Fokus Raena di Indonesia Setelah Kantongi Pendanaan Seri A dan Lakukan Pivot

Dampak pandemi bisa mendorong bisnis startup secara signifikan, terutama bagi mereka yang mengedepankan layanan online dan produk yang menjadi tren di kalangan masyarakat. Salah satu yang mengalami peningkatan selama pandemi adalah Raena. Platform tersebut membantu kegiatan promosi memanfaatkan influencer media sosial.

Guna meningkatkan traksi, kini memutuskan untuk melakukan pivoting (dalam artian berbelok haluan bisnis untuk memperlebar pangsa pasar), dengan memberikan solusi terpadu bukan hanya untuk influencer, namun juga untuk kalangan perempuan yang ingin memiliki penghasilan tambahan menjadi beauty entrepreneur.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Raena Sreejita Deb mengungkapkan, sejak awal hingga akhir tahun 2020, bisnis baru yang dikembangkan oleh Raena telah mengalami pertumbuhan yang cukup masif. Salah satu alasan adalah makin besarnya jumlah masyarakat yang melakukan transaksi secara online selama pandemi.

“Meskipun banyak yang mengatakan pivoting adalah sesuatu hal yang negatif, namun bagi kami justru menjadi peluang agar bisnis bisa menjadi lebih fleksibel. Jika di awal kami hanya ingin memberikan platform kepada influencer, kini kami ingin memberikan solusi menyeluruh kepada mereka yang ingin memiliki bisnis sendiri,” kata Sreejita.

Konsep baru yang ditawarkan oleh Raena adalah social commerce, mengelola semua kebutuhan dan proses yang biasanya dilakukan oleh penjual secara online. Mulai dari pengelolaan stok barang, supplier, pemilihan brand, hingga logistik. Untuk mereka yang ingin bergabung dengan Raena dan ingin menjadi penjual, selanjutnya bisa lebih fokus mengembangkan jumlah pengikut mereka di media sosial, WhatsApp, kanal marketplace seperti Shopee, Lazada, Tokopedia dan lainnya.

“Sebelumnya model kita adalah oneto-one yang menghubungkan satu supplier ke satu influencer saja. Sekarang konsep yang kita tawarkan adalah many-to-many model, yang menghubungkan berbagai brand dan berbagai supplier kepada berbagai influencer,” kata Sreejita.

Kantongi pendanaan seri A

Untuk mengembangkan bisnis lebih masif lagi, Raena telah merampungkan kegiatan penggalangan dana tahapan seri A senilai $9 juta yang di pimpin oleh Alpha Wave Incubation dan Alpha JWC Ventures. Investor lain yang terlibat dalam pendanaan kali ini di antaranya AC Ventures, Beenext, Beenos, dan Strive. Tahun 2019 lalu Raena telah mengantongi pendanaan tahap awal senilai $1,8 juta.

“Selama ini kita tidak terlalu banyak mengeluarkan uang untuk kegiatan pemasaran. Karena itu kami tidak terlalu gencar untuk melakukan penggalangan dana. Fokus kami adalah meningkatkan nilai para influencer atau mereka yang bergabung dengan Raena,” kata Sreejita.

Dengan dana segar ini rencana Raena ke depannya adalah menambah jumlah penjual, menambah jumlah brand, dan tim internal. Hingga kini Raena telah memiliki tim di Indonesia sebanyak 15 orang. Dan hingga akhir tahun depan, jumlah tersebut rencananya akan ditambah. Raena juga melihat pasar Indonesia sebagai fokus utama yang disasar oleh mereka.

Alpha JWC Ventures menyebutkan, alasan mereka tertarik untuk berinvestasi adalah visi Raena untuk memberdayakan entrepreneur perempuan di seluruh Indonesia dengan cara membuka akses pada produk kecantikan berkualitas tinggi. Tidak hanya itu, Raena menjadi solusi bagi brand yang ingin masuk ke Asia Tenggara, terutama Indonesia, dan untuk entrepreneur yang mencari konsistensi usaha.

“Dengan melayani dua segmen ini, Raena memasuki pasar besar yang terus berkembang seiring pertumbuhan kelas menengah di Indonesia serta Asia Tenggara. Dengan keahlian tim pendiri Raena serta dukungan kami, kami yakin Raena dapat tumbuh menjadi pemain unggul di industri kecantikan Asia Tenggara,” kata Co-founder & General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Sebelumnya DailySocial sempat mengulas tren beautytech di Indonesia, yang didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Berdasarkan laporan Euromonitor, nilai pasar kecantikan di Indonesia sempat ditaksir bakal mencapai $8,46 miliar di 2022, naik dari estimasi nilai di 2019 yang sebesar $6,03 miliar.

