GoFood Aims for Expansion and Profitable Business in 2020

First launched in 2015, GoFood is now one of the services that builds up the Gojek’s “super app” ecosystem and contributes the most for the company. Currently, the food delivery service provides around 12 million menus from 500 merchants in Southeast Asia, 96% are SMEs.

Based on the company’s internal data, as of the end of 2019, GoFood has acquired 75% market share in its operational areas. It is also said GoFood users are 1.5 times exceeding competitors. While the total transactions have reached 50 million per month.

Gojek’s VP Corporate Affairs Food Ecosystem, Rosel Lavina told DailySocial that GoFood’s mission this year is to add some new features backed by the most advanced technology, in order to facilitate easy transaction.

“We stick to Gojek’s pillars of speed, innovation and social impact. Then, we realize that innovation is the key to aligning the user’s demand. Therefore, it is very important for GoFood to continue learning user’s demand that is getting complex in order to create new innovations as solutions to answer all those.”

The public’s high demand for food delivery is a promising opportunity for platforms, such as Gojek, to further develop GoFood as one of its core services in the ecosystem.

Previously, Gojek Group’s Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo mentioned, all investors’ support has led GoFood to a business model that is in line with its aims for profitability. GoFood benchmark has developed over time along with its achievements, starts from transaction number to gross transaction value (GTV), and now revenue.

“We are now on the right track, the progress gets along with our plan. That (information) is what I can share, for now,” she said.

GoFood’s rapid growth is actually nothing compared to similar industries in China. The food delivery industry there has reached 13% -15% of total consumption, while in Indonesia it is still far below that. As a result, various innovations implemented in the sleeping giant country often become a reference for food delivery players.

GoFood focus in 2020

(left-right) Gojek's Chief Corporate Affairs Nila Marita, Ban-Ban Co-Owner Wenny Chen, and Gojek Group's Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo at GoFood's launching of latest technology
(left-right) Gojek’s Chief Corporate Affairs Nila Marita, Ban-Ban Co-Owner Wenny Chen, and Gojek Group’s Chief Food Officer Catherine Hindra Sutjahyo at GoFood’s launching of latest technology

In order to improve services and increase profits from GoFood, the company has introduced four new innovations earlier this year. Among those are GoFood Pickup, GoFood Turbo, GoFood Plus and collaboration with Google Assistant for users to order food through voice commands.

There are now more than 40 GoFood Kitchen corners and the GoFood Festival as their flagship program, with plans to continue for more locations. In the future, these locations can provide merchant partners with low cost and risk to expand the network of outlets due to the infrastructure that has been provided.

In case GoFood has plans to spin off or being independent outside the Gojek ecosystem is not mentioned. However, GoFood is to focus on developing three things as its long-term business strategy, which is prioritizing customer satisfaction, business expansion, and innovation.

“Through the reliability of GoFood technology, we also offer services to make it easy and fun for culinary lovers and GoFood customers when ordering food. The development of GoFood technology and facilities for driver partners is also expected to benefit the driver partners to provide maximum service to consumers,” Rosel said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Fokus GoFood Perluas Bisnis dan Kantongi Profit di Tahun 2020

Diluncurkan sejak tahun 2015, GoFood kini jadi salah satu layanan yang memperkuat ekosistem “superapp” Gojek dan memberikan kontribusi paling besar untuk perusahaan. Saat ini fitur pesan-antar makanan tersebut menyediakan sekitar 12 juta menu dari 500 ribu merchant di Asia Tenggara, 96% di antaranya dari kalangan UKM.

Berdasarkan data internal perusahaan, per akhir 2019 GoFood telah memiliki market share 75% di wilayah operasionalnya. Disebutkan juga bahwa GoFood telah memiliki jumlah pengguna 1,5 kali lebih banyak dibandingkan kompetitor. Sementara total transaksinya telah sentuh angka 50 juta per bulannya.

Kepada DailySocial VP Corporate Affairs Food Ecosystem Gojek Rosel Lavina menyebutkan, misi GoFood tahun ini adalah menambah beberapa fitur baru didukung dengan teknologi paling advance, bertujuan untuk memudahkan proses transaksi pengguna.

“Kami berpegang teguh pada pilar Gojek yaitu kecepatan, inovasi dan dampak sosial. Berangkat dari hal tersebut, kami menyadari bahwa inovasi menjadi kunci untuk bisa menyelaraskan kebutuhan pengguna. Sehingga sangat penting bagi GoFood untuk terus mempelajari perkembangan kebutuhan pengguna yang semakin kompleks demi menciptakan inovasi baru sebagai solusi yang menjawab segala kebutuhan.”

Besarnya minat masyarakat terhadap layanan pesan-antar makanan dilihat menjadi peluang yang sangat menjanjikan bagi platform seperti Gojek untuk kemudian mengembangkan GoFood menjadi salah satu core service di ekosistem aplikasi.

Sebelumnya, Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo mengungkapkan, seluruh dorongan investor membuahkan GoFood dalam model bisnis yang sesuai dengan arah profitabilitas. Dari waktu ke waktu benchmark pencapaian GoFood berkembang, dari awalnya angka transaksi menjadi gross transaction value (GTV), dan sekarang revenue.

“Sekarang kita ada di track yang benar, progresnya sesuai dengan yang kita rencanakan dari awal. Baru itu (informasi) yang bisa saya bagikan,” katanya.

Pencapaian GoFood yang pesat sebenarnya belum seberapa dibandingkan industri serupa di Tiongkok. Industri food delivery di sana penetrasinya sudah mencapai 13%-15% dari total konsumsi, sedangkan di Indonesia masih jauh di bawah itu. Alhasil, berbagai inovasi yang diterapkan di negeri tirai bambu tersebut seringkali menjadi acuan para pemain food delivery.

