Startup “Credit Scoring” CredoLab Umumkan Pendanaan Seri A Senilai 103 Miliar Rupiah

Startup pengembang platform credit scoring atau penilaian kredit CredoLab mengumumkan telah menutup putaran pendanaan seri A senilai $7 juta atau setara 103 miliar Rupiah. Investasi terbaru ini dipimpin oleh GBG, perusahaan yang dikenal dengan solusi data intelijen untuk pengelolaan identitas pengguna platform digital.

Access Venture Capital turut terlibat dalam pendanaan, juga Walden International yang merupakan investor sebelumnya. Awal tahun lalu perusahaan juga baru kumpulkan dana pra-seri A senilai $3,1 juta.

Dana segar akan difokuskan untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis di Asia Timur, serta melakukan ekspansi ke Amerika Latin dan Afrika.

CredoLab berasal dari Singapura, saat ini mereka juga sudah memiliki basis operasional di Indonesia. Pihaknya juga sudah tercatat OJK sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) sejak Desember 2019.

Dalam wawancaranya bersama DailySocial, Chief Product Officer CredoLab Michele Tucci mengungkapkan, platformnya bekerja dengan membaca data di smartphone untuk menghasilkan skor perilaku pengguna. Selanjutnya data tersebut diolah untuk memperkirakan kemungkinan gagal bayar. Metadata di perangkat diakses secara anonim, dengan tetap menjamin privasi.

Saat ini layanan credit scoring CredoLab dimanfaatkan oleh berbagai institusi, baik perbankan, pemain fintech, e-commerce, dan bisnis teknologi lainnya. Model bisnisnya adalah pay-per-use atau bayar.

Bisnis credit scoring di Indonesia

Di Indonesia, tidak hanya CredoLab yang tawarkan solusi credit scoring. Menurut data OJK yang dipublikasikan per Juli 2020, setidaknya ada 13 pemain yang saat ini beroperasi di Indonesia, sebagai berikut:

Platform credit scoring tercatat di OJK
Platform credit scoring tercatat di OJK

Seiring peningkatan jumlah penyedia layanan pinjaman digital, platform credit scoring makin laris digunakan. Pendekatan sebelumnya yang banyak dilakukan perbankan, yakni melalui analis kredit (dengan petugas khusus), memiliki beberapa isu saat diterapkan di fintech. Di antaranya membutuhkan proses lama dan histori data tidak selalu ada (terlebih saat melayani nasabah underbanked dan unbanked).

Layanan penilaian kredit terkini memanfaatkan data-data yang terbentuk dari aktivitas pengguna bersama perangkatnya, termasuk data transaksi yang dilakukan dengan berbagai aplikasi (seperti e-commerce, ride hailing, e-wallet, dll), hingga aktivitas di media sosial. Proses analisisnya sangat terbantu teknologi seperti big data, machine learning, dan AI.

Metodologinya pun terus berkembang, misalnya yang dilakukan Pefindo bersama XL Axiata dalam produk IdTelcoScore, mereka merilis produk penilaian alternatif memanfaatkan nomor seluler pengguna XL Axiata untuk menganalisis kelayakan kredit debitur. Data telekomunikasi seluler dinilai dapat menjadi salah satu data alternatif yang penting karena tumbuh signifikan dan jumlahnya masif.

Sebelum platform penilaian kredit berkembang seperti sekarang, banyak startup fintech yang lakukan pendekatan semi-manual. Misalnya beberapa pemain meminta pengguna mengunggah beberapa dokumen identitas atau mengharuskan mereka menghubungkan akun e-commerce ke platform penilaian kredit – untuk melihat transaksi yang telah dilakukan. Beberapa lainnya meminta pengguna mengunggah dokumen agunan seperti bukti pembayaran tagihan.

Setelah Bali dan Surabaya, SayurBox Targetkan Bisa Tersedia di Seluruh Jawa

Peningkatan transaksi dan pengguna untuk layanan online grocery di Indonesia tampaknya juga dirasakan oleh SayurBox. Dengan klaim untuk membantu petani lokal dan memenuhi kebutuhan pelanggan, kini mereka resmi hadir di Surabaya dan Bali.

Head of Communications SayurBox Oshin Hernis menyampaikan, selain operasional pihaknya juga sudah memiliki kantor, warehouse, dan tim lapangan di area tersebut.

“Surabaya dan Bali memiliki potensi Agrikultur yang besar. Kami memberikan akses bagi petani lokal untuk menjual hasil panen mereka kepada konsumen. Peluncuran SayurBox di kedua kota ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kelangsungan bisnis petani lokal. Terlebih lagi di masa pandemi ini, kami mengakomodasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok harian dengan aman melalui aplikasi SayurBox,” terang Oshin.

Oshin lebih jauh menjelaskan, setelah Bali dan Surabaya pihak SayurBox sudah menargetkan area baru untuk beroperasi. Bandung dan luar Pulau Jawa secara keseluruhan adalah target selanjutnya. Hal ini menurutnya tak lepas dari permintaan masyarakat di daerah-daerah tersebut.

