Warung Pintar Umumkan Akuisisinya Terhadap Bizzy

Startup new retail Warung Pintar resmi mengumumkan akuisisinya terhadap Bizzy, startup logistik dan distribusi supply chain B2B. Nilai akuisisi mencapai $45 juta atau sekitar Rp633 miliar.

Melalui akuisisi ini, Warung Pintar ingin memperkuat posisinya di pasar e-commerce B2B dengan pertumbuhan yang diprediksi mencapai tiga kali lipat dari pasar B2C.

“[Akuisisi] Bizzy secara keseluruhan, bukan unit bisnis tertentu saja,” ujar Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Sebelumnya Bizzy adalah platform e-commerce B2B yang telah pivot menjadi bisnis logistik dan distribusi. Bizzy Logistics dikenal sebagai PT Bina Sinar Amity, sebuah perusahaan penyedia jasa logistik, ekspor, dan impor terintegrasi. Sementara Bizzy Distribution secara legal berada di bawah PT Sinarmas Distribusi Nusantara.

Selain terafiliasi grup Sinarmas, Bizzy juga merupakan portofolio dari East Ventures. Sinarmas sendiri melalui unit modal venturanya, SMDV, juga menjadi bagian EV Growth.

Bersiap pada momentum pertumbuhan e-commerce B2B

Mengutip berbagai sumber data, saat ini pendapatan e-commerce B2B di Indonesia menyumbang tak sampai setengah dari total pendapatan e-commerce keseluruhan di 2020. Sebagai gambaran, pendapatan e-commerce B2B di India berkontribusi sebesar 93% terhadap total pendapatan e-commerce di sana dan 72% di Tiongkok.

Co-Founder & CEO Warung Pintar Agung Bezharie mengatakan, kedua perusahaan ingin mewujudkan misi yang sama, yakni mentransformasikan peritel tradisional dan meningkatkan efisiensinya terhadap rantai pasokan yang saat ini dinilai masih terpecah-pecah dengan dua sisi pendekatan yang berbeda.

Maka itu, Agung berharap dapat mengubah pendekatan distribusi berbasis digital yang sejak dulu kebanyakan didorong oleh promosi dan diskon besar-besaran demi meraup pelanggan.

“Bergabungnya Bizzy ke dalam ekosistem Warung Pintar memungkinkan perusahaan untuk menjamin ketersediaan produk dan harga yang wajar dengan para mitranya,” ujar Agung dalam keterangan pers yang diterima DailySocial.

Lebih lanjut, CEO Bizzy Andrew Mawikere menambahkan pasca-akuisisi nanti, Bizzy tetap menjadi entitas yang akan fokus dalam menjembatani sinergi kedua perusahaan dengan brand dan distributor, serta memungkinkan mereka untuk menjadi ekosistem pengecer digital.

Artinya, sinergi akan tetap terjalin, Warung Pintar dapat lebih fokus pada upaya digitalisasi para retailer-nya, sedangkan Bizzy fokus dalam melayani para mitra brand dan distributor.

“Setelah masuknya Bizzy sebagai bagian dari Warung Pintar, nantinya tidak akan ada pemain lain terintegrasi ke dalam rantai pasokan kami. Dengan begitu, kami dapat melayani brand dan distributor dengan value added yang belum pernah ada sebelumnya serta strategi berbasis data dalam skala besar,” tutur Andrew.

Berdiri di 2017, Warung Pintar menawarkan solusi masalah dihadapi pelaku usaha mikro yang selama ini menjadi fondasi perekonomian Indonesia dengan kontribusi sebesar 70% terhadap total transaksi ritel di Indonesia. Adapun, akuisisi ini akan menggabungkan dua perusahaan yang telah bekerja sama dengan 600 merek dan melayani 230 ribu retailer di 65 kota seluruh Indonesia.

Willson juga melihat adanya peluang sinergi dan efisiensi yang bakal tercipta dengan bergabungnya kedua perusahaan ini. “Warung Pintar adalah platform dari sisi permintaan, sedangkan Bizzy dari sisi suplai. Jika digabungkan, mereka dapat melayani konsumen, pengecer, dan merek dengan cara yang paling efektif. Ini benar-benar 1+1=3,” tuturnya dalam keterangan resmi.

Gelar Karpet Merah Bursa untuk Startup

Sejak awal tahun ini, wacana IPO startup unicorn semakin memanas mengingat sudah “waktunya” investasi VC untuk startup generasi awal masuk tahap mature, alias harus cash out untuk dikembalikan ke para LP.

Untuk itu wajar jika Bursa Efek Indonesia (BEI) terang-terangan mengeluarkan wacana bahwa tiga unicorn Indonesia akan memilih dual listing. Setidaknya Gojek, Tokopedia, dan Traveloka sudah santer diberitakan bakal IPO tahun ini. IPO adalah salah satu cara exit bagi investor, selain merger, akuisisi, atau menerbitkan saham baru.

Kepentingan perusahaan untuk melantai, terlepas statusnya startup teknologi atau bukan, adalah keputusan yang sangat strategis karena harus berkomitmen tunduk ke aturan bursa dengan tata kelola yang baik.

Hingga kini, startup teknologi yang sudah melantai masih bisa dihitung jari. Bursa memutar otak untuk membuat IPO ramah terhadap jenis perusahaan yang disruptif dan memilih fokus mengejar pertumbuhan daripada cari untung. Membuat papan akselerasi, menyederhanakan regulasi, dan membuat program IDX Incubator, adalah beberapa upaya tersebut.

IDX Incubator pertama kali dimulai di Jakarta pada 2017, menyusul Surabaya dan Bandung pada setahun kemudian. Disebutkan saat ini memiliki 114 startup binaan, sebanyak 62 startup dari Jakarta, 24 startup dari Bandung, dan 28 startup dari Surabaya.

Sejauh ini, ada tiga startup binaan yang berhasil melantai. Mereka adalah PT Yelooo Integra Datanet Tbk (YELO), PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (PGJO), dan PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk (CASH). Pejabat bursa menyebut pada semester I ini akan ada dua startup binaan yang menyusul.

Secara terpisah, DailySocial menghubungi Head of IDX Incubator Saptono Adi Junarso terkait evaluasi IDX Incubator sejauh ini. Ia tidak memberikan jawaban spesifik seperti apa pembelajaran bursa. Dijelaskan bahwa pihaknya terus belajar dan berbenah agar program yang dijalankan semakin baik.

Dibutuhkan lebih banyak dukungan dari berbagai pihak guna mempersiapkan perusahaan menuju IPO. Tidak hanya dari lembaga profesi penunjang, tapi juga dari stakeholder lainnya seperti investor, pemerintah, dan komunitas.

“Kami senantiasa berusaha bekerja sama dengan instansi-instansi yang dapat mendukung lebih banyak lagi startup maupun perusahaan skala kecil menengah untuk go public,” katanya.

Salah satu penyesuaian yang dilakukan IDX Incubator adalah mengubah kurikulum agar lebih fokus membantu perusahaan dengan skala aset kecil dan menengah untuk mencatatkan sahamnya di BEI. Kurikulum ini dinamai “Road to IPO” yang berlaku sejak 2019.

