Startup Edtech B2B ProSpark Umumkan Pendanaan Awal, Dipimpin AC Ventures

ProSpark, startup pengembang platform learning management system (LMS) untuk segmen B2B, hari ini (07/5) mengumumkan telah mendapatkan investasi lanjutan untuk putaran pendanaan awal mereka. Dipimpin AC Ventures, beberapa investor lain yang terlibat meliputi 500 Startups, Azure Ventures, Prasetia Dwidharma (follow-on), Assembly Ventures, dan beberapa angel investor. Beberapa di antaranya merupakan investor yang terlibat dalam pre-seed mereka April 2020 lalu. Tidak disebutkan nominal nilai yang didapat.

Layanan LMS ProSpark memadukan antara fitur marketplace konten terdistribusi dengan sistem gamifikasi yang mendorong keterlibatan pengguna di sebuah organisasi. Lewat platform tersebut perusahaan bisa melatih dan meningkatkan keterampilan para tenaga kerjanya secara daring. Pendanaan ini juga dinilai hadir pada momentum yang tepat, perubahan perilaku akibat pandemi mendorong pertumbuhan dan permintaan akan layanan edtech untuk bisnis.

Secara spesifik dana segar juga akan digunakan untuk memperluas pasar dan meningkatkan infrastruktur teknologi. Saat ini ProSpark tengah berjuang untuk segera memulai rencana ekspansi regional di Asia Tenggara. Berbasis di Singapura, layanan ProSpark dijajakan untuk pengguna di Indonesia; dan sekarang sudah mulai meluas ke Filipina.

“Para perusahaan terus mencoba menemukan pendekatan terbaik mereka di tengah pandemi. Sekarang setelah e-learning berkembang, pembelajaran offline menjadi relatif lebih mahal, tidak efisien dan kurang skalabel. Layanan ProSpark hadir dengan solusi yang dipersonalisasi dan terukur, melalui pembelajaran adaptif dengan hasil yang dapat dipantau,” ujar Co-Founder & CEO ProSpark Alfa Bumhira.

Ia melanjutkan, “Pendanaan ini akan membantu kami memperluas pengalaman pengguna secara end-to-end dengan menyediakan solusi konten yang lebih luas, kemampuan pemetaan kesenjangan kompetensi yang lebih baik, dan fokus pada hasil pembelajaran pengguna [..] Ini adalah produk yang tepat, di waktu yang tepat, di wilayah yang tepat.”

Sektor pendidikan untuk korporat kini berkembang mengikuti tren kegiatan pengembangan diri yang dapat dilakukan fleksibel melalui aplikasi. Sebenarnya layanan edtech B2B sendiri sudah coba digarap beberapa pemain lain di Indonesia. Dimulai dari HarukaEDU dengan produknya CorporateEdu, kemudian juga platform SaaS Mekari yang juga merilis Mekari University di tahun lalu, ada juga Codemi yang telah mendapatkan dukungan permodalan dari unit ventura besutan mantan founder Bukalapak. Masing-masing tentu memiliki pendekatan yang berbeda.

“Tenaga kerja offline berisiko tertinggal dalam ekonomi digital baru dan masalah ini telah dipercepat oleh pandemi global. Melatih tenaga kerja dengan keterampilan yang mereka butuhkan untuk bertahan dan berkembang sangat diperlukan [..] Kami yakin solusi e-learning ProSpark dapat berkembang di seluruh kawasan Asia Tenggara dan mengatasi masalah peningkatan keterampilan ini di berbagai sektor,” ujar General Partner 500 Startups Binh Tran.

Application Information Will Show Up Here

Melihat Besarnya Potensi Industri Halal, Investree Syariah Incar Tambahan Lender Institusi

Masih besarnya potensi bisnis syariah yang belum tergarap, membuat Investree Syariah, unit usaha lending milik Investree, akan fokus memperluas produk pembiayaan dan segmen usaha yang bidik pada tahun ini. Mencari lender institusi juga menjadi rangkaian strategi perusahaan untuk mencapainya.

Berdasarkan data Investree, sepanjang tahun lalu Investree Syariah mencatatkan penyaluran sebesar Rp229,8 miliar dengan pertumbuhan 107% dari tahun sebelumnya. Pembiayaan tersebut untuk 163 peminjam dengan kontribusi 3.228 lender. Angka kontribusinya sebesar 7,2% dari total portofolio Investree, memiliki pangsa pasar sebesar 13% dari seluruh pemain fintech lending syariah di Indonesia.