Application Information Will Show Up Here

Eden Farm Umumkan Pendanaan Pra-Seri A Dipimpin Investible

Startup argitech Eden Farm mengumumkan telah menutup pendanaan pra-seri A dengan nilai yang tidak disebutkan. Putaran ini dipimpin oleh Investible dengan dukungan AC Ventures, Corin Capital, dan sejumlah angel investor.

Didirikan tahun 2017, startup jebolan Y Combinator (S19) tersebut memiliki misi untuk memaksimalkan pendapatan petani melalui perampingan rantai pasok pangan serta mendistribusikan produk pertanian berkualitas dan terjangkau kepada pengusaha kuliner di Indonesia.

“Pendanaan ini akan digunakan untuk memperluas operasi Eden Farm ke seluruh pulau Jawa dan Sumatera, menambah pilihan SKU, memperluas lahan strategis yang diolah melalui program pendanaan petani, dan melanjutkan pengembangan teknologi untuk mengautomasi sebagian besar proses bisnis […] Kami berada di posisi yang kuat untuk menjalankan seluruh rencana pengembangan 2021 dan selangkah lebih dekat ke tujuan utama kami,” ujar Co-Founder & CEO Eden Farm David Setyadi Gunawan.

Sebelumnya di tahun 2019 mereka telah mendapatkan pendanaan awal senilai $1,7 juta dari sejumlah investor termasuk Y Combinator, Everhaus, Global Founders Capital, Soma Capital, S7 Venture, danangel investor.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial menjelang akhir 2020 David mengatakan, bersamaan dengan momentum pertumbuhan permintaan di masa pandemi, mereka tengah menguatkan dua fondasi penting. Yakni di sisi pasokan dan permintaan, direalisasikan dengan membangun Eden Farm Sourcing Center (ESC) dan Eden Farm Distribution Network (EDN).

ESC adalah program kerja sama langsung dengan petani untuk menentukan pola tanam, kepastian harga jual, dan kepastian jumlah hasil tani yang diambil setiap harinya. Sedangkan EDN adalah jaringan distribusi yang dibuat dengan memberdayakan masyarakat. EDN tersebar di berbagai lokasi serta berada dalam radius 5 km dari pelanggan sehingga pengiriman lebih cepat dan efisien.

Dari statistik terbaru yang disampaikan, saat ini Eden Farm telah melayani lebih dari 25 ribu pedagang yang terdiri dari UMKM kuliner, hotel, restoran, kafe, pasar tradisional, reseller, dan startup di 12 kota dan 3 kabupaten di pulau Jawa.

Dari sisi suplai, mereka didukung oleh lebih dari 1500 petani individu dan kelompok dari pulau Jawa dan Sumatera. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertumbuh secara eksponensial di tahun 2021. Didukung sistem operasi berbasis data, Eden Farm meyakini bisa menciptakan rantai pasok bahan baku yang sangat efisien dari petani sampai dapur pengusaha kuliner serta menghasilkan margin yang positif dan terus bertumbuh.

Dalam sambutannya, Managing Partner AC Ventures Adrian Li mengatakan, “Eden Farm berhasil menciptakan bisnis yang sulit ditiru karena memiliki jaringan petani yang kuat, jaringan konsumen dengan permintaan yang stabil dan rantai pasok pangan yang efisien. Keunggulan ini memungkinkan para petani untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dan para pengusaha kuliner mendapatkan bahan pangan dengan harga yang terjangkau dan kualitas yang baik.”

Potensi pertanian di Indonesia memang terus diperbincangkan pemain di ekosistem digital. Menurut data yang disampaikan, saat ini ada lebih dari 30 juta petani di penjuru nusantara. Sektor pertanian menyumbang 14% dari PDB Indonesia atau setara dengan $140 miliar dengan pertumbuhan 8% setiap tahunnya. Kondisi sektor pertanian sangat terfragmentasi sehingga menciptakan rantai pasokan pangan yang tidak efisien dan mengakibatkan pendapatan para petani berkurang dan tidak stabil.

Application Information Will Show Up Here

Alami Fintech Raised Equity and Debt Funding Worth of 283 Billion Rupiah

The sharia fintech lending startup, Alami, announced $20 million (over 283 billion Rupiah) in equity and debt funding led by AC Ventures and Golden Gate Ventures. Quona Capital is also participating in this round.

Both AC Ventures and Golden Gate Ventures were the previous investors that led Alami’s seed funding worth $1.5 million in late 2019. The arrival of Quona Capital has placed Alami in its Indonesian portfolio list after investing in KoinWorks, BukuWarung, Ula, and Julo.

“We believe that players in the Islamic finance industry have only just tapped a fraction of its potential. Social finance, for example, can be explored further,” Alami’s Founder & CEO Dima Djani said, quoting from the AC Ventures website.

