Pitik Dapat Pendanaan Seri A 206 Miliar Rupiah Dipimpin Alpha JWC Ventures

Startup pengembang inovasi teknologi peternakan “Pitik” hari ini (19/5) mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $14 juta atau setara 206 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dengan partisipasi dari investor sebelumnya, yakni MDI Ventures dan Wavemaker Partners.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pitik resmi meluncur pada pertengahan 2021 diprakarsai oleh Arief Witjaksono dan Rymax Joehan. Mereka berambisi menghadirkan solusi teknologi end-to-end memberdayakan peternak unggas di Indonesia. Termasuk menghadirkan kemudahan dari sisi pembiayaan dan efisiensi rantai pasok.

Dengan dana segar yang dibukukan ini, Pitik akan memperluas ekosistem layanannya ke lebih banyak peternak ayam di Indonesia. Termasuk dengan memperkuat tim di seluruh divisi yang ada.

Selain itu, Pitik akan terus mengembangkan teknologi canggih dan produk automasi yang akan meningkatkan produktivitas pertanian lebih jauh. Perusahaan juga menargetkan membangun kehadiran di seluruh wilayah Jawa tahun ini dan memperluas ke pulau-pulau lain pada tahun 2023. Perusahaan juga akan memperluas bisnisnya ke layanan hilir seperti pemrosesan dan distribusi ke pengguna akhir.

Permasalahan di peternakan unggas

Sektor peternakan di Indonesia memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Menurut data, konsumsi daging ayam pada 2020 mencapai 7,9 kg per kapita, setara 3,5 juta kg per tahun. Diproyeksikan akan terus meningkat hingga 9,32 kilogram per kapita pada tahun 2029.

Kendati demikian, Pitik masih melihat adanya inefisiensi dalam sistem produksi dan rantai pasok produk ayam segar. Sistem produksi yang buruk dinilai mengakibatkan tingkat kematian unggas nasional 5-8x lebih tinggi dari rata-rata global. Sementara manajemen yang buruk membuat kebocoran pendapatan tahunan hingga 2 miliar Rupiah di tiap peternakan.

Solusi yang dihadirkan Pitik berupa platform manajemen peternakan. Perangkat lunak tersebut turut terhubung dengan sensor berbasis IoT yang diterapkan di kandang — menghasilkan model smart farming. Sehingga peternak bisa melakukan pemantauan lebih akurat terkait kondisi kandang dan perkembangan unggasnya.

Perangkat IoT Box Pitik yang dipasang di peternakan / Pitik

Di sisi lain, platform juga mendemokratisasi layanan pasok, menghubungkan petani dengan mitra terpercaya untuk menjual hasil panennya. Layanan pembiayaan turut dihadirkan untuk meningkatkan kapabilitas bisnis petani — data-data yang dihasilkan dianalisis sebagai potensi ternak untuk menghasilkan skoring kredit yang lebih kredibel.

Berdasarkan data terbaru, pemanfaatan layanan tersebut oleh Kawan Pitik (sebutan untuk mitra petani) diklaim bisa menekan angka kematian hingga 50% dan meningkatkan rasio konversi pakan 12% dibandingkan rata-rata nasional, yang akhirnya meningkatkan pendapatan mereka.

Dalam 6 bulan terakhir, Pitik telah meningkatkan ukuran jaringan pertaniannya lebih dari 10x lipat melalui kemitraan dengan ratusan petani di 53 kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dari jaringan peternak ini, Pitik saat ini menjual lebih dari 16 juta ekor ayam per tahun.

“Kami telah membuktikan bahwa teknologi kami efektif dalam membantu petani meningkatkan hasil panen mereka dan ekosistem kami mampu memberikan layanan bernilai tambah bagi petani. Impian besar kami adalah memberdayakan semua peternak unggas di Indonesia melalui layanan terpadu kami dan memastikan kami dapat meningkatkan taraf hidup mereka,” kata Co-Founder & CEO Pitik Arief Witjaksono.

Pertumbuhan startup di bidang peternakan

Di tengah potensi Indonesia sebagai penghasil ternak, beberapa startup hadir memunculkan solusi inovatif. Baik untuk membantu petambak udang, ikan, hingga peternak unggas. Selain Pitik, ada pemain lain yang juga mencoba membantu efisienkan proses bisnis di peternakan ayam, salah satunya Chickin. Berawal dari sebuah B2B commerce daging ayam untuk horeka, kini mereka turut kembangkan teknologi IoT untuk optimalkan manajemen kandang.

Tentu ini menjadi angin segar untuk para pelaku bisnis. Dari banyak riset yang dilakukan, mereka memang masih menghadapi banyak isu klasik. Seperti akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang). Hal tambahan lainnya, seperti infrastruktur dan kebijakan yang tidak tepat, juga menjadi tantangan.