Fokus GoFood di tahun 2020

(kiri-kanan) Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita, Co-Owner Ban-Ban Wenny Chen, dan Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo saat acara peluncuran inovasi terbaru GoFood
(kiri-kanan) Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita, Co-Owner Ban-Ban Wenny Chen, dan Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo saat acara peluncuran inovasi terbaru GoFood

Untuk terus meningkatkan layanan dan profit dari GoFood, awal tahun ini perusahaan telah menghadirkan empat inovasi baru. Di antaranya GoFood Pickup, GoFood Turbo, GoFood Plus dan kolaborasi dengan Google Assistant untuk para pengguna memesan makanan lewat perintah suara.

Sekarang sudah ada lebih dari 40 lokasi GoFood Kitchen dan GoFood Festival sebagai program unggulan mereka, dengan rencana untuk terus menambahkan lokasi yang lebih banyak. Lokasi-lokasi ini ke depannya bisa memberikan mitra merchant biaya dan risiko rendah untuk memperluas jejaring outlet karena infrastrukturnya telah disediakan.

Disinggung apakah nantinya GoFood memiliki rencana untuk spin off atau berdiri sendiri diluar ekosistem Gojek, tidak disebutkan lebih lanjut. Namun ke depannya, GoFood akan fokus mengembangkan tiga hal sebagai strategi bisnis jangka panjang, yakni mengutamakan kepuasan pelanggan, ekspansi bisnis dan  inovasi.

“Lewat keandalan teknologi GoFood, kami juga menawarkan pelayanan yang memudahkan dan menyenangkan bagi para pencinta kuliner dan pelanggan GoFood saat memesan makanan. Berkembangnya teknologi GoFood dan fasilitas bagi mitra driver juga diharapkan dapat menguntungkan mitra driver untuk memberikan pelayanan maksimal kepada konsumen,” kata Rosel.

Application Information Will Show Up Here

Rangkul The Trade Desk, Gojek Ingin Beri “Insight” Mendalam untuk Pengiklan

Gojek mengumumkan kemitraan dengan perusahaan iklan asal Amerika Serikat “The Trade Desk” untuk membuat tautan antara iklan programmatic dan transaksi nyata yang terjadi secara offline. Tujuannya untuk memahami dampak terdalam dari iklan digital terhadap penjualan offline. Selama ini sebenarnya sudah ada banyak metodologi yang diterapkan, tapi masih menyisakan pertanyaan yang tidak terjawab.

VP Merchant Research & Analytics Gojek Pulkit Khanna menjelaskan, pemahaman ini dinilai dapat meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan pemasaran untuk mendorong pertumbuhan bisnis yang pesat. Sejalan dengan misi perusahaan mengatasi friksi (hambatan) di kehidupan sehari-hari dengan menghubungkan konsumen kepada penyedia barang dan jasa terbaik di pasar.

“Melalui kerja sama ini, pengiklan di platform TTD (The Trade Desk) bisa memanfaatkan pemahaman yang didapat dari platform Gojek untuk mengukur dan meningkatkan efektivitas kampanye pemasarannya,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Lebih jauh dijelaskan, Gojek akan mengukur dampak iklan online menggunakan transaksi aktual di dalam gerai, bukan data berbasis cookie. Lalu mengaitkan transaksi online maupun offline dalam aplikasi Gojek dengan solusi iklan yang disediakan TTD.

Dampak yang dilihat dari solusi ini adalah pembelian di dalam aplikasi Gojek, seperti layanan pesan-antar makanan GoFood, dan transaksi di merchant yang menerima pembayaran GoPay.

Dari situ, pemasar dapat menghubungkan korelasi antara penjualan dengan kampanye iklan yang bersangkutan. Kemudian memanfaatkan atribusi offline untuk mendapatkan analisis terkait efektivitas kampanye tersebut.

Kemitraan ini diklaim sebagai solusi yang revolusioner karena belum pernah dipakai oleh pihak manapun dalam pengukuran O2O di Asia Tenggara.

SVP South East Asia, Australia and New Zealand The Trade Desk Mitch Waters menambahkan, dampak dari solusi pengukuran O2O ini sangat luas karena mengisi kekosongan antara iklan online dan offline.

“Menganalisis atribusi offline telah menjadi aspirasi bagi pemasar di mana pun. Dengan cara pandang Gojek yang inovatif, kami sekarang dapat mewujudkan tujuan tersebut.”

Mengutip dari The Drum, Waters memberikan contoh terdekat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam restoran cepat saji, pemilik usaha menggunakan GoFood untuk pengiriman makanan dan menerima GoPay untuk pembelian di toko. Dengan kesepakatan ini, brand dapat menautkan pesanan yang benar-benar terjadi ini dengan kampanye iklan mereka secara anonim.

“Kami percaya restoran dan brand konsumer dapat menangkap peluang itu karena fungsi ini meningkatkan utilitas dan nilai iklan online. Kami percaya ini akan menginspirasi lebih banyak pemain untuk berinvestasi data, yang terpenting menciptakan riak gelombang yang mengangkat semua kapal,” ujarnya.

Waters melanjutkan, masa depan didorong oleh pentingnya peranan data dalam mengukur iklan digital yang dibaur dengan strategi pemasaran. Dia pun berharap perusahaan lain yang kaya dengan data dapat meniru apa yang saat ini kita lakukan di Indonesia dengan Gojek, terutama kemampuan dalam mengukur dan mengoptimalkan anggaran dengan cara ini.

