Mandiri Capital dan Investible Umumkan Dana Kelolaan Khusus Climate Tech

Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan Investible telah menandatangani term sheet untuk membentuk dana kelolaan yang dikhususkan untuk teknologi dan inovasi iklim (climate tech).

Mandiri Investible Global Climate Tech Fund akan memanfaatkan keahlian dan sumber daya dari kedua perusahaan modal ventura tersebut untuk mengidentifikasi, berinvestasi, dan memberikan dukungan kepada startup, dalam mengatasi permasalahan mendesak perubahan iklim di Asia Tenggara dan wilayah Oseania.

Secara signifikan, hingga 30% porsi investasi dari dana kelolaan tersebut akan dialokasikan untuk Indonesia.

Dana kelolaan ini menawarkan peluang penting bagi investor yang tertarik memerangi perubahan iklim. Sejalan dengan pentingnya mengatasi masalah lingkungan dan memanfaatkan prospek pertumbuhan besar dalam sektor teknologi iklim.

Sektor investasi yang akan diincar berasal dari daftar UNEP, seperti energi, transportasi, bangunan dan kota, industri, pangan, dan pertanian, serta hutan dan tata guna lahan.

Dana ini merupakan kelanjutan mandat Indonesia Impact Fund (IIF) untuk menciptakan dampak yang lebih besar dalam mendukung Inisiatif Emisi Nol Bersih, secara bersama-sama dengan Dewan Penasihat Bisnis APEC (ABAC) dan UNDP untuk berkontribusi secara signifikan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Sejak diluncurkan pada 2021, IIF telah mendanai Cakap dan Greenhope.

Dalam keterangan resmi, Chief Investment Officer Mandiri Capital Indonesia Dennis Pratistha menyampaikan antusiasmenya terhadap kemitraan bersama Investible karena sejalan dengan visi bersama dalam memajukan teknologi iklim. Potensi kolaborasi ini tidak hanya menyoroti komitmen Mandiri Group terhadap perekonomian Indonesia yang dinamis dan ESG yang terus berkembang, namun juga menunjukkan dedikasinya dalam mencari dan memelihara terobosan iklim inovasi.

“Hubungan kami yang mendalam dengan investor di seluruh Indonesia akan menjadi hal yang bermanfaat landasan bagi usaha ini, dengan tujuan untuk meningkatkan dan mendukung teknologi iklim perusahaan ke kancah global,” kata Dennis, Jumat (27/10).

Dia melanjutkan, dana kelolaan ini merupakan pionir yang menawarkan alternatif investasi berkelanjutan di wilayah yang menghadapi tantangan lingkungan hidup yang signifikan. Sejalan pula dengan permintaan pasar dalam memajukan keberlanjutan regional.

“Tujuan utama dana ini adalah untuk memanfaatkan kekuatan Indonesia yang saling melengkapi, Asia Tenggara, dan Australia. Indonesia, pasar yang sedang berkembang dengan pertumbuhan yang signifikan potensinya, menawarkan lanskap startup yang beragam dan dinamis, sementara Australia menawarkan lanskap startup yang matang ekosistem dengan keahlian teknologi yang mendalam.”

Investible telah meluncurkan Climate Tech Strategy sejak 2021. Dalam kiprahnya, telah meninjau lebih dari 3.200 peluang di 20 negara yang menerapkan 19 investasi hingga saat ini. Keselarasan antara organisasi-organisasi terkemuka ini bertujuan untuk berkontribusi secara signifikan terhadap masa depan yang rendah karbon dan berketahanan.

CEO Investible Rod Bristow menyakini dana ini akan memberikan kombinasi unik antara hasil net zero dan manfaat finansial bagi investor. “MCI menyadari peluang unik yang dihadirkan oleh proses investasi tahap awal, metodologi, jaringan global, dan pengalaman milik Investible sebagai investor teknologi iklim tahap awal,” tandasnya.

Dukungan juga diberikan Dewan Penasihat Bisnis APEC (ABAC) yang diwakili oleh Chairman Anindya Bakrie. Ia mengatakan, dana kelolaan ini memungkinkan landasan yang diletakkan oleh Indonesia Impact Fund untuk memperluas portofolionya ke pasar Indo-wilayah Pasifik.

“Dengan dimulainya inisiatif yang berfokus pada iklim ini, kami bersemangat untuk melanjutkannya upaya berdampak yang dimulai oleh Indonesia Impact Fund (IIF) yang memperkuat upaya kolektif kami menuju masa depan yang berkelanjutan dan berketahanan,” ujarnya.

From MCI to BNI Ventures, Eddi Danusaputro’s Continuous Journey to Support the State-Owned’s CVC Scheme

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Indonesia’s investment ecosystem is said to have a tough time, as affected by the “winter season” in the US, where some sources flow the investment money in this country. However, despite the unfortunate facts, we can learn many things from this situation. Eddi Danusaputro agreed on this as a necessary evil, a maturing process for Indonesian startups, which for a long time has had its seasons in the sun.

Recently departed from MCI (Mandiri Capital Indonesia), Eddi Danusaputro has put all in his power to build and nurture the State-Owned Enterprise’s CVC from day one. With limited resources and a small room for experiments, Eddi has led this company to generate 20 investment portfolios. The most recent investment was on Jul 11, 2022, when AgriAku raised $35M. Aside from that, the CVC has had three exits, including the most notable ones, Moka and Jurnal.id.

After dedicating almost 6,5 years of his life to MCI, Eddi is ready to embrace a new journey with another state-owned VC, Bank Negara Indonesia (BNI). Although he is not yet available to discuss much of the new entity’s further plan, he assured to make a good deal of all his previous experiences in the new venture. In addition, he will be fully in charge of the Merah Putih Fund, a fund initiated by the SOE ministry and co-managed by 5 CVCs.

Not long ago, he was appointed as the Chairman of Amvesindo, a venture capital association for Indonesian startups. Aside from the VC life, Eddi is highly passionate about basketball. To date, he’s been involved as the Chairman of Indonesia’s local basketball club, Amartha Hangtuah.

Above are some facts about Eddi Danusaputro. DailySocial has had a chance to hear more about his journey to becoming one of the most successful venture capitalists in the country. Let’s listen to it through the excerpt below.

Let’s start with the early days of your career. How was the journey of becoming a venture capitalist with your economic background?

We usually think we choose our journey, but sometimes it’s the journey that finds us. I graduated in the mid-’90s, and the digital industry was not developed back then. Some options include a state-owned enterprise (SOE), government-related, or Multinational. I chose the last one.

I began in the sales department for FMCG products, P&G. I admit that this experience has sharpened my marketing skills. Whatever you do, whether in sales, marketing, or engineering, at the end of the day, you have to be able to sell. People sell every part of themselves, their ideas, their skills, and their products. Communication sets of skills are essential.

Furthermore, I got a scholarship to Duke University in the US, catching my enthusiasm for the finance industry. I started in New York City with Morgan Stanley, then relocated to Singapore. I lived there for 12 years and finally returned to my home country to help build MCI.

You have experienced different cultures by studying and working in the US, then transferred to Singapore and living there for 12 years. Is there any significant impact on your journey?

Studying abroad has broadened my insight. With students and lecturers from different countries also brought different perspectives. Several trends are set outside the home country. For example, the “dot com” trend started in the US, and I am fortunate to experience it live. It goes along with investment terms, private funds, and so on that rise from the west. People with the privilege to study or work abroad can experience the trend and move back to leverage the movement in their home country.

In Singapore, people tend to be disciplined and punctual. Also, they are usually more individualist in terms of working culture. Colleagues do not necessarily become friends. They’re just in it for the job. Meanwhile, aside from the traffic that challenges time management in Indonesia, we are most likely to be social. Friends are pretty close and easily share contact. In other countries, privacy is precious.

During the journey, you’ve been occupying several positions. Which one do you cherish most?

I have been working in the capital market, where we need to keep an eye 24/7 to monitor the selling and buyout in the exchange. This situation has affected my working hours and communication in general, not mentioning about the time differences and the high volatility. It is pretty different from the dynamics of the startup industry. However, whichever, I should be able to enjoy the process.

How about the challenge after you’ve entered the VC industry?

In the startup industry, we’re investing in people, the founders. We need to build a relationship to know the person, which requires some time. That is one thing. Then, the pandemic came rattling, and some did not make it.

Recently, the startup industry is said to have a winter season. Some of these startups are yet to experience a correction, either topline or valuation. This condition is something they should learn from. Is it going to affect the runway? Should they be worried? What will the investors do? This way, we can finally see the founder’s character and which one will be resilient and survive during the hard times.

You’ve recently departed from Mandiri Capital Indonesia after 6,5 years of building and nurturing the CVC. What can you share about the experience, and where do you plan the next journey?

