Melihat Komitmen Perusahaan Asuransi pada Pengembangan Inovasi digital

Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat bagaimana teknologi merevolusi industri keuangan, atau yang kini akrab disebut fintech. Tren ini tidak hanya dimonopoli beberapa kaum bisnis saja, seperti pembayaran digital dan peer-to-peer lending, tetapi juga telah membuka peluang besar terhadap insurtech.

Sejalan dengan semakin berkembangnya platform insurtech, semakin banyak yang meyakini teknologi dapat menjadi kunci untuk memberikan akses lebih ke masyarakat yang selama ini tidak tahu-menahu dan merasa perlu terhadap produk asuransi.

Memang anggapan ini belum dapat tervalidasi seutuhnya mengingat tren insurtech baru ramai beberapa tahun belakangan. Selain itu, penetrasi asuransi di Indonesia masih sangat rendah, atau berkisar 2-3 persen dari total populasi, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di 2019.

Di sisi lain, sebetulnya kita dapat melihat momentum pertumbuhan insurtech di Indonesia sebagai tanda dimulainya kesadaran digital dalam industri yang selama ini dicap sebagai “late adopter” di bidang teknologi.

Sejumlah startup, seperti PasarPolis, RajaPremi, Qoala, Wowpremi, hingga Futuready, mulai meramaikan pasar insurtech. Jumlah pemain ini tentu akan terus bertambah sejalan dengan meningkatnya literasi terhadap produk asuransi.

Sejumlah perusahaan asuransi berskala besar yang bertahun-tahun menjalankan model bisnisnya secara tradisional, kini sudah memulai berbagai inisiasi untuk berkomitmen di digital. Beberapa di antaranya adalah Axa MyPage, Asuransiku, eAZy Connect, dan MiMo.

Inisiatif digital melalui pengembangan aplikasi

Jika bicara inisiatif digital, hal ini akan tergantung bagaimana perusahaan memandang kebutuhan. Namun, langkah awal biasanya dimulai melalui pengembangan aplikasi, baik untuk pelanggan maupun kebutuhan internal.

Tujuannya bermacam-macam. Bisa untuk mempermudah proses klaim, proses penjualan dari pihak agen, penambahan customer baru, atau peningkatan customer experience.

PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), misalnya, meluncurkan digiAsk atau aplikasi Personal Accident Insurance yang dapat diakses melalui desktop maupun perangkat mobile di 2018.

Mengutip Kompas.com, Direktur Utama Askrindo Asmawi Syam mengungkap bahwa pihaknya tidak lagi menyasar segmen asuransi kredit, melainkan masuk ke bisnis asuransi umum melalui peluncuran aplikasi digiAsk.

Di tahun yang berikutnya, Mandiri Inhealth mengomersialisasikan aplikasi MI-Mobile (MIMO) yang berfungsi untuk memberikan kemudahan dalam memperoleh data dan informasi manfaat asuransi bagi para penggunanya.

Komitmen anak usaha Bank Mandiri untuk membuka diri terhadap produk digital juga dibuktikan untuk memperluas target pasar premi yang tadinya hanya untuk korporat atau B2B menjadi ke pasar individual.

Kepala Divisi Teknologi dan Informasi Mandiri Inhealth Andang Nugroho mengungkap bahwa perusahaan juga tengah mengembangkan produk digital baru yang akan menjadi turunan dari aplikasi MiMo, yakni aplikasi Dokter Keluarga.

Menurutnya, aplikasi ini akan memperkuat ekosistem produk asuransi Mandiri Inhealth dengan mengintegrasikan kepada para pesertanya di masa depan.

“Aplikasi ini akan memberikan gambaran penuh tentang layanan Mandiri Inhealth ke peserta hingga dokter. Aplikasi ini dikembangkan seluruhnya di internal, dan saat ini masih pilot, karena tidak semua dokter sudah digital-minded,” tuturnya kepada DailySocial.

Komitmen melalui innovation lab dan kolaborasi

Salah satu perusahaan asuransi yang telah menaruh komitmen penuh pada digital adalah Allianz Indonesia. Hal ini dibuktikan melalui kehadiran Allianz Innovation Lab yang dibangun sejak 2018.

Bahkan sebelum innovation lab didirikan, perusahaan sudah menelurkan berbagai inisiatif digital yang berfokus pada peningkatan customer experience melalui layanan eAZy Connect dan eAZy Med.

“Kami berbeda dari yang lain karena kami betul-betul berinvestasi di digital. Maka itu, innovation lab ini dibangun ketika kami memutuskan untuk fokus pada customer experience,” kata Direktur Utama Allianz Indonesia Joos Louwerier kepada DailySocial.

