BCA Menambah Dana Kelolaan Central Capital Ventura Senilai Rp400 Miliar

PT Bank Central Asia Tbk (IDX: BBCA) akan mengalokasikan dana sebesar Rp400 miliar ke Central Capital Ventura (CCV) untuk mendukung upaya investasi ke ekosistem startup. Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menyebutkan bahwa CCV telah berinvestasi ke 26 startup hingga saat ini.

Dalam konferensi pers paparan kinerja BCA 2021, Jahja mengatakan bahwa dana tersebut digunakan untuk menambah portofolio startup berkualitas bagus dan dapat menghasilkan keuntungan nantinya.

“Kami memberikan wewenang kepada CCV untuk menentukan bidang mana yang akan dimasuki,” ujar Jahja seperti dikutip dari Katadata.

Sebagai informasi, CCV dibentuk sebagai perpanjangan investasi BCA untuk mendukung pengembangan inovasi digital di lingkup perusahaan. CCV memiliki misi untuk menciptakan kolaborasi antara BCA dan portofolio, terutama peluang embedded finance.

Pada awal pendirian CCV di 2017, BCA menyuntik dana sebesar Rp200 miliar dengan fokus utama pada vertikal fintech. Beberapa portofolio CCV antara lain Akseleran, Qoala, dan Oy!.

Berdasarkan laporan kinerja di 2020, CCV telah menyalurkan investasi sebesar Rp157 miliar atau naik 20% dari Rp119,3 miliar di tahun sebelumnya. CCV juga mengantongi laba operasional sebesar Rp1,71 miliar dari kerugian Rp1,7 miliar di 2019.

Selain CCV, BCA mendirikan bank digital baru BCA Digital yang berfokus sebagai tech incubator dan memperluas ekosistem yang sudah dimiliki oleh induk usaha. BCA Digital resmi berdiri pada pertengahan 2021 dengan meluncurkan aplikasi mobile banking “blu”.

Gerak CVC di 2021

Berdasarkan catatan kami, sejumlah corporate venture capital (CVC) di Indonesia masih aktif berinvestasi ke startup di sepanjang 2021. Tahun lalu juga ada kemunculan CVC baru bentukan PT Bank BTPN Tbk (IDX: BTPN) dan PT Bank BTPN Syariah Tbk (IDX: BTPS), yakni BTPNS Ventura.

Menariknya, kami melihat beberapa CVC di antaranya mulai menghadirkan inisiatif berbeda selain menambah dana kelolaan baru. Misalnya, MDI Ventures memperkenalkan platform eMerge untuk menghubungkan jaringan angel investor dan startup di Indonesia.

Ada juga kolaborasi MDI Ventures bersama platform pertukaran mata uang kripto Binance untuk membentuk konsorsium melalui joint venture. Kolaborasi ini dilakukan untuk mengembangkan platform pertukaran aset digital di Indonesia.

Corporate Venture Capital (CVC) di Indonesia / Sumber: DS Research

Kemudian, BRI Ventures juga mulai melebarkan vertikal investasinya dengan mendirikan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA) bersama Tokocrypto. Tujuannya adalah memberdayakan proyek startup dengan teknologi blockchain dan tokenisasi di Indonesia.

Tak kalah penting, tahun lalu Pemerintah meluncurkan Merah Putih Fund (MPF) sebagai upaya untuk mendorong akselerasi inovasi, potensi digital, dan startup di Indonesia. Pemerintah melibatkan sebanyak lima BUMN meliputi Telkom, Telkomsel, Mandiri, BRI, dan BNI untuk mengelola MPF dengan dana kelolaan fase awal sebesar Rp4,3 triliun.

LinkNet Resmi Dicaplok XL Axiata

PT Link Net Tbk (IDX: LINK) resmi dicaplok oleh PT XL Axiata Tbk (IDX: EXCL) dan Axiata Berhad. Perusahaan melepas 1,81 miliar saham dengan nilai sebesar Rp8,72 triliun.

Dalam keterangan resminya, Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady mengungkap divestasi saham ini menjadi salah satu strategi transformasi untuk memperkuat neraca dan mengumpulkan dana segar guna investasi lain di masa depan.

Saat ini, saham LinkNet dikuasai oeh Asia Link Dewa Pte Ltd dan Lippo Group melalui anak usahanya PT First Media Tbk (IDX: KBLV). Jumlah saham yang dilepas sebesar 1,81 miliar saham atau mewakili 66,03% dari jumlah saham disetor dan modal ditempatkan.

“LinkNet memiliki prospek cerah. Terlebih lagi, perusahaan mencatatkan kinerja keuangan sehat meskipun di momen pandemi Covid-19, tercermin dari nihilnya utang. Namun, perusahaan butuh strategi ekspansi lebih jauh dan signifikan untuk garap pasar digital di Indonesia,” tuturnya.

LinkNet akan memperkuat layanan konektivitas berbasis fiber optic dan VSAT berkecepatan tinggi, solusi TIK untuk memenuhi kebutuhan bisnis pelanggan, seperti cloud dan data center, dan perangkat penunjang berbasis teknologi lainnya.

Memperkuat bisnis fiber optic

Sebagaimana diketahui, XL Axiata memang tengah menggenjot pembangunan jaringan fiber optic di Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan jaringan segmen B2B. Ini menjadi strategi diversifikasi bisnis XL Axiata ke jaringan tetap (fixed connectivity).

“Tujuan pengambilalihan saham ini adalah untuk mengembangkan dan memperluas jaringan usaha, serta memperkuat posisi XL dan induk usaha di bidang jasa telekomunikasi,” ungkap Sekretaris Perusahaan XL Axiata Ranty Astari Rachman seperti dikutip dari keterbukaan informasi BEI.

