Segera Rampungkan Penggalangan Dana Seri B, Paper.id Luncurkan Layanan Paylater B2B

Platform invoicing dan payment B2B “Paper.id” tengah melakukan penggalangan dana tahapan seri B yang rencananya akan diumumkan awal tahun 2022 mendatang. Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Paper.id Jeremy Limman menyebutkan, saat ini perusahaan dalam proses finalisasi dan rencananya dana segar tersebut digunakan untuk mendukung perkembangan produk yang sudah terbukti berkembang pesat selama pandemi ini.

Pendanaan terakhir yang diterima oleh Paper.id adalah tahun 2019 lalu untuk tahapan seri A dari perusahaan fintech Modalku dan Golden Gate Ventures. Awal tahun 2018 mereka juga telah mengantongi pendanaan awal dari Golden Gate Ventures.

Pandemi mendongkrak bisnis

Tercatat sejak awal pandemi tahun lalu jumlah pengguna Paper.id telah berkembang hampir 3x lipat dari sebelumnya. Jumlah invoice yang telah diproses pun mencapai level tertinggi hingga Rp9 triliun lebih, angka tersebut diklaim naik 2 kali lipat dari periode yang sama di tahun lalu. ​Saat ini Paper.id memiliki 300 ribu pengguna dan tersebar di lebih dari 300 kota dan kabupaten di Indonesia.

“Secara umum, pandemi memberikan dampak buruk yang hebat kepada UMKM, terutama sektor pariwisata dan ritel. Namun, pengguna Paper.id termasuk segmen sector-agnostic, sehingga tetap ada beberapa industri yang bertahan dan tetap bertumbuh seperti logistik, FMCG dan online seller,” kata Jeremy.

Untuk menambah pilihan pembiayaan kepada pengguna, Paper.id menggandeng investor strategis, Buana Sejahtera Group sebuah grup perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, logistik, dan perhotelan guna memperluas kapabilitas Paper.id dalam pendanaan bisnis dan penetrasi ke dalam
supply chain konvensional.

“Nantinya kita akan bertanya kepada investor strategis kita kira-kira sektor usaha apa yang mereka inginkan. Kemudian Paper.id akan merekomendasikan usaha yang layak mendapatkan pembiayaan dari multifinance tersebut,” kata Jeremy.

Luncurkan paylater B2B

Bertujuan untuk membantu UKM  mempermudah usaha, Paper.id meluncurkan produk terbaru paylater atau Buy Now, Pay Later (BNPL) B2B. Bagi buyer, mereka bisa mendapatkan manfaat berupa perpanjangan tempo. Supplier juga bisa merasakan manfaat lainnya dari produk ini melalui fitur baru bernama “Get Paid Faster”.

Mengedepankan konsep agregator, nantinya Paper.id akan merekomendasikan pemilik usaha yang ingin memanfaatkan BNPL kepada layanan fintech lending hingga perbankan yang telah menjadi mitra strategis. Saat ini tercatat sudah ada 10 mitra layanan fintech hingga perbankan, di antaranya adalah Modalku, Bank Jago, dan Pinjam Modal.

“Di financing kita tidak bisa memberikan layanan untuk semua. Dengan demikian kemitraan kami jalin baik dengan layanan P2P, multifinance, hingga perbankan. Semua disesuaikan dengan kebutuhan dari usaha tersebut,” kata Jeremy.

Untuk memastikan usaha tersebut memiliki track record yang baik, Paper.id melakukan proses kurasi bagi usaha yang ingin memanfaatkan BNPL melalui data invoicing melalui Paper.id. Dengan demikian mitra perbankan dan layanan fintech telah dijamin mendapatkan rekomendasi usaha yang memiliki kualitas terbaik. Sejak diluncurkan, Paper.id telah memvalidasi lebih dari 3000 invoice untuk produk BNPL.

“Dengan pengalaman kami yang sudah menyalurkan pendanaan produktif lebih dari Rp 175 miliar bagi UMKM, BNPL ini adalah fitur yang banyak diminta oleh pengguna kami dan diharapkan dapat mendorong roda perkembangan bisnis UMKM serta membantu mereka dalam mengelola arus kas lebih baik,” kata Jeremy.

Paylater B2B di Indonesia

Dalam laporan bertajuk “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021” yang diterbitkan DSInnovate terungkap, layanan paylater yang fokus kepada konsumen bisnis mulai berkembang. Skemanya berbentuk kolaborasi, antara fintech lending dengan penyedia layanan bisnis.

Pemain paylater B2B di Indonesia

Berbeda dengan produk pinjaman produktif ala P2P Lending, paylater B2B tidak memberikan dana tunai untuk meningkatkan operasional bisnis. Mereka membiayai belanja barang atau layanan yang disalurkan langung kepada penyedia.

Application Information Will Show Up Here

Payable Software Startup Spenmo Obtains 484 Billion Rupiah Series A Funding

Spenmo fintech startup, a payment-for-business (payable software) SaaS solution provider, announced series A funding round of $34 million (over 484 billion Rupiah) led by Insight Partners, a VC from the United States. Other investors participating in this round include Addition, Salesforce Ventures, Alpha JWC Ventures, Global Founders’ Capital, Broadhaven, Operator Partners and Commerce Ventures.

Apart from institutional investors, several angel investors also participated. They are William Hockey (Plaid’s founder), Andy Cohen (Ex-SVP of Sales Bill.com), Ongki Kurniawan (Head of Stripe Indonesia), Kunal Bahl & Rohit Bansal (Snapdeal’s founder), Matt Doka (Fivestars’ founder), and John Kim (Sendbird’s founder).

It is said that this funding is one of the largest series A rounds that the Y Combinator-backed company has successfully closed in Southeast Asia.

The fresh funds will be used to build market penetration and access to more than 20 million SMEs and mid-sized markets in Southeast Asia. Most of the segment doesn’t use any software to manage their debts, previously using spreadsheets or human labor.

Spenmo is a fintech company that provides SaaS solutions for managing business payments through corporate credit card products aimed at SMEs and medium-sized enterprises as the target users. This credit card is intended to help businesses manage finances when paying bills, tracking, categorizing purchases, and bookkeeping on autopilot in 90% less time.

In Indonesia, Spenmo already has a local team and is actively recruiting new talents. The Spenmo website is available in Indonesian to target new users.

