Zenius Mulai Terapkan Teknologi AI, Perkenalkan ZenCore

Startup edutech Zenius memperkenalkan ZenCore untuk meningkatkan pengetahuan umum terkait tiga materi fundamental, yakni matematika, logika verbal, dan Bahasa Inggris. Dalam pengembangan fitur teranyar ini, mereka mengimplementasikan teknologi AI dan machine learning untuk mempelajari kemampuan masing-masing pengguna berdasarkan jawaban mereka dari pertanyaan yang ada di Core Practice.

CorePractice ialah tempat latihan yang ada di dalam ZenCore berisi ratusan ribu pertanyaan dari tiga cabang konsentrasi utama. Pengguna bisa memanfaatkan CoreInsight untuk mempelajari tentang topik-topik yang ada agar wawasan lebih luas karena berisi penjelasan dari pertanyaan-pertanyaan latihan, dalam bentuk video konsep yang mudah dipahami.

Dari jawaban-jawaban tersebut, sistem Zenius secara otomatis akan menentukan tingkatan kemampuan dasar pengguna dengan penghitungan algoritma yang dirancang seakurat mungkin. Akurasi jawaban pengguna akan menentukan kenaikan level mereka di papan skor ZenCore.

Chief Education Office Zenius Sabda P.S. menjelaskan, selama ini salah satu masalah umum yang ditemui di Indonesia adalah pemahaman dasar masyarakat yang belum terlalu terasah karena terlalu fokus pada ilmu-ilmu yang spesifik. Terlebih, kemampuan tiap orang juga berbeda satu sama lain. Hal inilah yang membuat pemberian materi pelajaran tidak bisa dipukul rata, sebab tiap orang harus belajar dengan kemampuan masing-masing.

“Kami melengkapi ZenCore dengan skema peringkat dan penilaian (ranking and scoring) untuk memantik sikap kompetitif pada setiap pengguna. Melalui pendekatan gamifikasi, kami berharap para pengguna akan membagikan nilai mereka di media sosial, dan mengajak teman untuk berkompetisi dalam hal yang positif,” ucapnya dalam keterangan resmi, Kamis (1/7).

Fitur ini juga bagian dari upaya perusahaan untuk mengoptimalkan retensi di dalam platformnya karena selayaknya game, ZenCore akan membuat para pengguna penasaran untuk mendapatkan skor yang lebih baik. Dengan format gamifikasi pula, ia ingin menekankan bahwa proses belajar tidak harus selalu serius dan kaku.

Dalam suatu studi yang Sabda kutip dari ScienceDirect, konsep gamifikasi yang diterapkan dalam dunia pendidikan terbukti mampu meningkatkan rata-rata nilai siswa sebesar 34,75%. sementara itu, siswa yang dididik menggunakan materi berbasis gamifikasi juga mengalami peningkatan performa hingga 89,45% dibandingkan dengan siswa yang hanya menerima materi satu arah.

Sabda melanjutkan, ZenCore dapat diakses secara gratis. Pengguna yang ingin mengasah kemampuan mendasarnya dapat mencoba untuk menyelesaikan 100 level yang berisi lebih dari 135 ribu pertanyaan. Seluruh pertanyaan ini disusun oleh tim pengembang kurikulum di Zenius berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dasar dari matematika, logika verbal, dan Bahasa Inggris yang tidak asing dalam kehidupan sehari-hari.

“ZenCore merupakan sebuah awal dari fokus kami untuk memaksimalkan implementasi teknologi AI ke dalam platform Zenius. Ke depannya, kami akan terus mengembangkan fitur-fitur yang memanfaatkan teknologi AI untuk memberikan pengalaman belajar terkait untuk seluruh pengguna,” pungkas Sabda.

Diklaim sepanjang tahun ajaran 2019/2020, Zenius telah diakses oleh lebih dari 16 juta pengguna dari pedesaan dan perkotaan di seluruh Indonesia. Zenius memiliki lebih dari 90 ribu video pembelajaran dan ratusan ribu latihan soal untuk jenjang SD-SMA yang telah disesuaikan dengan kurikulum nasional.

Teknologi lainnya dalam dunia pendidikan

Sebelum Zenius, pemanfaatan teknologi termutakhir juga mulai dikembangkan banyak pemain edutech untuk memberikan nilai tambah bagi para penggunanya. Kompetitor terdekatnya, yakni Ruangguru merilis Roboguru yang didesain untuk membantu siswa menjawab soal dari berbagai mata pelajaran dengan memberikan pembahasan dan rekomendasi video pembelajarannya.

Roboguru memanfaatkan kapabilitas Photo Search dan User Generated Content. Pengguna hanya perlu mengirim foto soal yang dirasa sulit dikerjakan, kemudian sistem akan memberikan rekomendasi materi yang dapat membantu menyelesaikan soal tersebut.