VP Sharia Investree Arief Mediadianto mengatakan, sektor perdagangan diprediksi masih akan mendominasi portofolio pembiayaan syariah tahun ini. Namun, sektor lain seperti jasa IT berpotensi kembali tumbuh baik dipicu oleh kinerja tahun lalu.

“Target pembiayaan Investree Syariah di akhir tahun ini sebesar Rp320 miliar, naik 50% dari tahun lalu sekitar Rp220 miliar. Jadi sesuai dengan target kita, kontribusinya bisa lebih dari 7% dari portofolio pembiayaan Investree,” ucapnya dalam konferensi pers virtual, kemarin (6/5).

Adapun pada Q1 2021 ini Investree Syariah telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp10 miliar. Ditargetkan pada kuartal berikutnya dapat tembus ke angka Rp50 miliar. Menurut Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi, banyak potensi dan momentum dalam kuartal tersebut, seperti Lebaran dan Ramadan yang memungkinkan bisnis dapat lebih menggeliat.

Adrian melanjutkan, setidaknya ada empat fokus yang akan dijalankan perusahaan untuk menggenjot pembiayaan syariah di tahun ini. Pertama, memperbanyak sumber pendanaan dari lender institusi. Untuk itu, pihaknya sedang aktif membangun kolaborasi dengan bank umum syariah, BPR/BPD syariah. Komposisi antara lender institusi dengan ritel di Investree Syariah adalah 60:40.

Sebelumnya, BRI Syariah (kini menjadi Bank Syariah Indonesia) adalah salah satu lender institusi di Investree Syariah. Menurut Adrian, finalisasi kolaborasi dengan BSI sedang dalam penjajakan. “Sudah ada beberapa sedang diskusi dalam tahap advance, semoga Q2 ini sudah bisa direalisasikan,” kata dia.

Kedua, membangun kolaborasi yang lebih erat dengan industri halal, termasuk pariwisata dan kesehatan. Ketiga, membangun ekosistem kerja sama halal, seperti yang sudah dilakukan perusahaan dengan Dompet Dhuafa untuk pembiayaan hewan kurban. Terakhir, memperkaya produk syariah untuk rantai pasokan.

Saat ini, produk syariah yang tersedia di Investree Syariah, antara lain Invoice Financing, Pre-Invoice Financing Syariah, Working Capital Term Loan Syariah, dan Retail Seller Financing Syariah. Kontribusi terbesar datang dari Invoice Financing sebesar 89%, sisanya dari produk yang lain.

“Kami akan menambah variasi produk agar lebih kaya dan masyarakat bisa punya banyak opsi pembiayaan yang sesuai dengan bisnis modelnya,” pungkasnya.

Besarnya populasi muslim di Indonesia dinilai menjadi peluang besar bagi layanan berbasis syariah untuk bertumbuh. Di lanskap fintech lending, selain Investree, ada beberapa pemain yang juga fokus pada pembiayaan syariah, di antaranya Alami, Amanna, dan SyarQ. Platform fintech lainnya seperti LinkAja (pembayaran) dan Tamasia (investasi) juga mulai suguhkan opsi syariah kepada penggunanya.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Kembali Pimpin Pendanaan Lebih dari 28 Miliar Rupiah untuk Bonza

Bonza, startup analisis big data, mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $2 juta (lebih dari 28 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh investor terdahulunya, East Ventures, dengan dukungan Elev8.vc. East Ventures sebelumnya memberikan pendanaan tahap awal untuk Bonza pada Mei 2020 dengan nominal dirahasiakan.

Menurut keterangan resmi yang disebarkan hari ini (6/5), dana segar akan digunakan Bonza untuk mempercepat visinya menjadi perusahaan data terdepan di Asia Tenggara. Saat ini, mereka sedang mengembangkan platform untuk mendukung perusahaan agar lebih baik dalam memproses data dan menggunakan solusi AI melalui no-code platform.

Pendekatan no-code yang sedang dikembangkan Bonza nantinya memungkinkan tim teknis dan non-teknis untuk membangun dan menerapkan solusi berbasis data dalam skala besar.