Pihak SayurBox enggan menjelaskan secara rinci mengenai capaian yang didapat selama masa pandemi ini, hanya saja buah dan sayuran seperti Mangga dan Kangkung menjadi produk unggulan. Banyak dikonsumsi karena mudah untuk mengolahnya.

Ekspansi di waktu yang tepat

SayurBox tercatat sudah empat tahun berkecimpung di ekosistem jual-beli sayur dan buah segar. Secara konsep, mereka menyalurkan langsung hasil panen dari petani ke pelanggan. Tahun ini mereka resmi beroperasi di Surabaya dan Bali, tepatnya pada Agustus 2020.

SayurBox sendiri saat ini menyandang status centaur dengan pendanaan yang didapat dari Insigna Venture, Patamar Capital, East Ventures, dan Tokopedia. Ekspansi di tengah pandemi ini merupakan salah satu keputusan yang tepat. di waktu yang tepat. Selain Sayurbox sudah cukup berpengalaman di industri ini persaingan dengan layanan sejenis juga menjadi menjadi pertimbangan.

Salah satu cara untuk menjangkau lebih banyak tentunya dengan hadir di lebih banyak kota. Mengingat pandemi sukses mendorong pertumbuhan industri online grocery ini adalah waktu yang tepat.

Sebelum industri ini cukup ramai dengan pemain baru atau pemain lama yang mengambil langkah agresif. Etanee, TaniHub, Happy Fresh, atau KedaiSayur (pivot ke layanan pesan antar bahan makanan) adalah beberapa nama yang cukup aktif menjalankan strategi inovasi dan eksoansi.

Sementara itu di Surabaya sendiri pilihan untuk belanja sayur dan buah segar sudah ada beberapa. Ada Happy Fresh, Tanihub, dan TukangSayur.

Application Information Will Show Up Here

Midtrans dan Dukungannya Bantu Pelaku UKM Adopsi Bisnis Digital

Sebagai pionir layanan payment gateway di Indonesia, perjalanan bisnis Midtrans sangat menarik untuk disimak. Terlebih saat ini mereka telah menjadi bagian dari Gojek, sehingga menajamkan visi untuk membantu UKM dalam meningkatkan layanan digital dalam bisnisnya.

Dalam sesi #SelasaStartup CEO Midtrans Erwin Tanudjaja mengungkapkan rencana serta fokus bisnis Midtrans ke depan. Berikut ini rangkumannya:

Pertumbuhan positif bersama Gojek

 

Sudah hampir dua tahun lebih Midtrans bergabung bersama dengan Gojek. Kolaborasi ini diakui oleh perusahaan cukup mempopulerkan nama Midtrans (sebelumnya Veritrans) lebih mainstream lagi. Sebagai platform payment gateway, selama ini Midtrans memang bertugas menjadi pendukung untuk pebisnis dalam mengembangkan fitur pembayaran di platformnya. Namun ketika kolaborasi strategis terjadi dengan Gojek, semakin membuka peluang Midtrans untuk berkontribusi kepada UKM di Indonesia.

“Dari sisi Midtrans tentunya kami bangga bisa menjadi bagian dari ekosistem Gojek yang sangat besar jumlahnya. Bukan hanya menambah jumlah mitra UKM namun memungkinkan kami untuk mempercepat akselerasi UKM dalam hal pembayaran digital,” kata Erwin.

Midtrans yang selama ini bekerja di belakang layar, menyesuaikan rencana serta bisnis dari Gojek yang didominasi oleh para pelaku UKM. Salah satunya adalah mempercepat serta memudahkan transaksi kepada pengguna Gojek juga merchant Gojek sendiri.

“Jika dulunya pelaku UKM hanya memberikan pilihan pembayaran bank transfer dan COD (cash on delivery) saja, kini dengan teknologi yang kami implementasikan pembayaran melalui kartu kredit hingga virtual account juga bisa dilakukan,” kata Erwin.

Bukan hanya untuk mitra yang tergabung dalam ekosistem Gojek saja, namun pelaku UKM lainnya yang menjalankan bisnis secara independen juga bisa memanfaatkan teknologi yang dikembangkan oleh Midtrans. Meskipun posisinya masih menjadi bagian dari Gojek, namun Midtrans memiliki kebebasan untuk menciptakan inovasi dan dapat digunakan untuk semua.

Pandemi dan dukungan untuk UKM

Saat pandemi secara otomatis mengubah semua kebiasaan hingga perilaku konsumen secara umum. Yang sebelumnya hanya terbiasa melakukan transaksi secara tunai, kini penggunaan atau pembayaran non-tunai makin meluas digunakan oleh masyarakat Indonesia. Sebagai platform payment gateway, tentunya saat seperti ini memungkinkan bisnis mereka untuk bisa lebih cepat berkembang dan digunakan untuk semua pelaku UKM.

“Tentunya kembali lagi kepada target utama kami yaitu sebagai enablement bagi semua UKM yang masuk dalam ekosistem Gojek. Dengan menciptakan inovasi hingga teknologi yang bisa mempercepat dan memudahkan mereka melakukan transaksi,” kata Erwin.

