket.com Pertimbangkan Merger dengan Blibli Sebelum IPO

Platform OTA Tiket.com dilaporkan tengah mempertimbangkan merger dengan e-commerce Blibli untuk memuluskan rencana IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kabar tersebut pertama kali mencuat dari pemberitaan Bloomberg.

Sebelumnya kepada DailySocial.id, baik Tiket.com maupun Blibli mengonfirmasi bahwa saat ini valuasinya sudah lebih dari $1 miliar dan masuk ke jajaran unicorn. Sehingga aksi go public dengan penggabungan bisnis ini dapat menghasilkan gabungan valuasi setidaknya $2 miliar saat IPO.

“Penjajakan [merger dengan Tiket] tengah berlangsung tetapi belum ada keputusan final,” ungkap sumber tersebut. Baik perwakilan COVA dan Tiket.com menolak berkomentar terkait rencana merger ini. Sementara, perwakilan Blibli belum menanggapi kabar tersebut.

Apabila ini rencana ini benar, Tiket.com ini berpotensi bergabung ke PT Global Digital Niaga yang menaungi Blibli, sebelum melantai di bursa saham — atau membuat sebuah entitas holding seperti yang dilakukan GoTo. Kedua perusahaan mengandalkan konglomerat Djarum Group untuk mendukung IPO ini.

Sebelumnya, Blibli dikabarkan bekerja sama dengan Credit Suisse Group AG dan Morgan Stanley untuk merealisasikan rencana IPO ini.

Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, Tiket.com awalnya juga mempertimbangkan untuk merger dengan COVA Acquisition Corp dengan nilai $2 miliar. Namun, menurut laporan terbaru Bloomberg, sumber menyebut pembicaraan dengan perusahaan cek kosong atau SPAC ini dihentikan karena tidak menemui titik temu.

Selain opsi SPAC, Chief Executive Officer George Hendrata juga tengah mengeksplorasi opsi IPO secara tradisional serta kemungkinan untuk melakukan penggabungan bisnis dengan salah satu super app di Asia Tenggara.

Tiket.com resmi diakuisisi sepenuhnya oleh Blibli yang berada di bawah naungan GDP Ventures. Adapun, GDP Venture merupakan perusahaan venture capital di sektor digital milik Djarum Group. Platform ini tercatat memiliki jaringan lebih dari 90 maskapai penerbangan serta 2,8 juta hotel dan penginapan lainnya. 

Blibli.com merupakan platform e-commerce yang mengandalkan model bisnis B2C, B2B, hingga B2B2C untuk memasarkan berbagai produk dengan lebih dari 100.000 mitra bisnis.

Sinergi

Jika IPO ini terealisasi, Blibli bakal menyusul PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) yang go public dengan opsi merger. GoTo resmi melantai di BEI hari ini, Senin (11/4), dan berhasil memperoleh dana IPO sebesar Rp15,8 triliun.

Pada kasus Blibli dan Tiket.com, sinergi keduanya sudah lebih dulu terjalin manakala keduanya mengumumkan integrasi akun pengguna dan program loyalitas di masing-masing platform pada Februari 2022 lalu. Sinergi ini diklaim menjadi yang pertama antara platform e-commerce dan OTA di Indonesia.

Kemudian, Blibli juga bermitra secara eksklusif dengan bank digital “blu”, yang juga anak usaha BCA yang dimiliki Djarum Group. Seperti halnya kolaborasi Tiket dan Blibli, sinergi ini diklaim juga yang pertama antara e-commerce dan bank digital.

Dalam skala besar, merger ini memungkinkan Blibli untuk mengeksekusi bisnis utamanya untuk memenangkan pasar online dan offline di Indonesia, terutama di segmen UMKM.

Saat ini baik Tiket.com dan Blibli juga turut didukung Cermati Fintech Group, salah satunya dengan mengaplikasikan layanan paylater dari Indodana (salah satu produk CFG). Adapun Cermati juga sebelumnya telah menjadi bagian dari Djarum Group melalui investasi strategis yang digelontorkan. Selain paylater, mereka memiliki sejumlah layanan finansial lainnya, termasuk insurtech, agregator, hingga open finance.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Upaya Monetisasi Karya Dalam Negeri di Platform “Creator Economy”

Terhitung hampir lima miliar orang atau setara 62,5 persen dari total populasi di dunia mengakses internet per Januari 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 92,1 persen di antaranya online dengan perangkat mobile. Rata-rata masyarakat global menghabiskan waktu hingga tujuh jam setiap harinya untuk online.