Road to IPO memiliki kurikulum yang berisi training dan mentoring. Dengan pembeda seperti ini, IDX Incubator diklaim berada di posisi yang lebih strategis di ekosistem. Tidak tumpang tindih pula dengan program inkubator/akselerator lainnya.

“Untuk incubation program yang menekankan kepada pengembangan bisnis, sudah ada beberapa pemainnya. Nah kami ingin menjadi incubation program lanjutan untuk persiapan IPO,” kata Operational Manager IDX Incubator Aditya Nugraha.

Penyesuaian kurikulum ini berdampak pada pengetatan syarat startup binaan yang ingin bergabung. Salah satunya adalah startup yang sudah satu langkah di bawah proses IPO. Kendati demikian, mereka yang bergabung tidak harus berbentuk startup teknologi. UKM konvensional punya kesempatan yang sama.

Sumber: BEI
Sumber: BEI

Antusiasme masih minim

Selain tiga lulusan IDX Incubator yang berhasil melantai, mengutip laman BEI, ada 20 perusahaan teknologi yang sudah IPO. Bila melihat dari papan yang digunakan, tercatat ada lima perusahaan yang tercatat di papan akselerasi. Dua di antaranya adalah Cashlez dan Pigijo. Perusahaan teknologi lainnya tercatat mayoritas di papan pengembangan, lalu papan utama. Papan akselerasi itu sendiri sudah diresmikan BEI sejak 2019, termuat dalam Peraturan Nomor I-V.

Sumber: BEI
Sumber: BEI
Sumber: BEI
Sumber: BEI

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi menjelaskan, meski perusahaan di papan akselerasi masih bisa dihitung jari, bukan dalam artinya ini tidak sesuai dengan target yang dibidik BEI. Ia justru memandang bahwa BEI tetap prudent dalam menjalankan tugasnya. Tidak sembarang perusahaan yang bisa lolos seleksi.

“Kami lihat betul kondisi perusahaan dan bagaimana concern mereka terhadap prospek pertumbuhan ke depannya seperti apa. Ada mini expose untuk kami lihat dari sisi manajemen perusahaan dan prospektus business plan-nya terkonfirmasi atau enggak,” paparnya.

BEI cenderung lebih ketat dalam menilai perusahaan yang ingin masuk ke papan ini karena ada tanggung jawab untuk melindungi investor. BEI membuat parameter pengawasan yang berbeda karena papannya tersendiri. Di satu sisi, investor diharapkan sudah betul-betul paham dengan segala risiko membeli saham di sana, selain melihat potensi bisnis yang ditawarkan.

“Kami sudah wajibkan anggota bursa untuk menyampaikan disclaimer untuk setiap saham di papan akselerasi, interface-nya akan berbeda khusus untuk transaksi di sini. Ini sudah dilakukan oleh semua anggota bursa.”

Hasan menuturkan saat ini bursa menempatkan diri sebagai tempat yang inklusif dengan menawarkan sumber pendanaan alternatif melalui IPO. “Kan mungkin saja karena masih kecil [skala bisnisnya] masih sulit dapat sumber pendanaan dari [institusi keuangan] konvensional.”

Menurut ekonom sekaligus peneliti Indef Nailul Huda, bursa masih butuh waktu panjang untuk menumbuhkan antusiasme startup untuk melantai. Pada dasarnya IDX Incubator hanya sebatas sarana. Sukses atau tidaknya IPO tergantung kemampuan perusahaan itu sendiri.

“Saat ini ada equity crowdfunding sebagai alternatif IPO selain di BEI. Hal itu lebih memungkinkan karena jika di BEI ini prosesnya sangat ribet dan harus setor laporan keuangan terstandarisasi. Berat bagi mereka yang mungkin tidak memiliki staf bidang keuangan yang mumpuni.”

Hal lain yang mungkin memberatkan startup adalah menjaga harga saham. Banyak cerita perusahaan teknologi di Amerika Serikat yang justru harga sahamnya memburuk setelah IPO. Rata-rata mereka tidak memiliki jalur yang kuat untuk memastikan bagaimana perusahaan bisa untung ke depannya.

“[Sebab] yang dikejar kan hanya valuasi. Dihitung dari GMV dan besaran jangkauan subscriber. Model bisnisnya belum bisa menjelaskan bagaimana keuntungan ke depan.”

Nailul juga berpendapat, konsep harga saham tidak selalu mencerminkan kinerja perusahaan.

“Harga saham tinggi tapi fundamental perusahaan jelek sudah pasti banyak bermain dan pembeli irasional, hanya sebentar biasanya. Tapi kalau kinerja perusahaan dan fundamentalnya bagus harga saham akan cenderung meningkat. Salah satu contoh menarik [yang tidak mencerminkan kinerja perusahaan] adalah Gamestop.”

Seandainya tiga unicorn ini sukses masuk ke bursa, Nailul berpendapat belum tentu startup lainnya langsung terdorong untuk mengekor ke strategi yang sama. Mereka pasti memantau dari hasil listing. Kalau harga sahamnya oke di awal saja, artinya mereka hanya mencari cuan di awal. Setelahnya masa bodoh sama harga saham.

“Tentu akan menjadi patokan bagi perusahaan teknologi lainnya untuk tidak listing dulu. Tapi kalau hasilnya bagus pasti akan menjadi patokan bagi perusahaan lainnya juga untuk listing.”

Sumber: Traveloka
Sumber: Traveloka

Secara terpisah, dalam temu media yang diselenggarakan East Ventures (19/2), Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca memandang semua startup pada akhirnya harus tercatat di bursa, tapi tidak semua startup bisa melakukan itu karena masing-masing berada dalam tahap yang berbeda. Terlebih lagi, IPO hanyalah bagian dari cycle dari suatu perusahaan.

Bagi startup, keuntungan bisa tercatat adalah punya tambahan likuiditas dan memiliki kepatuhan yang sangat baik karena harus tunduk pada aturan bursa. Sementara itu, bagi investor, menjadi perusahaan terbuka itu adalah pembuktian validasi valuasi yang selama ini diukur sebelum melakuan investasi ke startup tersebut, apakah tepat atau tidak.

“Menurut saya startup mana yang harus listing? Semua startup harus listing karena ada validasi valuasi, likuiditas, dan compliance ditingkatkan. Tapi apakah semua startup bisa listing? Tidak bisa, karena untuk sampai ke titik itu butuh waktu. Kalau startup awal sibuk ke sana enggak akan bisa buat produk,” ucap Willson.

Persiapan serius lainnya

Bursa semakin serius mendorong unicorn masuk ke pasar modal dengan membuat sejumlah penyesuaian. Kehadiran mereka dianggap bisa mendorong gairah startup lain untuk listing.

Hasan menerangkan, mereka telah bertemu secara intensif dengan para stakeholder unicorn untuk berdiskusi tentang hal apa saja yang menjadi ganjalan. Permintaan pertama adalah keinginan untuk masuk ke papan utama karena memberikan lebih banyak nilai tambah untuk para investornya, ketimbang papan pengembangan atau akselerasi.