Co-Founder & CEO Bonza Elsa Chandra menyampaikan, “[..] Investasi ini akan menjadi batu loncatan bagi kami untuk membangun tim engineering dan data science kelas dunia, mempercepat pengembangan platform kami, dan ekspansi pasar di seluruh Asia Tenggara.”

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, “Kebutuhan untuk membangun infrastruktur data menjadi sesuatu yang tak terhindarkan oleh semua organisasi. No-code platform Bonza mempercepat implementasi pemodelan data yang dibutuhkan perusahaan agar tetap kompetitif. Elsa dan Philip telah mengerjakannya dengan baik tahun lalu.”

Elsa melanjutkan, pembeda dari Bonza adalah platform-nya menghilangkan friksi dan hambatan yang dihadapi suatu organisasi saat membuat dan menerapkan solusi berbasis data berbasis untuk pertama kalinya guna menciptakan nilai tambah dari data mereka. Organisasi dapat mengintegrasikan berbagai sumber data dalam organisasi, kemudian membangun dan menggunakan model machine learning dalam user interface yang responsif.

Pengguna dapat mengotomatisasi integrasi data yang bertele-tele untuk pembuatan laporan, hingga pengurangan waktu implementasi solusi AI dari berbulan-bulan jadi beberapa hari. Elsa mencontohkan, satu pedagang di e-commerce yang telah menggunakan solusi Bonza kini mendapatkan sudut pandang 360 derajat pelanggan guna meningkatkan pengalaman dan personalisasi pelanggan.

Ilustrasi Produk Bonza / Bonza
Ilustrasi Produk Bonza / Bonza

Sementara pelaku fintech membangun mesin fraud detection secara real-time dan alat pemantauan yang dapat digunakan oleh tim fraud operations untuk mendapatkan wawasan dari tempat yang berbeda dan sumber data yang tidak terstruktur sehingga tingkat penipuan berkurang.

“Salah satu klien kami mengalami peningkatan GMV sebanyak tiga kali setiap triwulan sejak mereka mulai menggunakan Bonza karena mereka berhasil meningkatkan keefektifan pemasaran dan mengurangi customer churn dengan memanfaatkan real-time analytics,” terangnya.

Bonza sendiri merupakan perusahaan yang baru dirintis pada tahun lalu, diklaim telah mencapai titik profitabilitas di tahun pertamanya. Startup ini didirikan oleh Elsa Chandra dan Philip Thomas saat keduanya bekerja di Traveloka. Elsa mengelola investasi Traveloka, sedangkan Philip memimpin salah satu tim data science yang bertugas mengimplementasikan model machine learning untuk Traveloka.

Kioson Bentuk Anak Usaha Patungan Khusus Pengadaan “GudangPintar”

Kioson, perusahaan yang fokus pada pengembangan UMKM dan toko kelontong, mengumumkan pendirian anak usaha patungan khusus pengadaan (fulfillment center) GudangPintar.id demi mengakselerasi bisnis UMKM di Indonesia. Keeppack.id adalah mitra yang diajak Kioson untuk mendirikan GudangPintar.

Dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Kioson menyetorkan modal sebesar Rp700 juta atau 700 lembar saham dengan kepemilikan 70% saham dari total modal disetor PT Gudang Pintar Indonesia (GPI).

GudangPintar diharapkan dapat meningkatkan efisiensi di bidang logistik, khususnya dalam penyediaan layanan fulfillment center. Ia akan melengkapi ekosistem ritel digital Kioson yang saat ini telah mencapai lebih dari 80 ribu outlet ritel yang terdaftar di jaringan Kioson.

“[..] Kami bersama dengan Keeppack.id meluncurkan layanan fulfillment center GudangPintar. Layanan ini nantinya diharapkan akan dapat memberikan efisiensi dari sisi logistik pengadaan stok barang dagangan para mitra ritel kami, yang sebagian besar adalah UMKM,” ucap Direktur Utama Kioson Reginald Trisna dalam keterangan resmi, Rabu (5/5).

Merujuk dari riset CLSA bertajuk “E-warung Indonesia’s New Digital Battleground,” menyampaikan 3 juta warung kelontong berkontribusi hampir 80% terhadap pasar ritel Indonesia. Namun, sekitar 80% atau 2,5 juta warung masuk kategori underserved. Dalam menjawab tantangan tersebut, setiap 1 fulfillment center GudangPintar bisa membantu percepatan distribusi dan efisiensi biaya logistik untuk sekitar 2 ribu warung dan toko kelontong di sekitar lokasi.

