Moduit Tutup Putaran Pra-Seri A 65 Miliar Rupiah, Siap Perluas Produk “Wealth Management”

Startup fintech investasi Moduit mengumumkan perolehan pendanaan putaran pra-seri A senilai $4,5 juta (lebih dari 65 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Reciprocus Moduit Holding (RMH) Singapura. RMH merupakan konsorsium yang terdiri dari Reciprocus Financial Services Pte Ltd, pengusaha insurtech Walter de Oude, dan Helicap. Dalam putaran ini, turut berpartisipasi PT Alto Network, anak usaha Grup Djarum.

Moduit menjadi portofolio pertama dari konsorsium RMH yang berambisi ingin mengembangkan bisnis fintech di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia.

Rencana penggalangan ini sebenarnya sudah diungkapkan sejak Oktober 2019 dalam wawancara terakhir bersama DailySocial.id. Kendati demikian, dengan momentum yang tepat di tengah pandemi, mampu meningkatkan optimisme perusahaan untuk mengejar pertumbuhan. Direncanakan penggalangan seri A akan dilangsungkan pada tahun depan.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO Moduit Jeffrey Lomanto menjelaskan pihaknya akan menggunakan dana segar untuk memperluas platformnya dalam menawarkan produk terkurasi tambahan dari wealth management, selain reksa dana dan obligasi. Serta, meningkatkan fitur Moduit Robo-Advisor, yang menyediakan layanan perencana keuangan otomatis berbasis algoritma dengan sedikit keterlibatan atau tanpa pengawasan manusia.

“Kami berencana menarik lebih banyak profesional untuk bergabung dengan kami sebagai mitra perencana keuangan di Moduit. Kami akan menawarkan kepada mereka lebih banyak peluang dan keseimbangan hidup yang lebih baik,” ujarnya, Rabu (10/11).

Founder & Chairman Reciprocus International Pte Ltd dan CEO Reciprocus Financial Services Pte Ltd (RFS) David J. Emery menuturkan bahwa pandemi adalah pedang bermata dua. “Moduit telah mengembangkan platform digital yang dapat membantu para Mitra Perencana Keuangannya untuk membuka pintu gerbang penting menuju kekayaan bagi gen-Z dan milenial,” kata dia.

Founder Singlife Walter de Oude mengatakan, “Moduit adalah platform sempurna yang menggabungkan teknologi dengan perencana keuangan di Indonesia. Moduit memiliki semua resep untuk mencetak pertumbuhan cepat dan kesuksesan.”

Jeffrey melanjutkan, sepanjang tahun ini, tanpa dukungan pemasaran, Assets Under Advisory (AUA) Moduit tumbuh lebih dari 40% seiring dengan rata-rata nilai investasi untuk B2C mencapai $4600 atau senilai Rp66,7 juta per klien. Bersamaan dengan itu, jumlah Advisory Partner (Mitra Penasehat Keuangan) Moduit tumbuh 74%, para mitra ini rata-rata menangani portofolio sebesar $60.000 atau Rp870 juta per klien.

Dia menargetkan pada tahun 2022, perusahaan akan menambah tiga kali lipat jumlah Mitra Perencana Keuangan dan mendorong AUA hingga tujuh kali lipat. “Seluruh tim Moduit sangat bersemangat dengan perkembangan ini. Dengan peluang yang sangat besar di Indonesia, tujuan akhir kami ke depan adalah ekspansi ke seluruh Indonesia, dan kami juga berencana untuk mengejar pendanaan seri A pada akhir tahun 2022,” paparnya.

Pendekatan berbeda

Moduit mengambil pendekatan yang berbeda dalam memasarkan produk investasi. Ada dua target konsumen yang disasar, yakni B2C untuk menyasar investor ritel, dan B2B2C dengan menyasar tenaga pemasar efek yang ingin menjangkau investor dengan nominal besar.

Strategi ini diambil karena di sini industri wealth management sangat terfragmentasi. Ada tiga aktivitas utama di dalamnya, mengedukasi klien dengan mencari tahu kebutuhan finansialnya dan cashflow-nya seperti apa. Tidak sekadar melakukan KYC (Know Your Customer) saja.

Lalu masuk ke aktivitas kedua, yakni perencanaan keuangan untuk mensimulasikan portofolio investasinya berdasarkan data-data yang diperoleh saat aktivitas pertama. Terakhir, masuk ke bagian eksekusi untuk mentransaksikan kegiatan yang ada di bagian kedua.

“Bagian terakhir ini butuh lisensi PI (Penasihat Investasi), untuk mengadministrasikan, menghubungkan dengan kustodian, KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia) dan semacamnya. Di Indonesia pemain startup wealth management itu sangat terfragmentasi, kalau kami maunya end-to-end,” terang Founder & CEO Moduit Jeffry Lomanto kepada DailySocial.id dalam wawancara sebelumnya.

Berdasarkan statistik OJK, jumlah wakil agen penjual reksa dana (WAPERD) terpantau meningkat menjadi 24.351 WAPERD per Januari 2021, dari sebelumnya sebanyak 24.972 wakil agen pada 2017.

Bisnis B2B2C menjadi motor terbesar di Moduit. Kendati begitu, Jeffrey tetap ingin kedua bisnisnya sama-sama tumbuh karena ada kombinasi dari ticket size dan number of tickets yang dihasilkan dari masing-masingnya.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Pimpin Pendanaan Awal Kasual, Startup Fesyen yang Memadukan Teknologi dan Strategi D2C

Startup direct to consumer (D2C) Kasual mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal yang dipimpin East Ventures. Produk yang mereka kembangkan adalah pakaian sehari-hari, dengan fokus awal pada celana pria. Dana segar akan dimanfaatkan untuk memperkuat tim, kapabilitas teknologi dan pabrik, serta memperluas ekspansi operasional perusahaan ke Solo, Jawa Tengah.

Untuk memudahkan konsumen mengakses produknya, saat ini Kasual memiliki situs sendiri. Selain platform penjualan, di dalamnya turut disediakan beberapa fitur. Pertama disebut dengan “Build Your Own Product”, memungkinkan pelanggan dapat memilih jenis potongan dan ukuran yang disesuaikan dengan preferensi mereka. Ada juga layanan “Virtual Fitting”, menyediakan layanan konsultasi langsung dengan tim Kasual melalui panggilan video terkait ukuran, fitting yang dipersonalisasi, dan rekomendasi produk.

Dengan proses pemesanan yang lebih sederhana dan produksi garmen internal, produk dapat dikirim ke pelanggan dalam waktu kurang dari 5 hari. Personalisasi dan pendekatan teknologi yang disuguhkan diklaim menjadikan Kasual sebagai fashion-tech dan instant commerce pertama di Indonesia.