“Niat kami dengan Gojek adalah untuk pergi ke luar Indonesia pada waktunya tiba,” pungkasnya.

Indonesia akan jadi negara pertama yang mengikuti uji coba, sebelum paralel didistribusikan ke negara lain pada tahun ini.

Kiprah The Trade Desk

Kemitraan dengan Gojek, menandakan dimulainya ekspansi The Trade Desk ke kawasan Asia Tenggara. Sejak tahun lalu, TTD kencang menggaet berbagai mitra. Di Tiongkok misalnya, perusahaan bekerja sama dengan Baidu, iQiyi, Tencent untuk meluncurkan iklan untuk meluncurkan platform pembelian iklan programmatic di negara tersebut.

Mengutip dari Nasdaq, CAGR dari pasar iklan di ASEAN naik 13,9% antara 2019 sampai 2026. Terlebih itu, Indonesia dianggap pasar terpenting buat TTD karena negara ini menjadi pasar periklanan paling dinamis di Asia Tenggara karena tingkat penetrasi smartphone yang tinggi.

Kondisi ini menjadi pertanda baik bagi perusahaan untuk memperoleh pelanggan baru di wilayah ini, yang pada akhirnya, mendorong pertumbuhan top-line. Secara global, TTD menghadapi persaingan yang ketat dengan Google dan Facebook yang mengontrol pasar iklan global hingga 51% sepanjang tahun lalu.

Akan tetapi, kedua perusahaan ini tidak menyediakan insight untuk pengiklan bagaimana performa iklan mereka. Mereka juga berada di bawah pengawasan aturan karena penggunaan data konsumen yang tidak etis.

Strategi TTD dalam menghadapi isu tersebut adalah menjaga transparansi diharapkan membantunya dalam melawan persaingan di pasar iklan digital.

Application Information Will Show Up Here

Gojek Dikabarkan Berinvestasi ke Perusahaan “Wearable” Zulu

Kami mendapatkan informasi dari sumber terpercaya jika startup decacorn Gojek telah berinvestasi di perusahaan wearable Zulu. Belum ada penyataan resmi dari kedua belah pihak terkait hal ini.

Zulu adalah perusahaan yang menyediakan inovasi wearable berbasis teknologi terapan, khususnya untuk pengendara roda dua. Inovasi yang sudah dikembangkan Zulu adalah helm yang dilengkapi konektivitas bluetooth dan masker anti polusi. Semua produk tersebut dijual secara online di Lazada.

Zulu dipimpin oleh CEO Nathan Roestandy dan CTO Yusuf Syaid.

Helm buatan Zulu yang dilengkapi konektivitas bluetooth
Helm buatan Zulu yang dilengkapi konektivitas bluetooth

Ini adalah investasi pertama Gojek yang berhubungan dengan penyedia consumer product di Indonesia. Sebelumnya Gojek cenderung mengakuisisi platform segmen B2B. Secara total hingga saat ini Gojek setidaknya sudah mengakuisisi 11 perusahaan.

Yang terbaru, Gojek dirumorkan mengambil alih kepemilikan mayoritas platform SaaS Moka dengan harga setidaknya 1,6 triliun Rupiah.

Secara strategis, investasi ini bakal membantu proses R&D Zulu untuk mengembangkan inovasi-inovasinya. Di sisi lain, dengan mitra pengemudi roda dua Gojek menjadi tulang punggung operasional perusahaan, inovasi Zulu bisa membantu mereka untuk beraktivitas dengan lebih baik.

Application Information Will Show Up Here

GoFood and GoPay Optimism for Gojek to be a Profitable Company

GoFood and GoPay are known as Gojek’s two main businesses with the most significant growth of all services. Last year, GoFood is said to gain $2 billion revenue, 50 million transactions per month and grow by 2.5 times. While GoPay contributes for $6.3 billion, not to mention the growth rate.

In one of the sessions by PE-VC Summit 2020 last week (1/15), inviting Gojek’s Chief Food Officer, Catherine Hindra and Gopay’s CEO Aldi Haryopratomo to dig more insights on how the two services play role in Gojek’s business.

Aldi said, 2019 is a good year for business growth, also the beginning of efficiency strategy. How to make the most of every penny from investor’s pocket, engineer’s time management has finally paid off. “This is one of the benefits of being a low capitalized player in this industry,” he said.

The urge of efficiency actually comes from the investors and most are private equity, among those are Northstar and Warburg Pincus. Both are encouraging founders to run Gojek’s business as prudent.

Catherine also said, all the initiatives from investors have directed Gojek to the right business model into profitability. By the time, the benchmark of Gofood’s achievement grows in terms of the transaction number, into gross transaction value (GTV), and now revenue.

We’re now on the right track, the progress is in line with our plan. That’s [the information] it,” he said.

Gofood’s significant growth is actually not in comparison to a similar industry in China. Food delivery in China has reached 13%-15% of the total consumption, while Indonesia is still a long way to go. Therefore, some of China’s innovations often become a role model.

He also highlighted the achievement of Gofood and Gopay is not simply due to its features, but also each other’s bound in one ecosystem.

“we’re not working individual, but as a company that gives the holistic solution. This is what makes us different from others.”

In fact, the company’s DNA has given the whole solution to consumers. Therefore, not only about digital payment and food delivery but the whole daily aspect.

To compare with Grab, Gojek’s funding has a big gap. Since it was founded in 2010, Gojek has secured $3 billion funding in 12 rounds. While Grab reached $9 billion in 12 rounds. Therefore, Gojek has enough cash for a tech company in ASEAN.