GudangPintar memiliki sistem WMS (Warehouse Management System) yang terintegrasi dengan prinsipal dan partner logistik. Proses fulfillment secara sederhana dimulai dari pemenuhan proses dalam ekosistem logistik, mulai dari pemilahan barang, pengemasan, sampai pengiriman via kurir ekspedisi. Dalam hal ini, GudangPintar akan memaksimalkan proses logistik untuk para mitra warung yang dikelola Kioson saat pengadaan stok barang dagangan.

Reginald menargetkan pada tahun ini GudangPintar memiliki target membangun lebih dari 1000 fulfillment center untuk melayani 2 juta warung UMKM. “Sinergi GudangPintar dengan ekosistem Kioson kami harapkan mampu memberikan efisiensi maksimal pada bisnis UMKM para mitra retail Kioson dalam hal logistik dan pengadaan stok barang dagangan,” tutupnya.

Kioson turut meramaikan perusahaan yang terjun ke layanan pengadaan untuk proses logistik yang lebih efisien. Solusi pergudangan ini juga dilakoni oleh perusahaan lainnya ada yang datang dari pemain logistik, e-commerce, dan e-commerce enabler.

Untuk pemain e-commerce enabler yang sudah perluas layanan mereka ke sistem fulfillment, ada TokoTalk, Sirclo, GudangAda, dan Jet Commerce. Shipper sebagai agregator logistik mengakuisisi Pakde dan Porter, serta membentuk Gudang Shipper untuk melengkapi ekosistem logistik. Dari pemain e-commerce ada TokoCabang dari Tokopedia, Dikelola Shopee, mengikuti jejak JD.id, dan Lazada yang sudah lebih dahulu.

Ekosistem bisnis logistik penyokong e-commerce

Startup ECF LandX Incar UKM Berkualitas Peroleh Alternatif Pendanaan

Startup equity crowdfunding (ECF) LandX mengincar lebih banyak UKM berkualitas untuk mendapatkan alternatif pendanaan selain mengajukan pinjaman ke bank. Pada tahun ini perusahaan mengincar antara 30 sampai 50 UKM yang dapat terfasilitasi dengan pendanaan dari investor publik.

Dalam konferensi pers yang digelar perusahaan kemarin (4/5), Co-Founder & COO LandX Romario Sumargo menjelaskan, meski secara jumlah UKM yang dibidik tidak banyak, namun ia ingin memastikan setiap UKM yang dijaring memiliki kualitas bisnis dengan prospek yang baik. Sebab hal tersebut juga berkaitan dengan perlindungan investor atas dana-dana yang dipercayakan kepada LandX.

“Meski terdengar sedikit karena dari based on yang sudah kita jalankan, rata-rata UKM berhasil melakukan penggalangan dana lebih dari Rp5 miliar. Pernah tembus di Rp10 miliar. Berdasarkan nominalnya kami targetkan tahun ini bisa capai Rp150 miliar-Rp180 miliar, bisa jadi nomor satu ECF di Indonesia,” ucap Romario.

LandX sejatinya baru beroperasi kurang lebih empat bulan, sejak mengantongi surat izin dari OJK pada 23 Desember 2020. Kendati masih baru, perusahaan mengklaim mampu menguasai 65% pangsa pasar industri ECF di Indonesia pada Q1 2021 berdasarkan nominal pendanaan.

Per 4 Mei 2021, LandX menyalurkan 11 UKM menggalang dana dengan total nilai Rp52,09 miliar. Rata-rata UKM menggalang dana dengan kisaran Rp5 miliar sampai Rp7 miliar. Adapun total investor terdaftar mencapai 35.139 orang dengan rata-rata investasi yang diberikan adalah Rp10 juta.

Romario menuturkan UKM yang memanfaatkan LandX ini bergerak di berbagai industri, seperti facility service management, restoran, indekos, pabrik pupuk batu bara, dan cloud kitchen. Untuk menjaring UKM yang berkualitas, pada dasarnya UKM tersebut sudah berbentuk PT, memahami laporan keuangan, dan bisa membuat proyeksi bisnis.