Berikutnya ada Cakap yang menyematkan konten berbasis AR agar proses pembelajaran jadi lebih interaktif. Teknologi ini dikembangkan bersama AR&Co., melalui teknologi ISeeAR. Sesi pembelajaran yang dilakukan lewat medium telekonferensi video dilengkapi dengan animasi-animasi menarik untuk menambah minat belajar anak.

Selanjutnya, ELSA Speak yang memanfaatkan kecerdasan buatan yang dipadukan dengan voice recognition untuk membantu pengguna melafalkan Bahasa Inggris. Aplikasi akan menilai pengucapan pengguna dan memberikan skor atau rekomendasi perbaikan.

Application Information Will Show Up Here

Deretan Tren Teknologi yang Bakal Mendisrupsi Dunia Bisnis Versi McKinsey

Teknologi memegang peranan penting dalam segala aspek kehidupan. Dalam konteks bisnis, teknologi juga bisa menentukan seberapa jauh korporasi dapat berkembang. Agar tidak kehilangan momentum, para eksekutif bisnis perlu menaruh perhatian khusus pada sejumlah tren teknologi yang paling berpengaruh ke depannya. Kira-kira begitulah kesimpulan yang bisa ditarik dari riset terbaru yang dilakukan oleh McKinsey & Company.

Dari 10 tren teratas yang dibahas, 7 di antaranya masuk ke ranah digital. Tren yang dibahas juga bukan sekadar yang berpotensi mendisrupsi banyak sektor industri sekaligus, melainkan juga yang tergolong niche seperti revolusi bioteknologi maupun kemajuan tren nanopartikel dan nanomaterial.

McKinsey memprediksi bahwa ke depannya teknologi robotik, Industrial Internet of Things (IIoT), digital twins, dan additive manufacturing (3D atau 4D printing) bakal digabungkan untuk mempersingkat pekerjaan-pekerjaan rutin, meningkatkan efisiensi operasional, dan mempercepat waktu penetrasi pasar. McKinsey mendeskripsikan tren ini dengan istilah “next-level process automation and virtualization“.

McKinsey mengestimasikan bahwa di tahun 2025, lebih dari 50 miliar perangkat bakal terhubung dengan jaringan IIoT dan menghasilkan data sebesar 79,4 zettabyte setiap tahunnya. Sebagai konteks, 1 zettabyte itu setara dengan 1 miliar terabyte. Lalu di tahun 2030, 10% dari seluruh proses manufaktur bakal digantikan oleh teknologi 3D atau 4D printing.

Tren yang berikutnya menggabungkan kemajuan infrastruktur 5G dengan IoT guna mewujudkan sederet layanan maupun model bisnis baru. McKinsey menemukan ada sekitar 1.000 kasus penggunaan di berbagai sektor industri yang berkaitan erat dengan tren konektivitas ini, yang diperkirakan bisa berkontribusi terhadap angka GDP di tahun 2030 hingga sebesar 5-8 triliun dolar Amerika Serikat.

Tanpa harus terkejut, AI tentu juga termasuk sebagai salah satu tren dengan implikasi terbesar di dunia bisnis. McKinsey bahkan memprediksi bahwa kemajuan di bidang AI dan machine learning bakal mewujudkan konsep “Software 2.0”, konsep di mana profesi pengembang software telah digantikan oleh AI. Meski demikian, untuk bisa memaksimalkan tren automated programming ini, perusahaan harus meningkatkan kapabilitas DataOps maupun MLOps-nya terlebih dulu.

Di masa yang akan datang, demokratisasi infrastruktur IT juga bakal semakin dipercepat dengan semakin meningkatnya pengadopsian teknologi cloud computing. Menurut McKinsey, angka pengadopsiannya bisa meningkat hingga mendekati 50% di tahun 2025, dan bukan tidak mungkin menembus angka 80% jika tren yang ada sekarang masih terus berlanjut sampai ke depannya.

Quantum computing dan neuromorphic computing diperkirakan juga bakal terus bertambah mainstream. Tren komputasi generasi baru ini diprediksi bakal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini belum bisa terjawab di dunia sains. Masa pengembangan industri farmasi dan bahan kimia bakal dipangkas secara drastis, demikian pula industri mobil kemudi otomatis yang bakal diakselerasi. Bukan cuma itu, next-gen computing juga diprediksi bakal mendisrupsi bidang cybersecurity secara signifikan.

Lebih lengkapnya mengenai tren-tren teknologi terpenting di dunia bisnis dapat langsung dibaca di situs McKinsey.

Gambar header: Depositphotos.com.

Perusahaan Percakapan Neuro.net Asal Eropa Timur Beroperasi di Indonesia, Persiapkan Tim Lokal

Sejak lima tahun belakangan, ekonomi digital Indonesia telah berkembang pesat. Banyak sumber yang menobatkan Indonesia sebagai negara dengan nilai ekonomi digital terbesar se-Asia Tenggara. Akan tetapi, level adopsi kecerdasan buatan di sini belum menyeluruh di tiap industri.