Di samping melakukan inovasi secara internal, ia juga menyebutkan pentingnya kolaborasi dan sinergi dengan startup sebagai bagian dari pengembangan produk. Allianz sudah bermitra dengan Bukalapak, Gojek, dan Halodoc untuk memasarkan produknya.

Saat ini, kolaborasi Allianz dengan para marketplace masih dalam kapasitas learning phase. Namun, ia tidak menutup pintu terhadap potensi kolaborasi dengan startup lainnya di 2020.

“Fokus kami ke depan adalah berkolaborasi dengan pemain sukses yang memiliki basis customer yang besar. Bagi kami insurtech itu penting, karena inovasi justru datang dari mereka [startup],” tuturnya.

Data terintegrasi menjadi kunci

Sebagaimana disampaikan di awal, rendahnya penetrasi asuransi di Indonesia menandakan buruknya literasi asuransi di kalangan masyarakat. Bagi Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dadang Sukresna, kolaborasi antar-perusahaan asuransi dan startup tidak cukup untuk meningkatkan literasi.

“Sinergi menjadi jalur yang dapat diandalkan, tetapi bukan kunci utama, karena asosiasi asuransi dan OJK tetap harus mengedukasi pasar untuk meningkatkan penetrasi,” ungkap Dadang kepada DailySocial.

Di sisi lain, pengamat asuransi Azuarini Diah Parwati menilai tren insurtech di Indonesia akan memiliki masa depan cerah. Menurutnya, cepat atau lambat seluruh perusahaan asuransi harus mulai memanfaatkan teknologi untuk memasarkan produknya.

“Pemasaran asuransi melalui digital dapat meningkatkan literasi kesadaran masyarakat untuk berasuransi. Terlebih masyarakat juga semakin melek teknologi,” tutur Azuarini kepada DailySocial.

Akses terhadap data terintegrasi masih menjadi kendala utama untuk dapat memaksimalkan peran utama pelaku insurtech di Indonesia. Artinya belum semua perusahaan asuransi mau berbagai atau membuka datanya terhadap pemain digital.

Padahal, data tersebut dapat diolah menjadi sebuah produk atau penilaian risiko (scoring) yang nantinya dapat bermanfaat terhadap peningkatan literasi dan penetrasi asuransi di Indonesia.

Mengutip data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Azuarini menyebutkan kontribusi penjualan premi melalui online atau digital baru mencapai 0,01 persen dari total penjualan premi sebesar Rp54,57 triliun di Indonesia.

MDI Ventures to Release Two More Managed Funds in 2020

MDI Ventures is to release two more managed funds to enhance Telkom Group’s startup investment portfolio from early-stage to the later stage.

MDI Ventures’ Head of Investor Relations & Capital Raising, Kenneth Li said to DailySocial that this step was taken due to the first-round fund distribution has run out in four years.

“True, that is the plan. However, I’m not in the position to share the details because the process is just begun,” he added.

In early December 2019, Telkom Group through MDI Ventures with South Korea-based KB Financial Group established a new managed fund named Centauri Fund.

mdi

Prior to this, halfway through 2019, Telkomsel, a subsidiary in cellular business, created an investment arm named Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) managed by MDI Ventures.

Kenneth affirmed the plan of two new managed funds would create diversity in Telkom Group’s investment portfolio and its subsidiaries.

“Centauri focused on Series A and B. Meanwhile, TMI has a specific requirement from Telkomsel to be a single LP fund and more CVC style with synergy requirement,” he added.

In terms of funding, he said the company is to make another fundraising on every new managed fund.

“[Fundraising] Rp1.4 trillion is only for Centauri Fund. Each fund, [the allocation] is different. Later [there will be] another fundraising,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

MDI Ventures akan Tambah Dua Dana Kelolaan Baru di 2020

Tahun ini MDI Ventures segera menambah dua dana kelolaan baru lagi untuk memperkuat portfolio investasi startup Telkom Group dari tahap early stage sampai later stage.

Head of Investor Relations &  Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li kepada DailySocial mengungkap bahwa penambahan ini dikarenakan alokasi dana putaran pertama selama empat tahun sudah habis.

“Ya betul itu rencananya. Tapi, saya belum bisa share detailnya seperti apa karena kami baru mulai prosesnya,” ujar Kenneth.

Awal Desember 2019 lalu, Telkom Group melalui MDI Ventures dan KB Financial Group asal Korea Selatan juga membentuk dana kelolaan baru bernama Centauri Fund.

MDI Ventures

Mundur lagi, di pertengahan 2019, anak usaha di bisnis seluler Telkomsel membentuk unit investasi baru, yaitu Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) yang akan dikelola oleh MDI Ventures.