I was there from day one of MCI. I helped build the system, workflow, and SOP and shaped the company culture. We are not a giant company with massive resources. Therefore, we need to work efficiently. I need most of the team to be generalists and intrigued to know the work of the other groups. Work rotation is necessary. Everyone should learn everything before becoming a specialist.

As a CVC, we also need to take a risk, not to be reckless but calculated risks. It is fair to make mistakes as long as the process has been proper. However, not all decisions turn out to be what we planned. The culture is to know how to make a decision and be responsible.

It has been two terms, and I have officially departed from MCI. However, I’m still being an advisor during the transition to my new position. MCI is a long trip. My next journey is to build a new CVC for Bank Negara Indonesia (BNI). It may look similar to the last journey, but I’ve had my experiences and learned my lessons.

You were recently appointed as the Chairman of Amvesindo, a venture capital association for Indonesian startups. Do you think the industry has already in its ideal situation?

On a general note, the association covers not only the VCs but also startups (which are yet to have an independent association). It also becomes a discussion companion for regulators, bridging the concern of the two parties. It is the core and primary function in this industry.

It is yet to be ideal. However, this is a long journey. The important thing is that communication is way better than before. Startups, VCs, and the government have built an excellent start to walk through this journey.

Aside from the current job, do you have other interests to pursue?

I’m also an angel investor for some companies starting from scratch. Also, I’m currently a Chairman of the Amartha Hangtuah basketball club.
I have a mission for Indonesian basketball clubs can be profitable like the global ones, not just rely on the owner’s pockets. I’ve dreamed of them surviving with sponsorships, ticket merchandise, etc. The club should be self-sustainable.

Furthermore, I intend to improve athletes’ welfare in Indonesia. There are numerous stories about former athletes who live below the poverty line. It might be due to a lack of skills outside of sports or the unawareness of saving and investing. Every payday at the club, I help oversee and encourage them always to plan their expenses and set a pie for investment and savings. It’s solely for their future.

Eventually, I want to boost these clubs’ exposure, hoping they can plot for IPO one day. I wish to take my club to the next level and reach these milestones. Thus, I can wed my two passions, startups and basketball.

As a seasoned entrepreneur, is there anything you want to say to the younger generation who just started their journey?

This thing is essential. Whatever age you are, you must be eager to learn something new. Surround yourself with people who are more intelligent than you. If you walk into a meeting and are the smartest person in the room, you’re in the wrong room. Then, you cannot learn anything new. It includes when we’re in the organization, we must dare to hire people with expertise different from you. At a Director’s level, one must know to recruit people who are a thinker, not only executors.

I experienced several career pivots and must be ready to learn something new. Life is a series of continuous learning. Besides my current career path and basketball venture, I’m also a lecturer at Bina Nusantara University (Binus). Once I had a class of corporate students, and I had fun teaching and learning from them. The key is not to easily satisfied and feels like an expert.

Currently, I’m treasuring new technologies. I called it ABCD (Artificial Intelligence, Blockchain, Cloud Computing, and Database). I took a course in data science and machine learning. It’s my thirst to learn something I am yet to master. Lately, I’ve been interested in crypto meanwhile still focusing on sports management.

What’s your projection on the startup investment industry? Which sectors are resilient enough to get through this storm?

This winter season is a necessary evil. It’s a maturing process for Indonesian startups, which has had its seasons in the sun for a long time. Even though they can pass through the pandemic, now, with the downturn, it is a good thing, something to clear our sight.

All kinds of assets, stocks, commodities, everything has a cycle. Correction is inevitable. Then, the spring will come again. There are several schemes with B2B, B2C, B2B2C, and D2C. The one with the “burn money” strategy mainly lies on B2C. However, this is all going to change. Businesses should be able to outsmart this strategy.

My prediction goes with consolidation. There are so many e-commerce players. Are they all going to survive? I don’t think so. The market will eventually narrow, some will die or fall, and there will be few options. I root for consolidation and M&A in this ecosystem. Startups also need to plan for exits, which could be IPO or other mechanisms.

LinkAja Announces 1.4 Trillion Rupiah Series B Funding Led by Grab

E-money platform LinkAja announced the Series B funding worth around $100 million (1.4 trillion Rupiah) led by Grab. Also participated in this round the previous investors, Telkomsel, BRI Ventures, and Mandiri Capital. There is no mention of LinkAja’s current valuation. This funding is the first funding for LinkAja from a company outside the BUMN.

This funding will be fully utilized to accelerate LinkAja‘s growth to become a national financial technology leader that focuses on middle-class consumers and SMEs in Indonesia.

Grab’s strategic investment includes a wide range of synergies and potential collaborations for both parties. This synergy and collaboration in terms of ecosystem access and technology will accelerate financial inclusion for the Indonesian people.

In an official statement, LinkAja President Director Haryati Lawidjaja said that his team is very enthusiastic on Grab’s involvement as a shareholder in the company. He believes this strategic partnership supported by investment and the power of Grab’s technology will strengthen LinkAja’s services in presenting effective solutions to provide financial and economic access for the Indonesian people.

“We are very grateful for the trust and support of all shareholders and the Ministry of BUMN. The Series B investment from Grab, Telkomsel, BRI Ventures, and Mandiri Capital is a form of trust in the business model and initial achievements that LinkAja has achieved in one fell swoop since its establishment,” he said, Tuesday (10/11).

Grab Indonesia’s Managing Director, Neneng Goenadi also said that the company decided to invest in LinkAja because the two companies could accelerate the goal of accelerating financial inclusion in Indonesia.

“The strategic collaboration between LinkAja and our digital ecosystem, including OVO and Tokopedia, allows us to provide a variety of cashless services for all levels of Indonesian society safely, comfortably and easily accessible,” said Neneng.

Previously, in November last year LinkAja was available as a payment option in the Grab application and also its competitor Gojek.

LinkAja achivements in 2020

Haryati continued that the success of raising investment in the midst of this pandemic has proven the investor’s trust in the LinkAja business with many of leading supports.

In terms of shareholders from state-owned boards; a unique business model resulting from strategic partnerships with state-owned enterprises, local, central and private governments, which come from multi-industry; hyperlocal knowledge base and distribution network with extensive coverage in second and third tier cities, plus more than 1 million cash in/cash out receiving points.

“An innovative product with a strong brand that is rapidly developing into an iconic local fintech platform, and a provider of daily necessities with payment methods that can be accepted across thousands of merchants, with a variety of e-commerce, and various means of transportation.”

LinkAja is claimed to be able to increase the gross transaction value (GTV) and the number of transactions in the third quarter of this year by 3 times compared to the same period in the previous year.

It is said that LinkAja now has 58 million registered users, with more than 80% of them coming from second and third tier cities. Last April, the company launched its sharia services and has received a Sharia Conformity certification license from DSN MUI and Bank Indonesia. This Sharia service is claimed to have more than one million users, within its six months operation.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

LinkAja Umumkan Perolehan Pendanaan Seri B 1,4 Triliun Rupiah yang Dipimpin Grab

Platform uang elektronik LinkAja mengumumkan perolehan pendanaan Seri B dengan nilai sekitar $100 juta (1,4 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh Grab. Di putaran juga berpartisipasi investor terdahulu, yaitu Telkomsel, BRI Ventures, dan Mandiri Capital. Tidak disebutkan berapa valuasi LinkAja saat ini. Pendanaan ini adalah yang pertama untuk LinkAja dari perusahaan di luar BUMN.

Pendanaan ini sepenuhnya akan dimanfaatkan untuk mengakselerasi pertumbuhan LinkAja menjadi pemimpin teknologi finansial nasional yang berfokus pada konsumen kelas menengah dan UMKM di Indonesia.

Investasi strategis dari Grab meliputi berbagai sinergi dan potensi kolaborasi yang luas bagi kedua belah pihak. Sinergi dan kolaborasi baik dalam hal akses ekosistem maupun teknologi ini akan mempercepat inklusi keuangan bagi masyarakat Indonesia.

Dalam keterangan resmi, Direktur Utama LinkAja Haryati Lawidjaja menuturkan pihaknya antusias atas bergabungnya Grab sebagai salah satu pemegang saham di perusahaan. Ia yakin kerja sama strategis yang didukung oleh investasi dan kekuatan teknologi Grab ini akan memperkuat layanan LinkAja dalam menghadirkan solusi yang efektif untuk memberikan akses keuangan dan ekonomi bagi masyarakat Indonesia.

“Kami juga sangat berterima kasih atas kepercayaan dan dukungan dari seluruh pemegang saham dan Kementerian BUMN. Investasi tahapan Seri B dari Grab, Telkomsel, BRI Ventures, dan Mandiri Capital ini merupakan wujud kepercayaan atas model bisnis dan pencapaian awal yang telah diraih LinkAja dalam satu sejak berdirinya,” ujarnya, Selasa (10/11).

