Aplikasi Dash Sports Jembatani Pengguna dengan Kegiatan dan Pusat Olahraga

Besarnya minat masyarakat saat ini untuk melakukan olahraga rekreasi ternyata belum didukung dengan platform online yang relevan. Misalnya acara olahraga atau kegiatan rutin klub olahraga. Melihat peluang tersebut, Dash Sports yang didirikan pada tahun 2020 lalu, hadir menjadi platform digital yang menghubungkan penggemar, klub, komunitas, dan kegiatan olahraga di satu wadah.

Kepada DailySocial.id, Founder Dash Sports Alit Aryaguna mengungkapkan, melalui aplikasinya diharapkan bisa mengubah kebiasaan konvensional pemilik klub olahraga untuk mengelola kegiatan dan anggotanya. Dirinya melihat selama ini semua proses masih dilakukan secara manual.

“Melihat tren di era digital ini, saya terinspirasi untuk menciptakan sebuah aplikasi olahraga yang memberi kemudahan bagi penggunanya. Dari mulai pendaftaran, jadwal latihan, jadwal acara, pemesanan, pembayaran, semua hanya dengan sekali klik. Bisa dibilang aplikasi Dash Sports ini merupakan platform digital sports hub pertama di Indonesia, all in one.”

Secara khusus Dash Sports memiliki dua fitur unggulan, yaitu Joint Event dan Booking Kelas. Dash Sports juga menyediakan pilihan pembayaran secara online yang sudah terintegrasi dalam aplikasi. Pengguna dapat mengakses informasi seputar sesi latihan cabang olahraga untuk dewasa maupun anak-anak yang disediakan. Informasi yang bisa didapat dalam aplikasi ini mencakup jenis olahraga, pelatih, harga, jadwal, lokasi, dan durasi latihan.

Pengguna juga dapat mengundang teman, kenalan atau pengguna lain untuk bergabung ke sesi latihan dan kegiatan olahraga yang sudah dipilih. Dash Sports yang hadir saat ini merupakan versi pertama dan dapat diunduh di Google Play Store untuk perangkat Android, dan akan segera tersedia di App Store.

Turut targetkan segmen B2B

Menargetkan segmen B2B, saat ini Dash Sports telah bermitra dengan beberapa klub olahraga. Selain itu, dalam waktu dekat mereka juga akan menjadi mitra penyelenggara acara olahraga, untuk mengelola proses pendaftaran hingga pembayaran di platform.

“Akhir tahun ini kita ingin gerak cepat melakukan scale up bisnis dengan melakukan kegiatan olahraga. Di sisi lain kami juga terus melakukan edukasi kepada pemilik klub olahraga untuk menggunakan platform,” kata Alit

Karena masih baru meluncur dan sedang dalam proses Minimum Viable Product (MVP), perusahaan belum melakukan kegiatan monetisasi dan semua fitur bisa dinikmati secara gratis. Nantinya jika umpan balik dan data yang terkumpul dari versi pertama ini telah didapatkan, akan ditambahkan beberapa fitur baru dan melancarkan rencana monetisasi Dash Sports di versi aplikasi lanjutan.

Selain Dash Sport, di Indonesia sudah ada beberapa aplikasi yang menyediakan layanan serupa, dengan proposisi nilai masing-masing. Misalnya aplikasi STRONGBEE, pada pertegahan 2020 lalumereka telah menggaet 200 fasilitas olahraga dan 300 pelatih profesional. Layanan STRONGBEE juga memudahkan pencarian dan pemesanan fasilitas olahraga.

Layanan yang lebih spesifik ada AYO Indonesia, menyediakan platform sparring sepakbola dan futsal untuk tim amatir. Selain itu di kancah wellness ada beberapa aplikasi lain, misalnya Doogether yang juga telah terintegrasi dengan ekosistem Gojek melalui GoFitness.

Menurut data yang dihimpun Grand View Research, secara global aplikasi fitnes dan olahraga berhasil membukukan nilai pasar hinga $4,4 miliar pada 2020, diperkirakan akan tumbuh dengan CAGR 21,6% di rentang 2021-2028. Pandemi juga memunculkan tren baru, seperti layanan olahraga yang dilakukan secara virtual — faktanya menurut data World Economic Forum pada September 2020, unduhan aplikasi fitnes dan kesehatan meningkat 46% sepanjang pandemi.

Didukung CEO Investree

Berbeda dengan platform lifestyle dan wellness lainnya yang hanya fokus kepada beberapa jenis olahraga dan bermitra hanya dengan pemilik studio saja, Dash Sports mengklaim sebagai platform pertama yang mampu mengakomodasi varian cabang olahraga. Tidak hanya cabang olahraga lari saja, tapi sudah ada renang, sepeda, dan mat pilates. Untuk ke depannya Dash Sports akan terus bertumbuh dan menambah cabang olahraga lain.

Selain menyediakan layanan pusat olahraga di Jakarta, Dash Sports juga melebarkan sayapnya dengan membuka cabang olahraga lari di Bandung dengan konsep yang sama. Dash Sports juga mendirikan Dash Kids, sebuah program yang diperuntukkan bagi anak berusia 4 hingga 15 tahun. Dash Kids mencakup cabang olahraga lari dan renang dengan program latihan yang dibuat khusus untuk mengembangkan keahlian olahraga masing-masing anak oleh pelatih bersertifikat.

Untuk mempercepat pertumbuhan, Dash Sports juga telah mendapatkan dukungan pendanaan awal dari Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi. Bukan hanya sebagai investor, Adrian yang juga merupakan teman lama dari Alit pendiri dari Dash Sports, juga bertugas sebagai advisor di Dash Sports.