In order to build the regional existential, Grab performs expansion in an organic and inorganic way. In a way to make Uber an acquisition in the ASEAN market. While Gojek is just begun the expansion in late 2018.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Keyakinan GoFood dan GoPay Bawa Gojek Jadi Perusahaan “Profitable”

GoFood dan GoPay kini dikenal sebagai dua bisnis utama Gojek yang paling cepat pertumbuhannya ketimbang layanan lain. Pada tahun lalu, disebutkan GoFood mencetak revenue $2 miliar, 50 juta transaksi per bulan dan pertumbuhan naik 2,5 kali lipat. Sementara Gopay berkontribusi $6,3 miliar, meski pertumbuhannya tidak disebutkan.

Dalam salah satu sesi yang diangkat Indonesia PE-VC Summit 2020 pekan lalu (15/1), mengundang Chief Food Officer Gojek Catherine Hindra dan CEO GoPay Aldi Haryopratomo untuk membahas lebih dalam bagaimana kedua layanan ini berperan dalam bisnis Gojek.

Aldi menerangkan, 2019 adalah tahun yang baik dalam hal pertumbuhan bisnis, sekaligus dimulainya strategi efisiensi. Bagaimana memaksimalkan setiap dolar uang investor yang keluar, pembagian waktu engineer, sudah terbayar penuh. “Inilah salah satu keuntungan menjadi pemain berkapitalisasi rendah di industri ini,” ucapnya.

Dorongan efisiensi ini sebenarnya datang tak lain dari para investor yang kebanyakan adalah private equity, di antaranya Northstar dan Warburg Pincus. Keduanya mendorong para founder untuk menjalankan Gojek dengan cara yang prudent.

Catherine menambahkan, seluruh dorongan para investor membuahkan GoFood dalam model bisnis yang sesuai dengan arah profitabilitas. Dari waktu ke waktu, benchmark pencapaian GoFood berkembang dari awalnya angka transaksi, menjadi gross transaction value (GTV), dan sekarang revenue.

“Sekarang kita ada track yang benar, progresnya sesuai dengan yang kita rencanakan dari awal. Baru itu (informasi) yang bisa saya bagikan,” katanya.

Pencapaian GoFood yang pesat, sebenarnya belum seberapa dibandingkan industri serupa di Tiongkok. Industri food delivery di sana penetrasinya sudah mencapai 13%-15% dari total konsumsi, sedangkan di Indonesia masih jauh di bawah itu. Alhasil, berbagai inovasi yang diterapkan di negeri tirai bambu tersebut seringkali menjadi acuan para pemain food delivery.

Dia juga menekankan pencapaian GoFood dan GoPay sebenarnya bukan karena fitur-fitur layanan yang disediakan oleh masing-masing, melainkan keterikatannya satu sama lain di dalam satu ekosistem yang sama.

“Kami tidak bekerja secara individu, tapi sebagai grup perusahaan yang memberikan solusi secara holistik. Mungkin ini yang membedakan kami dengan yang lainnya.”

Pasalnya, DNA yang ditanamkan dalam perusahaan adalah memberikan solusi kepada konsumen secara keseluruhan. Sehingga tidak hanya menyentuh soal pembayaran digital dan food delivery saja, tapi seluruh aspek kehidupan sehari-hari.

Dibandingkan Grab, perolehan dana yang diperoleh Gojek bisa dikatakan cukup terpaut jauh. Sejak didirikan di 2010, Gojek mengantongi pendanaan $3 miliar dalam 12 putaran. Sedangkan Grab mencapai $9 miliar dalam 12 putaran. Meski demikian, nominal yang didapat Gojek tergolong cukup besar untuk perusahaan teknologi yang beroperasi di ASEAN.

Dalam memperkuat eksistensinya di regional, Grab melakukan ekspansi baik secara organik maupun anorganik. Salah satunya melalui akuisisi Uber khusus untuk operasionalnya di ASEAN. Sementara Gojek sendiri baru mulai keluar kandang menjelang akhir 2018.

Application Information Will Show Up Here

A Kaleidoscope of Strategic Corporate Acts in 2019

The disruptive era has been driven not only by the startup industry. In recent years, a number of large-scale corporations have taken part in developing the digital ecosystem in Indonesia.

Moreover, innovation development within the scope of the corporation or corporate innovation will come back to its main goal, a sustainable business.

The year 2019 highlighted some strategic steps with various instruments, from internal innovation incubation, collaboration with startups, and the rise of venture capitals.

DailySocial summarizes the most engaging corporate actions of some sectors within the year of 2019 as follows:

A synergy of state-owned e-money products

Last year begins with Telkomsel’s e-money service transformation, Tcash, to LinkAja. This is said to be the former SOE Minister Rini Soemarno’s initiative who wants to put state-owned e-money companies altogether into one platform.

Tcash is considered to have the most ready ecosystem at that time than any other SOE e-money, therefore, It was designated as an “embryo” for the LinkAja platform. This is quite a surprising decision since Tcash plans to become an agnostic e-money service and spin off from Telkomsel in the mid-2018.

Meanwhile, LinkAja has been announced and started rolling in February. In fact, it was officially launched in the middle of the year due to the long-await for the integration of all SOE e-money to be completed.

It is to be highlighted that LinkAja is the result of a joint venture of state-owned companies in which 25% of the shares owned by Telkomsel, 20% each for Mandiri, BRI and BNI, BTN, Pertamina with 7%, and Jiwasraya Insurance also involved with 1%.

Prior to this, LinkAja positioned itself as e-money for daily basis. Therefore, this joint venture – to be followed by other shareholders – is considered to fasten the acceleration for the company’s use case, such as transportation and gasoline purchases.