Tak terbayang berapa banyak konten yang telah kita baca, tonton, atau lihat di perangkat mobile selama dua tahun belakangan. Situasi Covid-19 yang belum juga usai memaksa orang untuk menghabiskan banyak waktu di rumah, membatasi mobilitas kerja dan sekolah. Alhasil, kesempatan untuk mengakses internet semakin besar.

Di Indonesia, ledakan konten juga terjadi. Orang-orang membuat konten, mengeksplorasi ide, dan semakin kreatif untuk memonetisasi karyanya. Bahkan ladang subur industri creator economy memicu banyak kelahiran platform apresiasi karya dalam negeri, membidik pasar ekonomi kreatif yang selama ini belum tergarap dengan maksimal.

Saat ini belum ada laporan komprehensif mengenai creator economy di Indonesia. Kendati begitu, pertumbuhan ekosistem dan infrastruktur digital di Tanah Air mengindikasikan potensi pasar creator economy yang belum tergarap dengan optimal. Pemerintah pun tengah mendorong industri ekonomi kreatif sebgai salah satu penggerak ekonomi di masa depan.

DataReportal per Januari 2022 mencatat jumlah pengguna internet Indonesia telah menyentuh angka 204,7 juta orang atau setara 73,7 persen dari total populasi. Kemudian, jumlah pengguna media sosial mencapai 191,4 juta atau 68,9 persen dari total populasi.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai lanskap industri creator economy, model monetisasi, dan proyeksi bisnis, DailySocial berbincang dengan Founder KaryaKarsa Ario Tamat, Founder Storial Brilliant Yotenega, serta Founder Famous All Stars Arief Rakhmadani dan Co-CEO Famous All Stars Alex Wijaya.

Mengenal creator economy

Creator economy didefinisikan sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan kreator untuk memperoleh penghasilan dengan bantuan teknologi. Sementara melansir laporan CBInsight, creator economy merujuk pada berbagai kegiatan bisnis oleh kreator independen, dari vlogger, influencer, hingga writer, untuk memonetisasi karya dan kemampuannya.

Keberadaan platform creator economy memungkinkan mereka untuk berkreasi dengan dukungan tools atau fitur analitik yang tersedia di dalamnya. Dengan tools, kreator manapun, termasuk yang punya jumlah follower kecil, bukan akun bercentang biru (verified), atau yang baru berdiri dapat memonetisasi karya mereka sendiri secara langsung.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini tak lepas dari keterlibat investor yang mengucurkan investasi terhadap bisnis creator economy. Di sepanjang 2021, investor di dunia telah menyuntik sebesar $1,3 miliar ke platform creator economy.

Di Indonesia, creator economy masuk dalam ekonomi kreatif yang di dalamnya juga membawa banyak subsektor. Menurut data Kemenparekraf, subsektor ini terdiri dari game developer, seni kriya, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, fashion, kuliner, film, animasi, video, fotografi, desain komunikasi visual, televisi, radio, arsitektur, periklanan, seni pertunjukan, penerbitan, dan aplikasi.

Tantangan dan model monetisasi

Siapa saja dapat menjadi kreator. Namun, tidak semua mampu bertahan untuk tetap berkarya dan menghasilkan. Berbeda dengan situasi sekarang, satu dekade lalu–meski sudah ada internet–harga smartphone dan paket data masih mahal. Cakupan internet masih terbatas dan belum sampai ke wilayah pedesaan.

Jika Anda hobi menulis fiksi, menggambar, atau bermain game, belum tentu semua itu dapat menghasilkan uang. Kreator-kreator yang sudah punya nama pun mengalami kesulitan untuk produktif dan tak bisa sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari karya.

Ario Tamat dan Brilliant Yotenega atau Ega menilai upaya monetisasi karya dan kestabilan pendapatan memang menjadi isu usang yang kerap dialami oleh para kreator, misalnya komikus, penulis, musisi, atau pelukis. Jauh sebelum ada teknologi, ada jalan panjang yang harus dilakukan kreator untuk memasarkan karyanya.

Ario melihat banyak kasus di mana kreator tidak bisa produktif berkarya karena tidak punya pemasukan tetap. Dari sini, ia melihat ada disconnect antara kreator dan pembeli konten karena tidak ada jalur diskusi, dan model pemasaran dulu masih tradisional. Meski sudah masuk era digital pun, belum ada platform yang menyasar kreator langsung  di Indonesia. Bisa jadi karena kategori kreator masih sangat luas, dan belum ada definisi mutlak tentang apa yang mereka lakukan dan cara monetisasinya.