Dima aims that this year Alami can increase the loan disbursement up to four times or worth more than IDR1 trillion for the health, agriculture, logistics, and food sectors. In addition, the company plans to explore opportunities for synergies with Islamic banking financial institutions such as Islamic Commercial Banks (BUS), Sharia Business Units (UUS), and Sharia Rural Banks (BPRS).

One of these plans has been successfully realized. At the same time, through an official statement on the same day, Alami launched a financial channeling partnership with BRI Syariah targeting IDR40 billion this year.

“Through this financial channeling collaboration, it is expected to accelerate the recovery process of small and medium enterprises affected by the pandemic, as well as revive the Indonesian economy,” Dima said.

BRI Syariah’s  Head of Retail Banking Division, Elvera Melladiana stated the one factor that considered the company solid in establishing partnerships with Alami was because it had a positive track record, both in terms of funding, and the potential projects in it.

“BRI Syariah has served SME customers from various levels of capital, and we are aware that in order to achieve an exponential distribution of financing targets, collaboration with fintech companies must begin. This is in order to realize easy, fast, and safe access to Islamic finance,” Elvera said.

As of December 2020, Alami claims to have distributed around Rp. 300 billion to thousands of MSMEs throughout Indonesia from around 20 thousand lenders registered on the Alami platform.

Sharia lending market

Alami is several lending startups focusing on the sharia segment. In addition, there are Ammana, Bsalam, Duha Syariah, Dana Syariah, Finteck Syariah, Qazwa, Ethis, and Investree (sharia business unit). However, its popularity is quite far behind compared to conventional services.

Referring to OJK’s data, the accumulation of fintech lending grew 113.05% YoY to Rp128.7 trillion in September 2020. The new sharia fintech donations contributed around Rp1.2 trillion of the total.

Chairman of the AFPI’s Sharia Funding Fintech Cluster, Lutfi Adhiansyah, stated that there are some factors that make conventional lending run faster than sharia. One of them is in terms of quantity, there are more conventional players and the different nature of the product and business model.

“Many sharia fintech lending targets the productive sector. Therefore, the process is more selective and takes longer to verify. It’s different from multipurpose fintech lending, where online loans are relatively fast and the nominal is quite small,” Lutfi said as quoted from Kontan.co.id.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Fintech Alami Peroleh Pendanaan Ekuitas dan Debt Senilai 283 Miliar Rupiah

Startup fintech lending syariah Alami mengumumkan pendanaan senilai $20 juta (lebih dari 283 miliar Rupiah) berbentuk ekuitas dan debt yang dipimpin AC Ventures dan Golden Gate Ventures. Quona Capital turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Baik AC Ventures dan Golden Gate Ventures, merupakan investor sebelumnya yang memimpin pendanaan tahap awal di ALAMI senilai $1,5 juta pada akhir 2019. Masuknya Quona Capital, otomatis menempatkan ALAMI ke dalam jajaran portofolionya di Indonesia setelah berinvestasi ke KoinWorks, BukuWarung, Ula, dan Julo.

“Kami percaya bahwa pemain yang ada di industri keuangan syariah baru saja memanfaatkan sebagian kecil dari potensinya. Social finance, misalnya, dapat dieksplorasi lebih jauh,” kata Founder & CEO Alami Dima Djani, mengutip dari laman AC Ventures.

Dima menargetkan pada tahun ini Alami dapat meningkatkan nominal penyaluran pinjaman hingga empat kali lipat atau senilai lebih dari Rp1 triliun untuk sektor kesehatan, pertanian, logistik, dan makanan. Selain itu, berencana untuk mengkaji peluang sinergi dengan institusi keuangan syariah perbankan seperti Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).

Salah satu rencana tersebut ada yang berhasil terealisasi. Pada saat yang bersamaan, melalui keterangan resmi yang diumumkan pada hari yang sama, Alami meresmikan kerja sama channeling pembiayaan dengan BRI Syariah dengan target penyaluran sebesar Rp40 miliar pada tahun ini.

“Melalui kerja sama channeling pembiayaan ini, mudah-mudahan bisa mempercepat proses pemulihan usaha-usaha kecil menengah yang terkena pandemi, serta membangkitkan perekonomian Indonesia,” kata Dima.

Kepala Divisi Ritel Banking BRI Syariah Elvera Melladiana menyatakan salah satu faktor yang membuat perusahaan mantap menjalin kemitraan dengan Alami karena punya track record yang positif, baik dari sisi pendana, maupun potensi proyek-proyek yang berada di dalamnya.

“BRI Syariah telah melayani nasabah UMKM dari berbagai tingkat permodalan, dan kami menyadari, untuk bisa mencapai target penyaluran pembiayaan yang eksponensial, kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan fintech harus mulai dilakukan. Hal ini demi mewujudkan akses pembiayaan syariah yang mudah, cepat, dan aman,” tutur Elvera.