Kenneth menegaskan bahwa rencana pembentukan dua dana kelolaan baru ini akan mengisi ragam portofolio pendanaan Telkom Group dan anak usahanya.

“Centauri fokus pada seri A dan B. Sementara, TMI punya spesifik requirement dari Telkomsel sehingga jadi single LP fund dan style-nya lebih CVC dengan synergy requirement,” tambahnya.

Dari sisi pendanaan, ia menyebut bahwa pihaknya akan melakukan penggalangan dana lagi pada setiap dana kelolaan baru.

“[Penggalangan dana] Rp1,4 triliun itu hanya untuk Centauri Fund. Setiap fund, [alokasinya] beda-beda. Nanti [ada] fundraising lagi,” katanya.

Telkomsel Suntik Pendanaan Seri B1 ke Startup Logistik Berbasis IoT “Roambee”

Telkomsel melalui unit investasi Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) baru saja mengumumkan portofolio pendanaan baru kepada startup logistik berbasis IoT asal Amerika Serikat, yakni Roambee.

Roambee menerima pendanaan seri B1 dengan nominal yang tidak disebutkan. Sebelumnya di 2018, Roambee telah memperoleh pendanaan pertamanya lewat MDI Ventures yang diinisiasi Telkom Group.

“Saya belum bisa share detail sinerginya. Tapi ada [produk kolaborasi] yang dirilis di kuartal pertama,” ungkap CEO Telkomsel Mitra Inovasi Andi Kristianto dalam pesan singkatnya kepada DailySocial.

Sebagaimana disampaikan dalam keterangan pers, sinergi terhadap Roambee diharapkan dapat mendorong perusahaan di Indonesia untuk mengadopsi teknologi digital. Ditambah, baik Roambee dan Telkomsel memiliki solusi IoT yang dapat dikembangkan bersama.

Berdiri di 2013, Roambee mengembangkan solusi smart logistics dan asset monitoring berbasis IoT yang diperuntukkan bagi pelanggan enterprise, terutama yang memiliki sistem supply chain berbasis digital.

Sementara di Telkomsel, IoT telah menjadi salah satu fokus pengembangan bisnisnya dalam beberapa tahun terakhir. Strategi ini tak lain untuk memperkuat posisinya sebagai digital telco company di Indonesia.

Terlebih, teknologi 5G yang akan berperan penting terhadap pengembangan ekosistem IoT—meski masih melalui perjalanan panjang—akan segera menuju komersialisasi di Indonesia.

Hingga saat ini, Telkomsel telah menelurkan sejumlah  layanan baik melalui pengembangan sendiri maupun kolaborasi, antara lain Smart Connectivity, Fleet Sight, dan InTank. Untuk Fleet Sight, Telkomsel telah berkolaborasi dengan Pertamina dan Bluebird.

Pengembangan produk existing

Dihubungi terpisah, Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa sinergi ini akan diawali dengan pengembangan produk dari solusi existing milik Roambee. Pertimbangannya karena solusi tersebut dinilai sudah product-fit.

“Produknya tracking solutions untuk menyasar klien enterprise Telkomsel. Kalau [pengembangan] solusi baru, nanti [ada] ke depannya,” ujar Kenneth kepada DailySocial.

Menurut Kenneth, Roambee dipilih karena teknologinya dinilai telah terbukti, dan bahkan telah digunakan perusahaan besar ternama di dunia, seperti DHL, Deutch Telecom, dan Unilever. “Jadi, [teknologinya] sudah cukup strong,” tambahnya.

Selain itu, dengan jejak pendanaan pertama dari MDI Ventures di 2018, Roambee saat itu juga mengembangkan produk yang sama, seperti tracking solutions, untuk disinergikan dengan bisnis Telkom Group.

”Solusinya berjalan karena memang ada demand di pasar, terutama dari e-logistic yang membutuhkan real time monitoring of package on delivery,” tutupnya.

A Kaleidoscope of Strategic Corporate Acts in 2019

The disruptive era has been driven not only by the startup industry. In recent years, a number of large-scale corporations have taken part in developing the digital ecosystem in Indonesia.

Moreover, innovation development within the scope of the corporation or corporate innovation will come back to its main goal, a sustainable business.

The year 2019 highlighted some strategic steps with various instruments, from internal innovation incubation, collaboration with startups, and the rise of venture capitals.

DailySocial summarizes the most engaging corporate actions of some sectors within the year of 2019 as follows:

A synergy of state-owned e-money products

Last year begins with Telkomsel’s e-money service transformation, Tcash, to LinkAja. This is said to be the former SOE Minister Rini Soemarno’s initiative who wants to put state-owned e-money companies altogether into one platform.