Saat ini XL menyediakan layanan broadband berbasis fiber optic melalui produk XL Home dan XL Satu Fiber. Pada produk XL Satu Fiber, layanan ini merupakan gabungan antara layanan fiber optic dan seluler yang dapat dipakai secara bersamaan.

Perusahaan menyebut jumlah rumah yang telah dilewati jaringan fiber optic-nya telah mencapai sebanyak 650.000 rumah di Indonesia. Hingga kuartal III 2921, XL telah membangun 153 ribu jaringan BTS, termasuk di antaranya adalah 69,9 ribu jaringan BTS 4G.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah memproyeksikan pertumbuhan pendapatan industri telekomunikasi keseluruhan sebesar 3% secara tahunan. Rinciannya, bisnis konektivitas diestimasi tumbuh 4%, bisnis Teknologi, Informasi, Komunikasi (TIK) 8%, dan bisnis digital sebesar 12% pada periode 2020-2024.

BNI akan Akuisisi 63,92% Saham Bank Mayora, Langkah Strategis Bangun Bank Digital

PT Bank Negara Indonesia Tbk (IDX: BBNI) akan mengakuisisi PT Bank Mayora melalui pengambilalihan saham sebesar 63,92%. Aksi korporasi ini menjadi langkah strategis BNI untuk mendirikan bank digital.

Berdasarkan prospektus akuisisi yang diterbitkan pada 22 Januari 2022, BNI akan mengambil alih saham Bank Mayora melalui penerbitan saham baru sebanyak-banyaknya 1,02 miliar saham atau 54,9% dari saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh.

BNI juga akan mengambil sebanyak 169,08 juta saham Bank Mayora milik International Finance Corporation (IFC). Dengan demikian, BNI akan mengantongi 1,19 miliar saham Bank Mayora atau setara 63,92% dari total saham ditempatkan dan disetor ke Bank Mayora.

Sebelumnya, IFC pernah berinvestasi melalui penyertaan modal sebesar Rp290 miliar ke Bank Mayora untuk mendukung pembiayaan UMKM di Indonesia.

Perwakilan manajemen BNI mengungkap tren kemunculan produk digital, terutama pada layanan keuangan, mendorong perusahaan untuk mencaplok Bank Mayora. Dengan strategi anorganik ini, pihaknya dapat mendorong transaksi keuangan di kalangan masyarakat dengan layanan digital.

“Untuk dapat mendukung transaksi digital dan sejalan dengan transformasi BNI, perseroan akan membentuk suatu bank digital melalui strategi anorganik, yakni mengambil alih Bank Mayora yang selanjutnya akan ditransformasikan menjadi bank digital,” tulis manajemen BNI.

Adapun, saat ini saham Bank Mayora tersisa 36,98% yang struktur kepemilikannya terdiri dari Bank Mayora (80%) dan IFC (20%). Kesepakatan pengambilalihan saham telah disetujui oleh direksi dan dewan komisaris kedua bank terkait.

BNI akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 15 Maret 2022 untuk meminta persetujuan pemegang saham terkait akuisisi Bank Mayora. Pihaknya menargetkan dapat mengantongi izin OJK pada April 2022 sehingga akuisisinya terhadap Bank Mayora dapat efektif pada Mei 2022.

Sebagai informasi, Bank Mayora merupakan bank di bidang ritel dan konsumer yang menawarkan berbagai produk keuangan, mulai dari pinjaman (lending) dan simpanan (funding). Beberapa produk pinjaman yang ditawarkan di antaranya Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), Kredit Multi Guna (KMG), dan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).

Pengembangan produk keuangan UMKM

Sebagaimana diungkap Direktur Utama BNI Royke Tumilaar beberapa waktu lalu, bank digital baru ini akan membidik segmen UMKM dan menggandeng mitra strategis berpengalaman untuk mengembangkan produk keuangan digital.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sebesar 65,5 juta UMKM di 2019 atau naik 1,98% dari 64,2 juta di 2018. Sementara, baru sekitar 8 juta atau 13% UMKM yang terintegrasi atau memanfaatkan teknologi digital.

Apabila bicara strategi akselerasi, bank digital baru ini dapat memanfaatkan ekosistem jaringan rantai pasokan yang dimiliki Grup Mayora melalui produk lending dan saving sebagai langkah awal.

Bahkan, mengutip Kontan, Direktur IT & Operasi Bank BNI YB Hariantono mengungkap akan menggandeng Sea Group sebagai mitra strategisnya. Ia juga menyebut induk usaha Shopee ini akan menjadi pemegang saham di bank digital BNI. Ini menjadi menarik mengingat Sea Group sebelumnya telah masuk ke bank digital dengan mencaplok Bank Kesejahteraan Ekonomi (sekarang SeaBank).

Jika dipetakan dalam lingkup bank BUMN, BNI menyusul BRI yang menggunakan kendaraan bank bermodal kecil untuk mendirikan bank digital. Sebelumnya, BRI mentransformasikan anak usahanya BRI Agro menjadi Bank Raya. Berbeda dengan bank digital BNI, Bank Raya membidik target pasar pekerja informal atau gig economy di 2022.

Sementara itu, Bank Mandiri memilih untuk bertransformasi digital secara penuh tanpa perlu mengonversi menjadi neobank lewat akuisisi bank baru. Mandiri akan memperkuat segmen perbankan ritel dan wholesale dengan me-rebranding platform Mandiri Online menjadi Livin ‘by Mandiri. Mandiri akan menambah sejumlah fitur dan ekosistem layanan demi menyempurnakan konsep “super app“.

Telkomsel Resmikan Anak Usaha Baru untuk Mewadahi Inisiatif Digital Perusahaan

Dalam upaya mendukung kelangsungan peta jalan transformasi digital di Indonesia, Telkomsel secara khusus membentuk sebuah entitas baru yang dinamakan PT Telkomsel Ekosistem Digital. Hal ini dinyatakan sebagai wujud keseriusan perusahaan dalam memperluas portofolio bisnis digital.