“Kami menyadari bahwa tren e-commerce telah menjamur dengan sangat cepat dan membantu pelanggan belanja dengan nyaman dari rumah, sehingga mereka menuntut produsen atau penjual yang bisa menyediakan barang kebutuhan sehari-hari, khususnya celana, lebih cepat dan terpercaya. Namun, brand lokal saat ini masih mengabaikan teknologi yang sebenarnya bisa menjadi aspek vital dalam produksi fashion. Artinya, saat ini pelanggan masih belum memiliki platform yang dapat diandalkan untuk mendapatkan produk fashion yang dipersonalisasi secara instan,” kata Founder & CEO Kasual Alam Akbar.

Turut disampaikan, kasual telah mengalami pertumbuhan 3x lipat sewaktu pandemi pertama masuk ke Indonesia di tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2019 (YoY). Hingga kini, mereka telah melayani sekitar 80 ribu pengguna dan telah memproduksi lebih dari 3 ribu produk per bulan.

Tren D2C

Menurut data yang dihimpun dalam laporan “Driving Growth with D2C” oleh Ogilvy, Commercetolls, dan Verticurl, pemilik brand saat ini dinilai harus memiliki strategi digital D2C untuk dapat memenangkan pasar. Tujuan utamanya untuk membangun hubungan yang lebih personal dengan pelanggan, sehingga bisa menciptakan pengalaman brand yang lebih efektif dan menarik sebagai proposisi nilai. D2C memberikan kepemilikan data pelanggan yang tak ternilai.

Salah satu studi kasus yang banyak diceritakan adalah kesuksesan Perfect Diary, sebuah brand kosmetik asal Tiongkok. Didirikan sejak tahun 2016, startup tersebut mencapai pertumbuhan yang mengesankan sepanjang 2 tahun bisnis berjalan. Bahkan di 2019, mereka menjadi salah satu dari tiga brand dengan penjualan terbanyak. Hingga akhirnya pada tahun 2020 memutuskan IPO dengan valuasi $7 miliar. Strategi utama mereka tidak lain dengan D2C.

Ada tiga pilar utama yang idealnya didapat pemilik brand dalam strategi D2C mereka. Pertama, memungkinkan mereka menemukan diferensiasi produk, nilai unik tersebut dinilai akan mengundang lebih banyak pelanggan. Kedua, kemampuan memberdayakan data pelanggan untuk lebih memahami kebutuhan dan karakteristiknya. Dan ketiga, mendorong kepemimpinan brand dengan tingkat ketangkasan lebih secara menyeluruh, termasuk di sisi operasional.

Melihat peluang yang sama, beberapa pemain lokal mencoba keberuntungan di sektor tersebut. East Ventures sendiri turut berinvestasi ke startup D2C lainnya di bidang perawatan kulit bernama Base dan minuman nabati bernama Mohjo. Ada juga Hypefast yang hadir membantu pemilik brand untuk menajamkan strategi D2C mereka — termasuk dengan memberikan dukungan permodalan, jaringan, akses, dan operasional.

Di sisi investor, selain East Ventures beberapa pemodal ventura lokal lainnya juga mulai masuk ke sana. Mulai Alpha JWC Ventures, AC Ventures, hingga BRI Ventures melalui Sembrani. Terbaru ada Kinesys yang menjalin kerja sama dengan The-Wolfpack khusus untuk memperkuat ekosistem D2C di portofolionya.

Untuk bisnis fesyen sendiri, hingga saat ini masih mendominasi penjualan di online shopping secara global. Inovasi diperlukan untuk menjaga pertumbuhan tersebut, seiring dengan perubahan tren yang terjadi di kalangan konsumen.

Kategori produk paling populer di online shopping global sepanjang 2021 / Statista

Pengembangan Kasual selanjutnya

Berbagai fitur personalisasi juga akan terus dikembangkan untuk menunjang sistem fashion commerce yang dimiliki Kasual. Salah satunya pengukuran tubuh dengan teknologi 3D untuk menguatkan personalisasi kustom yang akan diperkenalkan Kasual pada acara tahunan mereka “Custom Week 2021” pada 17-19 Desember 2021 mendatang di Jakarta. Dengan menggunakan pemindai tubuh elektronik, pengunjung dapat melakukan pesanan custom secara instan dan akurat.

“Kami senang menyambut East Ventures dan investor lainnya dalam keluarga Kasual. Dengan dana ini, kami akan membangun tim baru, meningkatkan pengalaman digital bagi pelanggan dan proses manufaktur, mengeluarkan lebih banyak kategori produk dan inisiatif marketing, serta menggunakan teknologi baru seperti pengukuran AR untuk membuat pengukuran tubuh 3D pertama di Indonesia. Ke depannya, kami ingin meningkatkan dan memproses pesanan harian sebesar 10x lipat dan memproses lebih dari 5 ribu produk setiap harinya,” jelas Alam.

Sementara itu Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, berkata, “Indonesia memiliki salah satu infrastruktur digital paling kuat di kawasan ini yang memungkinkan perusahaan kecil penjual barang custom seperti Kasual berkembang. Kami ingin melihat seberapa jauh mereka bisa melangkah dan mendukung mereka di sepanjang perjalanan pertumbuhan perusahaan.”

Alpha JWC Ventures Umumkan Dana Kelolaan Ke-3 Senilai 6,1 Triliun Rupiah

Alpha JWC Ventures hari ini (09/11) mengumumkan telah menutup dana kelolaan ketiga (Fund III) senilai $433 juta atau setara 6,1 triliun rupiah; menjadikan Assets Under Management (AUM) mereka mencapai $630 juta. Dalam kesempatan temu media, Jefrey Joe selaku Co-Founder & General Partner mengatakan bahwa perolehan ini melebihi target awal mereka yakni $300 juta. Beberapa LP regional dan global terlibat, termasuk International Finance Corporation (bagian dari Grup Bank Dunia) dan Morgan Stanley Alternative Investment Partners.

Seperti diketahui, Alpha JWC Ventures didirikan tahun 2015 oleh Jefrey, Will Ongkowidjaja, dan Chandra Tjan; fokus memberikan pendanaan tahap awal untuk startup di Indonesia dan Asia Tenggara.

Perjalanan dana kelolaan

Perjalanan mereka dimulai dengan peluncuran Fund I sebesar USD 50 juta pada 2016. Dana kelolaan tersebut telah disalurkan ke 23 perusahaan rintisan di Asia Tenggara yang mayoritas berada di Indonesia. Lebih dari 90 persen dari perusahaan tersebut kini telah menerima pendanaan lanjutan.

