Finmas Fintech Lending Parent Company Raises $105 Million Funding

Hong Kong-based fintech developer company Oriente, a parent company of Finmas fintech lending, today announced a $105 million (equal to 1.5 trillion Rupiah) Series A funding. Sinar Mas (Indonesia), Berjaya (Malaysia), and JG Summit (Philippines) are involved as investors. This funding has set a record as the biggest Series A funding in Asia.

We’ve tried contacting relevant parties, whether funding from Sinar Mas is delivered through its investment arm, SMDV or LVP, but until this article is published, it’s left unanswered. Recently, through SMDV, Sinar Mas Group also invested in an overseas startup named Eko.

Funding for Oriente will be focused on improving technology and product development. In addition, build-up the current services and further expansion in Southeast Asia will have its part of the fresh fund. Oriente currently operates two fintech lending platforms, Finmas in Indonesia and Cashalo in the Philippines. Oriente services target the unbankable and capital for SME.

Geoffrey Prentice, one of Oriente’s Co-Founder, who’s also the Co-Founder of Skype, said in its release that Oriente was founded based on inclusion and innovation principal. Its vision is to open financial access, freedom, and opportunity for those underserved by banking. Thus, they (the unbankable) can participate in the global economic growth.

Since was founded in 2017, Oriente currently has representative offices in some regions for business development and expansion preparation, including Hong Kong (HQ), Shanghai, Singapore, Taipei, Manila, Jakarta, and Ho Chi Minh. In Indonesia, Finmas is working under PT Oriente Mas Sejahtera. It’s registered and supervised by OJK and has acquired legal license to run fintech lending. Sinar Mas is also a strategic partner of Finmas services.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Go-Jek to Launch Business in Singapore This Week

After the expansion plan officially announced some time ago, Go-Jek is now rumored to launch the “beta” version of its service in Singapore on Thu (11/29). The initial service only available for a limited amount of consumers.

Previously, Go-Jek had strategic partnership with DBS Bank to support its expansion in Singapore. In the previous agreement release, Andre Soelistyo, Go-Jek’s president said Go-Jek Singapore will be launched soon after this partnership.

In the same release, it was mentioned that DBS customers will get the same opportunities and special offers for the beginning of Go-Jek service. DBS is going to be a strategic partner for digital wallet service in Go-Jek app.

According to McKinsey & Company research, Singapore is one of the countries with the most developed penetration of the non-cash payment model in Asia, along with Hong Kong and South Korea. Therefore, it’s inefficient for Go-Jek to offer ride-hailing service without a digital payment system.

A new round for ride-hailing ecosystem in Singapore

Uber SEA acquisition has loosen the ride-hailing competition in Singapore. All services converge to Grab. In fact, although they refuse to be accused for doing market monopoly, there were no equal competitors. Go-Jek’s arrival has freshen the air in Singapore’s ride-hailing ecosystem.

The alternative service demand besides Grab is slightly indicated. ComfortDelGro is one of the taxi provider having a good impact. Companies claimed the service improvement post-uber acquisition. It was seen as a golden opportunity for other ride-hailing developers, including Tada.

However, to compete with Grab, requires a lot of effort. In fact, the company keep raising fund for app improvement to present multi-functional services. Having large capital means you can do many things to acquire users.

Go-Jek arrives with not-so-little capital, the latest news told us the old investors will raise funding to $9 billion – to provide equal service. Introducing app-based service for transportation in Singapore.

Singapore market is in fact not as big as Go-Jek’s origin or other target countries. Users are not as much as Indonesian or Vietnam people. However, Singapore looks like a proof after Grab’s duel in Indonesia, it’s time for Go-Jek to prove its competency in the opponent’s origin.

Go-Jek and Grab competition will be very interesting to be followed in the next round. It might not be transportation only, but also other innovation services the company keep innovating.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Coworking Space “The 11th” Beri Kesempatan Startup Indonesia Masuki Pasar Australia

Tingginya geliat startup di Indonesia mendorong Ivan Tandyo, pengusaha lokal yang berkarier di Australia, untuk mendirikan coworking space “The 11th” di kawasan Collins Street, Melbourne. Tempat ini akan dijadikan sebagai jembatan untuk startup lokal yang ingin masuk ke Australia, begitupun sebaliknya.