In an official statement, Spenmo’s Co-founder & CEO, Mohandass Kalaichelvan explained, Spenmo’s services were previously considered a back-office function, but finance and debt are an important part of running a business.

“The finance team that implemented our service got their hours back. On average, they save over 50 hours and $10K each month. Our goal is to return 10 billion man-hours every year to finance teams across the region,” he said.

Insight Partners’ Principal, Rebecca Liu-Doyle has joined the board of directors at Spenmo after this round. She said that the payment industry would be disrupted, especially in Southeast Asia, which Spenmo’s solution had not yet explored. “We are delighted to be able to play a part in Spenmo’s journey to continue to innovate and develop,” Rebecca said.

Since its launching in Singapore last year, Spenmo has expanded across Southeast Asia, bringing in several thousand customers representing a wide range of sectors, from high-growth startups to SMEs, mid-market companies and accounting firms.

Corporate credit card

Corporate credit card is an expensive item for SMEs in Indonesia as banks have a number of strict requirements for the application process. Almost all banks issue corporate credit card products as their target users, in addition to credit cards for retail.

Due to the gap, it finally opens up opportunities for fintech lending players exposed to finance business capital or KTA. At Spenmo, the physical and virtual credit cards they present allows companies to easily manage team expenses and lot of bills by providing invoice payment features and automatic bank transfers.

Spenmo provides virtual and physical credit cards to pay rent, invoices, and employee salaries on a scheduled basis in the dashboard. Also, you can easily integrate the API with accounting software (such as Xero, SAP, and myob) already used by the company.

It is claimed that SMEs can apply for a Spenmo account with a 30 minute process, control (freeze and cash out) spending with just one click, and prioritize security by setting pre-approved funds to avoid overspending.

B2B paylater trend

In addition to corporate credit cards or productive capital loans, B2B paylater services has been intensively implemented. According to a research publication released by DSInnovate entitled “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021”, currently there are several startup collaborations that offer these services.

Indonesia’s B2B paylater service provider / DSInnovate

The concept is that the fintech lending service acts as a partner in providing financing, synergizing with the owner of the procurement service — both goods and services. In contrast to lending services that provide cash capital loans, B2B paylater focuses on financing or purchasing business equipment.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup “Payable Software” Spenmo Terima Pendanaan Seri A 484 Miliar Rupiah (UPDATED)

Startup fintech penyedia solusi SaaS pembayaran untuk bisnis (payable software) Spenmo mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $34 juta (lebih dari 484 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Insight Partners, VC asal Amerika Serikat. Investor lainnya yang turut serta dalam putaran tersebut adalah Addition, Salesforce Ventures, Alpha JWC Ventures, Global Founders’ Capital, Broadhaven, Operator Partners, dan Commerce Ventures.

Selain investor institusi, beberapa angel investor ikut berpartisipasi. Mereka adalah William Hockey (founder Plaid), Andy Cohen (Ex-SVP of Sales Bill.com), Ongki Kurniawan (Head of Stripe Indonesia), Kunal Bahl & Rohit Bansal (founder Snapdeal), Matt Doka (founder Fivestars), dan John Kim (founder Sendbird).

Diklaim pendanaan ini merupakan salah satu putaran seri A terbesar yang berhasil ditutup oleh perusahaan yang didukung Y Combinator di Asia Tenggara.

Dana segar yang diperoleh akan digunakan untuk membangun penetrasi pasar dan mengakses ke lebih dari 20 juta UKM dan pasar menengah di Asia Tenggara. Segmen tersebut sebagian besar tidak menggunakan perangkat lunak apa pun untuk mengelola hutang mereka, yang sebelumnya menggunakan spreadsheet atau tenaga kerja manusia.

Spenmo adalah perusahaan fintech yang menyediakan solusi SaaS untuk mengelola pembayaran bisnis melalui produk kartu kredit perusahaan yang ditujukan buat UKM dan perusahaan menengah sebagai target penggunanya. Kartu kredit ini diperuntukkan untuk membantu bisnis dalam mengelola keuangan saat pembayaran tagihan, melacak, mengkategorikan pembelanjaan, dan pembukuan secara autopilot dalam waktu 90% lebih singkat.

Di Indonesia, Spenmo sudah memiliki tim lokal dan mulai aktif merekrut talenta baru. Situs Spenmo telah tersedia dalam bahasa Indonesia untuk menyasar pengguna baru.

Dalam keterangan resmi, Co-founder & CEO Spenmo Mohandass Kalaichelvan menerangkan, layanan Spenmo sebelumnya dianggap sebagai fungsi back-office, tetapi keuangan dan hutang adalah bagian penting dalam menjalankan bisnis.

“Tim keuangan yang mengimplementasikan layanan kami mendapatkan kembali jam kerja mereka. Rata-rata, mereka menghemat lebih dari 50 jam dan $10 ribu setiap bulannya. Tujuan kami adalah mengembalikan 10 miliar jam kerja setiap tahun untuk membiayai tim di seluruh wilayah,” kata dia.

Principal Insight Partners Rebecca Liu-Doyle kini bergabung sebagai dewan direksi di Spenmo pasca putaran ini. Dia menuturkan, industri pembayaran akan terdisrupsi, terutama di Asia Tenggara yang belum tergarap oleh solusi Spenmo. “Kami senang dapat berperan dalam bagian perjalanan Spenmo yang ingin terus berinovasi dan berkembang,” ujar Rebecca.

Sejak diluncurkan di Singapura tahun lalu, Spenmo telah berkembang di seluruh Asia Tenggara, membawa beberapa ribu pelanggan yang mewakili berbagai sektor, mulai dari perusahaan rintisan dengan pertumbuhan tinggi, hingga UKM, perusahaan pasar menengah, dan firma akuntansi.

Kartu kredit korporat

Memiliki kartu kredit korporat di Indonesia adalah barang mahal bagi UKM di Indonesia karena bank memiliki sejumlah persyaratan yang ketat untuk proses pengajuannya. Hampir semua bank mengeluarkan produk kartu kredit korporat sebagai target penggunanya, selain kartu kredit untuk ritel.

Karena ada gap tersebut, akhirnya membuka kesempatan bagi pemain fintech lending yang selama ini ditawarkan untuk membiayai modal usaha atau KTA. Di Spenmo sendiri, dengan kartu kredit fisik dan virtual yang mereka hadirkan, memungkinkan perusahaan yang ingin mengelola pengeluaran tim dengan mudah dan memiliki banyak tagihan dengan menyediakan fitur pembayaran invoice dan transfer bank otomatis.