PT Telkomsel Ekosistem Digital akan mengambil posisi sebagai perusahaan induk yang menaungi beberapa anak perusahaan dari portofolio bisnis vertikal Telkomsel di sektor digital. Melalui inisiatif ini, mereka akan mengoptimalkan pemanfaatan sinergi seluruh ekosistem aset yang dimiliki. Hingga saat ini, perusahaan belum mengumumkan nama resmi yang akan digunakan sebagai brand atau identitas bisnis.

Selain itu, pembentukan anak usaha baru Telkomsel ini juga diharapkan bisa membuka peluang serta mempermudah pemanfaatan teknologi digital terkini. Hal ini semata-mata bertujuan untuk memperkuat ekosistem digital tanah air demi mengantarkan Indonesia menjadi digital powerhouse di Asia Tenggara.

Direktur Utama Telkomsel Hendri Mulya Syam mengatakan, “Telkomsel ingin terus memberikan manfaat kepada masyarakat dengan mengoptimalkan kapabilitas digital trifecta (digital connectivity, digital platform, dan digital service) yang dimiliki untuk mendorong perluasan portofolio bisnis di berbagai sektor, terutama yang dapat memperkuat perekonomian digital nasional.”

Indonesia kini telah menjadi salah satu negara dengan penetrasi ekonomi digital yang terus tumbuh positif setiap tahunnya dengan transaksi digital yang diproyeksikan mencapai $124 miliar pada tahun 2025.

Berdasarkan studi yang dilakukan Google, Temasek, dan Bain & Co., sekitar 41,9% dari total transaksi ekonomi digital Asia Tenggara berasal dari Indonesia. Nilai ekonomi digital Indonesia sendiri pada 2020 telah mencapai $44 miliar, tumbuh 11% dibandingkan 2019, dan memiliki kontribusi sebesar 9,5% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

“Kami berharap, PT Telkomsel Ekosistem Digital dapat menjalankan perannya memperkuat Telkomsel sebagai digital ecosystem enabler, melalui optimalisasi kapabilitas ekosistem layanan digital yang dimiliki, guna mewujudkan visi Indonesia menjadi salah satu negara ekonomi digital terbesar di dunia,” ungkap Hendri.

Di tahap awal, PT Telkomsel Ekosistem Digital akan dipimpin oleh Andi Kristianto sebagai Chief Executive Officer (CEO). Sebelumnya, Andi juga pernah menjabat sebagai CEO Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dan SVP Corporate Strategy and Strategic Investment di Telkomsel. Selain itu, Andi juga akan didampingi oleh Andry Firdiansyah sebagai Chief Financial Officer (CFO) dan Chief Human Resource Officer (CHRO), dan Luthfi K. Arif sebagai Chief Technology Officer (CTO).

Inisiatif digital Telkomsel

Beberapa tahun terakhir, Telkomsel telah memperluas cakupan solusi digitalnya melalui divisi inkubasi dan akselerasi internal Telkomsel Innovation Center (TINC) dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) sebagai perusahaan perpanjangan investasi di luar ekosistem perusahaan. Ini menjadi salah satu langkah strategis untuk mencari model bisnis yang tepat bagi bisnis telekomunikasinya.

Dalam upaya mendorong pengembangan di gelombang pertama, PT Telkomsel Ekosistem Digital akan fokus pada tiga sektor industri digital, yakni edtech, healthtech, dan gaming. Ketiga lini bisnis tersebut dinilai berpotensi untuk mendorong perekonomian digital nasional dan akan menjadi bagian dari emerging portofolio bisnis digital Telkomsel yang berkelanjutan.

Di pertengahan tahun 2021, Telkomsel memperkenalkan Kuncie, platform edtech yang menyediakan layanan pembelajaran pengembangan bisnis di berbagai macam kategori dengan mentor berpengalaman. Edtech merupakan vertikal bisnis yang mungkin belum pernah menjadi diversifikasi lini bisnis operator telekomunikasi, baik dikembangkan sendiri maupun lewat skema investasi atau kemitraan strategis.

Selang beberapa waktu, tepatnya di akhir tahun 2021, perusahaan resmi meluncurkan platform digital terbaru Fita yang bermain di segmen prevented healthcare. Produk ini disebut mengamalkan growth mentality yang lekat pada kultur startup. Sebelumnya, aplikasi Fita sudah lebih dulu hadir di Google Play Store dan Apps Store pada pertengahan tahun ini.

Dalam waktu dekat, Telkomsel berencana melakukan pemekaran usaha melalui pemisahan keseluruhan bisnis aplikasi Kuncie dan Fita untuk dialihkan kepada PT Telkomsel Ekosistem Digital, guna memperkuat penetrasi bisnis vertikal, masing-masing di sektor edutech dan healthtech.

Sedangkan untuk sektor gaming, Telkomsel juga telah mengalihkan kontrak usaha patungan kepada PT Telkomsel Ekosistem Digital untuk mendirikan perusahaan Joint Venture (JV) yang memiliki fokus bisnis sebagai perusahaan penerbit (publisher) gaming guna meningkatkan kompetensi dan kapabilitas di vertikal bisnis Telkomsel di industri gaming.

CT Bidik 10 Juta Pengguna Allo Bank di Tahun Pertama

PT Allo Bank Indonesia Tbk (IDX: BBHI) akan meluncurkan aplikasi mobile banking secara komersial pada Maret 2022. Untuk tahap awal, perusahaan membidik satu juta pengguna di minggu pertama peluncurannya.

Disampaikan pemilik CT Corp Chairul Tanjung, aplikasi Allo Bank baru tersedia untuk uji coba bagi kalangan karyawan di seluruh anak usahanya. Saat ini, Allo Bank telah dipakai sebanyak 43.000 pengguna.