Sementara untuk Fund II Alpha JWC Ventures ditutup pada 2019 secara oversubscribed dengan nominal $143 juta; dan telah diinvestasikan ke 30 perusahaan. Hingga kini, Fund I telah menghasilkan 37% IRR (Internal Rate of Return) dan Fund II menghasilkan 87% IRR.

Mereka juga telah menghasilkan 9 exit, termasuk akuisisi DealStreetAsia oleh Nikkei, akuisisi Spacemob oleh WeWork, dan akuisisi Base.vn oleh perusahaan teknologi terbesar di Vietnam FPT Corporation.

Sejak diluncurkan tahun ini, Fund III dari Alpha JWC Ventures telah diinvestasikan ke tujuh perusahaan rintisan di sektor teknologi finansial, SaaS B2B, dan solusi bisnis UMKM di Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Beberapa di antaranya Esensi Solusi Buana, Spenmo, VIDA, GudangAda, dan lainnya.

Jefrey dalam presentasinya juga mengatakan, bahwa sejauh ini ticket size pendanaan mereka berkisar ratusan ribu sampai jutaan dolar. Bahkan yang terbesar bisa mencapai $60 juta dalam bentuk pendanaan bertahap. Yang jelas ia selalu menekankan, bahwa prinsip Alpha JWC Ventures menjadi pendukung pertama sebuah startup (early stage investor).

Selanjutnya turut disampaikan, dengan dana kelolaan baru secara kuantitas mungkin jumlah startup yang akan diinvestasi tetap sama. Yang artinya, mereka akan meningkatkan ticket size dan turut memberikan fokus lebih pada follow-on funding untuk startup yang telah menjadi portofolionya.

“Sejak awal pendirian pada tahun 2015, kami memiliki misi yang jelas yaitu membawa Indonesia dan Asia Tenggara menjadi pusat ekonomi digital dunia yang baru. Perjalanan kami dan portofolio Alpha JWC Ventures selama ini telah membuktikan bahwa startup Indonesia dan Asia Tenggara mampu bersaing di kancah global. Kami akan terus berada di garis depan sebagai pembawa perubahan dan tidak berhenti di sini,” kata Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

3 unicorn, 11 centaur

Melalui pendanaannya, Alpha JWC Ventures telah mengantarkan tiga perusahaan portofolio mencapai status unicorn, yakni Kredivo, Carro, dan Ajaib. Mereka juga mengatakan telah memiliki 11 centaur, beberapa di antaranya Kopi Kenangan, Lemonilo, Modalku, GudangAda, dan lain-lain.

Disampaikan Jefrey, salah satu dari centaur tersebut akan menyusul menjadi unicorn dalam beberapa waktu mendatang.

“Sebagai VC yang berasal dari, didirikan, dan dioperasikan oleh orang Indonesia, kami bekerja untuk meningkatkan dampak positif ekonomi digital di negara ini melalui investasi dan perusahaan portofolio kami. Bersama mereka, kami telah menyentuh kehidupan hampir 1 juta UMKM melalui penyediaan akses pasar dan keuangan, menciptakan lebih dari 12 ribu lapangan pekerjaan, memberdayakan lebih dari 200 ribu wanita melalui berbagai peluang usaha, menginspirasi lebih dari 1 juta orang untuk menjadi investor ritel, dan masih banyak lagi,” ujar Partner Alpha JWC Ventures Erika Go.

Platform Marketplace NFT “Paras Digital” Peroleh Pendanaan 71,8 Miliar Rupiah

Platform marketplace NFT Paras Digital memperoleh pendanaan tahap awal (seed) sebesar $5 juta atau sekitar 71,8 Miliar Rupiah. Pendanaan ini diperoleh melalui Initial Dex Offering (IDO) dan investasi sejumlah investor.

Sebagaimana disampaikan dalam blognya, beberapa investor yang terlibat dalam putaran ini di antaranya Black Dragon Capital, Dragonfly Capital, Moonwhale Capital, Digital Renaissance, GFS Ventures, Global Coin Research, OKEx Blocdream Ventures, serta beberapa venture capital dan angel investor lainnya.

Menurut Co-founder Rahmat Albariqi, pendanaan ini akan digunakan untuk meningkatkan skala bisnisnya, termasuk memperluas vertikal aset NFT pada NEAR Protocol, seperti komik, game, dan mainan.

“Popularitas NFT terus meningkat tahun ini, dan kami melihat ada banyak peluang yang belum kami temukan. Kami yakin riset [pasar] dan perluasan ke vertikal baru dapat menjaga nilai NFT. Dengan menambah nilai ke aset digital, kami dapat menciptakan perubahan besar bagi NFT di masa depan,” ujar pria yang akrab disapa Riqi ini.

Paras didirikan pada akhir Desember 2020 oleh Rahmat Albariqi and Afiq Shofy Ramadhan, dan sepenuhnya dikembangkan oleh tim dari Indonesia. Sebelum memperoleh pendanaan, Riqi mengaku telah mengerjakan beberapa proyek bersama kreator untuk membuat dan merilis IP mereka pada NEAR Protocol.

Pihaknya ingin membuka kesempatan bagi siapapun yang memiliki semangat mengembangkan IP miliknya di dunia kripto. Saat ini, Riqi bersama tim tengah mendorong pengembangan crypto-natives IP yang akan dibangun di atas Paras.

“Kami ingin mencoba menjadi pelopor transformasi pada game, komik, mainan, dan karya lewat kemampuan smart contract dan teknologi blockchain. Maka itu, kami ingin membuka banyak akses dengan menawarkan konten melalui berbagai media,” tuturnya.

Beberapa platform lokal juga mulai menginisiasi platform NFT berbasis marketplace. Dua di antaranya Tokomall milik Tokocrypto dan Kolektibel.

Proyek digital comic dan target pasar

Dihubungi secara terpisah, Riqi mengungkap bahwa pihaknya saat ini tengah menggarap tiga proyek digital comic dengan menggunakan NFT. Proyek perdananya Paras Comic baru saja meluncur yang mana kontennya dikerjakan oleh kreator in-house.

Adapun, mayoritas pengguna Paras berasal dari kalangan crypto-native dan tech savvy. Namun, Riqi menyebut platformnya mulai digunakan oleh kalangan early adopter yang belum awam terhadap teknologi blockchain dan cryptocurrency.

Paras Digital NFT
Paras Digital akan memperluas aset NFT ke beberapa vertikal, seperti komik dan game

“Kami membidik pasar pop-culture enthusiast, seperti fandom dan gamer dengan fokus pada Tiongkok dan Asia Tenggara. Hingga saat ini, total volume penjualan kami mencapai $550 ribu dari total 400 ribu transaksi,” tuturnya. Mengingat Paras dibangun di atas NEAR Protocol, transaksi jual-beli ini baru bisa menggunakan cryptocurrency NEAR.