Yotenega atau karib disapa Ega juga merasakan kegelisahan yang sama. Pria yang berkecimpung di industri penerbitan ini mencontohkan proses panjang penulis yang ingin menerbitkan bukunya. Asumsinya ada naskah lolos seleksi, penulis perlu waktu enam bulan hingga satu tahun bagi penerbit untuk melakukan penyuntingan, produksi, dan distribusi. Royalti yang diterima pun umumnya berkisar 10%-15%, itu belum termasuk potongan pajak.

Ini belum lagi bicara kreator di segmen lain yang punya isu serupa, seperti musisi atau pelukis. Faktor-faktor tersebut membuat kreator sulit berkarya karena tidak ada kestabilan pendapatan.

Teknologi memang membantu memotong rantai panjang ini. Kita sudah merasakan bagaimana media sosial menghubungkan kreator dengan penggemarnya, menjadi wadah untuk mempromosikan karyanya. YouTube, Instagram, dan Twitter memampukan siapapun untuk terpapar dengan kreator atau karya yang belum pernah ditemui pengguna sebelumnya. Sampai akhirnya YouTube memberlakukan adsense, Instagram dengan influencer tools, dan TikTok lewat marketplace. Namun, sejatinya platform-platform ini sejak awal dirancang sebagai media sosial, bukan platform monetisasi karya.

Sebelum ada model Direct-to-Consumer (DTC), kreator mengandalkan sponsorship dan iklan dari pemilik brand sebagai salah satu revenue stream kreator. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan ekosistem digital, pelaku startup mengembangkan platform DTC yang membantu kreator memonetisasi langsung dari fans/audiens/follower. Bentuknya bisa dalam bentuk penjualan karya atau donasi.

Dalam konteks pasar Indonesia, platform-platform apresiasi konten lokal memang baru muncul beberapa tahun belakangan untuk mengisi pasar ekonomi kreatif yang belum tergarap optimal. Ini menandakan sebuah sinyal manis bahwa pasar Indonesia mengapresiasi peran platform lokal sekaligus karya-karya yang layak untuk dibeli.

Dari berbagai sumber yang kami rangkum, ada beberapa platform apresiasi karya yang cukup mendapat perhatian penikmat konten di Indonesia, di antaranya ada Storial, KaryaKarsa, Saweria, GoPlay, Noice, dan Trakteer. Format karya yang dipasarkan beragam, mulai dari gambar, cerita fiksi, lukisan, hingga konten livestreaming. Ini baru model berbasis DTC.

Ada pula platform Allstars yangmenghubungkan pemilik brand, baik dari skala kecil sampai skala besar dengan influencer untuk mempromosikan produk/jasa sebuah brand melalui kreasinya.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial

Untuk konten yang bersifat live streaming, Saweria memungkinkan kita untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk tip. GoPlay juga salah satunya, kreator dapat menerima dukungan finansial dengan konsep virtual gift, yang juga dapat dicairkan secara instan ke rekening bank atau dompet digital.

Adapun, Storial memakai skema penjualan karya satuan (ecer) agar bisa lebih terjangkau bagi pembaca dan pembaca hanya membeli bab cerita yang diinginkan. Per bab (chapter) dapat dibeli minimal Rp2.000 hingga Rp10.000. Harga juga ditentukan sesuai kesepakatan dengan penulis. “Skema ini menguntungkan kreator atau penulis karena mereka akan mendapat pemasukan sebanyak 35%-50% dari bab yang terjual. Porsi ini terbilang jauh lebih besar dibandingkan yang diterima dari penjualan buku fisik,” jelas Ega.

Sementara, Karyakarsa memberikan 90% pembelian karya ke kantong kreator, di mana 10% diambil untuk biaya platform. KaryaKarsa juga menampilkan fitur Simulasi Pendapatan di mana kreator dapat memperhitungkan harga, jumlah follower, berapa persen [audiens] yang akan dikonversi, hingga seberapa produktif dalam sebulan.

Ario mencontohkan, sekitar 1% dari 10.000 follower yang dimiliki kreator, dapat dikonversi untuk menjadi pembeli konten, yakni 100 yang dikalikan dengan Rp10ribu (asumsi harga per bab). Artinya, kreator bisa meraup Rp1 juta untuk satu karya. Apabila ingin meningkatkan pendapatan, kreator harus produktif menelurkan karya.

“Di sini, kreator bebas pakai sesuai kebutuhan, ini menjadi keunggulan karena mereka bisa mengatur pola kreasi, tanpa ada deadline dari publisher. Jadi kami tidak terlibat di situ. HAKI 100% dimiliki kreator. Proses kreatif sepenuhnya oleh kreator. Kami berupaya edukasi, jika ingin monetisasi karya, harus pikirkan metrik di atas. Masalah bagus atau tidak, itu relatif tergantung audiens,” tutur Ario.