“Untuk menemukan bisnis yang bagus, strategi kami kembali ke manual. Mencari cabang yang selalu ramai, lalu datangi pemiliknya, atau mendapat referensi dari komunitas.”

Dalam tahun ini, sambung Romario, LandX berencana upgrade lisensi menjadi SCF (securities crowdfunding) pada Q3 mendatang demi menangkap potensi bisnis yang lebih luas. Para penerbit saham memungkinkan tidak hanya menawarkan efek saham, tapi juga menawarkan efek utang, sukuk, dan lainnya.

Sementara itu untuk merambah ke secondary market, berhubung portofolio UKM-nya belum menginjak satu tahun, maka rencana tersebut baru bisa terealisasi pada tahun depan. “Sekitar Juli ini kami akan mulai proses perizinan di OJK untuk upgrade ke SCF.”

Terhitung, pemain ECF yang sudah mendapat izin usaha dari OJK ada empat. Mereka adalah Santara, Bizhare, CrowdDana, dan LandX. Sementara, dalam keanggotaan di Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI), telah memiliki 22 anggota. Di antaranya, FundEx, danasaham, Byznis, Prodana, Benih Bersama, Greenfund, Urunmodal, Udana, Shafiq, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Social Bella Kembali Bukukan Pendanaan Senilai 818 Miliar Rupiah, Dipimpin L Catterton

Startup beauty-tech Social Bella hari ini (05/5) mengumumkan perolehan pendanaan terbaru senilai 818 miliar Rupiah atau sekitar $57 juta dipimpin L Catterton, sebuah perusahaan investasi berbasis di Amerika Serikat. Indies Capital bersama dua investor sebelumnya, yakni East Ventures dan Jungle Ventures, turut terlibat dalam pendanaan ini.

Sebelumnya pada pertengahan tahun lalu Social Bella juga baru mendapatkan pendanaan senilai $58 juta dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Akhir-akhir ini perusahaan sedang agresif memperluas kanal omnichannel dengan membuka toko-toko offline di berbagai kota. Saat ini bisnis B2C mereka “Sociolla” sudah memiliki 21 toko di 9 kota di Indonesia dan 1 toko di Ho Chi Minh, Vietnam.

“Di tengah semua tantangan [pandemi], kami sangat bangga melihat upaya konsisten tim Social Bella untuk menghadirkan layanan omnichannel terbaik untuk pelanggan kami [..] Kerja sama dan investasi dari L Catterton, Indies Capital, East Ventures, dan Jungle Ventures akan mendorong kapabilitas kami dalam menghadirkan inovasi berbasis teknologi terdepan serta produk-produk terbaik bagi pelanggan kami di Indonesia, Vietnam, dan wilayah-wilayah lainnya,” Co-founder & Presiden Social Bella Christopher Madiam.

Memanfaatkan teknologi, gerai omnichannel yang disuguhkan ke pelanggan didesain interaktif dan terhubung langsung ke situs Sociolla dan aplikasi SOCO. Untuk mendapatkan informasi dan ulasan seputar produk yang akan dibeli, pengujung cukup scan barcode di aplikasi SOCO. Atau jika pengunjung sudah memiliki daftar produk yang ingin dibeli di keranjang belanja di situs Sociolla dapat langsung melakukan transaksi di bagian pembayaran.

Konsep bisnis tersebut nyatanya juga tetap jalan di tengah berbagai pembatasan akibat pandemi. Oktober 2020 lalu, dalam acara temu media, pihak Social Bella mengatakan bahwa sepanjang tahun ada peningkatan hampir 50% ukuran belanja di Sociolla. Tercatat produk perawatan diri lebih, karena rata-rata konsumen termotivasi untuk memanfaatkan momen beraktivitas di rumah untuk merawat diri.

“Penetrasi industri kecantikan dan perawatan diri di Asia Tenggara terus berkembang pesat dengan ‘pemain’ yang inovatif seperti Sociolla yang menyediakan lebih banyak pilihan, produk-produk premium dan meningkatkan jangkauannya baik secara online maupun offline terhadap konsumennya [..] Inovasi-inovasi yang dilakukan oleh Sociolla mampu memuaskan baik konsumen serta brand principal secara seimbang,” sambut jelas Yock Siong Tee selaku Principal & Investment Lead for Southeast Asia L Catterton.

