Startup “Payable Software” Spenmo Terima Pendanaan Seri A 484 Miliar Rupiah (UPDATED)

Startup fintech penyedia solusi SaaS pembayaran untuk bisnis (payable software) Spenmo mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $34 juta (lebih dari 484 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Insight Partners, VC asal Amerika Serikat. Investor lainnya yang turut serta dalam putaran tersebut adalah Addition, Salesforce Ventures, Alpha JWC Ventures, Global Founders’ Capital, Broadhaven, Operator Partners, dan Commerce Ventures.

Selain investor institusi, beberapa angel investor ikut berpartisipasi. Mereka adalah William Hockey (founder Plaid), Andy Cohen (Ex-SVP of Sales Bill.com), Ongki Kurniawan (Head of Stripe Indonesia), Kunal Bahl & Rohit Bansal (founder Snapdeal), Matt Doka (founder Fivestars), dan John Kim (founder Sendbird).

Diklaim pendanaan ini merupakan salah satu putaran seri A terbesar yang berhasil ditutup oleh perusahaan yang didukung Y Combinator di Asia Tenggara.

Dana segar yang diperoleh akan digunakan untuk membangun penetrasi pasar dan mengakses ke lebih dari 20 juta UKM dan pasar menengah di Asia Tenggara. Segmen tersebut sebagian besar tidak menggunakan perangkat lunak apa pun untuk mengelola hutang mereka, yang sebelumnya menggunakan spreadsheet atau tenaga kerja manusia.

Spenmo adalah perusahaan fintech yang menyediakan solusi SaaS untuk mengelola pembayaran bisnis melalui produk kartu kredit perusahaan yang ditujukan buat UKM dan perusahaan menengah sebagai target penggunanya. Kartu kredit ini diperuntukkan untuk membantu bisnis dalam mengelola keuangan saat pembayaran tagihan, melacak, mengkategorikan pembelanjaan, dan pembukuan secara autopilot dalam waktu 90% lebih singkat.

Di Indonesia, Spenmo sudah memiliki tim lokal dan mulai aktif merekrut talenta baru. Situs Spenmo telah tersedia dalam bahasa Indonesia untuk menyasar pengguna baru.

Dalam keterangan resmi, Co-founder & CEO Spenmo Mohandass Kalaichelvan menerangkan, layanan Spenmo sebelumnya dianggap sebagai fungsi back-office, tetapi keuangan dan hutang adalah bagian penting dalam menjalankan bisnis.

“Tim keuangan yang mengimplementasikan layanan kami mendapatkan kembali jam kerja mereka. Rata-rata, mereka menghemat lebih dari 50 jam dan $10 ribu setiap bulannya. Tujuan kami adalah mengembalikan 10 miliar jam kerja setiap tahun untuk membiayai tim di seluruh wilayah,” kata dia.

Principal Insight Partners Rebecca Liu-Doyle kini bergabung sebagai dewan direksi di Spenmo pasca putaran ini. Dia menuturkan, industri pembayaran akan terdisrupsi, terutama di Asia Tenggara yang belum tergarap oleh solusi Spenmo. “Kami senang dapat berperan dalam bagian perjalanan Spenmo yang ingin terus berinovasi dan berkembang,” ujar Rebecca.

Sejak diluncurkan di Singapura tahun lalu, Spenmo telah berkembang di seluruh Asia Tenggara, membawa beberapa ribu pelanggan yang mewakili berbagai sektor, mulai dari perusahaan rintisan dengan pertumbuhan tinggi, hingga UKM, perusahaan pasar menengah, dan firma akuntansi.

Kartu kredit korporat

Memiliki kartu kredit korporat di Indonesia adalah barang mahal bagi UKM di Indonesia karena bank memiliki sejumlah persyaratan yang ketat untuk proses pengajuannya. Hampir semua bank mengeluarkan produk kartu kredit korporat sebagai target penggunanya, selain kartu kredit untuk ritel.

Karena ada gap tersebut, akhirnya membuka kesempatan bagi pemain fintech lending yang selama ini ditawarkan untuk membiayai modal usaha atau KTA. Di Spenmo sendiri, dengan kartu kredit fisik dan virtual yang mereka hadirkan, memungkinkan perusahaan yang ingin mengelola pengeluaran tim dengan mudah dan memiliki banyak tagihan dengan menyediakan fitur pembayaran invoice dan transfer bank otomatis.

Spenmo menyediakan kartu kredit virtual dan fisik yang dapat digunakan untuk membayar sewa, invoice, dan gaji karyawan secara terjadwal dalam dasbor. Serta, dapat dengan mudah integrasi API dengan software akuntansi (seperti Xero, SAP, dan myob) yang sudah digunakan perusahaan.

Diklaim, UKM dapat mengajukan akun Spenmo dengan proses 30 menit selesai, mengontrol (membekukan dan mencairkan) pengeluaran hanya dengan satu klik, dan mengutamakan keamanan dengan menetapkan dana yang telah disetujui sebelumnya untuk menghindari pengeluaran berlebih.

Mulai ada tren paylater B2B

Selain kartu kredit korporat atau pinjaman modal produktif, opsi lain yang mulai gencar diadakan adalah layanan paylater B2B. Menurut publikasi riset yang dirilis DSInnovate bertajuk “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021“, saat ini sudah ada beberapa kolaborasi startup yang menawarkan layanan tersebut.

Penyedia layanan B2B paylater di Indonesia / DSInnovate

Konsepnya, layanan fintech lending bertindak sebagai mitra penyedia pembiayaan, bersinergi dengan pemilik layanan pengadaan — baik barang ataupun jasa. Berbeda dengan layanan lending yang memberikan pinjama modal tunai, paylater B2B fokusnya pada pembiayaan atau pembelian perlengkapan bisnis.

*Kami mengubah judul berita dengan menambahkan terminologi bisnis Spenmo yang lebih tepat

PINA Kantongi Pendanaan Awal, Segera Luncurkan Aplikasi Pengelolaan Keuangan dan Investasi

Pengembang aplikasi pengelolaan keuangan personal PINA mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal dengan nominal dirahasiakan. Putaran ini dipimpin 1982 Ventures, dengan keterlibatan iSeed Asia, Prasetia Dwidharma, Oberyn Capital, dan sejumlah angel investor. Dana segar akan dimanfaatkan untuk mempercepat pengembangan dan pertumbuhan produk sebelum diluncurkan pada November 2021 depan.