Collaboration and Innovation

Innovation and collaboration between corporations and startups have made the news in 2019. It indicates a number of business sectors have realized the power of inclusiveness towards Indonesia’s digital business development.

As an example, Gojek officially partners with Indonesian Railways (KAI) to support the integration of digital ecosystems and railroad services through orders and payments in one transaction. In this case, Gojek is the first and last-mile provider, while KAI acts as the middle mile provider.

Next, BRI kicked off the market through its collaboration with Traveloka through the “PayLater Card” launching. This co-branding partnership allows users to transact at offline and online merchants in 53 million locations worldwide and receive payments by VISA.

In late 2019, BRI is to increase its digital service portfolio by launching a BRI Ceria virtual credit card that provides loans starting from Rp500 thousand to Rp1 million. The app-based service aims for BRI customers in the underbanked segment.

In terms of telco, Telkomsel initiated another breakthrough by launching the first digital app-based cellular service product by.U. It’s called digital-based for all activities of purchase, registration, and use are fully carried out in the application.

It was internally incubated and developed through MVP, the by.U service has become Telkomsel’s strategic “weapon” to win the market in the digital era. In fact, by.U is targeting gen Z for their digital literacy and unwillingness to be “regulated” for data packages.

The rise of Corporate Venture Capitals

2019 highlights the aggressive penetration of Corporate Venture Capital (CVC). In our observation, there are four new CVCs established to capture great opportunities in the Indonesian digital industry. They include Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi / TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), and Sarana Papua Ventura (BTN).

Furthermore, DailySocial also highlighted Nicko Widjaja‘s transfer from MDI Ventures to be the head of BRI Ventures. Nicko’s appointment as CEO is expected to bring a new success story in the coming year.

Broadly speaking, each CVC targets a different business vertical, depending on the demand and values ​​of the company’s business development. Likewise, the funding stage. For example, TMI is currently aiming for early-stage and BRI Ventures will focus on growth and late-stage startups.

In addition to the CVC, Telkom Group has recently added more to its managed funds by launching the Centauri Fund.  The new strategy is a joint venture between the telco giant with KB Financial Group, which is one of the largest banks in South Korea.

Expecting the next strategic step in 2020

Through the summarize of various corporate actions above, we can draw a common thread that inclusiveness will be the main key for players – whoever are both corporations and startups – in driving the development of the digital ecosystem in the future.

Collaboration will be more aggressive and there are more innovations to arrive. A number of Indonesian corporates have realized the power of innovation and digital transformation. Some of those, such as BRI and Telkomsel, have prepared themselves to start a new chapter in 2020.

Moreover, in line with the more mature startup ecosystem, the VC industry will be more selective for its investment. The investment climate is predicted to increase. However, we are likely to see a decrease in the initial funding.

For some reason, both CVC and VC will be more focused on growth and late-stage funding. Aside from minimizing risk — learn from the previous years — startups must have clear traction, scale-up, and monetizing plans.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Teknologi Sebagai Masa Depan Pendidikan di Indonesia

Bayangkan sebuah dunia di mana tugas-tugas yang bersifat repetitif telah diambil alih oleh robot. Sebuah dunia di mana pabrik mesin mencetak mobil-mobil self-driving, drone antar-jemput dari rumah ke rumah, serta mesin chatbot kecerdasan buatan bisa  melayani pelanggan melalui telepon. Hal-hal ini telah terjadi, dan itu hanya sebagian kecil contoh. Setiap hari, di seluruh dunia, pekerjaan formal yang dulu dianggap sebagai domain eksistensi manusia kini telah bertransformasi menjadi lebih otomatis atau digital.

Model pendidikan saat ini sedang mempersiapkan anak-anak kita untuk bekerja dalam ekonomi yang akan punah ketika mereka lulus dari universitas. Tenaga kerja masa depan yang terbangun akan lebih berpusat pada manusia dan layanan kreatif, yang beroperasi melalui saluran sarat digital. Dengan demikian, adalah hal yang vital bagi sektor pendidikan Indonesia untuk berporos ke arah kurikulum modern yang menekankan teknologi dengan sentuhan manusia.

Teknologi pendidikan — biasa disebut ‘edtech’ oleh para pemangku kepentingan dalam permulaan dan permodalan ventura — seringkali diabaikan dibandingkan dengan sub-sektor lain dari ekosistem teknologi. Hal ini dapat terjadi karena pemikiran usand terhadap pendidikan yang menempatkan fokus pada menghafal dan gagasan ‘etika’ yang tidak jelas.

Sementara nilai-nilai tradisional memiliki tempatnya, akan jauh lebih baik menggunakan pendekatan pragmatis untuk pendidikan dan mempertimbangkan fakta bahwa tanggung jawab pertama dan utama lembaga pendidikan di Indonesia adalah untuk membantu siswa tumbuh menjadi kontributor yang sesuai untuk ditempatkan dalam masyarakat.

Lagipula, sentimentalitas tidak memiliki tempat dalam persiapan tenaga kerja yang kompetitif, namun hal ini bukan berarti tenaga kerja digital masa depan akan berperilaku seperti robot. Sebaliknya, mereka akan melakukan hal-hal yang paling manusiawi yang tak terkikis oleh automasi. Pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, kolaborasi, serta komunikasi intim antar manusia tidak dapat digantikan oleh algoritma. Penting sekali untuk melengkapi sekolah-sekolah di Indonesia dengan kapasitas penuh dalam mempersiapkan kaum muda kita untuk ekonomi yang lebih lanjut dengan memaksimalkan transformasi digital sistemik.