Mengutip penelitian dari McKinsey & Company, adopsi tertinggi AI ada di industri telekomunikasi, manufaktur, transportasi, logistik, dan edukasi. Padahal, AI sebenarnya juga dapat diterapkan untuk industri yang berhubungan dengan jasa, termasuk sektor keuangan dan perbankan.

Kesempatan tersebut ingin digarap oleh Neuro.net perusahaan percakapan yang memiliki kantor pusat di Eropa Timur untuk ekspansi ke Indonesia. Dalam keterangan resmi, Co-Founder & CEO Neuro.net Nikolay Kravchuk menyampaikan, ekspansi ke Indonesia adalah bagian dari rencana global perusahaan. Di sini, mereka akan fokus membangun digitalisasi call center di berbagai sektor industri seperti keuangan, telekomunikasi, dan ritel.

CEO dan Co-Founder Neuro.net Nikolay Kravchuk / Neuro.net
CEO dan Co-Founder Neuro.net Nikolay Kravchuk / Neuro.net

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial, SEA Regional BD Manager Neuro.net Yustin Noval menambahkan, pada tahap awal ini perusahaan membangun tim lokal yang akan fokus pada bisnis, kemitraan, dan tim dukungan lokal untuk produksi. Secara paralel, juga mulai membangun bisnis langsung ke klien perusahaan, serta kemitraan dengan perusahaan strategis lokal untuk percepat penetrasi pasar.

“Dalam waktu dekat kami berencana untuk memperkuat dan mengembangkan tim produksi dan teknologi kami untuk memberikan pengalaman yang luar biasa kepada pelanggan kami,” kata Yustin.

Lebih lanjut dijelaskan, Indonesia memainkan peran penting di kawasan Asia Tenggara, dengan pertumbuhan ekonomi digital dan beberapa sektor yang paling berkembang dan terkemuka seperti teknologi perbankan dan keuangan, e-commerce, dan logistik. “Indonesia memiliki pasar yang besar dan potensial untuk teknologi berbasis AI, termasuk AI yang menangani urusan percakapan.”

Kravchuk menuturkan, teknologi automasi berbasis AI memainkan peran penting dalam transformasi digital setiap negara, termasuk di Indonesia. Sebagai pengembang AI, Neuro.net saat ini tengah mempelajari transformasi digital dan adopsi teknologi baru, khususnya pada praktik percakapan yang digerakkan oleh AI (conversational AI).

Oleh karenanya, perusahaan menjalin sejumlah kerja sama dengan mitra bisnis untuk menjajakan penerapan konsep baru ini untuk skala yang lebih besar. “Indonesia punya potensi besar untuk meningkatkan adopsi inovasi AI, terutama di sektor keuangan dan perbankan yang kini terlihat sangat berkembang. Hal ini diikuti oleh karakter konsumen mereka yang sangat loyal, di mana hal ini cukup memberikan tekanan tambahan bagi setiap institusi keuangan dan perbankan untuk meningkatkan lagi standar pelayanan pelanggan,” tuturnya.

Beberapa tantangan dalam memberikan pengalaman pelanggan terbaik adalah kemampuan untuk mengoptimalkan contact center, yang memiliki tingkat panggilan tinggi dan masalah pelanggan yang kompleks. Kravchuk bilang, ketika pelanggan menuntut pelayanan lancar dan selalu siaga 24 jam sehari, hal ini bisa berdampak pada kualitas kerja agen manusia di dalamnya.

Agen manusia lebih terpapar pada risiko human error, emosi, belum lagi ketidakmampuan untuk mengikuti skrip dan bekerja secara omnichannel. “Di sinilah peran kami memberikan solusi percakapan AI, sehingga agen virtual kami dapat memperkuat contact center mereka.”

Dalam conversational AI, umumnya digunakan untuk beberapa fungsi seperti menjawab pertanyaan nasabah, menghubungkan nasabah dengan produk keuangan yang tepat, dan bisa menjalankan interaksi dua arah dengan pelanggan ketika ada transaksi mencurigakan. Pelanggan pun tidak hanya bisa mendengarkan informasi, tapi bisa langsung mengonfirmasi atau menolak transaksi, dan langsung bertanya pada agen virtual.

Pekerjaan dasar ini dapat dialihkan ke agen virtual karena mereka sudah dibekali kemampuan untuk melakukan ratusan ribu panggilan setiap hari selama 24×7. Agen virtual juga dapat berkomunikasi secara natural kepada konsumen, misalnya membangun perbincangan dasar sampai yang kompleks, memberikan solusi keuangan, dan menyesuaikan intonasi dan jeda bicara.

Neuro.net mengembangkan teknologi ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan peran manusia. “Teknologi kami dapat membuat call center mengautomasi tugas-tugas rutin dalam waktu tiga minggu saja, seperti memberikan notifikasi pembayaran jatuh tempo, informasi kantor cabang bank terdekat. Dengan begitu, para human agent bisa lebih fokus pada tugas-tugas yang lebih kreatif dan kompleks yang dibutuhkan nasabahnya.”