Sebagai perbandingan pada platform luar, YouTube menjadi salah satu platform yang menjadi kiblat kreator untuk momentisasi karya. Kebijakannya ketat, kreator harus memiliki lebih dari 4.000 jam tonton publik yang valid dalam 12 bulan terakhir dan memiliki lebih dari 1.000 pelanggan.

Webtoon memasang ad revenue sharing bagi kreator dengan sejumlah ketentuan. Di awal mungkin yang diterima belum seberapa, tetapi kreator punya kesempatan meningkatkan pemasukan sejalan dengan meningkatnya fanbase. Sumber pendapatan lain dapat diterima lewat merch, buku (apabila diterbitkan secara fisik), dan lewat dukungan Patreon.

Sementara, Patreon memakai sistem keanggotan (membership) yang memampukan kreator untuk menghasilkan uang dari fans maupun supporter. Beberapa contoh model bisnis Patreon di antaranya fan relationship model (video chat atau personalized message), community model, dan gated content model.

Monetisasi dari sudut pandang pengguna

Selain bicara soal isu dan tantangan, pada tulisan ini, DailySocial menyertakan survei kecil-kecilan yang diikuti 32 responden terkait pola konsumsi konten di berbagai platform. Sebagai disclaimer, hasil riset ini tidak menggambarkan atau mewakili pendapat mayoritas penikmat konten di Indonesia. Tujuan kami semata ingin mendapat sudut pandang pengguna menghargai sebuah konten.

Terlepas dari popularitas platform asing, DailySocial menemukan beberapa responden mengakses konten (berbayar maupun gratis) dari platform lokal, seperti KaryaKarsa, Storial, dan Saweria. Kendati begitu, pengguna juga banyak yang mengakses konten dari platform Wattpad, Webtoon, Kakaopage, OpenSea, Patreon, dan YouTube.

Cerita bergambar (komik, manga, manhwa) merupakan konten (berbayar maupun gratis) yang paling banyak diakses oleh responden (46,4%), diikuti cerita fiksi/novel online (35,7%), video (28,6%), game dan musik (masing-masing 25%), ilustrasi/lukisan/desain (14,3%), dan NFT (3,6%).

Kehadiran metode pembayaran digital tampaknya mempermudah responden untuk membeli konten favoritnya, karena sebesar 75 persen responden menggunakan platform, seperti OVO, GoPay, dan DANA untuk membeli konten. Selebihnya menggunakan metode transfer bank (39,3%) dan kartu kredit (28,6%). Adapun, sebanyak 51,7 persen memilih skema bayar per konten, 31 persen memilih berlangganan.

Responden bicara soal konten gratis versus berbayar

Apabila karya kreator menarik, patut untuk dibayar. Tetapi saya tetap menikmati konten gratis jika ada. Free contents are good, but supporting the brain behind ’em is better
Gratis in exchange of ads tidak apa, selama harga berlangganan masih oke. Untuk game, saya memilih berbayar supaya tidak ada insentif buat developer yang memaksa kita menonton iklan terus-menerus.  Saya bersedia membayar konten dari kreator yang saya suka dan percaya. Jika belum saya kenal, kemungkinan saya butuh melihat karya gratisnya dulu
Konten gratis banyak yang sama bagus dengan konten berbayar. Biasanya [mau bayar] di konten Webtoon soalnya saya penasaran dengan chapter selanjutnya. Mau tidak mau beli.
Tidak punya waktu untuk refreshing dengan membaca, jadi tidak efektif jika harus bayar konten digital. Saya menikmati kedua-duanya. Beberapa author perlu start bagus untuk tahu apakah karyanya layak dijual atau tidak. Dengan cara ini, saya tertarik untuk menikmati konten gratis. 

Menurut 72,4% responden, harga yang ditetapkan kreator untuk karyanya sudah sesuai dengan ekspektasi mereka. Namun, beberapa menilai bahwa ada karya gratis yang tingkat pengerjaannya sulit, tetapi kreator mematok harga terlalu murah. Sebaliknya, ada pula yang menilai sebuah karya yang tidak sebaik itu kualitasnya, tetapi terlalu mahal.

Responden juga menyampaikan aspirasinya agar Indonesia dapat memiliki platform-platform apresiasi kreator yang tak kalah saing dengan Webtoon dan TikTok di masa depan. Selain itu, mereja berharap platform fasilitator dapat meningkatkan fungsinya agar harga dapat lebih ekonomis bagi penikmat karya.