“Di lihat dari sisi teknologi, aplikasi ini sangat unik karena saya belum pernah melihat ada aplikasi olahraga yang sangat terintegrasi untuk memenuhi semua kebutuhan olahraga kita. Terlebih nantinya jika acara olahraga sudah berjalan lagi tentunya akan bekerja sama dengan Dash jadi untuk pendaftaran dan pembelian tiket bisa melalui Dash Sports App. Jadi aplikasi ini hadir sebagai solusi bagi kebutuhan dan keinginan penggemar olahraga,” kata Adrian.

Melihat besarnya potensi untuk mengembangkan vertikal bisnis, ke depannya Dash Sports juga memiliki rencana dengan menjalin kolaborasi dengan platform seperti Traveloka dan Tiket. Memanfaatkan fitur Atraksi dalam platform mereka, diharapkan Dash Sports bisa menjadi mitra strategis.

“Antusias melakukan aktivitas olahraga rekreasi cukup besar minatnya saat ini di kalangan masyarakat Indonesia. Bukan cuma event olahraga saja tapi turunannya, mulai dari makanan, pakaian dan sepatu olahraga hingga produk pendukung lainnya,” kata Alit.

Application Information Will Show Up Here

NAMA Beauty Dapat Pendanaan 71 Miliar Rupiah dari AC Ventures, SiCepat, dan DMMX

Startup D2C “NAMA Beauty” memperoleh pendanaan awal (seed funding) senilai $5 juta atau setara 71,1 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin AC Ventures, didukung oleh SiCepat Ekspres dan DMMX. Diketahui, perusahaan tersebut dinakhodai oleh aktris Luna Maya, turut didirikan oleh Marcel Lukman sejak tahun 2019. NAMA Beauty merupakan pengembang merek D2C produk perawatan kulit dan kecantikan.

“Kami merasa bersyukur dan diberkati dengan kepercayaan dan dukungan dari AC Ventures, SiCepat, dan DMMX, termasuk semua mitra dan tim. Ini merupakan momentum yang tepat dan menjanjikan bagi Indonesia. Kami percaya, sinergi ini dapat membantu kami untuk bertumbuh bersama dan memaksimalkan peluang serta momentum yang ada,” ungkap CEO NAMA Beauty Luna Maya.

Selain dukungan kapital, ke depan SiCepat dan DMMX akan menjadi mitra distribusi. Termasuk memanfaatkan jaringan Sampoerna Retail Community (SRC) yang tersebar di 20 kota dan memulai menjual produk di platform perdagangan digital. SiCepat juga akan menjadi mitra logistik utama dalam pengantaran produk NAMA ke konsumen.

“Saya memperhatikan industri kecantikan adalah salah satu industri yang paling tangguh dalam hal pertumbuhan, meskipun tetap memiliki tantangan tersendiri. Melalui kemitraan dengan SiCepat dan DMMX, kami akan memanfaatkan kekuatan unik kami masing-masing untuk membantu NAMA Beauty dalam membangun merek kecantikan dengan pertumbuhan tinggi dan berharap dapat mendukung perusahaan untuk mencapai potensi penuh,” sambut Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir.

Momentum pertumbuhan startup D2C

Menurut data dari Euromonitor, potensi pasar kosmetik warna di Indonesia mencapai $1 miliar pada 2023, dengan CAGR mencapai 16,9%. Dipadukan dengan konsep D2C, diyakini potensi tersebut dapat dimaksimalkan dengan baik oleh brand lokal.

Model D2C atau drect-to-consumer, memungkinkan pemilik brand untuk menjangkau pangsa pasarnya secara lebih efisien dengan multi-saluran, baik offline maupun online. Bantuan teknologi memungkinkan proses bisnis terjadi lebih ringkas, sehingga menghasilkan biaya produksi yang lebih efisien untuk menghadirkan produk dengan harga terjangkau. Di Indonesia, model ini mulai diaplikasikan di berbagai jenis lini industri, mulai dari kosmetik, perawatan kulit, fesyen, sampai dengan makanan.

Saat ini, sejumlah pemodal ventura lokal mulai mematangkan hipotesisnya untuk startup D2C. Berikut ini nama-nama investor yang mulai aktif memberikan pendanaannya untuk pemain D2C:

Pemodal Ventura Portofolio D2C
Kinesys Group Saturdays, Dailybox
East Ventures Mohjo, Greenly, Fore
Alpha JWC Ventures Hangry, Kopi Kenangan, Goola, Lemonilo, Mangkokku, Saturdays
AC Ventures Rose All Day, Segari, Fore, KLAR, NAMA Beauty
SALT Ventures SYCA, Hangry, dr soap

Rencana NAMA Beauty

Disampaikan NAMA Beauty akan memanfaatkan dana segar untuk pengembangan R&D, pemasaran dan branding, merekrut lebih banyak talenta, dan meluncurkan lini merek baru. Dengan mengombinasikan kemampuan Luna Maya untuk membaca tren kecantikan terbaru dengan tim R&D yang kuat, NAMA Beauty akan meluncurkan merek kedua yang menargetkan di bawah harga pasar, namun tanpa mengorbankan keunggulan kualitas produk.

Di sisi lain, Marcel Lukman, Co-Founder of NAMA Beauty memiliki pengalaman lebih dari satu dekade di dunia ritel. Ia adalah salah satu sosok penting di belakang Atmos dan The 707 Company yang memayungi sejumlah merek ternama, seperti Fred Perry, Nudie Jeans, Superga dan Melissa. Diyakini, dua latar belakang unik para pendiri dapat membawa perusahaan ke laju pertumbuhan yang tepat.

Startup VR Asal Indonesia, SHINTA VR, Dapatkan Pendanaan Pra seri A

Berita terbaru dari pendanaan atas startup asal Indonesia yang bergerak di bidang Virtual Reality atau VR, hadir. SHINTA VR, perusahaan yang berbasis di Jakarta mendapatkan pendanaan pra seri A dari beberapa investor lokal.