Harapannya, tentu adanya teknologi pendukung ini benar-benar bisa mendemokratisasi model bisnis yang ada. Dengan tujuan akhir meningkatkan kualitas hasil ternak dan pemasukan dari para peternak. Di samping untuk memastikan supply dari pasar terpenuhi dengan baik dari produsen dalam negeri.

“Kami telah membuka peluang bisnis hulu di bidang peternakan unggas. Memperluas ke hilir berarti kami dapat membantu petani mengekstraksi margin yang lebih tinggi dari rantai nilai. Ini selaras dengan misi kami untuk menjadi mitra petani di semua titik perjalanan pertanian,” kata Co-Founder & COO Pitik Rymax Joehana.

Ia melanjutkan, “Tidak hanya itu, ini juga berarti kami dapat menyediakan ayam yang lebih sehat dan berkualitas tinggi untuk konsumen Indonesia karena produk yang dijual oleh Pitik bersumber dari jaringan petani kami dengan standar kontrol kualitas dan pemantauan produk yang paling ketat.”

Application Information Will Show Up Here

MDI Ventures dan Bio Farma Bentuk Dana Kelolaan 292 Miliar Rupiah untuk Startup Biotech

MDI Ventures dan Bio Farma membentuk dana kelolaan baru “Bio Health Fund” sebesar $20 juta atau sekitar 292 miliar Rupiah. Melalui dana kelolaan ini, keduanya membidik investasi startup early dan growth stage yang berfokus pada bidang biotech dan layanan kesehatan di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Bio-Health Fund ditargetkan dapat memberikan sinergi kepada Bio Farma sebagai salah satu LP utama. Sekaligus membuka peluang untuk meningkatkan kapabilitas Bio Farma dalam bidang penelitian biotech dan layanan kesehatan secara end-to-end.

“Saat ini industri kesehatan di Indonesia memiliki berbagai tantangan, termasuk bagaimana mengembangkan teknologi baru terkait bio science, farmasi, dan healthtech. Ini menjadi alasan Kementerian BUMN melalui Bio Farma, Kimia Farma, dan Indofarma, untuk berinvestasi teknologi dengan MDI Ventures,” tutur Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury.

Sementara, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengungkap, Bio Farma memiliki nilai kuat dengan posisinya sebagai produsen farmasi dan penyedia layanan kesehatan. Hal ini akan memberi nilai tambah bagi startup biotech untuk melakukan go-to-market.

“Bio-Health Fund tidak membatasi fokus geografi investasinya, terbuka untuk produk dan solusi yang dapat berkontribusi dan memberikan nilai tambah bagi sektor penyedia kesehatan di Indonesia,” tambah Honesti.

Sebagai informasi, Bio Farma merupakan anak usaha BUMN Farmasi yang bergerak di bidang kesehatan secara end-to-end di antaranya R&D, manufaktur, distribusi, hingga retail apotek, klinik, dan lab klinik. Bio Farma menyebut sebagai satu-satunya produsen vaksin manusia di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara.

Sementara MDI Ventures merupakan perpanjangan tangan untuk investasi Telkom Group. Total portofolionya mencapai 64 di mana tiga di antaranya merupakan startup healthtech, yakni Alodokter, mClinica. dan Heals.

Transformasi berbagai sektor

Selain vaksin dan serum, Bio Farma akan menambah portofolio produk dengan berinovasi bersama startup untuk memproduksi kit diagnostik berupa mBio-Cov dan Biosaliva. “Ini menjadi bagian dari inovasi untuk produk life science dan healthtech sebagai ultimate goal kami membentuk ekosistem kesehatan nasional,” tambah Honesti.

Sementara itu, COO & Risk Management MDI Ventures Sandhy Widyasthan mengatakan biotech punya potensi untuk mentransformasi, tak hanya sektor kesehatan, tetapi juga pertanian dan manufaktur di Indonesia.

“Selama dua tahun terakhir, MDI telah berinvestasi di sektor kesehatan dan investasi biotech dengan saran dari Bio Farma. Kami melihat biotech dapat menjadi the next frontier di teknologi yang sudah matang untuk ekspansi lebih cepat,” ucapnya.

Biotech atau biotechnology didefinisikan sebagai proses pemanfaatan bagian dari makhluk hidup untuk menghasilkan produk berupa barang atau jasa yang bermanfaat bagi manusia. Bioteknologi dapat diterapkan dapat pembuatan pangan, pengolahan limbah, hingga menghasilkan bibit dan produksi tanaman.

Biotech di Indonesia

Mengutip Bisnis.com, Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani menilai startup biotech belum dapat tumbuh optimal di Indonesia karena sejumlah faktor, seperti aturan yang kompleks dan kurangnya kompetitor.

Rata-rata pemain biotech dipegang oleh perusahaan besar dan konglomerasi. Sementara startup-startup berbasis riset membutuhkan waktu lebih lama untuk go-to market karena kurangnya pendanaan dan tidak punya kepastian pendapatan.