Saat ini terdapat sekitar 20 layanan atau produk yang telah ditawarkan oleh Midtrans. Solusi tersebut tentunya bisa lebih menyeluruh jika terintegrasi dengan Gojek dan semua ekosistem yang masuk di dalamnya.

“Salah satunya adalah melancarkan kampanye #MelajuBersamaGojek yang merupakan kampanye yang diluncurkan saat pandemi. Degan tools yang kami tawarkan kepada UKM salah satunya adalah aplikasi Selly, tentunya bisa bermanfaat untuk sekitar 120 ribu mitra UKM yang bergabung dalam ekosistem Gojek,” kata Erwin.

Application Information Will Show Up Here

Corin Capital Beri Pendanaan Webtrace dalam Perpanjangan “Seed Funding”

Hanya berselang lima bulan, Webtrace kembali umumkan perolehan dana segar dari investor. Kali ini adalah modal ventura Corin Capital yang berpartisipasi menyuntikkan dananya ke Webtrace.

Baru awal April lalu Webtrace menerima pendanaan awal dari Prasetia Dwidharma dan Astra Ventures. Pendanaan itu sejatinya sudah ditutup. Namun CEO & Co-Founder Webtrace Erwin Subroto menjelaskan, pendanaan yang diumumkan hari ini adalah perpanjangan dari seed funding kemarin.

“Sebenarnya sudah [ditutup], tetapi Corin Capital ini sifatnya extension round saja mengingat strategic value yang diberikan ke Webtrace,” ucap Erwin kepada DailySocial.

Sama seperti waktu itu, Webtrace juga berencana memakai dana baru ini untuk tiga hal: menjalankan pemasaran yang lebih agresif, mengakuisisi lebih banyak pelanggan, dan menggenjot angka penjualan.

Webtrace sendiri adalah startup yang bergerak di sektor logistik. Layanannya menyediakan platform yang dapat membantu pengelola armada truk beroperasi secara efisien.

Webtrace mengimplementasikan layanannya itu lewat pemasangan sensor dan solusi internet of things (IoT). Dengan teknologi tersebut, pengelola truk dapat mengetahui berbagai data dan analisis secara real time. Pada akhirnya mereka nanti bisa mengatur dan memaksimalkan utilitas kendaraan, sopir, dan menghapus biaya-biaya yang tak perlu.

Pada April lalu, Webtrace mengaku sudah memiliki sekitar 3500 truk yang sudah berkomitmen dan dalam proses onboarding. Mereka yang bergabung dengan Webtrace pun disebut berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Madura, hingga Sulawesi. Erwin menambahkan saat ini jumlah truk yang bergabung sudah 2,5 kali lipatnya sejak itu.

Untuk target di akhir tahun ini, Erwin mengatakan bertekad tumbuh hingga dua kali lipat dari pencapaian saat ini. Ia juga berharap Webtrace dapat memperluas solusi yang mereka tawarkan terutama untuk kendaraan alat berat, mesin pertanian, serta platform yang terintegrasi kepada asuransi kargo.

“Webtrace siap memimpin industri dengan solusinya yang unik dan studi kasus yang komprehensif, memastikan solusi yang ada efektif dalam memecahkan permasalahan dan tantangan yang dialami pelanggan,” pungkas Erwin.

Selain Webtrace, sebelumnya sudah ada beberapa startup lokal yang garap solusi serupa, mendemokratisasi armada logistik dengan sentuhan teknologi. Salah satunya Ritase, selain menghubungkan perusahaan dengan vendor truk, mereka juga menjajakan SaaS untuk manajemen transportasi dan logistik.

Survei MarkPlus: ShopeePay Ungguli Pangsa Pasar Dompet Digital Selama Pandemi

Survei MarkPlus memperlihatkan ShopeePay sebagai aplikasi uang elektronik yang paling populer di Indonesia selama pandemi. Survei yang digelar ini khusus menyoroti penggunaan dompet digital dalam tiga bulan terakhir dan diikuti oleh 502 responden yang mewakili kota-kota besar dengan penetrasi smartphone tertinggi di Indonesia.

Head of Hight Tech, Property & Consumer Goods Industry MarkPlus, Inc. Rhesa Dwi Prabowo menerangkan, latar belakang survei dibuat karena laporan dari Bank Indonesia yang mencatat kenaikan transaksi digital atau uang elektronik semenjak pemberlakuan PSBB mencapai 64,48% dan volume transaksi tumbuh 37,35% secara tahunan.

Industri ini dianggap memiliki potensi besar untuk tumbuh, terlebih dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggunakan sistem pembayaran non-tunai ketika berbelanja online selama pandemi. Selain mengurangi risiko penularan, transaksi non-tunai dianggap memiliki banyak keunggulan, seperti transaksi yang lebih efisien dan efektif.