Tcash is considered to have the most ready ecosystem at that time than any other SOE e-money, therefore, It was designated as an “embryo” for the LinkAja platform. This is quite a surprising decision since Tcash plans to become an agnostic e-money service and spin off from Telkomsel in the mid-2018.

Meanwhile, LinkAja has been announced and started rolling in February. In fact, it was officially launched in the middle of the year due to the long-await for the integration of all SOE e-money to be completed.

It is to be highlighted that LinkAja is the result of a joint venture of state-owned companies in which 25% of the shares owned by Telkomsel, 20% each for Mandiri, BRI and BNI, BTN, Pertamina with 7%, and Jiwasraya Insurance also involved with 1%.

Prior to this, LinkAja positioned itself as e-money for daily basis. Therefore, this joint venture – to be followed by other shareholders – is considered to fasten the acceleration for the company’s use case, such as transportation and gasoline purchases.

Collaboration and Innovation

Innovation and collaboration between corporations and startups have made the news in 2019. It indicates a number of business sectors have realized the power of inclusiveness towards Indonesia’s digital business development.

As an example, Gojek officially partners with Indonesian Railways (KAI) to support the integration of digital ecosystems and railroad services through orders and payments in one transaction. In this case, Gojek is the first and last-mile provider, while KAI acts as the middle mile provider.

Next, BRI kicked off the market through its collaboration with Traveloka through the “PayLater Card” launching. This co-branding partnership allows users to transact at offline and online merchants in 53 million locations worldwide and receive payments by VISA.

In late 2019, BRI is to increase its digital service portfolio by launching a BRI Ceria virtual credit card that provides loans starting from Rp500 thousand to Rp1 million. The app-based service aims for BRI customers in the underbanked segment.

In terms of telco, Telkomsel initiated another breakthrough by launching the first digital app-based cellular service product by.U. It’s called digital-based for all activities of purchase, registration, and use are fully carried out in the application.

It was internally incubated and developed through MVP, the by.U service has become Telkomsel’s strategic “weapon” to win the market in the digital era. In fact, by.U is targeting gen Z for their digital literacy and unwillingness to be “regulated” for data packages.

The rise of Corporate Venture Capitals

2019 highlights the aggressive penetration of Corporate Venture Capital (CVC). In our observation, there are four new CVCs established to capture great opportunities in the Indonesian digital industry. They include Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi / TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), and Sarana Papua Ventura (BTN).

Furthermore, DailySocial also highlighted Nicko Widjaja‘s transfer from MDI Ventures to be the head of BRI Ventures. Nicko’s appointment as CEO is expected to bring a new success story in the coming year.

Broadly speaking, each CVC targets a different business vertical, depending on the demand and values ​​of the company’s business development. Likewise, the funding stage. For example, TMI is currently aiming for early-stage and BRI Ventures will focus on growth and late-stage startups.

In addition to the CVC, Telkom Group has recently added more to its managed funds by launching the Centauri Fund.  The new strategy is a joint venture between the telco giant with KB Financial Group, which is one of the largest banks in South Korea.

Expecting the next strategic step in 2020

Through the summarize of various corporate actions above, we can draw a common thread that inclusiveness will be the main key for players – whoever are both corporations and startups – in driving the development of the digital ecosystem in the future.

Collaboration will be more aggressive and there are more innovations to arrive. A number of Indonesian corporates have realized the power of innovation and digital transformation. Some of those, such as BRI and Telkomsel, have prepared themselves to start a new chapter in 2020.

Moreover, in line with the more mature startup ecosystem, the VC industry will be more selective for its investment. The investment climate is predicted to increase. However, we are likely to see a decrease in the initial funding.

For some reason, both CVC and VC will be more focused on growth and late-stage funding. Aside from minimizing risk — learn from the previous years — startups must have clear traction, scale-up, and monetizing plans.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kaleidoskop Aksi Korporasi Strategis di Sepanjang 2019

Era disruptif sesungguhnya tak hanya didorong oleh industri startup. Faktanya sejumlah korporasi berskala besar turut ambil bagian dalam pengembangan ekosistem digital di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Walau demikian, pengembangan inovasi di lingkup korporasi atau corporate innovation akan kembali mengacu pada tujuan utamanya, yakni kelangsungan bisnis untuk jangka panjang.

Tahun 2019 menandai ramainya sejumlah langkah strategis dengan instrumen bervariasi, mulai dari inkubasi inovasi internal, kolaborasi dengan startup, hingga pembentukan pemodal ventura.