Coworking secara bisnis dimiliki oleh Navanti Holdings, perusahaan investasi yang memiliki berbagai anak usaha di bidang properti, manufaktur, jasa, kreatif, dan startup digital. Pangsa pasar terbesarnya di Australia dan sebagian di Indonesia.

Nama-nama anak usahanya, seperti Print Agency (solusi cetak digital), XDG (pengembang properti premium), Silikal, Navanti Finance, Im Home (dekorasi dan renovasi rumah), Xynergy (agen properti), Sanitized (jasa kebersihan), Encore, dan Kirana. The 11th menjadi anggota terbaru dalam induk usaha mereka.

“Kami menyediakan layanan end-to-end untuk startup dengan memanfaatkan jaringan yang sudah dibangun. Jadi untuk startup Indonesia yang mau scale up di Australia bisa masuk ke sini,” terang Ivan, Selasa (27/11).

Di dalam coworking space, akan diisi oleh beberapa anak usaha Navanti Holdings dan startup lainnya yang mau bergabung. Namun startup akan dikurasi, memastikan sesuai kriteria yang telah ditentukan. Sebab setiap startup yang bergabung akan dihubungkan dengan seluruh jaringan grup perusahaan sehingga memudahkan startup saat terjun langsung ke lapangan.

Startup yang hendak bergabung atau terpilih tidak harus bergerak di bidang digital dalam model bisnisnya. Jika dinilai prospektif, startup bisa mendapatkan pendanaan awal atau seri A. Navanti akan ikut mengambil kontrol manajemen untuk setiap startup yang didanai.

Saat ini sudah ada sekitar 40 startup, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri, termasuk dari Australia itu sendiri, yang mengajukan diri untuk masuk ke coworking space.

Hampir 80% di antaranya bergerak di bidang non-digital. Menurutnya, ada startup digital dari Indonesia yang menyatakan minatnya, kendati tidak disebutkan jumlahnya oleh Ivan.

“Nanti tim kami akan menyeleksi mana yang akan didanai, ada ratings yang sudah ditetapkan tim. Kalau buat dapat funding dan jadi subsidiary kami, tentu seleksinya akan lebih ketat.”

Dukungan penuh dari dua pemerintah

Kehadiran The 11th, menurut Ivan, adalah bagian dari komitmen antara pemerintah Australia dan Indonesia dalam meningkatkan hubungan bisnis lintas negara.

Pemerintah Australia ingin mendorong pemilik startup di negaranya untuk masuk ke Indonesia, begitupun sebaliknya. Jaringan Navanti Holdings akan dimanfaatkan secara penuh untuk dukung setiap startup.

Saat ini The 11th masih dalam proses persiapan, sehingga belum resmi dibuka untuk publik. Peresmian diperkirakan akan digelar pada Januari 2019.

Menggunakan ruangan seluas kurang lebih 1000 meter persegi, tempat tersebut mampu menampung sekitar 120 orang di dalamnya, termasuk meja hot desk. Dilengkapi pula tambahan fasilitas untuk menunjang kerja, seperti mesin pembuat kopi, ruang rapat yang luas, ruang demo produk, pantry dan lainnya.

Nama The 11th itu sendiri, diambil dari usia Navanti Holdings yang kini sudah memasuki usia ke 11 sekaligus menandakan dimulainya fokus Navanti untuk masuk ke startup digital.

“Kita enggak mau sok tahu tiba-tiba terjun ke sini [coworking space]. Tapi karena kita sudah menjalani bisnis selama 11 tahun, kami ingin bantu startup bisa scale up sampai ke level 11, tanpa harus lewati level 1 dan sebagainya, karena kami sudah lewati itu semua,” pungkasnya.