“Kami melihat adanya kecenderungan peningkatan transaksi secara digital karena masyarakat lebih memilih memenuhi kebutuhannya secara online. Berangkat dari situ, kami ingin melihat merek mana yang memiliki pangsa pasar jumlah atau volume transaksi tertinggi dalam tiga bulan terakhir,” katanya saat konferensi pers secara virtual, Rabu (2/9).

Lebih jauh dipaparkan, ShopeePay unggul dengan pangsa pasar sebesar 26% dari total volume transaksi uang elektronik di Indonesia. Kemudian disusul Ovo (24%), Gopay (23%), Dana (19%), dan LinkAja (8%).

Lebih jauh diterangkan, ShopeePay menjadi pilihan responden sebagai aplikasi yang paling sering digunakan di masa pandemi dengan rata-rata penggunaan sebanyak 7 kali tiap bulan. Berikutnya, Dana (6,4 kali), Ovo (6,2 kali), Gopay (6,1 kali), dan LinkAja (5,7 kali).

Tingginya penetrasi dompet digital, beriringan dengan kepercayaan para pengguna saat bertransaksi. Hal ini tercermin dari nilai transaksi per bulan yang dialokasikan ke dalam merek-merek dompet digital tersebut. ShopeePay kembali menempati urutan pertama dengan total nominal transaksi per bulan sekitar Rp149 ribu, unggul dibandingkan LinkAja, Dana, dan Ovo di sekitar Rp134 ribu, dan Gopay sekitar Rp109 ribu.

Nilai transaksi tersebut menurut para responden digunakan untuk membayar beragam kebutuhan. Untuk ShopeePay, responden menjawab untuk belanja online (97%), mengisi pulsa (67%), dan membayar tagihan utilitas (47%).

Adapun untuk responden yang memilih Gopay, menjawab saldo digunakan untuk membayar ojek/taksi online (68%), mengisi pulsa (56%), dan membayar makanan di tempat makan fisik (52%). Sedangkan untuk Ovo, digunakan untuk mengisi pulsa (59%), belanja online (57%), dan membayar ojek/taksi online (49%).

Terkait persepsi responden mengenai e-wallet masa kini, juga didominasi dengan ShopeePay sebagai pilihan terbanyak untuk pertanyaan tentang pertumbuhan terpesat (33%), menawarkan promo paling banyak (38%), dan mempermudah urusan belanja online (53%). Terkecuali, pertanyaan tentang e-wallet yang paling terpercaya, responden terbanyak memilih Ovo dan Gopay (masing-masing 25%).

Pergeseran konsumsi ke digital

Dalam paparan tersebut, turut mengundang Ekonom Indef Bhima Yudhistira dan Ketua Bidang Ekonomi Digital idEA Bima Laga. Bhima menjelaskan banyak hal yang bisa disimpulkan dari temuan MarkPlus. Salah satunya adalah positioning mereka di masing-masing segmen.

Misalnya dari Gopay yang unggul di transportasi online dan Ovo yang unggul di pembelian pulsa. Sementara itu, keunggulan ShopeePay dalam masa pandemi ini menandakan adanya perubahan gaya hidup masyarakat. Didukung pula oleh kelengkapan fitur yang disediakan oleh Shopee untuk bertransaksi di dalam aplikasinya.

“Beberapa hari lalu penambahan kasus positif tembus di angka 3 ribu. Ini menandakan akan semakin banyak orang untuk hijrah bergeser dari offline ke online. Di samping itu, kemudahan Shopee sebagai one stop service untuk belanja dan membayar utilitas menjadi yang dibutuhkan konsumen,” terangnya.

Secara industri, dampak positif dengan pesatnya transaksi lewat uang elektronik pada akhirnya akan membuat biaya transaksi turun karena semakin efisien. Hal lain yang turut berdampak adalah dari sisi kesehatan, orang tidak perlu keluar rumah untuk belanja dan membayar sesuatu.

“Sebelumnya aplikasi ini 50:50 untuk transaksi transportasi dan non-transportasi. Transportasi sekarang menurun karena PSBB, penghasilan driver pun menurun, tapi sekarang transaksi lari ke pembelian makanan, berdampak juga ke e-commerce. Berarti sekarang primadonanya bergeser.”

Sebelumnya, ShopeePay meresmikan kehadirannya di Indonesia pada 25 Agustus kemarin, meski secara entitas sudah berdiri sejak 2015. Dalam peresmian tersebut perusahaan sesumbar terkait pencapaiannya saat ini sebagai pemain nomor 1 dengan pertumbuhan terpesat.

Dalam beberapa bulan terakhir, pertumbuhan transaksi offline naik 6 kali lipat sejalan dengan ekspansi perusahaan merangkul pedagang online dan offline, serta terintegrasi dengan QRIS. Pencapaian lainnya, perusahaan mencatatkan kenaikan transaksi lebih dari 8 kali lipat di luar jabodatek untuk kurun waktu yang sama.

Fitur transfer antar pengguna (p2p) ShopeePay meningkat 5 kali lipat dan sebanyak 45% pesanan di Shopee Indonesia dibayar dengan menggunakan ShopeePay.