DailySocial merangkum berbagai aksi korporasi menarik dari beberapa sektor industri di sepanjang 2019 berikut ini:

Sinergi besar-besaran e-money BUMN

Tahun 2019 diawali dengan transformasi layanan e-money Telkomsel, Tcash, menjadi LinkAja. Transformasi ini disebut sebagai inisiasi dari eks Menteri BUMN Rini Soemarno yang ingin menggabungkan seluruh e-money milik perusahaan pelat merah ke dalam satu platform.

Tcash dinilai punya ekosistem paling siap saat itu dibandingkan e-money BUMN yang lain sehingga Tcash ditetapkan sebagai “embrio” bagi platform LinkAja. Keputusan ini tentu cukup mengagetkan mengingat di pertengahan 2018, Tcash berencana untuk menjadi layanan e-money agnostik dan spin off dari Telkomsel.

Adapun, LinkAja diumumkan dan beroperasi pada Februari, namun baru diluncurkan secara resmi di pertengahan tahun karena menunggu integrasi seluruh e-money BUMN rampung.

Yang perlu digarisbawahi, LinkAja merupakan hasil kongsi perusahaan BUMN yang saat ini sahamnya dimiliki oleh Telkomsel sebesar 25 persen, Mandiri, BRI, dan BNI yang masing-masing menguasai 20 persen, BTN dan Pertamina 7 persen, serta Asuransi Jiwasraya 1 persen.

Sejak awal, LinkAja memposisikan diri sebagai e-money untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka itu, kongsi ini–dan akan bertambah dengan masuknya pemegang saham lain–dinilai akan memperkuat akselerasi use case yang disiapkan perusahaan, seperti transportasi dan pembelian bensin.

Kolaborasi dan inovasi

Inovasi dan kolaborasi antara korporasi dan startup mewarnai pemberitaan di sepanjang 2019. Ini menandakan sejumlah sektor bisnis telah menyadari pentingnya inklusivitas terhadap pengembangan bisnis digital di Indonesia.

Misalnya, Gojek resmi bermitra dengan Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mendukung integrasi ekosistem digital dan layanan perkeretaapian melalui penerapan pesanan dan pembayaran dalam satu transaksi. Dalam hal ini, Gojek menjadi penyedia first mile dan last mile, sedangkan KAI sebagai penyedia middle mile.

Kemudian BRI menggebrak pasar lewat kolaborasinya dengan Traveloka lewat peluncuran kartu kredit “PayLater Card”. Kerja sama co-branding ini memungkinkan pengguna untuk bertransaksi di merchant offline dan online yang tersebar di 53 juta lokasi di seluruh dunia dan menerima pembayaran dengan VISA.

Di penghujung tahun 2019, BRI kembali menambah portfolio layanan digital dengan meluncurkan kartu kredit virtual BRI Ceria yang menyediakan pinjaman mulai dari Rp500 ribu-Rp1 juta. Layanan berbasis aplikasi ini hanya menyasar nasabah BRI di segmen underbanked.

Dari sektor telekomunikasi, Telkomsel juga membuat gebrakan baru dengan meluncurkan produk layanan seluler pertama berbasis aplikasi digital by.U. Disebut digital karena seluruh aktivitas pembelian, registrasi, dan pemakaian sepenuhnya dilakukan di aplikasi.

Diikubasi di internal dan dikembangkan secara MVP, layanan by.U menjadi “senjata” strategis Telkomsel untuk memenangkan pasar di era digital. Maka tak heran, by.U membidik generasi Z yang dianggap sudah melek digital dan tidak mau “diatur” dalam memilih paket.

Corporate Venture Capital paling bersinar

Tahun 2019 menyoroti agresifnya pembentukan Corporate Venture Capital (CVC). Menurut catatan kami, terdapat empat CVC baru yang didirikan untuk menangkap peluang besar di industri digital Indonesia. Mereka antara lain Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi/TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), dan Sarana Papua Ventura (BTN).

Kemudian, DailySocial juga menyoroti kepindahan Nicko Widjaja dari MDI Ventures untuk menakhodai BRI Ventures. Penunjukkan Nicko sebagai CEO diharapkan membawa kisah kesuksesan baru di tahun mendatang.

Secara garis besar, setiap CVC memiliki target vertikal bisnis berbeda, tergantung dengan kebutuhan dan nilai yang diincar untuk pengembangan bisnis perusahaan. Demikian pula tahapan pendanaan. Misalnya, TMI saat ini membidik early-stage dan BRI Ventures akan fokus terhadap startup di growth dan late stage. 