Posisi negara saat ini

Indonesia berada pada peringkat 41 dari total 63 negara dalam indeks IMD (Lembaga Manajemen Pengembangan). Sementara negara ini memiliki daya tarik yang diposisikan pada urutan ke 24, kita juga berada di urutan ke-51 berdasarkan faktor investasi dan pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja Indonesia memiliki potensi tinggi untuk berpartisipasi dalam ekonomi global, relatif terhadap posisinya saat ini.

Untuk bisa memaksimalkan potensi ini, jika kita tilik lebih dalam, ada lebih dari 87,2 juta siswa yang terdaftar dalam sistem pendidikan Indonesia. Kebutuhan akan sosok guru juga sangat mengejutkan dan tidak terpenuhi; terwujud dalam rasio 7: 100 antara guru dan siswa. Rasio ini bahkan lebih buruk di pulau-pulau terpencil, di mana sepanjang sejarah sekolah mengalami kekurangan dana dan kekurangan tenaga.

Untuk meningkatkan rasio di atas dan melengkapi para pendidik dengan alat dan teknologi terbaru, sektor publik dan swasta harus bekerja sama untuk mengatasi beberapa hambatan utama dalam digitalisasi.

Pertama, kita harus mengatasi kurangnya modal inovatif di sektor pendidikan. Pemerintahan Jokowi mengusulkan anggaran Rp585,8 triliun ($ 35,51 miliar) untuk pendidikan pada tahun 2020, meningkat 50 persen dari tahun 2015. Sementara sebagian besar dari anggaran pendidikan selama ini telah dialokasikan untuk beasiswa dan pemeliharaan sekolah, sebagian juga harus disisihkan untuk investasi edtech.

Kedua, ada isu pembangunan infrastruktur tidak merata di setiap sekolah. Terdapat perbedaan mencolok antara sekolah di daerah pedesaan dengan sekolah modern di kota-kota besar yang harus dijembatani. Melengkapi guru dengan kurikulum digital ketika siswa tidak memiliki laptop atau koneksi internet sama dengan hal yang sia-sia. Proyek Palapa Ring, jalan raya serat optik bawah laut baru yang membentang dari Sabang hingga Merauke, adalah salah satu dari banyak solusi potensial untuk masalah ini yang lahir dari kemitraan publik-swasta.

Ketiga, dan yang paling penting, Indonesia membutuhkan lebih banyak guru untuk berpartisipasi menjadi tenaga kerja. Banyaknya inovasi edtech serta uang untuk dibelanjakan pada digitalisasi hanya akan menjadi janji-janji kosong jika tidak ada pendidik yang mau mengajar di lapangan. Memberikan nilai tambah menarik seperti insentif, finansial atau lainnya, bagi para pendidik kelas dunia untuk mengajar di Indonesia adalah salah satu cara untuk men ‘doktrin’ , serta meningkatkan prospek negara.

Edtech di Indonesia

Sektor edtech Indonesia pada dasarnya dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu marketplace, platform kelas online, sistem manajemen sekolah dan pinjaman siswa. Ruangguru, sebuah marketplace les privat online, telah berhasil mendapatkan lebih dari 6 juta pengguna [siswa] untuk mempelajari lebih dari 100 mata pelajaran secara online. Zenius, dengan model bisnis yang sama, menyediakan bahan belajar mandiri untuk siswa di bawah program sekolah nasional 12 tahun di seluruh Indonesia.

Platform edtech lainnya, HarukaEdu, juga menyediakan layanan administrasi di samping kursus pembelajaran online mereka. Layanan mereka berkisar dari membantu universitas selama proses seleksi hingga menyediakan konten dan bantuan operasional untuk institusi. Satu hal menarik adalah program pembelajaran korporat yang mereka sediakan, yang diarahkan untuk meningkatkan keterampilan orang usia kerja.

Di dunia di mana pekerja harus mempelajari ulang pekerjaan mereka per-dekade atau lebih (atau berisiko menjadi usang), keterampilan lebih sama pentingnya dengan pendidikan tinggi. Model pembelajaran yang disesuaikan yang disediakan oleh Ruangguru, Zenius dan HarukaEdu masih dalam tahap awal. Mereka, bagaimanapun juga, memberikan proyeksi masa depan di mana pendidikan tidak dibatasi oleh jarak, usia, atau strata sosial.

Pengikisan Ujian Nasional Indonesia yang baru-baru ini dilakukan oleh Departemen Pendidikan, standar kinerja usang yang menempatkan siswa dalam hierarki pendidikan, harus dianggap sebagai lampu hijau untuk perubahan dari sektor publik.

Hal ini menunjukkan, untuk benar-benar mereformasi sistem pendidikan Indonesia, mengandalkan kebijakan tidaklah cukup. Perubahan harus dilakukan secara sistematis pada skala nasional. Peluang ini membutuhkan para pendiri startup yang inovatif untuk berpartisipasi dan memanfaatkan keahlian mereka dalam membentuk sistem baru. Pasar berkesempatan untuk mengumpulkan guru yang mampu menyediakan bahan yang tepat, dan kelas online dapat memberikan ruang bagi siswa untuk meninjau kembali pemahaman mereka tentang materi pembelajaran.

‘Bagaimana’ bukan ‘apa’

Hanya 16 persen orang dewasa berumur 25 hingga 34 berhasil mengenyam perguruan tinggi, jauh di bawah rata-rata OECD 44 persen. Dekade berikutnya akan mewakili tonggak penting untuk kita bisa mendigitalkan sektor pendidikan dan menyiapkan kaum muda menghadapi ekonomi berbasis pengetahuan, atau tetap berpegang pada model-model yang menyiapkan mereka untuk pekerjaan yang cenderung akan punah ketika mereka tumbuh dewasa.