Induk Rumah.com Kembali Dapat Pendanaan, Persaingan Bisnis Proptech Makin Menarik Disimak

Hari ini (02/9) induk perusahaan Rumah.com, yakni PropertyGuru Group, mengumumkan perolehan pendanaan baru senilai $220 juta atau setara 3,2 triliun Rupiah. Investor yang terlibat adalah TGP Capital dan KKR melalui KKR Asian Fund III. Sebelumnya pada putaran seri D tahun 2018 lalu, kedua investor tersebut juga turut terlibat, didukung EMTEK dan Square Peg Capital.

Dana segar tersebut akan difokuskan untuk mempercepat pertumbuhan bisnis PropertyGuru di semua pangsa pasar. Dua layanan yang akan turut dimaksimalkan adalah pembiayaan rumah PropertuGuru Finance dan platform untuk pengembang properti PropertyGuru FastKey. Di Indonesia, selain Rumah.com mereka juga turut mengoperasikan RumahDijual.com. Merek berbeda juga dimiliki untuk mendukung bisnisnya di Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

Didasarkan pada riset sebelumnya yang dilakukan DailySocial, meninjau dari tingkat kunjungan di situs web dan aplikasi, kedua platform kelolaan PropertyGuru di Indonesia tergolong memimpin pasar. Mereka bersaing langsung dengan beberapa startup dan grup perusahaan. Misalnya dengan Emerging Markets Property Group (EMPG) yang kini hadir di Indonesia melalui akuisisinya terhadap Lamudi; atau 99.co yang saat ini terafiliasi dengan REA Group melalui joint venture, mereka turut mengoperasikan Rumah123 dan mencaplok situs listing properti Urbanindo.

Startup proptech di Indonesia
Startup proptech di Indonesia

Para pemain mencoba menangkap momentum pertumbuhan industri properti seiring dengan peningkatan perekonomian di Indonesia, khususnya saat merujuk data sebelum pandemi. Permintaan akan hunian terus meningkat, baik apartemen, rumah, sampai indekos. Sebarannya pun mulai menyeluruh, tidak hanya terpaku di ibukota, seiring dengan adanya pertumbuhan bisnis yang merata di berbagai kota.

Beberapa yang solusi yang dihadirkan proptech menyelesaikan permasalahan mendasar seperti memudahkan proses pencarian properti, transparansi proses bisnis dan transaksi properti, memberdayakan pengembang dan pebisnis lainnya dengan alat digital, hingga menyediakan alternatif solusi properti (seperti coworking atau coliving).

Sekilas startup proptech di Indonesia

Selain tiga grup perusahaan tersebut, ada banyak startup proptech di Indonesia yang berdiri secara independen, mengadopsi model bisnis yang spesifik. Misalnya yang dilakukan Travelio, selain sajikan listing apartemen untuk konsumer, mereka juga miliki bisnis Property Management yang membantu pemilik apartemen mengelola unitnya. Selain memasarkan, menerapkan standardisasi sehingga meningkatkan nilai jual apartemen yang hendak disewakan.

Yang paling anyar ada juga Pinhome, didirikan Dayu Dara Permata dan Ahmed Aljunied. Alih-alih menjadi marketplace atau situs listing, mereka mencoba menjadi platform online yang memfasilitasi interaksi antara pemilik, pembeli, dan agen properti. Di luar aplikasi berbasis sistem informasi, dari startup lokal juga sudah melahirkan platform pembiayaan untuk pembelian properti. Dua di antaranya Gradana dan Taphomes.

Juni lalu, startup proptech lokal Jendela360 juga baru bukukan pendanaan 14 miliar Rupiah. Layanan mereka unik, memadukan unsur visual dengan virtual reality untuk memudahkan pengguna melihat detail apartemen yang hendak disewa. YukStay tahun ini juga bergabung di Y Combinator, bersamaan dengan itu mereka berhasil kumpulkan pendanaan seri A senilai 65 miliar Rupiah.

Application Information Will Show Up Here

PasarPolis Umumkan Pendanaan Seri B, Bukukan Dana 796 Miliar Rupiah

Startup insurtech PasarPolis mengumumkan telah menutup pendanaan seri B (oversubscribed). Secara keseluruhan jumlah investasi berhasil dibukukan senilai $54 juta atau setara 796,7 miliar Rupiah. Investor yang terlibat dalam putaran ini adalah LeapFrog Investments, SBI Investment, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, dan Xiaomi.

Investasi ini diklaim merupakan yang terbesar sejauh ini startup insurtech di wilayah regional. Sebelumnya beberapa startup yang tawarkan layanan asuransi juga dapatkan pendanaan yang cukup besar, misalnya yang diperoleh PolicyPal ($20 juta) dan CXA Group ($58 juta) — keduanya berbasis di Singapura.

Dana segar akan digunakan PasarPolis untuk mendukung dan mempercepat pertumbuhan bisnis. Termasuk untuk unitnya di luar Indonesia, yakni di Thailand dan Vietnam. Masuknya LeapFrog dikatakan akan turut membantu mempercepat PasarPolis dalam menjangkau konsumen asuransi baru melalui jaringan regional yang dimiliki. Sementara bersama Xiomi, perusahaan ingin menciptakan teknologi asuransi yang lebih mudah diakses serta holistik.