Selain pembentukan CVC, Telkom Group baru-baru ini juga menambah dana kelolaan dengan membentuk Centauri Fund. Strategi dana kelolaan baru tersebut merupakan hasil kongsi raksasa telekomunikasi ini dengan KB Financial Group, yakni salah satu perusahaan bank terbesar di Korea Selatan.

Menantikan langkah strategis selanjutnya di 2020

Lewat rangkuman beragam aksi korporasi di atas, kami dapat menarik benang merah bahwa inklusivitas akan menjadi kunci utama bagi pemain—siapapun itu baik korporasi dan startup—dalam mendorong pengembangan ekosistem digital di masa depan.

Kolaborasi akan semakin agresif dan inovasi akan terus berdatangan. Sejumlah korporasi di Indonesia sudah menyadari pentingnya inovasi dan transformasi digital. Beberapa di antaranya, seperti BRI dan Telkomsel, telah mempersiapkan diri memulai babak baru di tahun 2020.

Di sisi lain, sejalan dengan semakin matangnya ekosistem startup, industri VC akan semakin selektif dalam memilih pendanaan. Iklim investasi memang diprediksi meningkat. Akan tetapi, kita tampaknya bakal melihat menurunnya fokus pendanaan tahap awal.

Baik CVC atau VC akan mulai lebih fokus membidik pendanaan growth dan late stage karena sejumlah alasan. Selain minim risiko—belajar dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya—startup memang harus memiliki traction, rencana scale up, dan monetisasi yang jelas.

LinkAja Introduces New CFO and Plans for Series B Funding in 2020

The e-money platform LinkAja aims for doubling its business growth by next year. As the CEO, Danu Wicaksana said, the company has now acquired 40 million registered users per November 2019.

“We’ve seen the e-money industry is getting crowded next year. We’ll be more expansive, especially with the current achievement,” he said at the launching of LinkAja Outlook 2020, Tue (2/17).

In order to accelerate expansion, Wicaksana added, the company is to add more talents, from only 80 people in the beginning until now become 400 people on board, 250 of them are engineers.

In terms of service, LinkAja’s Chief Marketing Officer, Edward Kilian said there will be more “use case” development in 2020, including features/services for consumers and merchants. The latest one to be launched is LinkAja Syariah.

“The financial service must be around the wealth, loan, and protection product. Our use case development will be around that too and focused on transportation. For us, building a complete ecosystem is very important,” Kilian said.

LinkAja is to increase the number of cash-in corners which is currently reached 1 million. For the local ecosystem, the company will enter the 35 clusters in micro and ultra micro segment.

Post the commercial as an e-payment product in February, LinkAja is moving faster with the maneuver as a solution platform, not just an option.

Since its debut, LinkAja is targeting “mass and aspirant” market which is defined as the underbanked and unbanked segment looking at e-money as a solution for daily needs.

Some initiative use case as LinkAja’s main target is products related to daily usage, such as transportation, bill payment, and gas shopping.

In terms of product, LinkAja has secured 200 payment transactions for telco products, 400 bill payment transactions, 3,000 transactions for donation and religious building, 250 thousand offline merchants, 380 e-commerce partners, and also an option at 2,500 gas station.

In the transportation line, LinkAja is now available in Gojek, Grab, Bluebird, Commuter Line, Damri, KAI Access, soon to be available in MRT Jakarta.

Based on Fintech Report 2019, Gopay has been the most used digital wallet with 83.3%, followed by Ovo (81.4%), DANA (68.2%), and LinkAja (53%).

The new CFO and fundraising plan

In the Outlook 2020 disclosure, Ikhsan Ramdan as the new Chief Financial Officer has ensured that Series B Funding is to be held next year.

“We’re still in the growth stage, and need funding to expand. Direction from our shareholder is to be open with private partners. It can be through partnership or capital injection,” he added.

Mentioning the strategy to burn money which also been adopted by some leading players, he emphasized on the company’s strategy that is going to be focused on the vision and mission, not the valuation for becoming unicorn,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

LinkAja Perkenalkan CFO Baru dan Siapkan Pendanaan Seri B di Tahun 2020

Platform uang elektronik LinkAja akan mengejar pertumbuhan bisnis hingga dua kali lipat tahun depan. Sebagaimana disampaikan CEO Danu Wicaksana, perusahaan kini sudah mengantongi 40 juta pengguna terdaftar per November 2019.

“Kami lihat industri e-money akan semakin marak tahun depan. Kami akan lebih ekspansif, terutama dengan pencapaian saat ini,” ujarnya saat membuka acara LinkAja Outlook 2020, Selasa (17/2).