Riqi menilai volatilitas kripto tetap menjadi tantangan tersendiri. Apalagi ketika pasar kripto menurun, otomatis transaksi dan penjualan akan mengikuti. Kendati begitu, ia mengaku bersemangat menekuni dunia kripto mengingat selalu ada hal baru di ekosistem blockchain.

“Ini yang mengharuskan kami untuk constantly learning and innovating. Meski kebanyakan core team Paras berasal dari Indonesia, kami tetap harus update tentang inovasi yang terjadi di belahan dunia sana. Belum lagi bicara soal perbedaan waktu antara Indonesia dan beberapa negara yang menjadi ‘epicenter blockchain‘ seperti Lisbon dan Amerika Serikat,” tambahnya.

Eden Farm Umumkan Pendanaan Seri A 271 Miliar Rupiah Dipimpin AppWorks dan AC Ventures

Startup agritech Eden Farm mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $19 juta atau setara 271,1 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh AppWorks dan AC Ventures, dengan partisipasi dari Trihill Capital, OCBC Ventures, Investible, Corin Capital, dan investor terdahulu Global Founders Capital.

Pendanaan ini melanjutkan perolehan Eden Farm dalam putaran pra-seri A yang dipimpin investible pada Februari 2021 lalu. Mengusung misi “Feeding the Nation”, Eden Farm membangun jaringan distribusi pangan terintegrasi sejak 2017. Tujuannya untuk menyederhanakan rantai pasokan demi meningkatkan margin dengan mengurangi harga dan memotong perantara.

Dalam layanannya mereka juga memberikan demand forecast yang akurat bagi petani dengan menerapkan akselerasi digital, dan mencapai prediktabilitas produksi.

Dari statistik yang disampaikan, saat ini Eden Farm melayani 53 ribu pelanggan dan bermitra dengan lebih dari 2 ribu petani di pulau Jawa. Untuk mendukung rantai pasok, mereka juga mengoperasikan 5 Eden Fulfillment Center di lokasi-lokasi strategis dan didukung oleh 400 rekanan supplier ketersediaan produk.

Sementara itu, sejak 2019 AppWorks telah berpartisipasi ke sejumlah pendanaan startup lokal, di antaranya pendanaan seri C HarukaEDU (Nov 2019), pendanaan seri C Fabelio (Jun 2020), Pendanaan seri A InfraDigital (Jun 2020), dan pendanaan pra-seri B iSeller (2021).

Selain Eden Farm, sejumlah startup agritech lokal juga mencoba menyelesaikan isu yag sama. Salah satunya adalah TaniHub Group. Mei 2021 lalu, mereka dikabarkan telah mendapatkan pendanaan seri B senilai $65,5 juta (lebih dari 940 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh MDI Ventures. Putaran ini membawa valuasi TaniHub melambung senilai lebih dari $200 juta. Tanihub sendiri saat ini memiliki beberapa unit bisnis, termasuk di bidang rantai pasok, pembiayaan, hingga edukasi petani.

Fokus menyelesaikan isu rantai pasok

Menurut laporan BPS, Indonesia memiliki lebih dari 33,4 juta petani, dengan sektor pertanian berkontribusi sebesar 14% dari PDB Indonesia atau pasar senilai $140 miliar yang bertumbuh 12,93% per kuartal (QoQ). Namun demikian, sektor pertanian masih memiliki tantangan besar terkait efisiensi rantai pasok dan kesejahteraan petani dengan banyaknya kebocoran yang terjadi di berbagai lapis rantai pasok.

Dari permasalahan tersebut, Eden Farm memang memilih untuk fokus menyelesaikan isu di rantai pasok. “Kami memperkuat dua fondasi penting di sisi pasokan dan permintaan dengan membangun Eden Farm Sourcing Center (ESC) dan Eden Farm Distribution Network (EDN),” terang Co-founder & CEO Eden Farm David Gunawan dalam sebuah wawancara dengan DailySocial.id.

ESC adalah program kerja sama langsung dengan petani untuk menentukan pola tanam, kepastian harga jual, dan kepastian jumlah hasil tani yang diambil setiap harinya. Sedangkan EDN adalah jaringan distribusi yang dibuat dengan memberdayakan masyarakat. EDN tersebar di berbagai lokasi serta berada dalam radius 5 km dari pelanggan sehingga pengiriman lebih cepat dan efisien.

“Eden Farm fokus merevolusi rantai pasok produk segar dan menciptakan pertahanan yang kuat di bidang teknologi pertanian hulu. Sebagai investor awal di Eden Farm, kami melihat mereka telah bertumbuh dan berhasil meraih pencapaian mereka saat mereka meningkatkan demand channels dan membangun hubungan yang lebih kuat dengan petani di lapangan. Kami percaya, Eden Farm dapat memimpin industri ini menuju digitalisasi dan menjadi pemimpin di bidang teknologi pertanian B2B,” ujar Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Fokus di segmen B2B

Untuk saat ini, sektor F&B memiliki ukuran pasar bernilai $92 miliar, dengan sektor makanan yang diperkirakan akan tumbuh pada CAGR sebesar 8,7%. Mereka pun menjadi salah satu penyerap terbesar produk-produk pertanian.

Proses bisnis yang dilakukan Eden Farm salah satunya menjembatani kebutuhan di sisi industri, lalu menghubungkan dengan para petani. Mereka mengklaim telah memiliki sistem operasional yang kuat dengan pengadaan produk langsung dari petani, menciptakan pertahanan di bidang pertanian hulu dan daya tarik pertumbuhan melalui pasar B2B yang beragam.

Fokus pada pasar B2B, Eden Farm memasok bahan makanan berkualitas tinggi ke berbagai segmentasi pelanggan, termasuk hotel, restoran, & cafe (HORECA), pasar tradisional, dan e-commerce.

Application Information Will Show Up Here

Grup Konglomerasi Media EMTEK Caplok 93% Saham Bank Fama

Teka-teki kabar pendirian bank digital oleh EMTEK dan Grab mulai muncul satu-persatu. Perusahaan konglomerasi media dan teknologi PT Elang Mahkota Teknologi (IDX: EMTK) akan mengakuisisi PT Bank Fama International. Melalui anak usahanya PT Elang Media Visitama (EMV), EMTEK akan mengambil alih sebanyak 93% atau setara 9.089.503.800 lembar saham milik Bank Fama.

Rencana tersebut disampaikan dalam prospektus akuisisi yang diterbitkan Bank Fama pada surat kabar. Bank Fama mencari investor baru demi memenuhi kewajiban modal inti minimum Rp2 triliun per akhir 2021 sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 12.