“Di tahun pertama, kami membidik sebesar sepuluh juta pengguna, tetapi target ultimate kami sebesar 50 juta pengguna,” ungkap pria yang karib disapa CT ini dalam Jumpa Pers Allo Bank, Selasa (1/11).

CT juga menjelaskan bahwa pihaknya masih berupaya membentuk manajemen Allo Bank secara bertahap. Diketahui saat ini jajaran direksi Allo Bank baru terdiri dari Harry Abbas dan Yohanes.

“Kami masih dalam tahap pembentukan manajemen yang solid, kuat, dan menggabungkan talenta Indonesia dan global. Kami harap sudah dapat memiliki manajemen yang utuh pada Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS Allo Bank berikutnya. Mitra strategis kami dapat memberikan usulan terkait kemungkinan [menempatkan] orangnya di manajemen Allo Bank,” tambahnya.

Lebih lanjut, CT mengungkap bahwa Allo Bank ditopang oleh kekuatan teknologi dan ekosistem yang menjadi elemen kunci dalam mendirikan bank digital. Dari aspek teknologi, CT menyebut telah bekerja sama strategis selama dua tahun terakhir dengan bank digital terbesar di dunia untuk mengembangkan sistem teknologi, baik software dan hardware di Allo Bank.

Ia enggan menyebut nama bank ini, tetapi diketahui mitra strategis tersebut adalah WeBank, bank digital milik raksasa teknologi Tencent asal Tiongkok. WeBank memanfaatkan teknologi AI, blockchain, cloud, hingga big data untuk menawarkan berbagai produk keuangan ke segmen UMKM. Saat ini, WeBank telah memiliki lebih dari 200 juta pengguna.

“Demikian juga ekosistem. Meski merasa ekosistem kami sudah kuat, kolaborasi tetap diperlukan di era digitalisasi. Ekosistem digital punya kelemahan, begitu juga ekosistem fisik. Dengan menggabungkan keduanya, kami bisa ciptakan ekosistem solid. Maka itu, kami mengajak ekosistem lain berkolaborasi. Kami yakin platform kami dapat menjawab tantangan dan dapat besar, baik secara transaksi, nasabah, maupun profitability,” ungkapnya.

Ekosistem raksasa Allo Bank

Menurut CT, Allo Bank akan diperkuat dengan ekosistem raksasa yang dimilikinya. Tak hanya dari ekosistem dari anak usahanya saja, Allo Bank akan didukung oleh ekosistem dari sejumlah mitra strategis, seperti Bukalapak, Carro, dan Traveloka.

Sebagai informasi, CT Corp memiliki tiga unit bisnis besar yang terdiri dari Mega Corp (keuangan), Trans Media (media), dan Trans Corp (fashion, ritel, F&B, hospitality, dll).

Pihaknya tengah mempersiapkan sejumlah produk/layanan Allo Bank yang terintegrasi dengan seluruh ekosistem di CT Corp. Sebagai contoh, pengguna Allo Bank dapat bertransaksi secara O2O di Transmart atau membuka rekening melalui media digital.

Ekosistem produk yang dimiliki oleh CT Corp / Sumber: CT Corp

“Kami mengusung konsep one-for-all yang memungkinkan pengguna Allo Bank terhubung dan terintegrasi ke seluruh ekosistem kami. Harapan kami [semua ekosistem] dapat terhubung karena [integrasinya] bertahap dan pasti ada yang diprioritaskan,” paparnya.

Lebih lanjut, CT juga menambahkan bahwa seluruh mitra strategisnya, termasuk Mega Corp dan CT Corp, telah terikat locked up agreement selama tiga tahun terhitung dari tanggal pencatatan. Artinya, selama tiga tahun ini mereka tidak boleh menjual sahamnya demi melindungi kepentingan dari investor retail.

Di sisi lain, CT juga menegaskan bahwa tidak ada upaya untuk menggabungkan Allo Bank dengan anak usaha di bidang perbankan Bank Mega. Menurutnya, Allo Bank dapat berperan sebagai perpanjangan tangan digital dan inovasi bagi anak usaha Mega Corp, seperti Bank Mega, Bank Mega Syariah, serta kepemilikan saham minoritas CT di Bank Pembangunan Daerah.

Baru-baru ini Allo Bank juga mengumumkan aksi penawaran umum terbatas (right issue) senilai Rp4,8 triliun dengan melepas 10,04 miliar saham atau setara 86% dari total modal BBHI seharga Rp478 per saham. Terdapat enam perusahaan yang terlibat sebagai investor, termasuk Bukalapak, Traveloka melalui Abadi Investments, dan Carro melalui Trusty Cars.

Dalam pernyataan sebelumnya, Komisioner Allo Bank Ali Gunawan mengungkap antusiasmenya untuk meluncurkan layanan pinjaman ke masyarakat Indonesia yang kurang dan tidak terlayani oleh produk keuangan, seperti pinjaman, investasi, dan asuransi.

CT Corp dan Bukalapak akan Bentuk Perusahaan Patungan di Bidang “Online Grocery”

Pemilik perusahaan konglomerasi Chairul Tanjung melalui PT Trans Retail Indonesia, mengumumkan akan membentuk perusahaan online grocery patungan (joint venture) bersama PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA).

E-commerce ini akan dikhususkan untuk produk segar dan bahan pangan (grocery). Komposisi kepemilikan Trans Retail [akan] sebesar 55% dan Bukalapak sebesar 45%,” ungkap Chairul Tanjung ditemui usai jumpa pers di Bursa Efek Indonesia.

Pria yang karib disapa CT ini enggan menguraikan lebih lanjut mengenai pembentukan usaha patungan tersebut. Namun, aksi korporasi ini menjadi sinyal besar dari CT Corp untuk serius menggarap penjualan produk segar dan bahan makanan berbasis offline-to-online (O2O).