Hal ini memang masuk akal melihat valuasi masing-masing perusahaan layak untuk disejajarkan dengan perusahaan terbuka dengan kapitalisasi besar di Indonesia.

Sumber: Tokopedia
Sumber: Tokopedia

Untuk itu, BEI tengah memfinalisasi perubahan peraturan nomor I-A, nantinya aturan ini akan mengakomodasi berbagai karakteristik emiten, termasuk perusahaan teknologi untuk IPO. “Kita sih benar-benar ingin segera [aturan diberlakukan], tapi sekarang sedang proses pembahasan agar mendapat persetujuan dari OJK.”

Menurut aturan bursa yang berlaku saat ini, ada kewajiban perusahaan yang berniat masuk ke papan utama adalah memiliki tangible assets (aset yang berwujud bersih). Sementara itu, karakteristik dari startup adalah kepemilikan intangible assets yang lebih besar dari tangible assets. Maka dari itu bursa akan memberikan aspek pengukuran lainnya, seperti pendapatan dan market utilisasi.

“Kami tidak memungkiri kenyataan dulu belum terakomodir untuk perusahaan seperti mereka yang pengembangan strateginya berbeda dengan perusahaan pada umumnya.”

Hal kedua yang menjadi perhatian dan sudah disiapkan bursa adalah klasifikasi sub-sektor yang sesuai dengan bisnis dari para unicorn. Pihak bursa meluncurkan IDX Industrial Classification (IDX-IC) pada 25 Januari lalu. Klasifikasi ini mengubah klasifikasi bursa yang dipakai sebelumnya sejak 1996, yakni Jakarta Stock Industrial Classification (JASICA). Proses transisi dilaksanakan selama tiga bulan.

IDX-IC menggunakan metode pengelompokkan berdasarkan eksposur pasar atas barang atau jasa akhir yang digunakan perusahaan tercatat, bertujuan untuk memberikan panduan bagi para pengguna terkait kelompok perusahaan dengan eksposur pasar yang sejenis.

Pembagiannya lebih mendetail dalam empat tingkat, yakni sektor, subsektor, industri, dan subindustri. Adapun JASICA selama ini mengelompokkan emiten per sektor berdasarkan prinsip aktivitas ekonomi, sehingga pembagiannya hanya dua tingkat, yakni sektor dan subsektor.

Hasan menerangkan, IDX-IC menggunakan benchmark yang dipakai bursa global, termasuk mirip dengan indeks-indeks yang diterbitkan pihak swasta seperti Bloomberg.

Investor global akan lebih senang kalau saham yang mereka tanamkan untuk perusahaan dapat dibandingkan dengan kelompok industri sejenis di negara lain. Ketika dibandingkan berdasarkan sektornya jadi lebih apple-to-apple untuk melihat pertumbuhan atau kinerja dari peer-nya.

“Sehingga sekarang jadi lebih comparable. Perusahaan yang sudah listed juga dapat manfaatnya karena tadinya masuk kategori yang umum, ada yang masuk ke jasa atau trading, sekarang sudah ada subsektor sport hingga entertainment yang lebih cocok di bidangnya.”

Permintaan terakhir terkait potensi penerapan beberapa aturan, seperti hak khusus para founder melakukan dual class share dengan cara memberikan bobot pemungutan suara (vote) yang berbeda antara pemegang saham pendiri dan pemegang saham publik. Lalu penerapan skema multiple voting share atau satu saham milik founder punya memiliki hak yang lebih besar dari saham biasa dalam hal pengambilan keputusan.

Saptono menambahkan, dalam menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah ini, BEI tidak hanya fokus meningkatkan sisi supply, tapi juga dari demand investasi dari para sophisticated investor untuk perusahaan-perusahaan teknologi, seperti modal ventura, private equity, maupun investor lainnya dengan melakukan engagement dan mengajak mereka masuk ke pasar modal Indonesia.

Dual listing

Dual listing bukan hal baru di dunia bursa global, namun di Indonesia strategi ini jarang dipilih kebanyakan perusahaan. Perusahaan teknologi global, seperti Alibaba dan Sea Group, memilih bursa Amerika Serikat karena di sana adalah pasar saham terbesar di dunia. NYSE (New York Stock Exchange) adalah yang terbesar, disusul NASDAQ yang komposisinya dihuni perusahaan teknologi.

Di NYSE misalnya, jutaan saham dapat berpindah tangan antara pembeli dan penjual per detiknya. Karena volume pertukaran yang tinggi, maka relatif mudah proses transaksinya. Dengan kata lain pasar saham A.S sangat likuid dengan biaya transaksi yang rendah.

Sejauh ini perusahaan lokal yang melantai di bursa global masih bisa dihitung jari. Mengutip dari Bisnis.com, sejumlah BUMN yang melakukan dual listing ada Indosat, Telkom Indonesia, Aneka Tambang, dan Timah. Hanya Telkom dan Antam yang masih melakukan strategi ini sampai sekarang.

Telkom sudah tercatat di NYSE sejak 25 tahun lalu. Perjalanannya tidak selalu mulus. Mereka sempat terancam delisting karena tidak dapat memenuhi batas akhir penyampaian audit laporan keuangan tahun 2002.

Head of Research Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) Suria Dharma berpendapat dual listing punya dampak positif bagi perusahaan pada umumnya karena bisa memiliki akses ke sumber pendanaan yang lebih besar. Meskipun demikian, di balik itu ada harga yang harus dibayar, yakni peraturan dan pelaporannya seringkali lebih ketat daripada di dalam negeri.

Sementara bagi unicorn, karena mereka diprediksi punya kapitalisasi pasar yang besar, skema dual listing ini diperkirakan membuat potensi penyebaran ke calon investor juga jauh lebih besar. Alhasil dana segar yang bisa diraup lebih besar.

Dia menggambarkan pergerakan harga saham bagi perusahaan yang dual listing itu saling menyesuaikan satu sama lain. “Dulu seringkali mengikuti harga di luar negeri, tapi sekarang malah kebalikannya lebih sering mengikuti harga di Indonesia. Mungkin karena semakin banyak info yang lebih dahulu diketahui investor di Indonesia.”

Willson menambahkan, dual listing yang akan dilakukan unicorn lokal dapat menggabungkan dua hal yang terbaik, masuk ke bursa AS dan lokal. “Ini berhubungan dengan nasionalisme. Kalau bisa dual, tentu pasar lokal akan lebih bergairah. Harus ke AS karena di sana capital market-nya besar sekali, jadi ini menggabungkan the best of both.”


Gambar header: Depositphotos.com

Tren Konsolidasi Ekosistem Startup Indonesia Sepanjang Tahun 2020

Berdasarkan kaleidoskop ekosistem startup Indonesia 2020, sepanjang tahun lalu tercatat 13 aksi korporasi dalam bentuk merger and acquisition (M&A). Sebagian besar akuisisi dilakukan untuk memperkuat atau menambah model bisnis yang dimiliki oleh startup terkait. Misalnya saat platform agregator logistik Shipper mengakuisisi Porter dan Pakde dibarengi dengan inisiatif perusahaan memperluas cakupan bisnis ke pergudangan dan fulfillment. Belum lagi soal rumor yang santer beredar, terkait rencana merger antara Gojek dan Tokopedia.