Sementara itu Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, “Sociolla memiliki faktor-faktor yang perlu dimiliki oleh sebuah beauty tech-company; konten, komunitas, commerce, ritel yang terintegrasi. Selain itu, melihat hasil dari riset pasar kami juga sangat bersemangat untuk melanjutkan kerja sama bersama Social Bella.”

Application Information Will Show Up Here

Tren Mantan Pejabat Publik yang Bergabung ke Startup Terus Berlanjut

Jumat, (30/4), Bukalapak menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang dihadiri jajaran direksi dan shareholder. Acara yang dipimpin CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin tersebut, selain memaparkan kinerja bisnis sepanjang 2020, juga mengumumkan pengangkatan Mantan Menristek/BRIN Bambang Brodjonegoro sebagai Komisaris Utama dan Yenny Wahid sebagai Komisaris.

Hal ini menambah panjang daftar mantan pejabat pemerintahan yang masuk ke ekosistem startup. Selain kedua nama tersebut, menurut catatan kami, ada sejumlah mantan pejabat yang kini menduduki posisi serupa di startup maupun pemodal ventura, di antaranya:

Seperti diketahui, komisaris bertugas melakukan pengawasan terhadap kebijakan perusahaan, memantau kinerja perusahaan, dan memberikan nasihat kepada direksi. Posisi ini menjadi penting di tubuh startup, mengingat banyak di antaranya memang berusaha mendemokratisasi sektor yang diregulasi – misalnya finansial, transportasi, dan perdagangan. Namun tidak semua menjabat sebagai komisaris (salah satu haknya bisa mengikuti voting), beberapa lainnya ditunjuk sebagai penasihat (tidak memiliki voting power).

Hadirnya mantan pejabat publik juga dapat dipandang sebagai upaya startup untuk bisa patuh sepenuhnya terhadap regulasi, termasuk di dalamnya memahami aturan-aturan yang ditetapkan secara mendalam dan memberikan arahan preventif agar tidak terjadi permasalahan serius.

Amartha Kantongi Pendanaan 450 Miliar Rupiah Dipimpin WWB Capital Partners II dan MDI Ventures

Startup p2p lending Amartha resmi memperoleh pendanaan sebesar $28 juta atau sekitar 450 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures, serta dua investor sebelumnya, yaitu Mandiri Capital Indonesia dan YOB Venture Management.

Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra mengatakan, investasi baru ini akan digunakan untuk memperkuat bisnis, mengakselerasi pengembangan inovasi produk, dan memperkenalkan layanan tambahan bagi peminjam dan pendana. Beberapa di antaranya adalah pinjaman warung, crowdfunding, hingga penyaluran pendanaan langsung ke peminjam.

Sejauh ini, perusahaan telah mengembangkan solusi untuk tiga segmen pengguna, yaitu penyaluran pendanaan lewat platform p2p lending (Amartha untuk Pendana), tim lapangan untuk memproses pinjaman modal usaha secara menyeluruh (Amartha untuk Business Partner), dan layanan keuangan lain selain penyaluran modal usaha (Amartha untuk Mitra)

Amartha merupakan portofolio pertama WWB di Asia Tenggara. Diketahui, WWB Capital Partners II adalah investasi lensa gender yang didirikan WWB, organisasi nirlaba global yang fokus terhadap inklusi keuangan wanita selama 40 tahun terakhir.

Representatif WWB Yrenilsa Lopez mengatakan, investasi ini bertujuan untuk menutup kesenjangan gender dengan masuk pada penyedia layanan keuangan yang fokus melayani segmen perempuan berpenghasilan rendah. Dengan begitu, Amartha dapat memperluas keragaman gender dalam manajemen mereka dan memanfaatkan solusi inovatif untuk menjangkau lebih banyak pasar.

Sebelumnya, Amartha memperoleh pendanaan debt senilai $50 juta atau setara 704,4 miliar Rupiah pada Februari lalu dari Lendable. Saat ini, Amartha mencatat telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp3,55 triliun ke lebih dari 661.369 pengusaha ultra mikro perempuan di lebih dari 18.900 desa di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Selain itu, Amartha juga telah meningkatkan kualitas credit scoring dengan rasio kredit bermasalah (NPL) di 0,07% untuk seluruh pendanaan di periode setelah Juni 2020.