Sebagai informasi, Trans Retail Indonesia merupakan anak usaha CT Corp yang menaungi perusahaan jaringan ritel modern Transmart, Carrefour, dan Groserindo. Saat ini, Trans Retail Indonesia sudah mengoperasikan hampir 100 gerai berkonsep multiformat di 28 kota di Indonesia yang menawarkan 40.000 produk ke 70 juta pelanggannya.

Persaingan pasar e-grocery

Sebelum ini, aksi korporasi serupa sudah mulai diseriusi oleh sejumlah perusahaan teknologi besar. Bedanya, mereka mengambil strategi anorganik dengan mengakuisisi perusahaan jaringan peritel modern.

Blibli dan GoTo sama-sama mengumumkan aksi korporasinya untuk mengambil alih perusahaan ritel di 2021. Blibli memilih untuk mencaplok 51% saham milik PT Supra Boga Lestari Tbk (IDX: RANC) yang mengelola Ranch Market.

Sementara, GoTo mengakuisisi 6,74% saham PT Matahari Putra Prima Tbk (IDX: MPPA) melalui PT Multipolar Tbk (IDX: MPLPL). Adapun, Matahari Putra Prima merupakan anak usaha Lippo Group yang memiliki jaringan peritel modern raksasa di Indonesia. Beberapa gerai yang dimilikinya adalah Hypermart, Foodmart Supermarket, dan Primo Supermarket.

GoTo Hypermart; 200 gerai di 72 kota di Indonesia, dengan 103 gerai terhubung dengan Hypermart Online  Akuisisi
Blibli Ranch Market; 16 Ranch Markets, 29 Farmers Markets, 1 The Gourmet by Ranch Market, dan Day 2 Day by Farmers Markets Akuisisi
Trans Retail-Bukalapak N/A Joint Venture (JV

Sumber: Diolah kembali oleh DailySocial

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memproyeksi nilai penjualan produk pangan segar melalui marketplace tembus ke lebih dari Rp180 triliun dalam lima tahun ke depan. Adapun, nilai penjualan di 2021 diperkirakan sebesar Rp21 triliun.

Lutfi menilai kontribusi penjualan produk pangan segar melalui marketplace masih kecil, tetapi pertumbuhannya signifikan. Apalagi, ia melihat tren banyaknya sinergi antara pelaku ritel modern dan perusahaan teknologi.

Jaringan peritel mulai mendorong penjualan dengan konsep online-to-offline (O2O) dengan menggandeng perusahaan teknologi yang memiliki kekuatan pada inovasi, ekosistem produk, hingga logistik.

Telunjuk Diakuisisi Anak Usaha PT Diamond Food Indonesia

PT Diamond Food Indonesia Tbk. (Diamond) sebagai salah satu perusahaan FMCG di Indonesia resmi mengumumkan telah mengakuisisi PT Telunjuk Komputasi (Telunjuk). Dalam keterbukaan informasi, disampaikan bahwa per 21 Desember 2021 melalui entitas anak Perseroan, yakni PT Sukanda Djaya, mereka telah menandatangani perjanjian jual-beli saham bersyarat untuk 81% saham Telunjuk secara langsung.

Akuisisi Telunjuk diharapkan dapat menjembatani strategi Diamond untuk meningkatkan distribusi produk di saluran e-commerce dan melakukan transformasi digital. Didirikan sejak 1974, Diamond memproduksi dan memasarkan berbagai produk minuman dan makanan instan segar. Mulai dari susu, jus, keju, es krim, dan lain-lain.

Didirikan tahun 2012, Telunjuk hadir sebagai platform rekomendasi dan pembanding harga produk di e-commerce. Namun seiring perjalanan waktu, mereka sempat model bisnis menyasar segmen B2B. Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan DailySocial.id, Co-Founder & CEO Telunjuk Hanindia Narendrata menyebutkan, dengan cara tersebut perusahaan mengklaim mampu memperoleh profit yang cukup untuk menjalankan perusahaan.

Untuk pelaku bisnis, layanan yang dihadirkan berupa market insight yang dapat membantu perusahaan melakukan analisis terhadap dinamika pasar. “Awalnya kita mendapat tawaran dari brand besar yang ingin melihat perkiraan harga di berbagai platform e-commerce yang ada di Indonesia. Dari situ kita melihat dengan engine crawling yang sudah dimiliki serta data yang telah dikumpulkan. Menjadi ideal bagi kami untuk menghadirkan layanan tersebut dan ternyata demand-nya cukup besar di kalangan brand,” ujar Hanindita.

Tahun 2020 lalu, Telunjuk juga meresmikan produk “Compas”, yakni dasbor e-commerce market insight untuk memfasilitasi lebih banyak pengusaha online mengembangkan usahanya. Di dalam Compas, pengguna dapat melihat online market share data yang dirangkum dari empat pemain e-commerce yakni Tokopedia, Bukalapak, Shopee, JD.id dan lainnya; price monitoring, placement health check, dan promo monitoring.

Selain Hanindita, Telunjuk turut didirikan oleh Redya Febriyanto. Untuk pendanaan, mereka telah membukukan sampai ke tahap seri A. Sejumlah investor turut tergabung, salah satunya Venturra Discovery.

OUE Limited Akuisisi 17,2% Saham Multipolar, Ingin Dorong Bisnis Digital di Indonesia

Perusahaan pengembang properti berbasis di Singapura, OUE Limited mengakuisisi 17,2% saham milik PT Multipolar Tbk (MLPL) dengan nilai Rp1 triliun (sekitar $70 juta). Aksi korporasi ini dilakukan untuk mendorong bisnis digitalnya di Indonesia.