Dalam pernyataannya, aksi korporasi ini menjadi jalan masuk taipan milik Sariaatmadja tersebut untuk meningkatkan literasi keuangan dan perbankan ke sektor UMKM. Selain itu, Bank Fama juga dapat memanfaatkan kekuatan finansial, jaringan bisnis, produk, dan keahlian sektoral EMV.

“EMV juga berencana mempertahankan tim manajemen Bank Fama yang ada saat ini. EMV berencana mendukung dan meningkatkan kegiatan pengembangan karyawan untuk membangun keahlian dan kemampuan karyawan dalam mendukung kegiatan utama Bank Fama,” demikian pernyataan manajemen Bank Fama.

Untuk merampungkan proses akuisisi, Bank Fama akan melaksanakan RUPSLB pada 5 September 2021, sedangkan EMV pada 6 Desember 2021. Adapun pengajuan permohonan pengambilalihan ke OJK akan dilakukan pada 8 Desember. Pihaknya memperkirakan akuisisi ini rampung pada 28 Desember usai mengantongi restu dari OJK dan Kemenkumham.

Sedikit informasi, Bank Fama berkantor pusat di Bandung dan berdiri sejak 1993 sebagai bank umum dengan modal awal disetor Rp10 miliar. Bank Fama memiliki beberapa jaringan kantor secara online di Bandung, Jakarta, dan Tangerang dengan fokus pasar pada segmen ritel, khususnya UKM. Saat ini, Bank Fama memiliki modal inti utama senilai Rp1,001 triliun per Desember 2020.

Eks petinggi CIMB Niaga pimpin Bank Fama

Sebelum berita ini diturunkan, EMTEK dikabarkan akan mendirikan bank digital bersama platform super app Grab. Menyusul setelahnya, Tigor M Siahaan diberitakan resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Direktur dan CEO PT Bank CIMB Niaga Tbk.

Menurut pemberitaan Katadata, Tigor akan memimpin bank digital hasil patungan (joint venture) EMTEK dan Grab tersebut. Bank ini dikabarkan akan terintegrasi dengan berbagai ekosistem digital, mulai dari commerce, online-to-offline (O2O), dan pembayaran digital.

Bertambahnya jumlah bank yang bertransisi ke digital dan kolaborasinya dengan platform digital akan semakin memperkuat prospek dan peta persaingannya di tahun depan. Terlebih, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merilis aturan baru yang memberikan batasan yang jelas terkait pendirian bank.

Berdasarkan catatan kami, Bank Jago bersinergi dengan Gojek, Bank Neo Commerce dengan Akulaku, BCA Digital dengan Blibli, hingga Seabank oleh Sea Group. Jumlah ini diproyeksi akan bertambah seiring dengan meningkatkan akselerasi digital di Indonesia.

Menyoroti hal ini, Advisor Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero sempat mengungkap bahwa sektor keuangan begitu besar di Indonesia. Maka itu, jangan sampai perannya diberikan kepada sektor perbankan saja. Selain potensi bisnisnya besar, ia meyakini masih ada segmen pasar yang belum tergarap dengan baik di Indonesia dan hanya bisa terlayani lewat kanal digital

“Platform digital akan memudahkan sinergi dengan layanan keuangan digital lainnya, misalnya layanan investasi dan asuransi. Namun perlu dicatat, biaya dan risiko terbesar dari transisi digital adalah kegagalan mempertahankan pangsa dan segmen pasar. Faktor tersebut dapat membuat bank menjadi tidak relevan,” tambahnya.

MNC Group Kini Pakai Brand “Motion” untuk Seluruh Layanan Keuangan Digital

Langkah MNC Kapital (BCAP), anak usaha khusus layanan keuangan di bawah MNC Group, untuk menyatukan seluruh talenta fintech di bawah naungan Motion Technology (MotionTech) menjadi pembuktian dari stakeholder untuk bersaing dengan serius di ranah keuangan digital. Keputusan tersebut berdampak pada perubahan seluruh brand di bawah BACP menjadi Motion.

Peneliti INDEF Nailul Huda berpendapat strategi ini dimaksudkan untuk mengajak konsumen baru mengenal lebih dekat dengan brand Motion yang terkesan segar, menghilangkan kesan MNC Group yang selama melekat lewat brand lama. “Kalau MNC punya branding kuat di perusahaan TV-nya. Saya rasa ini tepat untuk bersaing,” kata Huda kepada DailySocial.id.

Kesempatan itu juga didorong oleh masih luasnya kesempatan BCAP untuk menggarap penetrasi produk keuangan yang masih terfragmentasi di Indonesia. Di antaranya, sub pangsa pasar yang belum digarap, tingginya jumlah masyarakat unbanked dan underbanked. “Jadi persaingan tampaknya akan sangat seru.”

Pernyataan Huda ini sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Produk keuangan digital yang beredar saat ini masih terpusat di kota besar dan masih butuh waktu untuk memperkenalkan ke pelosok daerah. Masing-masing dari vertikal fintech ini belum ada yang menjadi pemain dominan di pasar.

Ambil contoh terdekat adalah kehadiran bank digital yang ramai-ramai digarap oleh banyak pihak untuk menyasar segmen baru. Dengan kemudahan proses pengajuan, tanpa harus datang ke kantor cabang, jadi kemudahan awal yang diberikan agar dapat lebih mudah on boarding nasabah baru.

Akan tetapi, menurut pantauan DailySocial.id, semua fitur yang hadir saat ini di banyak aplikasi bank digital ini tingkat urgensi untuk menggunakannya masih ada di tahap “nice to have”, alias belum mendesak untuk menggantikan dari layanan yang dipakai sebelumnya.

Meski begitu, kesempatan bank digital lebih memiliki untuk hadir di tengah masyarakat sangat memungkinkan berkat keberadaan teknologi embeded finance/Banking-as-a-Service yang disematkan di berbagai aplikasi konsumer populer. Langkah tersebut sudah diujicobakan, salah satunya oleh Cermati yang bekerja sama dengan blu by BCA Digital yang sudah hadir di aplikasi Blibli.

Mimpi besar yang disampaikan lewat teknologi tersebut adalah di masa depan masyarakat tidak lagi melihat di mana uangnya disimpan, di mana kantor cabang, jumlah ATM, dan lainnya, sama halnya saat menggunakan aplikasi e-money GoPay atau OVO. “Dengan fenomena adopsi internet dan smartphone selama satu dekade ini, bisnis bank akan tetap sama, tetapi delivery-nya saja yang kini mulai berbeda,” ucap Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah.

MotionTech

Lebih lanjut, dalam keterangan resmi disampaikan bahwa MotionTech akan mengawasi semua inisiatif BCAP sebagai penyedia layanan keuangan digital terdepan, terlengkap, dan terintegrasi. BCAP memiliki berbagai lini produk keuangan, mulai dari perbankan digital, pembiayaan, perdagangan saham, asuransi, manajemen aset, e-money, dan lainnya.