Tidak disebutkan nominal angka investasi, tim Hybrid juga telah mencoba mengontak Founder dan Managing Director SHINTA VR, Andes Rizky. Namun memang angkanya tidak diungkap secara umum. Adapun investor yang terlibat pada pendanaan adalah Tigalapan Investama Group dan Investa Syailendra Nuswantara (INSAN) yang memimpin round seri A kali ini.

SHINTA VR sendiri sebelumnya telah mendapatkan investasi dari Telkomsel Innovation Centre (TINC), Renctracks Co Creation, Ltd (Jepang), dan beberapa angel investor.

Anda yang sering mengikuti berita tentang VR dari ranah lokal mungkin akan mengenal beberapa lini produk dari Shinta VR, yaitu Millealab, SpaceCollab atau IP VTuber milik mereka.

Millealab sendiri merpakan unit bisnis dari SHINTA VR yang memiliki beberapa kegiatan antara lain pembelajaran Virtual Relaity ke sekolah-sekolah di 34 provinsi di Indonesia, dengan menggunakan teknologi berbasis 3D dan Virtual Reality. Program ini berhasil mencetak 5200 guru terlatih dan 120 guru sebagai ambassador VR sejak program dijalankan tahun 2019. Millealab menyediakan software platform khusus untuk membuat konten pembelajaran berbasis VR.

Sedangkan SpaceCollab adalah pengembangan sumber daya manusia melalui pelatihan tersinkronisasi berbasis multi-perangkat (VR, komputer, dan smartphone) yang sudah dipakai di beberapa universitas dan perusahaan.

Untuk yang terakhir, Shinta VR memiliki IP VTuber sendiri serta mendirikan agensi Virtual Youtuber bernama Maha5 yang telah bekerja sama dengan GoPlay, Samsung dan berbagai pihak lain.

Dikutip dari rilis, Andes Rizsky, Founder dan Managing Director SHINTA VR, mengatakan bahwa, “Konsistensi kami di bidang Immersive Technology sejak 2016 lalu adalah sebuah perjalanan yang akan membentuk masa depan industri imersif di Indonesia.” Dengan pendanaan ini, SHINTA VR akan memfokuskan diri menjadi perusahaan metaverse paling berdampak di Indonesia.

Sedangkan Presiden Direktur TigaLapan Investama, Titi Khoiriah, mengatakan bahwa SHINTA VR merupakan portofolio pertama mereka di tahun 2021. Memiliki pengalaman di bidang investasi kontruksi, TigaLapan ingin masuk ke industri digital di Indonesia lewat Shinta VR.

Fahmi Bagus Mahessa dari business dan investment aggregator untuk usaha rintisan (start-up) INSAN menyebutkan bahwa, “SHINTA VR telah membuktikan eksistensinya dalam industri imersif dan secara konsisten bertumbuh dengan sangat baik. Kami percaya mereka bisa menjadi sangat besar.”

Investasi kali ini tentunya menarik di tengah semakin luasnya perkembangan metaverse, yang salah satunya menggunakan virtual reality sebagai sarana dalam mengakses konten atau berinteraksi. Tentunya akan menarik untuk melihat produk atau karya apa lagi yang akan dirilis oleh SHINTA VR, di era metaverse yang akan semakin menjadi umum dalam waktu dekat.

Saya kebetulan berteman baik dengan Andes, dan berencana untuk menggali lebih atas rencana SHINTA VR, setelah pendanaan kali ini. Ikuti terus infonya di Hybrid.co.id.

Investree Bags 142 Billion Rupiah Debt Funding from responsAbility

Investree announced another debt funding worth of $10 million (over 142 billion Rupiah) from responsAbility Investments, a Switzerland based asset manager that focuses on follow-up investments. responsAbility is an investor partner of one of the institutional lenders at Investree, Accial Capital, which first entered as a lender since 2017.

This debt funding will be redistributed to facilitate the financing needs proposed by Investree’s borrower or SME players. For responsAbility, channeling funding to Investree means directly contributing to the United Nations Sustainable Development Goals (SGDs), in relation to limited financial access for SMEs which limits job creation, triggers inequality, and hinders economic development.

Investree’s Co-founder & CEO, Adrian Gunadi said, this is a very big stepping stone for Investree because in its third funding round, Accial Capital invites one of its co-investors, responAbility to participate through the Investree platform.

“In line with responsAbility’s vision and mission as a sustainability investment ‘home’ specializing in impact, we will target funding from the responsAbility-Accial Capital partnership to finance our borrower projects with significant economic, social and environmental impacts on life, especially amidst a recovery period due to this pandemic,” Adrian said in an official statement, Thursday (10/28).

One of Investree’s ongoing projects is to help empower women as ultra-micro traders in the Gramindo ecosystem. These traders have group characteristics, consisting of women without access to banks and running businesses using conventional and sharia schemes. The number has reached 5,700 on the Investree platform.

For responsAbility, this is a unique credit transaction model in Southeast Asia, especially in Indonesia as it is collaborated with Accial Capital to provide financing support to SMEs through the Investree platform.

responsAbility’s Deputy Head of Financial Inclusion Debt, Jaskirat S. Chandha said, “We are very pleased to be able to partner in this innovative structure to provide working capital funding that is urgently needed by SME borrowers in Indonesia. Financial technology is a key driver of financial inclusion. We are delighted to have found the right collaboration at Accial Capital and Investree with the required expertise.”

Investree entering its 6th year

In its 6th year, the company has grown far beyond just a fintech lending company. During 2021, the company has empowered 5 thousand ultra micro women entrepreneurs who need financial support to develop their simple businesses.

Next, partnering with digital freight forwarder Andalin to offer access to customs and tax financing for Andalin clients through Buyer Financing products. This collaboration aims to help ease the burden on clients’ costs so they don’t have to incur large initial costs, therefore, the company’s cash flow management can be optimized.