Hingga Desember 2020, Alami mengklaim sudah menyalurkan sekitar Rp300 miliar kepada ribuan UMKM di seluruh Indonesia dari sekitar 20 ribu pendana yang terdaftar di platform Alami.

Pasar lending syariah

Alami adalah beberapa startup lending yang bermain di segmen syariah. Selain itu ada Ammana, Bsalam, Duha Syariah, Dana Syariah, Finteck Syariah, Qazwa, Ethis, dan Investree (unit bisnis syariah). Kendati demikian, pamornya masih jauh tertinggal dibandingkan layanan konvensional.

Merujuk dari data OJK akumulasi fintech lending tumbuh 113,05% yoy menjadi Rp128,7 triliun pada September 2020. Sumbangsing fintech syariah baru senilai Rp1,2 triliun dari total tersebut.

Ketua Klaster Fintech Pendanaan Syariah AFPI Lutfi Adhiansyah menyatakan ada beberapa faktor yang membuat lending konvensional lari lebih cepat dibandingkan syariah. Salah satunya dari segi kuantitas, pemain konvensional lebih banyak dan nature dari produk dan model bisnis yang berbeda.

Fintech lending syariah banyak yang menyasar sektor produktif. Jadi proses lebih selektif dan membutuhkan waktu lebih lama untuk verifikasi. Berbeda dengan fintech lending multiguna yang pinjaman online relatif prosesnya lebih cepat dan nominalnya kecil,” kata Lutfi mengutip dari Kontan.co.id.

Application Information Will Show Up Here

Esensi Solusi Buana Tawarkan Aplikasi ERP Menyeluruh untuk Bisnis F&B

Sudah jadi cerita lama kalau restoran kesulitan dalam menyelesaikan berbagai masalah demi mencapai efisiensi operasional dan meningkatkan profit, apalagi ketika bisnis mereka terus tumbuh. Gunawan Woen yang memiliki ketertarikan kepada dunia F&B menyadari masalah tersebut untuk terjun sebagai wirausaha sebagai konsultan di firma konsultasi keuangan dan perpajakan dari pekerjaan sebelumnya sebagai auditor di PwC.

Ketertarikan Gunawan di bidang ini bermuara hingga Esensi Solusi Buana (ESB) dirintis, setelah ia bertemu dengan Eka Prasetya, yang kini menjadi salah satu co-founder ESB.

“Kemudian saya diperkenalkan dengan partner-nya Prawiryo dan Dwi Prawira. Mereka bertiga programmer andal banyak handle programming untuk big companies, banks, insurance, tapi kebanyakan jadi subcon (subkontraktor) dari main programmer. So I askem them to build ESB in 2015,” ujar Gunawan sebagai Co-Founder dan CEO ESB kepada DailySocial.

Para co-founder ESB / ESB
Para co-founder ESB / ESB

ESB pertama kali memulai kiprahnya dengan membuat solusi ERP (Enterprise Resource Planning) yang terkustomisasi sesuai kebutuhan brand restoran. Gunawan bahkan mengklaim, solusi yang mereka buat berhasil menggeser brand ERP besar pada waktu itu. Namun, pada pertengahan 2018 memutuskan untuk membuat produk sendiri yang sesuai dengan passion dan keahlian masing-masing.

“Lalu terpikirlah teknologi restoran karena waktu itu bahkan sampai saat ini, belum ada integrated solution yang betul-betul bisa kasih jawaban ke masalah yang dihadapi restoran. Berbekal pengalaman sebagai problem solver untuk banyak klien F&B, kita develop teknologi restoran ESB di tengah 2018, kita start komersial November 2018.”

Dari pengalamannya, restoran akan kehilangan pendapatan mulai dari 10% (bahkan lebih) akibat dari inefisiensi. Oleh karenanya, ada tiga aspek yang perlu ditingkatkan, yakni manajemen order & outlet, manajemen HQ & operasional, dan manajemen purchase & vendor. Solusi tersebut dapat terselesaikan apabila memanfaatkan teknologi.

Model bisnis ESB

Sebagai startup yang bergerak di SaaS, ESB menyediakan beragam solusi menyeluruh untuk restoran, mulai dari bagian ordering, POS (Point of Sales), KDS (Kitchen Display System), CDS (Customer Display System), kios, loyalitas, dan ERP. Gunawan mengklaim dari seluruh solusi tersebut, yang membedakan ESB dengan pemain sejenisnya adalah integrasi dan fokus.

Menurutnya, terkait integrasi, pemain restoran yang mampu beli software fully integrated seperti ini tidak banyak karena harganya sangat mahal. Namun, dengan model bisnis ESB, software tersebut bisa disediakan kepada restoran melalui berlangganan.