Pertama, MotionBanking merupakan aplikasi perbankan digital yang akan menjadi lokomotif penggerak keseluruhan brand Motion. Di dalam MotionBanking terdapat kartu debit dan kredit virtual MotionVisa dan MotionMasterCard. Kedua, MotionPay, platform e-money, e-wallet, dan transfer digital. Ketiga, MotionTrade untuk aplikasi online trading saham yang sebelumnya bernama MNC Trade New sudah dirilis sejak 2016. Terakhir, MotionInsure, aplikasi insurtech.

Dalam rencana pengembangan, segera hadir MotionCredit sebagai aplikasi lending termasuk menghadirkan BNPL; MotionFunds sebagai platform reksa dana online; dan MotionSeeds sebagai aplikasi securities crowdfunding.

Ekosistem fintech MNC Group lewat Motion Technology / MNC Kapital

Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo menjelaskan langkah ini memperlihatkan komitmen BCAP untuk menempatkan inovasi digital sebagai poros binsis perbankan dan jasa keuangan memasuki babak baru dengan pembentukan talent pool ahli fintech yang berdedikasi untuk membangun Motion Technology, ekosistem fintech end-to-end milik MNC Financial Services.

“Setiap aplikasi fintech dalam ekosistem MotionTech memiliki peran strategis untuk saling menunjang satu sama lain. Di samping itu, dengan ekosistem Open API, BCAP juga akan terus berkolaborasi dengan pihak ketiga untuk saling melengkapi dan menguatkan ekosistem MotionTech secara seamless,” ungkap Hary dalam keterangan resmi.

JIWA Group Terima Pendanaan, Konsep “Grab & Go” Mengubah Lanskap Industri Kopi Lokal

Startup coffee chain “JIWA Group” atau dikenal dengan salah satu produknya Kopi Janji Jiwa, mengumumkan telah mendapatkan pendanaan dari Openspace dan Capsquare Asia Partners. Tidak disebutkan mengenai nominal investasi yang didapat, hanya saja disampaikan bahwa dana segar akan difokuskan untuk meningkatkan ekspansi bisnis. Terlebih kedua investor tersebut dinilai telah memiliki praktik terbaik di pasar value-chain lokal dan regional.

Sejak meluncur di tahun 2018, kini mereka telah menaungi 3 brand produk. Selain kopi, ada Jiwa Toast dan Jiwa Tea. Total ada sekitar 1000 outlet yang dioperasikan di 100 kota di Indonesia. Sepanjang 2021 ini, mereka mengatakan telah menjual 40 juta produk dengan peningkatan 2x lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

“Kami percaya brand JIWA yang kuat, penawaran produk yang unik, 1000 lokasi offline yang kuat, ditambah dengan meningkatnya penggunaan teknologi di semua elemen bisnis akan terus memantapkan posisinya sebagai pemimpin pasar,” ujar Executive Director Openspace Jessica Huang Pouleur.

Pengembangan teknologi dan strategi omnichannel

Menurut pemaparan Founder JIWA Group Billy Kurniawan, pertumbuhannya impresif yang didapat tak terlepas dari peran kanal digital. Termasuk penggunaan media sosial untuk engagement dengan pelanggan, hingga integrasi dengan platform online marketplace dan food delivery.

Mereka juga sudah meluncurkan aplikasi JIWA+, untuk mendukung model “grab & go” yang sejak awal menjadi khas Kopi Janji Jiwa. Pengguna bisa memesan menu dan membayar melalui aplikasi, kemudian bisa memilih opsi untuk ambil di outlet terdekat atau diantar ke lokasi. Di dalam aplikasi juga dibuat sistem loyalty untuk meningkatkan retensi pelanggan.

Selain meningkatkan operasi seperti menambah outlet, produk, warehouse, dan logistik, dengan dukungan dari para investor JIWA juga ingin mengakselerasi penggunaan teknologi. Fokusnya di beberapa area, seperti peningkatan pengalaman pelanggan, supply chain, dan mereduksi carbon footprint. Para founder juga memiliki misi untuk menjadi pemimpin industri untuk segmen F&B yang diberdayakan dengan teknologi, untuk selanjutnya masuk ke pasar Asia.

“Inovasi dan kepuasan pelanggan selalu menjadi bagian dari DNA Jiwa Group, memastikan kami tetap relevan dan berkelanjutan di industri F&B yang dinamis,” kata Billy.

Naik kelas bisnis F&B lewat digital

Menurut riset (MIX, 2020), 40% pelanggan kopi di Indonesia mulai beralih ke gerai grab & go. Permintaan ini didukung oleh pergeseran dari kopi instan, karena konsumen menginginkan minuman yang lebih berkualitas — serta memadukan dengan makanan ringan pelengkap. Menurut laporan yang dihimpun Statista, revenue dari bisnis kopi (roast coffee) akan mencapai $9,5 miliar di tahun ini. Diperkirakan akan mengalami pertumbuhan CAGR 9,76% sampai periode 2025.

Untuk menjaga tren pertumbuhan, para pemain industri memulai memanfaatkan kanal digital. Strategi tersebut dilakukan beriringan dengan peningkatan jumlah gerai. Konsep grab & go sendiri memang sangat bergantung dengan keberadaan gerai, kendati tidak sedikit yang hanya dijadikan tempat produksi (tanpa memiliki ruang untuk dine-in).

Aplikasi didesain untuk menghubungkan konsumen dengan outlet, membawa dari online menuju offline – atau sebaliknya. Model ini cukup efisien, karena perusahaan pun bisa memanfaatkan data yang didapat dari kebiasaan konsumen yang tercatat di aplikasi, sehingga dapat menyuguhkan produk dan layanan yang lebih sesuai dengan pangsa pasarnya. Dari sisi konsumen, adanya kemudahan dan value added menjadikan mereka mau untuk memanfaatkan aplikasi.

Para pemilik brand coffee chain terus berinvestasi mengembangkan teknologi. Selain memanfaatkan platform yang sudah ada, mereka juga membuat aplikasinya sendiri. Beberapa aplikasi bahkan menempati peringkat yang cukup signifikan. Berdasarkan pengamatan kami terhadap statistik Google Play per 05 November 2021, didapat data ini dari kategori Food and Drink:

Peringkat Aplikasi Unduhan Rating
6 Kopi Kenangan 1 juta+ 4,6
13 Boba Ceria 100 ribu+ 4,3
17 Chatime Indonesia 500 ribu+ 4,5
21 JIWA+ 100 ribu+ 4,7
22 ISMAYA 100 ribu+ 4,4
24 Fore Coffee 100 ribu+ 4,6
61 Flash Coffee 50 ribu+ 4,6
92 KULO 10 ribu+ 1,7

Didukung investor startup teknologi

Adopsi teknologi dalam model bisnis coffee chain menjadi perhatian tersendiri bagi investor. Dengan roadmap yang ada, para pemain mampu memberikan pembuktian dan proyeksi bisnis yang mengesankan – tidak hanya bisnis kopi saja, tapi F&B secara umum. Layanan berbasis food tech kemudian banyak terlahir dari inovator. Peluang pemanfaatan teknologinya sendiri memang menyeluruh, mulai dari supply chain bahan baku, untuk efisiensi operasional dan transaksi, hingga distribusi.