Induk Perusahaan Fintech Lending “Finmas” Dapatkan Pendanaan $105 Juta, Sinar Mas Turut Terlibat

Perusahaan pengembang teknologi finansial asal Hong Kong bernama Oriente –juga sebagai induk fintech lending Finmas– hari ini mengumumkan perolehan investasi seri A senilai $105 juta (setara dengan 1.5 triliun Rupiah). Investasi kali ini cukup unik, karena yang turut terlibat di dalamnya adalah konglomerasi dari tiga negara yang berbeda, yakni Sinar Mas (Indonesia), Berjaya (Malaysia), dan JG Summit (Filipina). Perolehan pendanaan ini turut memecahkan rekor menjadi pendanaan seri A dengan nilai terbesar di Asia.

Kami sudah mencoba menghubungi pihak terkait, menanyakan apakah pendanaan dari Sinar Mas Group disampaikan melalui unit investasinya SMDV atau LVP, namun sampai tulisan ini terbit belum mendapatkan jawaban. Sebelumnya melalui SMDV, belum lama ini Sinar Mas Group juga berinvestasi pada startup luar negeri bernama Eko.

Pendanaan Oriente akan difokuskan untuk peningkatan teknologi dan pengembangan produk. Selain itu penguatan layanan yang sudah ada dan ekspansi lanjutan di Asia Tenggara akan turut mendapat porsi dalam alokasi dana modal baru tersebut. Oriente saat ini mengoperasikan dua paltform fintech lending, yakni Finmas di Indonesia dan Cashalo di Filipina. Layanan fintech Oriente menargetkan kalangan unbankable dan permodalan bagi UMKM.

Dalam rilisnya, salah satu pendiri Oriente yang juga mantan co-founder Skype, Geoffrey Prentice, mengatakan bahwa Oriente didirikan dengan prinsip inklusi dan inovasi. Visinya untuk membuka akses keuangan, kebebasan, dan kesempatan bagi orang-orang yang kurang terlayani oleh layanan perbankan. Dengan demikian mereka (unbankable) bisa berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi global.

Sejak didirikan pada tahun 2017, saat ini Oriente sudah memiliki kantor perwakilan di beberapa wilayah untuk penguatan bisnis dan persiapan ekspansi, yakni Hong Kong (HQ), Shanghai, Singapura, Taipei, Manila, Jakarta dan Ho Chi Minh. Di Indonesia, Finmas berada di bawah naungan PT Oriente Mas Sejahtera. Mereka juga telah terdaftar dan diawasi OJK, sehingga sudah mendapatkan legal mengoperasikan fintech lending. Sinar Mas juga menjadi mitra strategis dalam operasional layanan Finmas.

Application Information Will Show Up Here

Minggu Ini Go-Jek Akan Luncurkan Layanan di Singapura

Setelah rencana ekspansinya resmi dikabarkan beberapa waktu lalu, kini beredar kabar Go-Jek akan segera meluncurkan versi “beta” layanannya di Singapura pada Kamis (29/11) ini. Peluncuran layanan tahap awal tersebut baru akan bisa dinikmati oleh konsumen dalam jumlah terbatas.

Sebelumnya Go-Jek telah menjalin kemitraan strategis dengan Bank DBS untuk mendukung pelebaran sayapnya di Singapura. Dalam rilis penandatanganan perjanjian beberapa waktu lalu, Presiden Go-Jek Andre Soelistyo menyampaikan, pasca kerja sama ini Go-Jek di Singapura akan diluncurkan dalam waktu dekat.

Di rilis yang sama juga disampaikan bahwa pelanggan DBS nantinya akan mendapatkan kesempatan dan penawaran khusus untuk layanan Go-Jek di fase awal.  Karena DBS akan menjadi mitra strategis layanan dompet digital di aplikasi Go-Jek.

Menurut penelitian McKisney & Company, Singapura adalah salah satu negara dengan penetrasi model pembayaran non tunai paling matang di Asia, bersama Hong Kong dan Korea Selatan. Sehingga sangat tidak efisien jika Go-Jek menjajakan layanan ride-hailing tanpa dibarengi sistem pembayaran digital.