“Karena ESB fokus hanya ke industri F&B, membawa kita ke satu konsep yang dinamakan community-based software artinya ESB solve masalah satu brand, kemudian solusi tersebut ditanamkan dalam bentuk enhancement, mengakibatkan brand lain ikut menikmati pengembangannya.”

Hal tersebut menjadi lingkaran pengembangan yang membuat detail dari software ESB, menjadi sangat tajam mengatasi permasalahan dunia F&B. “Tidak mungkin satu perusahaan bisa mengatasi semua permasalahan di suatu industri, tapi kalau dibantu secara urunan oleh banyak brand, hal itu jadi memungkinkan. Solusi yang dipergunakan oleh merchant ESB besok, adalah solusi yang dipergunakan oleh brand-brand besar. Kita membawa best practice dari sisi teknologi ke industri ini.”

Pengembangan solusi ESB kini sudah menyentuh ke aspek integrasi dengan marketplace B2B untuk menghubungkan penyuplai dengan restoran, Business Intelligence (BI), dan Artificial Intelligence (AI). Menurut Gunawan, sebagian besar prosesnya sudah rampung dan akan dirilis resmi pada kuartal pertama tahun ini.

Masuk ke ranah marketplace B2B, ESB ingin permudah proses pengadaan bahan bagi restoran, termasuk membuka kesempatan bagi penyuplai untuk menjual lebih mudah dan aman tanpa harus berinvestasi lebih di armada logistik atau investasi gudang.

“Untuk B2B marketplace, model bisnisnya agak beda. Di sini kita sediakan berbagai kemudahan untuk supplier bisa melakukan proses penjualan ke restoran, membantu restoran memitigasi fraud dan kesalahan-kesalahan dalam proses procurement. Jadi supplier akan membayar untuk kemudahan-kemudahan ini per transaksi dengan harga yang pastinya sama sekali tidak memberatkan.”

Sementara, untuk BI nantinya menggunakan model bisnis berlangganan bulanan dan AI akan dikenakan biayanya berdasarkan kemampuan ESB membawa up sell untuk restoran. Pengembangan fungsi AI diharapkan mampu merekomendasikan menu yang tepat untuk konsumen, menyenangkan untuk mereka, dan membawa keuntungan lebih untuk restoran.

Perusahaan bekerja sama dengan industri jasa keuangan, untuk menyediakan kredit usaha apabila pengguna ESB ingin mengembangkan bisnis ke level berikutnya. “Karena transaksi B2C dan B2B seluruhnya menggunakan platform ESB, maka di sini dapat dipasangkan dengan jasa keuangan. ESB mendapatkan revenue sharing dari bunga tersebut.”

Telah kantongi pendanaan tahap awal

Platform ESB memungkinkan dipakai oleh restoran yang masih skala kecil. Kendati, mayoritas pengguna ESB datang dari brand besar, seperti Boga Group, Ismaya Group, MAP Group, dan Sour Sally Group, dan masih banyak lagi. Gunawan mengklaim software ESB sudah dioptimasi sedemikian rupa, sampai mampu bekerja di hardware spesifikasi rendah.

“Pasalnya, dua cost paling tinggi di restoran itu adalah biaya produksi makanan dan karyawan. ESB fokus bantu penghematan di dua tipe beban ini. Less cost = increased profit.”

Malah, dia mengungkapkan ESB telah memiliki pengguna di Malaysia dan Swiss. Serta, beberapa pengguna di sejumlah negara di Eropa sempat menghubungi ESB karena tertarik dengan solusi yang ditawarkan. “Mereka mengaku tidak menemukan perbandingan yang apple to apple dengan ESB. Which is a good news to me, sayangnya kami belum siap ekspansi ke luar Indonesia. Jadi saya masih batasi pengguna-pengguna di luar Indonesia.”

Terkait pendanaan baru, Gunawan masih menutup rapat-rapat. Akan tetapi ia menginformasikan akan ada pengumuman pada bulan ini. Sebelumnya, ESB dikabarkan telah mengantongi pendanaan tahap awal dari AC Ventures dengan nominal dirahasiakan pada Mei 2020.

Gunawan menuturkan pendanaan yang sudah diterima perusahaan sejauh ini hampir $5 juta (sekitar Rp69,5 miliar). “Pendanaan kami pergunakan untuk perkuat fungsi-fungsi produk, sembari meningkatkan penjualan,” tutupnya.

Laris Manis Bisnis “Food Delivery” Selama Pandemi

Industri jasa antar makanan (food delivery) mencatat kinerja yang memesona sepanjang pandemi karena anjuran pengurangan mobilitas keluar dari rumah. Meskipun, di sisi lain, secara langsung memengaruhi turunnya kinerja industri transportasi.

Laporan tahunan e-Conomy SEA 2020 yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company mengungkapkan pertumbuhan GMV food delivery tidak cukup untuk mengimbangi kontraksi di sektor transportasi di enam negara Asia Tenggara. GMV yang tercatat dari jasa antar makanan pada tahun ini mencapai $6 miliar, sedangkan transportasi lebih rendah $1 miliar yakni $5 miliar.