Upaya sukses Cina dalam menumbuhkan dan mempertahankan bakat domestik adalah contoh dari apa yang bisa dicapai oleh reformasi pendidikan sektor publik yang didukung oleh teknologi sektor swasta. Seperti halnya Indonesia, Cina saat ini sedang dalam proses mereformasi ujian masuk universitas dan kurikulumnya untuk lebih menekankan ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, seni, dan matematika. Perbedaannya adalah bahwa reformasi mereka didukung oleh tujuh dari 10 edtech unicorn dunia dan pasar pembelajaran digital terbesar di dunia dengan 172 juta pelajar online.

Teknologi maju dengan kecepatan eksponensial dan ikut memboyong masyarakat di dalamnya. Untuk mempertahankan tenaga kerja kompetitif di dunia global di mana satu hal yang konstan adalah perubahan, kita harus mendidik siswa tentang bagaimana cara berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan. Dengan demikian, platform, teknologi, dan institusi yang mendidik generasi muda kita harus mencerminkan hal ini.

Sebagai pendiri Go-Jek lulusan Harvard serta Menteri Pendidikan Indonesia yang baru dicetak, Nadiem Makarim, baru-baru ini menyatakan:

“Kita [orang Indonesia] harus mempersiapkan generasi baru kita untuk mencari ilmu berdasarkan kemauan mereka sendiri karena apa yang mereka pelajari saat ini di sekolah tidak lagi berlaku. Isi studi kami tidak lagi menjadi masalah — yang penting adalah keterampilan [skill] yang dipelajari. Bagaimana berpikir, bagaimana menyusun ide, bagaimana memecahkan masalah dan bagaimana berkolaborasi satu sama lain. Itu adalah keterampilan yang penting.”


Artikel asli ditulis oleh Markus L. Rahardja, VP-Investor Relations BRI Ventures. Ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Kristin Siagian.

Kaleidoskop Aksi Korporasi Strategis di Sepanjang 2019

Era disruptif sesungguhnya tak hanya didorong oleh industri startup. Faktanya sejumlah korporasi berskala besar turut ambil bagian dalam pengembangan ekosistem digital di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Walau demikian, pengembangan inovasi di lingkup korporasi atau corporate innovation akan kembali mengacu pada tujuan utamanya, yakni kelangsungan bisnis untuk jangka panjang.

Tahun 2019 menandai ramainya sejumlah langkah strategis dengan instrumen bervariasi, mulai dari inkubasi inovasi internal, kolaborasi dengan startup, hingga pembentukan pemodal ventura.

DailySocial merangkum berbagai aksi korporasi menarik dari beberapa sektor industri di sepanjang 2019 berikut ini:

Sinergi besar-besaran e-money BUMN

Tahun 2019 diawali dengan transformasi layanan e-money Telkomsel, Tcash, menjadi LinkAja. Transformasi ini disebut sebagai inisiasi dari eks Menteri BUMN Rini Soemarno yang ingin menggabungkan seluruh e-money milik perusahaan pelat merah ke dalam satu platform.

Tcash dinilai punya ekosistem paling siap saat itu dibandingkan e-money BUMN yang lain sehingga Tcash ditetapkan sebagai “embrio” bagi platform LinkAja. Keputusan ini tentu cukup mengagetkan mengingat di pertengahan 2018, Tcash berencana untuk menjadi layanan e-money agnostik dan spin off dari Telkomsel.

Adapun, LinkAja diumumkan dan beroperasi pada Februari, namun baru diluncurkan secara resmi di pertengahan tahun karena menunggu integrasi seluruh e-money BUMN rampung.

Yang perlu digarisbawahi, LinkAja merupakan hasil kongsi perusahaan BUMN yang saat ini sahamnya dimiliki oleh Telkomsel sebesar 25 persen, Mandiri, BRI, dan BNI yang masing-masing menguasai 20 persen, BTN dan Pertamina 7 persen, serta Asuransi Jiwasraya 1 persen.

Sejak awal, LinkAja memposisikan diri sebagai e-money untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka itu, kongsi ini–dan akan bertambah dengan masuknya pemegang saham lain–dinilai akan memperkuat akselerasi use case yang disiapkan perusahaan, seperti transportasi dan pembelian bensin.

Kolaborasi dan inovasi

Inovasi dan kolaborasi antara korporasi dan startup mewarnai pemberitaan di sepanjang 2019. Ini menandakan sejumlah sektor bisnis telah menyadari pentingnya inklusivitas terhadap pengembangan bisnis digital di Indonesia.

Misalnya, Gojek resmi bermitra dengan Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mendukung integrasi ekosistem digital dan layanan perkeretaapian melalui penerapan pesanan dan pembayaran dalam satu transaksi. Dalam hal ini, Gojek menjadi penyedia first mile dan last mile, sedangkan KAI sebagai penyedia middle mile.

Kemudian BRI menggebrak pasar lewat kolaborasinya dengan Traveloka lewat peluncuran kartu kredit “PayLater Card”. Kerja sama co-branding ini memungkinkan pengguna untuk bertransaksi di merchant offline dan online yang tersebar di 53 juta lokasi di seluruh dunia dan menerima pembayaran dengan VISA.

Di penghujung tahun 2019, BRI kembali menambah portfolio layanan digital dengan meluncurkan kartu kredit virtual BRI Ceria yang menyediakan pinjaman mulai dari Rp500 ribu-Rp1 juta. Layanan berbasis aplikasi ini hanya menyasar nasabah BRI di segmen underbanked.