Managing Director of Grab Indonesia Neneng Goenadi menambahkan perusahaan memilih untuk berinvestasi di LinkAja karena secara bersama kedua perusahaan dapat mengakselerasi tujuan dalam mempercepat inklusi finansial di Indonesia.

“Kolaborasi strategis antara LinkAja dan ekosistem digital kami di dalamnya termasuk OVO dan Tokopedia memungkinkan kami untuk menyediakan beragam layanan cashless bagi semua lapisan masyarakat Indonesia dengan aman, nyaman, dan mudah diakses,” kata Neneng.

Sebelumnya, pada November tahun lalu LinkAja telah tersedia sebagai salah satu opsi pembayaran di aplikasi Grab dan juga kompetitornya Gojek.

Capaian LinkAja sepanjang 2020

Haryati melanjutkan keberhasilan penggalangan investasi di tengah pandemi ini merupakan bukti kepercayaan investor terhadap bisnis LinkAja yang ditopang oleh banyak keunggulan.

Dari sisi pemegang saham dari jajaran BUMN; model bisnis unik hasil kemitraan strategis dengan BUMN, pemerintah lokal, pusat, maupun swasta, yang datang dari multi industri; basis pengetahuan hiperlokal dan jaringan distribusi dengan cakupan luas di kota-kota lapis dua dan tiga, ditambah lebih dari 1 juta titik penerimaan cash in/cash out.

“Produk inovatif dengan merek kuat yang dengan cepat berkembang menjadi platform fintech lokal yang ikonik, dan penyedia kebutuhan sehari-hari dengan metode pembayaran yang dapat diterima di ribuan mrechant, dengan beragam e-commerce, dan berbagai alat transportasi.”

LinkAja diklaim mampu meningkatkan nilai transaksi bruto (GTV) dan jumlah transaksi di kuartal tiga tahun ini sebesar 3 kali lipat dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Disebutkan LinkAja kini memiliki 58 juta pengguna terdaftar dengan lebih dari 80% di antaranya berasal dari kota lapis dua dan tiga. Pada April kemarin, perusahaan meresmikan layanan syariah dan telah mendapat izin sertifikasi Kesesuaian Syariah dari DSN MUI dan Bank Indonesia. Layanan Syariah ini diklaim memiliki lebih dari satu juta pengguna, sejak enam bulan diluncurkan.

Application Information Will Show Up Here

Startup Funding Starts Taking Significant Part in Local Venture Capital Industry

The performance of Indonesian venture capital has reached Rp8.13 trillion per October or increased by 18.12% year-on-year. Investment in the conventional sector is still the primadonna, despite the increasing trend which comes from the business support and other sectors in which there’s funding for startups and the creative industry.

Based on economic sector review, investment for restaurant and hotel trading is dominating with Rp3.61 trillion. Followed by other sectors of Rp1.07 trillion, and business support for Rp827 million (around 20 percent of total funding).

Business support has increased rapidly compared to the other services by 50% year-on-year. In fact, in October 2017, this sector contributes only Rp551 billion.

Quoted from Kontan, Eddi Danusaputro, Mandiri Capital’s CEO explained that business support services and other sectors include technology companies, such as fintech, health, education, agriculture, and e-commerce. In addition, there are creative consulting, design, and digital companies. He also predicts the investment in this sector will keep increasing by next year.

“We’re still bullish for next year. We [Mandiri Capital] are still focused on fintech and agritech. In terms of fintech, the one that currently in demand is insurtech, wealth management, and big data,” he said.

Jefri R. Sirait, the Chairman of Indonesian Venture and Startup Capital Association (Amvesiondo) mentioned the investment increase was indeed followed by the tourism sector, such as restaurant and hotel. In addition, infrastructure and lifestyle also affect the growth of other tourism business, such as the creative industry engaged in food, fashion, and handicrafts.

“This condition makes the investment and capital demand of entrepreneurs increasing”, he explained.

Based on OJK’s data, as seen from venture capital performance of business activity types, revenue sharing is dominating with a value of R6.25 trillion and year-on-year growth reaching 26.06%. Followed by share investment of Rp1.38 trillion and convertible bond of Rp484 billion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan untuk Startup Mulai Ambil Porsi Signifikan Industri Modal Ventura Lokal

Kinerja industri modal ventura Indonesia kini tembus Rp8,13 triliun hingga Oktober 2018 atau tumbuh 18,12% secara year on year. Penyertaan modal sektor konvensional masih menjadi primadona, meski terjadi tren peningkatan dari sektor jasa pendukung bisnis dan sektor lain-lain yang di dalamnya terdapat pendanaan untuk startup dan industri kreatif.

Bila dilihat berdasarkan sektor ekonomi, penyertaan modal untuk sektor perdagangan restoran, dan hotel mendominasi secara keseluruhan sebesar Rp3,61 triliun. Kemudian diikuti sektor lain-lain Rp1,07 triliun dan jasa pendukung bisnis Rp827 miliar (sekitar 20-an persen dari total kucuran dana).

Jasa pendukung bisnis mengalami kenaikan paling drastis dibandingkan lainnya yakni 50% secara year on year. Padahal pada Oktober 2017, sektor ini baru menyumbang Rp551 miliar.

Dikutip dari Kontan, CEO Mandiri Capital Eddi Danusaputro menjelaskan, sektor jasa pendukung bisnis dan sektor lain-lain meliputi perusahaan teknologi seperti fintech, kesehatan, pendidikan, agrikultur, dan e-commerce. Selain itu, ada perusahaan konsultan, desain, dan digital kreatif. Dia pun memprediksi, penyertaan modal di sektor ini akan terus tumbuh pada tahun depan.

“Kami tetap bullish untuk tahun depan. Kami [Mandiri Capital] masih fokus di fintech dan juga agritech. Untuk fintech, sektor yang diminati sekarang itu adalah insurtech, wealth management, dan big data,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Jefri R. Sirait menambahkan, kenaikan penyertaan modal memang diikuti pertumbuhan di sektor pendukung wisata, seperti restoran dan hotel. Di samping itu, kondisi infrastruktur dan perubahan gaya hidup juga memengaruhi tumbuhnya usaha pendukung wisata lainnya, misalnya industri kreatif yang bergerak di bidang makanan, fesyen, dan kerajinan tangna.

“Kondisi ini membuat kebutuhan investasi dan modal kerja para pengusaha jadi lebih besar,” terang Jefri.

Berdasarkan data OJK, bila melihat kinerja modal ventura berdasarkan jenis kegiatan usaha, pembiayaan bagi hasil mendominasi dengan nilai sebesar Rp6,25 triliun dan pertumbuhan secara year on year mencapai 26,06%. Lalu diikuti penyertaan saham sebesar Rp1,38 triliun dan obligasi konversi Rp484 miliar.

Mungkinkah Startup Fintech, Edtech, dan AI Jadi Unicorn Selanjutnya

Setelah GO-JEK, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak, siapa yang akan menjadi startup unicorn selanjutnya? Mungkinkah ada gebrakan dari sektor baru seperti fintech, edutech, bahkan artificial intelligence untuk menempati urutan kelima? Pertanyaan-pertanyaan tersebut saat ini memang baru bisa dijawab dengan beragam asumsi, berdasarkan iklim investasi di tiap lanskap investasi.

Tahun 2017 hingga sekarang banyak yang mengatakan sebagai tahunnya fintech di Indonesia. Memang, hal tersebut dibuktikan langsung dengan lahirnya banyak sekali pemain di industri, termasuk terciptanya regulasi baru yang secara khusus mengatur operasional fintech. Namun riuhnya industri apakah berbanding lurus dengan kepercayaan diri para pemain untuk menjadi unicorn selanjutnya.

Di sela-sela pagelaran Nexticorn 2018 di Bali, DailySocial menemui salah satu local investor yang fokus di fintech, yakni Eddi Danusaputro, Presiden Direktur Mandiri Capital Indonesia (MCI). Kami menanyakan seberapa percaya diri startup fintech di Indonesia untuk menjadi unicorn berikutnya. Eddi mantap memberikan jawaban optimis.

“Sangat optimis (startup fintech) bisa menjadi unicorn selanjutnya. Kita bisa melihat banyak startup fintech di Indonesia yang sudah mencapai Seri B, bahkan beberapa sudah Seri C. Fintech akan terus tumbuh karena secara proses bisnis menjadi enabler untuk banyak sektor, misalnya menjadi payment gateway atau sistem pembayaran,” terang Eddi.

Di tahun 2017 MCI menyiapkan dana mencapai 500 miliar Rupiah untuk diinvestasikan ke startup fintech. Kendati demikian Eddi menyampaikan tidak ada target khusus dari sisi nominal untuk penggelontoran investasi, yang jelas mereka menargetkan tiap tahun akan menginvestasi 3 – 4 startup baru. Tahun ini MCI sudah berinvestasi di Koinworks (Seri A) dan Investree (Seri B).