Tahun 2018 lalu, PasarPolis menerima pendanaan seri A dari Gojek, Tokopedia, dan Traveloka dengan nilai yang tidak disebutkan. Pengembangan teknologi artificial intelligence dan big data menjadi fokus utama kala itu, seiring dengan perluasan kemitraan dan integrasi layanan ke beberapa aplikasi mitra, termasuk ketiga platform yang menjadi investor tersebut.

“Dukungan mereka (investor) adalah validasi besar atas dampak positif kami dalam industri dan masyarakat,” sambut Co-Founder & CEO PasarPolis Cleosent Randing.

Salah satu strategi yang menjadi andalan PasarPolis adalah berbasis kemitraan, saat ini setidaknya sudah ada sekitar 25 mitra perusahaan digital yang membantu menjualkan produk asuransi. Sejak 2018, perusahaan mengklaim mengalami pertumbuhan polis bulanan yang diterbitkan hingga 80 kali lipat. Perusahaan juga mengaku telah mendapatkan peningkatan jumlah mitra 4 kali lipat selama periode yang sama.

Dalam sambutannya Fernanda Lima selaku Partner LeapFrog Investments mengatakan, “Dengan 30 perusahaan asuransi dan 25 mitra digital, (PasarPolis) telah melayani lebih dari 4 juta konsumen baru di Juni 2020 [..] Ada potensi besar untuk dampak sosial yang positif. Ini berkat pengalaman mulis yang diberikan untuk pembeli pemula layanan asuransi menggunakan ekosistem digital, pembayaran digital, dan platform mobile.”

Dalam laporan Insurtech Report 2020 yang dirilis DSResearch diungkapkan, saat ini ekosistem pendukung bisnis asuransi di Indonesia sudah cukup lengkap. Di ranah digital, pemainnya pun sudah ada beberapa. Dengan model bisnis yang mirip, PasarPolis memiliki beberapa pesaing langsung yang dapat disimak pada bagan di bawah ini.

Insurtech di Indonesia

Application Information Will Show Up Here

Produk POS dari Payfazz Kini Terintegrasi dengan Sistem Pembayaran Cashlez

Aplikasi kasir POST, bagian dari Fazz Financial Group (Payfazz), mengumumkan telah terintegrasi dengan sistem pembayaran digital yang dimiliki oleh Cashlez. Merchant POST kini dapat menerima pembayaran non-tunai, mulai dari kartu debit/kredit hingga dompet digital yang telah bekerja sama dengan Cashlez.

VP of Business POST Reza Rizky Darmawan menjelaskan, pengembangan fitur ini diharapkan dapat memanjakan para penggunanya yang kini mencapai lebih 30 ribu merchant agar dapat memberikan solusi pembayaran yang lengkap dan aman dan dapat diakses melalui smartphone konsumen.

“Keuntungan lainnya, pelanggan dapat mengajukan aktivasi pembayaran digital melalui Cashlez tanpa perlu mengajukan ke berbagai payment provider yang ada. [..] Semoga kerja sama ini berjalan dengan baik dan dapat membantu para pebisnis dalam mengembangkan bisnisnya,” terang Reza dalam keterangan resmi, Senin (31/8).

CEO Cashlezz Tee Teddy Setiawan turut menambahkan, perusahaan ingin bekerja sama dengan pemain fintech lainnya agar para pelaku usaha dapat beralih ke digital dengan mudah. “Saat ini pengguna Cahslez sudah mencapai lebih dari 7 ribu merchant. Ke depannya kami akan terus berinovasi dan memberikan layanan yang terbaik bagi merchant Cashlez maupun merchant POST,” katanya.

Rebrand dari Sellfazz

Sebagai catatan, POST merupakan produk hasil rebrand dari Sellfazz di bawah bendera PT Fazzmart Teknologi Indonesia yang diresmikan pada Februari 2020. Dibandingkan sebelumnya yang fokus pada pengusaha UKM, kini POST mengalihkan targetnya untuk pengusaha F&B, jasa, dan ritel.

Pengembangan fitur yang telah dirlis, di antaranya halaman utama yang lebih mudah digunakan, dapat digunakan online dan offline, manajemen diskon dan pajak, laporan lengkap, kelola outlet dan karyawan dengan mudah, dan lainnya. Perusahaan menggunakan model berlangganan secara bulanan sebagai monetisasinya.

Reza mengungkapkan, POST adalah salah satu produk awal yang dirilis oleh Payfzz. Sebelum dibangun, para founder Payfazz melihat mayoritas pebisnis di Indonesia belum memiliki pencatatan bisnis yang baik, sehingga mengakibatkan kerugian di lima tahun pertama bisnis mereka dimulai.

Maka dari itu, POST berkomitmen untuk membantu memajukan bisnis dalam negeri meskipun tidak mudah, apalagi mengubah kebiasaan yang dahulu serba manual menggunakan teknologi digital.

“Target market dari POST adalah pemilik usaha di bidang makanan dan minuman, jasa seperti salon, pangkas rambut, dan ritel. Oleh karena itu, di aplikasi POST hadir untuk memenuhi berbagai kebutuhan para pebisnis dalam mengelola bisnis yang lebih mudah,” pungkasnya.

Lanskap di bisnis mPOS memiliki ceruk yang masih luas di Indonesia. Selain Cashlez dan POST, ada Moka, Pawoon, Majoo, Qasir, YouTap, Olsera, dan masih banyak lagi. Mereka semua menyasar pengusaha dari beragam skala usaha agar segmen tersebut dapat merasakan dampak dari digitalisasi bisnis. Contohnya Moka, saat ini juga memungkinkan merchant untuk menerima pembayaran dari berbagai sumber, termasuk dompet digital.

Untuk pengusaha mikro misalnya, mereka bisa mendapatkan catatan penjualan yang lebih rapi dan dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan. Sementara, dari sisi konsumen tentunya akan dimudahkan saat membayar transaksi dengan aplikasi uang elektronik, atau debit dan kredit, tidak perlu lagi menggunakan uang tunai.

Application Information Will Show Up Here

Pandemi Jadi Kesempatan Youtap untuk Percepat Digitalisasi Ritel Tradisional

Setelah resmi meluncur bulan Februari lalu, platform yang menyediakan pemrosesan e-money dan platform point-of-sales Youtap dihadapkan langsung dengan pandemi yang sempat menyulitkan pemilik UKM untuk menjalankan bisnisnya. Untuk mengakali kondisi tersebut, tim Youtap terjun ke pasar dan menemui target pengguna untuk melancarkan kampanye pentingnya penggunaan cashless hingga touchless.

Melalui kampanye yang dilancarkan, YouTap mengklaim mampu mengadopsi kenaikan hingga 300%. CEO Youtap Indonesia Herman Suharto mengatakan, perusahaannya selalu konsisten dengan visi untuk hadir di setiap lapisan usaha dalam membantu dan memberdayakan para pelaku usaha untuk mendapat pencapaian terbaik.

“Kami menghadirkan teknologi tepat guna yang bisa membantu para pelaku usaha mendapatkan solusi bisnis digital secara komprehensif hanya dalam satu aplikasi. Kami yakin Aplikasi Dagang Youtap akan membuat mitra merchant kami, khususnya UKM, dapat lebih produktif dalam mengembangkan usahanya,” kata Herman.

Saat ini Youtap telah memiliki 50 ribu mitra merchant dan telah memproses sekitar 1 juta transaksi. Targetnya hingga akhir tahun 2020, Youtap bisa mengakuisisi sekitar 1 juta merchant di seluruh Indonesia. Mereka juga berencana untuk memperluas kemitraan dengan layanan finansial hingga brand besar seperti McDonalds dan lainnya.

“Brand besar seperti McDonalds juga sudah merasakan layanan kami selama pandemi berlangsung. Kami berhasil meningkatkan penjualan mereka dengan menerapkan e-vocuher yang memudahkan proses pembelian dan pembayaran di gerai,” kata Herman.

Terkait lanskap persaingan, Youtap berhadapan dengan banyak pemain. Misalnya LinkAja, saat ini mereka turut mengoptimalkan sebaran layanan untuk pedagang pasar dan asongan. Aplikasi lain, misalnya Dana, juga turut bermanuver mengandalkan QRIS yang saat ini mulai digencarkan penetrasinya. Untuk POS sendiri, di Indonesia sudah memiliki beberapa layanan, mulai dari Moka dan Nadipos yang sudah masuk ke dalam grup Gojek, hingga Qasir, Pawoon, dan lain-lain.

Terkait pencatatan finansial, beberapa waktu terakhir startup-startup baru juga bermunculan, misalnya BukuWarung dan BukuKas. Keduanya sudah mendapatkan pendanaan pra-seri A untuk melakukan perluasan bisnis di seluruh Indonesia, menyasar peritel mikro.

Digitalisasi ritel konvensional juga akan membutuhkan waktu yang panjang. Karena sifatnya harus menyeluruh dan membentuk ekosistem, yang berarti tidak hanya dari sisi pedagang yang difasilitasi, namun dari sisi konsumen. Sementara trennya adopsi layanan e-money di kalangan masyarakat memang terus meningkat. Hanya saja, pemainnya pun sudah semakin banyak dengan persangian yang sangat ketat.

Aplikasi khusus untuk merchant

Mengklaim lebih dari platform kasir biasa, Youtap di Indonesia yang merupakan buah dari joint venture Salim Group dan Youtap Global, sebuah perusahaan teknologi yang berasal dari Selandia Baru. Melalui aplikasinya, semua pemilik UKM bisa lebih mudah membuat laporan keuangan, pendataan barang, hingga fitur notifikasi yang dibuat secara personal.

“Notifikasi ini cara kerjanya serupa dengan chat app seperti WhatsApp. Setiap pagi kami mengingatkan jumlah penjualan dari warung atau pemilik bisnis agar bisa lebih semangat lagi menjalankan bisnis setiap harinya,” kata Head of Product Development Youtap M. Syaiful Anam.