True fans hingga fitur penemuan

Monetisasi adalah satu hal, tetapi bagaimana memastikan keberlangsungan kreator dalam jangka panjang? Bagaimana mendukung upaya monetisasi kreator yang belum punya fanbase? Bagaimana jika kreator tidak percaya diri dengan karyanya sehingga memberi harga murah pada karya-karyanya?

Ega sempat menyingung bahwa ledakan creator economy ini akan membawa kita pada natural selection. Orang akan semakin kewalahan (overwhelmed) dengan banyaknya konten. Maka, kualitas lah yang akan mengikat orang yang punya value yang sama, atau istilahnya law of attraction.

Dari sudut pandang Ario, ketidakyakinan ini dinilai dapat memengaruhi potensi pemasukan kreator di masa depan. Maka itu, platform memang harus mengambil peran lebih untuk memberi dukungan kepada para kreator yang baru membangun fanbase. Selama ini audiens tahu informasi mengenai suatu kreator karena mengikuti karya-karyanya sejak awal. Namun, bagi kreator yang baru merintis, ini tentu sulit.

“Fokus kami adalah kreator. Karya mereka bernilai sehingga bisa dihargai, ini jadi afirmasi kalau mereka beli konten. Yang dibutuhkan dalam siklus perjalanan kreator adalah apa yang dapat ditawarkan oleh platform selanjutnya. Apa yang dapat dicapai pada titik kreator bisa dapat pemasukan bulanan di platform kami? Bagaimana supaya mereka bisa punya fanbase? Ini juga menjadi tanggung jawab kami sebagai penyedia platform untuk menemukan [kreator] lalu kami ekspos,” jelas Ario.

Sementara, menurut CEO GoPlay Edy Sulistyo, alih-alih terpaku pada metrik jumlah follower atau subscriber dan view, kreator dapat lebih fokus membangun hubungan dengan penggemar loyal (disebut sebagai true fans). Semakin erat engagement dengan true fans, kreator dapat tetap mempertahankan relevansinya, membuat konten apa adanya tanpa perlu kehilangan jati diri.

True fans menjadi indikator penting karena mereka memiliki tingkat retensi tinggi. Artinya, ada kemungkinan besar mereka akan kembali menonton tayangan baru dari kreator. Ini menjadi kunci utama bagi kreator karena mereka bisa lebih sustainable tanpa perlu punya jutaan view atau follower,” ujar Edi beberapa waktu lalu.

Indonesia di antara era Web2 dan Web3

Dalam laporan The New Creator Economy Report yang diterbitkan Antler bersama Speedinvest, era Web3 akan membawa generasi kreator berikutnya terhadap kemampuan monetisasi yang lebih besar. Komunitas memainkan peran besar dalam mendukung upaya kreator meningkatkan sumber monetisasi konten lewat tools. Konten di era Web3 juga semakin eksploratif dengan blockchain, seperti NFT dan Metaverse.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Laporan ini sedikit menyentil suatu platform yang mengambil bagian lebih banyak dari yang dihasilkan kreator. Masih ada platform yang tidak menyediakan algoritma atau tools yang memampukan konten suatu kreator ditemukan lewat algoritma.

Overall, stronger loyalty. Para kreator dapat memberikan reward kepada penggemar loyal lewat engagement berkelanjutan yang tidak terlalu terikat dengan $$$. Saya menantikan tools yang dapat menjembatani engagement Web2 dengan Web3. Misalnya, menentukan fans terbesar dari kehadiran di konser, biaya yang dihabiskan untuk merchandise dan interaksi langsung, yang dapat menjadi kickstart tiered loyalty di platform Web3. Dengan begitu, kreator tidak perlu mulai dari nol membangun fanbase, dan memberikan reward ke penggemar yang mengikutinya sejak awal,” tutur Investor Lerer Hippeau Meagan Loyst dalam laporan tersebut.

Baik Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani melihat era Web3 datang lebih cepat di Indonesia. Padahal industri creator economy Tanah Air baru berada di fase Web2, di mana supply dan demand belum mencapai puncak pertumbuhannya (peak growth). Situasi ini membuat seolah-olah industri creator economy di Tanah Air mengalami overlap dari Web2 ke Web3.

“Namun, saya melihat situasi saat ini sebagai exciting period karena ada banyak faktor pendukung [mengoptimalkan pertumbuhan di Web2], yakni pertumbuhan jumlah populasi, penetrasi internet, dan penetrasi smartphone di Indonesia,” tutur Alex.