Di tahun 2021, banyak pihak mengatakan tren konsolidasi bakal makin diprioritaskan oleh para startup. Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dalam kesempatan wawancara bersama DailySocial mengatakan, “Konsolidasi akan banyak lagi di tahun ini. Semakin segmented pasar, kita akan melihat banyak orang mengerjakan hal berbeda-beda. Konsepnya seperti ini, kalau ada satu startup ditambah satu hasilnya bisa lebih dari dua, dalam artian bisa lebih efisiensi dan memperbesar peluang, maka konsolidasi sangat memungkinkan untuk membuat lebih powerful.”

Bagi startup yang sudah besar, misalnya di level unicorn, konsolidasi juga bisa dipandang sebagai strategi untuk memperluas cakupan model bisnis – semua ingin menjadi super app. Pilihannya memang ada dua, mereka bisa saja mengembangkan layanan serupa di internal. Namun beberapa tahun belakang tampaknya pola pikirnya mulai bergeser ke arah konsolidasi. Seperti yang dilakukan oleh Gojek yang beberapa tahun terakhir sibuk melakukan akuisisi, totalnya sampai 13 startup termasuk yang paling baru pemimpin bisnis point-of-sales lokal, Moka.

Ada banyak variabel penentu, namun yang paling diperhitungkan terkait biaya. Membuat semuanya dari baru, selain harus menyiapkan semua dari nol (tim, infrastruktur, pengetahuan dll), perusahaan dihadapkan dengan tantangan untuk melakukan edukasi pasar, akuisisi pengguna, bahkan melawan pesaingnya. Akuisisi bisa saja bernilai sama dalam hitung-hitungan tersebut, namun dengan tempo yang jauh lebih singkat. Contohnya kolaborasi cepat yang dilakukan Gojek dan Moka melahirkan GoStore pasca proses akuisisi rampung.

draft_konsolasi_startup-01

Peluang kolaborasi juga makin luas cakupannya, tidak hanya antarpemain di segmen pasar yang sama. Hal ini diceritakan oleh Co-Founder & CEO Mekari Suwandi Soh, bisnisnya adalah layanan SaaS untuk UKM dan korporasi.  Ia mengatakan, sepanjang 2020 banyak sekali kesempatan kemitraan yang mendekat. Kolaborasinya juga tidak hanya sekadar membahas integrasi produk lewat API, tapi meliputi proses bisnis, sampai strategi go-to-market. Beberapa perusahaan yang menawarkan kerja sama pun beragam, termasuk perbankan dan asuransi. “Jadi 2021 ke depan itu harusnya makin banyak opportunity untuk kolaborasi,” ujar Suwandi.

Lebarkan bisnis

Di sisi startup, kebanyakan memang cukup terbuka untuk menjajaki kolaborasi mutual. Misalnya disampaikan oleh perwakilan OVO, “Kami selalu terbuka untuk melakukan win-win collaboration. Kesediaan kami untuk berkolaborasi telah menjadi ciri khas dari strategi dan pendorong pertumbuhan kami. Kemitraan dengan Grab dan Tokopedia, misalnya, membantu meningkatkan penerimaan OVO secara signifikan dalam perjalanannya menjadi platform [berskala] nasional.”

Baik Tokopedia dan Grab sama-sama memiliki persentase saham di OVO. Dan untuk memperkuat inti bisnisnya, OVO sendiri juga sempat melakukan akuisisi terhadap startup fintech lending Taralite dan fintech investment Brareksa. Narasumber kami tersebut juga mengatakan, dengan misi kolaborasi yang digenggam, secara sistem OVO juga didesain untuk mampu menciptakan interoperabilitas untuk membantu mitra strategis terhubung ke dalam ekosistem aplikasinya.

Hal serupa juga dikatakan oleh CMO Halodoc Dionisius Nathaniel, di perusahaannya peluang kolaborasi adalah sesuatu yang dijalakan terus menerus. Fokusnya bukan ke siapanya, tapi lebih ke sinergi apa yang dapat mendukung vii masing-masing. Halodoc sendiri saat ini juga telah terintegrasi ke super app Gojek, diawali dengan investasi yang diberikan decacorn tersebut dalam seri A pada tahun 2016.

Konsolidasi juga tidak hanya berbicara antara startup dengan startup. Lebih dari itu, saat ini tidak jarang korporasi tertarik untuk melakukan sinergi dengan startup demi mendapatkan percepatan inovasi bisnis. Di sisi korporasi, corporate venture capital (CVC) menjadi strategi yang sejauh ini paling ampuh digunakan untuk menjaring kandidat startup potensial. Salah satunya dilakukan oleh MDI Ventures, CVC di bawah naungan Telkom Group yang kini diberi mandat untuk memperlebar jangkau integrasi, tidak hanya ke perusahaan induknya tapi juga ke perusahaan lain di lingkungan BUMN.

Kepada DailySocial, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, “Kami memiliki dua KPI utama yang terukur, yakni menciptakan valuation growth dari investasi yang diberikan dan men-deliver sinergi dengan Telkom dan perusahaan BUMN lainnya. Tugas kami memastikan startup terkait sudah terbukti, misalnya terkait market fit dan unit economic, sehingga ketika di-plug in ke korporasi dapat memberikan nilai lebih kepada masing-masing. Startup butuh kapital dan pasar, korporasi punya itu. Sementara korporasi membutuhkan inovasi digital, startup memiliki itu.”

MDI Ventures banyak memberikan pendanaan kepada startup later stage, seri B ke atas. Menurutnya ini juga menjadi proven layer untuk memastikan startup tersebut memang sudah benar-benar matang. Terkait konsolidasi startup dengan BUMN, ia juga bercerita tentang inisiatif “ecosystem building” yang digarap bersama CVC BUMN lainnya. Pada dasarnya ini adalah sebuah working group untuk mendorong digitalisasi di beberapa sektor strategis, mulai dari kesehatan, pertanian, dan logistik. Serta menjembatani inovasi potensial dengan perusahaan di lingkungan BUMN.

Dorongan exit

Golden Gate Ventures dalam laporannya berjudul “Southeast Asia Exit Landscape: A New Frontier” mengatakan, bahwa kematangan ekosistem startup di Asia Tenggara juga akan berimplikasi pada meningkatnya jumlah exit. Dorongan pemain besar regional untuk melakukan akuisisi membuat M&A jadi opsi keberhasilan exit yang akan banyak dicapai. Laporan tersebut dibuat sebelum pandemi melanda, namun dari sinyal yang diberikan pasar, justru banyak terjadi percepatan.

draft_konsolasi_startup-02

Jika ditelisik lebih dalam, M&A menjadi jalur exit ideal untuk portofolio yang tengah dalam tahap pertumbuhan (maksimal dengan valuasi setara centaur), sementara untuk startup yang sudah mapan IPO tetap jadi jalur yang terus diupayakan. Beberapa unicorn lokal sudah menggaungkan rencana untuk melantai di bursa dalam waktu dekat. Menanggapi ini Willson juga mengatakan bahwa memang sudah saatnya para startup di Indonesia memperhitungkan IPO sebagai jalur exit mereka.

“Ada pandemi ataupun tidak, IPO memang sudah waktunya. Contohnya, Tokopedia sudah 11 tahun, Traveloka 8 tahun dan lain-lain. Selain itu monetisasi sudah  mulai clear, banyak yang sudah mulai profitable, banyak yang makin jelas roadmap-nya, jadi tinggal bagaimana cara IPO-nya. Tapi karena pandemi, pemerintah banyak mengeluarkan stimulus. Khususnya di US, mereka mulai cetak uang, maka nilai uang jadi turun. Dan membuat public market semakin liquid, makanya semua stock market lagi hijau semua, masih murah melebihi tahun 2008. Jadi membuat kesempatan untuk IPO lebih dipercepat,” jelas Willson.

Untuk persiapan IPO, konsolidasi juga dapat memiliki arti. Pertama adalah untuk meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri. Kedua, untuk mempersempit peluang persaingan pasar – terlebih jika kedua perusahaan dapat saling memperkuat lini bisnisnya. Dan yang ketiga, untuk meningkatkan kepercayaan publik terkait kekuatan bisnisnya. Belum banyak contoh startup melantai di papan pengembangan, menjadi penting untuk debutnya nanti benar-benar memberikan pengalaman terbaik bagi ekosistem.


Gambar Header: Depositphotos.com

EV Growth Persiapkan “Fund” Kedua Tahun Ini

EV Growth, joint venture antara East Ventures, SMDV, dan Yahoo! Japan Capital, mengungkapkan sedang mempersiapkan fund kedua yang akan dirilis pada tahun ini. Saat ini sudah sedang dalam persiapan dan mendapat komitmen dari jajaran LP.

“Sedang dalam persiapan, sudah ada percakapan, komitmen sudah masuk, tapi belum di-launch, kemungkinan tahun ini,” ucap Managing Partner EV Growth dan Founding Partner East Ventures Willson Cuaca kepada DailySocial, Rabu (6/1).

Willson juga belum bersedia merinci target dana untuk putaran kedua ini. EV Growth mengumumkan fund pertama dengan nilai $250 juta (hard cap) yang diumumkan pada Desember 2019. Angka ini melebihi target awal $150 juta. Sejumlah LP yang bergabung adalah Temasek dan beberapa perusahaan keluarga di kawasan Asia.

Dana investasi tersebut sudah dikucurkan ke berbagai investasi baru dan follow on sepanjang tahun lalu. Misalnya, Waresix dalam pendanaan seri A dan B, KoinWorks untuk pendanaan lanjutan, Traveloka dengan total perolehan dana $250 juta, dan yang teranyar Bibit baru diumumkan kemarin, (5/1).

Rencana tahun ini

(Ki-ka) Mulyono Xu, David Fernando Audy, dan Pascal Christian-Sarana / EV Growth
(Ki-ka) Mulyono Xu, David Fernando Audy, dan Pascal Christian-Sarana / EV Growth

Willson melanjutkan, pada tahun ini EV Growth tetap akan memfokuskan diri sebagai VC yang bermain ke pendanaan tahap lanjut (late stage) seri B ke atas untuk startup Indonesia dan Asia Tenggara.

Sejalan dengan pandemi yang masih berlanjut, terlebih proses vaksinasi akan memakan waktu lebih dari setahun, EV Growth akan terus berinvestasi ke startup-startup yang bisa membawa dampak positif ke ekonomi negara. Terlebih lagi, ia menilai ekosistem startup di Indonesia kini sudah jauh lebih matang dari sebelumnya.

Oleh karena itu pula, kini EV Growth memperkuat tim dengan merekrut lebih banyak talenta dari multi industri yang memiliki skill set mumpuni agar mendapat lebih banyak perspektif. Bersamaan dengan itu, EV Growth mengumumkan tiga talenta profesional. Mereka adalah David Fernando Audy sebagai Operating Partner, Mulyono Xu dan Pascal Christian-Sarana, keduanya sebagai VP of Investment.

David memiliki 18 tahun pengalaman sebagai eksekutif di industri konten dan media. Sebelumnya ia adalah CEO PT Media Nusantara Citra (MNCN). Saat ini, ia merupakan Senior Advisor untuk ThreeBody Capital, dana investasi berbasis di Inggris.

Selanjutnya, Mulyono yang sebelumnya adalah Managing Director BAce Capital. Ia sempat memimpin tiga kesepakatan pendanaan seri A dan beberapa kesepakatan pendanaan tahap lebih awal di Asia Tenggara.

Mulyono pernah terlibat dalam sebagian besar aksi merger, akuisisi, dan kemitraan strategis Alibaba di Asia Tenggara, termasuk Lazada, Tokopedia, dan eWTP. Ia kemudian dipercaya menjadi Country Manager Taobao Malaysia dan mengisi posisi C-level di Lazada Indonesia.

Terakhir, Pascal memiliki tujuh tahun pengalaman mengelola kesepakatan bisnis-lintas negara, investment structuring, dan merger/akuisisi. Sebelum bergabung di EV Growth, dia menempati posisi Direktur Rocket Internet dengan fokus memimpin investasi proptech di Indonesia.

“Kami menyambut David, Mulyono, dan Pascal sebagai anggota baru di tim EV Growth. Mereka membawa pengalaman yang beragam untuk melengkapi tim kami. Ketiganya berbasis di Jakarta dan akan bekerja berdampingan dengan para founder yang berbasis di Indonesia,” ujar Willson dalam keterangan resmi.

Desty Secures Seed Funding from East Ventures, Developing Services to Support Social Commerce

Social commerce infrastructure provider startup Desty announced an undisclosed seed funding from East Ventures. The fund will be used for product development and boost user acquisition.

Desty was founded in October 2020. It is a digital platform that helps content creators, influencers, and merchants on social media create online destinations to market, sell their products and content.

Desty’s CEO and Founder, Bill Wang explained, Desty was designed in a challenging condition, but he believes that digital acceleration provides opportunities for growth. “Desty is here as a local, simple, and free solution for online businesses to create landing pages and build their own online brand in just minutes,” he said in an official statement, Tuesday (12/1).

East Ventures’ Co-Founder and Managing Partner Willson Cuaca added, the number of online businessmen in Indonesia has grown rapidly since last year because they are shifting to open online stores. He sees that Desty’s team, which combines global and local expertise, is able to create a product that can draw the attention of thousands of users, just a few weeks after being launched.

“We are very pleased to work with Desty in helping millions of online merchants and content creators in Indonesia integrate their businesses across various e-commerce and social media platforms,” ​​Willson added.

Desty has two products, Desty Page and Desty Store. Desty Page is a landing page provider service that is optimized for links on social media accounts, especially Instagram – the concept is similar to Linktree or Oneblink developed by MTARGET. Meanwhile, Desty Store provides a platform to easily open an online store, as a complement to the marketplace.

Despite the early stage, Desty is said to have succeeded in attracting thousands of users, including online brands (Alowalo, Babycare, Notbad), content creators (Mindblowon Studio/Tahilalat), and influencers from the culinary, travel, lifestyle and fashion industries. The company has integrated with several important partners to add payment and logistics features to the Desty Store platform.

“In addition to online merchants, Desty also used by various users to increase engagement with their followers. We also provide our users with the best features, from customizable templates to comprehensive analysis tools.”

Bill said that his team will use this seed funding to accelerate product development and boost user acquisition. He targets Desty to be able to attract 100 thousand users by the first half of next year.

Bill Wang founded Desty with Eric Nathanael. Both have enough experience in local and global companies, from the e-commerce industry to B2B to telecommunications. Bill previously worked for 17 years at Alibaba, he was involved in the journey of the technology giant to evolve into AliExpress.

Social commerce momentum

According to the Econsultancy report with Magento and Hootsuite in October 2019 entitled “The State of Social Commerce in Southeast Asia”, the social commerce industry is projected to grow significantly. Southeast Asia has more than 350 million internet users and 90% of them are connected to smartphones, as a result this opportunity is very promising to work on.

The pie has grown significantly during the pandemic and has been previously covered by DailySocial.

In Indonesia, these players offer a variety of simple technology solutions that make it easier for sellers to enter the digital realm. These players are Woobiz, TapTalk.io, Storie, Super, Chilibeli, Halosis.

In fact, Moka released the GoStore which makes it easy for merchants to create online shop sites. Before investing in Desty, East Ventures also invested in a social commerce startup called KitaBeli last August.

Another player, Kata.ai, a conversational technology platform powered by AI and NLP, released a dedicated social commerce platform and manages a business called QIOS. Through this platform, MSME players can create virtual assistants via WhatsApp to serve inquiries, payments, and deliveries.

This platform is integrated with e-wallets (OVO, DANA, LinkAja), and logistics services (GoSend and GrabExpress). “Kata.ai is an enabler to help players in this industry be more thriving with intelligent technology,” Kata.ai’s CEO Irzan Raditya said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Desty Kantongi Pendanaan Awal dari East Ventures, Kembangkan Layanan Pendukung “Social Commerce”

Startup penyedia infrastruktur social commerce Desty mengumumkan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dari East Ventures. Dana akan digunakan untuk pengembangan produk dan menggenjot akuisisi pengguna.

Desty baru didirikan pada Oktober 2020. Mereka adalah platform digital yang membantu kreator konten, influencers, dan pedagang di media sosial membuat destinasi online untuk memasarkan, menjual produk, dan konten mereka.

CEO dan Founder Desty Bill Wang menerangkan, Desty dirintis dalam kondisi pandemi yang menantang, namun ia percaya bahwa akselerasi digital memberikan kesempatan untuk berkembang. “Desty hadir sebagai solusi lokal, sederhana, dan gratis bagi bisnis online untuk membuat landing pages serta membangun online brand sendiri hanya dalam hitungan menit,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (1/12).

Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, dalam setahun terakhir jumlah pebisnis online di Indonesia tumbuh pesat karena berbondong-bondong membuka toko online. Ia melihat, tim Desty, yang menggabungkan keahlian global dan lokal, mampu membuat sebuah produk yang mampu menarik perhatian ribuan pengguna, hanya dalam beberapa minggu setelah diluncurkan.

“Kami sangat senang untuk bekerja sama dengan Desty dalam membantu jutaan pedagang online dan kreator konten di Indonesia mengintegrasikan bisnis mereka lintas berbagai platform e-commerce dan media sosial,” imbuh Willson.

Desty memiliki dua produk, yaitu Desty Page dan Desty Store. Desty Page adalah layanan penyedia landing page yang dioptimasi untuk tautan di akun media sosial, khususnya Instagram — konsepnya mirip Linktree atau Oneblink yang dikembangkan MTARGET. Sementara Desty Store menyediakan platform untuk buka toko online dengan mudah, sebagai pelengkap marketplace.

Meski baru seumur jagung, diklaim Desty berhasil menggaet ribuan pengguna, termasuk online brands (Alowalo, Babycare, Notbad), kreator konten (Mindblowon Studio/Tahilalat), dan influencer dari industri kuliner, travel, gaya hidup, dan fesyen. Perusahaan telah terintegrasi dengan beberapa rekanan penting untuk menambahkan fitur pembayaran dan logistik di dalam platform Desty Store.

“Tidak hanya pedagang online, Desty digunakan oleh beragam pengguna untuk meningkatkan engagement dengan followers mereka. Kami juga menyediakan fitur terbaik untuk pengguna, mulai dari customizable templates hingga alat analisis yang lengkap.”

Bill menuturkan, pihaknya akan menggunakan dana tahap awal ini untuk mempercepat pengembangan produk dan menggenjot akuisisi pengguna. Ia menargetkan Desty mampu menarik 100 ribu pengguna hingga semester pertama tahun depan.

Bill Wang merintis Desty bersama Eric Natanael. Keduanya memiliki pengalaman panjang di perusahaan lokal dan global, mulai dari industri e-commerce, B2B, hingga telekomunikasi. Bill sebelumnya bekerja selama 17 tahun di Alibaba, ia terlibat dalam perjalanan raksasa teknologi tersebut berevolusi menjadi AliExpress.

Momentum social commerce

Menurut laporan Econsultancy bersama Magento dan Hootsuite pada bulan Oktober 2019 berjudul “The State of Social Commerce in Southeast Asia”, industri social commerce diproyeksikan akan bertumbuh signifikan. Asia Tenggara memiliki lebih dari 350 juta pengguna internet dan 90% dari mereka sudah terhubung dengan smartphone, alhasil kesempatan ini begitu menjanjikan untuk digarap.

Kue tersebut semakin signifikan pertumbuhannya selama pandemi dan sudah dibahas sebelumnya oleh DailySocial.

Di Indonesia, para pemain ini menawarkan berbagai solusi teknologi simpel yang memudahkan penjual masuk ke ranah digital. Pemain-pemain tersebut adalah Woobiz, TapTalk.io, Storie, Super, Chilibeli, Halosis.

Bahkan, Moka merilis GoStore yang memudahkan merchant membuat situs toko online. Sebelum berinvestasi ke Desty, East Ventures juga berinvestasi ke startup social commerce bernama KitaBeli pada Agustus kemarin.

Pemain lainnya, Kata.ai, platform teknologi percakapan bertenaga AI dan NLP, merilis platform khusus social commerce dan mengelola bisnis bernama QIOS. Melalui platform ini, pelaku UMKM bisa membuat asisten virtual via WhatsApp untuk melayani pertanyaan, pembayaran, hingga pengiriman.

Platform ini terintegrasi dengan e-wallet (OVO, DANA, LinkAja), dan layanan logistik (GoSend dan GrabExpress). “Kata.ai sebagai enabler untuk membantu para pemain di industri ini bisa lebih thriving dengan adanya teknologi kecerdasan,” kata CEO Kata.ai Irzan Raditya.

Aruna Memperoleh Suntikan Dana Senilai 81 Miliar Rupiah

Aruna berhasil mengamankan pendanaan anyar senilai $5,5 juta atau sekitar 81 miliar Rupiah. Startup bidang kelautan dan perikanan ini memperoleh suntikan modal anyar dari investor-investor mereka terdahulu.

Melalui pernyataan resmi disampaikan bahwa East Ventures, AC Ventures, dan SMDV merupakan nama-nama yang terlibat dalam pendanaan Aruna ini. Dana segar tersebut ditengarai berkat pertumbuhan Aruna yang mencapai 86 kali lipat di tengah pandemi.

“Selama pandemi ini, pendapatan Aruna pada semester I/2020 tumbuh 86 kali dibanding semester I/2019. Aruna adalah salah satu perusahaan yang terdampak positif oleh krisis. Hal ini membuat kami bersemangat,” ucap Co-Founder & Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca.

Alokasi dana

Aruna sudah memiliki sejumlah rencana dalam pemanfaatan dana segar tersebut. Co-Founder & CEO Aruna Farid Naufal Aslam menjelaskan, perluasan ekspansi jadi fokus pertama perusahaan. Aruna sendiri saat ini sudah menggandeng ribuan nelayan di 31 lokasi pesisir dari Sumatera hingga Papua.

Ekspansi yang dimaksud oleh Farid adalah memperbanyak titik-titik penyerapan ikan di dalam satu provinsi. Penambahan jangkauan ke daerah-daerah baru juga dilakukan seperti ke Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Papua.

Farid menyebut dana itu juga akan dipakai untuk menjaring talenta-talenta baru, mengembangkan produk-produk baru termasuk penggunaan Internet of Things (IoT) untuk memperkuat kualitas produk mereka. Yang tak kalah penting Aruna juga mengalokasikan dana anyar itu untuk memperkuat basis komunitas nelayan dan peningkatan produktivitas mereka terhadap kualitas dan standardisasi produk.

“Aruna berencana mendukung usaha pemerataan ekonomi dengan menjangkau lebih banyak titik pesisir di berbagai wilayah Indonesia,” tegas Farid.

Permintaan yang tinggi

Farid menyebut ada sejumlah faktor yang menyebabkan Aruna tumbuh cukup pesat meski di masa pandemi begini. Pertama adalah banyaknya nelayan yang memilih bergabung dengan Aruna. Banyaknya nelayan yang baru bergabung itu tak lepas dari faktor kedua yakni permintaan yang meningkat.

Farid mengakui produk mereka tadinya lebih banyak diserap untuk kebutuhan ekspor. Namun sejak pandemi berlangsung, logistik dan transportasi melemah sehingga memaksa Aruna menengok pasar ritel domestik. Di samping itu ia juga menyebut faktor kenaikan harga produk perikanan di awal tahun.

“Karena permintaan yang tetap besar itu kita menambah daerah aktivitas produksi,” imbuh Farid.

Traveloka Announces New Funding Worth of 3.6 Trillion Rupiah

Traveloka, today (7/28) announced the latest funding worth of US$250 million or equivalent to 3.6 trillion Rupiah. There are no further details on who participated, but EV Growth is one of the previous investors confirmed to be involved in this round. This investment is to focus on build up the company’s balance sheet while strengthening several product lines amid the Covid-19 pandemic.

This funding is previously reported by several media since early July 2020. Rumor has it that some investors, including Siam Commercial Bank, FWD Group, GIC, and East Ventures, mentioned involved in the final stage of negotiations for Traveloka’s follow-on funding. Reuters also says the Qatar Investment Authority (QIA) is leading the current round.

In this round, Traveloka’s valuation is estimated to drop at $2.75 billion (nearly 40 trillion Rupiah). The down round action was taken due to the company’s business struggle by Covid-19 and the declining traction.

“This is a major crisis in the current time, both in terms of finance and humanity. This situation is a form of re-adjustment that forces business people to rethink their plans, strategies, and business models. The travel industry is experiencing hard times that have never happened before, including Traveloka. The management team has made quite difficult efforts, including restructuring and optimization, to minimize the financial risks. We are confident that Traveloka will rise again stronger after going through this crisis,” Willson Cuaca said as Managing Partner EV Growth involved in this round.

Hardships during Covid-19 pandemic

Covid-19 has brought the OTA business experience a difficult challenge. Public transportation freeze, various destinations are closed; transactions declined. For Traveloka and many other OTA players, this has been the worst condition in their history.

Traveloka’s partners in the transportation, accommodation, activities, and restaurant sector also having some difficulty. In terms of transportation, consumer demand dropped dramatically while demand for refunds jumped significantly; the hotel business experienced the lowest occupancy rate ever; lifestyle partners in domestic and regional and restaurant partners must temporarily close their business operations.

“It can’t be denied that Traveloka is very affected by the Covid-19 pandemic. Our business is at its lowest point since we first started. However, we always believe that Traveloka will bounce back with the rapid adjustment of business strategies, working together with industry partners and other stakeholders, and continue to deliver innovative products to users as our main focus,” Traveloka’s Co-founder and CEO, Ferry Unardi said.

Struggling for business sustainability

In order to sustain, Traveloka applied some steps to optimize business, make savings, and refocus to prepare strategies to welcome the new normal. In Indonesia and Vietnam, for example, Traveloka finds the domestic sector, travel or short-range entertainment activities are getting back to normal and restore business, along with the high level of public awareness of pandemics and lifestyle adjustments to the current situation.

Various initiatives were launched to answer consumers’ changing demand, such as the Covid-19 Test service combined with airline tickets, booking hotel vouchers with flexible stays through “Buy Now Stay Later”, the Online Xperience program featuring popular hosts, the Traveloka LIVEstyle live stream program Flash Sale, as well as the Traveloka Clean campaign that allows users to place orders through Traveloka more convenient and secure.

“I am pleased to say that from a business standpoint, we are seeing a gradual recovery in all of our main markets. The Traveloka business in Vietnam has begun to stabilize and is approaching the period before Covid-19, while our business in Thailand is now almost beyond 50% compared to normal situations. “Even though Indonesia and Malaysia are still in the early stages of recovery, both markets continue to show promising momentum with week-to-week progress, especially for the line of accommodation business with the emergence of a short-term vacation stay or staycation,” Ferry added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Umumkan Perolehan Pendanaan Baru 3,6 Triliun Rupiah

Hari ini (28/7) Traveloka mengumumkan perolehan pendanaan baru senilai US$250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Meski tidak disebutkan secara detail siapa saja yang berpartisipasi,  EV Growth adalah salah satu investor terdahulu yang dikonfirmasi terlibat di putaran kali ini. Fokus investasi adalah untuk memperkuat neraca keuangan perusahaan sembari memperkuat beberapa lini produk di tengah pandemi Covid-19 ini.

Perolehan ini sejalan dengan kabar yang diberitakan beberapa media sejak awal Juli 2020 lalu. Sebelumnya dirumorkan sejumlah investor, termasuk Siam Commercial Bank, FWD Group, GIC, dan East Ventures, disebutkan terlibat  negosiasi tahap akhir untuk pendanaan lanjutan Traveloka. Rumor terbaru dari sumber Reuters mengatakan Qatar Investment Authority (QIA) memimpin putaran pendanaan kali ini.

Untuk mendapatkan suntikan dana tersebut, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19 dan mengalami penurunan traksi layanan.

“Ini merupakan krisis besar di generasi saat ini, baik dari sisi keuangan maupun kemanusiaan. Situasi ini merupakan bentuk dari penyesuaian ulang yang memaksa para pelaku bisnis untuk memikirkan kembali rencana, strategi dan model bisnis mereka. Industri perjalanan juga mengalami masa sulit yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk Traveloka. Tim manajemen telah melakukan berbagai upaya sulit namun harus dilakukan, termasuk restrukturisasi dan optimalisasi, untuk meminimalisir risiko keuangan yang timbul. Kami yakin bahwa Traveloka akan kembali bangkit dengan lebih kuat setelah melewati krisis ini,” ungkap Willson Cuaca, Managing Partner EV Growth yang tergabung dalam putaran pendanaan ini.

Akui kesulitan di tengah Covid-19

Covid-19 membuat bisnis OTA mengalami tantangan pelik. Operasional transportasi publik banyak yang dibekukan, berbagai destinasi diliburkan; jelas membuat transaksi terperosok. Bagi Traveloka dan banyak pemain lainnya, ini menjadi kondisi terburuk sepanjang sejarah mereka hidup.

Mitra Traveloka di sektor transportasi, akomodasi, aktivitas, dan restoran juga mengalami rintangan yang berat. Untuk transportasi, permintaan konsumen menurun drastis sementara permintaan pengembalian dana melonjak secara signifikan; hotel mengalami tingkat hunian terendah yang pernah ada; para mitra aktivitas lifestyle di domestik maupun regional dan mitra restoran harus menutup operasional bisnisnya untuk sementara waktu.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa Traveloka sangat terpengaruh dengan pandemi Covid-19. Bisnis kami berada di titik terendah yang belum pernah terjadi sejak kami pertama kali berdiri. Namun, kami selalu percaya bahwa Traveloka akan bangkit kembali dengan adanya penyesuaian strategi bisnis secara cepat, bekerja sama dengan para mitra industri dan para pemangku kepentingan lainnya, serta terus menghadirkan produk-produk inovatif bagi para pengguna yang merupakan fokus utama kami,” ujar Co-founder dan CEO Traveloka, Ferry Unardi.

Merangkak stabilkan bisnis

Demi tetap bertahan, Traveloka menerapkan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk optimalisasi bisnis guna melakukan penghematan serta kembali berfokus untuk menyiapkan strategi dalam menyambut era normal baru. Di Indonesia dan Vietnam misalnya, Traveloka melihat sektor domestik, perjalanan ataupun aktivitas hiburan jarak dekat telah mulai menggeliat dan bangkit kembali, seiring dengan tingginya kesadaran masyarakat akan pandemi dan penyesuaian gaya hidup dengan situasi saat ini.

Berbagai inisiatif diluncurkan untuk memenuhi perubahan kebutuhan konsumen, seperti layanan Covid-19 Test yang digabungkan dengan tiket pesawat, pemesanan voucher hotel dengan periode inap yang fleksibel melalui “Buy Now Stay Later”, program Online Xperience yang menampilkan host ternama, program live stream Traveloka LIVEstyle Flash Sale, serta kampanye Traveloka Clean yang memungkinkan pengguna untuk melakukan pemesanan melalui Traveloka dengan lebih tenang dan aman.

“Saya senang dapat menyampaikan bahwa dari sisi bisnis, kami melihat pemulihan secara bertahap di seluruh pasar utama kami. Bisnis Traveloka di Vietnam telah mulai stabil dan mendekati periode sebelum adanya Covid-19, sementara bisnis kami di Thailand kini hampir melampaui 50% dibandingkan situasi normal. Meskipun Indonesia dan Malaysia masih berada di tahap awal pemulihan, namun kedua pasar ini terus memperlihatkan momentum yang menjanjikan dengan kemajuan dari minggu ke minggu, terutama untuk lini bisnis akomodasi dengan kemunculan tren berlibur jarak dekat atau staycation,” tambah Ferry.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Galang Dana Kelolaan untuk Startup Tahap Awal, Targetkan 1,2 Triliun Rupiah

East Ventures hari ini (25/6) mengumumkan penutupan pertama dari penggalangan dana untuk seed fund terbarunya. Ini jadi dana kelolaan ke-8 yang melibatkan pemodal ventura tersebut, menargetkan menghimpun dana US$88 juta atau setara 1,2 triliun Rupiah. Fokusnya untuk mendanai startup baru yang muncul atau berkembang pasca-lockdown; terbuka untuk semua sektor dengan (salah satunya) mempertimbangkan kualitas founder.

Beberapa institusi finansial telah bergabung sebagai penyuntik dana, di antaranya Pavilion Capital dan Adams Street.

Dari pernyataan yang dikirimkan, perusahaan mengatakan sengaja mempertahankan besaran dana di bawah US$100 juta untuk menjaga fokus pendanaan ke perusahaan tahap awal. Selain itu, besaran tersebut membantu East Ventures untuk lebih cepat mencapai tujuan utama perusahaan yaitu menjadi kelas aset terbaik bagi investornya (limited partner).

“Pandemi ini memberikan kesempatan bagi generasi entrepreneur baru untuk memikirkan permasalahan baru dan mencari solusi yang efisien memanfaatkan teknologi […] Situasi saat ini justru membuktikan hipotesis utama East Ventures, yaitu founder yang hebat selalu menemukan jalan untuk mengembangkan perusahaan mereka, bahkan di hadapan krisis,” sambut Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

“Flywheel Effect”

Di Indonesia, East Ventures percaya dengan keberadaan “flywheel effect”. Roda gila atau flywheel adalah bagian berbentuk roda di dalam mesin yang berfungsi untuk mengkonservasi energi. Konsep yang sama diterapkan oleh East Ventures dalam berinvestasi.

Realisasinya East Ventures bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan termasuk perusahaan lokal, family offices, startup tahap awal, dan startup pada tahap pertumbuhan yang lebih lanjut untuk membangun sebuah flywheel tanpa friksi. Kolaborasi ini melahirkan siklus lengkap di ekosistem startup mulai dari investasi pada tahap awal, menemukan product market fit, value creation, dan scaling, yang diakhiri dengan exit dan reinvestasi.

Terkait krisis yang berdampak langsung kepada ekosistem startup digital, Willson juga memberikan komentar. “Kami sadar bahwa mayoritas CEO perusahaan di portofolio kami belum pernah melalui krisis. Karena itu, kami segera melakukan analisis performa bisnis dengan founder dan CEO dari perusahaan-perusahaan di portofolio kami. Tujuannya bukan menentukan langkah detail yang harus mereka ambil, tetapi untuk memahami dampak krisis terhadap tiap perusahaan.”

Beberapa hal juga disarankan, termasuk menghemat kas, hanya mengubah bisnis inti mereka jika benar-benar dibutuhkan, mempertimbangkan dengan masak sebelum melakukan pivot, dan founder harus tegas dalam mengambil keputusan.