Dari sektor telekomunikasi, Telkomsel juga membuat gebrakan baru dengan meluncurkan produk layanan seluler pertama berbasis aplikasi digital by.U. Disebut digital karena seluruh aktivitas pembelian, registrasi, dan pemakaian sepenuhnya dilakukan di aplikasi.

Diikubasi di internal dan dikembangkan secara MVP, layanan by.U menjadi “senjata” strategis Telkomsel untuk memenangkan pasar di era digital. Maka tak heran, by.U membidik generasi Z yang dianggap sudah melek digital dan tidak mau “diatur” dalam memilih paket.

Corporate Venture Capital paling bersinar

Tahun 2019 menyoroti agresifnya pembentukan Corporate Venture Capital (CVC). Menurut catatan kami, terdapat empat CVC baru yang didirikan untuk menangkap peluang besar di industri digital Indonesia. Mereka antara lain Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi/TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), dan Sarana Papua Ventura (BTN).

Kemudian, DailySocial juga menyoroti kepindahan Nicko Widjaja dari MDI Ventures untuk menakhodai BRI Ventures. Penunjukkan Nicko sebagai CEO diharapkan membawa kisah kesuksesan baru di tahun mendatang.

Secara garis besar, setiap CVC memiliki target vertikal bisnis berbeda, tergantung dengan kebutuhan dan nilai yang diincar untuk pengembangan bisnis perusahaan. Demikian pula tahapan pendanaan. Misalnya, TMI saat ini membidik early-stage dan BRI Ventures akan fokus terhadap startup di growth dan late stage. 

Selain pembentukan CVC, Telkom Group baru-baru ini juga menambah dana kelolaan dengan membentuk Centauri Fund. Strategi dana kelolaan baru tersebut merupakan hasil kongsi raksasa telekomunikasi ini dengan KB Financial Group, yakni salah satu perusahaan bank terbesar di Korea Selatan.

Menantikan langkah strategis selanjutnya di 2020

Lewat rangkuman beragam aksi korporasi di atas, kami dapat menarik benang merah bahwa inklusivitas akan menjadi kunci utama bagi pemain—siapapun itu baik korporasi dan startup—dalam mendorong pengembangan ekosistem digital di masa depan.

Kolaborasi akan semakin agresif dan inovasi akan terus berdatangan. Sejumlah korporasi di Indonesia sudah menyadari pentingnya inovasi dan transformasi digital. Beberapa di antaranya, seperti BRI dan Telkomsel, telah mempersiapkan diri memulai babak baru di tahun 2020.

Di sisi lain, sejalan dengan semakin matangnya ekosistem startup, industri VC akan semakin selektif dalam memilih pendanaan. Iklim investasi memang diprediksi meningkat. Akan tetapi, kita tampaknya bakal melihat menurunnya fokus pendanaan tahap awal.

Baik CVC atau VC akan mulai lebih fokus membidik pendanaan growth dan late stage karena sejumlah alasan. Selain minim risiko—belajar dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya—startup memang harus memiliki traction, rencana scale up, dan monetisasi yang jelas.

Jerry Ng dan Patrick Walujo Resmi Ambil Alih Bank Artos

Bank Artos kini resmi dimiliki oleh Jerry Ng dan Patrick Waluyo dengan kepemilikan saham sebanyak 51%. Kabar tersebut sekaligus mengonfirmasi rumor yang beredar soal keterkaitan Gojek dengan aksi korporasi ini, mengingat Patrick Waluyo adalah investor awal dari unicorn pertama dari Indonesia tersebut.

Dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia kemarin (26/12), Jerry Ng yang memiliki PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia dan Patrick Waluyo melalui Wealth Track Technology Limited membeli saham Bank Artos masing-masing sebesar 37,65% dan 13,35%.

Total saham yang dibeli ini setara dengan 615,18 juta saham, dengan harga Rp395 per lembar saham. Maka, bisa dikatakan keduanya merogoh kocek sebesar Rp243 miliar.

Dalam prospektus yang dirilis, akuisisi ini bertujuan untuk mengembangkan Bank Artos menjadi bank yang fokus melayani segmen menengah ke bawah (mass market). Usai akuisisi, Bank Artos akan melakukan penambahan modal untuk digunakan pengembangan produk, investasi teknologi dan SDM.

“Menjadikan Bank Artos sebagai bank yang lebih kuat dan mempunyai daya saing agar menjadi bank dengan skala nasional,” sebut prospektus tersebut.

Sebelumnya, dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) di akhir September 2019, kedua perusahaan ini sudah mendapat persetujuan dari para pemegang saham terkait rencana pengambilalihan saham. Di saat yang sama, korporasi menggelar penerbitan 15 miliar lembar saham baru dengan mekanisme PUT dengan HMETD dengan nominal Rp100 per saham.

Mengutip dari CNBC Indonesia, Plt. Direktur Utama Bank Artos Deddy Triyana mengatakan, pemegang saham baru akan melakukan transformasi untuk menjadi bank digital. Menurutnya, bank digital adalah masa depan industri perbankan di Indonesia.

“Alasan akuisisi ini untuk mengembangkan Bank Artos yang melayani segmen menengah dengan platform digital. Akan ada bisnis model baru dari Bank Artos jadi bank digital. Kenapa? Karena segmen itu sedang tumbuh dan juga target market di segmen itu mendominasi dari sisi usia produktif, ini jadi alasan dari pihak pembeli,” kata Deddy.

Jerry Ng adalah bankir senior yang memimpin BTPN selama satu dekade. Ia memilih mundur dari bank tersebut setelah resmi merger dengan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia. Sementara Patrick Walujo adalah pendiri Northstar Group, investor awal dari Gojek hingga menempatkan Andre Soelistyo sebagai petinggi di Gojek.