Babak baru ekosistem ride-hailing di Singapura

Akuisisi layanan Uber di Asia Tenggara membuat persaingan layanan ride-hailing di Singapura memudar. Opsi layanan mengerucut pada Grab. Meski menolak dibilang memonopoli pasar, pada kenyataannya tidak ada pesaing yang berimbang. Masuknya Go-Jek memberikan angin segar pada persaingan di ekosistem ride-hailing Singapura.

Kebutuhan layanan alternatif selain Grab secara tidak langsung ditunjukkan. Layanan taksi ComfortDelGro salah satu yang menerima dampak baiknya. Perusahaan mengaku pasca Uber tidak ada, pemesanan layanan justru meningkat. Kondisi tersebut turut dilihat sebagai kesempatan emas bagi pengembang ride-hailing lainnya, salah satunya Tada.

Namun untuk menyaingi Grab memang membutuhkan banyak upaya. Pasalnya perusahaan terus melakukan penggalangan dana untuk menyulap aplikasi sehingga menghadirkan layanan multi-fungsi. Memiliki modal besar artinya dapat melakukan banyak hal untuk mengakuisisi pengguna.

Hadirnya Go-Jek –dengan dukungan permodalan yang tidak kecil, kabar terakhir investor lamanya akan menambah pendanaan hingga membawa valuasi mencapai $9 miliar—dapat menghadirkan opsi layanan yang berimbang. Menyajikan layanan berbasis aplikasi untuk kebutuhan transportasi di Singapura.

Pasar di Singapura memang tidak sebesar negara asal atau tujuan ekspansi Go-Jek lainnya. Penggunanya tidak sebesar di Indonesia atau Vietnam. Namun Singapura tampak seperti menjadi sebuah pembuktian, setelah Grab beradu di Indonesia, saatnya Go-Jek bertandang membuktikan kekuatannya di negara asal lawan.

Persaingan Go-Jek dan Grab masih akan menarik untuk diikuti dalam babak selanjutnya. Mungkin tidak hanya seputar layanan transportasi, melainkan kepada layanan-layanan lain yang terus diinovasikan oleh kedua perusahaan.

Application Information Will Show Up Here

MDI Ventures Pimpin Pendanaan Seri C Instarem, Startup Fintech Remitansi Asal Singapura

MDI Ventures kembali menambah daftar portofolio startup dengan mengucurkan pendanaan barunya. Kali ini diberikan kepada pengembang layanan remitansi asal Singapura bernama Instarem. MDI Ventures bersama Beacon Venture Capital memimpin pendanaan seri C dengan nilai mencapai $20 juta. Turut berpartisipasi dalam pendanaan ini investor sebelumnya, yakni Vertex Ventures, GSR Ventures, Rocket Internet dan SBI-FMO Fund.

Pendanaan akan difokuskan untuk perluasan jangkauan pasar Instarem, khususnya di wilayah Indonesia dan Jepang. Sebagai startup fintech yang menyajikan layanan remitansi –transfer uang antar negara, biasanya dilakukan pekerja asing—salah satu tantangannya adalah soal perizinan. Instarem cukup percaya diri akan segera mendapatkan lisensi dari otoritas Indonesia dan Jepang.

“Kami percaya bahwa Instarem memiliki kapabilitas yang besar dalam menyediakan jasa pembayaran lintas negara di Indonesia melalui mitra internasionalnya. Kami juga melihat bahwa sektor teknologi finansial di Indonesia sedang mengalami tingkat pertumbuhan yang pesat sehingga ini merupakan momen yang ideal bagi perusahaan fintech seperti Instarem untuk memasuki pasar Indonesia,” ungkap CEO MDI Ventures Nicko Widjaja kepada DailySocial.

Khusus di Indonesia, MDI Ventures akan turut membantu proses ekspansi dengan menjembatani kemitraan strategis Instarem dengan unit bisnis yang dimiliki Telkom Group. MDI Ventures juga meyakini bahwa pertumbuhan fintech di Indonesia dapat menjadi momen tepat untuk mendukung pertumbuhan Instarem.