Nantinya aplikasi PINA akan membantu orang mengelola dan mengembangkan uang mereka dengan menyediakan solusi pengelolaan dan investasi di satu aplikasi. Startup ini didirikan oleh mantan eksekutif Grab Daniel van Leeuwen dan veteran layanan keuangan Christian Hermawan.

“Misi kami adalah membantu setiap orang mencapai kemandirian finansial dengan menyediakan produk dan saran yang membuat keputusan keuangan yang rumit menjadi sederhana dan relevan. Wealth creating tools yang disediakan untuk individu dengan kekayaan bersih tinggi kini tersedia untuk semua orang. PINA memberdayakan orang untuk berinvestasi dan mengelola uang mereka dengan cara yang dapat dipahami,” ujar Daniel.

Kepada DailySocial.i,d Managing Partner 1982 Ventures Herston Powers mengungkapkan, meskipun platform belum diluncurkan, namun dilihat dari pengalaman para pendirinya yang cukup matang menjadi alasan kuat bagi investor untuk memberikan investasi.

“PINA merupakan aplikasi keuangan pribadi Indonesia pertama yang melayani semua orang Indonesia. Jalan menuju investasi pribadi bukanlah perdagangan saham atau pertukaran kripto, tetapi produk keuangan yang dibuat untuk orang banyak yang berfokus pada membangun kekayaan. Pendekatan dan nilai-nilai holistik PINA sepenuhnya selaras dengan misi kami untuk mengubah layanan keuangan dan memberdayakan jutaan orang Indonesia,” kata Herston.

1982 Ventures sendiri merupakan pemodal ventura yang fokus kepada startup fintech. Berbasis di Singapura, cakupan pendanaan mereka di tahap awal, untuk pebisnis di Asia Tenggara. Selain PINA, portofolio milik 1982 Ventures lainnya di Indonesia adalah Brick dan Wagely.

Sementara itu, CEO Prasteia Dwidharma Arya Setiadharma mengatakan, “Visi PINA adalah memberdayakan masyarakat Indonesia untuk mengejar dan mengamankan kebebasan finansial dengan cara yang sederhana dan lugas. Mengurangi hambatan untuk mengakses pasar sama pentingnya dengan mendidik mereka yang ingin mengaksesnya – literasi keuangan harus menjadi prioritas.”

Platform yang menawarkan layanan serupa seperti PINA di antaranya adalah Halofina, Finansialku, dan Fundtatstic. Tidak sekadar aplikasi pencatatan keuangan pribadi, mereka juga menyematkan layanan investasi dan edukasi keuangan di aplikasinya — misinya memudahkan setiap pengguna mencapai tujuan finansialnya.

Targetkan generasi muda

Misi PINA tidak hanya menyediakan cara yang lebih mudah untuk berinvestasi di pasar keuangan yang sedang berkembang di Indonesia, tetapi juga memberikan akses, kepercayaan, dan literasi keuangan untuk mengatasi rendahnya penetrasi investor ritel, khususnya segmen kelas menengah ke bawah, generasi muda, dan pemula.

Untuk memuluskan tujuannya, mereka telah bermitra dengan beberapa pihak, termasuk perusahaan BNI Sekuritas untuk  menawarkan berbagai produk investasi, Asli RI untuk e-KYC dan keamanan biometrik, dan perusahaan manajemen aset terkemuka lainnya. Saat ini PINA telah terdaftar dan berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Hingga Q2 2021, kami mencatat terdapat sejumlah startup wealthtech (pengelolaan keuangan dan investasi) yang mendapatkan pendanaan dari investor, antara lain:

Announcement Startup Round Amount Investor
January-2021 Zipmex Series A $ 6,000,000 Jump Capital
March-2021 Pluang Pre-Series B $ 20,000,000 Openspace Ventures, Go-Ventures
February-2021 FUNDtastic Series A $ 7,700,000 Ascend Capital Group, Indivara Group
January-2021 Ajaib Series A $ 25,000,000 Horizons Ventures, Alpha JWC Ventures, SoftBank Ventures Asia, Insignia Ventures, Y Combinator
January-2021 Bibit Series A $ 30,000,000 Sequoia Capital India, East Ventures, EV Growth, 500 Startups
March-2021 Ajaib Series A $ 65,000,000 Ribbit Capital, Y Combinator Continuity, ICONIQ Capital, Bangkok Bank PLC, angel investors
May-2021 Pintu Series A $ 6,000,000 Coinbase, Blockchain Ventures, Castle Island Ventures, Intudo Ventures, Alameda Ventures, Angel Investor
May-2021 Bibit Series B $ 65,000,000 Sequoia Capital India, Prosus Ventures, Tencent, Harvard Management Company, AC Ventures, East Ventures

Proyeksinya ke depan masih akan terus meningkat, seiring peluang pasar layanan pengelolaan keuangan yang terus diminati pasar. Menurut sebuah studi, ukuran pasar solusi wealthtech akan mencapai $54,62 miliar pada tahun 2021; dan akan terus bertumbuh hingga $137,44 miliar pada 2028 mendatang dengan CAGR 12,1%.

Menilik Perkembangan Ekosistem Startup Indonesia Melalui Gelombang Baru Unicorn

Tidak dimungkiri, semenjak pandemi justru kucuran investasi banyak diberikan para investor kepada startup semakin subur hingga melahirkan potensi unicorn generasi baru dari Indonesia. Xendit menjadi startup selanjutnya dari vertikal fintech yang telah resmi menyabet status unicorn pada 15 September kemarin.

Ada sejumlah startup yang sudah mencapai centaur tahap akhir [valuasi di atas $500 juta], seperti Akulaku, Ruangguru, SiCepat, Kopi Kenangan, serta Ajaib yang diramalkan akan segera menyusul Xendit. Fenomena ini menarik karena bisa semakin banyaknya unicorn berdampak pada ekosistem startup yang jauh lebih kompetitif.