Ia memproyeksi era Web3 bakal melahirkan istilah kreator baru. Dalam 2-3 tahun ke depan, jika tadinya disebut seniman atau pelaku seni, istilah ini akan berubah menjadi NFT artist. Perkembangan teknologi dan industri akan membentuk terminologi, identitas, dan lapangan kerja baru. Apalagi Web3 berbasis desentralisasi sehingga kreator tak hanya dapat membuat dan menjual karya, tetapi juga memiliki Intellectual Property (IP) atas karyanya.

Arief menambahkan, creator economy di era Web3 akan menjadi bisnis independen di mana mereka dapat momentisasi langsung karyanya. Di fase selanjutnya, creator economy akan berevolusi kembali di mana kreator dan fans/audiens bisa berkolaborasi menciptakan sesuatu bersama.

Terlepas dari independensi monetisasi karya di era Web3, Arief menilai pemilik brand tidak akan kehilangan posisinya. Malahan, brand akan tetap melihat kreator sebagai salah marketing channel yang menarik untuk mengejar target secara organik.

“Jadi brand deal dan model monetisasi D2C bisa saling berpengangan tangan interpendensi bagi kreator karena Web3 tidak serta merta menghilangkan model monetisasi dari brand,” tuturnya.

Catatan penutup penulis, lima tahun lagi satu miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator. Kreator tak lagi akan dipandang sebagai sebuah kegiatan iseng belaka untuk mengisi waktu luang, melainkan sebagai pilihan karier.

Apakah Anda tertarik menjelajahi pengalaman baru sebagai kreator independen?

AFTECH Paparkan Lanskap Pasar, Tantangan, dan Tren Investasi Fintech

Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) kembali merilis Laporan Survei Anggota Tahunan 2021 yang memaparkan lanskap layanan fintech di Indonesia, pencapaian pertumbuhan, hingga tren investasi di masa depan.

Sebagai informasi, saat ini AFTECH menaungi pelaku fintech yang terbagi dalam enam model bisnis atau klaster antara lain sistem pembayaran, pinjaman online, neobank, securities crowdfunding, wealth management, dan Inovasi Keuangan Digital atau IKD (terdiri dari 16 sub kluster). Per akhir 2021, jumlah anggota AFTECH tercatat sebesar 352, naik dari periode sama di 2020 dan 2019 masing-masing 302 dan 219 anggota.

Berikut sejumlah pencapaian dan temuan penting dari laporan tahunan AFTECH sebagaimana dirangkum DailySocial.id berikut ini.

Pembayaran digital dan pinjaman online

Survei menunjukkan pembayaran digital dan pinjaman online menjadi dua model bisnis fintech yang sudah memasuki fase matang di Indonesia, turut didorong oleh faktor konsolidasi antar-pelaku pemimpin pasar dan melandainya pertumbuhan.

Ketua Umum AFTECH Pandu Sjahrir mengungkap kategori neobank, IKD, wealth management, dan securities crowdfunding masih dalam fase pertumbuhan, yang dikarenakan oleh sejumlah faktor, seperti regulasi baru bank, terutama terkait bank digital, hingga belum optimalnya penggarapan pasar dari sisi penawaran produk dan layanan. Kendati begitu, ia menilai layanan fintech tersebut mulai menggalang daya tarik di pasar.

Secara keseluruhan, adopsi layanan fintech di Indonesia meningkat signifikan di sepanjang 2021. Peningkatan ini tercermin dari sejumlah pencapaian antara lain:

  • Nilai transaksi uang elektronik naik sebesar 58,5 persen (YoY) menjadi Rp35 triliun.
  • Adopsi Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) melampau target 12 juta merchant sebelum akhir 2021.
  • Penyaluran pinjaman melalui platform fintech pendanaan bersama ke lebih dari 13,47 juta rekening peminjam mencapai Rp13,6 triliun per Desember 2021
  • Adopsi fintech untuk berinvestasi di pasar modal dan aset digital ikut meningkat.

Dari kategori pembayaran digital, 28 persen responden telah mengantongi nilai transaksi tahunan sebesar Rp5 miliar-Rp500 miliar, sedangkan 28 persen lainnya mengumpulkan total transaksi tahunan sebesar Rp500 miliar-5 triliun. Mengacu statistik Bank Indonesia per Desember 2021, total transaksi pembayaran digital mencapai Rp35,1 triliun atau naik 60 persen dibanding periode sama tahun lalu. Transaksi ini didominasi oleh pelaku fintech bukan bank.

Dari kategori pinjaman online, data OJK mencatat pertumbuhan sebesar 70 persen menjadi Rp13,6 triliun pada Desember 2021. Fokus penyaluran pinjaman masih terpusat di pulau Jawa di mana hampir 70 persen dari total transaksi berasal dari wilayah tersebut, diikuti luar negeri (28%) dan luar Jawa (1,9%). Kota di luar pulau Jawa masing-masing menyumbang tak sampai 1 persen dari total transaksi, kecuali Sumatera Utara (1,8%) dan Bengkulu (1%).