Di tahun lalu, tercatat GMV jasa antar makanan mencapai $5 miliar dan transportasi $8 miliar. Dari berbagai faktor pemicu selama pandemi, kondisi tersebut mengubah industri pengantaran makanan menuju jalan yang lebih mulus. e-Conomy SEA memprediksi pada 2025, industri pengantaran makanan akan mendominasi dengan GMV $23 miliar, sementara transportasi $19 miliar.

Food delivery awalnya dianggap sebagai suatu kemewahan, tapi kini penyelamat buat banyak keluarga. Sementara transportasi masih menjadi perhatian buat banyak orang untuk mengurangi aktivitas. Sebagai hasilnya [GMV tahun ini] jasa antar makanan dan transportasi terjadi koreksi,” papar Partner and Leader Bain & Company Alessandro Cannarsi saat konferensi pers secara virtual, Selasa (24/11).

e-Conomy SEA juga menyoroti lonjakan volume pencarian untuk order makanan yang terjadi per negara selama lockdown diberlakukan. Keenam negara yang diriset memperlihatkan empat negara alami kenaikan yang signifikan lebih dari 10 kali dibandingkan pada empat tahun silam, kecuali Singapura dan Vietnam. Di Indonesia tercatat volume pencarian naik 13 kali dan Thailand hingga 20 kali.

Lonjakan ini bisa diartikan mulai timbulnya ketergantungan masyarakat terhadap layanan tersebut. Terlebih ada garis tipis yang memisahkan antara layanan online grocery dengan makanan.

e-Conomy SEA melaporkan, WFH membentuk kebiasaan baru untuk memasak dari dapur sendiri (selaras dengan kenaikan online grocery). Tren tersebut dijawab dengan perluasan vertikal bisnis para pemain jasa antar makanan. Tidak hanya siap santap (ready-to-eat), tapi juga kebutuhan sehari-hari.

Di Indonesia sendiri, pemain terdepan yang saling berkompetisi di segmen ini adalah GoFood dan GrabFood karena ekosistem food tech yang lengkap dan meng-cover area nasional.

Dapur Bersama GoFood / Gojek
Dapur Bersama GoFood / Gojek

Pemain lainnya, dengan cakupan lebih terbatas, punya armada sendiri, dan layanan yang lebih niche dihuni oleh Yummy Corp, Kulina, Gorry Holdings, Wakuliner dengan cakupan lebih dari satu kota, disusul pemain lokal DapurGo (Yogyakarta) dan Homade (Jakarta).

Cerahnya prospek ini juga diartikan secara luas sebagai kesempatan untuk bertahan. Menyambung tulisan sebelumnya, sejumlah pemain direktori dan review tempat makan (food directory) yang beroperasi di Indonesia melebarkan bisnisnya ke segmen ini agar tetap relevan dengan kebutuhan. Dari catatan DailySocial, mereka adalah Chope, Qraved, dan Traveloka Eats.

Mereka tidak menyediakan armada sendiri karena memerlukan kapital yang besar untuk bersaing. Pasar jasa antar makanan ini, khususnya buat Gojek dan Grab, dibentuk dengan subsidi gila-gilaan untuk menciptakan permintaan.

Strategi yang sama juga diambil Tabula. Pemain ini masih baru di Indonesia dan cakupan pengantarannya baru ada di sebagian Jakarta, Bekasi, Karawang, Tangerang, Depok, Bogor, dan Bandung. Tabula bermain sebagai direktori restoran berbagai brand dan membangun sistem back-end untuk kemudahan pesan antar dan terintegrasi dengan sistem pembayaran uang elektronik.

Model bisnis Tabula sedikit beririsan dengan Hangry yang mengoperasikan banyak brand makanan di bawah benderanya. Keduanya juga tidak memiliki armada sendiri untuk antar makanan, tetapi memanfaatkan kehadiran armada dari Gojek atau Grab.

Pertimbangan yang sama juga diambil Chope. Dalam wawancara bersama DailySocial, General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty menjelaskan bermain di jasa antar makanan benar-benar menantang, juga mahal. Unit ekonominya sangat sulit untuk dibenarkan, kecuali perusahaan tersebut memiliki volume yang besar, terutama jika perusahaan menangani antar logistik juga.

“Beruntung bagi kami, di Indonesia kami tidak terlibat dalam bagian logistik pengiriman,” terangnya.

Dia melanjutkan, “Chope memberikan opsi untuk memilih dan memesan, tapi kami tidak melakukan pengiriman sendiri. Metode dengan WhatsApp ini banyak diapresiasi mitra restoran karena dianggap lebih mudah buat stafnya.”