Menurut Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang, potensi pertumbuhan startup biotech cukup besar selama diimbangi dengan dukungan pemerintah untuk membangun ekosistem yang dibutuhkan, termasuk kesiapan SDM.

“Startup bioteknologi adalah perusahaan yang membutuhkan SDM yang andal tidak hanya secara digital, tetapi juga secara multiteknologi, kedokteran, kimia, biologi, nanoteknologi, dan lainnya. Selama ini fokus di Indonesia masih lebih banyak pada talenta digital untuk kebutuhan jasa saja,” katanya.

Qoala Memperoleh Pendanaan Seri B Sebesar 948 Miliar Rupiah

Platform insurtech Qoala memperoleh pendanaan seri B sebesar $65 juta atau sekitar 948 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut akan digunakan untuk memperkuat posisi dan jangkauan pasar Qoala di Asia Tenggara.

Disampaikan dalam keterangan resminya, pendanaan ini disuntik oleh sejumlah investor terdahulu antara lain Flourish Ventures, KB Investment, MassMutual Ventures, MDI Ventures, SeedPlus, dan Sequoia Capital India.  Beberapa investor baru juga ikut bergabung di antaranya BRI Ventures, Daiwa PI Partners, Indogen Capital, Mandiri Capital Indonesia, dan Salt Ventures.

Menurut catatan DailySocial.id, jika ditotal dengan pendanaan seri sebelumnya, kisaran investasi yang berhasil dibukukan telah mencapai $87 juta. Berpotensi membawa valuasi perusahaan di angka $300 juta.

Co-founder & COO Qoala Tommy Martin mengaku optimistis untuk menjaga pertumbuhan bisnisnya di tahun ini. Terlebih, ia menyebut telah mengantongi pertumbuhan bisnis di Thailand sebesar tiga kali lipat pasca-bergabung dengan FairDee pada Februari 2021. “Hal ini memberi kami keyakinan akan kemampuan ekspansi Qoala di Asia Tenggara,” tambahnya.

Qoala mencatat pertumbuhan 30 kali lipat sejak menerima pendanaan seri A pada April 2020. Dengan pencapaian ini, Qoala mengklaim sebagai perusahaan insurtech dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara.

Pertumbuhan ini didorong oleh berbagai jenis asuransi ritel yang ditawarkan, mulai dari produk mobil, sepeda, rumah, dan kesehatan. Selain itu, Qoala juga berkolaborasi dengan sejumlah platform digital, seperti Traveloka, Shopee, Kredivo, dan Investree untuk produk asuransi mikro. Saat ini, Qoala beroperasi di Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Sementara itu, CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro menambahkan bahwa Qoala punya peluang besar untuk berkembang secara B2B di berbagai sektor industri, mulai dari logistik, logistik, kesehatan, dan pariwisata. “Kami yakin pendanaan ini juga dapat memperkokoh posisi Qoala sebagai perusahaan insurtech terdepan di Asia Tenggara yang memiliki keselarasan inovasi dan sinergi dengan Mandiri Group,” tuturnya.

Ekspansi pasar

Lebih lanjut, Founder & CEO Qoala Harshet Lunani mengungkap akan memperluas jangkauan Qoala di seluruh Asia Tenggara. Ekspansi ini juga termasuk dengan pengembangan teknologi dan layanan untuk mengurangi kendala dalam mengakses produk asuransi.

Di samping itu, ia menilai ruang pertumbuhan asuransi masih sangat besar. Di Indonesia jauh dari penetrasi rata-rata global yang sebesar 6%. “Indonesia, Thailand, dan Malaysia termasuk dalam sepuluh besar pasar asuransi global dengan proyeksi pertumbuhan tercepat pada dekade berikutnya,” ucapnya.

Saat ini, total tenaga pemasar dan mitra bisnis yang terdaftar di Qoala mencapai 50.000 tenaga. Qoala juga telah bermitra dengan lebih dari 50 perusahaan asuransi. Tahun ini, mereka berencana menambah lebih dari 250 karyawan, serta berinvestasi pada pengembangan teknologi dan produk. Selain itu, perusahaan juga berencana memberikan kompensasi dalam bentuk saham untuk memperkuat kepemilikan karyawan di perusahaan.

Sebagai informasi, Qoala berdiri di 2018 dengan memosisikan diri sebagai platform insurtech untuk ritel. Qoala menawarkan dua produk, yakni Qoala Plus (keagenan) dan Qoala for Enterprise (B2B dan B2B2C).