Untuk mempercepat upaya ekspansi, ungkap Danu, perusahaan bahkan menambah jumlah SDM yang ada, dari 80 orang dari awal didirikan hingga sekarang mencapai 400 orang, dengan 250 di antaranya adalah engineer.

Sementara dari sisi layanan, Chief Marketing Officer LinkAja Edward Kilian menyebutkan akan ada pengembangan use case lebih banyak di 2020, termasuk fitur/layanan untuk consumer dan merchant. Salah satu yang akan diperkenalkan dalam waktu dekat adalah layanan LinkAja Syariah.

”Layanan finansial pasti berkutat pada produk wealth, loan, dan protection. Pengembangan use case kami akan mengikuti itu dan fokus di transportasi. Bagi kami, membangun ekosistem lengkap itu sangat penting,” ucap Edward.

LinkAja akan meningkatkan jumlah titik cash-in dari saat ini yang mencapai 1 juta titik. Untuk ekosistem lokal, perusahaan akan masuk ke 35 kluster di segmen mikro dan ultra mikro.

Pasca komersial sebagai produk pembayaran elektronik pada Februari lalu, LinkAja bergegas memulai manuver untuk menjadikan platform-nya sebagai solusi bukan sebatas opsi.

Sejak awal, LinkAja membidik pasar “mass and aspirant” yang didefinisikan sebagai segmen underbanked dan unbanked yang melihat e-money sebagai solusi untuk kebutuhan sehari-hari.

Sejumlah inisiatif use case yang menjadi sasaran utama LinkAja adalah produk yang penggunaannya berkaitan dalam kehidupan sehari-sehari, seperti transportasi, pembayaran tagihan, dan pembelian bensin.

Per November 2019, pertumbuhan Gross Transaction Value (GTV) atau nilai transaksi yang berputar mencapai 4,8 kali per bulan dibandingkan pada awal beroperasi di Februari 2019. Kemudian, pengguna aktif bulanan tumbuh mencapai 5,1 kali dan transaksi bulanan berkisar 4,7 kali dibanding Februari 2019.

Dari kategori produk, LinkAja telah mengantongi 200 transaksi pembayaran produk telekomunikasi, 400 transaksi pembayaran tagihan, 3.000 transaksi untuk donasi dan rumah ibadah, 250 ribu merchant offline, 380 mitra e-commerce, dan tersedia sebagai opsi pembayaran di 2.500 SPBU.

Dari lini tranportasi, saat ini LinkAja sudah bisa dipakai di Gojek, Grab, Bluebird, Commuter Line, Damri, KAI Access, dan menyusul segera di MRT Jakarta.

Berdasarkan Fintech Report 2019, saat ini GoPay menjadi digital wallet paling banyak dipakai sebesar 83,3 persen, diikuti OVO (81,4%), DANA (68,2%), dan LinkAja (53%).

CFO baru dan rencana penggalangan dana

Pada paparan Outlook 2020, Ikhsan Ramdan yang didapuk sebagai Chief Financial Officer memastikan rencana penggalangan pendanaan Seri B yang akan dilakukan tahun depan.

“Kami masih tahap pertumbuhan, butuh modal untuk ekspansi. Arahan dari shareholder kami adalah membuka diri ke pihak swasta. Caranya bisa partnership atau injeksi capital,” ungkapnya.

Disinggung soal strategi bakar uang yang banyak dilakukan oleh pemain dominan, ia menegaskan bahwa strategi yang akan dijalankan perusahaan akan tetap mengacu pada visi dan misi perusahaan, yakni meningkatkan inklusi finansial.

Sementara Edward justru menilai bahwa LinkAja sebagai produk pembayaran memiliki posisi yang menguntungkan karena lebih netral. Ia mencontohkan bahwa LinkAja tersedia juga sebagai opsi pembayaran Gojek.

Kami bisa masuk lintas use case. Jadi kami tidak perlu bakar uang lebih banyak di posisi kami saat ini. Goal kami adalah bagaimana mencapai visi-misi perusahaan, bukan valuasi untuk menjadi unicorn,” tambahnya.

Dana Kelolaan Telkom dan KB Financial Group “Centauri Fund” Incar Sepuluh Startup Tahun Depan

Centauri Fund, inisiatif dana kelolaan bentukan Telkom Group melalui unit CVC MDI Ventures dan KB Financial Group Korea Selatan, mengincar sepuluh portfolio startup di tahun 2020. Saat ini perusahaan tengah menjajaki kesepakatan investasi dengan lima startup Indonesia.

Telkom Group dan KB Financial Group resmi menandatangani perjanjian kerja sama (MoU) untuk membentuk Centauri Fund sebagai perpanjangan tangan untuk dana kelolaan baru pada pekan lalu, Senin (9/12).