Meskipun untuk pilihan Basic bisa diakses secara gratis, namun bagi pengguna yang ingin menikmati berbagai fitur tambahan dan alat khusus bisa memilih cara berlangganan. Selain lebih mudah dan mempercepat proses, Youtap juga terus menerima masukan dari merchant, terkait dengan fitur baru atau tools apa yang diinginkan dan tentunya dibutuhkan oleh merchant. Mulai dari home delivery hingga proses untuk mempromosikan secara digital kepada target pelanggan lebih luas lagi.

“Salah satu feedback yang kami terima sudah kami realisasikan, dan rencananya satu bulan ke depan akan kami luncurkan fitur baru yang bisa bermanfaat bagi merchant saat pandemi ini,” kata Syaiful.

Application Information Will Show Up Here

SIRCLO Dapatkan Pendanaan Seri B Senilai 88 Miliar Rupiah

SIRCLO, startup pengembang platform e-commerce enabler, hari ini (28/8) mengumumkan perolehan pendanaan seri B senilai $6 juta atau setara 88 miliar Rupiah. Investor yang terlibat dalam putaran ini di antaranya East Ventures, OCBC NISP Ventura, Skystar Capital, Sinar Mas Land, dan beberapa nama lain yang tidak disebutkan.

Founder & CEO SIRCLO Brian Marshal mengatakan, dana modal tambahan akan difokuskan untuk penguatan infrastruktur internal. “Melalui pendanaan ini, kami terus meningkatkan kapabilitas dan jangkauan, agar bisa membantu semakin banyak brand di Indonesia. Kami juga optimis bahwa transaksi belanja online akan terus meningkat di masa depan, bahkan setelah pandemi berakhir.”

Perluasan bisnis terus dilakukan di tengah perkembangan pasar e-commerce. SIRCLO terus menambah fulfillment center baru dan meningkatkan fitur SIRCLO Store (termasuk di dalamnya platform brand activation, marketplace, dan chat commerce).

“SIRCLO berada pada waktu dan posisi yang tepat dalam masa pandemi ini. Dengan kemampuan yang sudah dibangun sebelum masa pandemi, SIRCLO membantu akselerasi transformasi digital yang sedang terjadi di negeri ini,” jelas Willson Cuaca, Co-founder dan Managing Partner di East Ventures.

Brand yang selama ini mengandalkan kanal penjualan tradisional pun terdorong untuk memasuki platform online agar bisa menjangkau konsumen dengan lebih baik. Laporan e-commerce SIRCLO Insights 2020 memperkirakan terdapat 12 juta pengguna e-commerce baru sejak pandemi berlangsung, 40% di antaranya mengatakan akan terus mengandalkan e-commerce bahkan setelah pandemi berakhir.

Persaingan di segmen bisnis ini sebenarnya sudah cukup ramai. Selain SIRCLO, sudah ada beberapa platform lain yang bermanuver di Indonesia. Sebut saja pemain lokal seperti Jubelio, Jet Commerce, dan IDMarco; atau beberapa pemain regional seperti aCommerce, Perpule, Anchanto, dan lain-lain. Value proposition jelas dibutuhkan, dengan memberikan nilai lebih yang mampu membantu mitra pedagang meningkatkan bisnis mereka.

Inisiatif bisnis

Founder & Co-Founder SIRCLO: Leontius, Brian, dan Andreas / SIRCLO
Founder & Co-Founder SIRCLO: Leontius, Brian, dan Andreas / SIRCLO

Di luar produk utamanya, SIRCLO juga terus lakukan peningkatan layanan. Akhir tahun lalu mereka luncurkan Connexi, platform SaaS dengan fitur manajemen e-commerce multi-channel. SIRCLO mengklaim Connexi sudah banyak digunakan oleh brand FMCG untuk mengelola penjualan online di SIRCLO Commerce.

Sementara layanan utama mereka adalah SIRCLO Commerce, yakni platform yang memfasilitasi seluruh proses penjualan online: mulai dari pengaturan stok, proses pemesanan, pengiriman produk, sampai layanan konsumen. Brand bisa mengelola penjualan online melalui marketplace, chat commerce seperti Whatsapp Business, ataupun situs webnya sendiri.

Pada Mei 2020 lalu, SIRCLO mengumumkan merger dengan agensi penyedia teknologi dan solusi e-commerce Icube. Aksi perusahaan ini turut menggabungkan ribuan klien mereka, sekaligus menyatukan kekuatan dari kedua belah pihak untuk membantu lebih banyak bisnis dan brand melakukan transformasi digital.

Pasca-merger Founder & President Icube Muliadi Jeo mengemban posisi CTO SIRCLO. Leontius Adhika Pradhana selaku CTO sebelumnya berubah posisi menjadi CPO. Selain itu, Juni lalu perusahaan juga menyambut menunjuk COO baru Danang Cahyono. Danang sebelumnya merupakan Managing Director di Westcon-Comstor Indonesia.