Salah satu perusahaan yang bermitra dengan Neuro.net adalah Hi-Tech Smart Solutions (HTTS) asal Singapura. Perusahaan ini fokus pada inovasi digital pada sektor keuangan di Asia Tenggara dengan memanfaatkan agen virtual untuk automasi pengelolaan kredit macet.

Untuk di Indonesia, Neuro.net akan terus berdiskusi dan mengeksplorasi bagaimana solusi dari pain point sudut pandang dari pelanggan. Adapun target pengguna Neuro.net di sini adalah industri keuangan (perbankan), telekomunikasi, logistik, dan sektor lainnya, termasuk UKM.

“Pendekatan kami adalah bagaimana dapat memberikan solusi dari berdasarkan penggunaan kasus bisnis yang berbeda, seperti bagaimana kami dapat meningkatkan percakapan penjualan, bagaimana kami dapat menghasilkan prospek/kualifikasi yang efisien, bagaimana teknologi kami dapat menghasilkan wawasan dari survei serta bagaimana kami dapat memberikan pengalaman pelanggan yang mulus di contact centre,” pungkas Yustin

Prixa Bags Funding Over 40 Billion Rupiah Led by MDI Ventures and TPTF

Prixa healthtech announced fresh funding of $3 million (over 40 billion Rupiah) led by MDI Ventures and Trans-Pacific Technology Fund (TPTF). As previous investor, Siloam Hospitals Group also participated in this round.

In an official statement, fresh money will be used to expand Prixa’s platform coverage and user base, supporting the B2B customer base, and increasing accessibility to healthcare and the digital transformation of Indonesia’s healthcare services.

“There is a dichotomy in healthcare industry where constant innovation exist in advanced patient care, but access to basic healthcare continues to lag behind. [..] We thank the strategic investors for the opportunity, who have supported us in making a positive impact on healthcare through digital primary care,” Prixa’s Co-Founder & CEO, James Roring said.

Each investor representative gave a statement. TPTF’s Managing Director, Barry Lee said, “As an international venture fund, we see a significant opportunity to support the healthcare industry in Indonesia through cutting-edge technology. We look forward to contributing the global experience in this sector that we gain from our portfolio of other health technology companies to support Prixa’s growth.”

MDI Ventures’ GM Legal and Corporate Communications, Aditia Henri Narendra added, “MDI co-led the funding at Prixa for demonstrating its ability to support insurance companies and hospitals in making physician services more accessible and affordable through its AI-powered telemedicine platform. [..] We are very happy that Prixa can actively support the digital health ecosystem in SOEs.”

Prixa was founded in 2019 by James Roring, MD with the first service launched was an AI-based health management platform. The platform provides telemedicine and other basic primary care services to healthcare payer with the mission of humanizing healthcare by leveraging data and technology.

Prixa focuses on healthcare payer services, which include insurance companies, corporations, and government entities, serving approximately 10 million users. Aiming to reduce claims costs and healthcare costs, Prixa strives to provide healthcare in a paradigmatic way through a managed care approach. This business model is in line with Prixa’s support for government programs for digital transformation in the healthcare sector and for improving health services across all levels of society.

To date, in time of pandemic, it is said that Prixa has experienced exponential growth for its services, including online medical consultations. The Prixa platform allows users to connect directly with primary care services, which include telemedicine consultation, drug delivery, and on-demand laboratory tests.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian 

Prixa Dapatkan Pendanaan Lebih dari 40 Miliar Rupiah, Dipimpin MDI Ventures dan TPTF

Startup healthtech Prixa mengumumkan perolehan dana segar senilai $3 juta (lebih dari 40 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh MDI Ventures dan Trans-Pacific Technology Fund (TPTF). Dalam putaran ini juga diikuti oleh Siloam Hospitals Group yang merupakan investor sebelumnya.

Dalam keterangan resmi disampaikan, pendanaan akan digunakan untuk memperluas jangkauan platform dan basis pengguna Prixa, mendukung basis pelanggan B2B, serta meningkatkan aksesibilitas ke perawatan kesehatan dan transformasi digital layanan kesehatan Indonesia.

“Terdapat dikotomi dalam perawatan perawatan kesehatan di mana ada inovasi yang konstan dalam perawatan pasien tingkat lanjut, namun akses ke pelayanan kesehatan dasar terus tertinggal. [..] Atas kesempatan baik ini, kami berterima kasih kepada investor strategis yang mendukung kami untuk bisa memberikan dampak positif kepada perawatan kesehatan melalui perawatan primer via digital,” ucap Co-Founder & CEO Prixa James Roring.

Masing-masing perwakilan investor turut memberikan pernyataannya. Managing Director TPTF Barry Lee mengatakan, “Sebagai dana ventura internasional, kami melihat peluang yang signifikan untuk mendukung industri perawatan kesehatan di Indonesia melalui teknologi mutakhir. Kami berharap dapat memberikan kontribusi pengalaman global di sektor ini yang kami peroleh dari portofolio perusahaan teknologi kesehatan kami yang lain untuk mendukung pertumbuhan Prixa.”

GM Legal and Corporate Communication MDI Ventures Aditia Henri Narendra menambahkan, “MDI co-led pada pendanaan di Prixa karena telah menunjukkan kemampuannya untuk mendukung perusahaan asuransi dan rumah sakit dalam membuat layanan dokter lebih mudah diakses dan terjangkau melalui platform telemedisnya yang ditenagai oleh AI. [..] Kami sangat senang Prixa dapat secara aktif mendukung ekosistem kesehatan digital di BUMN.”

Prixa didirikan pada 2019 oleh James Roring, MD dengan layanan yang pertama kali diluncurkan adalah platform manajemen kesehatan berbasis AI. Platform tersebut memberikan layanan telemedis dan layanan perawatan primer dasar lainnya untuk pembayar perawatan kesehatan dengan misi memanusiakan perawatan kesehatan dengan memanfaatkan data dan teknologi.

Prixa berfokus pada pelayanan pembayar perawatan kesehatan, yang mencakup perusahaan asuransi, korporasi, dan entitas pemerintah, melayani sekitar 10 juta pengguna. Dengan tujuan mengurangi biaya klaim dan biaya perawatan kesehatan, Prixa berusaha untuk memberikan perawatan kesehatan secara paradigmatis melalui pendekatan perawatan terkelola (managed care). Model bisnis ini juga selaras dengan dukungan Prixa terhadap program pemerintah untuk transformasi digital di sektor perawatan kesehatan dan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di seluruh lapisan masyarakat.

Sejauh ini, dalam kondisi pandemi, diklaim Prixa mengalami pertumbuhan eksponensial untuk layanannya, termasuk konsultasi medis secara online. Platform Prixa memungkinkan pengguna untuk terhubung langsung dengan layanan perawatan primer, yang mencakup konsultasi telemedis, pengiriman obat, dan tes laboratorium on-demand.

EA Patenkan Teknologi Baru yang Mampu Menganalisa Tingkat Kesulitan Game

Tingkat kesulitan dalam video game memang terus menjadi diskusi panjang di dalam industri maupun komunitasnya. Beberapa gamer tentunya menyukai tingkat kesulitan di atas rata-rata untuk memberikan tantangan lebih, namun beberapa gamer lain lebih menghendaki kesulitan yang lebih bersahabat.

Hal inilah yang dilihat sebagai potensi oleh Electronic Arts atau yang lebih dikenal dengan EA lewat paten terbarunya. EA sendiri mematenkan sebuah teknologi baru yang memungkinkan untuk mengukur tingkat kesulitan video game selama pengembangan.

Dilansir dari Gamerant, dalam praktiknya EA akan menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau A.I. untuk menyimulasikan pengalaman bermain video game yang tengah dikembangkan. Kemudian akan menentukan tingkat kesulitan game tersebut berdasarkan sejumlah metrik.

EA sendiri tidak hanya membuat teknologi ini untuk mencari tahu mana level game yang terlampau sulit atau mana yang kurang sulit. Namun juga untuk mencari tahu di mana lonjakan ataupun penurunan terbesar terjadi di dalam game-nya.

Pengembangan game Star Wars Jedi Fallen Order (Image Credit: ScereBro PSNU)

Teknologi ini sendiri bertujuan untuk mencari tantangan yang tidak konsisten di antara berbagai aspek di dalam sebuah video game, yang dapat membuat para pemainnya kehilangan minat. Karena bila sebuah game memiliki satu level yang terlalu susah, ada kemungkinan mayoritas pemain akan kehilangan minat untuk melanjutkan game-nya.

Kondisi yang sama ternyata juga terjadi pada level yang terlalu mudah. Karena, bila sebuah game terlalu banyak memuat level yang kurang menantang bagi para pemain, ada kemungkinan juga para pemain merasa bosan dan kehilangan minatnya.

Ke depannya, teknologi ini dianggap akan mampu mengubah cara para pengembang dalam menentukan tingkat kesulitan game yang tengah mereka buat. Namun juga dapat mempercepat dan mengotomatiskan proses pengujian game-nya nanti.

Nvidia Umumkan Grace, CPU Berbasis ARM Pertamanya untuk Data Center

Saat Nvidia mengumumkan rencananya untuk mengakuisisi ARM tahun lalu, banyak yang menilai langkah tersebut sebagai upaya Nvidia untuk merebut pangsa pasar di segmen chipset smartphone. Namun kala itu Jen-Hsun Huang (CEO Nvidia) menjelaskan bahwa yang bakal menjadi fokus mereka dalam waktu dekat justru adalah di bidang data center dan cloud.

Beliau rupanya tidak asal bicara. Nvidia baru saja memperkenalkan CPU berbasis ARM anyar yang mereka juluki Grace, diambil dari nama salah satu pionir dunia pemrograman komputer, Grace Hopper. Grace merupakan CPU pertama Nvidia yang dirancang untuk digunakan di komputer-komputer server pada sebuah data center, kurang lebih sama seperti lini CPU Intel Xeon maupun AMD EPYC.

Alasan mereka merancang Grace sebenarnya cukup sederhana. Nvidia membutuhkan CPU server yang mendukung interface NVLink, yang memungkinkan komunikasi antara CPU dan GPU dalam kecepatan yang sangat tinggi (minimal 900 GB/s), jauh di atas yang interface PCI Express tawarkan saat ini (kurang lebih 30x lebih cepat).

Dengan bandwith sekaligus kecepatan yang amat tinggi yang Grace tawarkan, Nvidia pun memandangnya sebagai CPU yang paling ideal untuk ditandemkan dengan generasi selanjutnya dari GPU kelas server buatan mereka. Untuk menggambarkan kinerja komputer server yang menggunakan Grace secara keseluruhan, Nvidia memakai skenario melatih sistem natural-language processing dengan satu triliun parameter.

Menurutnya, pekerjaan ini dapat dilakukan dengan kecepatan 10x lebih tinggi daripada jika menggunakan lini komputer server besutan mereka saat ini, yakni Nvidia DGX yang mengandalkan CPU berbasis arsitektur x86.

Anggap saja sekarang kita membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk melatih suatu sistem natural language processing. Dengan Grace, waktu yang diperlukan bisa dipangkas hingga menjadi tiga hari saja. Tidak heran apabila kemudian Nvidia langsung mendapatkan klien besar meski Grace sendiri sebenarnya baru akan dirilis di tahun 2023.

Ilustrasi superkomputer Alps / Nvidia
Ilustrasi superkomputer Alps / Nvidia

Klien yang dimaksud adalah Swiss National Supercomputing Centre (CSCS), yang saat ini tengah membangun sebuah superkomputer AI bernama Alps. Prediksinya, Alps bakal menjadi superkomputer dengan performa AI tercepat (20 exaflop) saat sudah rampung dibangun di tahun 2023 nanti.

Selain itu, Nvidia juga sudah punya niatan untuk menggunakan Grace pada Atlan, sebuah chipset baru yang Nvidia rancang untuk mobil kemudi otomatis, yang estimasinya bakal hadir di tahun 2025.

Apa yang Nvidia lakukan ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dari Apple. Apple, seperti yang kita tahu, memutuskan untuk merancang sendiri prosesor laptop berbasis ARM karena tidak puas dengan keterbatasan yang mereka jumpai pada prosesor berbasis arsitektur x86. Nvidia juga demikian, hanya saja konteksnya untuk komputer server ketimbang consumer.

Sumber: Engadget dan AnandTech.

Microsoft Akuisisi Perusahaan Spesialis Speech Recognition, Nuance

Akuisisi demi akuisisi terus dilancarkan oleh Microsoft demi mengembangkan bisnisnya. Yang terbaru, Microsoft baru saja mengumumkan akuisisinya terhadap Nuance Communications, perusahaan software yang menggeluti bidang speech recognition dan artificial intelligence (AI).

Produk Nuance yang paling terkenal adalah software speech recognition bernama Dragon. Selama bertahun-tahun, Dragon sudah dipakai oleh berbagai perusahaan besar melalui sistem lisensi. Salah satu klien Nuance yang paling dikenal mungkin adalah Apple, yang memanfaatkan teknologi speech recognition beserta natural-language processing milik Dragon dalam pengembangan asisten virtual Siri.

Tidak heran apabila kemudian Microsoft rela mengucurkan dana sebesar $19,7 miliar (± Rp288,79 triliun) untuk meminang Nuance. Nuance bisa dibilang merupakan salah satu pemimpin di bidang speech recognition, dan Microsoft tentu dapat memanfaatkannya di banyak produk dan layanan yang mereka tawarkan.

Salah satu yang langsung terpikirkan mungkin adalah menggunakan teknologi speech recognition untuk menghadirkan fitur transkrip audio secara otomatis di Microsoft Teams, kurang lebih mirip seperti yang ditawarkan oleh Zoom maupun Google Meet melalui integrasi layanan pihak ketiga bernama Otter. Itu baru satu contoh, sebab potensi pengaplikasian speech recognition dan natural-language processing di bidang enterprise — bidang yasng sangat dikuasai oleh Microsoft — tentu amat luas.

Pada kenyataannya, langkah pertama yang bakal Microsoft ambil pasca akuisisi Nuance adalah menggenjot inovasinya lebih jauh lagi di industri pelayanan kesehatan alias health care. Ini dikarenakan Microsoft sebenarnya sudah bermitra dengan Nuance sejak tahun 2019 untuk membantu memperlancar tugas-tugas administratif di industri pelayanan kesehatan.

Software besutan Nuance sendiri sudah digunakan di lebih dari tiga perempat (77%) rumah sakit di Amerika Serikat. Salah satu yang banyak digunakan adalah Dragon Medical One, yang dirancang untuk membantu para dokter mendokumentasikan pekerjaannya secara efisien.

Proses akuisisinya diperkirakan bakal rampung pada akhir tahun 2021 ini juga. Akuisisi ini merupakan akuisisi terbesar kedua yang dilakukan Microsoft setelah LinkedIn di tahun 2016 dengan nilai $26 miliar.

Sumber: Microsoft.

Qlue Klaim Bisnis Naik 70% Setahun Terakhir, Solusi Dipakai di Berbagai Negara

Startup penyedia solusi ekosistem smart city Qlue mengungkapkan bisnis secara keseluruhan tumbuh 70% dibandingkan tahun sebelumnya, melebihi target awal sebesar 50%. Pandemi menjadi faktor dibalik meningkatnya implementasi digitalisasi dan pemanfaatan solusi smart city yang semakin krusial dalam keberlangsungan usaha.

Co-Founder dan CEO Qlue Rama Raditya mengatakan, integrasi solusi smart city dengan kebutuhan di masa pandemi bisa membantu berputarnya roda perekonomian agar tetap berjalan, dengan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Hal itu juga sejalan dengan tren usaha saat ini juga berkembang ke arah operasional minim sentuhan dan tatap muka langsung.

“Kemampuan Qlue dalam membaca kecenderungan pasar itu juga menjadi pondasi utama dalam inovasi dan pengembangan solusi berkelanjutan oleh Qlue,” kata dia, Rabu (31/3).

Pada awal tahun lalu, sebenarnya perusahaan memiliki sejumlah rencana pengembangan teknologi. Akan tetapi pandemi berlangsung, yang akhirnya mengubah rencana perusahaan dan berinisiatif mengembangkan solusi baru yang berkaitan dengannya. Salah satunya adalah aplikasi pelaporan warga QlueApp, menambah enam kategori laporan baru terkait Covid-19 dan menjadi mitra strategis Pilkada Watch.

Selain itu, lini produk IoT mengembangkan QlueThermal untuk mendeteksi suhu tubuh, penggunaan masker, dan dilengkapi fitur absensi. “Pengembangan berikutnya juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar sehingga dapat digunakan untuk sistem absensi, akses kontrol, dan integrasi dengan RFID,” tambah Co-Founder dan CTO Qlue Andre Hutagalung.

QlueThermal kini sudah memasuki pengembangan versi kedua dan sedang persiapan menuju versi ketiga yang bakal dirilis pada Mei 2021. Salah satu penggunanya adalah PT Pertamina (Persero).

Sejauh ini Qlue memiliki enam produk smart city. Selain QlueThermal, ada QlueApp, QlueWork, QlueVision, QlueSense, dan QlueDashboard. Masing-masing produk ini punya fungsi, misalnya QlueWork dipakai oleh tenaga lapangan untuk menindaklanjuti laporan yang dikirimkan oleh QlueDashboard.

Rama menuturkan solusi Qlue berhasil menarik pihaknya untuk memboyong ke luar negeri dan diimplementasikan di sana. Disebutkan, perolehan penghargaan dari luar negeri dan mengikuti berbagai program akselerator dan jaringan global, termasuk salah satu faktor pendukung dibalik masifnya pergerakan solusi Qlue secara global.

Menurut salah satu riset yang ia kutip, potensi smart city secara global pada 2025 mendatang diprediksi tembus $820 miliar dengan pertumbuhan 14,8% per tahun. “Pasar utama kami masih Indonesia karena peluang di sini masih sangat besar, tapi mampu ekspansi global juga salah satu target kami. Harapannya bisa semakin mendunia, meski kebanyakan proyek masih di Asia.”

Beberapa lokasi yang sudah memanfaatkan solusi Qlue adalah Singapura, Filipina, Tiongkok, Jepang, India, Rusia, Australia, dua negara di benua Eropa, dan empat negara di benua Amerika. Di Indonesia saja, kota-kota yang sudah memanfaatkan solusinya ada lebih dari 75 kota, dengan penambahan 43 kota pada 2020 saja.

Jumlah klien Qlue pada tahun lalu naik 32% menjadi 133 perusahaan dari sebelumnya 101 perusahaan. Sementara, pertumbuhan mitra dan channel untuk mendistribusikan solusinya naik 20% menjadi 126 mitra dari sebelumnya 105 mitra.

Klien Qlue datang dari sektor pemerintah dengan komposisi 70% dan sisanya swasta 30%. Pada tahun lalu, sektor pemerintah juga mendominasi tapi komposisinya 55% terhadap sektor swasta 45%. Bila melihat dari komposisi sumber pendapatan Qlue, sektor pemerintah berkontribusi terhadap 80% total keseluruhan dan sisanya dari sektor swasta 20%.

Presiden Qlue Maya Arvini menuturkan, sektor usaha yang memanfaatkan solusi Qlue di masa pandemi cukup bervariasi, ada yang datang dari, properti, rumah sakit, retail perbankan, perhotelan, industri hiburan sampai ke instansi pemerintah level pusat dan daerah.

Solusi smart city teranyar

Andre melanjutkan pada tahun ini perusahaan akan melanjutkan pengembangan solusi pendukung smart city lainnya yang sudah direncanakan dalam rancangan kerja. Ada dua solusi yang telah disiapkan, yakni Smart Environment yang difokuskan untuk memperbaiki kualitas udara dan Smart Traffic Management untuk meningkatkan mobilitas di perkotaan.

Terkait solusi yang kedua, sambungnya, nantinya lampu lalu lintas akan ditenagai dengan teknologi AI untuk membaca situasi lalu lintas terkini. Durasi lampu akan lebih fleksibel tergantung jumlah kendaraan, bukan lagi ditentukan berdasarkan jadwal.

Solusi tersebut telah diujicobakan di dua lokasi, salah satunya di Alam Sutera. Diklaim, Qlue mampu mengurangi tingkat kemacetan di persimpangan jalan hingga 25%. “Lampu lalu lintas ini juga buat mengatur para penyeberang sehingga mengurangi risiko kecelakaan. Kami akan lebih banyak bekerja sama dengan DISHUB untuk memakai solusi ini.”

Selain itu, Qlue sedang mengembangkan sebuah platform untuk permudah penggunaan solusi AI agar dapat dijangkau pelaku bisnis UKM hingga skala besar sesuai kebutuhan masing-masing. Rencananya solusi tersebut akan dirilis dalam kurun tahun ini.

Pajak.io Luncurkan Chatbot “Bee-Jak”, Mudahkan UKM Lapor dan Bayar Pajak

Bertujuan untuk dapat membantu para pelaku usaha mengelola pajak, Pajak.io meluncurkan fitur baru Chatbot Bee-Jak yang dilengkapi dengan teknologi Artifical Intelligence berupa Natural Language Processing (NLP) dalam Bahasa Indonesia. Kepada DailySocial, Co-founder & CEO Pajak.io Rayhan Gautama mengungkapkan, visinya dari awal mendorong inklusi pajak, terutama untuk wajib pajak dari sektor UKM.

“Yang saya pahami, tarif pajak UKM itu murah sekali, hanya setengah persen dari total penghasilan kotor pada setiap bulan. Namun untuk proses pembayarannya relatif masih sulit dan berbelit-belit terutama untuk pelaku bisnis yang kurang familiar dengan pajak,” kata Rayhan.

Ketika ingin membayar pajak, ada banyak hal yang harus dipahami. Mulai dari jenis pajak untuk menyesuaikan dengan kode pelaporannya, kemudian mencocokkan dengan kode setoran, dan lain-lain. Kendati sudah ada aplikasi online dan petunjuk resmi dari situs Ditjen Pajak, banyak orang yang masih kurang fasih memahami prosedurnya.

Melalui layanan chatbot Bee-Jak, Pajak.io mencoba untuk membantu menambah pemahaman tersebut secara lebih komprehensif dan “bersahabat”. Layaknya berkonsultasi/chat dengan teman yang lebih mengerti pajak, chatbot juga akan memberi info sampai menghitungkan pajak yang harus dibayar, menerbitkan kode billing secara otomatis, dan menyiapkan link pembayaran melalui layanan e-commerce mitra Ditjen Pajak. Proses tersebut bisa terjadi lewat WhatsApp, layanan pesan instan yang cukup primadona di Indonesia: klik di sini untuk mencoba chat via WhatsApp dengan Bee-Jak.

“Namun ke depannya, Bee-Jak akan menjadi robot konsultan pajak pertama di Indonesia yang dapat melayani administrasi segala jenis pajak, mulai dari perhitungan, pembayaran maupun pelaporan, baik untuk pajak bulanan perusahaan, asistensi perhitungan dan pelaporan pajak orang pribadi, hingga pembuatan NPWP,” kata Rayhan.

Sebenarnya sudah ada startup lokal lain yang juga menawarkan kemudahan pelaporan pajak lewat mekanisme chatbot. Yakni aplikasi HiPajak, konsep layanannya menyuguhkan asisten virtual untuk membantu UKM mengetahui berbagai hal terkait perpajakan.

Pandemi dan pertumbuhan bisnis

 

Sejak diluncurkan pada 14 Juli 2020 hingga akhir Februari 2021, Pajak.io telah memiliki lebih dari 5 ribu pengguna, mencatat lebih dari 17 ribu transaksi pajak dengan total Gross Transaction Value (GTV) lebih dari 200 miliar Rupiah. Meskipun dihadang pandemi, namun tidak mempengaruhi bisnis secara keseluruhan. Secara umum perusahaan mengklaim cukup senang dengan pertumbuhan bisnis sejauh ini.

Untuk ke depannya, perusahaan juga akan memaksimalkan teknologi AI di Pajak.io, baik untuk membantu pengguna enterprise ataupun UKM. “Chatbot Bee-Jak ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat UKM secara gratis. Kami berharap untuk mendapatkan peningkatan partisipasi UKM dalam pembayaran pajak di lingkungan Pajak.io,” kata Rayhan.