Dalam keterangan resminya, Direktur Strategic Portfolio Telkom Achmad Sugiarto mengungkap Centauri Fund dibentuk sebagai komitmen kedua perusahaan untuk mengembangkan ekosistem teknologi dan startup, terutama Indonesia, sebagai pasar terbesar di kawasan Asia Tenggara.

“Sekarang kami sedang evaluasi lima startup di bidang fintech, insurtech, big data, dan artificial intelligence. Sejauh ini semua [dari Indonesia]. Target kami mungkin bisa investasi ke lima sampai sepuluh [startup] di 2020,” ungkap Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li kepada DailySocial.

Sebelumnya diberitakan beberapa bulan lalu MDI Ventures tengah dalam proses pengumpulan investasi ketiga dengan target nilai $100 juta atau sekitar Rp1,4 triliun.

Saat itu, Kenneth mengonfirmasi bahwa Kookmin Bank, bagian dari KB Financial Group, merupakan satu dari tiga potensial investor yang bakal menjadi LP (Limited Partner). Dua calon mitra LP lainnya belum mencapai kesepakatan final.

Kenneth mengungkapkan, baik Centauri Fund dan MDI Ventures masih sama-sama mengejar vertikal bisnis yang sama. Yang menjadi pembeda adalah Centauri Fund akan fokus ke pendanaan Pra Seri A dan Seri B, sedangkan MDI Ventures fokus di Seri B ke atas.

Meskipun demikian, ia enggan menyebutkan nilai investasi yang dikucurkan oleh KB Financial Group ke Centauri Fund. Kenneth memastikan bahwa masuknya mitra bisnis baru tersebut akan memberikan kapabilitas dan pembelajaran di bidang fintech.

“Vertikal bisnis [Centauri Fund] hampir sama karena sebenarnya MDI Ventures sudah cukup agnostik. Hipotesis kami memang lebih ke sustainable business. Startup yang kita pilih adalah yang bisa dibantu pertumbuhannya lewat ekosistem Telkom,” tutupnya.

Understanding the Opportunity of “On-Demand” Jobs in the “Gig Economy”

The development of technology generates new phenomena, from the changes in consumer habits, business models, and how to market products or services.

Those things create a new term, the gig economy, that refers to a trend shifting where companies prefer to work with freelancers than permanent workers.

How the gig economy related to the on-demand job? And how technology plays a role in the gig economy era?

For further information, Job2Go‘s Co-Founder and CEO, Kurniawan Santoso has discussed the issue with DailySocial in the #SelasaStartup session.

Creating new opportunities in the gig economy era

Without us knowing, we’re now living in the gig economy era. Picture it in the transportation services, food and drinks, travel tickets, and shopping activities which we’re now doing through applications, is a sign that technology becomes a part of our daily basis.

By understanding the gig economy, Kurniawan sees the high demand of a company to work with freelancers is followed by the trend of “tech-savvy” workers.

“These phenomena started a new era of business that is never existed before,” he said.

Kurniawan exemplifies how he developed an on-demand job search platform named Job2Go. The platform is to connect companies with job seekers. What’s more, this platform can improve the quality of life of workers.

In addition, the on-demand job search platform can conquer one of the biggest issues in Indonesia, it’s the difficulty of finding a job causing the high unemployment rate.

Based on data, there are 100.4 million people in Indonesia with a salary below the minimum standard. The number can create good opportunities for new business.

On-demand job to be the future of millennials

Quoting the former Minister of Manpower, Muhammad Hanif Dhakiri, Kurniawan said the future of millennials is “working without jobs”.

The on-demand jobs will be sought after as trends in contemporary careers develop. In terms of workers, Kurniawan said, 60 percent of them liked flexible work and 43 percent looked for various jobs.

In terms of companies, 40 percent of them strive to improve employee satisfaction and productivity and 37 percent are targeting freelance workers.

“Part-time workers have now become essential for companies due to cost-saving and efficiency. Also, flexibility and additional income are now important for some people, “he said.

He thought, for the developed countries, the gig-economy trend is growing because its population needs additional income. This is the red thread that connects the gig economy and the increase of on-demand jobs.

Technology is the key

Technology plays an important role in the gig economy platform. In connecting companies with job seekers, technology is required to minimize the gap between supply and demand.

Job2Go relies on Artificial Intelligence (AI) technology in gathering companies together with job seekers.

“Data intelligence can help recommend the right job. The process is fast and accurate, both for seekers and employers. The most important thing is technology makes accuracy even better, “he explained.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian