Kredivo Bukukan “Debt Funding” 1,4 Triliun Rupiah dari Victory Park Capital

Startup fintech kredit digital Kredivo mengumumkan pendanaan debt hingga $100 juta (setara 1,4 triliun Rupiah) dari perusahaan investasi asal Amerika Serikat, Victory Park Capital Advisors (VPC). Fasilitas debt akan digunakan untuk pengembangan produk pembiayaan agar dapat melayani 10 juta pengguna baru dalam beberapa tahun mendatang.

Diklaim pendanaan ini merupakan terbesar dalam sejarah perusahaan, sekaligus terbesar di industri fintech se-Asia Tenggara. Sekaligus menandakan debut VPC di pasar Asia Tenggara.

Dalam konferensi pers virtual pada hari ini (24/11), Co-Founder Kredivo Umang Rustagi menjelaskan dana tersebut dapat mendorong momentum pertumbuhan perusahaan dan memperkuat matriks risiko, di tengah kondisi ekonomi yang menantang.

Ia mengatakan, proses penggalangan debt ini sudah dimulai sejak enam hingga sembilan bulan lalu, namun baru ditutup pada kuartal ketiga kemarin. “Pendanaan lini kredit ini akan mengakselerasi skalabilitas bisnis dan merealisasikan target kami untuk melayani hingga 10 juta pengguna baru dalam beberapa tahun ke depan,” katanya.

Partner VPC Gordon Watson turut memberikan pernyataannya melalui keterangan resmi. Ia mengatakan, Kredivo mampu memperlihatkan kombinasi yang unik antara perusahaan, jangkauan pasar, manajemen risiko, dan inklusi keuangan di Indonesia.

“Kerja sama ini merupakan investasi pertama VPC di kawasan Asia Tenggara, tentunya menjadi hal yang sangat menggembirakan untuk dapat memulai babak penting ini dengan partner Kredivo.”

Umang menuturkan, dengan posisinya kini sebagai multifinance, tak lagi sebagai startup lending, telah mengembangkan berbagai produk pembiayaan secara lebih leluasa untuk merambah lebih banyak konsumen baru. Produk tersebut seperti pembiayaan healthcare, edukasi, dan usaha produktif untuk pengusaha UKM.

“Pengembangan produk lainnya, seperti pembiayaan otomotif tentu akan ada dalam rencana, namun belum dalam waktu dekat.”

VPC adalah sejumlah lender institusi yang sudah masuk membiayai kredit di Kredivo, sebelumnya ada Bank Permata senilai Rp1 triliun dan Partners for Growth senilai Rp283 miliar. Keduanya masuk pada tahun lalu.

Selain mencari pendanaan dari institusi untuk menyalurkan pembiayaan, Kredivo sebenarnya juga berkesempatan untuk memanfaatkan opsi lainnya yang sudah direstui OJK, yakni channelling dan menerbitkan obligasi. Namun, Umang menegaskan sejauh ini belum ada rencana untuk menerbitkan obligasi.

VP Marketing & Communications Kredivo Indina Andamari menambahkan, perpindahan menjadi multifinance adalah bagian dari Kredivo untuk bisa melayani lebih banyak konsumen dengan diversifikasi produk pembiayaan. Dari sisi kepercayaan para lender dan konsumen, diharapkan bisa lebih meningkat.

“Sebenarnya secara terms kurang tepat [menyebut Kredivo] sebagai p2p lending karena credit line kita ini semuanya berasal dari institusi keuangan. Dengan multifinance, bukan berarti ada dua entitas [p2p lending dan multifinance], entitas hanya satu, tapi lisensinya saja yang ada dua. Tapi cara beroperasi kita tidak ada yang berubah,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Gandeng Instamoney, Platform Remitansi TransferWise Resmikan Kehadiran di Indonesia

Perusahaan digital pengembang layanan remitansi TransferWise hari ini (24/11) secara resmi mengumumkan perluasan layanan ke Indonesia. Ditandai dengan kapabilitas baru di platform, memungkinkan pengguna melakukan pengiriman uang dari Indonesia keluar negeri.

Kehadirannya di Indonesia menggandeng dengan fintech lokal, yakni Instamoney (PT Syaftraco). Kolaborasi ini didasari adanya aturan, setiap pemain remitansi yang menyelenggarakan layanan transfer dana di Indonesia harus terdaftar di Bank Indonesia. PT Syaftraco telah memperoleh izin BI sebagai penyelenggara transfer dana sejak Maret 2013.

“Kami punya ambisi yang sama untuk membangun standar baru di industri keuangan dan remitansi, untuk menghadirkan solusi finansial yang terbaik, dan harapannya bisa membawa dampak positif bagi masyarakat Indonesia”, ujar Co-founder & COO Instamoney Tessa Wijaya.

Instamoney sendiri fokus ke B2B, menjajakan layanan API untuk perusahaan finansial agar bisa memfasilitasi remitansi, pinjaman, dan investasi. Kebanyakan kliennya adalah layanan perbankan di Indonesia.

TransferWise saat ini sudah mengakomodasi pengiriman ke lebih dari 80 negara. Termasuk di dalamnya Australia, Malaysia, Singapura, Jepang, hingga ke Amerika Serikat dan Tiongkok (via Alipay). Pengguna bisa memanfaatkan layanan mereka lewat situs web maupun aplikasi di ponselnya.

Beberapa kelebihan turut disampaikan, mereka mengklaim memiliki biaya layanan lebih murah 2,5 kali lipat dibandingkan layanan serupa dari perbankan. Untuk dana biasanya tiba dalam hitungan detik atau maksimal satu jam.

Sebelumnya TransferWise telah terlebih dulu jalin kerja sama dengan beberapa platform digital wallet lokal, tepatnya sejak November 2019 lalu. Pengguna bisa mengirim uang dari luar negeri ke akun Dana, Gopay, dan Ovo.

Head of Indonesia Expansion TransferWise Elian Ciptono menjelaskan, menurut survei yang dilakukan di Indonesia, pengguna layanan remitansi didominasi oleh keluarga yang mengirim uang kerabatnya. “Survei juga menunjukkan bahwa 90% dari mereka merasa terbebani dengan tingginya biaya pengiriman. Bukan cuma mahal, jasa remitansi lain juga dianggap sulit dan lambat.”

Dengan isu yang sama, beberapa startup Indonesia juga hadir memberikan solusi layanan serupa. Di antaranya Transfez, Topremit, Wallex Technologies, Zendmoney hingga Oy! Indonesia. Kebutuhan transaksi antarnegara (cross-border) yang murah dan efisien secara proses berhasil membuat para pemain di sektor ini mencuri perhatian konsumen.

DailySocial sempat berbincang dengan dua pemain remitansi, Transfez dan Topremit. Pihak Transfez mengatakan, sejak pandemi Covid-19 di bulan Maret 2020, jumlah pengguna Transfez telah meningkat lebih dari 400%. Pun demikian buat TopRemit, mereka mengklaim berhasil memproses lebih dari 280 miliar Rupiah dengan 16 ribu pengguna yang mendaftar dan dalam 6 bulan pertama 2020.

Wallex Technologies menjadi pemain di teknologi remitansi lokal yang tahun ini mendapatkan pendanaan tahun ini. Selama periode pandemi, mereka mengklaim rata-rata dapatkan peningkatan bisnis sekitar 20% setiap bulan.

Application Information Will Show Up Here

Gambar Header: Depositphotos.com

Alpha JWC Berinvestasi 29 Miliar Rupiah untuk Startup Kuliner “Mangkokku”

Startup kuliner Mangkokku mengumumkan pendanaan tahap awal perdananya (seed funding) sejumlah $2 juta (hampir 29 miliar Rupiah) dari Alpha JWC Ventures. Dana segar ini akan digunakan untuk menambah ekspansi gerai sampai tahun depan.

Sebagai catatan, Alpha JWC juga berinvestasi ke startup kuliner milik Gibran lainnya yakni Goola pada tahun lalu. Selain itu, startup kuliner lainnya yang masuk ke portofolio Alpha JWC, yakni Kopi Kenangan, Hangry, dan Lemonilo.

Mangkokku didirikan pada tahun lalu oleh chef selebritas Arnold Poernomo, pengusaha kuliner Randy Kartadinata, dan dua anak Presiden RI yakni Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep. Gibran dan Kaesang menduduki posisi sebagai penasihat untuk operasional sehari-hari perusahaan.

Sementara, Arnold mengepalai produksi dan inovasi kuliner, dan Randy bertindak sebagai CEO yang bertanggung jawab atas ekspansi dan bisnis harian Mangkokku. Sebelum merintis Mangkokku, keempat pendiri ini sudah mendirikan setidaknya 12 perusahaan kuliner di Indonesia dan Australia, termasuk Gioi, KOI Dessert Bart Sydney, dan gerai martabak Markobar.

Mangkokku menawarkan hidangan dalam bentuk rice bowl atau nasi dengan lauk yang disajikan di dalam mangkuk dengan cita rasa makanan khas Indonesia. Ada 12 menu yang dijual dengan harga mulai dari Rp19 ribu hingga Rp54 ribu per porsi.

Para founder Mangkokku / Mangkokku
Para founder Mangkokku / Mangkokku

Dalam keterangan resmi, Arnold Poernomo menuturkan pihaknya mengadopsi cara pandang bisnis global. Ia percaya untuk berkembang dengan pesat dan berkelanjutan, harus menyediakan produk superior dengan harga terjangkau dan menjaga standar setiap mangkuk yang tersaji.

“Karena itu, kami mengoperasikan sendiri semua cabang dan menggunakan peralatan berteknologi tinggi di dapur utama untuk menjaga kualitas dan konsistensi produk,” terangnya, Senin (23/11).

Randy Kartadinata menambahkan, selama pandemi perusahaan berhasil beradaptasi dengan cepat untuk menjawab perubahan permintaan konsumen yang kini pergerakannya lebih teratas. Diklaim, setiap harinya tiap cabang Mangkokku mampu menjual 400 hingga 600 mangkuk.

“Mimpi besar kami adalah menjadi grup kuliner mass-market terbesar di Indonesia dan membangun ekosistem sendiri yang terdiri dari berbagai merek dan institusi kuliner. Tak hanya itu, kami juga ingin menjadi perusahaan kuliner terbaik dalam hal ekspansi lokal dan regional serta operasional teknis. Karena itulah kami mengambil rute startup ini dan bekerja sama dengan Alpha JWC Ventures,” sambung Randy.

Saat ini Mangkokku memiliki 22 cabang di Jabodetabek dan akan merambah ke Surabaya dalam waktu dekat. Perusahaan akan menambah lokasi gerai hingga 30 pada akhir tahun ini dan 75 cabang pada tahun mendatang.

Tak hanya itu, tahun depan mulai mengembangkan menu makanan di luar konsep rice bowl, dimulai dari minuman, makanan penutup, dan seri sambal kemasan. Dengan demikian, ambisi Mangkokku sebagai solusi kuliner komplet dapat terwujud.

Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi menuturkan pihaknya melihat bisnis kuliner sebagai sektor yang dapat diuntungkan dari pendanaan ventura dan penggunaan teknologi. Mangkokku telah menunjukkan kinerja cemerlang bahkan saat pandemi.

“Hal ini membuktikan bahwa produk mereka telah diterima masyarakat dengan baik. Dukungan finansial dan bisnis serta pengalaman kami sebelumnya akan membantu Mangkokku berkembang lebih cepat menjadi perusahaan besar,” katanya.

Finantier Dapat Pendanaan Awal, Hadirkan Layanan API untuk Bisnis Finansial

Finantier adalah startup pengembang layanan open finance, memungkinkan perusahaan finansial menggunakan sambungan API (Application Programming Interface) untuk mengefisiensikan beberapa proses. Di layanan Finantier ada tiga kapabilitas utama yang ditawarkan, yakni melakukan verifikasi identitas melalui data yang dimasukkan pengguna atau data bank yang sudah dimiliki; membantu bisnis mengelola data mentah dengan machine learning; dan menghadirkan fitur untuk mengakomodasi pembayaran yang dilakukan rutin atau langganan.

Startup yang didirikan Diego Rojas, Keng Low, dan Edwin Kusuma tersebut, hari ini (23/11) mengumumkan perolehan pendanaan pre-seed yang dipimpin oleh East Ventures dengan partisipasi dari AC Ventures, Genesia Ventures, dan beberapa investor lainnya. Tidak disebutkan detail nominal pendanaan yang didapat. Dana investasi akan difokuskan untuk memperkuat tim dan mengakselerasi pengembangan teknologi API mereka, termasuk mempersiapkan layanan agar bisa berkembang di berbagai negara di Asia Tenggara.

Co-Founder Finantier: Diego Rojas & Keng Low
Co-Founder Finantier: Diego Rojas & Keng Low

Open finance adalah sebuah kerangka yang dibangun di atas prinsip-prinsip open banking yang memberikan konsumen keleluasaan untuk mengakses data mereka dengan aman dan menggunakannya dengan optimal di berbagai platform,” kata Co-Founder & CEO Finantier Diego Rojas.

Di Indonesia sendiri aturan open banking ada di ranah Bank Indonesia. Sampai saat ini, standar Open API sedang dalam tahap pematangan. Sejak Juli 2020 lalu, BI sudah mengumumkan segera merilis standar Open API, memungkinkan kolaborasi antara bank dan fintech mewujudkan ekosistem layanan keuangan yang inklusif. Open API adalah program aplikasi yang memungkinkan perusahaan terintegrasi antar sistem.

Di Indonesia sendiri beberapa startup layanan API untuk mengakomodasi berbagai pembayaran. Salah satu yang terlengkap adalah Ayoconnect, menawarkan API untuk transaksi, pembayaran, sampai ke pengelolaan data transaksi. Dengan pendekatan berbeda, ada juga solusi open banking berbasis API yang disediakan Brankas, memungkinkan pengembang memfasilitasi berbagai transaksi dari pengguna ke bank.

“Kami memanfaatkan jejak digital konsumen dan bisnis untuk memberikan mereka akses yang aman di Asia Tenggara ke layanan finansial yang disesuaikan dengan kebutuhan, yang kemudian turut membantu meningkatkan kesejahteraan finansial konsumen,” tambah Co-Founder & CPO Finantier, Keng Low.

Sementara itu, Co-Founder & COO Finantier Edwin Kusuma menjabarkan salah satu isu yang selama ini kerap ditemui pemain fintech di Indonesia. “Perusahaan p2p lending seringkali kesulitan dalam menyalurkan pinjaman ke individu dan UMKM. Biasanya, hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi atau karena perusahaan fintech tidak bisa mendapatkan gambaran finansial yang lengkap dari calon peminjam, padahal data tersebut dibutuhkan untuk mengurangi risiko pinjaman dan menekan biaya.”

Finantier didirikan pada pertengahan tahun ini dengan tujuan menyediakan infrastruktur dan data yang dibutuhkan oleh bisnis dalam membangun produk finansial generasi selanjutnya. Finantier membuat platform fintech dan institusi keuangan bisa berkolaborasi dengan aman untuk memberikan konsumen keleluasaan, kenyamanan, dan keamanan dalam memanfaatkan data finansial milik mereka.

Survei Pluang: Emas Jadi Instrumen Investasi Favorit Selama Pandemi

Pluang baru saja menggelar survei yang melibatkan 5500 responden dari sejumlah kota besar di Indonesia. Berfokus pada perilaku investasi dan menabung generasi milenial. Salah satu temuannya, emas jadi pilihan utama (32%) bagi angkatan usia tersebut selama pandemi ini dalam berinvestasi.

VP Business Development Pluang Humprey menjelaskan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan emas jadi pilihan utama milenial. Salah satunya adalah keterjangkauan dengan timbal balik yang cukup menjanjikan.

“Sebanyak 32% generasi milenial dilaporkan mencoba investasi baru yaitu emas. Ini merupakan persentase tertinggi dibandingkan dengan investasi lain yang banyak dikenal seperti reksa dana, saham, dan deposito,” ucap Humprey dalam paparannya.

Paparan Humprey memperlihatkan investasi baru berupa emas yang dipilih responden mereka jauh mengungguli bentuk investasi lainnya seperti saham (15%), reksa dana (16%), deposit (8%), hingga p2p lending (4%). Faktor lain yang turut membantu melambungkan popularitas emas di kelompok kiwari ini adalah harga emas yang sempat naik signifikan pada periodel April-Juli 2020.

Survei ini sejatinya menangkap bujet untuk investasi cenderung berkurang. Milenial diketahui justru lebih menabung selama keadaan pandemi ini. Gairah menabung milenial diketahui meningkat sekitar 5-10%. Namun faktor pandemi juga yang menyebabkan alokasi anggaran generasi milenial banyak berubah. Biaya untuk transportasi dan pelesir merupakan dua pos anggaran yang berkurang jauh sejak pandemi berlangsung.

Ketidakpastian segala hal yang dibawa oleh wabah Covid-19 cukup menjadi alasan bagi milenial untuk mengalokasikan lebih banyak uang untuk menabung. Kebutuhan dana pensiun, dana darurat, tabungan keluarga, membeli properti, biaya kesehatan, hingga dana pendidikan menjadi prioritas teratas responden saat menabung.

Kendati demikian secara keseluruhan survei mendapati milenial masih lebih banyak memilih menyimpan nilai uangnya dalam bentuk investasi (59%) ketimbang menabung (41%). Sementara investasi paling dilirik, seperti disebut sebelumnya, adalah emas.

“Ada 54% milenial memiliki investasi baru selama pandemi dan emas adalah pilihan utamanya,” terang Humprey.

Sebagai platform investasi digital pun meyakini emas menawarkan peluang besar bagi perusahaan selama pandemi. Emas memang salah satu produk investasi yang ditawarkan oleh Pluang bersama produk lainnya. Gerakan Pluang memanfaatkan kesempatan ini sebenarnya sudah terlihat sejak giat menggaet platform lain untuk menawarkan produk investasi emas.

Gojek dan Dana adalah dua dari sekian nama yang mereka gandeng selama beberapa bulan terakhir. Humprey pun mengakui hal itu tercermin dari profil dan acitivity user mereka saat ini. “Jadi gambaran besarnya investasi sangat menarik khususnya emas terlebih di masa pandemi ini,” imbuhnya.

Application Information Will Show Up Here

Masuki Tahun Pertama, Blibli Mitra Fokus Perkuat Ekosistem Omnichannel

Blibli berambisi perbanyak pemilik toko kelontong go digital dengan memanfaatkan aplikasi Blibli Mitra. Ditargetkan mitra dapat bertambah hingga dua kali lipat dari posisi saat ini 16 ribu toko yang tersebar di seluruh Indonesia.

Sejak dirilis pada tepat pada tahun lalu, sebenarnya konsep Blibli Mitra tidak jauh berbeda dengan layanan sejenis besutan kompetitor, seperti Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia, atau Mitra Shopee. Blibli Mitra membuka akses produk digital, seperti pulsa, paket data, voucher game, token listrik, BPJS, dan tiket kereta yang dapat dijual mitra kepada pelanggannya.

Di samping itu, ada fitur grosir yang dapat digunakan mitra untuk mengisi kembali stok dagangan dari brand principal rekanan Blibli, salah satunya Unilever. Dengan harga yang bersaing, memungkinkan mitra dapat mendapatkan keuntungan lebih.

VP O2O Blibli David Michum menjelaskan, Blibli Mitra adalah bagian dari omnichannel Blibli, sehingga ia sudah terintegrasi dengan ekosistem e-commerce yang sudah dibentuk perusahaan, baik itu sistem pembayaran, pengadaan & logistik, hingga platform online. Kekuatan inilah yang membedakan Blibli Mitra dengan pemain sejenisnya.

Dalam pengiriman produk grosir yang dibeli mitra, Blibli Mitra memanfaatkan gudang dan armada logistik yang dimiliki perusahaan, yakni Fulfillment by Blibli (FBB) yang didukung oleh 20 gudang dan 32 hub di 15 kota. Alhasil, mitra yang berbelanja dapat menikmati fasilitas gratis ongkos kirim.

Bahkan, ia sedang mempersiapkan aplikasi B2C Blibli yang biasa dipakai konsumen akhir dapat terhubung dengan produk-produk yang dijual di dalamnya, termasuk produk UMKM, ke aplikasi Blibli Mitra agar dapat dijual kepada pelanggannya. “Karena ini [Blibli Mitra] adalah bagian dari omnichannel,” terangnya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (19/11).

Aplikasi Blibli Mitra didesain sangat ringan, hanya memakan kapasitas 1,6MB. Sehingga di manapun lokasi mitra meski jaringan internet buruk sekalipun, mereka tetap dapat bertransaksi.

Ketertarikan Blibli masuk ke segmen ini karena menurut data Kemenkop dan UKM menyatakan bahwa UMKM telah menyumbang lebih dari 60% PDB Nasional. Pemerintah pun menargetkan modernisasi pada 15 ribu warung tradisional go digital. Terlebih itu, pandemi semakin mendorong bisnis toko kelontong karena pelanggan membatasi kunjungan ke pusat perbelanjaan dan memilih untuk belanja kebutuhan sehari-hari di toko dekat rumah mereka.

David melanjutkan, tren tersebut juga tercermin dari kinerja Blibli Mitra, pertumbuhan pemesanan dari mitra naik hingga empat kali lipat jika dibandingkan sebelum pandemi. Produk digital yang paling banyak dibeli adalah pulsa dan token listrik. Sedangkan produk grosir adalah kopi bubuk, mie instan, dan susu siap minum.

Dalam satu tahun belakangan, Blibli Mitra telah memiliki 16 ribu mitra yang bergabung. Seluruh mitra ini bila diakumulasi melayani 1 juta konsumen yang tersebar di 333 kota di Indonesia. Ia menargetkan sampai akhir tahun ini mitra Blibli Mitra dapat naik hingga dua kali lipat dari jumlah saat ini.

Agar target terealisasi, Blibli memiliki tim lapangan yang bertugas untuk akuisisi mitra baru dan secara rutin melakukan pendampingan agar kemampuan digital mitra meningkat. Aplikasinya juga dilengkapi dengan fitur pengaturan bisnis, antara lain cash flow management, pemantau keuangan, loyalty gamification dan promo dari brand.

“Ke depannya, kami ingin meningkatkan inklusi finansial pengusaha mikro dengan menjalin kemitraan bersama lembaga keuangan, selain mengembangkan opsi pembayaran, termasuk COD,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Gojek Rombak Manajemen Untuk Perkuat Bisnis Finansial

Kemarin (18/11), Gojek mengumumkan perubahan struktur manajemen C-level untuk perkuat dua portofolio utama perusahaan, yakni layanan di bawah Gojek dan finansial yang efektif berlaku per Januari 2020.

Co-CEO Gojek akan berbagi tugas. Kevin Aluwi akan memimpin layanan Gojek, sementara Andre Soelistyo pimpin lini pembayaran digital dan finansial. Mereka berdua tetap menjabat sebagai Co-CEO Gojek Group. Perubahan hanya terjadi di tataran operasional perusahaan, sehingga tidak berdampak terhadap struktur organisasi secara grup.

“Kami akan melanjutkan peran kami sebagai Co-CEO Gojek Group, namun masing-masing dari kami akan memiliki ruang lingkup dan tanggung jawab yang lebih spesifik ke depannya,” ujar Kevin dan Andre dalam pernyataan resmi.

Andre akan memimpin tiga unit usaha, yaitu pembayaran digital (Gopay), layanan jasa keuangan seperti PayLater, dan solusi B2B dan merchant.

Keduanya menjelaskan, dalam perkembangan dua portofolio bisnis besar di bawah Gojek Group, yaitu layanan di bawah brand Gojek dan layanan pembayaran digital & keuangan telah tumbuh semakin besar. Tiap portofolio membutuhkan keahlian dan fokus yang berbeda.

Penguatan fokus manajemen pada kedua portofolio ini dilakukan menyusul fundamental perusahaan yang semakin kuat pada tahun ini. Total GTV di dalam platform Gojek group mencapai $12 miliar naik 10% dari tahun sebelumnya. Sementara, GTV Gopay tumbuh melebihi total nilai transaksi di masa pra-pandemi.

“Oleh karena itu, kami harus mengoptimalkan tim kami untuk memaksimalkan pertumbuhan dari masing-masing bisnis besar tersebut. [..] Saat ini merupakan saat yang tepat untuk melihat kembali bisnis kami dan memastikan Gojek dapat berjalan semakin optimal agar semakin sukses lagi di masa depan.”

Jajaran manajemen lainnya yang ikut bergeser adalah Hans Patuwo akan mengepalai bisnis pembayaran, sebelumnya ia menjabat sebagai COO Gojek selama hampir tiga tahun. Kemudian, Ryu Suliawan akan memimpin lini untuk solusi B2B dan merchant. Ia sebelumnya memegang posisi sebagai Head of Merchants Gojek yang juga Founder Midtrans, perusahaan payment gateway yang diakuisisi Gojek pada 2017.

Andre, Hans, dan Ryu akan mengembangkan lini pembayaran pada tahun depan, saat ini bisnis keuangan Gojek dipimpin oleh Aldi Haryopratomo sebagai CEO Gopay yang sudah menjabat selama tiga tahun. Aldi akan mundur mulai tahun depan, tidak dijelaskan ke mana ia akan berlabuh.

“Di bawah kepemimpinan Aldi, Gopay telah berkembang pesat dan telah menjadi bagian penting dari cara masyarakat Indonesia bertransaksi. Gojek akan selalu berterima kasih atas jasa dan kontribusi Aldi [..] Aldi akan terus menjadi sahabat dan penasihat yang dipercaya dan dihormati semua orang di Gojek Group,” imbuh Andre.

Aldi menambahkan, “Saya sangat bersyukur dapat bisa menjadi bagian dari perkembangan Gopay dan bersama tim yang telah membantu membangun perusahaan menjadi seperti sekarang ini. [..] Saya yakin bahwa perusahaan akan terus memberikan akses ke layanan keuangan bagi masyarakat yang paling membutuhkan.”

Application Information Will Show Up Here

Memahami Tantangan dan Peluang Pelaku Fintech di Masa Resesi

Imbas pandemi Covid-19 akhirnya membawa Indonesia resmi masuk dalam deretan negara yang mengalami resesi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) minus 3,49 persen secara tahunan (Year-on-Year/YoY).

Kondisi ini otomatis menjadi red alert bagi sektor bisnis di Indonesia, mengingat tak sedikit yang terdampak dari Covid-19. Para pelaku bisnis berskala besar hingga kecil berupaya keras untuk bisa bertahan dari situasi ini selama beberapa bulan terakhir.

Bagaimana pelaku fintech menjalankan bisnis di situasi resesi? Simak selengkapnya paparan menarik dari CCO Payments of OVO Jaygan Fu Ponnudurai dan Chief Risk of Asetku Jimmi Adhe Kharisma pada sesi #SelasaStartup berikut ini.

Tren perilaku konsumen dan dampak bisnis

Pandemi memicu perubahan perilaku konsumen dalam bertransaksi. Tren ini terjadi di dunia, termasuk di Indonesia. Bagi OVO dan Asetku, shifting dari offline ke online memberikan dampak positif dan negatif terhadap bisnis mereka.

Berdasarkan data perusahaan, Jaygan mengaku ada peningkatan transaksi secara signifikan pada pemesanan makanan (Grab Food) dan belanja online (Tokopedia). Karena pergeseran ini, konsumen jadi cenderung menjadi promo-centric dan cost-centric.

We do see a decline, tapi belum separah yang kami kira. Kami lagi berupaya mencapai [target] yang sudah kami koreksi. Saat ini kami lihat orang-orang sudah mulai terbiasa [bertransaksi online] selama pandemi,” ujarnya.

Sementara Asetku yang bermain di P2P lending mengaku mengalami peningkatan Non Performing Loan (NPL) sebagai akibat dari kesulitan bisnis selama masa PSBB. Per September 2020, perusahaan mencatat NPL Asetku naik sampai 8,27% dari NPL rerata sebelum pandemi 1%-2%.

Jimmi bahkan melihat terjadinya peningkatan jumlah lender ketimbang borrower di platformnya. Menurutnya, hal ini terjadi karena beberapa faktor, seperti perubahan perilaku konsumen dalam berbelanja, penurunan IHSG, pengetatan kriteria peminjam, dan inisiatif pemerintah untuk melakukan restrukturisasi utang.

“Kami melihat demand borrower naik, maka itu kami perketat kriterianya. Selain itu, pinjaman konsumtif juga naik karena ada shifting behaviour. Konsumen jadi sering berbelanja online,” ungkapnya.

Melakukan langkah mitigasi

Dengan situasi saat ini, pelaku bisnis sudah mulai mengamankan bisnis dan menjaga runway tetap panjang dengan melakukan mitigasi, baik dari sisi efisiensi biaya hingga mengevaluasi kembali strateginya ke depan.

Baik Jaygan dan Jimmi mengaku melakukan efisiensi di bisnisnya dengan memangkas biaya yang tidak perlu. Pada kasus Asetku, pihaknya melakukan langkah mitigasi sesuai inisiatif pemerintah untuk melakukan restrukturisasi.

Namun, menurut Jimmi, salah satu yang patut digaris bawahi adalah terus mengamati tren perilaku konsumen existing. Menurutnya, penting untuk memahami hal tersebut agar perusahaan tetap bisa menyalurkan bahkan mungkin menaikkan pinjaman kepada borrower existing.

Sementara Jaygan menilai pentingnya memahami konsumen untuk menjaga relevansi layanannya di masa depan. Pihaknya bahkan mengevaluasi sejumlah kolaborasi dengan beberapa mitra karena menjadi tidak relevan selama pandemi, misalnya dengan mal.

“Ini semua tentang optimalisasi what we spend, yang sulit adalah grow revenue line dan stay relevant to our consumer, apalagi ketika masa promo berakhir. Makanya kami build risk mitigation, it takes time being customer centric,” ujarnya.

Peluang bagi UMKM dorong cashless

Di sisi lain, pandemi diakui menjadi momentum untuk mengakselerasi cashless society, apalagi saat ini masih banyak masyarakat di Indonesia yang bergantung pada uang tunai. Salah satu yang paling banyak disoroti adalah segmen pelaku UMKM yang dinilai paling terdampak dari pandemi.

Bagi Jaygan, situasi ini menjadi peluang untuk mendorong penetrasi fitur QRIS di seluruh Indonesia melalui segmen UMKM, seperti merchant di pasar. Menurut data perusahaan, ada mitra merchant OVO dari segmen tersebut yang terdampak.

“Sebelum pandemi, kami memang acquire UMKM di Indonesia, misalnya dengan Pujasera. Karena banyak yang terdampak dari pandemi, kami coba convert merchant dari offline ke online dengan Tokopedia dan Grab supaya bisnis mereka tetap lanjut,” tuturnya. Kini ia melihat ada tren peningkatan penambahan pengguna di luar Jawa yang selama ini diidentifikasikan masih cash centric.

Sementara sebagaimana disebutkan di awal, ungkap Jimmi, pihaknya terus berupaya untuk mengakomodasi pinjaman kepada segmen UMKM, terutama pada merchant yang berjualan di platform e-commerce yang menjadi mitranya.

“Pinjaman UMKM itu tidak besar berkisar Rp5-15 juta. Dengan KYC, algoritma, dan langkah mitigasi, kami coba mengakomodasi pinjaman mereka karena segmen ini kan tidak tersentuh bank,” jelasnya.

Resesi: tantangan atau peluang?

Secara personal, Jaygan menilai bahwa resesi akibat pandemi berkepanjangan menjadi semacam reality check dalam menjalankan bisnis. Ia mendapat pembelajaran untuk berpikir matang sebelum mengeksekusi sesuatu.

Menurutnya, ini dapat menjadi implikasi baik atau tidak di masa depan.
“Kalau tidak ada reality check, kami pasti spending begitu saja, belum tentu kami bisa come up dengan produk baru atau memikirkan segmen pasar baru,” tutur Jaygan.

Sementara Jimmi tidak melihat resesi ini sebagai tantangan brutal bagi pelaku fintech, melainkan momen pembelajaran untuk bisa mempertahankan bisnis. Terlebih, ungkapnya, Indonesia bukan baru sekali menghadapi situasi ini. Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi di 1998 dan 2008.

“Definisi ekonomi itu sangat luas, tentu situasi ini dapat menjadi peluang untuk belajar karena kita pernah mengalami krisis sebelumnya.” Tambahnya.

Google for Indonesia 2020 Fokus pada Pemulihan Dampak Pandemi

Google for Indonesia 2020 yang baru digelar hari ini (18/11) agak berbeda dari acara serupa di tahun-tahun sebelumnya. Google masih membuat sejumlah pengumuman penting pada acara ini, hanya saja mayoritas pengumuman itu berfokus pada solusi menghadapi dampak pandemi.

Pertama terkait kucuran dana senilai $10 juta atau setara 141 miliar Rupiah sebagai pinjaman modal dari Google untuk usaha kecil mikro dan kecil menengah (UMKM) di Indonesia. Google menggandeng Kiva, organisasi nonprofit global yang bergerak di sektor keuangan inklusif, dalam program ini.
Selain pinjaman modal, Google juga menghibahkan dana $1 juta atau setara 14 miliar Rupiah untuk menekan angka pengangguran di kalangan anak muda Indonesia.

“Dengan dukungan dari filantropi Google.org, Plan International akan bekerja sama dengan ASEAN Foundation untuk menyediakan pelatihan keterampilan dan bantuan pencarian kerja untuk lebih dari 5000 anak muda,” jelas Country Director Google Indonesia Randy Jusuf.

Public Policy & Government Relations Manager Google Danny Ardianto menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam program pinjaman modal tadi mereka dan Kiva akan menggaet sejumlah mitra lokal untuk penyaluran kredit. Lewat tangan mitra lokal tadi, pinjaman diharapkan dapat menyentuh sebanyak mungkin UMKM di seluruh Indonesia.

“Tujuan kami adalah bisa menjangkau seluas-luasnya di semua sektor dan bisa memberikan tingkat bunga yang rendah,” imbuh Danny.

Sementara itu untuk dana hibah tadi akan difokuskan untuk pelatihan kejuruan anak muda. Program tersebut dijadwalkan memakan waktu dua tahun dengan harapan mengakselerasi kemampuan kerja angkatan muda di Indonesia.

Fokus melawan pengangguran

Fokus Google untuk menekan dampak pandemi terhadap angkatan kerja di Indonesia juga terlihat dari pengembangan aplikasi Kormo Jobs. Diluncurkan sejak awal tahun lalu, Google semakin mantap mengembangkan Kormo Jobs sebagai platform yang mempertemukan pencari pekerjaan dengan perusahaan yang membutuhkan.

Operations Lead Kormo di tim Next Billion Users Google Bickey Russell mengungkapkan setidaknya ada tiga pembaruan dalam aplikasi tersebut. Pertama adalah fitur yang memungkinkan terjadinya wawancara pekerjaan jarak jauh. Kedua adalah tersedianya modul belajar dalam bahasa Inggris yang bisa membantu pencari kerja. Terakhir adalah sertifikasi profesional untuk kursus online yang diambil. Untuk poin terakhir Google menggandeng Arkademi dan QuBisa.

Bickey mengklaim jumlah pengguna Kormo Jobs terus berlipat ganda pada tahun tahun ini. Itu sebabnya mereka terus memperluas daftar perusahaan yang terdaftar mulai dari sektor logistik, layanan esensial, hingga UKM.

“Untuk saat ini kami masih fokus meningkatkan performa aplikasi. Kami melihat masih perlu banyak peningkatan, seperti cara mencocokkan pencari kerja dengan perusahaan, merekomendasikan pekerjaan yang sesuai, dan lainnya. Itu fokus kami saat ini,” terang Bickey.

Selaras target pemerintah

Pada awal acara Google for Indonesia 2020, Presiden Joko Widodo yang membuka rangkaian dengan menyebut besarnya kebutuhan negara akan talenta digital. Presiden mengatakan setidaknya Indonesia membutuhkan 9 juta talenta digital hingga 2035 mendatang.

“Kita perlu lebih banyak lagi software developer, kita perlu lebih banyak lagi product designer, dan kita juga memerlukan dukungan content creator sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu pengembangan SDM IT tidak bisa ditunda-tunda lagi,” ucap Jokowi dalam pembukaan Google for Indonesia 2020.

Selain kebutuhan SDM di sektor digital, Jokowi juga menyinggung kebutuhan permodalan untuk menggairahkan UMKM di masa pandemi ini. Ia menyebut dari total 64 juta UMKM di Tanah Air, setidaknya baru 8 juta saja yang sudah terintegrasi ke teknologi digital.

Startup Edtech Pembelajaran Bahasa Mandarin “LingoAce” Bidik 200 Ribu Pengguna di Indonesia

Startup edtech khusus belajar bahasa Mandarin LingoAce meresmikan kehadirannya di Indonesia pada hari ini, Rabu (18/11). Indonesia dan Thailand adalah dua negara yang diincar perusahaan asal Singapura ini, pasca mengantongi pendanaan Seri A+ senilai $6 juta dipimpin Sequoia India.

Dalam konferensi pers secara virtual, Founder & CEO LingoAce Hugh Yao menerangkan Indonesia adalah pasar yang strategis buat perkembangan LingoAce karena populasinya, pertumbuhan penetrasi internet yang menjanjikan, dan digadang-gadang sebagai negara dengan ekonomi digital yang paling potensial di ASEAN.

Ia dan tim juga melakukan riset mendalam sebelum benar-benar terjun ke negara ini. Makanya, perusahaan sangat menjunjung tinggi konsep lokalisasi agar LingoAce dapat diterima dengan baik.

“Kami sangat mengedepankan lokalisasi, dalam lima bulan kami mempersiapkan tim dan membuat situs dalam bahasa Indonesia. Pencapaiannya sangat memuaskan, kami berhasil mendapat 2 ribu pengguna,” terangnya.

Seperti diketahui, bahasa Mandarin adalah termasuk bahasa yang penting karena memiliki jumlah penutur terbanyak di dunia. Dalam suatu riset bahkan disebutkan belajar bahasa Mandarin juga berpengaruh kreativitas otak. Oleh karena itu, LingoAce menyasar pengguna dari kalangan usia 4-15 karena di sanalah masa emas seorang anak, yang mana belajar bahasa akan jauh lebih mudah bisa dicerna.

“Di atas umur 15 tahun, anak punya lebih banyak kegiatan sehingga mudah terdistraksi. Kami ingin mengajarkan bahasa Mandarin dan bisa dikuasai seumur hidup dengan cara yang personalisasi dan interaktif,” tambah Marketing Director LingoAce Indonesia Nirwanto Honsono.

LingoAce menyediakan platform belajar bahasa Mandarin untuk anak usia 4-15 tahun. Pengguna akan diajarkan oleh tutor native speaker yang tersertifikasi dan sudah lolos seleksi dalam mengajarkan bahasa Mandarin untuk anak dan remaja. Tutor ini berasal dari luar negeri, ada yang datang dari Singapura dan Tiongkok.

Tutor tersebut menyesuaikan proses pembelajaran untuk setiap individu, termasuk kecepatan dan gaya belajar setiap murid, dengan memperhatikan latar belakang budayanya. Proses belajar yang personalisasi ini membantu murid untuk belajar lebih cepat dan efektif. Durasi per kelas adalah 55 menit dan jadwal kelas lebih fleksibel.

Secara global, LingoAce telah digunakan oleh 100 ribu pelajar dan 2 ribu tutor yang tersebar di 80 negara, dan telah berhasil menyelesaikan 200 ribu kelas sejak pertama kali berdiri di 2017. Di Indonesia, LingoAce telah digunakan oleh 2 ribu pengguna, yang domisilinya masih terpusat di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan.

Ambisi di Indonesia

Nirwanto melanjutkan, pihaknya akan perbesar tim lokal agar dapat melayani kebutuhan pengguna di Indonesia. Dari pendanaan yang diperoleh perusahaan, banyak dialokasikan untuk merekrut lebih banyak karyawan. Dalam pipeline, pada tahun depan rencananya akan memiliki lebih dari 200 karyawan dari saat ini 25 orang. Tim tersebut akan ditempatkan untuk layanan pelanggan, operasional, dan pemasaran.

“Rencana kami adalah merekrut orang-orang yang punya pengalaman di bidang edukasi karena dalam operasional, kami tidak hanya berjualan saja. Kami ingin memantau perkembangan anak, apakah mereka on track atau tidak karena kami menawarkan pelayanan.”

Pada tahun yang sama, juga ditargetkan perusahaan dapat menggaet 50 ribu pengguna. Target yang lebih ambisius dipasang pada tahun berikutnya, perusahaan akan merekrut 500 karyawan, memiliki 200 ribu pengguna, dan menjadi pilihan utama untuk belajar bahasa Mandarin secara personal.

Di Indonesia, bahasa Inggris lebih populer daripada Mandarin, maka dari itu LingoAce sedang dalam persiapan untuk menghadirkan layanan tersebut. Nirwanto menargetkan pada tahun depan, belajar bahasa Inggris sudah tersedia dan digunakan pelajar.

Saat ini, perusahaan melakukan strategi akses kelas gratis untuk menarik 100 ribu pengguna baru dengan fasilitas keanggotaan selama setahun. Dengan program tersebut, pengguna dapat mengakses kelas-kelas Mandarin online tertentu sepuasnya.

Hugh menjelaskan di negara lain, perusahaan sudah mencatatkan pendapatan yang positif lewat strategi monetisasinya. “Ada tuition fee yang dibayarkan orang tua kepada kami, tapi ada juga kelas gratis yang bisa diakses untuk mendukung orang tua yang ingin mencoba untuk anaknya. Strategi ini imbang untuk memberikan dampak yang positif ke depannya,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here