Transaksi ini disepakati melalui perjanjian jual-beli atau sale and purchase agreement (SPA). Dalam proses pengajuan di bursa Singapura, OUE akan mencaplok sebanyak 2,5 miliar saham Multipolar di harga Rp400 per lembar saham. Harga ini terbilang premium di kisaran 11,1% dibandingkan harga penutupan per 17 Desember 2021.

“Transaksi ini akan memberikan kesempatan bagi OUE untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi digital yang tengah berkembang pesat di Indonesia, yang mana seluruh portofolio bisnisnya berada di intersection dari sektor teknologi dan consumer,” ungkap OUE Corporate Secretary Kelvin Chua seperti dikutip dari DealStreetAsia.

Untuk mengakuisisi Multipolar, OUE akan membeli saham PT Inti Anugerah Pratama (IAP), perusahaan investasi yang dimiliki Stephen Riady dan James Riady. IAP akan memegang sebesar 8,97 miliar saham Multipolar, mewakili 55,1% dari total saham perusahaan.

Sebagai informasi, Stephen merupakan pengendali saham di OUE Limited, yang merupakan pemilik, pengembang properti dan pengelola real-estate di kawasan Asia. Stephen Riady juga menggenggam 40% saham di IAP, serta menduduki posisi sebagai Executive Chairman dan Group Chief Executive Officer.

Sementara, Multipolar merupakan anak perusahaan konglomerasi raksasa Lippo Group. Sebelumnya, CEO Lippo Karawaci John Riady sempat mengungkap minatnya untuk menempatkan Multipolar di barisan depan untuk mendongkrak bisnis di sektor teknologi dan investasi di grup.

Berdasarkan laporan keuangan kuartal III 2021, Multipolar berhasil meraup keuntungan sebesar Rp88 miliar, dari kerugian besar Rp675 miliar di periode sama tahun lalu. Namun, perusahaan mencatat penurunan pendapatan dari Rp7,4 triliun dari sebelumnya Rp7,6 triliun.

Rebranding Multipolar

Aksi korporasi di atas mengindikasikan upaya Lippo Group untuk menempa bisnis teknologi dan investasi lebih agresif di tahun depan. Ditambah, kelanjutan dari kemitraan strategis Multipolar usai GoTo mengakuisisi perusahaan jaringan ritel modern PT Matahari Putra Prima (IDX: MPPA) pada Oktober lalu.

Baru-baru ini, Multipolar juga mengumumkan wajah barunya dengan nama “MPC“. Rebranding ini dilakukan sekaligus untuk mempertajam strategi dan fokus perusahaan di sektor ekonomi digital. Group CEO MPC Adrian Suherman mengungkapkan akan menggenjot investasi baru di area futuristik yang berfokus pada empat sektor utama, yaitu ritel, teknologi, kesehatan, dan bank digital di 2022.

Multipolar telah menanamkan investasi strategis di sejumlah startup melalui kendaraan investasi milik Lippo Group, Venturra Capital. Beberapa di antaranya adalah OVO, Sociolla, dan Ruangguru. Hingga saat ini, MPC telah berinvestasi di lebih dari 50 perusahaan teknologi di Indonesia.

Mengacu laporan e-Conomy SEA 2021 yang disusun oleh Google, Temasek, dan Bain & Co, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi akan mencapai $70 miliar di 2021.

Misi Unit Bisnis Telkom “Agree” Mendigitalisasi Ekosistem Pertanian dari Hulu ke Hilir

Sebagai kekuatan perekonomian Indonesia, pertanian menjadi salah satu sektor utama dalam agenda transformasi digital yang dibidik oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). Perusahaan melalui unit bisnis Agreeculture (Agree) berupaya memecahkan berbagai masalah dan tantangan yang dialami oleh petani Indonesia dengan teknologi.

Agree adalah platform agregator untuk membantu digitalisasi pertanian yang menghubungkan pelaku, pembeli, pemodal, dan entitas pendukung ekosistem pertanian.

Berdasarkan laporan DSResearch dan Crowde bertajuk “Driving the Growth of Agriculture-Technology Ecosystem in Indonesia”, sektor pertanian di Tanah Air umumnya terhalang oleh akses permodalan, literasi keuangan, serta kemampuan, pengetahuan budidaya, dan hingga kemampuan bercocok tanam petani. Belum lagi bicara soal risiko gagal panen di sektor budidaya akibat faktor cuaca dan hama.

Rendahnya latar belakang pendidikan dan literasi keuangan para petani turut berkontribusi terhadap tantangan pelaku usaha budidaya. Badan Pusat Statistik (BPS) di 2018 mencatat hanya 4,5 juta dari total 27 juta pelaku usaha di agrikultur yang terhubung dengan internet.

Bagaimana perjalanan dan peta bisnis Agree dalam memecahkan sejumlah masalah di atas?

DailySocial mendapat kesempatan untuk berbicara lebih dalam mengenai pengembangan platform Agree bersama Head of Digital Vertical Ecosystem Agriculture Hikmatullah Insan Purnama dan Head of Go-To-Market (GTM) Operations Agree Danang Satria Mustari.

Ide, pivot, dan model bisnis

Hikmatullah, yang akrab disapa Hikmat, mengungkap ide mengembangkan Agree baru tercetus di 2017. Agree berdiri sejalan dengan visi Telkom untuk berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi nasional, salah satunya melalui digitalisasi sektor pertanian.

Usai melalui masa inkubasi ide sekitar satu tahun, layanan Agree komersial di 2018. Saat itu, Agree  baru menawarkan produk pinjaman modal usaha kepada petani lepas, mirip konsep platform P2P lending TaniFund dan iGrow. Namun, Hikmat berujar, dalam dua tahun perjalanannya, produk pinjaman ini tidak memperoleh product-market fit dikarenakan banyak petani gagal bayar dan rasio Nonperforming Loan (NPL) bengkak hingga 10%.

Hikmat yang baru bergabung pada Maret 2020 memutuskan untuk mem-pivot Agree dengan mengubah segmen pasarnya, dari pemberian modal usaha ke petani lepas ke petani yang sudah bekerja sama dengan perusahaan agribisnis. Model ini diadopsi untuk menjamin produk petani dibeli dan memastikan harga jual di awal. Dengan model ini, ia meyakini lembaga keuangan mau memberikan pinjaman.

Agree mulai go to market pada Januari 2021 setelah melewati proses uji coba pasar sejak September 2020. Menurut catatannya, perusahaan telah menyalurkan Rp826 miliar ke 47.362 petani dengan 80 miliar transaksi pembelian 88 perusahaan agribisnis. Perusahaan membantu menyalurkan modal usaha dari startup Alami Sharia dan sepuluh lembaga keuangan lainnya.

Cara Agree menghubungkan ekosistem di pertanian / Sumber: Agree

“Perusahaan agribisnis yang bergabung di Agree diharapkan dapat meningkatkan demand. Untuk mendapat demand, platform kami menawarkan dua skema, yakni mempertemukan perusahaan agribisnis dan buyer, serta mencarikan buyer untuk perusahaan agribisnis. Baru lah perusahaan agribisnis membuat kontrak dengan petani. Jadi, rantai ekosistem ini akan sampai ke buyer,” ungkap Hikmat.

Untuk memitigasi risiko, Agree menyiapkan sejumlah langkah, yaitu mengembangkan dashboard agar bank dan lembaga keuangan dapat memonitor kegiatan petani, serta memanfaatkan perangkat IoT dan field assistant untuk memastikan pemanfaatan modal usaha. Agree bekerja sama dengan asuransi Jasindo untuk memitigasi risiko gagal bayar.

Struktur organisasi

Agree merupakan unit bisnis yang berada di bawah naungan Direktur Digital Business Telkom M Fajrin Rasyid. Ekosistem ini dipimpin langsung oleh Head of Digital Vertical Ecosystem Agriculture Hikmatullah Insan Purnama.

Hikmat membawah tiga tribe leader, yang terdiri dari pertanian, perikanan, dan smart city. Adapun, Agree menawarkan lima layanan antara lain Agree Partner, Agree Modal, Agree Market, Agree Pedia, dan Smart Farming. Kelima layanan ini disiapkan untuk mendigitalisasi kegiatan pertanian dan menghubungkan berbagai stakeholder.

Menurut Hikmat, Agree diamanatkan untuk mengembangkan digitaliasi pada sektor pertanian, tetapi kapabilitasnya juga dipakai untuk mendukung ekosistem peternakan dan perikanan karena sekop bisnisnya sangat luas. Adapun, total orang yang mengelola ekosistem digital di pertanian, peternakan, dan perikanan mencapai 100 orang (pro hire), ditambah tujuh orang Telkom.

Mengingat pengembangan bisnis digital di lingkup korporasi akan selalu dikaitkan dengan growth culture, agilitasnya tentu akan berbeda dalam lingkup startup. Dalam hal ini, Hikmat mengaku bahwa Telkom memberikan kewenangan sepenuhnya kepada tribe leader yang mengelola Agree untuk mengembangkan produk, strategi, hingga marketing. Bahkan Direktur Digital Business M Fajrin Rasyid turut memberikan pendampingan.

Pengembangan ide hingga eksekusi Agree dilakukan dari scratch dengan mengambil sejumlah pelajaran dan pengalaman dari startup-startup lain. Namun, untuk meningkatkan kapabilitasnya, Agree akan dikembangkan sebagai open platform sehingga dapat membuka peluang kemitraan dengan startup atau perusahaan lain.

Metrik, target unicorn, dan spin-off

Selain growth culture, lanjut Hikmat, Agree juga diberikan keleluasaan untuk menentukan metrik bisnis, seperti jumlah transaksi, jumlah mitra perusahaan agribisnis, dan Monthly Active User (MAU).

Menurutnya, ini menjadi landasan utama Agree dibentuk dalam divisi terpisah dan dipimpin oleh Direktorat Digital Business. Agree ingin memisahkan diri dari nature business telekomunikasi yang identik dengan investasi besar dan dituntut untuk balik modal.

“Agree tidak dituntut menghasilkan pendapatan di tahap awal. Targetnya adalah mengantongi traction, bahkan target jangka panjang harus dapat mencapai unicorn. Dengan cara ini, rule di Telkom berbeda dengan Agree. Key Performance Indicator dihitung dari pendapatan, benefit, dan valuasi. Bagi [bisnis] yang belum menghasilkan pendapatan, misal IoT, kami akan divaluasi dari internal dan eksternal.

Dengan melihat pertumbuhan ekosistem agritech yang mulai mature, Agree juga mempertimbangkan rencana untuk spin off sehingga dapat bergerak lebih cepat sebagai perusahaan digital. Dengan posisi saat ini, Agree masih harus mengikuti cara kerja sesuai aturan Telkom dan negara sebagai pemilik saham perusahaan.

Untuk saat ini, Hikmat belum dapat mengelaborasi rencana spin off tersebut dalam waktu dekat.

Rencana bisnis

Head of Go-To-Market (GTM) Operations Agree Danang Satria Mustari menambahkan, ada sejumlah rencana ekspansi yang disiapkan di tahun depan, mengingat saat ini Agree baru meluncurkan dua layanan ke pasar, yakni Agree Modal dan Agree Partner.

Pertama, Agree akan memperluas segmen pasar komoditas yang lebih besar dan tidak terbatas pada sektor pertanian dan perikanan saja. Misalnya, kopi dan produk hortikultur. Kemudian di Agree Modal, perusahaan akan memperluas target pasar pembiayaan, tak cuma pelaku budidaya saja, tetapi juga ke pembiayaan buyer (invoice financing).

Pada layanan Agree Partner, pihaknya akan meningkatkan kolaborasi dengan sejumlah penyedia solusi IoT untuk mendorong kegiatan pertanian berbasis data (data driven). “Data ini diolah untuk menghasilkan rekomendasi bagi petani bercocok tanam, misalnya kondisi tanah. Selain itu, data-data analitik ini nantinya dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia dari hulu ke hilir,” ujar Danang.

Terakhir, Agree akan mendorong digitalisasi pasar basah di Indonesia sebagai sumber utama petani untuk menyuplai hasil panen melalui Agree Mart. Melalui platform ini, Agree berupaya untuk mengakomodasi kebutuhan transaksi buyer lebih luas.

Transformasi Digital Blue Bird, Perluas Akses Pesan Taksi dari Berbagai Aplikasi Konsumer

Blue Bird terus melakukan transformasi digital agar tetap relevan dengan kondisi terkini. Kali ini perseroan memperluas akses pesan taksi melalui berbagai aplikasi konsumer sehari-hari, setelah Gojek, kini masuk ke aplikasi Shopee dan Traveloka. Kerja sama dengan Shopee baru diresmikan kemarin (16/12).

Dalam keterangan resminya, strategi ini merupakan lanjutan dari realisasi perusahaan untuk pilar Multi Channel Reservation, dalam upaya memperluas aksesibilitas layanan Blue Bird yang dikombinasikan dengan ekosistem digital.

Fitur ini dapat ditemukan di ikon Pulsa, Tagihan & Hiburan, lalu masuk ke pilihan Transportasi & Akomodasi. Nanti akan ditemukan lambang Taksi untuk mulai memesan taksi Blue Bird terdekat. Pengguna Shopee juga dimanjakan dengan fitur pembayaran Split-Payment, memungkinkan pengguna dapat mengombinasi pembayaran melalui metode non-tunai digabungkan dengan koin Shopee.

Pun hal sama di Traveloka. Meski belum hadir secara resmi, pengguna Traveloka dapat menggunakan fitur QuickRide untuk memesan taksi. Lalu menggunakan ekosistem pembayaran non-tunai yang sudah tersedia di Traveloka untuk membayarnya.

Wakil Direktur Utama Blue Bird Andre Djokosoetono mengatakan, keberlanjutan kolaborasi bersama Shopee adalah bentuk nyata komitmen perusahaan dalam meningkatkan aksesibilitas masyarakat dalam mendapatkan mobilitas yang aman dan nyaman.

“Selama pandemi, kami terus berupaya menjadi semakin relevan dengan kebutuhan masyarakat. Saat ini, masyarakat semakin mendapatkan keleluasaan akses dalam menjangkau layanan Blue Bird,” ujarnya.

Head of Brands Management & Digital Products Shopee Indonesia Daniel Minardi menambahkan, fitur pemesanan taksi ini adalah bagian dari produk digital Shopee, diharapkan memberi kemudahan dan kenyamanan hidup pengguna dengan memanfaatkan satu aplikasi Shopee untuk berbagai kebutuhan.

Sebelumnya, kolaborasi Shopee dan Blue Bird sudah terjadi dua kali. Pertama, menghadirkan layanan pembayaran digital ShopeePay untuk para penumpang yang memesan taksi melalui aplikasi MyBlueBird. Kedua, peluncuran layanan Bluebird Kirim sebagai metode pengiriman yang mengutamakan ketepatan waktu dan keamanan barang dengan kapasitas daya angkut hingga 200 kg di aplikasi Shopee.

“Setelah kesuksesan kolaborasi kami sebelumnya dalam layanan Bluebird Kirim, kami dengan bangga kembali bermitra dengan Bluebird dalam fitur terbaru, yaitu pemesanan taksi yang dapat diakses melalui aplikasi Shopee,” kata Daniel.

Manuver Blue Bird masuk ke digital

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Blue Bird kini fokus menjadi Mobility-as-a-Service (MaaS) dengan tiga pendekatan utama, yakni penyedia multiplatform/channel, multiproduct/service, dan multipayment. Tujuannya tak lain untuk menciptakan ekosistem layanan terintegrasi dan memperkuat posisinya di industri transportasi di era digital.

Direktur Utama Blue Bird Sigit Djokosoetono mengungkapkan bahwa pihaknya telah belajar banyak dari tahun 2020 dalam menyikapi pembatasan mobilitas masyarakat melalui berbagai program efisiensi untuk mengurangi beban Perseroan. Namun, di sisi lain, Bluebird mengklaim juga terus memberikan layanan yang aman nyaman dan higienis dengan menjalankan protokol kesehatan yang sangat ketat, serta memberikan kemudahan bagi customer untuk melakukan pemesanan taksi di berbagai platform dan makin mengembangkan alternatif pembayaran cashless yang makin diminati oleh masyarakat.

“Banyak perusahaan transportasi yang sudah bertumbangan akibat pandemi. Namun, fakta bahwa Bluebird masih bertahan dan terus mengembangkan bisnisnya adalah bukti dari kepercayaan masyarakat terhadap layanan Bluebird dan tata kelola perusahaan yang prudent serta berorientasi kepada customer,” jelas Sigit mengutip dari WartaEkonomi.

Dalam rangka itu, Blue Bird mulai masuk ke solusi logistik, bermitra dengan Paxel, Shopee, Union Group, Kem Chicks, KAI, dan lainnya. Bersama Paxel, disediakan kapasitas pengiriman maksimal 20 kg untuk pengiriman di hari yang sama dan esok hari, baik di dalam maupun luar kota memanfaatkan jaringan Blue Bird Group. Solusi tersebut kini sudah mencakup tak hanya Jabodetabek, tapi juga Bandung, Tasikmalaya, Purwokerto, Yogyakarta, Malang, hingga Denpasar.

Application Information Will Show Up Here