“Instarem saat ini sedang dalam proses memperoleh lisensi untuk beroperasi di Indonesia. Layanannya akan beroperasi dalam waktu dekat. Instarem juga akan melakukan penjajakan kerja sama dengan Telkom Group untuk layanan pembayaran dan remitensi demi meningkatkan layanan remitansi O2O di Indonesia,” lanjut Nicko.

Saat ini Instarem telah mengantongi izin dan beroperasi di Singapura, Australia, India, Eropa, Amerika Serikat, Hing Kong, Kanada dan Malaysia. Sementara babak baru pendanaan ini turut membuat startup bentukan Michael Bermingham dan Prajit Nanu tersebut mencapai total valuasi pendanaan $63 juta.

Dalam rilis resminya, Instarem turut menyinggung rencana IPO di tahun 2021 mendatang. Mengenai rencana ini Nicko berpendapat bahwa IPO pada suatu perusahaan menjamin likuiditas kepada para investor, pemegang saham, dan karyawan perusahaan tersebut.

“MDI Ventures percaya bahwa sebaiknya terdapat lebih banyak perusahaan teknologi di Asia Tenggara yang menargetkan IPO sebagai opsi exit strategy mereka. IPO memberikan sejumlah manfaat bagi ekonomi karena memvalidasi industri teknologi di negara tersebut dan mengurangi risiko terjadinya tech bubble dengan menormalkan valuasi dan menyediakan likuiditas,” tutup Nicko.

Application Information Will Show Up Here

Kredivo Siap Rambah Segmen Offline dan Ekspansi ke Filipina

Startup fintech lending Kredivo tengah mengembangkan layanan pinjaman untuk transaksi offline. Di saat yang bersamaan akan segera merealisasikan rencana ekspansi ke Filipina. Kedua rencana ini akan dilakukan pada awal tahun depan.

Co-Founder dan CEO Kredivo Akshay Garg menuturkan, rencana ini adalah bagian dari realisasi pendanaan seri B yang diumumkan Juli 2018 lalu. Menurutnya segmen offline juga menarik untuk diseriusi, lantaran ada potensi bisnis yang bisa digarap. Dari sisi konsumen pun ada permintaan agar Kredivo bermain ke sektor tersebut.

Pemain sejenis, Akulaku, sudah lebih dulu menghadirkan layanan serupa pada Oktober 2018. Agar tetap bisa berkompetisi dengan Akulaku, Kredivo akan tetap mengutamakan cicilan yang ringan seperti yang sudah dilakukan sejak awal berdiri. Pengguna tidak akan dikenakan beban biaya sama sekali atau 0% apabila melunasi utangnya kurang dari 30 hari.

Metode pembayaran yang dipakai untuk fitur teranyar adalah scan QR code yang nantinya bakal tersedia di toko elektronik, restoran, dan sebagainya. Implementasi pilot project akan dimulai dari Jakarta.

“Fitur ini sebenarnya kami hadirkan karena kemauan konsumen. Sama halnya dengan fitur personal loan, kredit limit bisa mereka cairkan sebagai dana tunai untuk membayar kebutuhan sehari-hari,” ucapnya, Kamis (22/11).

Terkait ekspansi ke Filipina, sambungnya, sebenarnya belum menjadi keputusan akhir. Namun Filipina bisa dikatakan sebagai negara yang paling sesuai dengan kriteria, karena tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Selain Filipina, ada dua negara lainnya yang sudah dipertimbangkan sejak awal, yakni Singapura dan Thailand.

“Kemungkinan baru bulan depan keputusan akhirnya, namun pilihan terdekat itu adalah Filipina dibandingkan dua negara lainnya.”

Co-Founder Kredivo Alie Tan menambahkan, perusahaan akan tetap menggunakan merek Kredivo. Hal ini dimaksudkan agar nama Kredivo semakin mudah dikenal, kalau menggunakan nama yang berbeda dikhawatirkan akan menyulitkan para pengguna.

Brand itu penting banget, kalau misalnya pakai nama yang berbeda akan sulit untuk penggunanya. Kalau satu warna tentunya akan lebih mudah dikenal,” ujar Alie.