Untuk membahas hal ini, #SelasaStartup mengundang Founder & Managing Partners AC Ventures Adrian Li sebagai pembicara. AC Ventures merupakan salah satu investor awal Xendit. Ia banyak berbagi terkait kondisi pendanaan hingga impresi awal bagaimana dirinya bertemu dengan CEO Xendit Moses Lo. Berikut rangkumannya:

Faktor pendukung ekosistem startup

Dibandingkan kondisi saat AC Ventures pertama kali berinvestasi di Indonesia pada 2014, saat ini kondisi untuk merintis startup jauh lebih mudah. Infrastruktur, penetrasi smartphone, logistik, hardware sudah jauh lebih maju daripada sebelumnya. Di samping itu, generasi awal unicorn lahirkan bibit entrepreneur baru yang menjadi bekal bagus untuk mencetak unicorn berikutnya.

Adrian menuturkan, ekosistem yang berhasil dibentuk oleh generasi awal unicorn Indonesia sebelum era pandemi, memicu lahirnya entrepreneur baru yang berani untuk merintis startupnya sendiri. Berbagai bekal pengalaman yang mereka bawa dari kantor lama ke startupnya bisa dipastikan memiliki kualitas baik dan pemecahan solusi yang lebih tepat guna.

“Selain itu, kami sendiri juga sudah membangun jaringan dengan berbagai entrepreneur dari jauh-jauh hari. Setiap tingkatan kebutuhan founder, kami memiliki fund masing-masing,” kata Adrian.

Dari faktor-faktor tersebut membuat level disrupsi startup jauh lebih signifikan daripada sebelumnya. Indonesia pun dianggap sebagai pasar yang cukup besar untuk mencetak unicorn lebih banyak dari saat ini. Dari hitungan kasar saja, Indonesia sudah berhasil mencetak delapan unicorn, setidaknya, dari total 2 ribu startup yang ada saat ini.

“Dari awal kita berinvestasi di 2014, kita hanya berharap suatu saat nanti ada perusahaan bernilai $1 miliar yang akan muncul, tapi tidak mengantisipasi bakal ada decacorn lahir di Indonesia. Jadi ke depannya jangan heran kalau dalam lima tahun lagi akan ada lebih banyak perusahaan bernilai miliaran dolar lahir dari sini.”

Suplai pendanaan tahap awal masih kurang

Meski sudah didukung dengan banyak faktor pendukung, sambung Adrian, Indonesia sebenarnya masih kekurangan investor tahap awal. Jumlahnya pun perlu ditingkatkan setidaknya antara tiga sampai lima kali lipat dari jumlah VC tahap awal yang ada saat ini.

Di Tiongkok sendiri ada ribuan VC yang fokus berinvestasi tahap awal yang akhirnya mampu memproduksi ribuan unicorn pada beberapa tahun kemudian. “Jadi kita butuh lebih banyak backup dari banyak perusahaan lokal, jadi enggak harus mengandalkan investor dari luar saja.”

Bagi AC Ventures sendiri, mendanai startup pada tahap awal memang memiliki risiko gagal yang tinggi. Dengan berbagai pengukuran metriks, AC Ventures selalu memasang mindset dan mencari tahu apakah perusahaan yang akan didanai ini bisa bernilai jutaan dolar di kemudian hari.

Hal tersebut juga terjadi saat Adrian bertemu dengan Moses Lo (Co-founder Xendit). Ia menuturkan apa yang dilakukan Xendit pada awal berdiri dengan saat ini sangat jauh berbeda. Awalnya Xendit ingin permudah pembayaran dengan adanya split bill dan transfer uang jauh lebih mudah, kini menjadi perusahaan payment gateway yang fokus pada kemudahan untuk konsumen bisnis.

“Xendit sejak awal memiliki tim yang begitu solid, banyak credit yang saya berikan pada tahap awal itu untuk timnya karena ini bukan perjalanan yang mudah, membuat payment gateway dengan proses yang sangat user friendly.”

Prediksi unicorn berikutnya

Sesuai dengan prediksi Adrian sebelumnya, bahwa akan ada banyak cikal bakal unicorn yang datang dari berbagai vertikal startup dalam beberapa tahun mendatang. Dari berbagai faktor tersebut, dia meramalkan setidaknya dalam lima hingga 10 tahun mendatang akan ada banyak perusahaan bernilai $2 miliar hingga $3 miliar datang dari Indonesia.

Ia mencontohkan, vertikal fintech yang luas akan menjadi penerus unicorn berikutnya, setelah Xendit dan OVO. “Lending akan menjadi area lainnya yang menarik untuk menciptakan unicorn berikutnya, seperti Kredivo dan Akulaku. Pun juga digital bank yang akan agregate seluruh layanan keuangan digital.”

Startup logistik juga akan menyumbang sebagai generasi unicorn berikutnya, mengingat industri e-commerce yang tengah menggeliat sepanjang pandemi. Terlebih itu, industri e-commerce adalah penyumbang utama ekonomi digital di Indonesia menurut berbagai riset.

“Kalau healthtech dan edtech ini memang adalah market yang besar, tapi masih didominasi oleh bisnis tradisional. Ini old business jadi sulit untuk mengubah kebiasaan. Meski adopsi keduanya meningkat pesat selama pandemi, tetap saja akan butuh waktu yang lama [untuk mendominasi market].”

Kendati Adrian memprediksi tiap industri akan menyumbang unicorn, bukan berarti akan menjadikan startup  tersebut memonopoli pasar. Pasalnya, di industri startup teknologi menganut pasar oligopoli. Artinya, ada sejumlah pemain besar yang mendominasi pasar.

“Ada yang monopoli, ada juga yang multiplayer. Contohnya, di industri e-commerce ada Tokopedia, Shopee, Bukalapak yang unggul. Apalagi di fintech ada banyak vertikal yang muncul sebagai unicorn karena besarnya kesempatan dan keunikan di masing-masing produk sebagai value proposition-nya,” tutup dia.

Aspire Tutup Pendanaan Seri B 2,2 Triliun Rupiah, Sediakan OS Keuangan “All-In-One” untuk UKM

Startup neobank asal Singapura Aspire mengumumkan perolehan pendanaan seri B sebesar $158 juta (lebih dari 2,2 triliun Rupiah), dalam bentuk ekuitas sebesar $58 juta dan debt sebesar $100 juta. Putaran ini dipimpin oleh investor ekuitas pertumbuhan global yang berfokus pada fintech dengan identitas dirahasiakan.