CEO & Presiden Direktur Mandiri Capital Indonesia
CEO & Presiden Direktur Mandiri Capital Indonesia

Melihat dari sisi regulasi, hampir setiap pemain fintech yang kami temui mengatakan “fintech is extremely regulated“. Di Indonesia, para startup diatur langsung operasionalnya oleh OJK dan Bank Indonesia. Sementara OJK sudah cukup banyak memberikan izin untuk startup berjenis p2p lending beroperasi, BI cukup alot dalam mengeluarkan perizinan startup berjenis e-money/e-wallet.

“Pemerintah cukup konservatif dalam meregulasi fintech, tapi itu sangat bisa dimaklumi. Karena pada akhirnya regulasi itu juga untuk melindungi konsumen dan membangun kepercayaan masyarakat untuk layanan fintech itu sendiri,” ungkap Eddy.

Bagaimana dengan edtech?

Kemenkominfo mengurasi beberapa startup yang dinilai potensial untuk mendapatkan pendanaan lanjut menuju unicorn. Selain fintech, ada kategori lain seperti SaaS, artificial intelligence, healthtech, dan edtech. Edtech menjadi yang menarik, karena tidak banyak startup yang bisa bertahan dan bertumbuh di lanskap ini. Pasalnya pendidikan secara online sendiri belum menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia.

HarukaEdu menjadi salah satu startup edtech yang direkomendasikan dalam Nexticorn. Kami menemui Novistiar Rustandi, Co-Founder & CEO HarukaEdu, untuk menanyakan pendapatnya soal menjadi unicorn selanjutnya. Ia memaparkan bahwa model bisnis akan menjadi kunci untuk melahirkan valuasi tinggi untuk startup edtech. Ia mencontohkan keberhasilan salah satu startup luar bernama 2U.com.

“Di luar negeri ada 2U.com, itu juga menjadi benchmark produk baru kami Pintaria. Platform ini menghadirkan layanan blended-learning, semacam kuliah online. Dulu 2U.com mencapai valuasi $1 miliar saat mereka hanya memiliki 12 ribu pengguna. Per tahun 2018 ini penggunanya sudah mencapai 32 ribu, valuasi pun meningkat senilai $4,8 miliar. Di edtech, akuisisinya sekali, tapi pelanggan akan bayar selama 4 tahun,” jelas Novistiar.

Pintaria menjadi produk terbaru HarukaEdu dengan konsep live long learning portal. Novistiar menceritakan pengembangan produk ini didasarkan pada kebutuhan generasi masa kini untuk terus belajar. Banyak pekerjaan lama yang sudah mulai dikikis dengan otomasi, mengharuskan setiap pekerja harus selalu memiliki kompetensi yang relevan dengan kebutuhan industri.

Cara kerja Pintaria dimulai dengan memberikan perspektif kompetensi industri yang bisa dipilih sesuai ketertarikan pengguna. Selanjutnya pengguna akan dihubungkan dengan lembaga yang menyediakan pengajaran secara online. Saat ini sudah bekerja sama dengan beberapa kampus, sehingga dipastikan sertifikat yang didapat diakui legal.

Co-Founder & CEO HarukaEdu
Co-Founder & CEO HarukaEdu

“Banyak pekerjaan lama mulai hilang, misalnya penjaga pintu tol atau kasir. Sementara banyak pekerjaan baru muncul, misalnya data scientist atau AI trainer. Revolusi industri 4.0 memang memberikan tantangan sendiri, tapi dengan memiliki prinsip harus selalu belajar, kita bisa terus mengikuti perkembangan zaman. Itu menjadi potensi bisnis yang coba diakomodasi HarukaEdu,” terang Novistiar.

Menutup perbincangan, tahun ini HarukaEdu juga dalam proses penyelesaian proses pendanaan tahap baru untuk akselerasi bisnis.

Artificial intelligence sebagai pendorong revolusi

Digitalisasi besar-besaran yang akan terjadi dalam revolusi industri 4.0 konon akan banyak didorong oleh artificial intelligence (AI) dan internet of things (IoT). Artinya terbuka peluang yang cukup signifikan untuk startup yang bergerak di bidang tersebut untuk menjadi pemimpin bisnis digital ke depannya. Demi mendapatkan perspektif, kami menemui juga Co-Founder & CEO Kata.ai Irzan Raditya.

Disrupsi ekonomi yang melibatkan AI mulai banyak terasa, bahkan nilainya bisa menjadi sangat besar. Irzan mengungkapkan, salah satu penelitian menyebutkan ekonomi yang dihasilkan dari AI di Asia Tenggara saja sudah mencapai $400 miliar. Hal ini disebabkan kebutuhan dari industri itu sendiri, untuk menghadirkan teknologi yang lebih advanced.

Co-Founder & CEO Kata.ai
Co-Founder & CEO Kata.ai

“Ada kebutuhan untuk membuat teknologi semakin personalized dan advanced. Dari sini jelas, masa depan startup AI akan sangat diminati. AI juga dikatakan menghadirkan disrupsi di berbagai jenis pekerjaan, namun juga menghadirkan ekonomi baru dan memberikan efisiensi kepada industri dalam menjalankan proses bisnisnya,” ujar Irzan.

Kata.ai memang dikenal sebagai startup yang menyasar segmentasi B2B. Melalui produk berbasis chatbot, mereka mendampingi banyak perusahaan menghadirkan otomasi, khususnya untuk pelayanan pelanggan. Lalu berkaitan dengan kepercayaan diri startup AI untuk menjadi unicorn, Irzan mengatakan peluangnya sangat besar.

“Untuk fundraising, setiap startup pastinya membutuhkan. Kami sendiri akan banyak update nanti di Desember, termasuk produk-produk baru. Misi kami jelas, mendampingi bisnis memiliki fitur kecerdasan, dengan menghadirkan akses ke AI engine,” sambung Irzan.

Daftar Program Inkubator dan Akselerator Startup Indonesia

Program akselerator dan inkubator memang sangat lekat dengan dunia startup. Kendati keduanya memiliki misi yang sama –yakni memperlancar laju startup—namun terdapat perbedaan antara akselerator dan inkubator. Secara umum perbedaan akselerator dan inkubator ialah pada jangkauannya.

Akselerator mencoba mempercepat atau mengakselerasi laju bisnis startup yang sudah berjalan. Bisanya dengan memberikan investasi, pendampingan ataupun konsultasi. Sedangkan inkubator lebih kepada proses pembinaan pada startup di tahap awal, mulai dari mematangkan model bisnis, konsep produk hingga pangsa pasar. Jadi dapat dikatakan bahwa untuk sebuah startup prosesnya adalah membentuk tim, mengikuti program inkubator lalu mematangkan bisnis melalui program akselerator.

Di Indonesia, saat ini sudah mulai banyak program inkubator dan akselerator startup. Mulai yang dikelola oleh perusahaan modal ventura, korporasi hingga pemerintah. Berikut daftar program inkubator dan akselerator yang dapat diikuti oleh startup Indonesia. Untuk program inkubator ditandai dengan (i), sedangkan program akselerator ditandai dengan (a).

1000 Startup (i)

Diinisiasi oleh Kominfo dan Kibar, program inkubasi ini terbagi menjadi lima fase, yakni Ignition penanaman pola pikir kewirausahaan, Workshop pembekalan keahlian dasar startup, Hacksprint pembentukan tim untuk membuat prototipe, Bootcamp pembinaan bersama mentor, dan Incubation pembinaan lanjutan hingga siap diluncurkan. Ditargetkan tahun 2020 akan tercetak sebanyak 1000 startup yang menjadi solusi atas berbagai masalah dengan memanfaatkan teknologi digital.

Diadakan di berbagai kota, kegiatan ini menjadi sebuah jembatan bagi individu yang berminat mengembangkan karier di dunia kewirausahaan digital. Pasalnya jika dirunut dari awal hingga akhir, kegiatan yang ada dalam Gerakan Nasional 1000 Startup ini memang mempersiapkan talenta dari nol, hingga siap untuk menjadi bagian dari ekosistem startup digital di tanah air. Hingga saat ini program 1000 startup masih terus berjalan dan membuka kesempatan kepada semua anak muda di Indonesia.

Alpha Startup (a)

Program ini akselerasi ini merupakan hasil kemitraan strategis antara 1337 (Leet) Ventures, Convergence Ventures, Baidu Indonesia, dan Gobi Partners. Batch pertama program ini sudah dimulai sejak pertengahan tahun 2016 lalu. Tidak ada spesifikasi khusus untuk kategori startup yang dapat masuk ke program ini. Alpha Startup juga memberikan fasilitas berupa program bimbingan dan beragam fasilitas, termasuk ruang bekerja, fasilitas pendukung produktivitas dari AWS, dan juga suntikan investasi senilai Rp 325 juta.