Saat ini, jumlah lender dan borrower di platform fintech masing-masing sebesar 809.494 dan 73,2 juta per Desember 2021. Sementara, per Desember 2020, jumlah lender dan jumlah borrower masing-masing sekitar 716.913 dan 43,6 juta.

Tantangan pelaku fintech

Data OJK mencatat indeks literasi keuangan di Indonesia naik 8,3 persen dari 29,7 persen di 2016 menjadi 38 persen di 2019. Dengan pertumbuhan indeks ini, fintech menyadari pentingnya perluasan layanan fintech hingga ke pedesaan. Adapun, 69 persen pelaku fintech sudah melayani area tersebut.

Namun, pelaku fintech di Indonesia masih menemui tantangan besar untuk melakukan ekspansi bisnis ke luar Jakarta, di mana 23 persen dan 19 persen responden mengaku sulit ekspansi ke luar Jawa dan pedesaan karena faktor literasi keuangan (55%), infrastruktur (44%), dan budaya (20%).

Terlepas dari kendala di atas, 45 persen pelaku fintech mengaku optimistis dapat melanjutkan ekspansinya lebih banyak ke area luar Jabodetabek sehingga dapat mencapai target inklusi keuangan nasional.

“Terkait infrastruktur, meski teknologi memengaruhi ekspansi layanan fintech di daerah, sebanyak 53 responden memiliki responden positif terhadap pertumbuhan dan perbaikan infrastruktur di masa depan,” tutur Pandu.

Pangsa pasar dan ekspansi

Berdasarkan hasil survei, area Jabodetabek masih menjadi pasar utama fintech, di mana 99 persen dan 75 persen responden masing-masing menjawab Jakarta dan Bodetabek sebagai target utama penggunanya, diikuti oleh Bandung (45%) dan Surabaya (36%).

Sebanyak 69 persen responden mengaku telah melayani daerah pedesaan di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar fintech tak hanya fokus pada wilayah perkotaan saja.

Selain itu, pelaku fintech juga masih mendorong penetrasi pengguna di segmen UMKM, terutama bagi pengusaha perempuan. Sebanyak 42 persen responden mencatat nilai transaksi pengguna UMKM sebesar lebih dari Rp80 miliar. Adapun 12 persen di antaranya memperoleh kurang dari Rp500 juta dari UMKM.

Dari 33 persen responden, 25-50 persen pengguna UMKM dijalankan oleh perempuan, memperkuat anggapan bahwa perempuan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap industri fintech.

“Maka itu, literasi keuangan dan digital bagi perempuan menjadi semakin penting agar pelaku UMKM dapat memaksimalkan produk dan layanan yang tersedia di industri jasa keuangan untuk mengembangkan usahanya,” papar laporan ini.

Dari sisi pengembangan usaha, responden mengungkap sejumlah poin penting dalam menentukan strategi bisnis untuk mendongkrak pendapatan di masa depan. Di antaranya adalah pelaku fintech ingin fokus pada produk berpenghasilan tinggi (59%), masuk ke pasar baru termasuk luar negeri dan daerah pedesaan (34%), menjajaki lini bisnis baru (52%), dan tidak ada rencana untuk memperluas atau fokus ke produk tertentu (7%).

Selain itu, sebanyak 75 persen pelaku fintech di Indonesia berencana memperluas jangkauan pasarnya ke pedesaan. Temuan ini menunjukkan sinyal positif industri fintech untuk meningkatkan pemerataan layanan keuangan di seluruh Indonesia.

Investasi fintech

Investasi di sektor fintech Indonesia mencatatkan pertumbuhan 13 kali lipat sejak 2017 yang hanya $64 juta menjadi $904 juta di Q3 2021. Jumlah tersebut dua hingga tiga kali lebih tinggi dari investasi yang diperoleh pelaku fintech di negara tetangga.

Apabila dibandingkan dengan total investasi ke sektor lain, baik dari investor domestik maupun asing, investasi fintech di Indonesia dari kuartal I sampai III 2021 lebih tinggi 58 persen di sektor mesin dan elektronik, dan 157 persen lebih tinggi dari sektor tekstil.

Peningkatan iklim investasi ke sektor fintech tak lepas dari meningkatnya jumlah populasi muda yang akrab dengan layanan digital, penetrasi seluler, dan kelas menengah di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan fintech semakin terakselerasi karena pandemi Covid-19.