Selain ekspansi ke luar negeri, Kredivo juga siap memperluas penetrasi pasarnya di Indonesia sebagai pasar utamanya. Co-Founder dan COO Kredivo Umang Rustagi mengatakan, Kredivo akan segera hadir di kota tier dua, kemudian merambah ke Makassar dan Yogyakarta.

Saat ini Kredivo baru bisa melayani pengguna yang berdomisili di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, Semarang dan Denpasar.

Kredivo diklaim telah menyalurkan pinjaman hingga belasan juta dolar per bulannya, tanpa menyebut angka pastinya. Terdapat hampir 1 juta pengguna terdaftar dan aktif menggunakan layanan Kredivo.

Tak hanya bisa digunakan untuk pembayaran cicilan di situs e-commerce, sejak dua bulan terakhir Kredivo merilis fitur personal loan. Fitur ini memungkinkan pengguna bisa mencairkan dana dari sisa kredit limit ke dalam rekening mereka untuk dipakai sebagai kebutuhan sehari-hari.

Diharapkan fitur personal loan ini bisa meningkatkan interaksi pengguna dengan Kredivo. Persentasenya diharapkan bisa seimbang dengan pembayaran di situs e-commerce.

Application Information Will Show Up Here

Berbincang tentang Ekosistem Startup Brazil dan Rencana “In Loco” Masuk ke Indonesia

Meskipun tidak terlalu sering terdengar keberadaanya, namun saat ini ekosistem startup di Brazil mengalami pertumbuhan yang cukup positif. Sedikitnya hingga akhir tahun 2018 sudah ada 6 startup unicorn asal Brazil dan beberapa layanan fintech yang sudah melakukan IPO.

Kepada DailySocial, Head of Startup Ecosystem In Loco, Felipe Matos, menyebutkan alasan utama mengapa startup asal Brazil tidak terdengar namanya, karena fokus mereka mengembangkan bisnis di negara asal saja. Kawasan yang disasar oleh startup Brazil adalah negara terdekat di Amerika Selatan dan Amerika Latin.

Untuk memperluas bisnis dan mengembangkan produk yang ada, Felipe berniat untuk menjalin kerja sama dengan startup Indonesia. Dengan pengalamannya sebagai CEO dan Head of Ecosystem Startup Farm di Brazil, yang selama ini fokus membantu startup dalam program akselerator, diharapkan pengalaman bisa membantu entrepreneur asal Indonesia.

“Pada dasarnya Brazil dan Indonesia memiliki kesamaan, mulai dari sisi demografi, infrastruktur, regulasi hingga logistik. Karena alasan itulah saya datang ke Indonesia,” kata Felipe.

Menguasai regulasi dan kebijakan pemerintah

Selain pengalamannya sebagai mentor, investor dan pengusaha; Felipe sebelumnya pernah bekerja di pemerintahan, sehingga memiliki pengetahuan yang cukup soal regulasi dan kebijakan pemerintah terkait startup. Terutama dengan pendekatan yang sebaiknya dilakukan oleh entrepreneur, terkait dengan membina hubungan yang baik dengan regulator dan mematuhi semua kebijakan yang ditetapkan pemerintah.

“Idealnya semua startup harus bisa secara kreatif menciptakan produk yang dibutuhkan dan langsung diluncurkan kepada target pengguna. Jika pada akhirnya pemerintah menetapkan peraturan khusus, baru lakukan pendekatan kepada regulator. Namun demikian cara ini tidak berlaku untuk layanan fintech,” kata Felipe.

Selain persoalan regulasi yang harus diprioritaskan oleh startup adalah persoalan talenta, relasi, hingga permodalan agar startup bisa berhasil. Tanpa adanya dukungan tersebut, menurutnya bukan hanya ekosistem yang tidak tercipta, namun juga kesempatan dan potensi startup untuk berkembang.

Meskipun telah memiliki startup unicorn, Indonesia saat ini dinilai masih kurang menarik perhatian investor lokal untuk kemudian menjadi key player dalam pembiayaan dan pendanaan startup lokal. Masih didominasi oleh investor asing, hal tersebut menurut Felipe bisa menjadi pemicu investor lokal untuk mulai berinvestasi. Sementara itu secara global, masuknya investor asing ke startup Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk berinvestasi, dilihat dari geliat startup lokal.