Turut berpartisipasi jajaran investor lainnya, seperti DST Global Partners, CE Innovation Fund, B Capital Partners dan investor sebelumnya, yakni Mass Mutual Ventures, Picus Capital, AFG dan Hummingbird Ventures. Sementara, untuk investor debt berasal dari Fasanara Capital.

Putaran ini juga melibatkan angel investor dari beberapa startup fintech ternama, seperti co-founder Wise, Taavet Hinrikus; co-founder Qonto Alexandre Port dan Steve Anavi; founder Uala, Pierpaolo Barbieri; co-founder Xendit, Moses Lo; co-founder Payfazz, Hendra Kwik; dan co-founder Clara, Gerry Colyer.

Aspire didirikan pada 2018 untuk memberikan pinjaman modal kerja bagi usaha kecil hingga menengah, tetapi segera setelah didirikan, perusahaan mulai mengambil strategi multi-produk. Portofolio layanannya mencakup rekening bank untuk bisnis lintas batas (cross border), kartu perusahaan, dan pemrosesan faktur otomatis, yang semuanya terhubung ke perangkat lunak manajemen keuangan. Perusahaan juga mengoperasikan layanan penggabungan untuk perusahaan Singapura yang disebut Aspire Kickstart.

“Apa yang kami coba lakukan adalah menghubungkan layanan perbankan tradisional dengan perangkat lunak karena kami menyadari masalah terbesar, bahwa keduanya benar-benar terputus,” ujar Co-founder dan CEO Aspire Andrea Baronchelli mengutip dari TechCrunch.

Dia melanjutkan, “Kami melihat dunia yang didominasi oleh platform terintegrasi di berbagai fungsi bisnis seperti Salesforce untuk penjualan atau Slack untuk komunikasi. Kami percaya hal yang sama terjadi untuk keuangan dan kami di sini untuk membangun sistem operasi untuk ekonomi digital Asia Tenggara.”

Sumber: Aspire

Berdasarkan riset produk perusahaan dan wawancara dengan mitra bisnis, Baronchelli mengatakan bahwa rata-rata UKM menggunakan tujuh penyedia untuk rekening bank mereka, solusi kredit, valuta asing, manajemen faktur dan penggajian dan akuntansi. Tujuan Aspire adalah menjadi solusi terpadu dan menyeluruh untuk UKM.

Sebagian besar pelanggan Aspire mendaftar ketika mereka membutuhkan akun bisnis atau kartu perusahaan pertama mereka, dan kemudian mulai menggunakan produk lainnya saat mereka tumbuh. Untuk UKM besar yang sudah memiliki akun bisnis, Aspire mencoba menarik perhatian mereka dengan produk bernilai tambah, seperti perangkat lunak manajemen pengeluaran atau solusi kreditnya.

Kartu kredit dan pinjaman modal kerja Aspire biasanya mulai dari sekitar $50.000 dan dapat mencapai $300.000, tetapi dapat disesuaikan seiring pertumbuhan bisnis untuk meningkatkan jalur kredit. Lebih dari 10.000 akun bisnis telah dibuka di Aspire, dan secara total mereka bertransaksi sekitar $2 miliar per tahun, dua kali lipat dalam lima bulan sejak Mei 2021.

Aspire saat ini sedang mengembangkan sistem penggajian, mengingat banyak kliennya memiliki karyawan di berbagai negara. Solusi ini juga menambahkan lebih banyak fitur ke alat manajemen faktur untuk membuat pembayaran rekonsiliasi dengan saldo akun lebih mudah.

Selain di Singapura, Aspire juga beroperasi di Vietnam dan Indonesia (dengan nama Alumak). Di Indonesia, saat ini perusahaan menawarkan produk limit kredit untuk UMKM dengan nominal mulai dari Rp2 juta dengan bunga 1% per bulan. Perusahaan akan merilis layanan Akun Bisnis yang sebelumnya sudah hadir di Singapura. Produk ini memungkinkan pengusaha untuk menerima dan mengirim uang melalui aplikasi Alumak dan Kartu Visa Aspire. Di OJK, Alumak telah terdaftar di bawah aturan IKD.

Tren pembiayaan produktif

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam laporan “Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia” oleh DSInnovate dan AFPI, 75% dari responden survei (146 pemain fintech lending) menggarap sektor pinjaman produktif. Sementara 53% bermain di sektor konsumtif dan 6,8% syariah. Kendati demikian, dalam satu platform bisa saja memiliki lebih dari satu model bisnis.

Dari total pemain yang bermain di sektor produktif, mayoritas menjajakan layanan melalui invoice dan inventory financing — pembiayaan ke suplier juga masuk di dalamnya.

Sektor produktif jelas lebih menjanjikan, terlebih saat ini ada sekitar 59,2 juta UMKM yang tersebar di Indonesia, hal ini tercermin dari profil mayoritas peminjam di layanan tersebut (UMKM offline dan online). Isu permodalan pun masih menjadi salah satu yang paling signifikan akibat fasilitas kredit perbankan belum sepenuhnya bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut.

Varian pendanaan produktif yang banyak disajikan pemain fintech lending / DSInnovate – AFPI

Platform Investasi “Makmur” Mengamankan Pendanaan Tahap Awal

Platform investasi online Makmur mengamankan pendanaan tahap awal dengan nominal tujuh digit yang dipimpin oleh BEENEXT. Sejumlah VC dan angel investor turut berpartisipasi pada putaran ini, antara lain Kinesys Group, Trihill Capital, Yiping Goh (Partner di Quest Ventures), Edward Tirtanata via Kenangan Kapital, Vidit Agrawal (CEO GajiGesa), dan Andrew Lee.

Pendanaan ini akan digunakan untuk mendorong pertumbuhan bisnisnya dengan mengembangkan fitur dan portofolio produk. Makmur juga akan menambah jumlah dan mengembangkan kualitas SDM-nya.

“Saat ini, investor pasar modal di Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan, tetapi baru mewakili 2% dari total populasi di Indonesia. Kami harap pendanaan awal ini dapat mendukung upaya kami menutup gap inklusi keuangan dan mendorong literasinya di Indonesia,” ungkap Sander dalam keterangan resminya.