Namun sejatinya jika melihat materi yang disampaikan, Alpha Startup ini masuk dalam skala pre-accelerator. Mereka berada di antara startup yang sudah memiliki ide namun sedang tahap validasi. Proses pembinaan di dalamnya membantu startup melakukan validasi, terkait produk dan pangsa pasar. Bahkan salah satu outcome yang dihasilkan dari program ini ialah pematangan MVP (Minimum Viable Product).

Bekraf for Pre-Startup (i)

Bekraf for Pre-Startup (BEKUP) adalah program yang dirancang khusus untuk mematangkan integrasi ekosistem startup dari hulu sampai ke hilir, yaitu pematangan calon-calon sumber daya manusia yang akan membangun startup di tanah air. Kegiatannya berupa workshop, baik terkait manajemen bisnis maupun teknis pengembangan produk. Program BEKUP lebih cocok ditempatkan pada fase pre-incubation, pasalnya kegiatan ini memfokuskan pada pembinaan individu dari 0, hingga pembentukan tim yang siap untuk masuk tahap inkubasi awal.

Tidak melepas begitu saja startup pemula yang menjadi lulusan di program ini, melainkan BEKUP menghubungkannya dengan kanal inkubasi lanjutan melalui koneksi Bekraf. Termasuk membawa startup pemula yang dilahirkan ke dalam program inkubator dan akselerator lain yang telah bekerja sama dengan Bekraf.

BNV Labs (i)

BNV Labs didirikan oleh Bank Bukopin bekerja sama dengan Kibar. Program tersebut terfokus kepada tiga elemen utama, yaitu pembentukan tim terbaik, melancarkan program inkubasi dan memfasilitasi co-working space yang berfungsi sebagai wadah bagi pelaku startup berinovasi. Fokusnya ialah untuk startup pada sektor finansial (fintech). Beberapa kegiatan pengembangan startup termasuk menghubungkan peserta terhadap ekosistem kewirausahaan digital, membuka akses pasar, dukungan bisnis, pembinaan, juga pengembangan kapasitas pelaku di dalamnya.

Founder Institute (a)

Masuk ke dalam kategori pre-accelerator, program ini sebenarnya bersifat global, namun demikian sudah ada di Indonesia dalam Jakarta Founder Institute (JFI). Founder Institute menyajikan program pelatihan yang berjalan selama empat bulan per batch-nya. Sesuai namanya, program ini melatih founder baru untuk membentuk generasi terbaik di perusahaan. Program ini memfasilitasi sesi mingguan yang diisi dengan mentor berpengalaman di bidangnya untuk membantu para founder mengembangkan dan meluncurkan bisnis mereka.

Di Indonesia, JFI didukung oleh berbagai mitra, mulai dari Indosat Ooredoo, Baidu, Kejora, Mountain Partners, Bakti Barito, dan lainnya. Beberapa kurikulum yang diajarkan termasuk bagaimana memvalidasi visi dan ide, riset dan pengembangan konsumen, penentuan model bisnis, pengembangan produk, branding hingga pendanaan.

Global Entrepreneurship Program Indonesia (i)

Dimulai sejak awal tahun 2011, Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI) telah didukung oleh pemimpin bisnis terkemuka di Indonesia. Program ini memiliki visi untuk mengkatalisis strategi kewirausahaan Indonesia dengan bekerja sama dengan program yang ada dan menghubungkan calon pengusaha Indonesia dengan perkembangan global dan prospek investasi.

GEPI juga merupakan bagian dari inisiatif global yang lebih luas yang disebut Global Entrepreneurship Program (GEP), yang tumbuh dari sebuah inisiatif Presiden Obama dan sekarang menjadi program inti di Departemen Luar Negeri AS, untuk mempromosikan kewirausahaan sebagai sebuah pilar utama pembangunan ekonomi di antara negara-negara berkembang. Saat ini di Indonesia beberapa mitra strategis dengan beberapa mitra seperti ANGIN.

GnB Accelerator (a)

Ini merupakan program akselerasi kerja sama antara Fenox VC dan Infocom Corporation. Program yang berjalan selama tiga bulan ini menawarkan mentorship, support, training hingga funding. Selama mengikuti program tersebut, setiap startup peserta akan mendapat investasi sekitar Rp666 juta, fasilitas co-working space, serta bimbingan dari para mentor.

Dari sisi materi, GNB Accelerator lebih fokus pada market-fit dan penyiapan tim untuk lebih siap dalam pendanaan. Kendati tidak menyasar kategori spesifik, startup health-tech, e-commerce, on-demand, dan fintech menjadi sasaran utama.

Google Launchpad Accelerator (a)

Sebuah program yang diinisiasi oleh Google dalam rangka membantu startup  terpilih untuk mengakselerasi bisnis dan teknologi mereka. Dengan Launchpad Accelerator, Google berkomitmen untuk terus membina sejumlah startup berbakat, termasuk di Indonesia. Selain Indonesia, Google Launchpad Accelerator juga membuka kesempatan untuk startup di beberapa negara seperti India, Thailand, Vietnam, Malaysia dan Filipina dan beberapa negara di benua lain.

Prosesnya startup yang lolos seleksi akan diterbangkan langsung ke markas Google untuk dibina secara intensif. Selain bootcamp 2 minggu di kantor Google dan program inkubasi yang dilaksanakan selama 6 bulan, para startup (khusus pengembang solusi mobile) juga akan menerima pendanaan bebas ekuitas hingga $50.000. Program Launchpad Accelerator sendiri memang difokuskan untuk negara dengan pertumbuhan startup berpotensi. Program ini menargetkan mampu merangkul 50 startup baru per tahun.

Ideabox (a)

Ideabox merupakan program gabungan yang dimotori Indosat Ooredoo, Mountain Partners, dan Kejora yang bertujuan mengangkat potensi startup Indonesia melalui bantuan dana investasi tahap awal dan memberikan penghargaan khusus untuk startup yang bergerak di sektor internet dan telekomunikasi. Ideabox menonjolkan pada empat hal, yakni penguatan market-size, penguatan model bisnis dan operasional, penguatan produk, dan growth. Hingga pada akhirnya mempersiapkan startup untuk pitching pendanaan.

IDX Incubator (i)

IDX Incubator merupakan program inkubasi inisiatif Bursa Efek Indonesia (BEI). Visinya untuk membantu mengembangkan startup digital Indonesia, dari segi bisnis, legal, hingga membantu startup untuk melenggang ke lantai bursa saham atau melakukan IPO. Program inkubator ini terselenggara berkat kerja sama BEI dan Bank Mandiri.

BEI menjanjikan beberapa hal yang bisa didapatkan peserta, mulai fasilitas co-working space, program pengembangan bisnis, akses ke permodalan, dan workshop atau event lainnya yang tentunya bermanfaat bagi pengembangan bisnis startup, lengkap dengan beberapa mentor yang siap membina.

Indigo Creative Nation (i)

Indigo merupakan program pembinaan startup yang diselenggarakan Telkom untuk membangun ekosistem digitalpreneur di Indonesia, melalui fasilitas kreatif digital, pendanaan dan akses pasar untuk mempercepat industri kreatif digital Indonesia. Program Indigo merupakan penggabungan program sebelumnya yang sudah ada yakni Indigo Incubator, Indigo Accelerator, dan Indigo Venture. Program ini memberi kesempatan bagi para startup untuk merealisasikan karya kreatif mereka, baik yang masih dalam bentuk ide, produk yang sudah memiliki pengguna, bisnis yang sudah mendatangkan pendapatan, serta bisnis yang membutuhkan akselerasi dan pendanaan lebih lanjut.

Program inkubasi diselenggarakan oleh Telkom Group bersama MIKTI (Masyarakat Industri Kreatif TIK Indonesia) ditujukan bagi startup yang ingin mengembangkan bisnisnya di bidang digital. Startup yang terpilih akan mendapat dukungan inkubasi dari 1 bulan sampai dengan 18 bulan tergantung tahapannya dan mendapatkan berbagai fasilitas seperti, akses pasar melalui kanal pemasaran.

Inkubator Parama (i)

Untuk turut mengambil andil di pengembangan startup digital, Lima Ventura mendirikan program inkubasi bernama Parama Indonesia. Beberapa program unggulan yang ingin disajikan oalah terkait dengan strategi branding dan peningkatan valuasi oleh startup melalui kemitraan bisnis. Aktivitasnya ialah mengadakan kompetisi dan membina startup yang terjaring melalui kegiatan tersebut.