As of September 2021, Investree booked a total loan facility of Rp 12 trillion, rises 51% yoy from last year, and the value of disbursed loans was Rp 8 trillion. In terms of the number of lenders and borrowers, there were 46 thousand lenders and 6 thousand borrowers at the end of the third quarter of 2021, joined Investree cumulatively. The ratio is 40:60 of the number of individual lenders and institutional lenders that fund.

Investree’s contribution to the fintech lending industry in Indonesia is real.
Investree’s outstanding loans contributed 8.3% to the national productive outstanding loans. As of September 2021, their TKB90 is 98.22% – better than the national average of 93.3%.

Productive sector has quite small portion

According to reports from DSInnovate and AFPI last year, 36.1 million borrowers in the productive sector borrowed Rp. 2.5 million to Rp. 25 million. Only 17.6% of them borrowed more than Rp500 million. This sector still needs to be further boosted by regulators, especially during this pandemic, many MSMEs still down and need to survive.

Source: DSResearch
Source: DSResearch


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Investree Kantongi Pendanaan Debt 142 Miliar Rupiah dari responsAbility

Investree kembali mengumumkan perolehan pendanaan debt sebesar $10 juta (lebih dari 142 miliar Rupiah) dari responsAbility Investments, manajer aset dari Swiss yang berfokus pada investasi lanjutan. responsAbility merupakan mitra investor dari salah satu lender institusi di Investree, yakni Accial Capital yang pertama kali masuk sebagai lender sejak 2017.

Pendanaan debt ini akan disalurkan kembali untuk membiayai kebutuhan pembiayaan yang diajukan oleh borrower atau pelaku UKM di Investree. Bagi responsAbility, menyalurkan pendanaan kepada Investree berarti secara langsung berkontribusi terhadap Sustainable Development Goals (SGDs) PBB, kaitannya dengan akses keuangan terbatas untuk UKM yang membatasi penciptaan lapangan kerja, memicu ketidaksetaraan, dan menghambat pembangunan ekonomi.

Co-founder & CEO Investree Adrian Gunadi mengatakan, ini merupakan batu lompatan yang amat besar buat Investree karena pada putaran pendanaan mereka yang ketiga, Accial Capital mengajak salah satu co-investornya yaitu responsAbility untuk turut mendanai melalui platform Investree.

“Sejalan dengan visi dan misi responsAbility sebagai ‘rumah’ investasi keberlanjutan yang berspesialisasi pada dampak, kami akan menargetkan pendanaan dari kemitraan responsAbility-Accial Capital untuk membiayai proyek-proyek borrower kami yang memiliki dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan signifikan bagi kehidupan, terutama di tengah masa pemulihan akibat pandemi ini,” kata Adrian dalam keterangan resmi, Kamis (28/10).

Salah satu proyek yang sudah dilakukan Investree adalah membantu pemberdayaan ibu-ibu pedagang ultramikro yang berada dalam ekosistem Gramindo. Pada pedagang ini memiliki karakteristik berkelompok, terdiri dari perempuan-perempuan tanpa akses ke bank dan menjalankan usaha dengan menggunakan skema konvensional maupun syariah. Kini jumlahnya sudah mencapai 5.700 di platform Investree.

Bagi responsAbility sendiri, ini merupakan model transaksi kredit yang unik di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia karena tandem dengan Accial Capital untuk memberikan dukungan pembiayaan kepada UKM melalui platform Investree.

Deputy Head Financial Inclusion Debt responsAbility Jaskirat S. Chandha menuturkan, “Kami sangat senang dapat bermitra dalam struktur inovatif ini menyediakan pendanaan modal kerja yang sangat dibutuhkan oleh peminjam UKM-UMKM di Indonesia. Teknologi finansial merupakan pendorong utama inklusi keuangan. Kami senang telah menemukan kolaborasi yang tepat di Accial Capital dan Investree dengan keahlian yang dibutuhkan.”

Investree memasuki usia ke-6

Di usia ke-6 ini, perusahaan sudah berkembang jauh tidak hanya sekadar perusahaan fintech lending. Selama 2021 saja, perusahaan telah memberdayakan 5 ribu pengusaha perempuan ultra mikro yang membutuhkan dukungan pembiayaan untuk mengembangkan usaha sederhana mereka.

Berikutnya, menggandeng digital freight forwarder Andalin untuk menawarkan akses pembiayaan bea cukai dan pajak bagi para klien Andalin melalui produk Buyer Financing. Kerja sama ini bertujuan untuk membantu meringankan beban biaya klien agar mereka tidak perlu mengeluarkan biaya besar di awal, sehingga manajemen arus kas perusahaan dapat dioptimalkan.

Hingga September 2021, Investree membukukan total fasilitas pinjaman sebesar Rp 12 triliun, naik 51% secara yoy dari tahun lalu, dan nilai pinjaman tersalurkan sebesar Rp 8 triliun. Dari segi angka pemberi pinjaman dan peminjam, pada akhir kuartal III 2021, tercatat sudah ada 46 ribu lender dan 6 ribu borrower yang tergabung di Investree secara kumulatif. Perbandingan jumlah lender individu dan lender institusi yang mendanai berada di persentase 40:60.

Kontribusi Investree terhadap industri fintech lending di Indonesia pun nyata.
Pinjaman outstanding Investree berkontribusi sebesar 8,3% terhadap pinjaman outstanding produktif nasional. Per September 2021, TKB90 mereka adalah 98,22% – lebih baik dari rata-rata nasional 93,3%.