“Kisah sukses seperti Go-Jek, Tokopedia dan startup lainnya yang banyak mendapatkan pendanaan dari investor asing bisa menjadi pembelajaran di tahap awal. Untuk selanjutnya investor lokal mulai bisa menjadi pemain utama untuk mendukung pertumbuhan startup Indonesia,” kata Felipe.

Memperkenalkan startup asal Brazil ke Indonesia

Rencananya jika sesuai dengan jadwal, Felipe berniat untuk menghadirkan startup asal Brazil bernama In Loco ke Indonesia tahun 2019 mendatang. Startup yang memiliki teknologi geo-location ini diklaim bisa membantu startup seperti Go-Jek, Grab, hingga OVO melakukan kegiatan promosi, meningkatkan performa navigasi dengan teknologi yang dimiliki oleh In Loco.

Startup yang sudah hadir sejak 5 tahun lalu di Brazil tersebut saat ini sudah memiliki sejumlah klien yang besar dan dalam waktu dekat akan mengumumkan pendanaan Seri B.

“Berbeda dengan Google Maps dan teknologi navigasi GPS lainnya, In Loco mampu menentukan titik di dalam ruangan dengan memanfaatkan daya baterai yang sangat minim. Kami juga memiliki platform pemasaran yang bisa dimanfaatkan semua bisnis,” kata Felipe.

Layanan Coworking Space CoHive Hadir di Yogyakarta

Hari ini (22/11) jaringan coworking space CoHive (sebelumnya bernama Cocowork) melakukan soft-launching di Yogyakarta. Ekspansi ini menambah daftar ruang kerja yang dimiliki oleh CoHive, yakni 22 lokasi di Jakarta, 1 lokasi di Medan, dan sekarang tambah 1 di Yogyakarta.

Di Yogyakarta, CoHive terletak di lantai 3 Hartono Mall. Kehadirannya ingin coba memfasilitasi startup, UMKM, dan komunitas kreatif yang banyak bermunculan di Yogyakarta akhir-akhir ini.

Dalam acara soft-launching turut diadakan sesi presentasi, salah satunya memaparkan capaian CoHive sejauh ini. Disampaikan hingga kuartal keempat 2018, CoHive sudah memiliki lebih dari 5000 anggota dengan 500 perusahaan — 80% perusahaan adalah startup digital yang bergerak di beragam sektor.

Turut hadir dalam acara CEO & Co-Founder CoHive, Carlson Lau, menyampaikan alasan CoHive melakukan ekspansi ke Yogyakarta. Menurutnya masyarakat di sana dikenal memiliki semangat untuk berkelompok dan berkolaborasi. Harapannya layanan coworking space yang dihadirkan dapat memfasilitasi berbagai kegiatan kolaboratif tersebut.

“CoHive mengedepankan nilai-nilai komunitas, kolaborasi, pembelajaran, dan kesinambungan dan tentunya untuk tumbuh bersama. Selain itu, CoHive melihat Yogyakarta merupakan tempat ideal untuk tumbuh bersama. Image sebagai kota pendidikan yang diisi oleh individu gemar belajar dan memiliki talenta kami anggap sebagai peluang untuk tumbuh bersama,” ujar Carlson.

CoHive turut menyampaikan target perluasan selanjutnya. Bali, Bandung, dan Makassar adalah tiga kota yang akan segera disinggahi. Ekspektasinya sebelum Desember 2019 sudah akan ada 40 lokasi ruang kerja yang dikelola.

Di Yogyakarta, CoHive menyediakan ruang kerja kolaboratif, ruang kerja privat, ruang rapat dan ruang untuk mengadakan acara. Totalnya akan ada 25 ruang privat yang disediakan, dengan ruang kerja kolaboratif yang dapat menampung hingga 62 orang.