Dengan hipotesis masing-masing, saat ini beberapa pemodal ventura di Indonesia turut masuk ke industri tersebut, di antaranya:

Pemodal Ventura Portofolio
Alpha JWC Ventures Google, Hangry, Kopi Kenangan, Lemonilo, Mangkokku
East Ventures Fore Coffee, Greenly, Legit Group
AC Ventures Coffee Meets Bagel, Fore Coffee
Vertex Ventures Dailybox
Openspace Ventures JIWA Group
SALT Ventures Hangry, Shiru

Kendati demikian, model bisnis kopi juga terus berkembang di Indonesia. Tahun 2020 lalu, Jago Cofee memperkenalkan diri dengan mobile coffe chain. Alih-alih dengan outlet, mereka memanfaatkan mitra untuk mendistribusikan produk berkeliling dengan gerobak yang sudah disediakan dan didesain khusus. Sama, Jago juga turut memanfaatkan aplikasi untuk memudahkan pelanggannya menemukan mitra dan melakukan pemesanan.

Lanskap industri ini menjadi menarik, apalagi kini Kopi Kenangan sebagai salah satu pemimpin pasar coffee chain berpotensi akan menjadi unicorn pertama dalam waktu dekat. Diketahui valuasi mereka sudah menembus hampir $900 juta. Artinya pangsa pasarnya memang sudah sebesar itu dan model bisnis yang diadopsi bisa diterima dengan baik dan di-scale up lebih besar lagi.

Application Information Will Show Up Here

Xendit Incar Pengguna UMKM, Rilis Aplikasi Bisnis dan “Online Store”

Keseriusan Xendit untuk menggarap sektor UMKM, termasuk pedagang individu dan social seller, terlihat dari berbagai inovasi yang diluncurkan. Perusahaan merilis tiga solusi, dengan dua di antaranya dikhususkan untuk sektor UMKM, yakni Aplikasi Xendit Bisnis dan Xendit Online Store.

Founder & CEO Xendit Moses Lo menuturkan, aplikasi ini hadir untuk melayani pelanggan bisnis Indonesia yang mayoritas menggunakan smartphone untuk mengoperasikan bisnisnya, ketimbang memakai laptop. “Dengan adanya aplikasi ini, sekarang semua orang bisa mengatur transaksi pembayaran digital secara lebih mudah dan lebih aman. Untuk mendukung mobilitas, pelanggan Xendit bisa mengeluarkan invoice dan menerima berbagai metode pembayaran,” ucapnya.

Tak hanya mengatur dan menerima pembayaran online dari pembeli, aplikasi Xendit Bisnis juga ditenagai dengan berbagai fitur. Salah satunya adalah Order Management yang memungkinkan pebisnis bisa memroses keseluruhan transaksi secara otomatis, mulai dari memasukkan pesanan dari pembeli, mengatur pengiriman, hingga merekap semua pembelian.

Dengan begitu, operasional bisnis online bisa berjalan dengan lancar dan efisien dalam hal penghematan waktu. Product Manager Xendit Andri Setiawan menuturkan aplikasi ini juga dapat menyimpan kontak pelanggan agar pebisnis dapat lebih mudah mengirim invoice tagihan.

“Dalam invoice tersebut berisi detail tagihan beserta link pembayaran yang akan mengarahkan konsumen ke berbagai metode pembayaran yang dipilih oleh penjual dan dapat dipilih konsumen. Dana akan langsung diterima penjual begitu pembayaran telah diselesaikan,” kata Andri.

Dia melanjutkan, ke depannya aplikasi Xendit Bisnis akan terus menambah fitur untuk mempermudah pedagang dapat bertransformasi digital. Di antaranya, mengintegrasikan Xendit Online Store dengan aplikasi, mengelola inventori cek ongkos kirim, dan pemesanan layanan logistik. Xendit Bisnis sudah bisa diunduh di Play Store dan App Store.

Solusi bisnis kedua yang diumumkan Xendit adalah Xendit Online Store untuk permudah pebisnis untuk mendirikan toko online-nya sendiri. Fitur ini memungkinkan pebisnis untuk memiliki toko dengan URL unik dalam waktu kurang dari lima menit dan sudah dilengkapi dengan fitur pilihan metode pembayaran yang dimiliki Xendit.

Fitur ini tersedia secara gratis dan dapat langsung dimanfaatkan oleh pebisnis individu dan UMKM yang telah terdaftar di Xendit, untuk memperbesar jangkauan pembeli dan memperkuat kanal penjualannya, tanpa bergantung pada platform e-commerce lain. Untuk mengakses ini, pengguna dapat menavigasi ke Dashboard, pilih “Store/Toko” dan pilih “Online Store/Toko Online.”

Solusi untuk korporasi

Solusi bisnis ketiga adalah XenSol (Xendit Solution), hasil kerja sama dengan Andrew Tani & Co. (ATC). Solusi ini lebih diarahkan untuk pelaku bisnis skala besar yang berupaya melakukan transformasi digital secara menyeluruh. Perusahaan bisa menggunakan layanan konsultasi dari ATC dan Xendit akan mendukung transformasi digital tersebut dengan menyediakan infrastruktur pembayaran digital yang lebih baik. Nantinya, Xendit berencana mengajak partner serta agensi yang relevan sebagai mitra untuk menjalankan program XenSol secara berkelanjutan.

Penambahan solusi baru tersebut diharapkan dapat mempermudah semua pelaku bisnis dengan akses digital demi menciptakan lingkungan persaingan yang setara, sehingga semua bisnis dapat tumbuh dengan baik. Target ini sejalan dengan yang diusung pemerintah untuk membawa lebih dari 30 juta UMKM untuk go digital pada 2025 mendatang.

Sebelumnya, pada Agustus 2021, perusahaan telah meluncurkan fitur Xendit Inventory Sync Tool, sebuah inovasi teknologi multi-channel untuk mengelola stok inventaris produk yang dijual online marketplace, maupun situs Shopify dan Woocommerce. Fitur ini memudahkan pelaku bisnis untuk memantau dan mengatur jumlah stok di masing-masing kanal dalam satu dasbor yang rapi dan terintegrasi.