Porsi sektor produktif masih minim

Menurut laporan DSInnovate dan AFPI pada tahun lalu sebanyak 36,1 juta peminjam di sektor produktif meminjam Rp2,5 juta-Rp25 juta. Hanya 17,6% di antaranya yang meminjam lebih dari Rp500 juta. Sektor ini masih perlu digenjot lebih lanjut oleh regulator, terlebih lagi di masa pandemi ini banyak UMKM yang butuh terpukul dan harus tetap bertahan.

Sumber: DSResearch

 

Sumber: DSResearch
Application Information Will Show Up Here

Aquatech Startup DELOS Receives Seed Funding Led by Arise

Aquatech startup DELOS announced seed funding with an undisclosed amount led by Arise, a special fund created by MDI Ventures and Finch Capital. MDI Ventures also participated in this round, along with other investors, such as Hendra Kwik (Number Capital), Irvan Kolonas (JAPFA Executive), and iSeed Asia.

The company plans to utilize the fresh funds to strengthen and improve its DELOS shrimp production software accurately to forecast and recommend actions to increase farm profitability and productivity. In addition, funds will also be channeld to develop value chain integration and on-board more DELOS agricultural partners.

DELOS was founded this year by Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, and Alexander Farthing. These three founders brings together a multidisciplinary team covering aquaculture, marine biology, technology, and business. The startup partners closely with Dewi Laut Aquaqulture, a leading local aquaculture company, and Alun, a leading aquaculture fintech company, to accelerate the development of in-house technology.

DELOS holds an ambition to encourage the growth and modernization of the Indonesian aquaculture industry. Currently, there are currently basic problems in the supply chain in this sector due to the lack of technology adoption. Whereas global demand for seafood-based protein is increasing, while wild-fished stocks are declining under immense pressure. Aquaculture supplies more than 60% of all seafood consumed.

With its 54,000 km coastline, abundant coastal human resources, and tropical climate, Indonesia is set to become a clear global leader for sustainable aquaculture, especially with Indonesian shrimp competing on a global scale as the world’s second most valuable aquaculture product, the greatest seafood export.

The Indonesian government recognizes a new revolution, targeting shrimp aquaculture and production to grow by 250% over the next 3 years. However, low technology adoption, non-standard management practices, and poor access to finance have set a limit to the growth of Indonesian aquaculture – particularly aquaculture productivity.

These factors have created bottlenecks in the middle of the value chain, and limited downstream processor output to an average of 40%-60% capacity. Less than 5% farms are 4 times more productive than neighboring farms (40 tonnes vs 10 tonnes/Ha).

This productivity gap has kept a $2 billion industry from fulfilling its latent potential and becoming a $4 billion industry, according to Indonesia’s Ministry of Fisheries.

DELOS‘s interdisciplinary team and cutting-edge technology will be critical to supporting the national agenda to promote this growth while maintaining economic, social and environmental sustainability.

Guntur and his team are trying to improve their experience, network and IP, a full-stack pond management system that is researched and developed internally to increase the productive capacity and output of existing Indonesian shrimp farms by 50%-150% – creating value for farmers, increase the volume of national exports, and enhance Indonesia’s reputation as the world’s leading aquaculture country.

In its official statement, Arise Partner Aldi Adrian Hartanto explained that the classic challenges in the layered value chain, low productivity, and lack of financing has blocked the Indonesian shrimp industry which has not been fully utilized, even though it accounts for 77% of the total value of fishery products.

“DELOS technology-based solutions have succeeded in immersing technology and operations into the culture and infrastructure of local farmers while bridging them with existing stakeholders. This leads to a higher FCR (Feed Conversion Ratio), SR (Survival Rate), and Harvest, making it a deadly flywheel,” he concluded, Thursday (28/10).

Aquaculture startup in Indonesia

The global Aquaculture market size is expected to have a market growth in the forecast period 2020 to 2025, at a CAGR of 3.5%% in the forecast period 2020 to 2025 and is expected to reach $239.8 trillion in 2025, from $209.4 trillion in 2019.

Every year, aquaculture increases its contribution to global seafood production. The sector produced 110.2 million tonnes in 2016, valued at $243.5 billion and constitutes 53 percent of the world’s seafood supply. According to FAO data, 90 percent of production volume is produced in Asia.

In Indonesia, there are already several startups that have started targeting similar segments. In includes Aruna, a technology startup that provides a platform to make it easier for fishermen to sell their products directly to global and domestic markets. The company has also successfully secured funding in 2020 from East Ventures, AC Ventures, and SMDV.

One more startup that is engaged in a more specific sector, Jala. This startup presents technological solutions to optimize the productivity of shrimp farmers in Indonesia. In 2019, his team managed to secure an initial round of funding from 500 Startups of 8 billion Rupiah.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Aquatech DELOS Peroleh Pendanaan Tahap Awal Dipimpin Arise

Startup aquatech DELOS mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dipimpin oleh Arise, fund khusus besutan MDI Ventures dan Finch Capital. MDI Ventures sendiri turut berpartisipasi dalam putaran tersebut, beserta investor lainnya, seperti Hendra Kwik (Number Capital), Irvan Kolonas (JAPFA Eksekutif), dan iSeed Asia.

Perusahaan berencana untuk memanfaatkan dana segar untuk memperkuat dan meningkatkan perangkat lunak produksi udang DELOS secara akurat untuk memperkirakan dan merekomendasikan tindakan agar profitabilitas dan produktivitas tambak meningkat. Selain itu, dana juga akan digunakan untuk mengembangkan integrasi value chain dan on-board lebih banyak mitra pertanian DELOS.

DELOS dirintis pada tahun ini oleh Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, dan Alexander Farthing. Perpaduan para founder ini menghadirkan tim multidisiplin yang mencakup akuakultur, biologi kelautan, teknologi, dan bisnis. Startup ini bermitra erat dengan Dewi Laut Aquaqulture, perusahaan akuakultur lokal terkemuka, dan Alun selaku perusahaan fintech akuakultur terkemuka, untuk mempercepat pengembangan teknologi in-house.