Qoala meyakini dapat memecahkan masalah utama bagi pemasar asuransi dan konsumen melalui kecepatan penerbitan polis, penetapan harga instan, dan komisi instan kepada para tenaga pemasar asuransi. Inovasi ini juga dinilai dapat memungkinkan Qoala mengakuisisi konsumen dengan biaya lebih rendah dan mencapai unit ekonomi yang unggul.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penetrasi asuransi di Indonesia tercatat 3,18% yang mencakup asuransi jiwa (1,19%), asuransi umum (0,47%), asuransi sosial (1,45%), dan asuransi wajib (0,08%). Adapun angka densitas (biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk bayar premi) sebesar Rp1,82 juta.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Cara Arise Dukung Startup Indonesia

DailySocial bersama Aldi Adrian Hartanto, Partner Arise, dana kelolaan MDI Ventures dan Finch Capital, membahas bagaimana dana kelolaan ini memberikan dukungan bagi startup Indonesia, tak hanya dari sisi modal jangka panjang, tetapi juga terlibat langsung di keseharian perusahaan.

Di video ini, Aldi juga memberikan opini terkait perkembangan ekosistem startup ke depan dan tips bagi para pendiri yang ingin melakukan fundraising.

Untuk video menarik lainnya seputar modal ventura (venture capital) dan seperti apa dukungannya terhadap startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi VCTalks.

DELOS Announces Additional Funding of 115 Billion Rupiah Led by Centauri Fund and Alpha JWC Ventures

Post securing early-stage funding led by the Arise Fund, aquatech startup DELOS announced an additional investment of $8 million, equivalent to 115 billion Rupiah. This round was led by the Centauri Fund and Alpha JWC Ventures. Both Centauri and Arise are funds under MDI Ventures management.

Other investors involved in this funding are Number Capital, Arise, iSeed SEA, Irvan Kolonas, as well as Alto Partners Multi-Family Office, Mahanusa Capital, Kopi Kenangan’s Founder, James Prananto, and a number of advanced strategic investors.

The company plans to use the funds to accelerate the on-boarding process of its farm-based clients. In addition, they continue to build and scale-up its main products AquaHero, AquaLink, and AquaBank to accelerate the growth of Indonesian aquaculture.

“We want to encourage Indonesia to realize and take advantage of its vast marine potential, setting it as major and sustainable national economic driver in the near future,” said DELOS Co-founder Guntur Mallarangeng.

Within months of operations following the early-stage funding round, DELOS has been working on developing its flagship product line. AquaHero, which is a complete agricultural productivity system combining scientific, technological and operational expertise was developed to increase agricultural yields. AquaHero products use high-end data collection methods and biological models to predict and reduce crop risk. This model will be applied to thousands of shrimp ponds in the DELOS ecosystem throughout Indonesia.

“DELOS comes with real, data-driven solutions to the everyday problems faced by shrimp farmers, and early traction has proven its effectiveness in optimizing farm operations and significantly growing output. With the expertise and network of its founders, we are confident DELOS can lead the aquaculture revolution in Indonesia,” Alpha JWC Ventures’ Partner, Eko Kurniadi said.

Meanwhile, Centauri Fund’s Managing Partner, Kenneth Li, said that agriculture is one of Indonesia’s grassroots industries that contributes significantly to national GDP. In this regard, the shrimp industry in Indonesia is also one of the largest in the world and the largest contributor to the Indonesian fishery industry as a whole.

“DELOS is capable of producing a staggering output yield of 2-3x the industry average. It also capable to solve this problem by implementing modern and standardized production methods and providing scalable supply chain solutions,”  he added.

Business Growth

Since November 2021, the company has been actively on-boarding 100 hectares of intensive and super intensive shrimp ponds, with a backlog demand of more than 600 hectares in the company’s pipeline. This year, the company will continue to strengthen and expand AquaHero’s product range, accuracy, features and clients, by increasing farm productivity and profitability, thereby adding value to the industry. The company is targeting around 200 hectares to be managed this year.

DELOS claims to have helped its clients multiply their results through an app from AquaHero. This has resulted in the client base’s agricultural output continuing to outperform the Indonesian shrimp farming industry, producing an average of 10-15 tons/ha/cycle.

Supporting DELOS’ long-term goals, the company later established the DELOS Maritime Institute (DMI) in Yogyakarta. The Institute will become a training center for the development of specialized aquaculture talent, with a world-class curriculum and on-site practical training, to cultivate a new generation of farm managers, technicians, lab assistants and field operators. In addition, this activity will also support research and development of the latest technology in cultivation technology, such as: early detection and prevention of disease and livestock supporting infrastructure.

“The feedback of DELOS in the aquaculture industry has been very positive, with client acquisitions beyond the team’s ability to get into the farm,” Guntur said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

DELOS Umumkan Pendanaan Lanjutan 115 Miliar Rupiah, Dipimpin Centauri Fund dan Alpha JWC Ventures

Setelah sebelumnya telah mengantongi pendanaan tahap awal yang dipimpin Arise Fund, startup aquatech DELOS mengumumkan pendanaan tahap awal tambahan senilai $8 juta atau setara 115 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Centauri Fund dan Alpha JWC Ventures. Baik Centauri dan Arise adalah dana kelolaan dari MDI Ventures.

Investor lainnya yang turut terlibat dalam pendanaan ini adalah Number Capital, Arise, iSeed SEA, Irvan Kolonas, serta Alto Partners Multi-Family Office, Mahanusa Capital, Pendiri Kopi Kenangan James Prananto, dan sejumlah investor strategis lanjutan.

Perusahaan berencana untuk menggunakan dana tersebut untuk mengakselerasi proses on-boarding kliennya dari peternakan. Selain itu mereka terus membangun dan melakukan scale-up produk utamanya AquaHero, AquaLink, dan AquaBank untuk mempercepat pertumbuhan perikanan budidaya Indonesia.

“Kami ingin mendorong Indonesia untuk menyadari dan memanfaatkan potensi lautnya yang luas, menjadikannya penggerak ekonomi nasional yang utama dan berkelanjutan dalam waktu dekat,” kata Co-founder DELOS Guntur Mallarangeng.

Dalam beberapa bulan operasinya setelah putaran pendanaan awal, DELOS telah bekerja mengembangkan lini produk unggulannya. AquaHero, yang merupakan sistem produktivitas pertanian lengkap yang menggabungkan keahlian ilmiah, teknologi, dan operasional dikembangkan untuk meningkatkan hasil pertanian. Produk AquaHero menggunakan metode pengumpulan data kelas atas dan model biologis untuk memprediksi dan mengurangi risiko panen. Model ini akan diterapkan pada ribuan udang tambak dalam ekosistem DELOS di seluruh Indonesia.

“DELOS hadir dengan solusi nyata berbasis data untuk masalah sehari-hari yang dihadapi oleh petambak udang, dan traksi awal telah membuktikan efektivitasnya dalam mengoptimalkan operasi tambak dan keluaran yang tumbuh secara signifikan. Dengan keahlian dan jaringan yang dimiliki oleh para pendirinya, kami yakin DELOS dapat menjadi yang terdepan dalam revolusi akuakultur di Indonesia,” kata Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi.

Sementara itu menurut Managing Partner Centauri Fund Kenneth Li, agriculture merupakan salah satu industri akar rumput Indonesia yang memberikan kontribusi cukup besar bagi pendapatan nasional PDB. Dalam hal ini industri udang di Indonesia juga merupakan salah satu yang terbesar di dunia dan penyumbang terbesar bagi industri perikanan Indonesia secara keseluruhan.

“DELOS mampu menghasilkan output hasil yang mengejutkan 2-3x dari rata-rata industri. DELOS telah mampu memecahkan masalah ini dengan menerapkan metode produksi modern dan standar dan menyediakan solusi rantai pasokan yang terukur.”

Pertumbuhan bisnis DELOS

Sejak November 2021, perusahaan aktif melakukan on-boarding 100 hektar tambak udang intensif dan super intensif, dengan backlog permintaan yang ada lebih dari 600 hektar di pipeline perusahaan. Tahun ini perusahaan juga akan terus memperkuat dan memperluas cakupan produk AquaHero, akurasi, fitur, dan klien, dengan meningkatkan produktivitas dan profitabilitas pertanian, sehingga menambah nilai bagi industri. Perusahaan memiliki target sekitar 200 hektar yang bisa dikelola tahun ini.

DELOS mengklaim telah membantu kliennya menggandakan hasil mereka melalui aplikasi dari AquaHero. Hal ini mengakibatkan hasil pertanian basis kliennya terus mengungguli Industri budidaya udang Indonesia rata-rata menghasilkan 10-15 ton/ha/siklus.

Mendukung tujuan jangka panjang DELOS, perusahaan kemudian mendirikan DELOS Maritime Institute (DMI) di Yogyakarta. Institut akan menjadi pusat pelatihan untuk pengembangan bakat akuakultur khusus, dengan kurikulum kelas dunia dan pelatihan praktis di tempat, untuk menumbuhkan pertanian generasi baru manajer, teknisi, asisten lab, dan operator lapangan. Selain itu kegiatan ini juga akan mendukung penelitian dan pengembangan teknologi mutakhir dalam teknologi budidaya, seperti: deteksi dini dan pencegahan penyakit serta infrastruktur penunjang peternakan.

“Penerimaan DELOS di industri akuakultur sangat positif, dengan akuisisi klien melampaui kemampuan tim untuk masuk ke peternakan,” kata Guntur.

WeBuy Mengonfirmasi Telah Akuisisi Chilibeli, Akan Jadi “WeBuy Indonesia”

Startup social commerce asal Singapura resmi mengakuisisi Chilibeli dengan nilai pembelian yang dirahasiakan. Mengutip DealStreetAsia, CEO WeBuy Vincent Xue menyebutkan akuisisi ini menjadi momentum yang tepat karena sejalan dengan upaya ekspansi WeBuy ke pasar Indonesia.

“Sumber daya yang dimiliki Chilibeli saat ini, baik dari group leader, warehousing, dan para stafnya itu sinergis dengan bisnis kami. Dengan kekuatan supply chain WeBuy di global, teknologi, fitur produk, kami akan menjadi platform social e-commerce terdepan di Asia Tenggara,” ungkap Xue.

Dikonfirmasi secara terpisah, Partner di Centauri MDI-KB Kenneth Li menambahkan pihak terkait belum menentukan rencana lebih lanjut terkait langkah Chilibeli ke depan.

Next phase belum diputuskan karena proses [akuisisi] baru selesai. Chilibeli memang diakuisisi WeBuy, tetapi tidak stop beroperasi. Nanti operasionalnya akan menjadi WeBuy Indonesia,” ungkap Kenneth kepada DailySocial.id.

Pada pemberitaan kami sebelumnya, WeBuy sempat dikabarkan menjadi kandidat kuat untuk mencaplok Chilibeli. Kabar ini berhembus kala Chilibeli diterpa masalah pada operasionalnya yang dihentikan sementara pada Februari lalu. Alasan yang disampaikan ke publik adalah pemindahan server dan deep cleaning resource. Chilibeli juga merumahkan sejumlah pegawai.

WeBuy diketahui tengah memperluas pasarnya ke Asia Tenggara, termasuk Malaysia dan Indonesia. WeBuy membidik Indonesia karena penetrasi media sosial dan pasar ekonomi digitalnya sangat besar. Adapun, WeBuy beroperasi di Indonesia sejak September 2021.

Sekadar informasi, WeBuy merupakan portofolio MDI Ventures, Wavemaker, KB Financial Group, dan Rocket Internet. Saat ini WeBuy melayani sebanyak 3000 group leader dan 100.000 konsumen dari Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

Sementara, Chilibeli didirikan oleh Alex Feng, Damon Yue, dan Matt Li di 2019. Chilibeli mengantongi pendanaan seri A senilai $10 juta pada Maret 2020 yang dipimpin oleh Lightspeed Ventures, Golden Gate Ventures, Sequoia Surge, Kinesys Group, dan Alto Partners.

Perusahaan mengandalkan konsep bisnis C2M (customer to manufacturer) dalam menjembatani produk segar dari petani ke konsumen akhir dalam jumlah komunitas. Konsep tersebut hadir untuk mendorong efisiensi logistik dan memastikan kesegaran produk hingga di tangan konsumen.

Tantangan online grocery

Tren layanan online grocery yang memakai model social commerce maupun quick commerce tengah tumbuh di Indonesia. Hal ini sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar di masa pandemi Covid-19.

Di tengah popularitas layanannya, online grocery masih akan menemui berbagai kerikil untuk meningkatkan penetrasinya di pasar. Salah satunya adalah tantangan untuk mengubah perilaku belanja ke online, terutama bagi kalangan ibu rumah tangga yang masih terbiasa berbelanja di pasar tradisional

Sejauh ini, model yang cukup banyak diadopsi adalah B2C dan B2B. Di segmen B2B, model ini dinilai lebih stabil karena ada kepastian demand dan supply dengan pesanan dalam jumlah besar dan permintaan secara berkala. Contohnya permintaan bahan pokok segar ke industri restoran atau perhotelan.

Sementara di B2C, Managing Partner Tunnelerate Ivan Arie Sustiawan menilai bahwa model ini akan sulit dijalankan bagi platform yang punya modal terbatas untuk subsidi di perang harga dan logistik. Kedua hal tersebut menjadi elemen penting untuk mempertahankan loyalitas pelanggan mengingat konsumen Indonesia cenderung menyukai promo/diskon.

Menurutnya, untuk memenangkan pasaronline grocery/agritech di B2C, startup perlu membangun dan menerapkan model supply chain yang paling sustainable dan efisien dari hulu ke hilir. Mereka juga perlu memikirkan profitable assortment strategy bagi bisnisnya. “Don’t sell everything to everyone for the instant or quick commerce where you do the self-fulfillment,” tuturnya kepada DailySocial.id beberapa waktu lalu.

Zenius Receives Follow on Funding from MDI Ventures

Zenius edtech startup today (7/3) announced follow on funding from MDI Ventures with an undisclosed amount. In total, Zenius is said to have raised over $40 million (more than 576 billion Rupiah) from its investors. Past investors (Northstar Group, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures) and new investor (Beacon Venture Capital as a venture capital company owned by Kasikorn Bank Thailand) also joined the round.

It is not clear whether this fresh money will classified into a new round or continue the Pre-Series B round last year.

In an official statement, Zenius’ CEO, Rohan Monga said this funding will support the company’s further development and expansion of the learning ecosystem Zenius will be focused on improving personalized learning experiences by increasing students’ learning motivation.

“Through our latest acquisition network, Primagama, we will expand reach to increase the impact we have in education. We strongly believe that a hybrid learning model, which is a combination of offline and online, will provide the best results for students,” Monga said.

He said, backed by strategic investors such as MDI Ventures, the company is capable to expand its network of partnerships and service distribution to have a bigger and deeper impact on Indonesian education.

“Zenius has a proven track record of making an educational impact in Indonesia. Was founded in 2004, Zenius has now developed a comprehensive learning ecosystem,” MDI Ventures’ CEO, Donald Wihardja said.

Since 2004, Zenius has helped more than 1.5 million alumni to get into their state/dream university. Last year, seven out of 10 Zenius’ premium users passed the Computer-Based Written Examination (UTBK), while Zenius’ income increased fourfold, one of which was due to “Live Class” feature.

Following the Primagama acquisition, Zenius completed its learning ecosystem by collaborating with Disney for the elementary school segment, as well as developing ZenPro, a platform for the professional or lifelong learning segment.

“Zenius is a collaborative player. We are confident to realize our mission in creating a smarter, brighter, and cooler Indonesia’s young generation through collaboration, partnership, and synergy with various stakeholders, such as MDI, with the same vision, advancing education in Indonesia,” Rohan said.

Market competition and value proposition

Indonesia’s edtech sector is rapidly growing, especially since the pandemic. There are two players currently dominating the market, Ruangguru and Zenius, with nearly similar sub-product variants.

Zenius always highlight one thing, it is on the material side. Instead of inviting students to just memorize, Zenius emphasized on understanding fundamental concepts and critical thinking through various case studies.

Apart from Zenius and Ruangguru, several edtech platforms also creating maneuvers. Most recently, CoLearn has just secured 244 billion Series A funding. The app focuses on math and science subjects, helping students solve their homework independently. Also, there are Pahamify, Squline, and others.

Primagama’s presence in Zenius’ line of business has the potential to strengthen its value proposition if it truly succeeds in wrapping up a hybrid learning experience – this could also be the first in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Zenius Terima Pendanaan Lanjutan dari MDI Ventures

Startup edtech Zenius hari ini (7/3) mengumumkan perolehan pendanaan dari MDI Ventures dengan nominal dirahasiakan. Secara total Zenius disebutkan telah mengumpulkan lebih dari $40 juta (lebih dari 576 miliar Rupiah) dari jajaran investornya. Investor terdahulu (Northstar Group, Alpha JWC Ventures, Openspace Ventures) dan investor baru (Beacon Venture Capital sebagai perusahaan modal ventura milik  Kasikorn Bank Thailand) turut bergabung dalam putaran tersebut.

Tidak dijelaskan pendanaan segar ini masuk ke dalam putaran baru atau melanjutkan putaran Pra-Seri B yang sudah diumumkan pada tahun lalu.

Dalam keterangan resmi, CEO Zenius Rohan Monga mengatakan, pendanaan ini akan mendukung pengembangan lebih lanjut dan perluasan ekosistem pembelajaran di Zenius. Pihaknya akan terus fokus pada peningkatan pengalaman belajar yang dipersonalisasi dengan meningkatan motivasi belajar siswa.

“Melalui jaringan baru yang kami peroleh dari Primagama, kami akan memperluas jangkauan kami untuk meningkatkan dampak yang kami miliki dalam dunia pendidikan. Kami sangat percaya bahwa model pembelajaran hybrid, yaitu gabungan antara offline dan online, akan memberikan hasil terbaik bagi siswa,” kata Monga.

Menurutnya, dengan dukungan investor strategis seperti MDI Ventures, perusahaan mampu memperluas jaringan kemitraan dan distribusi layanan untuk memberikan dampak yang lebih besar dan lebih dalam bagi pendidikan Indonesia.

“Zenius memiliki rekam jejak yang telah terbukti dalam memberikan dampak bagi pendidikan di Indonesia. Sejak didirikan pada 2004, Zenius kini telah mengembangkan ekosistem pembelajaran yang komprehensif,” kata CEO MDI Ventures Donald Wihardja.

Sejak didirikan pada tahun 2004, Zenius telah membantu lebih dari 1,5 juta alumni untuk masuk ke universitas negeri/impian mereka. Tahun lalu, tujuh dari 10 pengguna premium Zenius berhasil lolos Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK), sementara pendapatan Zenius meningkat empat kali lipat, salah satunya ditopang oleh “Live Class”.

Setelah akuisisi Primagama, Zenius juga melengkapi ekosistem pembelajarannya dengan berkolaborasi dengan Disney untuk segmen sekolah dasar, serta mengembangkan ZenPro, sebuah platform untuk segmen pembelajaran profesional atau seumur hidup.

“Zenius adalah pemain yang kolaboratif. Kami yakin dapat mewujudkan misi kami untuk merangkai Indonesia yang lebih cerdas, cerah, dan asik melalui kolaborasi, kemitraan, dan sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti MDI yang memiliki visi yang sama, yaitu memajukan pendidikan di Indonesia,” kata Rohan.

Kompetisi pasar dan proposisi nilai

Sektor edtech di Indonesia cukup berkembang pesat, apalagi sejak pandemi. Dua pemain yang saat ini mendominasi adalah Ruangguru dan Zenius, dengan varian sub-produk yang dimiliki keduanya juga nyaris memiliki kesamaan.

Satu hal yang selalu digaungkan Zenius adalah di sisi materi. Alih-alih mengajak peserta didik hanya menghafal, materi di Zenius mengedepankan pada pemahaman konsep fundamental dan cara berpikir kritis melalui berbagai studi kasus.

Di luar Zenius dan Ruangguru, sejumlah platform edtech juga terus bermanuver. Yang terbaru CoLearn baru saja membukukan pendanaan Seri A senilai 244 miliar Rupiah. Aplikasinya fokus pada pembelajaran matematika dan sains, membantu para siswa menyelesaikan berbagai PR secara mandiri. Di luar itu masih ada Pahamify, Squline, dan lain-lain.

Hadirnya Primagama di jajaran lini bisnis Zenius berpotensi menguatkan proposisi nilai jika benar-benar berhasil membungkus pengalaman belajar hibrida – ini juga bisa menjadi yang pertama di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Paxel Konfirmasi Perolehan Pendanaan Seri B, Dipimpin MDI Ventures

Startup logistik Paxel mengonfirmasi perolehan pendanaan seri B. Berdasarkan informasi yang kami himpun, pendanaan ini dipimpin oleh MDI Ventures, diikuti partisipasi Susquehanna International Group (SIG), PT Luminary Media Nusantara, Bamboo Gold Services, dan Galilee Capital Ventures. Dana yang digelontorkan oleh MDI termasuk dari Centauri Fund.

Dari data yang diinputkan ke regulator, sejauh ini putaran tersebut sudah membukukan nominal investasi $9,4 juta atau setara 134,7 miliar Rupiah.

“Iya betul [menerima pendanaan seri B]. Pendanaan ini nanti dipakai untuk ekspansi jaringan logistik kami tahun ini,” ujar Co-founder Paxel Zaldy Ilham Masita dihubungi oleh DailySocial.id.

Paxel terakhir kali menerima pendanaan seri A sebesar $10 juta yang dipimpin oleh Co-founder Paxel Johari Zein, serta keterlibatan dari East Ventures, Sinar Mas Digital Ventures (SMDV), dan SIG.

Rencana ekspansi

Lebih lanjut, ungkap Zaldy, pendanaan ini akan digunakan untuk memperkuat sistem IT yang sejalan dengan upaya ekspansi cakupan layanan instant delivery dengan dua raksasa ride-hailing, Gojek dan Grab. Dengan Gojek, Paxel telah meluncurkan layanan kolaboratif ini tahun lalu lewat GoSend Intercity Delivery dari Jadetabek ke Bandung dan sebaliknya. Cakupannya akan terus ditambah.

“Sedangkan dengan Grab, kami kerja sama untuk layanan multidrop (lebih dari satu titik pengantaran) dengan Grab. Kerja sama ini sudah jalan sejak dua bulan lalu. Tahap awal baru tersedia di Jabodetabek,” tambah Zaldy.

Terakhir, Paxel juga berencana meluncurkan layanan terbaru, Paxel Recycle yang memungkinkan driver Paxel mengambil sampah dari rumah dan mengantarnya ke bank sampah selama seminggu sekali. Paxel menggandeng Waste4Change untuk mengambil sampah khusus kemasan e-commerce, seperti karton, bubble wrap, hingga botol plastik dari rumah pelanggan.

Lainnya, Paxel juga akan merilis fitur emergency delivery yang memungkinkan pengantaran obat atau alat kesehatan bagi pasien yang terinfeksi Covid-19.

Dalam dua tahun terakhir, Paxel memang tengah menggenjot ekspansi layanan cold chain last mile dan instant delivery sejalan dengan peningkatan volume pengirimannya yang mencapai 86%. Apalagi, posisi Paxel cukup dikenal oleh pelaku usaha UMKM yang memanfaatkan kurir instan untuk mengirimkan makanan dan minuman kepada pembeli. Kemudian, di 2020, Paxel bekerja sama dengan Blue Bird untuk meluncurkan PaxelBig, layanan dengan kapasitas pengiriman 5-20 kg.

Zaldy sebelumnya memperkirakan shifting behavior masyarakat dari belanja offline ke online akan semakin menguat. Selain faktor pandemi Covid-19, pemicu lainnya adalah ekspektasi customer yang menginginkan pengiriman produk lebih cepat semakin besar.

Menurutnya dalam interview dengan DailySocial tahun lalu, butuh inovasi baru untuk dapat memenuhi ekspektasi customer ke depan. Bahkan ia menilai layanan same delivery berdurasi 8-10 jam akan sulit berkompetisi mengingat layanan sejenis dalam kota dapat dilakukan hanya dua jam.

Saat ini, layanan Paxel sudah melayani 30 kota, termasuk di Sumatera, yakni Palembang, Medan, dan menyusul di Lampung.

Application Information Will Show Up Here