Pemain food tech Direktori Jasa antar Cloud kitchen Voucher Dine-in / Takeaway / Pickup Cakupan layanan B2B
GrabFood X X X X Nasional
GoFood X X X  X Nasional
Kulina X X (armada sendiri) X Jadetabek X
Gorry Holdings X X (armada sendiri) Jakarta, Tangerang X
Yummy Corp X X (armada sendiri) X Jakarta, Tangsel X
Traveloka Eats X Pihak ketiga X X Nasional (terbatas)
Wakuliner X X (armada sendiri) Jadetabek, Surabaya X
DapurGo X X (armada sendiri) Yogyakarta X
Homade X X (armada sendiri) Jakarta X
Tabula X X (Pihak ketiga) X Jabodetabek, Bandung
Hangry X X (Pihak ketiga) X X Jabodetabek
Qraved X X (Pihak ketiga) Kota besar di Jawa, Bali, dan Medan
Chope X X (Pihak ketiga) X X Jabotabek
Eatigo X X X Jadetabek

Pemain dari luar Indonesia

Gambaran dari e-Conomy SEA memperlihatkan betapa besarnya ceruk foodtech di masa mendatang. Amerika Serikat punya DoorDash, UberEats, Postmates, dan lainnya, Inggris ada Deliveroo, Tiongkok ada Meituan, dan India punya Swiggy dan Zomato.

Dari diskusi singkat yang diadakan Tech In Asia beberapa waktu lalu, COO Swiggy Vivek Sunder bercerita, industri ini bisa tumbuh dengan cepat karena tiga faktor, yakni keberadaan teknologi, consumer centricity, dan timing yang pas.

Swiggy mengambil pendekatan yang revolusioner untuk eskalasi bisnisnya. Di 3,5 tahun pertama, perusahaan menerapkan cara umum setiap ekspansi ke kota baru dengan merekrut dan melatih kurirdan mendatangi tiap restoran untuk onboard ke dalam aplikasi.

Proses ini membuat ekspansi perusahaan lamban karena dalam 3,5 tahun baru masuk ke 10 kota. Bila dihitung secara manual, untuk masuk ke seluruh India butuh waktu bertahun-tahun. Bertahan dengan cara ini tentu tidak membuat perusahaan jadi kompetitif. Cara kerja akhirnya diubah menjadi disruptif.

“Cara ini tentu pada awalnya tidak membuat banyak orang di internal senang. Tapi kita ini adalah perusahaan database. Kita percaya teknologi dan sangat mengandalkan itu,” terang Vivek.

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Cara disruptif akhirnya dipilih dengan masuk ke lima kota dengan merepresentasikan populasi tinggi di sana. Lalu crowdsource semua informasi yang konsumen mengenai apa yang mereka minta untuk dikerjakan Swiggy, mengingat perusahaan tidak mengenal baik bagaimana kondisi di sana.

“Kami tidak menaruh satupun orang di kota tersebut, semua dilakukan secara remote. Kami bertanya ke konsumen, restoran mana yang ingin kami hadirkan untuk kamu. Jawaban ini kami kumpulkan secara crowdsource untuk mencari tahu lebih dalam. Ketika berhasil bisa langsung dieskalasi skalanya jadi lebih besar.”

Cara kerja disruptif ini sukses memboyong Swiggy, dalam kurun waktu 12-15 bulan, menambah 500 kota di India.

Baginya, kunci terpenting yang harus ada di perusahaan food delivery adalah memahami betul apa maunya konsumen. Oleh karenanya, perusahaan sangat mengandalkan penggunaan data analitik, data science, untuk mendapat lebih jauh insight mendalam secara real time mengenai konsumen, baik secara aspek perilaku dan kualitatifnya.

Untuk itu, perusahaan membuat tim baru “CTO”. Bukan kepanjangan dari Chief Technology Officer, melainkan Consumer Technology Operations. “Percuma kalau punya aplikasi bagus, tapi kalau makanan tidak sampai dalam 30 menit konsumen tidak akan pakai lagi. Jadi mau food delivery, grocery, atau layanan lainnya, operasional itu harus yang terbaik.”

Layanan Swiggy kini sudah berkembang luas. Selain pengantaran makanan, ada grocery, jasa pengantaran yang hiperlokal, dan produk dairy. “Banyak vertikal yang sudah kita masuki, ada yang sudah pilot. Jadi setelah Covid-19 kita bisa menjadi pemain food plus plus,” ujarnya.

Apakah pasar jasa antar makanan lebih cepat mature?

Meski pemain jasa antar makanan makan ramai, bukan berarti membuat pasar langsung jenuh. Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi menjelaskan, bisnis F&B, termasuk di dalam jasa antar makanan, amat besar ceruknya dan masih akan terus berkembang dengan cepat.