Edward Tirtanata melalui angel investment fund miliknya di Kenangan Kapital mengatakan saat ini Indonesia tengah mengalami lonjakan investasi dari pasar ritel yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan ini, Makmur berfokus pada financial advisory dan goal-based investing yang dapat membantu mendampingi investor pemula. Ia menilai fokus tersebut memberikan nilai berbeda dibandingkan startup wealthtech yang ada di Indonesia.

“Investor non-profesional seperti saya membutuhkan financial advisor, dan Makmur mendemokratisasi layanan financial advisor,” ungkap Edward dihubungi terpisah oleh DailySocial.id.

Sekadar informasi, Makmur memungkinkan investor untuk berinvestasi dengan nilai minimal Rp10.000. Makmur menawarkan sejumlah fitur untuk memperkuat nilai tambah produknya. Pertama, human advisor berbasis teknologi dan Makmur Recipe untuk mempermudah investor pemula dalam membandingkan reksa dana yang tepat. Pengguna juga dapat menempatkan reksa dana pada kantong berbeda sesuai kebutuhan atau tujuan investasi (goal based investing).

Saat ini Makmur menyediakan delapan manajer investasi, yaitu BNI Asset Management, Bahana TCW Investment Management, Trimegah Asset Management, Avrist Asset Management, Capital Asset Management, RHB Asset Management, FWD Asset Management, dan Syailendra Asset Management.

Memperkuat posisi Makmur

Sebagai informasi, Makmur diperkuat deretan pengalaman kerja tim di perusahaan-perusahaan teknologi dan keuangan ternama di Silicon Valley dan Wall Street. Sander sebelumnya pernah magang sebagai Software Engineer Facebook yang bertanggung jawab atas algoritma pengurutan postingan di News Feed dan Software Engineer di Motorola Solutions.

Ia juga pernah menduduki berbagai posisi di industri keuangan, mulai dari KCG Holdings hingga menjadi Head of Quantitative Trading di Virtu Financial, salah satu perusahaan trading saham terbesar di Wall Street.

Dihubungi DailySocial.id, Sander berpatokan pada sejumlah strategi dalam meracik-racik fitur unggulan Makmur agar pengguna dapat merasakan pengalaman berinvestasi layaknya memiliki wealth manager pribadi

Contohnya, fitur unggulan Makmur Recipe yang dikembangkan dalam beberapa opsi, yaitu Makmur Recipe untuk dana darurat, dana pensiun, dan penghasilan pasif. Selain itu, ada pula fitur tech-enabled human advisor yang dapat merancang strategi sesuai tujuan investasi pengguna. Strategi investasi yang direkomendasikan juga akan mengikuti profil risiko pengguna.

Sander mengatakan, fitur ini dirancang oleh para ahli di bidangnya dengan dukungan teknologi investasi berbasis riset dan data. Ia menilai human advisor lebih memahami kebutuhan investasi pengguna daripada robo advisor yang telah banyak beredar di platform sejenis.

“Kami melihat literasi investasi di Indonesia masih sangat rendah. Kebanyakan orang berinvestasi karena ikut-ikutan atau kepincut imbal hasil yang manis. Padahal, investasi yang baik harus berdasarkan data dan riset, bukan sekadar feeling atau following. Maka itu, kami membuat quantitative investment strategy yang mengacu pada data puluhan tahun dan hasil riset yang digunakan oleh Wall Street, bukan sekadar teori dunia akademis,” papar Sander.

Rencana pengembangan Makmur

Pada tahun ini, Sander mengungkap pihaknya akan menambah pilihan reksa dana dengan menambah partner manajer investasi yang memiliki reputasi dan rekam jejak yang baik. Pihaknya juga akan menggandeng beberapa partner gerai penjualan reksa dana

“Kami selalu menyeleksi partner manajer investasi dengan ketat. Untuk produk reksa dana, kami mempertimbangkan sejumlah faktor, seperti kinerja, top holding, dana kelolaan, dan management fee reksa dana sejenis,” ungkapnya

Dari sisi produk, Makmur akan menambah fitur-fitur baru untuk mempermudah pengguna berinvestasi, seperti metode pembayaran. Menurut Sander, metode pembayaran GoPay dan Direct Debit sedang dalam proses integrasi dan ditargetkan rilis dalam dua bulan mendatang.

Application Information Will Show Up Here

Tokocrypto Luncurkan Kembali “TokoLaunchpad”, Program Akselerator Startup Blockchain

Platform jual-beli aset kripto Tokocrypto mengumumkan peluncuran kembali TokoLaunchpad versi 2.0 yang kini menjadi program akselerator berfokus pada pemberdayaan startup dengan teknologi blockchain dan tokenisasi di Indonesia. Program ini akan diresmikan pada akhir tahun ini, setelah pertama kali diinisiasi pada 2019.

Pada tahap awal, BeKind (BKND) menjadi startup pertama yang bergabung dalam TokoLaunchpad. BeKind adalah proyek blockchain yang mengembangkan ekosistem berdampak sosial/donasi yang kuat dan terukur, berdasarkan bukti melalui platform digital yang transparan. Sejumlah perusahaan telah bermitra dengan BeKind, di antaranya Tokocrypto, WeCare, dan lainnya.

CMO Tokocrypto Nanda Ivens mengatakan bahwa potensi dan pengalaman yang dimiliki BeKind menawarkan value yang unik dan bisa memberikan inovasi dalam proses donasi di Indonesia dengan memanfaatkan blockchain. “Kami sangat berharap agar program inkubator yang akan kami jalankan ini mendorong ekosistem dan pemanfaatan blockchain di berbagai industri di Indonesia,” kata dia dalam keterangan resmi, Jumat (24/9).

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial.id, perwakilan Tokocrypto masih menolak lebih lanjut mendetailkan perbedaan dari TokoLaunchpad yang sekarang dengan sebelumnya.

Pada 2019, TokoLaunchpad diluncurkan sebagai platform yang menjembatani proyek blockchain dengan mekanisme Initial Exchange Offering (IEO) untuk “melantai” di platform jual beli kripto. IEO dianggap lebih unggul dari Initial Coin Offering (ICO), terutama dalam hal keamanan. Pengembang startup blockchain harus mengikuti due dilligence oleh platform jual beli, tentunya memberikan rasa aman bagi para investor yang akan berpartisipasi dalam IEO.

Saat itu, startup blockchain asal Singapura Swipe menjadi mitra pertama di TokoLaunchpad yang melakukan IEO.