Spenmo menyediakan kartu kredit virtual dan fisik yang dapat digunakan untuk membayar sewa, invoice, dan gaji karyawan secara terjadwal dalam dasbor. Serta, dapat dengan mudah integrasi API dengan software akuntansi (seperti Xero, SAP, dan myob) yang sudah digunakan perusahaan.

Diklaim, UKM dapat mengajukan akun Spenmo dengan proses 30 menit selesai, mengontrol (membekukan dan mencairkan) pengeluaran hanya dengan satu klik, dan mengutamakan keamanan dengan menetapkan dana yang telah disetujui sebelumnya untuk menghindari pengeluaran berlebih.

Mulai ada tren paylater B2B

Selain kartu kredit korporat atau pinjaman modal produktif, opsi lain yang mulai gencar diadakan adalah layanan paylater B2B. Menurut publikasi riset yang dirilis DSInnovate bertajuk “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021“, saat ini sudah ada beberapa kolaborasi startup yang menawarkan layanan tersebut.

Penyedia layanan B2B paylater di Indonesia / DSInnovate

Konsepnya, layanan fintech lending bertindak sebagai mitra penyedia pembiayaan, bersinergi dengan pemilik layanan pengadaan — baik barang ataupun jasa. Berbeda dengan layanan lending yang memberikan pinjama modal tunai, paylater B2B fokusnya pada pembiayaan atau pembelian perlengkapan bisnis.

*Kami mengubah judul berita dengan menambahkan terminologi bisnis Spenmo yang lebih tepat

PouchNATION Alih Fokus ke Sektor Perhotelan, Traveloka Kembali Berikan Pendanaan

Traveloka kembali terlibat dalam pendanaan PouchNATION. Saat ini startup berbasis di Singapura tersebut tengah menggalang pendanaan untuk putaran lanjutan, beberapa investor mulai berpartisipasi di tahap bridge round. Selain Traveloka, pemodal lain yang turut andil adalah SOSV, Artesian, Found Ventures, Huashan Capital, dan beberapa angel investor.

Sebelumnya pada Juni 2019, Traveloka memimpin putaran pendanaan seri B PouchNATION. Kala itu startup pengembang layanan pemesanan tiket hiburan TIX.id juga turut terlibat memberikan investasi.

Kini masuk ke industri perhotelan

Dana segar yang didapat akan dimanfaatkan PouchNATION untuk mempercepat pertubuhan bisnis platform perhotelan. Lewat produk “Contactless Hospitality PouchNATION”, mereka membantu pengelola hotel meningkatkan standar higienis dan memberikan pengalaman tanpa kontak bagi para tamu yang menginap.

Pengalaman yang diberikan, setelah tamu tiba akan diberikan kartu atau gelang NFC yang berfungsi sebagai pengenal digital, kunci pintu, serta dompet digital untuk mengakses berbagai layanan yang disediakan. Hal ini memungkinkan tamu untuk membeli makanan dan minuman, atau menukarkan voucher sarapan tanpa kontak fisik.

Awalnya solusi gelang NFC ini diterapkan PouchNATION untuk tiket masuk ke pagelaran acara, menggantikan tiket kertas yang sebelumnya banyak dipakai. Selain memudahkan verifikasi, teknologi yang diterapkan juga memungkinkan penyelenggara acara melakukan analisis, misalnya terkait arus keluar-masuk pengguna, untuk kebutuhan pelaporan. Kini PouchNATION juga mulai menyematkan fitur fintech ke dalam platformnya, sehingga memungkinkan perangkat yang diberikan memproses pembayaran.

Pergeseran fokus bisnis ini tak lain disebabkan karena dampak pandemi. Kegiatan acara seperti festival musik, konferensi, dll yang menjadi pasar utama PouchNATION harus ditiadakan atau digelar secara online.

“Kami selalu merasa bahwa adopsi teknologi yang lebih cepat dapat memainkan peran besar dalam memberikan pengalaman yang lebih baik bagi industri perhotelan. Memang, pandemi telah mempercepat tren itu dan saat ini banyak penyedia perhotelan merangkul teknologi contactless untuk menjamin standar higienitas yang lebih tinggi bagi tamu mereka,” ujar VP Growth PouchNATION Ricardo Santos.

Jadi fokus bisnis selanjutnya

Model bisnis Contactless Hospitality ini dinilai telah terbukti dan diterima oleh pasar. Dari implementasi yang sudah dilakukan di 7 negara, solusi PouchNATION diklaim telah digunakan 2 juta tamu hotel dan membukukan $100 juta nilai transaksi.

Selanjutnya perusahaan akan memusatkan perhatian bisnis ke sana. Disampaikan juga sudah ada sejumlah rencana besar di tahun 2022 untuk menguatkan kehadirannya di Asia Tenggara dan Amerika Latin dengan produk SaaS untuk membantu industri perhotelan mentransformasi layanan mereka.

“PouchNATION saat ini sedang dalam diskusi untuk menutup putaran pendanaan tambahan untuk memperluas sistem SaaS di luar perbatasan Asia dan mengejar strategi yang benar-benar global,” imbuhnya.

Targetkan Segmen B2C, Prosa.ai Luncurkan Produk SaaS “Text-to-Speech”

Setelah sempat mengalami hambatan dalam pertumbuhan bisnis akibat pandemi, pengembang platform Natural Language Processors (NLP) Bahasa Indonesia Prosa.ai mengklaim terus mengalami pertumbuhan yang positif hingga saat ini.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Prosa.ai Teguh Eko Budiarto mengungkapkan, selama ini perusahaan fokus pada segmen B2B dari kalangan pemerintahan, menjadikan proyek yang telah dijalankan harus ditunda karena adanya pengalihan budget. Namun di pertengahan 2021 kondisi sudah semakin pulih dan proyek yang sempat tertunda berjalan kembali.

“Di sisi lain saya melihat pandemi sudah mengakselerasi adopsi digital. Sehingga jika dulunya tidak menjadi fokus, kini sudah banyak perusahaan hingga pemerintahan yang mengadopsi teknologi untuk mempermudah pekerjaan mereka,” kata Teguh.