DELOS berambisi ingin mendorong pertumbuhan dan modernisasi industri akuakultur Indonesia. Saat ini masih terjadi masalah klasik dalam rantai pasok di sektor tersebut karena minimnya adopsi teknologi. Padahal permintaan global untuk protein berbasis makanan laut meningkat, sementara stok penangkapan ikan liar berkurang di bawah tekanan besar. Akuakultur memasok lebih dari 60% dari semua makanan laut yang dikonsumsi.

Dengan garis pantai sepanjang 54.000 km, sumber daya manusia pesisir yang melimpah, dan iklim tropis, Indonesia tampaknya akan menjadi pemimpin global yang jelas untuk akuakultur berkelanjutan, terutama dengan udang Indonesia yang bersaing dalam skala global sebagai produk akuakultur paling berharga kedua di dunia, yaitu ekspor makanan laut terbesar.

Pemerintah Indonesia mengakui sebuah revolusi baru, telah menargetkan budidaya dan produksi udang untuk tumbuh 250% selama 3 tahun ke depan. Namun, adopsi teknologi yang rendah, praktik pengelolaan yang tidak sesuai standar, dan akses yang buruk ke pembiayaan telah membatasi pertumbuhan akuakultur Indonesia –terutama menghambat produktivitas akuakultur.

Faktor-faktor tersebut telah menciptakan hambatan di tengah-tengah rantai nilai, dan membatasi output prosesor hilir hingga rata-rata 40%-60% kapasitas. Kurang dari 5% pertanian 4 kali lebih produktif daripada pertanian tetangganya (40 ton vs 10 ton/Ha).

Kesenjangan produktivitas inilah yang membuat industri senilai $2 miliar tidak dapat memenuhi potensi terpendamnya dan menjadi industri senilai $4 miliar, menurut Kementerian Perikanan Indonesia.

Tim lintas disiplin DELOS dan teknologi mutakhir akan sangat penting untuk mendukung agenda nasional untuk mendorong pertumbuhan ini dengan tetap menjaga keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Guntur beserta tim berusaha untuk meningkatkan pengalaman, jaringan, dan IP-nya, sistem manajemen tambak full-stack yang diteliti dan dikembangkan secara internal untuk meningkatkan kapasitas produktif dan output tambak udang Indonesia yang ada sebesar 50%-150% –menciptakan nilai bagi petani, meningkatkan volume ekspor nasional, dan meningkatkan reputasi Indonesia sebagai negara akuakultur terkemuka dunia.

Dalam keterangan resmi, Partner Arise Aldi Adrian Hartanto menjelaskan, tantangan klasik dalam value chain berlapis, produktivitas yang rendah, dan kurangnya pembiayaan menghambat industri udang nusantara yang belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal menyumbang 77% dari keseluruhan nilai hasil perikanan.

“Solusi berbasis teknologi DELOS telah berhasil membenamkan teknologi dan operasi ke dalam budaya dan infrastruktur petani lokal sambil menjembatani mereka dengan pemangku kepentingan yang ada. Ini mengarah ke FCR (Feed Conversion Ratio), SR (Survival Rate), dan Harvest yang lebih tinggi, menjadikannya roda gila yang mematikan,” tutupnya, Kamis (28/10).

Startup akuakultur di Indonesia

Ukuran pasar akuakultur global diperkirakan akan memperoleh pertumbuhan pasar pada periode perkiraan 2020 hingga 2025, dengan CAGR 3,5%% pada periode perkiraan 2020 hingga 2025 dan diperkirakan akan mencapai $239,8 triliun pada 2025, dari $209,4 triliun pada tahun 2019.

Setiap tahun, akuakultur meningkatkan kontribusinya terhadap produksi makanan laut global. Sektor ini menghasilkan 110,2 juta ton pada tahun 2016, senilai $243,5 miliar dan merupakan 53 persen dari pasokan makanan laut dunia. Menurut data FAO, 90 persen volume produksi diproduksi di Asia.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa startup yang mulai menyasar segmen sejenis. Sebut saja Aruna, startup teknologi yang menyediakan platform untuk mempermudah para nelayan dalam menjual produknya langsung ke pasar global dan domestik. Perusahaan ini juga telah berhasil meraih pendanaan di tahun 2020 dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Satu lagi startup yang bergerak di sektor yang lebih spesifik yaitu Jala. Startup ini menghadirkan solusi teknologi untuk mengoptimalkan produktivitas petani udang di Indonesia. Di tahun 2019, timnya berhasil mengamankan pendanaan putaran awal dari 500 Startups sebesar 8 miliar Rupiah.

[Video] Menimbang antara Model Bisnis dan Pendiri Startup dari Kacamata VC

DailySocial bersama Justin Jackson dari Pegasus Tech Ventures membahas pandangan mengenai ekosistem startup di Indonesia dan seperti apa peranan perusahaannya dalam mendukung kemajuan bisnis startup di Indonesia.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

“Love, Bonito” Tutup Pendanaan Seri C, Perkuat Omnichannel dan Ekspansi Internasional

Startup direct-to-customer (DTC) asal Singapura “Love, Bonito” mengumumkan perolehan pendanaan seri C senilai $50 juta (lebih dari 700 juta Rupiah) yang dipimpin Primavera Capital Group, firma investasi global dengan portofolio Alibaba; ByteDance, Yum China, dan Mead Johnson China, dengan partisipasi dari Ondine Capital dan Adastria. Investasi ini menjadi portofolio pertama Primavera untuk startup di Asia Tenggara.

Startup yang fokus pada produk fesyen perempuan ini berencana menggunakan dana segar tersebut untuk memperkuat strategi omnichannel dan meningkatkan ekspansi internasional di pasar utama demi mengejar pertumbuhan tiga digit secara yoy. Pasar-pasar utama ini termasuk Hong Kong, Jepang, Filipina, dan Amerika Serikat.