Dari sudut pandang kebutuhan investasi, saat ini satu dari tiga klaster pembayaran digital, pinjaman online, dan IKD masih membutuhkan lebih dari Rp150 miliar dalam 1-2 tahun ke depan. Di sisi lain, 17 persen responden dari pemain pembayaran digital meyakini hanya membutuhkan investasi kurang dari Rp500 juta dalam 1-2 tahun ke depan.

“Ini menunjukkan bahwa klaster pembayaran digital telah memasuki tahap lebih matang dibandingkan dengan kategori fintech di klaster lain,” ungkap Pandu.

Wifkain Bags Seed Funding Led by Insignia Ventures [UPDATED]

Textile supply chain platform, Wifkain, announced seed funding led by Insignia Ventures Partners with an undisclosed amount. A number of prominent angel investors participated in this round, including the Atome Financial Indonesia‘s CEO, Wawan Salum.

The company positioned itself as a pioneer, Wifkain aspires to be the first technology-based platform to meet the needs of the textile supply chain for fashion brands in Indonesia. Through this funding, Wifkain intends to expand its business reach to SMEs and fashion brand owners, increase the number of merchants, and build a team.

On the general note, Wifkain was founded by former banker and fashion entrepreneur Sara Sofyan (CEO), D2C brand entrepreneur Chindera Soewandy, and former Bukalapak’s executives Rudy Setyo Hartono (CTO) in 2020.

The Co-founder & CEO, Sara Sofyan said many brands had difficulty finding manufacturing partners due to several factors. In that case, Wifkain provides Manufacturing-as-a-Service (MaaS) services by cooperating with various manufacturers in various specialties, capacities, and locations in Indonesia.

“The platform we built connects sellers and buyers directly, simplify the long supply chain by cutting out intermediaries, the transaction process is cheaper, faster, and low risk,” Sara said in her official statement.

Meanwhile, Yinglan Tan, Founding Managing Partner of Insignia Ventures Partners, said that e-commerce and social media make fashion available quickly and easily accessible online. However, the upstream supply chain in Indonesia will remain disconnected and fragmented.

“Thus, Sara and the team at Wifkain are in a strong position to digitize the entire supply chain in the textile industry. They have made significant early-stage progress since launching the platform. We are delighted to be their partner on this journey,” he said.

Challenges and target

Sara views the Indonesian textile industry ecosystem from upstream to downstream has not been fully digitized. The process chain is very long, complex, and not transparent as it involves many intermediaries.

Manufacturing companies also have no integrated system for buyers, limiting their opportunities to increase sales. The ordering process can take up to several days. The level of non-fulfillment (unfulfillment rate) of sales can reach 30-50 percent. This situation forces fashion business people and brand owners through a multi-layered chain of processes.

In addition, traditional textile traders who sell offline have limitations in the choice of products which are relatively expensive, the ordering system is not integrated, and there is no product guarantee.

In fact, Indonesia is one of the largest textile markets and manufacturing centers in the world. Its market value is around 40% of the total global fashion industry market of $55 billion according to the Euromonitor report in 2018. The value is projected to grow at 5% CAGR in 2022.

Wifkain seeks to digitize the supply chain, especially for long-tail merchants in the MSME segment, aka merchants with search volumes and relatively low levels of competition. Through the solutions built, Wifkain wants to increase connectivity, transparency and efficiency for the textile industry supply chain

In order to meet supply chain needs in Indonesia, Wifkain will develop order management and inventory management that will allow order confirmation within a few hours, reduce order non-fulfillment rates to less than 5%, increase production process transparency, and provide analytical data such as demand predictions to suppliers.

Since its commercial service in 2020, Wifkain recorded an 11-fold growth in GMV (YoY) and pocketed 150 merchants (textile and factory traders) on the island of Java. The company claims to be able to complete the sourcing process in one day, faster than the standard which generally takes up to three weeks. It guarantees that there is an efficiency of purchasing costs of up to 50%.

On a separate session with DailySocial, Sara revealed that it is not easy to digitize merchants or textile suppliers with long history of conventional operation. One of the obstacles is shown from the development of technology on the platform to accommodate merchant needs.

“[The development of] technology [for the textile market] does not have many benchmarks in the market, therefore, we have to [do] testing properly according to the needs of merchants,” Sara added.

Although the textile marketplace is relatively new to the Indonesian market, Sara admitted that Wifkain’s business measurement metrics remain the same as the e-commerce model in general, such as Monthly Active User (MAU), Lifetime Value (LTV), and retention rate.

To date, Wifkain merchants are only available in the Java and Bali areas, however, the scope of buyers has reached various locations throughout Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian