Alodokter Perkenalkan Layanan Apotek Online “Aloshop”

Beberapa waktu lalu, platform healhtech Alodokter memperkenalkan layanan epharmacy terbaru Aloshop yang terintegrasi langsung di aplikasinya. Saat ini baru tersedia di sebagian besar kawasan Jakarta dan Bekasi, tetapi akan diperluas jaringannya secara nasional pada Maret 2021 mendatang.

Menurut informasi yang dibagikan Co-Founder & CEO Alodokter Nathanael Faibis, Aloshop disebut sebagai epharmacy pertama yang berkomitmen penuh untuk bermitra dengan supply chain terpercaya di Indonesia. Aloshop juga menawarkan model bisnis yang sustainable dengan harga produk terjangkau pada kisaran 5%-20% di pasar epharmacy Indonesia.

Dihubungi DailySocial secara terpisah, Presiden Direktur Alodokter Suci Arumsari mengatakan Aloshop hadir untuk memenuhi kebutuhan produk kesehatan kepada 31 juta pengguna Alodokter. Pihaknya akan bekerja sama dengan mitra strategis yang terpercaya dan memiliki reputasi bagus dalam hal penyediaan obat-obatan demi menjamin kualitas dan keaslian produk.

“Saat ini, Aloshop bekerja sama dengan satu mitra strategis yang belum bisa kami ungkap untuk bergabung [di Aloshop]. Ke depannya, kami akan terus evaluasi kebutuhan pengguna kami sehingga bisa bekerja sama dengan mitra terpercaya lainnya,” ujarnya.

Diungkapkan Suci, Alodokter saat ini sedang dalam proses untuk memperkuat jaringan penyedia obat dan produk kesehatan agar penyediaan bisa dilakukan secara efisien. Selain itu, pihaknya juga tengah melakukan integrasi sistem dengan salah satu perusahaan kurir berskala nasional untuk meningkatkan jaringan pengiriman produk di Aloshop.

“Lewat rencana jangka panjang kami dengan mitra strategis, kami berupaya memberikan pelayanan lengkap dan harga terbaik serta mudah diakses oleh pengguna Alodokter. Kami memastikan kerja sama dengan para mitra strategis dapat saling menguntungkan agar masing-masing pihak bisa tumbuh bersama,” ungkapnya.

Melalui aplikasi Alodokter, pengguna dapat bertransaksi di Aloshop, baik menggunakan resep dokter maupun tidak. Untuk pembelian dengan resep dokter, pengguna tentu harus berkonsultasi terlebih dulu dengan dokter melalui aplikasi Alodokter. Hal ini dilakukan Alodokter untuk menjaga keabsahan dan keamanan pada peresepan dan pengobatan.

Suci menyebut bahwa Alodokter telah memiliki tim untuk melakukan kurasi obat-obatan bebas, vitamin, dan suplemen yang tidak memerlukan resep sesuai dengan regulasi pemerintah. Selain itu, Aloshop juga menyediakan obat keras sesuai resep dokter, produk kecantikan dan kesehatan kulit, dan produk untuk kebutuhan ibu dan anak.

“Semua produk yang tersedia di AloShop adalah produk-produk terkurasi yang telah memenuhi standar regulasi pemerintah, seperti yang diatur pada peraturan BPOM No. 8 Tahun 2020,” tambah Suci.

Berdasarkan peringkat Similarweb saat ini, Alodokter masih menduduki peringkat teratas untuk layanan healthtech di Indonesia. Adapun per November 2020, Alodokter telah memperoleh pendanaan seri C senilai $33 juta dari sejumlah investor, seperti MDI Ventures, Sequis, hingga Golden Gate Ventures.

Pertumbuhan healthtech dan epharmacy di masa pandemi

Layanan epharmacy merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam ekosistem healthtech. Dalam kasus ini, layanan epharmacy menjadi strategi yang penting dalam menghubungkan masyarakat terhadap layanan kesehatan dari hulu ke hilir.

Apalagi saat ini akses terhadap kesehatan di Indonesia terbilang masih minim. Dengan kondisi ekonomi saat ini, tidak semua masyarakat mampu memperoleh perawatan dan produk kesehatan yang sama di setiap wilayah.

Di Indonesia, sejumlah pelaku bisnis di industri farmasi sudah mulai mengembangkan platform layanan sejenis sendiri, seperti k24klik yang dimiliki jaringan apotek K24 hingga raksasa farmasi Kalbe melalui platform KALCare.

Adapun di masa pandemi Covid-19, healthtech menjadi salah satu layanan yang memperoleh pertumbuhan signifikan, tidak hanya di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Capaian ini salah satunya tervalidasi dalam laporan terbaru Google, Temasek, dan Bain & Company dalam e-Conomy SEA 2020.

Berdasarkan riset Market Data Forecast, pasar epharmacy di dunia menunjukkan pertumbuhan signifikan dikarenakan kebijakan lockdown. Epharmacy dinilai menjadi opsi yang tepat dan lebih aman demi mengurangi tingkat penyebaran Covid-19. Riset menunjukkan sekitar 30-40 persen pembelian obat atau produk kesehatan telah dilakukan melalui platform digital sejak awal pandemi.

Application Information Will Show Up Here

Flou Jadi Diversifikasi Produk Komputasi Awan TelkomSigma, Rambah Segmen UKM

Awal Desember 2020, TelkomSigma memperkenalkan produk cloud baru bernama “Flou”. Solusi ini disebut sebagai pendekatan baru perusahaan untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha di era digital yang cepat berubah. Adapun, solusi ini sudah dapat digunakan pelanggan sejak pertengahan 2020.

Dalam acara peluncurannya, Direktur Business & Cloud TelkomSigma Tanto Suratno mengatakan bahwa pasar cloud semakin meningkat setiap tahunnya. Di 2020 saja, diestimasi berada di kisaran Rp11 triliun dengan pertumbuhan yang menjanjikan. Ia mengestimasi pasar cloud Indonesia meroket hingga Rp24 triliun di 2021.

Menurutnya, solusi cloud hadir untuk mendisrupsi dan mengakselerasi transformasi digital. Namun, dengan situasi pandemi saat ini, pelaku usaha dituntut untuk beradaptasi cepat terhadap perubahan. “Ke depan, kita bakal melihat ada gelombang disrupsi yang lebih besar dan dahsyat, yakni cloud native computing,” papar Tanto.

Sementara, Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo yang hadir dalam kesempatan sama menilai bahwa kehadiran Flou menjadi momentum tepat di situasi pandemi ini. “Covid-19 menjadi semacam chief transformation officer yang memaksa kita semua untuk bertransformasi. Esensi digital itu adalah bagaimana bisa create value. Makanya, kita harus beradaptasi dengan cara baru karena pasar dan perilaku konsumen cepat berubah,” ujarnya.

Mendorong konsep “cloud native mindset

Ada beberapa elemen yang difokuskan pada Flou, antara lain customer experience, reliability, dan kecepatan. Flou mengutamakan pengalaman yang seamless dengan sistem pembayaran yang fleksibel (pay-as-you go dan subscription). Kemudian, Flou juga menghadirkan kecepatan lewat agile deployment (API ready) dengan performa tinggi untuk segala sektor industri.

Semua elemen tersebut diprioritaskan untuk mendorong konsep cloud native mindset sebagaimana disebutkan Tanto di atas. Menurutnya, struktur traditional monolithic apps yang banyak digunakan pelaku usaha dinilai tidak mampu lagi mengejar dinamika pasar yang cepat berubah. Artinya, konsep ini dapat menghambat upaya untuk bertransformasi digital.

“Lewat Flou, kami ingin bawa konsep cloud native apps untuk memunculkan paradigma baru dan memberikan agility dalam mendukung pembuatan aplikasi, inovasi, dan ide secara cepat. Saat ini semakin banyak generasi terkini yang lahir di era yang akrab atau di mana resource-nya ada di cloud. Mereka ini yang disebut cloud native mindset,” papar Tanto.

Ia menilai mindset tersebut dapat dibangkitkan melalui fitur dan tools yang disediakan Flou. Salah satunya adalah merealisasikan ide menjadi MVP lebih cepat. “Kalaupun ide ini masuk produksi, elasticity bisa lebih besar. Pada tahap ini, pengguna tidak perlu memikirkan bagaimana scale dan resiliency-nya,” tambahnya.

Kendati demikian, Tanto menegaskan bahwa Flou tidak hanya mengakomodasi kebutuhan segmen pasar yang sudah terbiasa menggunakan cloud, tetapi juga pengguna baru secara seamless, baik UKM dan perusahaan berskala besar.

Sementara dari sisi harga, ia mengklaim bahwa solusi Flou mampu meminimalkan biaya operasional. Ia menyadari bahwa umumnya meningkatnya basis pengguna UKM dapat berdampak terhadap kenaikan biaya sewa cloud dan connevtivity.

“Kami memahami bahwa dinamika pasar yang cepat berubah menjadi tantangan bagi pelaku usaha. Karena mereka dituntut untuk agile, kami mengatur pricing sedemikian rupa supaya pelaku usaha dapat menjaga biaya operasional dan tetap tumbuh menikmati profit. Dengan begitu, mereka bisa mengembangkan bisnis dan inovasi ke depan,” tambahnya.

Di segmen ini sebenarnya sudah ada banyak pemain lokal yang jajakan produk infrastruktur cloud. Sebut saja Biznet Gio, Cloud Kilat, Indonesian Cloud, dan masih banyak lagi. Beberapa juga menyajikan varian produk cloud seperti VPS bersamaan dengan solusi hosting konvensional yang masih banyak dipakai usaha kecil karena biaya yang relatif lebih rendah.

Membidik pangsa 3 besar di Asia Tenggara

Saat ini, TelkomSigma mengklaim telah menguasai sebesar 40 persen pangsa pasar data center dengan total akumulasi seluas 11 ribu meter persegi, kapasitas penyimpanan hingga 41 ribu Terabyte (TB), dan lokasi tersebar di sebanyak 16 titik di seluruh Indonesia. Telkom menjamin cakupan Flou yang lebih luas dengan dukungan fasilitas data center dan konektivitas yang dimilikinya.

Dalam kesempatan tersebut, Director of Enterprise & Business Service TelkomSigma Edi Witjara mengatakan bahwa pencapaian tersebut sebetulnya menjadi tantangan bagi perusahaan untuk mempertahankan posisinya sebagai penyedia solusi ICT di segmen enterprise.

Selain itu, pengembangan Flou dinilai harus dapat menjadi pemacu untuk melahirkan peluang dan model bisnis baru. Menurut catatannya, ungkap Edi, segmen korporasi menyumbang lebih dari 50 persen terhadap pendapatan perusahaan, diikuti segmen pemerintahan (23%), dan SME (21%).

“Cita-cita TelkomSigma dalam 3-5 tahun mendatang adalah menjadi top 3 di Asia Tenggara. Kami yakin peluang ini dapat diupayakan, salah satunya lewat kehadiran Flou. Kami harap, Flou dapat mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha di era sekarang yang menginginkan customer experience, realiability, dan agility yang cepat.”

Telkom Perkuat Bisnis Digital Internasional Lewat Aplikasi Transportasi Online “MyTimor”

Telkom Group mulai gencar mendorong bisnis digital di luar negeri. Dimulai dari Telkomcel, operator telekomunikasi berbasis di Timor Leste ini merambah layanan transportasi online bernama MyTimor. Aplikasi tersebut sudah dapat digunakan masyarakat setempat sejak November dan resmi meluncur pada awal Desember 2020.

MyTimor saat ini baru menyediakan layanan pemesanan transportasi (motor dan taksi) maupun pengiriman barang secara online. Telkomcel mengklaim sebagai operator telekomunikasi pertama di Timor Leste yang meluncurkan aplikasi ride hailing.

Dalam keterangan resminya saat itu, Telkomcel menyebutkan bahwa aplikasi MyTimor hadir untuk mengakselerasi adopsi teknologi digital. Terlebih Timor Leste sebagai negara berkembang kini juga memiliki porsi generasi milenial yang semakin aktif.

DailySocial menghubungi CEO Telkomcel Yogi Rizkian Bahar secara terpisah terkait pengembangan MyTimor dan rencana selanjutnya. Menurut Yogi, awalnya perusahaan ingin berkolaborasi untuk mengembangkan MyTimor. Namun, perusahaan memutuskan membangun aplikasi sendiri dari awal.

“Cukup seru journey-nya. Kami sempat melakukan pitching di India, tetapi akhirnya kami menggunakan developer internal untuk membangun aplikasinya.
Sejauh ini, traction-nya sangat bagus. Sudah mulai banyak driver dan pengguna yang mendaftar dan mencoba layanannya,” ungkapnya.

Mengenai sistem tarif, VP Finance & Human Capital Telkomcel Dedy Edward menambahkan bahwa hal tersebut sudah sesuai kesepakatan dengan mitra lokal. Pihaknya tidak mengelaborasi lebih jauh mengenai harga, tetapi saat ini MyTimor telah bermitra dengan Corrotrans selaku pemegang lisensi penyelenggaraan transportasi di Timor Leste.

“Saat ini, kami bermitra dengan Corrotrans dan koperasi taksi di Timor Leste (taksi kuning). Kami akan mengembangkan [kemitraan] sesuai dengan pengembangan pasar dan produk dari aplikasi kami,” ujarnya dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Telkomcel beroperasi di bawah naungan Telkom Indonesia International (Telin). Telin merupakan anak usaha Telkom Group yang berdiri sejak 2007. Saat ini Telin beroperasi di sejumlah negara, antara lain Amerika Serikat (AS), Australia, Hong Kong, Malaysia, Macau, Myanmar, Singapura, dan Taiwan. Tidak hanya telekomunikasi, perusahaan juga menawarkan solusi IT untuk segmen enterprise dan retail.

Ekspansi MyFood di kuartal pertama 2021

Lebih lanjut, Yogi mengaku pihaknya telah menyiapkan sejumlah digital solution baru yang akan diluncurkan di 2021. Hal ini mengindikasikan bahwa Telkomcel akan fokus mengembangkan ekosistem layanan MyTimor sebagaimana model serupa telah dilakukan oleh pemain di Indonesia, yakni Gojek dan Grab.

“Rencananya, kami ingin meluncurkan layanan MyFood yang setara dengan GoFood milik Gojek di Februari 2021. Ini akan menjadi upaya untuk bangun ekosistem secara keseluruhan,” jelas Yogi.

Selain itu, Telkomcel juga akan memperkuat ekosistem dengan Tpay sebagai payment point untuk mendorong pembayaran non-tunai. Tpay disebut telah meluncur sejak 2020 dan mendapat lisensi pembayaran digital di Timor Leste. Menurut Yogi, positioning Tpay serupa dengan LinkAja yang dapat digunakan masyarakat dari berbagai operator.

Selain MyTimor, ungkapnya, Telkomcel juga telah memiliki bisnis digital di kategori aplikasi streaming musik Musica yang disebut telah beroperasi di Myanmar dan memiliki kantor cabang di sana.

Menurutnya, model bisnis MyTimor atau Musica bisa saja diduplikasi sebagai business case di negara lain di mana Telin beroperasi. “Khusus untuk MyTimor, ada regulator yang terlibat sehingga business case akan dilihat dari masing-masing negara untuk assessment lebih lanjut. Ini akan menjadi new business model ke depan,” paparnya.

Sinergi kapabilitas dalam dan luar negeri

Operator telekomunikasi selama satu dekade terakhir memang sulit untuk bertransformasi, terutama setelah ramainya penggunaan platform digital asing alias OTT di Indonesia. Pelaku industri memang telah mencoba beradaptasi dengan menjajaki berbagai model bisnis digital, tetapi tidak sukses.

Telkom telah menutup layanan marketplace Blanja.com, XL Axiata telah menjual Elevenia, dan Indosat menghentikan Cipika. Ini menjadi satu contoh bahwa model bisnis e-commerce tidak sustainable bagi operator.

Salah satu tantangan mengapa model ini tidak sukses adalah operator telekomunikasi tidak memiliki kapabilitas atau ekspertis di bidang digital sehingga layanan tersebut tidak mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap kinerja. Upaya ‘bakar uang’ untuk mengejar traksi tidak dapat dilakukan terus-menerus mengingat industri telekomunikasi sangat padat investasi.

Belajar dari pengalamannya menjalankan Blanja.com dan T-cash (sekarang LinkAja), Telkom mulai bermanuver menggenjot bisnis digital dengan strategi non-organik. Upaya ini kian agresif dalam beberapa tahun terakhir jika melihat langkah solid Telkom membentuk MDI Ventures dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) sebagai perpanjangan investasinya.

MDI Ventures tercatat telah berinvestasi di 44 startup yang tersebar di 12 negara. Bahkan salah satu fokusnya ke depan adalah melakukan sinergi portofolio dengan anak usaha BUMN lainnya. Leverage teknologi dan inovasi berarti tak hanya akan terbatas antara Telkom dan portofolionya saja.

DailySocial sempat mengontak Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li dan CEO Telkomsel Mitra Inovasi Andi Kristanto untuk memastikan apakah sinergi tersebut juga berlaku terhadap bisnis Telin di berbagai negara.

Kenneth hanya menyebut ada beberapa portofolio MDI Ventures di AS dan Singapura yang disinergikan ke anak usaha Telin, tetapi tidak ada informasi lebih lanjut yang dapat dibagikan. Sementara, hal ini berbeda dengan TMI. “Untuk TMI, fokusnya untuk di Telkomsel saja,” tegas Andi dalam pesan singkat.

Langkah besar lainnya adalah Telkom menunjuk mantan presiden Bukalapak Fajrin Rasyid sebagai Direktur Digital Business per Juni 2020. Fajrid kembali ditunjuk sebagai Komisaris Utama MDI Ventures dan penasihat Centauri Fund pada Agustus 2020. Kemudian, pada November 2020, Telkom melalui anak usahanya Telkomsel resmi menyuntik investasi ke Gojek dengan nilai $150 juta (setara Rp2,1 triliun).

Dengan jaringan portofolio yang dimilikinya lewat MDI Ventures, Telkom memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk meningkatkan posisinya sebagai operator telekomunikasi digital (digico) tak hanya dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Ini dapat mempermudah transfer knowledge ke bisnis Telkom di sejumlah negara.

 

Perkuat Jaringan Merchant F&B, SiCepat Berinvestasi ke DigiResto

PT SiCepat Ekspres Indonesia (SiCepat) resmi mengumumkan investasinya di platform DigiResto di bawah naungan PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS). Perusahaan mengumumkan penandatanganan conditional share subscription agreement (CSSA) alias perjanjian pembelian saham untuk 51% kepemilikan di DigiResto.

DigiResto merupakan platform pemesanan makanan yang dikembangkan oleh PT Digital Maxima Kharisma (DMK), anak usaha PT M Cash Integrasi (MCAS). Sebelumnya pada awal Desember 2020, SiCepat telah bekerja sama dengan DigiResto sebagai solusi logistik dan penyedia layanan pengiriman last mile.

Dalam keterangan resminya, CEO SiCepat The Kim Hai mengatakan investasi ini akan digunakan untuk mengembangkan platform DigiResto ke depan. Dengan memperkuat DigiResto, SiCepat dapat mendorong kontribusi pendapatan dari pasar pengiriman makanan yang diperkirakan mencapai $2 miliar di 2020.

“Ke depan, kami akan mengeksplorasi peluang investasi strategis lebih lanjut dengan MCAS Group. Kami juga akan mengintegrasikan lebih banyak penawaran teknologi mereka ke dalam supply chain kami,” ungkap Kim Hai.

Bisnis F&B memang menjadi salah satu segmen bisnis yang sedang banyak disasar pemain digital. Untuk proses digitalisasi yang sama, Gojek juga memiliki ekosistem layanan di bawah naungan GoBiz, termasuk di dalamnya layanan pemesanan, pencatatan, pembayaran, sampai pinjaman modal. Grab juga lakukan hal serupa lewat GrabMerchant.

Mengutip Kontan, SiCepat melihat peluang besar pada layanan same day delivery untuk produk F&B dan groceries. Hal ini karena masyarakat semakin terbiasa untuk berbelanja di e-commerce atau marketplace selama masa pandemi. Sebagai bukti, SiCepat mengalami peningkatan volume pengiriman hingga 800 ribu per hari atau sekitar 114% per Oktober 2020.

Dihubungi secara terpisah, Direktur DMK Mohammad Anis Yunianto menyebutkan beberapa hal yang menjadi fokus DigiResto di 2021. Pertama, perusahaan akan memperbanyak jaringan merchant F&B yang berfokus di kawasan Jabodetabek.

“Saat ini, segmen [merchant] yang diincar DigiResto adalah restoran. Bergabungnya SiCepat akan memperkuat jaringan merchant DigiResto di segmen UMKM,” ungkap Anis kepada DailySocial.

Sebanyak 2300 merchant tercatat telah menggunakan platform DigiResto. Anis belum dapat mengungkap target pertumbuhan bisnisnya secara pasti mengingat target ini tergantung pada keberhasilan tahap sosialisasi awal layanan serta pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.

Selain ekspansi jaringan merchant, lanjutnya, perusahaan juga akan meningkatkan user experience pada sistem pemesanan di aplikasi mobile dan WhatsApp. “Ke depannya, kami harap dapat menambahkan lebih banyak fitur yang bermanfaat pada platform kami untuk meningkatkan user experience ini,” tambahnya.

Menurut Anis, sejalan dengan kemajuan dari sinergi ini, pihaknya berharap dapat sepenuhnya mengintegrasikan kemampuan pengiriman layanan jarak jauh SiCepat dan memberikan solusi pemesanan makanan secara menyeluruh baik bagi konsumen maupun mitra merchant.

Pihaknya optimistis dengan pengembangan DigiResto ke depan mengingat pasar pengiriman makanan di Indonesia yang diestimasi dapat tumbuh 11,5% CAGR pada periode 2020-2024 dan mencapai perkiraan nilai pasar sebesar $3 miliar di 2024.

Potensi Merger Indosat-Tri: Babak Baru Persaingan Sehat Industri Telekomunikasi

Pasca merger antara XL Axiata dan Axis di 2014 silam, rumor konsolidasi operator seluler terus muncul. Pasangannya berubah-ubah. Namun, selain Telkomsel, sejumlah petinggi industri telekomunikasi tidak menepis mereka membuka peluang berkonsolidasi demi ekosistem yang lebih sehat.

Di akhir 2020, rumor tersebut mulai menunjukkan titik terang. Sebagaimana diberitakan Bloomberg beberapa waktu lalu, CK Hutchison Limited dan Ooredoo Group dilaporkan menjajaki peluang penggabungan bisnis anak usahanya, yakni PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) dan PT Indosat Ooredoo Tbk (Indosat).

Berselang beberapa hari pasca berita tersebut diturunkan, Indosat Ooredoo buka suara. Di keterangan resminya, Director & Chief Financial Officer Indosat Ooredoo Eyas Naif Assaf membenarkan bahwa induk usahanya Ooredoo Group telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) eksklusif dan tidak mengikat secara hukum dengan CK Hutchison Holdings Limited.

“Hal ini sehubungan dengan kemungkinan transaksi untuk menggabungkan bisnis masing-masing di Indonesia, yakni PT Indosat Tbk dan PT Hutchison 3 Indonesia. Periode eksklusivitas MoU ini berlaku hingga 30 April 2021. Belum ada informasi lebih lanjut yang bisa diungkapkan untuk saat ini,” ujarnya.

Jika mengacu pernyataan di atas, publik akan melihat hasil negosiasi ekslusif dalam empat bulan mendatang. DailySocial sempat menghubungi pihak Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia. Namun, keduanya belum dapat berkomentar banyak.

“Mohon maaf, kami dari manajemen belum bisa memberikan tanggapan mengenai hal ini. Sebaiknya ditanyakan kepada CK Hutchison atau Ooredoo Group,” ujar Wapresdir Hutchison 3 Indonesia M. Danny Buldansyah lewat pesan singkat.

Mengejar ketertinggalan dari Telkomsel

Terlepas operator apapun, Ekonom Fithra Faisal menilai bahwa saat ini menjadi momentum yang tepat untuk berkonsolidasi. Sebetulnya Indosat atau Tri bisa saja melakukan konsolidasi sejak beberapa tahun lalu, namun Fithra menilai pandemi Covid-19 menjadi driven factor yang kuat. Terlebih masyarakat semakin menuntut layanan telekomunikasi yang lebih baik di situasi saat ini.

Yang pelik adalah meski sektor ICT sangat diuntungkan akibat pandemi, industri telekomunikasi tidak ikut di dalamnya.

“Layanan digital banyak dipakai selama pandemi ini, tetapi operator tidak mencicipi keuntungan. Ini menandakan bahwa industri ini belum efisien,” papar Fithra saat dihubungi DailySocial. 

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), trafik mobile industri naik 12,5 persen pada periode Februari-Maret. Kemudian, naik 7,5 persen (Maret-April) dan 5,7 persen (April-Mei). Pada periode Mei-Juni, trafik turun 0,5 persen.

Namun, ATSI menyebut bahwa kenaikan trafik selama pandemi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan. Pemberlakuan WFH dan SFH juga berdampak terhadap penurunan layanan dasar operator, yakni voice dan SMS.

Maka itu, di situasi saat ini operator dinilai memerlukan struktur permodalan yang kuat demi meringankan beban ekspansi jaringan. Apalagi, operator juga perlu melaksanakan kewajiban untuk menyediakan jaringan secara nasional sebagaimana lisensi frekuensi yang diamanatkan.

Induk usaha Indosat, Ooredoo Group merupakan perusahaan telekomunikasi asal Qatar yang menguasai saham mayoritas Indosat sejak 2015. Sementara Tri Indonesia dinaungi CK Hutchison Holdings yang merupakan konglomerasi asal Hong Kong.

Di sisi lain, lanjut Fithra, rencana merger Indosat-Tri menjadi langkah awal untuk mengejar ketertinggalannya dari Telkomsel yang memimpin industri. Menurutnya, Indosat-Tri yang dinilai bergantung pada segmen pelanggan anak muda, cenderung memiliki price elasticity yang tinggi. Akibatnya, pelanggan dapat dengan mudah pindah ke operator lain jika tarif yang mereka pakai lebih mahal.

Indosat Financial Performance (2018-2019/YoY)

Year Total Revenue EBITDA Net (Loss) Profit Subscribers Highlights
2019 Rp26.1 trillion (+12.9%) Rp9.9 trillion (+51.6%) Rp1.6 trillion

(+166%)

59.3 million (+2.1%)
  • Sold 3,100 telco towers to Mitratel and Protelindo worth Rp6,39 trillion
  • 4G coverage nearly 90%
2018 Rp23.1 trillion (-22.7%)  Rp6.5 trillion (-49.1%) -Rp2.4 trillion (-311,6%) 58 million

(-47.3%)

  • Massive network expansion 
  • Reduced its USD debts by 77.7%
2017 Rp29.9 trillion

(+2.5%)

Rp12.8 trillion (+0.8%) Rp1.1 trillion (+2.8%) 110 million (+28.7%)
  • Won additional 5MHz in 2100MHZ in 2017 spectrum auction

Source: Investor Memo

Telkomsel dan XL Axiata dianggap memiliki branding dan loyalitas pelanggan yang lebih kuat sehingga penggunanya cenderung tidak terlalu memikirkan harga. Alhasil pelanggan cenderung bertahan terhadap layanannya karena price elasticity-nya rendah.

“Karena hal tersebut, Telkomsel dan XL punya captive market yang tidak dimiliki Indosat dan Tri. Makanya, Indosat dan Tri bakal menderita jika mereka terus mempertahankan level murah. Pada akhirnya, mereka harus memperkuat permodalan dan branding mereka,” jelasnya.

Ekspansi jaringan, efisiensi, dan persaingan lebih sehat

Pemerintah telah berupaya menciptakan persaingan industri yang sehat. Nyatanya, situasi ini tetap sulit karena sejak awal terlalu banyak operator telekomunikasi. Frekuensi yang diperebutkan tidak cukup untuk dapat memberikan kualitas layanan yang masimal. Belum lagi biaya yang dikeluarkan setiap tahun untuk membangun jaringan hingga membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi.

Perang tarif untuk memenangkan hati pelanggan justru menciptakan jurang terhadap pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia. Ketua Umum ATSI Ririek Adriansyah sempat menyebutkan bahwa industri telekomunikasi Indonesia mencatat pertumbuhan minus 6,4 persen di 2018. Ini adalah pertumbuhan minus pertama kalinya dalam sejarah.

Dihubungi DailySocial, Ketua Masyarakat Telematika (Mastel) Institute Nonot Harsono mengatakan bahwa konsolidasi ini tentu akan menciptakan persaingan industri yang lebih sehat. Apalagi jika skenarionya XL Axiata dan Smartfren mengikuti jejak mereka. Cita-cita Indonesia untuk memiliki tiga operator seluler saja bakal terealisasi.

“Di industri telekomunikasi, aset terpenting adalah frekuensi. Apabila berkonsolidasi, mereka dapat menggabungkan aset tersebut sehingga tidak menjadi beban. Harapannya, mereka tidak perlu mengembalikan pita frekuensi ke pemerintah karena alokasi Tri tidak banyak. Kalaupun digabung dengan Indosat, selisihnya dengan Telkomsel dan XL tetap tidak melampaui,” ucapnya.

Pertumbuhan Operator "Top 3" di Indonesia
Pertumbuhan Operator “Top 3” di Indonesia / Corporate Digital Transformation

“Kita belum tahu model merger yang bakal terjadi, apakah kedua entitas menyepakati komposisi saham atau jual putus. Mungkin bukan jual putus karena melibatkan uang cash yang banyak. Kalau jual putus, yang berharga cuma frekuensi saja. Selain itu, semuanya adalah beban. Keduanya bisa saja menyatakan nilai bersyarat. Jika regulator meminta sebagian pita, valuasi bisa berbeda dan bisa minta ganti rugi, misalnya,” terang Nonot.

Lagipula, lanjutnya, situasi sekarang tidak bisa disamakan ketika XL mengakuisisi Axis. Menurut Nonot, seharusnya pemerintah memberikan semacam reward apabila keduanya sepakat untuk merger. Jika pemerintah menjamin tidak akan ada penarikan frekuensi, aksi merger ini bisa terjadi.

XL Axiata dan Axis merupakan konsolidasi kedua di industri setelah Mobile-8 dan Fren (sekarang Smartfren). Ketika XL Axiata mencaplok Axis senilai $865 juta, pemerintah meminta anak usaha Axiata Bhd untuk mengembalikan pita selebar 5MHz milik Axis di spektrum 2.100MHz.

Saat ini, Indosat menggunakan pita selebar 20MHz di 1.800MHz dan 15MHz di 2.100MHz. Sementara Tri memiliki pita selebar 15MHz di 2.100MHz dan 10MHz di 1.800MHz. Kedua spektrum ini dipakai untuk menggelar jaringan 3G dan 4G.

Apabila digabungkan, baik Indosat dan Tri dapat memiliki akumulasi spektrum masing-masing 30MHz di 2.100MHz dan 1.800MHz yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas jaringan 4G yang lebih baik.

“Ini menjadi momentum pas bagi pemerintah untuk menegaskan tidak ada pengembalian alokasi frekuensi karena [jika digabung] alokasi pita tidak akan melampaui Telkomsel dan XL. Lagipula, ini kewajiban pemerintah untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Bisa saja langkah ini bakal diikuti oleh XL dan Smartfren ke depannya.” Tutup Nonot.

Fokus Bukalapak Ekspansi Merchant di 2021; Buka Opsi Pendanaan Lewat IPO

Bukalapak memaparkan pencapaiannya di 2020. Dalam jumpa media yang diadakan virtual, Bukalapak menyoroti bagaimana pandemi Covid-19 memicu tren baru dan pergeseran perilaku konsumen di sepanjang tahun ini.

Pandemi mengakselerasi pertumbuhan pengguna internet di Indonesia. Sebagaimana disampaikan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin dalam paparannya, terdapat penambahan pengguna internet baru dengan pertumbuhan 37%, sebanyak 56% berasal dari luar perkotaan.

Dari krisis kesehatan global ini, ia menyimpulkan tiga tren baru, yakni (1) orang menjadi lebih sadar pentingnya kesehatan, (2) mobilisasi terpusat di daerah rumah (home-centric), dan (3) pandemi mengakibatkan resesi yang membuat masyarakat lebih berhati-hati mengeluarkan uang.

Tentu bagi Rachmat, sektor e-commerce termasuk satu dari sekian sektor yang diuntungkan karena pandemi. Ia mencatat ada pertumbuhan GMV signifikan pada periode 2018-2020, yakni sebesar 200%.

Selama periode tersebut, perusahaan mampu mencapai pertumbuhan EBITDA 80% sebagai hasil dari juga upaya mengurangi cashburn. Saat ini, Bukalapak telah mengantongi 100 juta pengguna dengan 7 juta Mitra.

Dengan meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia, ujar Rachmat, ini menandakan bahwa platform digital memiliki peran signifikan terutama di situasi saat ini. Ia mengaku optimistis dengan pertumbuhan dan pengembangan Bukalapak di 2021.

“Kami tetap berkomitmen untuk melayani segmen underserved, tidak hanya customer sophisticated atau mereka yang melek digital dan tinggal di kota tier 1. Fokus kami menjangkau segmen tersebut karena dua pertiga dari transaksi Bukalapak berasal dari luar kota tier 1,” papar Rachmat.

Fokus 2021, ekspansi merchant hingga pengembangan inovasi

Ada tiga pilar utama yang menjadi fokus Bukalapak di 2021 antara lain talent atau SDM, pertumbuhan bisnis, dan permodalan. Dari sisi bisnis online marketplace, fokus utama Bukalapak adalah memperbanyak jumlah merchant baik C2C maupun B2C.

Bukalapak mencatat pertumbuhan signifikan, terutama dari segmen B2C melalui Bukamall dengan pertumbuhan 17% setiap bulan di sepanjang 2020. Per Desember 2020, transaksi Bukamall tumbuh 3,1 kali dibandingkan tahun lalu.

VP of Marketplace Bukalapak Kurnia Rosyada mengatakan bahwa pandemi membuat tren pasar jauh lebih cepat berubah dibandingkan tahun lalu. Perubahan tren produk bisa berubah dalam rentang waktu satu minggu.

Untuk mengantisipasi tren ini sekaligus mempermudah akuisisi merchant, Bukalapak menawarkan merchant fee sebesar 0,5% yang diklaim terendah dibandingkan platform sejenis. Penawaran ini mulai berlaku pada 11 Januari 2021 melalui program Super Seller.

Selain itu, Bukalapak yang baru saja memigrasikan infrastrukturnya ke cloud juga akan meningkatkan fitur baik untuk pelapak maupun pembeli. “Kami berencana mengembangkan fitur untuk mempermudah mitra berjualan, mulai dari meningkatkan kapabilitas untuk manage pembeli hingga analytic dashboard yang lebih baik untuk profiling pembeli,” jelas Kurnia.

Sementara itu CEO Buka Mitra Indonesia Howard Gani mengaku optimistis untuk mendorong pertumbuhan bisnisnya di 2021. Ia melihat peluang besar untuk menginovasikan mitra warung ke digital, terutama jika mengacu pada penetrasi pasar yang selama ini masih didominasi oleh transaksi konvensional.

President BukaFinancial and Digital Victor Lesmana juga menyebutkan demikian. Peluang ini tercermin dari tingginya transaksi produk virtual dan finansial di sepanjang 2020.

“Ini menjadi strategi penting mengingat stickyness dan loyalitas dapat terbangun lewat satu aplikasi. Dengan begitu, ini dapat meningkatkan pendapatan mitra tanpa perlu repot mencari cara lain,” ujar Victor.

Adapun, perusahaan mencatat kenaikan jumlah Mitra Bukalapak hingga 50%. Dari kategori Digital Marketplace, Bukalapak mengantongi sebanyak 50 ribu pengguna dengan 100 ribu transaksi. Perusahaan juga mengalami peningkatan penggunaan QRIS untuk bertransaksi hingga dua kali lipat selama dua kuartal di 2020.

Soal IPO dan konsolidasi

Terkait isu konsolidasi yang tengah ramai dibicarakan, Rachmat menegaskan bahwa pihaknya belum terpikirkan untuk merealisasikan hal tersebut. Dengan target bisnis yang dimiliki tahun ini, pihaknya masih berkomitmen untuk tumbuh dan mengejar profitabilitas. “Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai stand alone company,” paparnya.

Kendati demikian, Rachmat menyebut bahwa pihaknya terbuka terhadap opsi IPO. “IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya,” tuturnya.

Hal ini wajar mengingat Bukalapak berencana mengembangkan banyak inovasi di tahun ini. Rachmat mengakui bahwa pihaknya tengah fokus memperkuat basis permodalan dan infrastruktur sejak tahun lalu.

Application Information Will Show Up Here

Behind VC’s Investment on Local Cosmetics and Beauty Tech Startups

The rise of the beauty and personal care industry in Indonesia was marked by the birth of many new local brands. The government recorded 797 large to small and medium industry (IKM) cosmetic business players in Indonesia in 2019, of which 294 were registered with the Investment Coordinating Board (BKPM). This number is increased from the previous year which was 760.

Quoting Tempo, Social Bella’s CEO, John Marco Rasjid said he was optimistic about the rapid growth of the Indonesian beauty industry market. There are some factors behind the act. First, citing the Euromonitor report, the Indonesian beauty and personal care market is estimated to reach $6.03 billion in 2019 and increase to $8.46 billion in 2022.

Second, as John stated, the total average expenditure for beauty products for Indonesian consumers is around $20 per capita. The number is smaller than Thailand ($56 per capita) and Malaysia ($75 per capita). Third, Indonesia has a very large female population. Bappenas estimates that the total female population will increase to 142 million from the population in 2010 of 118.66 million.

Base’s Co-founder and CEO, Yaumi Fauziah Sugiharta said to DailySocial that this revival will mark the third wave of startup industry phenomena after the explosion of pioneering verticals, including e-commerce, ride-hailing, and fintech. This trend will be driven by local brands using the Direct-to-Consumer (DTC) approach.

“The technology ecosystem in Asia is getting mature and digital literacy is increasing. We can see that during 2018-2020 the market trend which begun to shift. Startups with higher popularity are consumer-centric and B2B models that help consumer-oriented businesses. In this country, beauty tech is predicted to be part of the revival of the third wave of startups,” Yaumi said.

Is it necessary for cosmetics and skincare business to look for funding from VC?

The emerging era of e-commerce or marketplaces such as Sociolla, Tokopedia, and Shopee contributed greatly to the birth of local beauty brands with the DTC model. With the increasing trend of online shopping, these business people actually benefit because they don’t need to build distribution channels, let alone build retail stores to reach consumers.

Instead, these local brands can allocate their funds for other purposes, such as R&D development, marketing channels, and technology. The thing is, in the last two years, some of the local brands have started looking for external funding to support and strengthen their business in the beauty tech industry.

From our observation, there are four beauty and wellness startups in Indonesia that have successfully obtained venture capital (VC) funding. Those are including Base, Nusantics, SYCA, and Callista. Although targeting different target markets, those three are using technology to develop products and identify consumer needs.

Brand/Startup Category Investor(s) Stage
Base Skincare and wellness Antler
Skystar Capital and East Ventures
Pre-Seed

Seed

Nusantics Biotech East Ventures Seed
SYCA Cosmetics Salt Ventures Pre-Seed
Callista Skincare SKALA Pre-Seed

Source: Revised by DailySocial

Yaumi revealed that his team had received pre-seed funding from Antler in March 2019 and received mentoring for 6 months. Antler is considered to be Base’s initial touchbase for VC before finally securing Seed funding from East Ventures and Skystar Capital.

“We want to bring the best experience and we want to challenge the current norm. Therefore, we need infrastructure to be able to build the project ten times better. At that time, we saw that our financing was not sufficient for capital. It’s also impossible from family, let alone a bank. Our only options are angel investors or VCs,” he said.

The kind of infrastructure referred to is the development of technology to understand consumer needs. Base provides skin profiling services with AI algorithms through the website. This explains why Base is not quite interested in marketing its products through the marketplace.

Because there is quite a journey from pre-purchase to post-purchase, this situation requires Base to rely on only one platform from an algorithmic point of view. The goal is none other than to determine the right skincare ingredients for consumers. This applies to business players using the DTC business model.

In addition, technology has largely helpful for its products to remain relevant to consumers in the next ten years. Therefore, it is important for them to focus on iterations, considering that generation Z tends to be digital savvy and does not want to be dictated to buy products.

“In this industry that relies heavily on product development, we are supposed to make VC believe that the product has been tested on the market. Not to mention the testing formula, with a note that it is constantly iterating. Startups are demanded to be agile. If we wait [funding] until it reaches consumers and monetization, it’ll be too late. In contrast to other verticals that may not have a manufacturing process. That’s why we have bootstrapped since the beginning,” he explained.

Meanwhile, the local startup brand Mad for Makeup admitted that it was not really seeking funding from VC. Two Mad for Makeup’s Founders, dr. Shirley Oslan and Tony Tan revealed that their current capital is still sufficient and they are still focused on pursuing growth in 2021.

With the achievement of business growth this year, Shirley admits that she has been approached by some large VCs. However, she prefers to involve VC as an advisor to prepare for a larger scale, even with zero capital for equity.

“For capital, there are no specific criteria as long as it’s the right strategy. However, for certain markets, we certainly need sources and further capital. We might consider next year [external funding], if we see plans to expand overseas,” he added.

Currently, Mad for Makeup claims to have succeeded in obtaining a good market-fit in the Indonesian beauty and cosmetics market with the DTC approach and affordable prices. With an initial capital of IDR800 thousand, this startup which jargon is rebel beauty has sold 26,000 units of products in its first year.

Indonesia’s beauty tech for VC

Outside Indonesia, the trend of VC investment in skincare and cosmetics businesses is not so brand new. In South Korea, this business has become an easy target for investors. They succeeded in showing their innovation and unique concept in reaching the younger generation who are digital natives. This country has successfully transformed into a mecca for the world’s beauty industry.

For example, South Korean startup Reziena developing an AI-based platform to generate data that can be used to create personalized home care services. Similar to this, Singapore-based startup Yours also strives to bring personalized skincare to its consumers.

Brand/Startup Category Investor(s) Stage Origin
Yours Skincare Surge, Global Founders Capital, Kindred Ventures, angel investors Seed Singapore
LYCL Inc (Unpa.) Skincare and cosmetics Venture Round Series A South Korea
Typology Skincare and cosmetics Firstminute Capital, Alven, Xavier Niel, Mark Simoncini Seed French
Tula Skincare Landis Capital, Great Oaks Venture Capital, L Catterton Series Unknown United States
True Botanicals Skincare Unilever Ventures, Kaktus Capital, etc Series A United States

Source: Several references / Revised by DailySocial

On a separate occasion, MDI Ventures’ Head of Investor Relations & Capital Raising, Kenneth Li said, there are some reasons why beauty startups are attractive to VCs. First, local brands today are using the DTC model to target the digital native segment.

Second, consumers of beauty products tend to have high user stickiness and repeat purchases. This means that this business can quickly reach for business growth. Indeed, getting into this vertical can be a business differentiation for VC. However, investment still requires scalability.

“If investing in technology, scalability can be much faster. They can also [invest] in R&D to create superior products. For example, in South Korea, this is one of their signature businesses. Eventually, the beauty industry is growing rapidly thanks to investment from VC/investors,” Kenneth said.

In addition, he added, scalability strategy can be done by using AI technology to obtain user journeys and user profiling. From the generated data, local brands can actually develop the right marketing channels and create products according to consumer needs.

Meanwhile, Kolibra Capital’s Senior Investment Analyst, William Auwines highlighted another perspective. Many local beauty brands have developed different marketing strategies to build their brand equity. In addition, what is quite striking is that beauty products have low production costs, therefore, it’s easier to decide product purchasing and the business will naturally require constant repurchasing.

He also said that the presence of e-commerce such as Tokopedia, Shopee, and Lazada is a game-changer for this industry because they are able to provide the consumer purchasing journey. As a result, not only are the beauty industry players increasing, but also their supporting businesses, such as sales, marketing, and logistics for the SME segment. Related to this, the beauty industry has become an attractive vertical for VCs as it has managed to show impressive growth in recent years.

“In terms of VC, we usually ignore traditional companies, such as fashion and retail. For us, there are many new technology companies that are growing exponentially by keeping low cost, reaching the market through online marketing, and improving their logistics services for profit. This factor makes the valuation possible. much higher than traditional companies,” he told DailySocial.

Female Daily Network’s Founder and CEO, Hanifa Ambadar said that these local brands could actually survive without the help of VC investment. The beauty business model directly targets end-users, therefore, they can immediately sell and get return capital. The margin from the business is also considered large enough for using a discount strategy to boost sales.

“However, they may scale up not as fast as other brands with large capital. Moreover, if they want to expand by building retail stores. Not to mention the campaign and product endorsements, this strategy will certainly require more capital,” Hanifa said to DailySocial.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Laporan Akamai: Pandemi Memunculkan Tantangan Monetisasi Bagi Platform Konten

Pandemi Covid-19 berdampak terhadap industri konten Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Laporan ini berdasarkan hasil wawancara dengan para pemimpin media senior di Indonesia sepanjang Maret-Mei 2020, seperti MediaCorp, MNC Media, Vidio.com, Foxtel, Telin, dan Kayo Sports.

Menurut laporan terbaru Akamai bertajuk “Indonesia: The Challenge of Monetizing in a Fast-Growing Market“, industri konten tanah air mengalami pertumbuhan signifikan, baik dari sisi trafik maupun pendapatan.

Pertumbuhan ini tercermin dari kenaikan trafik internet di 2020. Secara tahunan (YoY), pertumbuhan trafik di kuartal pertama 2020 mencapai 73 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang berkisar 139 persen. Sementara, secara kuartalan (QoQ), trafik dari Q1 ke Q2 2020 naik 46 persen dibandingkan periode sama 2019 yang hanya sekitar 5 persen.

Sumber: Akamai / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Akamai / Diolah kembali oleh DailySocial

Regional Sales Director South Asia Akamai Matthew Lynn mengungkapkan bahwa peningkatan signifikan pada platform konten dan layanan berbasis internet lainnya memang tidak disangka oleh pelaku bisnis di bidang ini. Apalagi, penetrasi internet dan layanan konten belum sepenuhnya merata.

Sebagaimana diketahui, Indonesia mencapai milestone luar biasa selama dua dekade ini dari sisi jumlah pengguna internet. APJII sebagaimana dikutip Akamai dalam laporannya mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat dari 2 juta di tahun 2000 menjadi 152 juta pengguna di 2019.

“Responden melihat pandemi menjadi faktor pendorong bagi kuntuk berlangganan konten dari sumber yang berkualitas dan kredibel. Karena situasi ini, persaingan untuk membuat konten eksklusif atau konten agregator serta upaya untuk memonetisasinya menjadi semakin ketat,” ungkap laporan ini.

Alasan konsumen tertarik untuk berlangganan antara lain dikarenakan oleh variasi konten banyak (51%), ketersediaan konten original (45%), ketersediaan konten existing yang sulit dicari di platform lain (27%), opsi free trial (24%), menonton tanpa iklan (17%), konten layak ditonton untuk anak-anak (16%), dan bundle dengan layanan lain (15%).

Ditambah lagi, secara umum industri media/konten di Indonesia dinilai terbilang masih berada di fase awal. Tak heran, kondisi ini memicu ruang pertumbuhan terhadap pemain baru jika melihat besarnya potensi pasar Indonesia.

Tekanan untuk monetisasi konten, model langganan atau iklan?

Pandemi mendatangkan trafik luar biasa terhadap bisnis konten. Akamai juga mencatat peningkatan pendapatan, terutama pada layanan video on-demand dengan CAGR 9,7% atau sebesar $306 miliar.

Akan tetapi, situasi ini justru memunculkan tantangan baru untuk tahapan selanjutnya: bagaimana melakukan scale up dan monetisasi layanan? Belum lagi, pandemi justru membuat konsumen lebih berhati-hati mengeluarkan budget untuk membeli konten.

Sumber: Statista / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Statista / Diolah kembali oleh DailySocial

Masih dikutip di laporan Akamai, APJII melaporkan penurunan pendapatan pada 500 anggotanya, di mana hampir 45 persen dari bisnis mereka turun hingga 30 persen. Adapun, sebanyak 6 persen terpaksa menutup bisnisnya karena tidak sanggup untuk mengeluarkan biaya lebih banyak lagi.

Sejak awal, responden memang memprediksi terjadinya market correction, tetapi mereka tidak menduga situasi tersebut bakal terjadi secepat ini. Pasalnya, pelaku bisnis saat ini masih berupaya mencari cara lain untuk memonetisasi kontennya.

“Ini menjadi pressure buat para pelaku bisnis konten, terutama demi memenuhi permintaan konsumen yang mulai shifting pada kebiasaan baru selama masa pandemi, yakni menonton konten secara online,” papar Lynn.

Saat ini sebagian besar model bisnis konten mengandalkan langganan (subscription) dan iklan (ads). Kedua model ini cukup banyak diadopsi demi menaikkan viewership dan mudah dimonetisasi. Sebanyak 70 persen responden menilai subscription menjadi model yang sustainaible untuk monetisasi.

“Khususnya pada layanan streaming, bisnis konten ini terbilang kompetitif karena ditunjang oleh model free trial. Konsumen dimanjakan dengan berbagai opsi berlangganan. Pada akhirnya, platform ini fokus terhadap akuisisi dan retensi pelanggan,” jelasnya.

Beberapa responden memilih untuk menggunakan pendekatan hybrid sebagai model yang tepat. Caranya dimulai dengan menawarkan konten gratis dengan kualitas dan experience terbatas. Model ini dapat membuka peluang lebih lanjut bagi konsumen untuk menikmati experience lebih baik dengan berlangganan.

Bagi responden, strategi ini dinilai menarik karena konsumen dapat menikmati konten selagi mempertimbangkan untuk berlangganan, dan di saat yang sama penyedia platform dapat memonetisasinya melalui iklan dari opsi free trial.

“Ini berarti budget iklan harus bisa menghasilkan return yang lebih baik melalui penayangan iklan berkinerja tinggi yang dapat menunjukkan peningkatan addressability pada one-to-one advertising,” ungkap laporan ini.

 

Mad For Makeup Melawan Industri Kecantikan Konvensional dengan “Co-creating” Produk Terjangkau

Pemberdayaan aspek digital dalam menjalankan bisnis atau lebih dikenal dengan istilah new economy telah banyak diadopsi oleh pelaku bisnis baru di  Indonesia. Jenis yang digeluti biasanya adalah bisnis yang sebelumnya mengandalkan rantai pemasaran konvensional.

Mad For Makeup (Mad) merupakan salah satu pemain di new economy. Startup berbasis di Jakarta ini memproduksi produk kecantikan dan perawatan diri dengan pendekatan Direct-To-Consumer (DTC). Mad memanfaatkan pemasaran dengan platform digital untuk menjangkau langsung konsumennya.

Mad adalah satu dari sekian pelaku usaha rintisan di bidang kecantikan yang mengembangkan dan mendistribusikan sendiri produk-produknya. Tentu ini menjadi model bisnis baru jika dibandingkan dengan industri kecantikan tradisional yang lazimnya memiliki rantai distribusi yang tersebar.

Jika bicara potensinya, model bisnis DTC di bidang ini sangat besar. Pasalnya, berdasarkan laporan Euromonitor, pasar kecantikan di Indonesia diperkirakan mencapai $8,46 miliar di 2022. Di samping itu, rata-rata total belanja produk kecantikan konsumen Indonesia masih berkisar $20 per kapita.

Bagaimana perjalanan Mad For Makeup dalam mencapai posisinya sekarang? Simak wawancara DailySocial dengan sang Founder Shirley Oslan berikut ini.

Mencapai “good market-fit” dengan modal minim

Mad for Makeup memulai debut di industri kecantikan dan perawatan diri sejak 2017. Dengan posisinya saat ini yang digandrungi anak muda, pencapaiannya sekarang tersebut tentu bukan tanpa proses.

Diceritakan Shirley, ide untuk melahirkan Mad muncul ketika dia tengah berkunjung ke salah satu gerai milik brand perawatan diri asal Perancis yang memiliki jaringan operasional besar di Indonesia.

Saat itu ia mendapati bahwa harga jual beauty blender mencapai Rp300 ribu per buah. Ia menilai harga tersebut tidak masuk akal mengingat berdasarkan riset yang ia lakukan, material polimer sebetulnya tidak semahal itu. Setelah diinvestigasi lebih lanjut, ia menemukan brand tersebut menjualnya dengan harga sepuluh kali lipat dari harga asli.

“Kalau melihat dari jargon mereka ‘beauty for all‘, rasanya itu tidak tepat karena harga produk tidak merefleksikan kampanye tersebut. So, we got mad and rebelled against the nonsense di industri ini,” ujar Shirley.

Berangkat dari situasi ini, Mad mencoba mengembangkan produk kecantikan di segmen high-end dengan harga yang lebih terjangkau dan berkualitas untuk konsumen di rentang usia 18-24 tahun. Rata-rata produk Mad dipasarkan dengan harga tak sampai Rp100 ribu, seperti beauty blender, lipstik, essence, hingga pelentik bulu mata.

Beberapa produk di katalog Mad for Makeup
Beberapa produk di katalog Mad for Makeup

Berbekal strategi dan penjualan online ini, Mad yang konsisten hadir dengan jargon #RebelBeauty tersebut mengaku telah berhasil menjual sebanyak 26.000 produk di tahun pertamanya berdiri.

Mencuri perhatian sejumlah VC

We started with Rp800.000 and had a good market-fit. As for capital requirements, that depends on the strategy you use. Certain markets need extensive resources and capital,” ujarnya.

Pengembangan produk kecantikan umumnya membutuhkan proses yang lama. Mad For Makeup membutuhkan waktu selama delapan bulan mulai dari proses ideation hingga ready to sale.

Secara business nature, Shirley mengaku tidak memiliki masalah pada permodalan. Pemasaran produk Mad sepenuhnya dilakukan di platform digital (kecuali Sociolla yang juga punya toko fisik). Selain itu, Mad juga memiliki tim internal untuk R&D dan inhouse creative studio. Hanya proses manufaktur saja yang diserahkan kepada pihak ketiga.

Bagi Shirley, sejak awal pihaknya tidak berupaya mencari pendanaan eksternal. Menurutnya, kebutuhan modal lebih bergantung pada strategi yang digunakan. Kecuali jika membidik pasar spesifik, tentu modal dan sumber daya yang dibutuhkan akan lebih banyak.

Malahan, dengan pertumbuhan tahun ini, jebolan program Gojek Xcelerate ini mengaku telah didekati oleh sejumlah investor, seperti Sequioa Capital, Kolibra Capital, hingga Tokopedia.

Saat ini pihaknya tengah mempertimbangkan untuk menggalang pendanaan eksternal tahun depan. “Sebetulnya kami lebih memilih membawa VC sebagai advisor untuk mempersiapkan skala lebih besar, meski dengan equity nol,” tambahnya.

Pengembangan inovasi dan utilisasi data

Mengenai pengembangan inovasi, Shirley mengaku sempat terpikirkan oleh beberapa konsep yang dapat diadopsi untuk pengembangan produknya, seperti skin analysis atau teknologi yang dapat membantu konsumen melakukan decision making berbasis digital.

“Secara umum, beautytech itu menarik, but still remains very much a phsyical world product. Pengembangan [teknologi] lebih cepat mungkin bisa terjadi pada bagian funneling of the sales process. Akan tetapi, slow improvement are still in the true R&D of the product with tech,” jelasnya.

Menurutnya, strategi yang paling penting saat ini adalah mengutilisasi data untuk memahami konsumen lebih baik. Menurut data perusahaan, rata-rata konsumen Mad For Makeup memiliki average order value (AOV) sekitar Rp135ribu dengan produk terlaris Poreless, Dew, dan Kok Lentik Curler. Konsumennya didominasi oleh early adopter dan early majority consumer.

Di samping itu, tambahnya, fokus utama Mad saat ini adalah mengupayakan ketersediaan stok produk. Distribusi dan touch point fisik melalui Sociolla dirasa sudah cukup untuk yang cukup untuk memenuhi permintaan pasar.

“Industri kecantikan memungkinkan kami untuk memiliki margin yang lebih baik dibandingkan bisnis kebanyakan, terutama dengan model DTC agresif yang kami lakukan). Jadi sebenarnya tidak terlalu menarik jika VC hanya membawa modal. Apalagi setelah mengikuti program Gojek Xcelerate, kami sadar ada banyak sekali data yang belum kami utilisasi,” ungkapnya.

Memulihkan kembali bisnis di 2021

Ada tiga hal jika bicara target bisnis selama masa pandemi di 2021. Pertama, saat ini berbagai macam aspek sedang berada dalam situasi sulit. Maka itu, Shirley mengaku optimistis untuk untuk memulihkan kembali bisnis di 2021 ke 2022.

Untuk itu, tambah Shirley, pihaknya akan tetap konsisten untuk melakukan strategi co-creating dengan konsumen. Dengan strategi, ia meyakini produknya dapat tetap relevan dan memiliki posisi kuat di masa depan.

Shirley enggan menyebutkan strategi dan proyeksinya di 2021. Ia menyadari masih ada gap besar di pasar antara kebutuhan perawatan yang tidak bertemu dengan harga terjangkau.

“Ini menjadi tahun ketiga Mad for Makeup dan kami sudah memperoleh pencapaian lebih dari ditargetkan, yakni pertumbuhan tahunan hingga 40 persen. Jadi, saat ini pihaknya optimistis ada banyak hal yang dapat dilakukan di 2021,” katanya.

Gojek Group Jadi Pemegang Saham Bank Jago, Berupaya Percepat Inklusi Keuangan

Gojek Group, melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa), resmi mengumumkan investasinya di PT Bank Jago Tbk. Sebagaimana disampaikan dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), investasi ini berupa penyertaan saham sebesar 22%.

Dengan masuknya GoPay, komposisi pemegang saham pengendali di Bank Jago lainnya adalah PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) dan Wealth Track Technology (WTT) dengan porsi saham 51%. Sisanya dimiliki publik sebesar 27%.

Ditemui dalam media briefing, CEO Bank Jago Karim Siregar mengatakan, bergabungnya Gojek sebagai pemegang saham baru dinilai menjadi kemitraan sinergis untuk mewujudkan visi perusahaan sebagai tech-based bank. 

“Kita semua melihat layanan keuangan berbasis digital meningkat karena Covid-19. Jadi, ini timing-nya baik ketika Bank Jago ingin mulai menjadi tech-based bank. Di sisi lain, kami menilai visi kami sejalan dengan visi Gojek yang nanti tercermin pada produk dan solusi ke depan,” ungkapnya.

Sementara itu, dalam keterangan resminya, Co-CEO Gojek Andre Soelistyo mengatakan bahwa investasi di Bank Jago merupakan kemitraan jangka panjang yang diharapkan dapat memperkuat pertumbuhan Gojek ke depan.

Adapun tujuan utama kolaborasi strategis ini adalah mengakselerasi inklusi keuangan. Salah satu inisiatifnya adalah menghadirkan layanan perbankan di platform Gojek. Dengan begitu, jutaan pelanggan Gojek diharapkan dapat membuka rekening langsung di Bank Jago.

Bank Jago resmi berganti nama dari Bank Artos pada Juni 2020. Rebranding ini merupakan salah satu strategi Bank Jago bertransformasi menjadi bank digital pasca akuisisi oleh grup investor yang dipimpin Jerry Ng dan Patrick Waluyo lewat MEI dan WTT.

Kolaborasi antara GoPay dan Bank Jago diklaim sebagai sinergi pertama antara bank digital dan platform super app di kawasan Asia Tenggara.

Deputy CEO Bank Jago Arief Harris menambahkan, tetap akan ada transfer knowledge melalui sinergi tersebut. Namun, mengingat GoPay bukanlah saham pengendali, tidak akan ada perubahan dari sisi manajemen.

“Kami tidak memiliki experience di startup, demikian juga Gojek tidak ada experience di banking. Di sini kami saling mengisi satu sama lain,” tuturnya.

Memperkuat kolaborasi di ekosistem digital

Lebih lanjut, ungkap Karim, Bank Jago akan mengomersialisasikan aplikasi keuangan Life Finance Solution (LFS) yang ditargetkan meluncur pada awal 2021. Platform ini diharapkan mampu menjembatani kebutuhan keuangan dan gaya hidup masyarakat dalam satu aplikasi.

Sedangkan layanan Business Finance Solution (BFS) disebut masih dalam tahap pengembangan. Layanan ini akan menghadirkan digital lending yang fokus terhadap pinjaman di sektor UMKM dan retail. Menurut Karim, ada beberapa partner yang akan menjadi institutional lender pada digital lending ini.

Untuk mewujudkan visinya, Karim mengungkapkan pihaknya akan memperkuat kolaborasi dengan berbagai pelaku di ekosistem digital. Jika melihat studi kasus di Tiongkok dan Korea Selatan, ujarnya, model bisnis seperti ini dapat berhasil karena kolaborasi dan tidak berjalan sendiri-sendiri.

“Sektor perbankan dulu masih berpikir bahwa mereka harus ada di setiap customer touch point. Sekarang tidak lagi karena ada kolaborasi. Makanya kuncinya ada pada kemampuan teknologi yang akan tercermin pada strategi kami di omnichannel. Kami membangun teknologi sendiri dan team kami cukup strong untuk bangun ini,” paparnya.

Salah satu fokus Bank Jago adalah mengoptimalisasi kolaborasi lewat Open API yang akan menghubungkan layanannya dengan ekosistem digital. Saat ini Open API masih dalam pengembangan dan ditargetkan terealisasi di 2021.