Kolaborasi.co (i)

Dimotori oleh empat orang dari startup berbeda, yakni Yohan Totting, Moon Leoma, Sutansyah  Marahakim, dan Adryan Hafizh, Kolaborasi.co berusaha menjadi sebuah wadah berkumpulnya startup, khususnya di wilayah Bandung, untuk belajar bersama. Tidak hanya untuk pebisnis di dunia online, Kolaborasi.co juga mengakomodasi startup yang bergerak dalam sektor offline. Tidak seperti program lain yang memfokuskan pada fasilitas atau pendanaan, sesuai namanya, konsep kolaborasi lebih ditekankan. Kelompok inkubasi startup ini sudah berdiri sejak tahun 2013.

Mandiri Capital (i)

Sebuah inkubator besutan Bank Mandiri yang memiliki visi untuk mendorong hadirnya startup di bidang teknologi finansial. Dalam prosesnya, program ini bekerja sama dengan Indigo Inkubator dan ActionCoach. Dari kategori fintech pun inkubator ini masih membaginya ke dalam tiga fokus utama, yakni payment, lending dan enterprise solution. Ketiga segmen ini dinilai dapat bersinergi langsung dengan Bank Mandiri Group. Mandiri Capital Indonesia (MCI) berfokus untuk membantu startup dalam empat hal, mulai dari investasi, mentoring, membantu startup dalam memperkuat jaringan, dan program inkubator eksklusif.

Plug and Play (a)

Plug and Play Indonesia (PNP Indonesia) adalah bagian dari PNP Tech Center, yakni sebuah akselerator startup global dengan misi membantu pada suksesi dalam teknologi digital. Dengan kantor pusatnya di Silicon Valley, jaringan bisnis Plug and Play mencakup lebih dari 200 mitra korporasi, investor, universitas dan mitra terkait lainnya di bidang ritel, fintech, Internet of Things (IoT), media dan komputasi awan.

Selama 3 bulan startup yang lolos seleksi program akselerasi akan diberikan dana, bimbingan, ruang kerja gratis juga dukungan lainnya melalui program akselerator. PNP Indonesia akan melakukan investasi di 50 startup tahap awal setiap tahunnya.

Skystar Ventures (i)

Skystar Ventures didirikan oleh grup Kompas Gramedia (KG) dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Keuntungan yang ditawarkan bagi startup yang terpilih mengikuti program ini adalah seed funding, mentoring yang intensif, fasilitas Skystar Ventures yang terdiri atas tempat kerja, serta paparan dengan jaringan Kompas Gramedia dan para investor.

Program ini menyasar startup segmen e-commerce, pendidikan, mobile, sosial, SaaS, media, dan infrastruktur, meskipun mereka tidak menutup kemungkinan bagi startup yang bergerak di segmen lain untuk mendaftarkan diri. Startup tersebut sebaiknya masih berada di tahap awal (early stage) dan sudah memiliki traksi, konsumen, dan pertumbuhan.

Start Surabaya (i)

Didirikan oleh pemerintah kota Surabaya, program ini berbentuk inkubasi untuk perusahaan startup di bidang teknologi. Misinya untuk memberdayakan anak muda di Surabaya agar meluncurkan bisnis atau produk berbasis teknologi yang berdampak positif dan memberikan nilai tambah kepada masyarakat. Program ini menjadi salah satu inkubator tingkat kota pertama di Indonesia. Untuk kegiatannya, pemkot Surabaya menjalin kerja sama dengan Kibar dan beberapa mitra lainnya.

Startup Weekend (i)

Konsep Startup Weekend adalah memberikan kesempatan bagi para entrepreneur memvalidasi ide dan  mematangkan konsep untuk memulainya. Acara akan dimulai dengan open mic, setiap peserta berhak menyampaikan ide yang telah dimiliki di depan para hadirin. Presentasi harus meyakinkan, karena di sana juga berkesempatan untuk menemukan anggota tim guna merealisasikan ide tersebut.

Acara ini terbuka bagi siapa saja yang tertarik mengembangkan startup. Mulai dari mahasiswa, pengusaha, programer, desainer dan lainnya. Beberapa mentor yang dihadirkan adalah pelaku startup sukses dan managing partner dari perusahaan venture capital. Nantinya ide yang terpilih menjadi pemenang, karena dalam acara tersebut juga akan didadakan kompetisi, akan mendapatkan sesi privat berdiskusi dengan para mentor.

Visio (i)

Visio adalah program inkubator berbasis di Kota Padang. Dimotori oleh Hendriko Firman dan Ogy Winenriandhika, program ini memiliki visi untuk menumbuhkan ekosistem bisnis digital di kawasan Sumatera Barat. Program ini menginkubasi startup selama 3 bulan, hingga startup matang untuk mempresentasikan karyanya di depan investor.

Mandiri Capital Telah Gelontorkan Rp300 Miliar untuk Startup Tahun Ini

Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengungkapkan sejak awal tahun hingga Mei 2017, pihaknya telah menggelontorkan investasi sekitar Rp300 miliar untuk tujuh startup fintech. Tiga di antaranya sudah diumumkan, seperti Moka, Amartha, dan yang terbaru PrivyID.

[Baca juga: Pendanaan Pra-Seri A PrivyID Jadi Langkah Awal Mantapkan Debut yang Lebih Besar

Empat sisanya akan diumumkan dalam waktu dekat. Adapun rinciannya, tiga startup bergerak di payment dan satu bergerak di enterprise solution.

Sekadar informasi, MCI fokus untuk berinvestasi pada startup fintech yang bergerak di tiga sektor saja, yakni payment, lending, dan enterprise solution. Ketiga segmen ini dinilai dapat bersinergi langsung dengan Bank Mandiri Group.

“Tahun ini kami sudah investasi ke tujuh startup, totalnya Rp300 miliar. Tiga sudah resmi diumumkan, sisanya empat startup akan segera diumumkan dalam waktu dekat,” terang Direktur Keuangan MCI Hira Laksamana, Senin (19/6).

Dari seluruh aktivitas pendanaan, MCI masih menyisakan dana kelolaan sebesar Rp200 miliar dari total sebesar Rp550 miliar. Menurut Hira, sisa dana tersebut belum tentu dihabiskan tahun ini untuk menambah portofolio startup baru lainnya.

Bentuk sinergi PrivyID dan Bank Mandiri Group

Co-founder PrivyID Guritno Adisaputro dan Marshall Pribadi
Co-founder PrivyID Guritno Adisaputro dan Marshall Pribadi

Seperti diberitakan sebelumnya, startup pengembang teknologi tanda tangan digital PrivyID mendapat pendanaan segar Pra-Seri A senilai kisaran US$500 ribu. Pendanaan tersebut dipimpin MCI, diikuti MDI Ventures, Gunung Sewu, dan Mahanusa Capital.

Dana segar yang didapat akan digunakan untuk penguatan infrastruktur dengan alokasi sekitar 80% untuk belanja perangkat lunak dan keras. Sisanya untuk pengadaan ruang kantor baru dan merekrut tim baru dengan kompetensi di keamanan dan teknologi.

“Ini pendanaan kami yang kedua setelah sebelumnya dapat dari Telkom sebesar Rp100 juta saat tergabung di program Indigo. Tahun depan kemungkinan kami akan galang dana segar berikutnya yang ditujukan khusus untuk ekspansi bisnis dan marketing,” ucap CEO PrivyID Marshall Pribadi.

Bentuk sinergi yang akan dilakukan Privy dan Bank Mandiri Group dilakukan secara dua tahap. Pada tahap pertama, sinergi akan dimulai dari internal antar divisi grup dan anak usahanya. Kemudian tahap kedua akan masuk ke nasabah untuk keperluan pembukaan rekening baru.

Adapun potensi penggunaan teknologi PrivyID di dalam grup kemungkinan besar akan dapat diimpelementasikan untuk seluruh anak usahanya. Menurut Marshall, penggunaan tanda tangan digital memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dan otentisitasnya yang baik, serta aman.

“Salah satu rekan korporasi kami di multifinance mengakui telah mengefisiensikan sekitar Rp4 miliar dalam setahun setelah menggunakan tanda tangan digital. Ini memperlihatkan penggunaan tanda tangan digital membantu proses bisnis jadi lebih cepat dan mudah.”

Produk tanda tangan digital yang dimiliki PrivyID tidak hanya diperuntukkan untuk kebutuhan korporasi, tetapi juga dapat digunakan oleh perseorangan. Adapun biaya maksimal yang dibebankan untuk penggunaan teknologi PrivyID dalam satu dokumennya antara Rp1000 sampai Rp3.500.

Saat ini, PrivyID telah mencatatkan lebih dari 500 ribu pengguna dan bermitra dengan 30 perusahaan. Perusahaan juga mengklaim telah memproses lebih dari 3.500 tanda tangan digital setiap harinya.

Ke depannya, Marshall berharap dapat menggaet klien korporasi besar potensial seperti perusahaan multifinance, perbankan, ketenagarkerjaan, waralaba, fintech, outlet online untuk meningkatkan efisiensi logistik perusahaan.