JavaMifi Siapkan Ekspansi ke Filipina dan Jepang Tahun Depan

JavaMifi, perusahaan penyedia layanan sewa pocket wifi, mengungkapkan tengah menyiapkan rencana ekspansi bisnis ke Filipina dan Jepang untuk awal tahun depan. Untuk merealisasikan rencana tersebut, perusahaan akan bekerja sama dengan mitra lokal yang juga bergerak di bisnis yang sama.

“Bentuknya [sebagai joint venture atau agen penjual] masih dibicarakan dengan mitra, tapi proses [persiapan] sudah 50%. Kemungkinan paling cepat baru diresmikan kuartal pertama tahun depan,” ucap Founder JavaMifi Andintya Maris, Rabu (21/11).

Tak hanya berhenti di kedua negara tersebut, JavaMifi juga bakal ekspansi ke negara lainnya terutama di kawasan Asia. Menurutnya, dengan ekspansi ini, diharapkan dapat memperluas penetrasi bisnis JavaMifi di kalangan wisatawan inbound dan outbound yang hendak melancong.

Di samping itu, kemitraan dengan mitra lokal juga bakal diperkuat, terutama dengan UKM yang fokus pada layanan sewa pocket wifi. JavaMifi akan menjadi penyedia modem untuk kemitraan tersebut.

Pengembangan produk juga bakal digencarkan. Menurut Andintya, JavaMifi tengah mempersiapkan produk yang akan mendukung pengguna yang sedang berada di lokasi terpencil. Sehingga di mana pun pengguna berada tetap menerima koneksi internet. Bakal ada pula produk untuk solusi komunikasi antar negara.

“Dengan dukungan ekosistem travel yang semakin matang, tren positif outbound travel kami yakini akan bertahan hingga tahun-tahun mendatang. JavaMifi menargetkan pertumbuhan hingga tiga kali lipat dari pertumbuhan kami di tahun ini yang juga telah melampaui target dari yang sudah ditetapkan di awal tahun.”

Rilis produk terbaru

Dalam kesempatan yang sama, JavaMifi merilis produk terbaru yang diperuntukkan buat frequent traveller seperti travel blogger, pelaku bisnis, atau pengusaha yang rutin melakukan perjalanan keluar negeri. Produk ini dinamai JavaMifi Pro, sebuah layanan berlangganan dengan metode pembayaran bulanan (pascabayar).

Founder JavaMifi Suhartanto Raharjo menjelaskan, ada tiga paket layanan yang bisa dipilih pengguna, yakni Pro-Go, Pro-Asia, dan Pro-Global. Masing-masing produk disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pengguna.

Ambil contoh untuk Pro-Go, tersedia paket internet tanpa batas gratis selama lima hari di negara manapun. Apabila lebih dari lima hari, pengguna cukup membayar kelebihan biaya per hariannya. Biaya berlangganan dimulai dari Rp299 ribu per bulan.

Setelah menggunakan layanan ini, perangkat wifi bisa disimpan sendiri oleh pengguna selama periode berlangganan berlangsung. Adapun minimal masa berlangganan cukup tiga bulan. Setelah itu, bisa dikembalikan atau memperpanjang masa berlangganan.

“Biasanya kalau mau sewa JavaMifi, harus reservasi minimal H-2 dan langsung bayar. Nah sekarang enggak perlu lagi. Begitu sampai di negara tujuan cukup nyalakan wifi dan otomatis deteksi lokasi, langsung tersambung ke internet tanpa perlu hubungi CS,” terang Suhartanto.

Setiap kali menyewa, pengguna akan mendapat satu kotak pocket wifi yang berisi modem wifi itu sendiri, kabel USB, dan travel adaptor. Baterai modem dapat bertahan hingga 15 jam pemakaian. Ditambah pula sudah terlindungi oleh asuransi yang disediakan oleh Future Ready sebagai rekanan JavaMifi.

Andintya menambahkan untuk mempersiapkan produk teranyar ini, perusahaan telah menyiapkan 5000 modem yang siap digulirkan kepada para penggunanya. Saat ini pengguna tetap JavaMifi mencapai lebih dari 1 juta orang. Jaringan JavaMifi telah mencakup di lebih dari 160 negara.