Dalam implementasinya, Prosa.ai memiliki dua produk utama. Ada Prosa Text untuk layanan rekognisi teks, menyediakan jasa dalam bentuk API dan juga aplikasi kustom. Beberapa di antaranya adalah identifikasi berita hoax, hate speech, ekstraksi opini, klasifikasi jenis dokumen, ekstraksi informasi khusus, alat dasar NLP, dan lain-lain.

“Saat ini kami masih fokus kepada dua produk utama tersebut. Namun saat ini sudah mengalami pengembangan, bukan hanya conversational AI saja kita juga sudah muai merambah ke regulation technology,” kata Teguh.

Salah satu kerja sama strategis yang telah terjalin adalah dengan Bank Indonesia untuk risk analysis. Prosa.ai juga telah menjalin kemitraan dengan DPR untuk pengecekan regulasi. Sementara untuk layanan healthcare yang terbilang high regulated, mereka juga mengklaim turut membantu proses tersebut memanfaatkan analysis tools yang ada.

Disinggung seperti apa persaingan di antara pemain yang menawarkan layanan serupa, menurut Teguh untuk Indonesia sendiri belum terlalu banyak pemain lokal. Selain Prosa.ai, ada pemain lokal lain yang juga menggarap NPL berbahasa Indonesia, antara lain Media Kernels Indonesia, Bahasa.ai, dan Kata.ai.

Kebanyakan pemain yang mencoba menawarkan layanan serupa dengan Prosa.ai adalah perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Microsoft dan lainnya. Namun demikian kapabilitas utama mereka lebih ke Bahasa Inggris untuk produk NLP-nya.

Untuk mempercepat akselerasi bisnis Prosa.ai memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana. Harapannya proses tersebut bisa dilancarkan dalam beberapa bulan ke depan.

Pendanaan terakhir yang diterima oleh Prosa.ai adalah tahun 2019 lalu untuk tahapan seri A. Pendanaan tersebut dipimpin oleh GDP Venture. Investasi tersebut melanjutkan pendanaan awal yang diterima tahun 2018 dari Kaskus (juga merupakan portofolio GDP Venture).

“Target kita tahun ini bisa mencapai pertumbuhan bisnis hingga dua kali lipat dibandingkan tahun lalu,” kata Teguh.

Luncurkan produk di segmen B2C

 

Produk terbaru yang telah diluncurkan menyasar segmen B2C adalah SaaS Text-to-Speech (TTS), sebuah solusi berbasis cloud yang dapat memenuhi kebutuhan dalam mengubah teks menjadi suara.

Prosa TTS dilengkapi dengan berbagai macam fitur yang memudahkan pengguna. Saat pandemi permintaan yang datang justru banyak dari end consumer, terutama mereka konten kreator hingga influencer untuk keperluan pengisian suara video dan sejenisnya.

“Kami menawarkan pilihan freemium kepada pengguna. Secara gratis mereka bisa mencoba namun dengan keterbatasan yang ada. Jika ingin menikmati fitur lainnya mereka bisa berlangganan dengan harga mulai dari Rp50 ribu,” kata Teguh.

Ke depannya Prosa.ai juga memiliki rencana untuk meluncurkan produk menarik lainnya yang bisa dimanfaatkan oleh segmen B2C. Untuk memperluas bisnis, perusahaan saat ini juga telah menjalin kolaborasi dengan publisher besar di Indonesia untuk generating content E-Book secara otomatis. Rencana strategis lainnya yang mulai dilirik oleh Prosa.ai adalah, menyediakan pilihan bahasa Indonesia untuk berbagai platform seperti media sosial.

“Saat ini sudah ada perusahaan asal Tiongkok yang tengah menjajaki kerja sama dengan kami. Mereka memiliki platform text dan speech namun hanya untuk bahasa inggris dan bahasa mandarin. Kita masih melakukan technical due diligence jika proses sudah rampung semoga bisa menjadi mitra agar bisa melakukan request recommendation dengan mereka,” kata Teguh.

Proyeksi ukuran pasar layanan NLP global / MarketsAndMarkets

Menurut laporan, ukuran pasar NLP global telah mencapai $11,6 miliar pada tahun 2020 dan akan tumbuh hingga $35,1 miliar pada 2026 dengan CAGR 20,3%. Pertumbuhan SaaS tersebut dikarenakan kompleksitas pembuatannya. Pengembang aplikasi memiliki kecenderungan layanan siap pakai yang dapat diintegrasikan dengan backend kreasinya.

Peluang lain, saat ini belum banyak platform yang mengakomodasi korpus bahasa Indonesia. Sementara perkembangan ekosistem digital di tanah air menunjukkan traksi luar biasa. Konsumen menuntut layanan aplikasi yang semakin cerdas. Sehingga peluang layanan berbasis kecerdasan buatan seperti TTS tersebut juga semakin besar.

Logistics Vehicle Management Platform “McEasy” Bags Seed Funding from East Ventures

SaaS startup for logistics vehicle management and tracking McEasy announced a $1.5 million (approximately IDR 22 billion) seed funding from East Ventures. The funds will be used to build logistics technology, recruit marketing and sales teams to reach more users.

“Smart tracking systems are not new in the automotive and industrial world, but we know how to integrate existing hardware, from sensors to GPS, with our platform to be the right solution. With a business plan previously designed, we believe that funds from investors will drive the company’s growth exponentially,” McEasy’s Co-Founder, Raymond Sutjiono said in an official statement, Tuesday (14/9).

East Ventures’ partner Melisa Irene said the application of technology solutions to drive increased asset management efficiency and achieve customer satisfaction is currently the main key in winning the competition in the logistics industry.

“McEasy has succeeded in providing solutions and products that are suitable for various players in the Indonesian logistics industry to help them identify the potential of the logistics market that is currently developing until the post-pandemic. We are delighted to welcome McEasy to the East Ventures ecosystem,” she said.

McEasy team / McEasy

Industry growth momentum

This startup was founded in 2017 by Raymond Sutjiono and Hendrik Ekowaluyo. Both have experience working at Ford. Hendrik is in structural design and in-car program management, while Raymond is an expert in engine electronics, system control, and vehicle data handling.

Both pioneered McEasy as a digitalization catalyst in the B2B logistics and transportation industry. To date, there are still several challenges clouding the logistics transportation management in Indonesia. Among them, the limited integration from one party to another, even though they are still in the same supply chain.

Moreover, business operational processes tend to rely on manual methods with complicated administration, therefore, the digitization process is yet to run smoothly; the same goes with automation and optimization systems to simplify logistics operations.

According to the Indonesian Logistics and Forwarders Association (ALFI), Indonesia’s logistics industry business growth potential from year to year is around 40 trillion Rupiah ($2.8 billion). Based on Redseer’s analysis, the industry has seen up to 100% growth during the pandemic.

Provided solutions

McEasy provides two solutions, Vehicle Smart Management System (VSMS) and Transportation Management System (TMS) & Smart Driver Apps. VSMS is a smart tracker-based digital solution to assist logistics operations and real-time tracking of vehicle locations.

Meanwhile, TMS is a SaaS for integrated planning, implementation, monitoring, and optimization of freight forwarding processes. Through integration in Smart Driver Apps, McEasy customers can track their vehicle position and all operational costs transparently, without the hassle of checking them manually.

Both of these solutions is available for logistics business players, from manufacturing & distribution companies to large brand companies that already have their own fleet or are integrated with logistics service providers.

McEasy’s Co-Founder, Hendrik Ekowaluyo added that the main strength of its service lies in its flexible platform, which is a solution to every customer’s needs. Different from other software providers, they will usually explore the client’s main problem, then explain how to use elements on our platform to solve the problem.

“For example, logistics company A has problem X, next, we will look for the most optimal settings on the platform and guide the client using those settings as a solution. In terms of scalability, this business concept is much more sustainable because we just have to explore the features in the platform without having to create different software every time,” he said.

McEasy uses a subscription-based business model and provides solutions that can be tailored to the scale of the customer’s business, such as 3PL, 4PL, distributor, or brand owner. To date, the areas covered by McEasy’s digital solutions include Java, Bali, Sumatra, Kalimantan and Sulawesi.

Its customer portfolio covers various industries and business sizes, for example MGM Bosco for the cold-chain sector, Rosalia Indah Group for the public transportation sector, as well as RPX and FeDex Indonesia for the last-mile logistics sector in Indonesia.

Since the pandemic, McEasy’s business has also been boosted thanks to digital transformation in the logistics industry. The number of its subscribers has grown 10 times. The company targets in the last quarter of this year to double the total number of vehicles integrated with the system, as well as assist in digitizing the transportation system for corporate customers.

Meanwhile, in the following year, the company will increase its target to achieve four times minimum growth for 2021. McEasy’s ambition is to create an integrated ecosystem that makes it easier for stakeholders to optimize all logistics and supply chain processes.

Logistics startup funding trend

In supporting the digital economy, the logistics industry still has a lot of friction in its business processes. This opportunity encourages startup players to jump in which requires a lot of investment in developing their technology.

Since 2019 to July 2021, the DailySocial research team recorded around 16 announced funding transactions involving technology-based logistics companies. This investment managed to record a total fund value of $586 million. There are at least 4 logistics startups that have a valuation above $100 million, including SiCepat, Waresix, Shipper, and GudangAda.

Company Round Year
ASSA (induk AnterAja) Convertible Bond 2021
Andalin Series A 2021
Deliveree Series A 2017
Finfleet Series A 2019
GudangAda Series A

Series B

2020

2021

Kargo Technologies Seed Funding

Series A

2019

2020

Logisly Series A 2020
Pakde Seed Funding 2018
Ritase Series A 2019
Shipper Seed Funding

Series A

Series B

2019

2020

2021

SiCepat Series B 2021
Triplogic Seed Funding 2019
Waresix Seed Funding

Pre-Series A

Series A

Series A+

Series B

2018

2018

2019

2020

2020

Webtrace Seed Funding 2020

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Application Information Will Show Up Here

Platform Manajemen Kendaraan Logistik “McEasy” Kantongi Pendanaan Awal dari East Ventures

Startup SaaS manajemen dan pelacakan kendaraan logistik McEasy mengumumkan pendanaan tahap awal senilai $1,5 juta (sekitar 22 miliar Rupiah) dari East Ventures. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun teknologi logistik, merekrut tim pemasaran dan penjualan guna menjangkau lebih banyak pengguna.

“Sistem pelacakan pintar memang bukan hal baru di dunia otomotif dan industri, namun kami tahu bagaimana cara mengintegrasikan hardware yang ada, mulai dari sensor hingga GPS, dengan platform kami untuk menjadi solusi tepat. Dengan rencana bisnis yang telah dirancang, kami percaya bahwa dana dari investor akan mendorong pertumbuhan perusahaan secara eksponensial,” kata Co-Founder McEasy Raymond Sutjiono dalam keterangan resmi, Selasa (14/9).

Partner East Ventures Melisa Irene menambahkan, pada masa ini penerapan solusi teknologi untuk mendorong peningkatan efisiensi manajemen aset dan mencapai kepuasan pelanggan merupakan kunci utama dalam memenangkan kompetisi di industri logistik.

“McEasy telah berhasil memberikan solusi dan produk yang cocok dengan berbagai pemain dalam industri logistik Indonesia untuk membantu mereka mengidentifikasi potensi pasar logistik yang tengah berkembang saat ini hingga pasca pandemi. Kami senang bisa menyambut McEasy ke dalam ekosistem East Ventures,” ujarnya.

Tim McEasy / McEasy

Momentum pertumbuhan industri

Startup ini didirikan sejak 2017 oleh Raymond Sutjiono dan Hendrik Ekowaluyo. Keduanya memiliki pengalaman bekerja di Ford. Hendrik di bagian perancangan struktural dan manajemen program dalam mobil, sementara Raymond ahli dalam tata elektronik mesin, kontrol sistem, hingga handling data kendaraan.

Keduanya merintis McEasy sebagai katalis digitalisasi pada industri logistik dan transportasi B2B. Selama ini, manajemen transportasi logistik di Indonesia masih memiliki sejumlah tantangan. Di antaranya, terbatasnya integrasi dari satu pihak ke pihak lain, padahal masih berada di rantai pasok yang sama.

Berikutnya, proses operasional usaha cenderung mengandalkan cara-cara manual dengan administrasi yang rumit, sehingga proses digitalisasi belum berjalan mulus; dan sistem automasi dan optimasi untuk menyederhanakan operasional logistik yang juga belum maksimal.

Menurut Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), potensi pertumbuhan bisnis industri logistik Indonesia dari tahun ke tahun berkisar sekitar 40 triliun Rupiah ($2.8 billion). Berdasarkan analisis Redseer, industri ini telah mengalami pertumbuhan sampai 100% selama pandemi.

Solusi yang ditawarkan

McEasy memberikan dua solusi, yakni Vehicle Smart Management System (VSMS) dan Transportation Management System (TMS) & Smart Driver Apps. VSMS merupakan solusi digital berbasis smart tracker untuk membantu operasional logistik dan pelacakan lokasi kendaraan secara real-time.

Sementara itu, TMS merupakan SaaS untuk perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan optimasi proses pengiriman barang terpadu. Melalui integrasi dalam Smart Driver Apps, pelanggan McEasy dapat melacak posisi kendaraan dan seluruh biaya operasional secara transparan, tanpa perlu repot untuk memeriksanya secara manual.

Kedua solusi ini dapat digunakan oleh para pelaku bisnis logistik, mulai dari perusahaan manufaktur & distribusi hingga perusahaan brand besar yang telah memiliki armada sendiri ataupun terintegrasi dengan vendor-vendor penyedia jasa logistik.

Co-Founder McEasy Hendrik Ekowaluyo menambahkan, kekuatan utama layanannya terletak pada platform yang fleksibel, menjadi solusi setiap kebutuhan pelanggan. Berbeda dari penyedia software lain, biasanya akan mendalami problem utama klien, lalu memaparkan cara menggunakan elemen-elemen pada platform kami untuk mengatasi masalah tersebut.

“Misalnya, perusahaan logistik A memiliki masalah X, maka kami akan mencari pengaturan paling optimal pada platform dan memandu klien menggunakan pengaturan tersebut sebagai solusi. Secara scalability, konsep bisnis ini jauh lebih sustainable karena kita tinggal mengulik fitur-fitur dalam platform tanpa harus membuat software yang berbeda setiap saat,” kata dia.

McEasy menggunakan model bisnis berbasis langganan (subscription) dan memberikan solusi yang dapat disesuaikan dengan skala bisnis pelanggan, seperti 3PL, 4PL, distributor, atau pemilik brand. Hingga saat ini, wilayah yang terjangkau oleh solusi digital McEasy meliputi Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, serta Sulawesi.

Portfolio pelanggannya mencakup berbagai industri dan ukuran usaha, misalnya MGM Bosco untuk sektor rantai pasok dingin (cold-chain), Rosalia Indah Group untuk sektor transportasi publik, serta RPX dan FeDex Indonesia untuk sektor logistik last-mile di Indonesia.

Sejak pandemi, bisnis McEasy turut terdongkrak berkat transformasi digital di industri logistik. Jumlah pelanggannya telah tumbuh 10 kali lipat. Perusahaan menargetkan pada kuartal terakhir tahun ini dapat meningkatkan total kendaraan yang terintegrasi dengan sistem menjadi dua kali lipat, serta membantu digitalisasi sistem transportasi untuk pelanggan perusahaan.

Sementara itu pada tahun berikutnya, perusahaan akan meningkatkan targetnya untuk mencapai pertumbuhan minimal empat kali lipat dari 2021. Ambisi McEasy adalah membuat ekosistem terintegrasi yang memudahkan para stakeholder mengoptimasi semua proses logistik dan rantai pasok.

Tren pendanaan startup logistik

Dalam mendukung ekonomi digital, industri logistik masih memiliki banyak friksi di dalam proses bisnisnya. Kesempatan tersebut mendorong pemain startup untuk terjun yang membutuhkan banyak investasi dalam mengembangkan teknologinya.

Sejak awal tahun 2019 hingga Juli 2021, tim riset DailySocial mencatat ada sekitar 16 transaksi pendanaan yang diumumkan melibatkan perusahaan logistik berbasis teknologi. Investasi ini berhasil membukukan total nilai dana $586 juta. Setidaknya ada 4 startup logistik yang memiliki valuasi di atas $100 juta, yaitu SiCepat, Waresix, Shipper, dan GudangAda.

Perusahaan Putaran Tahun
ASSA (induk AnterAja) Convertible Bond 2021
Andalin Series A 2021
Deliveree Series A 2017
Finfleet Series A 2019
GudangAda Series A

Series B

2020

2021

Kargo Technologies Seed Funding

Series A

2019

2020

Logisly Series A 2020
Pakde Seed Funding 2018
Ritase Series A 2019
Shipper Seed Funding

Series A

Series B

2019

2020

2021

SiCepat Series B 2021
Triplogic Seed Funding 2019
Waresix Seed Funding

Pre-Series A

Series A

Series A+

Series B

2018

2018

2019

2020

2020

Webtrace Seed Funding 2020
Application Information Will Show Up Here

Sirclo Officially Announces 512 Billion Rupiah Additional Funding

After news circulated about an additional funding round, Sirclo today (10/9) officially announced the $36 million additional funding or equivalent to 512 billion Rupiah led by East Ventures and Saratoga. Another investor participated in this round is Traveloka.

In the official release, it is said that this funding will be used to develop the technological capabilities offered and to accelerate retail digitalization for various businesses in Indonesia. During the pandemic, the company claimed to gain momentum to improve its economic unit and was already at the profitability stage.

“With this funding, we plan to use the momentum of high consumer interest in shopping on e-commerce channels during the pandemic and beyond. Sirclo continues to adhere to its mission helping brands sell online through an omnichannel approach,” Sirclo’s Founder & CEO, Brian Marshal said.

Previously, this e-commerce enabler platform had developed the Sirclo Store SaaS solution with an omnichannel approach aimed at helping brands sell online through various channels at once, such as websites, marketplaces, and chat-based sales (chat commerce).

In addition, in a series of Online-to-Offline (O2O) initiatives, the platform which recently launched the #MerdekaJualanOnline program for the country’s national economic recovery program is also developing financial solutions aimed at supporting MSME players to compete with larger-scale retail players.

East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Wilson Cuaca considered Sirclo as a classic example of a startup running a marathon. As an investor, East Ventures thought that Sirclo was a bit ahead of market-timing when it was founded in 2013. However, the founder’s consistent vision from the beginning has allowed Sirclo to survive and grow over the years.

“The Covid-19 pandemic has accelerated the company’s business, Sirclo recorded the highest revenue in the company’s history, with a nominal value of hundreds of millions of dollars, and is approaching the profitable stage. We are very happy to be a part of their journey, and participate in another funding stage,”  Willson continued.

Throughout the pandemic, Sirclo alone has recorded a 5x increase in transactions driven by changes in consumer behavior during the Covid-19 pandemic. Until this year, Sirclo has helped more than 100,000 brands to sell online, from the scale of individual entrepreneurs, MSMEs, to large companies.

E-commerce enabler performance in time of pandemic

Indonesia’s e-commerce industry has grown rapidly since the Covid-19 pandemic. Nearly half of Indonesia’s population uses digital technology for their daily needs, creating high potential for growth in this industry. The presence of e-commerce enabler services makes it easier for brand principals to enter the online industry. Through a single dashboard, they can manage the product presence in several online marketplace services at once.

In Indonesia, Sirclo is not solely trying to take on the role of an e-commerce enabler, there are several players who also competing to enliven this market. One of those is JetCommerce. Through its solution, they claim to have managed to record a whole 36% transactions increase in the fourth quarter of 2020 compared to the previous quarter, serving more than 750 thousand transactions on various marketplace platforms in early 2021. The company also has a rapidly growing business unit in China, Thailand, the Philippines and Vietnam.

Among the existing players, a cloud-based e-commerce enabler solution provider from Singapore, Genie tried to stir the competition by expanding into the Indonesian market. The platform claims to have back-end regional integration with e-commerce website builders like Shopify and WooCommerce, reducing the hassle for merchants when they set up an online store.

The Digital Market Outlook report published by Statista showed that e-commerce users in Indonesia are predicted to grow 15% this year from a total of 138 million users in 2020, reaching 159 million users in 2021. Meanwhile, the industry’s revenue is predicted to increase by 26% reaching $38 million, from $30 million in 2020.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Sirclo Resmi Umumkan Pendanaan Lanjutan Senilai 512 Miliar Rupiah

Setelah beredar kabar terkait putaran pendanaan tambahan, Sirclo pada hari ini (10/9) secara resmi mengumumkan perolehan pendanaan senilai $36 juta atau setara 512 miliar Rupiah yang dipimpin oleh East Ventures dan Saratoga. Investor lain turut terlibat adalah Traveloka.

Dalam rilis resminya disebut bahwa pendanaan ini akan digunakan untuk mengembangkan kapabilitas teknologi yang ditawarkan serta mengakselerasi digitalisasi ritel bagi berbagai usaha di Indonesia. Selama pandemi, perusahaan mengaku tengah mendapat momentum untuk memperbaiki unit ekonomi dan sudah menuju tahap profitabilitas.

“Dengan suntikan dana ini, kami berencana membangun momentum tingginya minat konsumen untuk berbelanja di kanal e-commerce selama masa pandemi dan setelahnya. Sirclo terus berpegang pada misi untuk membantu brands berjualan online melalui pendekatan omnichannel,” ujar Founder & CEO Sirclo Brian Marshal.

Sebelumnya, platform e-commerce enabler ini telah mengembangkan solusi SaaS Sirclo Store dengan pendekatan omnichannel yang ditujukan untuk membantu brand berjualan online melalui berbagai kanal sekaligus, seperti website, marketplace, dan penjualan berbasis percakapan (chat commerce).

Selain itu, dalam rangkaian inisiatif Online-to-Offline (O2O), platform yang belum lama ini meluncurkan program #MerdekaJualanOnline dalam program pemulihan ekonomi nasional negara ini juga tengah mengembangkan solusi finansial yang ditujukan untuk mendukung para pelaku UMKM bisa bersaing dengan pemain ritel berskala lebih besar.

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Wilson Cuaca menempatkan Sirclo sebagai salah satu contoh klasik dari startup yang melakukan maraton. Sebagai investor, East Ventures merasa bahwa Sirclo agak terlalu cepat dari market-timing ketika didirikan pada tahun 2013. Namun, fokus akan visi dari pendiri yang konsisten sejak awal membuat Sirclo bisa bertahan dan tumbuh selama ini.

“Pandemi Covid-19 telah mengakselerasi penguatan bisnis perusahaan, Sirclo mencatatkan pemasukan tertinggi sepanjang sejarah perusahaan, dengan nominal ratusan juta dolar, dan sudah mendekati tahap profitable. Kami sangat senang bisa menjadi bagian dari perjalanan mereka, dan berpartisipasi kembali di tahap pendanaan ini,” lanjut Willson.

Sepanjang masa pandemi, Sirclo sendiri mencatat lonjakan transaksi hingga 5x lipat yang didorong oleh perubahan perilaku konsumen selama pandemi Covid-19. Hingga tahun ini, Sirclo telah membantu lebih dari 100.000 brand untuk berjualan online, baik dari skala pengusaha perseorangan, UMKM, hingga perusahaan-perusahaan besar.

Kinerja e-commerce enabler di masa pandemi

Industri e-commerce di Indonesia telah meningkat dengan pesat sejak pandemi Covid-19. Hampir setengah dari populasi Indonesia menggunakan teknologi digital untuk kebutuhan sehari-hari, menjadikan industri ini memiliki potensi tinggi untuk tumbuh. Kehadiran layanan e-commerce enabler bertujuan untuk memudahkan brand principal masuk ke ranah online. Melalui dasbor tunggal, mereka dapat mengelola kehadiran produknya di beberapa layanan online marketplace sekaligus.

Di Indonesia, bukan hanya Sirclo yang coba mengambil peran sebagai e-commerce enabler, ada beberapa pemain yang juga ikut bersaing meramaikan pasar ini. Salah satunya adalah JetCommerce. Melalui solusinya, mereka mengklaim telah berhasil mencatat peningkatan transaksi di kuartal IV tahun 2020 secara keseluruhan sebanyak 36% dari kuartal sebelumnya, hingga mencapai lebih dari 750 ribu transaksi pada berbagai platform marketplace di awal tahun 2021. Perusahaan juga memiliki unit bisnis yang berkembang pesat di China, Thailand, Filipina dan Vietnam.

Di antara pemain yang sudah lebih dulu hadir, penyedia solusi e-commerce enabler berbasis cloud dari Singapura, Genie coba meramaikan persaingan dengan melakukan ekspansi ke pasar Indonesia. Platform ini mengklaim memiliki integrasi regional back-end dengan pembuat e-commerce situs web seperti Shopify dan WooCommerce, sehingga mengurangi kerumitan bagi pedagang ketika mereka mendirikan toko online.

Laporan Digital Market Outlook yang dipublikasikan Statista menyebutkan bahwa pengguna e-commerce di Indonesia tahun ini diprediksi tumbuh 15% dari total 138 juta pengguna pada tahun 2020, atau mencapai 159 juta pengguna di tahun 2021. Sementara pendapatan industri ini diprediksi meningkat sebanyak 26% mencapai $38 juta, dari $30 juta pada tahun 2020 lalu.

PAYFAZZ “Rebranding” Solusi UMKM, Sesuaikan Segmentasi Pasar

Fazz Financial Group hari ini mengumumkan rebranding terhadap dua produk finansialnya, PAYFAZZ Master Agen dan PAYFAZZ Buku. Kedua aplikasi ini ditenagai Safecash (PT Inklusi Keuangan Nusantara) dan Credibook. Di kesempatan yang sama, solusi PAYFAZZ berubah nama menjadi PAYFAZZ Agen.

Safecash dikabarkan merupakan startup yang diakuisisi PAYFAZZ sejak tahun 2019, bersama Kasir Pintar, tetapi belum ada konfirmasi resmi. Pimpinan Safecash saat ini juga memiliki posisi di PAYFAZZ , sementara berbagai laman di situs Safecash mengacu ke situs PAYFAZZ.

Kedua startup ini memiliki semangat yang sama dengan PAYFAZZ, yaitu ingin memperluas inklusi keuangan di pedesaan.

Safecash adalah perusahaan penyelenggara transfer dana yang sudah memiliki izin Bank Indonesia. Sementara, Kasir Pintar adalah aplikasi POS untuk membantu UMKM mengelola bisnisnya secara efisien. Kasir Pintar memanfaatkan solusi BILLFAZZ dan Modal Rakyat untuk membantu usaha para penggunanya.

Credibook sendiri adalah salah satu portofolio Payfazz yang masuk lewat putaran pendanaan tahap awal pada Agustus 2020.

Langkah rebranding ini dilakukan karena perusahaan ingin lebih mudah mendiferensiasi produknya demi menyesuaikan segmentasi pasar. Co-Founder dan CEO PAYFAZZ Hendra Kwik menuturkan, “[..] Kami berharap dengan adanya diferensiasi produk ini dapat lebih memudahkan para pelaku UMKM untuk menentukan produk yang dapat digunakan untuk mendukung usahanya.”

FFG itu sendiri terbentuk dari hasil investasi strategis PAYFAZZ sebesar $30 juta terhadap Xfers. FFG ingin mewujudkan misi gabungan kedua perusahaan dalam menyediakan akses dan inklusi keuangan melalui seluruh layanannya di Asia Tenggara. Di bawah FFG, terdapat sejumlah solusi/perusahaan. Di antaranya, Modal Rakyat, Xfers itu sendiri, dan aplikasi kasir POST.

Dua aplikasi baru

Aplikasi PAYFAZZ Agen, yang merupakan nama baru dari PAYFAZZ, tidak memiliki perubahan fitur dari sebelumnya. Aplikasi ini menyediakan fitur pembelian pulsa, token PLN, PPOB, pembelian barang grosir melalui PAYFAZZ Grosir, hingga pencatatan keuangan warung. Target penggunanya adalah agen pemula yang baru memulai bisnis, dengan proses pendaftaran dan KYC yang lebih sederhana, sehingga mereka bisa langsung memulai bisnis dengan cepat.

Sementara, PAYFAZZ Master Agen adalah aplikasi hasil kerja sama antara PAYFAZZ dengan PT Inklusi Keuangan Nusantara (Safecash), perusahaan penyelenggara transfer dana yang sudah memiliki izin Bank Indonesia. Aplikasi ini diperuntukkan buat para agen PAYFAZZ yang sudah memiliki nilai transaksi tinggi dan telah lolos verifikasi KYC yang lebih detail sesuai dengan aturan Bank Indonesia.

Hendra menerangkan aplikasi ini memiliki banyak fitur lengkap, seperti layanan PPOB dengan harga khusus, layanan transfer dana ke bank yang telah bekerja sama dan tarik dana di agen, serta transaksi perbankan lainnya yang sedang disiapkan. Fitur-fitur yang ada di PAYFAZZ Agen juga dapat dinikmati oleh pengguna PAYFAZZ Master Agen.

Menurutnya, PAYFAZZ Master Agen merupakan salah satu layanan champion perusahaan karena cikal bakal menjadi produk Digital Banking dari FFG. Selain Safecash, perusahaan telah bekerja sama dengan Modal Rakyat untuk layanan kredit agen, BRI Agro untuk layanan perbankan dan permodalan, serta Xfers untuk payment point.

“Harapan kami ke depannya bisa memberikan layanan keuangan digital yang menyeluruh melalui ekosistem yang ada di FFG, sehingga mencapai misi kami dalam memberikan inklusi keuangan bagi seluruh masyarakat di Indonesia dapat terwujud.”

Sementara, untuk aplikasi PAYFAZZ Buku, perusahaan bekerja sama dengan Credibook untuk menyediakan fitur pencatatan keuangan (buku kas) digital, baik itu transaksi utang, piutang, dan pembayaran kebutuhan usaha antar bank. Fitur tambahan lainnya adalah membantu UMKM mengelola keuangan usahanya, seperti pencatatan penjualan dan stok produk, laporan penjualan, manajemen hutang yang mencakup pencatatan, penagihan, terima pembayaran, serta kartu nama digital untuk sarana promosi usaha.

Baik PAYFAZZ Master Agen dan PAYFAZZ Buku menyasar masyarakat unbanked yang belum memiliki rekening bank. Sasaran utamanya meliputi UMKM, toko kecil, dan warung yang tersebar di daerah terpencil.

Saat ini, PAYFAZZ Agen sudah digunakan oleh lebih dari 700 ribu agen aktif dan melayani lebih dari 80 juta masyarakat Indonesia. “Dengan terciptanya ekosistem layanan keuangan digital ini FFG dapat menjadi salah satu pemain utama dalam meningkatkan literasi keuangan, serta mampu menyediakan layanan keuangan digital bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutupnya.

Upaya PAYFAZZ dalam mendigitalisasi UMKM di pedesaan ini cukup serius mengingat menurut sebuah data, baru sekitar 13 jutaan atau 21% UMKM di Indonesia yang sudah melakukan digitalisasi pada bisnisnya. Sementara itu, pemerintah menargetkan lebih dari 30 juta UMKM Go Digital pada 2023 mendatang.

Application Information Will Show Up Here