“Kami targetkan dapat sapu bersih calon klien dari korporasi besar di 2018. Sementara ini kami tidak lakukan strategi marketing yang mengarah ke direct individual,” pungkas Marshall.

Memprediksi Sektor Populer Startup Indonesia Tahun 2017

Data terakhir APJII menyebut penetrasi pengguna internet di Indonesia pada 2016 mencapai 132,7 juta dari total populasi 256,2 juta orang. Sementara perangkat yang dipakai untuk mengakses internet dari smartphone sebanyak 63,1 juta.

Kegiatan belanja sampai cara mendapatkan layanan transportasi kini bisa dilakukan secara online. Salah satu startup on-demand terpopuler Go-Jek bahkan secara publik telah mencapai tahap unicorn atau bervaluasi lebih dari $1 miliar (lebih dari 13 triliun Rupiah).

Dalam laporan Startup Teknologi Indonesia 2016, DailySocial melakukan survei ke sejumlah investor tentang sektor apa yang menjadi primadona dan fokus mereka tahun ini. Berdasarkan kompilasi tersebut, 4 sektor yang diperkirakan menjadi bakal menjadi pusat perhatian adalah fintech (teknologi finansial), e-commerce, Software-as-a-Service (SaaS), dan on-demand atau service marketplace.

Fintech

Fintech merupakan pengembangan industri jasa keuangan yang sangat bergantung dengan internet dan inovasi digital. Fintech hadir karena ada segmen layanan keuangan konvensional yang belum bisa menjangkau berbagai kalangan masyarakat.

Group CEO C88 John Patrick Ellis, yang memiliki layanan e-commerce finansial CekAja di Indonesia, mengatakan tahun lalu Indonesia mengalami kebangkitan besar di bidang fintech. Banyak usaha yang bergerak di fintech mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan dominan dan menjadi pemain besar yang banyak membantu perkembangan industri jasa keuangan.

Menurut Ellis, optimisme yang membuat CekAja yakin dengan perkembangan fintech terletak di penetrasi pasar keuangan yang terbilang rendah. Masih banyak yang belum menjamah seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini disebut Ellis sebagai “double growth factor“, yakni layanan keuangan terus bertumbuh yang diiringi dengan pertumbuhan teknologi.

“Kedua hal ini saling mendukung. Karena itulah, sektor fintech [di Indonesia] diprediksi akan memiliki tiga sampai lima perusahaan unicorn di [tahun] 2020.”

Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya juga angkat suara mengenai potensi fintech, terutama peer-to-peer lending (P2P lending). Reynold mengatakan kehadiran Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi pada penghujung tahun lalu menjadi trigger yang kuat untuk pengembangan bisnis P2P lending ke depannya.

Kehadiran regulasi, sambungnya, membuat masyarakat Indonesia jadi semakin percaya dengan bisnis P2P lending sudah diakui dan diawasi oleh OJK. Modalku mengklaim pada tahun lalu telah menyalurkan sekitar Rp 60 miliar dengan kredit macet masih 0%.

“Kami tidak terlalu peduli dengan volume bisnis tapi bagaimana bisa scaling bisnis dengan benar. Sekarang kami mau mengarah ke smartphone agar proses jadi lebih cepat, konsentrasinya adalah convert orang-orang dari konvensional untuk beralih ke smartphone.”

Pernyataan Reynold didukung Direktur Utama Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro. Eddi mengatakan kehadiran berbagai regulasi yang mengatur tentang fintech pada dasarnya bertujuan untuk melindungi nasabah. Hal ini juga membuat fintech jadi lebih makin matang dan memancing kehadiran para pemain baru. Eddi menilai dari segi nilai, investasi ke sektor fintech diperkirakan akan tumbuh setidaknya 50% dan mungkin bisa tumbuh 100% atau lebih.

Mengingat fintech sangat bergantung pada perkembangan teknologi digital, baik CekAja maupun Modalku menekankan pada pentingnya implementasi penerapan tanda tangan digital. Reynold menjelaskan tanda tangan digital merupakan bagian utama proses know your customer (KYC) bagi pemain fintech untuk menjangkau nasabah ke seluruh pelosok Indonesia.

Meski pemerintah sudah mengeluarkan tanda tangan digital, namun OJK sebagai pihak otoritas sertifikat (CA) belum menunjuk suatu lembaga untuk menjalankan mandatnya menjalankan kegiatan tersebut. Hal ini, menurut Reynold, perlu didorong.

“Infrastruktur di fintech harus kuat, bagaimana fintech bisa menyentuh segala pelosok Indonesia. Satu-satunya cara adalah dilakukan secara digital, maka dari itu tanda tangan digital harus diperjelaskan. Ini kan bagian dari proses KYC,” kata Reynold.

Ellis menambahkan, “Penerapan tanda tangan digital yang akan dilaksanakan oleh pemerintah di 2017 ini dapat memajukan fintech dengan dasar inklusi keuangan yang ditujukan untuk membantu masyarakat dan bisnis di Indonesia jadi lebih baik. Kami berharap regulasi mengiringi lainnya juga dapat mendukung dan memudahkan layanan perusahaan fintech.”

Di sisi lain, menurut Ellis, kehadiran asosiasi fintech dapat menjadi lahan untuk belajar dengan para pemain fintech lokal lainnya. Asosiasi menjadi jembatan para pemain untuk berkomunikasi dengan OJK dan BI. Ia menyatakan anggota asosiasi fintech selalu terbuka untuk berdialog tentang segala regulasi yang sudah ada dan akan bergulir.

“Tantangan di setiap sektor dan yang terjadi di fintech sebenarnya tidak jauh berbeda. Inilah dasar utama kenapa kami mendirikan Asosiasi Fintech Indonesia. Jadi nantinya ada lembaga dalam industri fintech yang dapat mewakili serta dapat menggambarkan tantangan yang harus dihadapi. Dengan solusi yang dibuat secara bersama akan lebih baik dibandingkan harus dihadapi secara sendiri-sendiri.”

E-commerce

Berdasarkan data berbagai sumber, pada tahun 2017 industri e-commerce di Indonesia diprediksi akan bernilai $9,3 miliar. Besarnya potensi tersebut saat ini sesuai dengan perkembangan layanan e-commerce di tanah air, baik yang umum maupun niche.

CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan, “Dari tahun ke tahun, layanan e-commerce dan transaksi online akan semakin menjadi bagian hidup dalam keseharian masyarakat Indonesia. Masyarakat akan semakin cerdas, tidak lagi sekadar berburu diskon atau harga murah, namun menggunakan platform e-commerce untuk kemudahan hidup mereka.”

CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan layanan marketplace akan merambah sektor fintech tahun ini.

“Selain untuk keperluan barang sehari-hari, marketplace juga akan berevolusi menjadi kebutuhan pembayaran sehari-hari, memberikan layanan finansial inklusi. Di tahun 2017 ini, open marketplace juga akan menjadi rumah baru bagi merek-merek baik lokal maupun internasional untuk memasarkan produk mereka ke masyarakat Indonesia,” kata William.

Kemudahan pembayaran untuk pembelian apapun menjadi krusial. Menurut William, tahun ini layanan e-commerce akan semakin inklusif. Selama ada konektivitas internet, pembayaran bisa dilakukan meski tidak memiliki rekening bank atau kartu kredit.

“Produk-produk e-wallet akan tumbuh di tahun 2017 untuk mendorong pemerataan ekonomi secara digital. Demikian juga dengan tumbuhnya bisnis kurir untuk mengirimkan produk-produk yang dipasarkan di marketplace,” ujar William.

Selain itu, tren akan bergeser ke hyperlocal purchase. Pembeli di daerah Sumatera Utara akan cenderung membeli dari penjual di kota Medan dibanding dari Jakarta. Walau harga barang sedikit lebih tinggi, adanya ongkos kirim akan membuatnya tetap bersaing. Apalagi barang seharusnya bisa diterima lebih cepat.

Berbeda dengan optimisme William, Managing Partner Convergence Ventures Adrian Li mengungkapkan kekhawatiran rencana masuknya Alibaba dan Amazon di Indonesia. Konsolidasi diprediksikan bakal terjadi untuk membuat perusahaan tetap bertahan.

“Semua layanan e-commerce di Indonesia saya lihat akan semakin berat di tahun 2017 ini, terutama dengan rencana hadirnya Amazon dan Alibaba di Indonesia. Kehadiran perusahaan raksasa global tersebut akan semakin menyulitkan eksistensi layanan e-commerce lokal yang saat ini sudah berhasil menjadi market leader. Saya melihat konsolidasi mungkin akan tercipta, seperti yang telah terjadi di India,” kata Adrian.