Di pasar existing, seperti Singapura, Indonesia, dan Malaysia, Love, Bonito akan menggandakan strategi omnichannel-nya. Sementara di pasar lain, seperti Hong Kong, Jepang, Filipina dan AS akan mulai ekspansi omnichannel, vertikal bisnis baru, penguatan keterlibatan komunitas lokal dan kolaborasi utama, serta pengoptimalan pengalaman pengguna yang berkelanjutan.

“Saya lebih bersemangat dari sebelumnya untuk apa yang akan terjadi dalam dekade berikutnya. Pertumbuhan yang kami lihat hari ini tidak akan terjadi tim yang secara konsisten berusaha untuk mendukung perempuan di berbagai musim kehidupan mereka. Berada di bisnis perempuan telah menjadi misi kami sejak hari pertama, dan kami akhirnya bertualang di luar mode untuk mendukung penawaran kami,” ucap Co-founder Love, Bonito Rachel Lim.

Love, Bonito dikenal sebagai brand fesyen terpopuler ke-6 di Singapura, mampu bersaing dengan brand internasional lainnya. Perusahaan telah beroperasi dan memiliki tim di empat negara lainnya, di antaranya Malaysia, Kamboja, Indonesia, dan Filipina.

Dalam model bisnisnya, perusahaan memanfaatkan strategi omnichannel, yang menggabungkan pengalaman belanja online (lewat aplikasi dan situs) dan offline (memiliki gerai). Serta, menawarkan pilihan produk fesyen yang telah disesuaikan dengan postur tubuh orang Asia.

Dalam konferensi pers virtual yang digelar perusahaan pada hari ini (27/10), CEO Love, Bonito Dione Song menjelaskan strategi omnichannel yang diterapkan mampu membuat gerak perusahaan lebih fleksibel dalam berinovasi dan meluncurkan kategori produk baru seperti baju anak, loungewear, intimates, dan sepatu, meski industri ritel pada umumnya terkena dampak Covid-19.

Dalam setahun belakangan, sambungnya, perusahaan fokus pada ekspansi internasional yang terbukti mampu tumbuh secara positif. Di pasar global, di luar Singapura, sebanyak 50% bisnis datang dari situs online. Hingga saat ini, telah mencapai pertumbuhan keseluruhan lebih dari 120% yoy di pasar internasional, dan pertumbuhan keseluruhan 208% untuk penjualan online.

Perusahaan percaya komunitas diaspora Asia memiliki potensi yang sangat tinggi, terutama di AS, di mana pertumbuhan pendapatan online melebihi 1.200% yoy pada September 2021. 

Song pun turut membeberkan kinerja perusahaan selama setahun belakangan. Pendapatan tumbuh 62% secara yoy pada semester I 2021 dan EBITDA margin tumbuh 2% pada periode yang sama. “Kami berhasil menjadi startup DTC nomor satu terbesar di Asia Tenggara,” ucap Song.

Dia merinci lebih jauh dana segar yang telah didapat ini akan digunakan sebagian besar untuk melancarkan aksinya ekspansi internasional. Strategi yang akan dilakukan adalah mempercepat brand awareness dan bangun komunitas, berinvestasi dalam membentuk tim internasional, memperdalam kehadiran omnichannel di pasar inti dan pasar yang lebih baru, memenangkan pengalaman konsumen melalui strategi lokalisasi.

Dicontohkan, di Amerika Serikat misalnya, perusahaan akan memulai strategi awal omnichannel dengan membuat pop up store di kota inti, seperti California dan New York, dan merekrut tim agar lebih serius dan mendapat traksi. Strategi yang sama juga akan dilakukan untuk pasar di Hong Kong dan Filipina.

Tak hanya itu, Love, Bonito berencana untuk memperkaya katalog produknya dengan masuk ke kategori baru, seperti olahraga, sepatu, dan aksesoris; masuk ke kategori wellness; dan, memperkuat ekosistem dan pendukung, komunitas (LBCommunity+), dampak sosial (LBCreate, ESG), personalisasi dan konten (LiBrary). Beberapa produk di atas menurut Song akan hadir pada tahun depan.

Active wear market saat ini tumbuh sangat baik, banyak brand lokal yang sudah masuk ke sana. Tapi unique value yang kami tawarkan itu selalu mengacu pada tiga hal, yakni Asian-centric, female-centric untuk desain pakaian, dan selalu membangun komunitas yang kuat.”

Manfaatkan penuh data science

Komunitas menjadi bagian penting dalam perjalanan Love, Bonito yang sudah berdiri sejak 2005. Dalam catatan perusahaan, sebanyak 32% konsumen yang diakuisisi perusahaan pada 10 tahun yang lalu masih berbelanja di Love, Bonito. Selain itu, tingkat retensi pelanggan tahunan lebih dari 65% alias lebih tinggi dari rata-rata industri fesyen sebesar 23%.

“Oleh karena itu, kami meluncurkan LBCommunity+ pada Juni 2020 untuk lebih menghargai pelanggan yang telah bersama kami. Terhitung, hampir 300k anggota di berbagai tingkatan hingga saat ini telah bergabung.”

Tak hanya itu, dari sisi pemanfaatan teknologi data science juga turut menopang proses bisnis Love, Bonito agar lebih efisien dan dapat menciptakan pesanan baru. Dijelaskan, perusahaan memanfaatkan desain fesyen algoritma melacak lebih dari 100 SKU desain untuk meningkatkan kekuatan prediktif demi menciptakan desain terbaik.