Bersinergi dengan Telkom

Lebih lanjut, CEO MDI Ventures Donald Wihardja menambahkan bahwa masuknya investasi ini akan membuka peluang bersinergi dengan Telkom Group. Sinergi ini tak lain untuk mendigitalisasi dan meningkatkan inklusi keuangan di wilayah pedesaan yang belum terlayani perbankan di Indonesia.

“Kami melihat ada potensi menjanjikan untuk meningkatkan inklusivitas keuangan. Kami harap investasi ini dapat melanjutkan transformasi bisnis Amartha untuk melayani masyarakat piramida bawah di Indonesia,” ungkapnya.

Sebelumnya, Donald sempat menyebutkan bahwa MDI Ventures mendapat mandat baru dengan dana kelolaan baru sebesar $500 juta dari Telkom. Mandat tersebut tak lain adalah memperluas target kerja sama atau sinergi, tidak hanya dengan Telkom Group tapi dengan seluruh BUMN.

Menurut Donald, tugas baru ini diberikan usai keberhasilan MDI mengelola dana $100 juta sejak 2015. MDI berhasil melipatgandakan fund tersebut, tak hanya valuasi di atas kertas, tetapi juga berupa likuiditas di beberapa exit, private maupun IPO. Ia menyebut, MDI telah memberikan Rp1,6 triliun synergy/revenue ke Telkom Group.

Application Information Will Show Up Here

Modal Rakyat Kantongi Pendanaan dari Fazz Financial Group

Startup p2p lending Modal Rakyat mengumumkan perolehan pendanaan dengan nilai dirahasikan dari Fazz Financial Group (FFG). Di saat yang bersamaan, perusahaan juga mendapat izin usaha dari OJK. Sebelumnya mereka berstatus berstatus terdaftar.

FFG adalah entitas hasil investasi strategis Payfazz ke Xfers sebesar $30 juta yang diresmikan pada awal Maret kemarin. FFG hadir untuk mengawasi misi gabungan dalam menyediakan akses dan inklusi keuangan di seluruh Asia Tenggara.

Menurut keterangan resmi, Hendra Kwik, Direktur Utama FFG dan CEO Payfazz, menyampaikan, “Dengan bergabungnya Modal Rakyat dalam Fazz Financial Group, kami berharap bisa lebih memperkuat sinergi dengan seluruh produk-produk yang ada di bawah naungan Fazz Financial dan mendukung dalam penyediaan layanan keuangan inklusif khususnya bagi pelaku usaha yang berada di seluruh Indonesia hingga ke daerah pedesaan.”

Hendra juga menjadi Komisaris di Modal Rakyat.

Terkait perolehan izin usaha, CEO Modal Rakyat Hendoko Kwik mengatakan, hal ini adalah salah satu langkah strategis untuk semakin masif menjangkau semua daerah dalam menyalurkan pembiayaan kepada pelaku UMKM. “Modal Rakyat berharap bisa merangkul semakin banyak mitra strategis, baik perusahaan keuangan, startup, maupun entitas lainnya,” ujarnya.

Secara hubungan bisnis, sejak 2018 Modal Rakyat bekerja sama dengan Payfazz untuk menyediakan produk pinjaman sektor mikro bagi seluruh warung dan pedagang pulsa yang berada dalam ekosistem Payfazz. Hingga kini, tercatat sebanyak 32.399 aplikasi pinjaman mikro diajukan lewat Modal Rakyat dengan total penyaluran lebih dari Rp29 miliar.

Produk Modal Mikro menyalurkan pinjaman mulai dari Rp500 ribu hingga Rp2 juta dengan durasi pinjaman 14 hari. Pinjaman berbasis agen ini merupakan salah satu strategis Modal Rakyat untuk bisa menyalurkan pembiayaan kepada pelaku usaha mikro, khususnya yang belum terjangkau oleh perbankan dan institusi keuangan lainnya. Skoring kredit dilakukan berdasarkan analisis terhadap data transaksi para agen di aplikasi Payfazz.

“Misi Modal Rakyat dalam mewujudkan inklusi keuangan tentu membutuhkan sinergi bersama banyak pihak. Tidak hanya pemerintah dan sesama entitas keuangan, tetapi masyarakat juga kami ajak untuk terus berkontribusi dengan mendanai di Modal Rakyat,” imbuh Hendoko.

Hingga kini, total penyaluran Modal Rakyat telah menembus lebih dari Rp1,2 triliun kepada lebih dari 25 ribu pelaku UMKM. Jumlah pendana aktif mencapai 12 ribu pendana yang terdiri dari 71,24% laki-laki dan 28,76% perempuan. Berdasarkan demografinya, para pendana ini berasal dari Pulau Jawa (75,22%) dan luar Pulau Jawa (24,78%).

Application Information Will Show Up Here

Hangry Umumkan Pendanaan Seri A 188 Miliar Rupiah, Dipimpin Alpha JWC Ventures

Startup kuliner multi-brand Hangry hari ini (03/5) mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $13 juta atau setara 188 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Alpha JWC Ventures diikuti Atlas Pacific Capital, SALT Ventures, dan Heyokha Brothers. Dengan dana segar yang didapatkan, Hangry memasang target untuk melakukan ekspansi nasional pada tahun 2021-2022.

Sebelumnya, tahun lalu Hangry mendapatkan pendanaan awal senilai $3 juta dari Alpha JWC Ventures dan Sequoia Capital atas keterlibatannya di program akselerator Surge.

Tahun ini perusahaan menargetkan bisa membangun lebih dari 120 outlet dan 20+ restoran dine-in di berbagai kota di Indonesia. Sebelumnya dalam sebuah acara temu media, tim Hangry juga mengatakan bahwa tahun ini mereka akan segera mengeksekusi strategi omnichannel, integrasikan saluran distribusi online-offline.

Sejak didirikan awal September 2019 oleh Abraham Viktor, Andreas Resha, dan Robin Tan, Hangry saat ini sudah mengoperasikan 40 cabang di wilayah Jabodetabek dan Bandung. Mereka mengelola brand in-house, mulai dari Moon Chicken, San Gyu, Ayam Koplo dan Dari Pada.

Konsep cloud kitchen turut diterapkan di setiap gerai yang dimiliki, untuk menghasilkan produk berkualitas namun dengan harga terjangkau. Makanan/minuman dari Hangry bisa dipesan lewat GoFood, GrabFood, ShopeeFood, dan aplikasi Hangry.

“Tidak banyak brand makanan dan minuman global yang memiliki sajian yang benar-benar berkualitas, pun yang berasal dari Indonesia. Ini yang menjadi cita-cita kami. Kami mulai dari sebuah ruko kecil dan akan terus berkembang ke kota-kota besar di Indonesia lalu ke negara-negara Asia Tenggara. Dalam jangka panjang, Hangry ingin menjadi brand yang tumbuh bersama konsumen, hadir pada tiap momen mereka dan membuat momen tersebut menyenangkan,” ujar Co-Founder & CEO Hangry Abraham Viktor.

Abraham menambahkan, “Konsep bisnis Hangry adalah multi-brand dan multi-channel untuk membawa banyak pilihan dengan berbagai jalan bagi konsumen. Karena itu, membuka restoran untuk makan di tempat memang sudah ada di dalam perencanaan kami selama ini, hanya saja kami tunda karena pandemi. Tahun lalu kami memutuskan untuk fokus dengan konsep cloud kitchen dan hal ini telah menjadi kunci kesuksesan Hangry. Kini, masyarakat sudah mulai siap untuk kembali beraktivitas normal, termasuk untuk makan ke luar, dan ini adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan restoran Hangry.”

Sementara itu bagi Alpha JWC Ventures, sektor new retail memang memiliki tempat tersendiri dalam hipotesis investasinya. Terbukti selain Hangry saat ini sudah ada beberapa startup kuliner lain yang mendapatkan dukungan dari mereka, di antaranya Goola, Kopi Kenangan, dan Mangkoku.

“Sebagai investor awal mereka, apa yang telah dicapai Hangry sejauh ini membuktikan kepercayaan kami pada mereka sejak awal. Dengan fokus pada pelanggan dan eksekusi yang efektif, Hangry selalu mengutamakan kesempurnaan dari segi rasa produk dan pengalaman layanan. Dalam kurun waktu 1,5 tahun, Hangry berhasil meluncurkan berbagai brand dengan ragam rasa dan kategori, dan hampir semuanya menjadi produk terbaik dengan peringkat teratas di berbagai platform – ini adalah contoh nyata dari inovasi berbasis product market fit,” kata Partner di Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi.

Application Information Will Show Up Here