Selain konsolidasi, nantinya masing-masing brand akan memilih untuk melakukan penjualan secara langsung kepada pelanggan atau dengan cara multichannel. Strategi ini dinilai akan menjadi kegiatan jangka panjang.

Untuk layanan e-commerce yang bakal mendominasi tahun 2017 ini, Adrian mengungkapkan fashion commerce akan semakin masif bermunculan di tanah air.

“Dengan mengintegrasikan desain, manufaktur dan pasokan proses rantai penyediaan, mereka [layanan fashion commerce] mampu menyediakan pakaian yang sedang tren yang bersaing dengan biaya ritel umum,” kata Adrian.

Untuk faktor penghambat, ternyata faktor kepercayaan atau trust masih bisa menjadi momok tahun ini.

“Seperti yang disampaikan dalam laporan Google dan Temasek, pemesanan dari Indonesia 12 kali berisiko fraud berdasarkan rata-rata secara global,” kata Adrian.

SaaS

Founder and CEO Talenta, sebuah platform SaaS untuk manajemen sumberdaya manusia, Joshua Kevin, mengatakan saat ini kondisi pemain startup SaaS di Indonesia sama seperti pemain e-commerce pada 2010-2011. Tahun tersebut adalah masa ketika masyarakat Indonesia masih memiliki krisis kepercayaan dan belum percaya dengan manfaat beralih membeli barang secara online.

“Kami percaya bahwa industri SaaS akan makin cepat pertumbuhannya dan kemampuan dalam pengambilan keputusan akan jatuh ke generasi yang percaya bahwa internet dan smartphone adalah the default,” kata Joshua.

Mengenai isu keamanan komputasi awan sebagai hal yang krusial bagi pemain SaaS, Joshua mengungkapkan tidak semua pemain SaaS di Indonesia menggunakan solusi atau server dari luar Indonesia. Pihaknya mendorong insentif yang lebih dari pemerintah dan perusahaan cloud untuk membuat mereka beralih ke server lokal.

Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, menambahkan pergerakan bisnis SaaS di Indonesia mulai bergerak dengan sangat baik. VC ini telah berinvestasi di sejumlah startup SaaS dan melihat indikasi puluhan ribu UKM sudah menggunakan berbagai solusi yang disediakan beberapa pemain SaaS yang masuk dalam portofolionya.

Menurut Willson, tantangan pemain SaaS Indonesia di kacamata investor adalah adopsi pengguna dan bagaimana UKM melihat nilai dari SaaS. Startup SaaS harus bisa mengedukasi pasar tentang manfaat produk SaaS dibandingkan perangkat lunak tradisional dan meyakinkan mereka untuk beralih ke sana.

Moka, startup penyedia layanan mobile point of sales (mPOS) dengan fokus pasar UKM, menjadi salah satu pemain SaaS yang menanjak. Co-Founder dan CEO Moka Haryanto Tanjo, senada dengan Joshua, mengutarakan saat ini Moka belum menggunakan server lokal. Pihaknya menggunakan layanan cloud yang berbasis di Singapura. Untuk perlindungan data, Moka mengenkripsi lalu lintas yang keluar dan masuk menggunakan SSL. Pihaknya juga memasang beberapa firewall untuk seluruh server.

Haryanto menambahkan tingkat persaingan bisnis SaaS di Indonesia masih sangat luas dan pasarnya sangat besar. Menurutnya, persaingan antar pemain SaaS bukanlah perhatian untuk saat ini.

On-demand

Layanan transportasi on-demand dari Go-Jek, Grab, dan Uber saat ini masih mendominasi. Kehadiran mereka mampu mengubah kebiasaan masyarakat dan kini menjadi bagian rutinitas sehari-hari.

CEO MDI Ventures Nicko Widjaja mengungkapkan, “Akan menjadi sulit untuk startup baru mencoba bersaing dengan Go-Jek, Uber, dan Grab, karena posisi mereka yang sudah berhasil menjadi market leader dan mendominasi di Indonesia. Untuk bisa bersaing dengan ‘the big three‘, perusahaan yang sebelumnya menjalankan bisnis dengan cara konvensional juga sudah harus mulai mengadopsi teknologi untuk bisa bersaing dengan perusahaan berbasis teknologi tersebut.”

Nicko melihat kolaborasi antara Blue Bird dengan Go-Jek membuktikan perusahaan yang selama ini menjalankan bisnisnya secara konvensional akan memilih untuk melakukan kerja sama dengan startup yang telah memiliki produk, talenta, dan kemampuan membuat produk berbasis teknologi. Hal tersebut bisa memangkas pengeluaran untuk mempekerjakan third party atau outsource untuk membangun teknologi dari awal.

“Peluang dari startup yang nantinya berfungsi sebagai ‘corporate enabler‘ untuk menawarkan sistem, produk, hingga teknologi kepada korporasi hingga perusahaan besar nampaknya akan semakin banyak di tahun ini dan seterusnya,” kata Nicko.

Menurut Co-Founder dan CEO Go-Jek Nadiem Makarim, tahun 2015 dan 2016 lalu merupakan tahun ketika layanan seperti Go-Jek dan layanan e-commerce masih berupaya untuk menemukan pasar dan strategi pemasaran. Tahun 2017 ini bakal menjadi tahap yang menentukan kebanyakan layanan on-demand.

“Saya melihat tahun 2017 ini bakal menjadi momentum. Bkan hanya untuk Go-Jek namun juga semua layanan on-demand lainnya di Indonesia. Tahun 2017 juga menjadi tahun semua going to mobile,” kata Nadiem.

Kendala infrastruktur yang ada di Indonesia, menurut Nadiem, justru menjadi peluang bagi layanan on-demand seperti Go-Jek untuk berkembang.

“Berbagai kendala dalam hal infrastruktur yang ada saat ini justru menjadi kesempatan bagi Go-Jek untuk memberikan solusi kepada semua masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini Go-Jek melihat infrastruktur yang masih kurang saat ini sebagai opportunity dengan memberikan solusi kepada semua pengguna,” ujarnya.

Dalam dua tahun terakhir, layanan on-demand juga makin beragam. Tidak hanya menawarkan layanan transportasi, tetapi yang berhubungan dengan layanan domestik. Misalnya jasa asisten rumah tangga, pembersihan rumah, dan perbaikan AC. Salah satu layanan on-demand di segmen ini adalah Seekmi.

“Kami sangat beruntung di Seekmi bahwa tingkat penetrasi smartphone di kalangan vendor dan teknisi telah tumbuh secara signifikan dalam setahun tahun sejak Seekmi diluncurkan. Memungkinkan Seekmi untuk mengelola sekitar 10 ribu tenaga kerja dengan cepat dan efisien,” kata CEO Seekmi Clarissa Leung.

Clarissa melanjutkan, “Saya prediksi tahun 2017 ini akan semakin banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan teknologi, dalam hal ini aplikasi, untuk membantu mereka melakukan pekerjaan rumah rutin dari yang paling mudah hingga yang berat dengan bantuan layanan on-demand. Akan lebih banyak orang percaya dengan layanan on-demand karena terbukti mampu menghemat biaya pengeluaran.”

Di balik kemudahan berbasis teknologi, banyak generasi senior yang belum terbiasa dan kurang percaya dengan layanan on-demand.

“Seekmi pada akhirnya tetap menghadirkan layanan pelanggan melalui SMS hingga telepon langsung. Pendekatan dengan cara-cara tradisional masih perlu disematkan untuk perusahaan teknologi,” kata Clarissa.

Meskipun terlihat menjanjikan, layanan on-demand ternyata cukup sulit untuk melakukan scale up. Hal ini terjadi karena layanan on-demand sifatnya adalah hyperlocal. Masing-masing kota di Indonesia memiliki tradisi dan kebiasaan yang berbeda.

“Untuk mengatasi semua kendala tersebut masing-masing layanan on-demand tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan kemitraan atau partnership dengan perusahaan teknologi lainnya hingga perusahaan besar dan pemerintah untuk bisa mengatasi semua kendala,” kata Nicko.


Artikel ini adalah kolaborasi DailySocial dan The Jakarta Post. Juga dipublikasi dalam bahasa Inggris di halaman ini.

DailySocial:
CEO & Founder : Rama Mamuaya
Editor-in-Chief : Amir Karimuddin
Editor-in-Chief : Wiku Baskoro
Writers : Yenny Yusra, Marsya Nabila

The Jakarta Post:
Managing Editor Life : Asmara Wreksono
Editor : Keshie Hernitaningtyas
J+ team : Jessicha Valentina, Masajeng Rahmiasri, Ni Nyoman Wira
Technology : Muhamad Zarkasih, Mustofa
Infographic : Sarah Naulibasa, Sandy Riady
Video & Multimedia : Bayu Widhiatmoko, I.G. Dharma J.S., Ahmad Zamzami,
Rian Irawan, Wienda Parwitasari