Selain membuat fitur sendiri, Xendit juga turut berinvestasi untuk majoo, startup SaaS pengembang solusi omnichannel. Bisa dipastikan kedua perusahaan akan saling memanfaatkan ekosistem satu sama lain untuk mengembangkan solusi untuk UMKM, meski rencana tersebut belum diumumkan secara resmi.

Secara keseluruhan, Xendit telah memroses lebih dari 110 juta transaksi per tahun dengan total volume lebih dari Rp142 triliun. Xendit ingin menyederhanakan proses pembayaran untuk semua skala bisnis di Indonesia, Filipina, dan Asia Tenggara. Xendit memungkinkan bisnis untuk menerima pembayaran, mencairkan, pencairan payroll, menjalankan marketplace, dan lainnya.

Digitalisasi UMKM

Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dari 64,2 juta unit UMKM, baru 19% di antaranya yang sudah masuk ke ekosistem digital. Pemerintah sendiri menargetkan 30 juta unit UMKM bisa memasuki ekosistem digital pada 2024.

Tak hanya Xendit, ada banyak perusahaan yang menyediakan ragam solusi untuk permudah jalan masuk UMKM go digital dari berbagai aspek bisnis, baik itu fintech, supply chain, logistik, e-commerce, pemasaran, dan lain-lain. Menurut data di laporan MSME Empowerment Report 2021 yang diterbitkan DSInnovate, terdapat beberapa permasalahan mendasar yang saat ini dialami oleh pelaku UMKM di Indonesia, di antaranya:

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, 83% dari pelaku UMKM mengaku menggunakan layanan dari startup digital. Dari hipotesis tersebut, para founder pun bergairah untuk menghadirkan ragam produk dengan proposisi nilai yang berbeda-beda. Saat ini ada puluhan startup yang menghadirkan berbagai jenis SaaS di segmen tersebut.

Aplikasi Briefer Ingin Jembatani UMKM dengan Pekerja di Bidang Komunikasi

PT Kreasi Komunikasi Digital, unit strategis dari IGICO Advisory, resmi meluncurkan Briefer sebagai aplikasi kolaborasi untuk mewadahi pekerja di bidang komunikasi. Platform tersebut secara khusus dirancang untuk praktisi komunikasi yang berfokus pada bidang public relations, brands, dan keahlian terkait lainnya.

Nantinya layanan tersebut dapat dinikmati pengguna di perangkat Android dan iOS untuk menemukan mitra di bidang terkait yang menunjang kebutuhan bisnisnya.

Dengan misi ingin menjadi sebuah ‘sistem operasi’, Briefer mencoba membangun ekosistem kolaborasi komunikasi berbasis cloud yang memungkinkan para  praktisi bekerja sama dengan pelaku bisnis, UMKM, organisasi, maupun pemerintah di Indonesia.

Founder & CEO Briefer Aditya Sani menjelaskan, peluncuran layanan tersebut menjadi upaya terobosan dan new way of working di era digital yang mampu memfasilitasi dinamika kebutuhan industri komunikasi. Briefer menyediakan tempat bagi setiap pelaku komunikasi, khususnya tenaga lepas, supaya bekerja dengan standar yang setara dalam sebuah ekosistem.

“Kami melihat adanya ketimpangan keahlian dan standar kerja di antara tenaga lepas di industri komunikasi, utamanya antara kota besar dengan area sekunder yang berdampak pada kesejahteraan ekonomi para pelaku. Kami hadir untuk menjawab masalah dan tantangan tersebut dengan membangun teknologi yang tepat guna, serta berkolaborasi dengan mereka yang memiliki pengalaman dan spesialisasi khusus di bidang komunikasi dari berbagai daerah untuk memenuhi kebutuhan pelaku UMKM, bisnis, organisasi maupun pemerintah,” tambah Aditya.

Fitur yang ditawarkan

Untuk saat ini, aplikasi memang belum siap untuk publik. Sembari menyempurnakan pengembangannya, tim Briefer terus membangun kemitraan dengan pihak-pihak terkait. Proses soft-launching yang dilakukan Rabu (03/11) juga menandai dimulainya proses kurasi para calon spesialis berdasarkan keahlian masing-masing untuk bergabung menjadi kolaborator dan keluarga Briefer.

Dengan aplikasi yang diluncurkan, nantinya pelaku UMKM atau pengguna lainnya dapat berkonsultasi langsung dengan spesialis melalui Chat, Virtual Meeting, dan Tatap muka menggunakan mekanisme hourly rate yang diatur lewat aplikasi.

Dengan mendengarkan berbagai aspirasi dari para pelaku industri, pada tahap awal ini, Briefer memperkenalkan 5 produk komunikasi yaitu pembuatan siaran pers atau artikel, media monitoring, penyelenggaraan webinar, mencari videografer/fotografer. dan talenta untuk mendukung penyelenggaraan acara.

“Kami percaya bahwa karya terbaik berasal dari kolaborasi. Karenanya melalui Briefer, kami berharap dapat membangun kolaborasi lintas stakeholder dalam ekosistem komunikasi yang sehat, kredibel, komprehensif dan efektif,” imbuh Aditya.

Kebutuhan relasi publik UMKM

Tidak hanya korporasi, UMKM juga dapat memanfaatkan pakar komunikasi untuk melakukan strategi relasi publik yang baik. Ada berbagai agenda yang dapat dilakukan, misalnya melakukan relasi media untuk meningkatkan presence dari bisnis atau brand yang dikembangkan. Selain meningkatkan awareness, liputan media juga memiliki manfaat seperti terbangunnya kepercayaan publik atas layanan tertentu. Biasanya butuh keahlian khusus untuk dapat mengeksekusi strategi tersebut secara optimal.

Namun demikian, salah satu pain point yang banyak dirasakan pelaku UMKM, untuk menyewa jasa agensi pakar komunikasi harus merogoh kocek yang tidak sedikit – kendati beberapa perusahaan relasi publik juga mulai membuat paket untuk UMKM/startup. Adanya platform seperti Briefer sebenarnya bisa menjadi angin segar, alih-alih menyewa layanan yang menyeluruh dan mahal, pelaku UMKM bisa memilih layanan ala carte alias seperlunya – apalagi dilakukan oleh pekerja paruh waktu, biasanya biayanya cenderung lebih terjangkau.

Kendati tidak mengkhususkan diri ke layanan penyedia pakar komunikasi, sebenarnya di Indonesia sudah ada beberapa platform yang mengakomodasi pekerja lepas, termasuk di bidang relasi publik. Beberapa di antaranya Getcraft, Sampingan, Sribulancer, Fastwork, dan lain-lain.