CEO BeKind Fajar Jasmin menambahkan, pihaknya berharap dukungan Tokocrypto dalam inkubasi ini bisa mendorong proses IEO sesuai jadwal dalam roadmap BeKind, yakni pada akhir 2021. “Semoga dengan kolaborasi bersama Tokocrypto adopsi token BKND makin meluas dan makin banyak masyarakat yang tergerak untuk saling membantu sesama, tentunya dengan lebih mudah dan transparan, demi menghasilkan impak yang lebih besar dan berkelanjutan,” kata dia.

Selain fokus pada inkubasi BeKind sebagai startup blockchain, Tokocrypto juga berkolaborasi dengan BeKind untuk pengembangan berbagai program CSR, yakni TokoCare. Pengalaman BeKind di ranah sosial akan membantu pengembangan TokoCare dalam menghadirkan program-program CSR yang terukur dan tepat guna pemanfaatannya bagi masyarakat Indonesia.

Salah satu proyek awal TokoCare bersama BeKind adalah distribusi 90 tabung oksigen di Jawa Barat dan Yogyakarta, yang didukung oleh WeCare dan Kementerian Perindustrian. Melalui TokoCare pula, di dalam produk TokoMall, menghadirkan pendanaan untuk program CSR berkelanjutan dalam bentuk NFT Charity.

Pendanaan ini diambil dari koleksi NFT yang terjual di TokoMall di dalam kategori TKO Original. BeKind akan membantu proses mapping program donasi dan distribusinya ke mana saja.

Chief Strategy Officer Tokocrypto Chung Ying Lai menjelaskan konsep NFT Charity menjadi hal baru yang ditawarkan kepada para kolektor atau antusias NFT artwork di Indonesia untuk dapat mengoleksi karya seni sekaligus donasi. “100% transaksinya akan disalurkan untuk donasi melalui TokoCare guna membantu penanggulangan isu sosial hingga kesehatan di Indonesia,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Astra Gencar Transformasi Digital, Memperkenalkan Aplikasi Jual-Beli Mobil Bekas “mo88i”

Konglomerasi bisnis grup Astra kembali memperkenalkan produk baru di ekosistem digitalnya. Melalui PT Serasi Autoraya (SERA) atau Mobil88, perusahaan resmi meluncurkan aplikasi mo88i yang memungkinkan konsumen untuk melakukan jual-beli mobil bekas.

Langkah Mobil88 masuk ke channel digital sejalan dengan tren pertumbuhan adopsi digital dalam dua tahun terakhir. Selain itu, survei internal perusahaan menunjukkan bahwa sebanyak 40% konsumen Mobil88 mengaku berminat membeli mobil bekas secara online.

Direktur Astra Suparno Djasmin meyakini pengalaman kuat grup Astra di industri ini. Maka itu, pihaknya berupaya memberikan customer journey yang seamless untuk melayani transaksi di seluruh Indonesia dengan situasi saat ini.

Berdasarkan laporan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil wholesale (distribusi dari pabrik ke dealer) anjlok signifikan di angka 532.027 unit dibandingkan penjualan di 2019 yang mencapai 1 juta unit.

Lebih lanjut, salah satu keunggulan yang ditawarkan adalah integrasi mo88i dengan ekosistem layanan grup Astra, seperti Astra Credit Companies (ACC), Asuransi Astra, dan Asuransi Car Valuation (ACV). Selain itu, mo88i juga terhubung dengan produk digital Astra lainnya, seperti dompet digital AstraPay dan platform produk keuangan Moxa.

“Kami melihat pertumbuhan adopsi digital selama beberapa tahun terakhir dan kami ingin revamp dengan mengembangkan platform berbasis aplikasi maupun web,” papar Suparno dalam konferensi pers virtual.

Presiden Direktur Mobil88 Naga Sujady menambahkan, mo88i memiliki omnichannel terlengkap yang dinilai unggul dari marketplace mobil bekas sejenis. Kolaborasi channel online dan offline akan memudahkan konsumen menemukan dan bertransaksi mobil bekas. Saat ini, Mobil88 memiliki jaringan offline di 22 showroom.

“Konsumen juga dapat menjajal langsung mobil dengan fitur test drive. Ada juga fitur flexible credit simulation dan experience melihat interior dan eksterior mobil secara 360 derajat via aplikasi. Stok mobil di platform ini juga real-time. Ke depan, kami akan menambah fitur-fitur lain,” ungkapnya.

Transformasi digital Astra

Grup Astra mulai melakukan transformasi digital sejak beberapa tahun lalu. Transformasi ini menggunakan tiga strategi utama, yakni memodernisasi core business, menciptakan sumber pendapatan baru yang inovatif, dan berinvestasi pada produk di ekosistem digital. Beberapa produk digital yang sudah dilahirkan antara lain CariParkir, Sejalan, Movic, dan SEVA.

Di sepanjang 2021, Astra semakin gencar memperkuat ekosistem produk digitalnya. Pada kuartal pertama 2021, anak usaha Astra Financial meluncurkan aplikasi Moxa alias Mobile Experience by Astra Financial. Kemudian beberapa minggu lalu, Astra meluncurkan AstraPay. Untuk saat ini, kedua aplikasi sudah dapat digunakan di ekosistem Grup Astra, yaitu jaringan FIF Group, Astra Credit Companies (ACC), Toyota Astra Finance (TAF), dan Maucash.

Produk Kategori Grup
AstraPay Fintech Astra Financial
Moxa Fintech Astra Financial
Maucash Fintech Astra Welab Digital Arta
mo88i Marketplace (mobil bekas) Serasi Autoraya (Mobil88)
CariParkir Transportation (navigation) Astra Digital
Seva.id Marketplace (mobil baru dan bekas) Astra Digital
Movic Transportation (car rental) Astra Digital
Sejalan Transportation (ride-sharing) Astra Digital

Langkah ini menjadi strategi untuk mengejar momentum akselerasi adopsi digital akibat Covid-19 dan proyeksi adopsinya pasca-pandemi. Menurut, laporan e-Conomy SEA 2020 oleh Google, Temasek, Bain & Company, sebanyak 37% pengguna internet di Indonesia merupakan first time user. Sementara, 93% konsumen digital di Indonesia mengaku akan terus menggunakan platform digital untuk memenuhi kebutuhannya usai Covid-19.