Kemudian, bekal data yang kaya dan kontekstual, mampu membuat Love, Bonito memiliki gudang data “source of truth” tunggal yang melacak miliaran titik data selama 11 tahun terakhir, dan journey pelanggan melalui integrasi data omnichannel dengan 85% pelanggan terlacak. Terakhir, customer intelligence berupa analitik canggih real time dan loop umpan balik yang mendorong retensi sutomer, serta machine learning untuk mengotomatisasi segmentasi dan personalisasi pelanggan.

Data science sangat membantu kami dalam menemukan titik akurasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan penjualan. Konsumen akan mendapat rekomendasi item yang lebih akurat sesuai personalisasi mereka,” tutup Song.

Sejasa Raih Pendanaan Seri A 56,7 Miliar Rupiah Dipimpin Morning Crest Capital dan BTFV

Platform layanan penyedia jasa Sejasa berhasil meraih pendanaan seri A senilai $4 juta atau 56,7 miliar Rupiah dipimpin oleh modal ventura yang berbasis di Shanghai, Morning Crest Capital (MCC) dan BTFV dari Singapura. MCC sendiri merupakan investor utama sebuah startup dengan model bisnis serupa di Australia yang telah terdaftar di bursa setempat.

Pendanaan ini memiliki tiga fokus, yaitu untuk perluasan area layanan Sejasa di luar Jabodetabek. Selanjutnya, perusahaan juga akan menggunakan sebagian dari pendanaan tersebut untuk meningkatkan inovasi teknologi dan menambah talenta, terutama divisi pengembangan produk. Terakhir, akuisisi penyedia layanan serta pemeliharaan kualitas.

Sejasa telah menyediakan lebih dari 200 jenis layanan jasa, termasuk perawatan rumah, perbaikan rumah, jasa pertukangan, servis elektronik, kebersihan dan disinfektan, hingga kecantikan. Perusahaan yang berdiri sejak tahun 2015 ini menawarkan layanan penyedia jasa rumah tangga yang cepat, aman, dan nyaman yang akan tiba di rumah konsumen dalam waktu 45 menit setelah pemesanan.

Managing Partner MCC, Fred (Xiaofan) Bai mengungkapkan, “Kami telah melihat bagaimana platform ini dapat ditingkatkan untuk mencakup berbagai jenis layanan dan bahkan lintas geografi, dan kami memiliki keyakinan pada tim Recommend Group untuk mempercepat digitalisasi layanan rumah di seluruh Asia Tenggara, yang merupakan peluang pasar yang sangat besar. Kami terus optimis dalam digitalisasi layanan lokal secara global dalam 5-10 tahun ke depan,”

Selain verifikasi dokumen, untuk memastikan bahwa layanan yang disediakan di Sejasa adalah yang terbaik, perusahaan menerapkan sistem rating dan review agar penyedia jasa bisa lebih menjaga kualitas layanan mereka. Di samping melalui proses kurasi, terdapat beberapa penyedia jasa yang merupakan rekomendasi dari pihak-pihak yang sudah ahli dalam bidangnya.

Untuk bisa lebih meyakinkan penggunanya, Sejasa memberikan garansi 30 hari dan asuransi ganti rugi sebesar Rp300 juta kepada setiap pelanggan untuk setiap kemungkinan yang terjadi, seperti kerusakan properti, pencurian, kebakaran, dan lain-lain. Dalam menyediakan hal tersebut, perusahaan bekerja sama dengan penyedia layanan asuransi Allianz.

Saat ini, perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 40.000 UKM informal dan individu profesional penyedia jasa untuk menstandarisasi cakupan dan harga layanan, meningkatkan kualitas layanan, dan memungkinkan penyedia jasa untuk mengumpulkan pembayaran tanpa uang tunai. Sebelumnya, Sejasa juga bekerja sama dengan Grab untuk menyediakan layanan “Clean & Fix”.

Lokalisasi pasar

Sejasa merupakan bagian dari Recommend Group, yang berasal dari Singapura dan juga beroperasi di Malaysia dengan nama Recommend.my. Terkait hal ini, Co-Founder & CEO Recommend Group Jes Min Lua mengungkapkan bahwa sejak mulai bekerja di Indonesia pada tahun 2008, ia melihat potensi luar biasa di negara ini. Setiap orang memiliki keinginan untuk berubah, mengadopsi hal baru serta membawa Indonesia ke tahap selanjutnya.

Dalam hal lokalisasi pasar, timnya mengakui bahwa kedua pasar, Indonesia dan Malaysia, cenderung memiliki kesamaan dalam hal kondisi pasar yang fragmented. Terdapat gap yang cukup besar di antara penyedia layanan yang berkualitas dengan jasa “abal-abal”. Dalam hal ini, Sejasa ingin menjembatani penyedia jasa yang berkualitas, dan tidak menutup kemungkinan untuk penyedia jasa yang ingin meningkatkan kualitas.

Sementara itu, terdapat perbedaan namun tidak mendasar pada sifat masyarakat di kedua negara. Contohnya kebanyakan orang di Indonesia menginginkan layanan yang bisa hadir dalam waktu cepat, sementara di Malaysia, masyarakatnya cenderung merencanakan paling tidak satu hari sebelum memesan. Maka dari itu, Sejasa berusaha menghadirkan penyedia layanan yang tidak hanya baik dalam hal kualitas namun juga geografis untuk bisa menjangkau masyarakat yang membutuhkan layanan dalam waktu cepat.

“Kami menggunakan algoritma pencocokan untuk mengetahui keinginan konsumen dan menggunakan faktor-faktor penentu, seperti lokasi, kompleksitas pekerjaan, dan jadwal untuk memberikan rekomendasi layanan profesional terbaik,” tambah Jes.

Hingga saat ini, Sejasa telah melayani lebih dari satu juta rumah di Indonesia dan Malaysia. Beberapa platform yang juga menawarkan layanan sejenis di Indonesia termasuk Seekmi, KliknClean, OKHome, dan Adain.

Application Information Will Show Up Here