Application Information Will Show Up Here

PouchNATION Alih Fokus ke Sektor Perhotelan, Traveloka Kembali Berikan Pendanaan

Traveloka kembali terlibat dalam pendanaan PouchNATION. Saat ini startup berbasis di Singapura tersebut tengah menggalang pendanaan untuk putaran lanjutan, beberapa investor mulai berpartisipasi di tahap bridge round. Selain Traveloka, pemodal lain yang turut andil adalah SOSV, Artesian, Found Ventures, Huashan Capital, dan beberapa angel investor.

Sebelumnya pada Juni 2019, Traveloka memimpin putaran pendanaan seri B PouchNATION. Kala itu startup pengembang layanan pemesanan tiket hiburan TIX.id juga turut terlibat memberikan investasi.

Kini masuk ke industri perhotelan

Dana segar yang didapat akan dimanfaatkan PouchNATION untuk mempercepat pertubuhan bisnis platform perhotelan. Lewat produk “Contactless Hospitality PouchNATION”, mereka membantu pengelola hotel meningkatkan standar higienis dan memberikan pengalaman tanpa kontak bagi para tamu yang menginap.

Pengalaman yang diberikan, setelah tamu tiba akan diberikan kartu atau gelang NFC yang berfungsi sebagai pengenal digital, kunci pintu, serta dompet digital untuk mengakses berbagai layanan yang disediakan. Hal ini memungkinkan tamu untuk membeli makanan dan minuman, atau menukarkan voucher sarapan tanpa kontak fisik.

Awalnya solusi gelang NFC ini diterapkan PouchNATION untuk tiket masuk ke pagelaran acara, menggantikan tiket kertas yang sebelumnya banyak dipakai. Selain memudahkan verifikasi, teknologi yang diterapkan juga memungkinkan penyelenggara acara melakukan analisis, misalnya terkait arus keluar-masuk pengguna, untuk kebutuhan pelaporan. Kini PouchNATION juga mulai menyematkan fitur fintech ke dalam platformnya, sehingga memungkinkan perangkat yang diberikan memproses pembayaran.

Pergeseran fokus bisnis ini tak lain disebabkan karena dampak pandemi. Kegiatan acara seperti festival musik, konferensi, dll yang menjadi pasar utama PouchNATION harus ditiadakan atau digelar secara online.

“Kami selalu merasa bahwa adopsi teknologi yang lebih cepat dapat memainkan peran besar dalam memberikan pengalaman yang lebih baik bagi industri perhotelan. Memang, pandemi telah mempercepat tren itu dan saat ini banyak penyedia perhotelan merangkul teknologi contactless untuk menjamin standar higienitas yang lebih tinggi bagi tamu mereka,” ujar VP Growth PouchNATION Ricardo Santos.

Jadi fokus bisnis selanjutnya

Model bisnis Contactless Hospitality ini dinilai telah terbukti dan diterima oleh pasar. Dari implementasi yang sudah dilakukan di 7 negara, solusi PouchNATION diklaim telah digunakan 2 juta tamu hotel dan membukukan $100 juta nilai transaksi.

Selanjutnya perusahaan akan memusatkan perhatian bisnis ke sana. Disampaikan juga sudah ada sejumlah rencana besar di tahun 2022 untuk menguatkan kehadirannya di Asia Tenggara dan Amerika Latin dengan produk SaaS untuk membantu industri perhotelan mentransformasi layanan mereka.

“PouchNATION saat ini sedang dalam diskusi untuk menutup putaran pendanaan tambahan untuk memperluas sistem SaaS di luar perbatasan Asia dan mengejar strategi yang benar-benar global,” imbuhnya.

KitaBeli Umumkan Pendanaan Seri A Tambahan

Platform social commerce KitaBeli mengumumkan telah mendapatkan pendanaan tambahan untuk putaran seri A. Sejumlah investor yang berpartisipasi termasuk Vidit Aatrey dan Sanjeev Barnwal (founder Meesho, India), Kopi Kenangan Capital, dan Banana Capital. Perolehan ini berselang sekitar 6 bulan dari pendanaan seri A $10 juta yang dibukukan perusahaan pada Maret 2021 lalu.

Dana tambahan akan digunakan untuk mempercepat ekspansi ke lebih banyak kota, serta membangun SKU bagi konsumen guna menciptakan one-stop-shop untuk berbagai kebutuhan e-commerce di luar perkotaan besar.

KitaBeli didirikan oleh Prateek Chaturvedi, Ivana Tjandra, Subhash Bishnoi, dan Gopal Singh Rathore. Dengan konsep ‘group buying’, platform mereka menjual kebutuhan sehari-hari seperti FMCG, produk segar, kecantikan, elektronik, dan lain-lain. Fokus utamanya di pasar kota tier-2 sampai 4 — melihat daftar di situsnya, saat ini mereka telah beroperasi di 13 kota, mulai dari Solo, Medan, Kediri, Depok, Madiun, Yogyakarta, dll.

Vidit dari Meesho mengatakan bahwa kombinasi model bisnis yang dijalankan KitaBeli potensial untuk bertumbuh di pasar Indonesia. KitaBeli menggabungkan pendekatan ‘group buying’ ala PinDuoDuo dan menggabungkan dengan pendekatan komunitas lokal.

Cara kerjanya, melalui aplikasi KitaBeli, pengguna atau tokoh masyarakat yang menjadi ‘team leader’ dapat membagikan informasi mengenai katalog/harga produk di lingkaran sosial mereka. Kemudian, orang-orang dapat turut memesan barang tersebut melaluinya. Dengan harga bersaing, pendekatan jaringan offline ini dinilai akan efektif.

“Kami memiliki keyakinan kuat bahwa strategi KitaBeli dalam memiliki hubungan pelanggan akhir adalah faktor pembeda utama yang membedakannya dalam ruang kompetitif,” kata Turner Novak dari Banana Capital.

Berbondong melayani kota kecil

Menurut data yang disampaikan, saat ini Indonesia menjadi pasar utama untuk e-commerce di Asia Tenggara. Namun demikian penetrasi layanan di negara tersebut masih kurang dari 10% dari total GMV ritel yang ada. Artinya masih ada potensi pasar signifikan yang belum digarap.

Sementara basis konsumen di kota tier 2-4 telah menyumbang  75% dari total $175 miliar dalam GMV ritel. Penetrasi pengguna e-commerce di kota-kota ini bisa dikatakan minim dan memberikan ruang gerak untuk digitalisasi selanjutnya.

Atas dasar tersebut, startup social commerce berbondong-bondong hadir meramaikan pasar dengan berbagai pendekatannya masing-masing.  Bulan ini saja sudah ada dua startup social commerce yang umumkan pendanaan, yakni Dagangan untuk seri A senilai 163 miliar Rupiah dan Evermos untuk seri B 427 miliar Rupiah. Dengan dana segar yang didapat, keduanya juga berkomitmen untuk melakukan penetrasi lebih dalam ke kota-kota kecil di seluruh Indonesia.

Gambaran proses bisnis layanan social commerce / Trootech

Pendekatan social commerce juga dinilai cocok untuk mengedukasi pengguna baru yang sebelumnya tidak terlalu akrab dengan e-commerce. Cara kerjanya memadukan antara jaringan online dan offline, memanfaatkan komunitas masyarakat, baik sebagai perantara pembelian maupun reseller. Konsumen akhir akan berhubungan dengan orang di sekitarnya untuk pembelian [offline], sementara orang tersebut akan melakukan pemesanan dengan proses bisnis yang sepenuhnya ditangani pemilik platform [online].

Application Information Will Show Up Here

Oy! Konfirmasi Pendanaan Seri A Senilai 427 Miliar Rupiah dan Statusnya sebagai Centaur

Hari ini (23/9), Oy! resmi mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $30 juta atau setara 427 Miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh SoftBank Ventures Asia dengan keterlibatan MDI Ventures, Pavilion Capital, AC Venture, CCV, Wavemaker, PT SAT, Saison Capital Pte. Ltd., dan Orion Advisors.

Sebelumnya, pertama kali kami mengabarkan tentang perolehan pendanaan ini pada Juli 2021 lalu. Kala itu pihak terkait masih enggan memberikan komentar lebih lanjut.

Rencananya, pendanaan ini akan digunakan untuk ekspansi bisnis dan memperkuat infrastruktur layanan keuangannya di Indonesia. Beberapa investor sebelumnya seperti Temasek dan Alternate Ventures juga terus berkontribusi dalam membantu operasional bisnis perusahaan.

Didirikan pada tahun 2018, Oy! memosisikan dirinya sebagai aplikasi solusi finansial. Tidak hanya transfer gratis, mereka juga melengkapi layanan dengan fitur-fitur pembayaran yang telah terhubung dengan kartu debit. Saat ini Oy! Indonesia sudah bekerja sama dengan 80 bank dan telah memiliki lisensi dari Bank Indonesia untuk kegiatan transaksi ini.

Founder & CEO Oy! Indonesia Jesayas Ferdinandus mengungkapkan, “Kami saat ini sedang menikmati pertumbuhan yang luar biasa dengan total valuasi lebih dari $100 juta atau setara dengan Rp. 1,4 triliun, ini menempatkan Oy! Indonesia sebagai startup yang sukses menyandang predikat centaur.”

Dalam wawancara bersama media lokal di acara Fintech Week bulan Juni lalu, Jesayas juga berbagi informasi terkait pertumbuhan volume transaksi Oy! yang mencapai 20-30% setiap bulannya. Hal ini bermula sejak masa PSBB yang pertama hingga saat ini seiring pulihnya daya beli masyarakat Indonesia.

Sementara kegiatan offline sudah mulai kembali normal, pihaknya juga menyebutkan tengah menyiapkan layanan sharing service yang bisa digunakan semua perusahaan fintech untuk menjangkau konsumen secara offline. Inovasi ini disebut sebagai hasil kolaborasi bersama beberapa bank dan Bank Indonesia. Hal ini ditengarai karena 70-80% pengguna Oy! adalah korporasi yang membutuhkan infrastruktur transaksi baik online maupun offline.

Jesayas juga menyebutkan bahwa pertumbuhan yang tengah dialami ini harus didukung dengan komitmen untuk mewujudkan visi Oy! Indonesia sebagai penyedia infrastruktur agregator sistem pembayaran terbaik dan terlengkap di Indonesia.

Melalui transformasi dan ekspansi yang berkelanjutan, Oy! Indonesia berencana untuk terus memperkuat layanannya sebagai sistem pembayaran yang memfasilitasi semua transaksi keuangan, mulai dari kebutuhan sehari-hari individu hingga kebutuhan bisnis di antara beberapa institusi, seperti bank umum, bank digital, p2p lending, e-money, dan perusahaan fintech lainnya.

Solusi sistem pembayaran digital di Indonesia

Solusi sistem pembayaran digital terbukti bisa menjadi pilar utama bagi kelanjutan bisnis selama pandemi Covid-19. Hal ini ditunjukkan dari terus meningkatnya transaksi menggunakan uang elektronik di Indonesia yang mencapai Rp24,8 Triliun per Agustus 2021. Selain itu, Bank Indonesia juga mencatat nilai transaksi digital banking sebanyak Rp3.468,4 triliun atau tumbuh sebanyak 61,80%.

Pesatnya perkembangan digital kian mengubah kebiasaan konsumen dalam bertransaksi. Mereka lebih rasional terhadap harga. Mencari layanan yang memberikan harga yang murah, proses mudah, termasuk layanan transfer uang antar rekening. Hal ini telah membuka peluang bisnis yang besar bagi penyedia jasa transfer.

Terkait solusi sistem pembayaran, Partner SoftBank Ventures Asia, Cindy Jin mengungkapkan, “Kami berpikir bahwa solusi sistem pembayaran tidak hanya merupakan peluang pasar yang besar tetapi juga dapat meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Oleh karena itu, kami menghargai apa yang telah dibangun oleh Oy! Indonesia, yaitu membangun infrastruktur keuangan di berbagai metode pembayaran baik online dan offline.”

Dalam sektor ini, persaingan ketat terjadi antara Oy! dan Flip. Sementara Flip dan Oy! berlomba-lomba menyediakan solusi yang lebih efisien, beberapa layanan dompet digital seperti DANA, LinkAja atau Ovo juga menyediakan opsi transfer tanpa atau dengan biaya admin yang lebih kecil.

Application Information Will Show Up Here