Potensi tersebut lebih dari cukup untuk menampung beberapa pemain besar di dalamnya. Terlebih dari sisi masyarakat sudah semakin nyaman untuk menggunakan layanan ini. Bisa dipastikan pasarnya terus bertambah setiap harinya.

“Di Amerika dan Eropa, misalnya, ada beberapa pemain besar di sektor ini [Deliveroo, UberEats] dan startup-startup baru sejenis terus bermunculan, sehingga industrinya tetap dinamis dan pemainnya harus terus berinovasi,” ujarnya.

Oleh karenanya, belum pas bila melihat industri ini sudah mature lebih cepat karena justru masih sangat muda. “Untuk menjadi saturated sepertinya masih butuh waktu yang cukup lama.”

Hal yang sama diamini Managing Partner AC Ventures Adrian Li. Menurutnya menyimpulkan pasar jasa antar makanan sudah mature itu terlalu dini, melihat adopsi teknologi oleh restoran masih dalam tahap awal.

Meskipun demikian, pemenang industri ini pada jangka panjang kemungkinan besar tidak akan muncul dari sisi B2C, tetapi B2B dengan produk yang terintegrasi — bekerja sama dengan para pemilik restoran.

Adrian melihat jasa antar makanan semakin mengakar sebagai bagian penting dari pendapatan restoran santapan kasual. Sementara startup direktori restoran, yang hanya mendukung bagian front end dari restoran untuk meningkatkan traffic, memerlukan integrasi sebagai nilai tambah. Terlebih bisnis direktori ini harus bersaing dengan pencarian di Google.

“Menyediakan pengalaman pelanggan yang terbaik berarti membuat arus transaksi yang lebih efisien. Namun, untuk melakukan hal ini tidak hanya memerlukan integrasi pembayaran tetapi juga sistem ERP untuk restoran karena mengelola pesanan akan menjadi bagian penting dalam menyiapkan pesanan takeaway atau jasa antar makanan.”

Dia mencontohkan, salah satu bisnis yang sudah mengembangkan sistem ERP tersebut adalah perusahaan SaaS lokal bernama ESB dengan layanan EZ Order, portofolio AC Ventures. Perusahaan ini menawarkan platform manajemen restoran full-stack, memungkinkan integrasi yang mudah dari semua plaform pemesanan online, entah itu situs atau dari media sosial.

Finantier Obtains Seed Funding, to Offer API service for Financial Business

Finantier is an open finance service developer startup, enabling financial companies to use an API (Application Programming Interface) connection to streamline multiple processes. In the Finantier service, there are three main features, verification of identity through data owned by users or bank data; help businesses manage raw data with machine learning; and provides features to accommodate regular payments or subscriptions.

The startup founded by Diego Rojas, Keng Low, and Edwin Kusuma, today (23/11) announced its pre-seed funding led by East Ventures with the participation of AC Ventures, Genesia Ventures, and several other investors. There is no further detail of the nominal funding obtained. The investment fund will be focused on strengthening the team and accelerating the development of their API technology, including preparing services to expand in various countries in Southeast Asia.

Co-Founder Finantier: Diego Rojas & Keng Low
Finantier’s Co-Founders : Diego Rojas & Keng Low

“Open finance is a framework built on the principles of open banking that gives consumers the flexibility to access their data securely and use it optimally across multiple platforms,” ​​Finantier Co-Founder & CEO Diego Rojas said.

In Indonesia, open banking regulation is the responsibility of Bank Indonesia. Until now, the Open API standard is in its developing stage. Since last July 2020, BI has announced the release of the Open API standard, enabling collaboration between banks and fintechs to create an inclusive financial services ecosystem. Open API is an application program that allows companies to be integrated between systems.

In Indonesia, there are several API service startups to accommodate various payments. One of the most comprehensive is Ayoconnect, which offers an API for transactions, payments, and even transaction data management. With a different approach, there is also an API-based open banking solution provided by Brankas, enabling developers to facilitate various transactions from user to bank.

“We are leveraging the digital footprint of consumers and businesses to provide them with safe access in Southeast Asia to customized financial services, which in turn help improve consumers’ financial well-being,” Co-Founder & CPO Finantier, Keng Low added.

Meanwhile, Finantier’s Co-Founder & COO Edwin Kusuma outlined one of the issues that fintech players in Indonesia have often encountered. “P2P lending companies often have difficulty channeling loans to individuals and SMEs. Usually, this is due to a lack of information or because fintech companies are unable to get a complete financial picture of prospective borrowers, even though this data is needed to reduce loan risk and reduce costs.”

Finantier was founded in the middle of this year aiming to provide the infrastructure and data needed by businesses to build the next generation of financial products. Finantier enables fintech platforms and financial institutions to collaborate securely to provide consumers with flexibility, convenience and security in utilizing their financial data.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Finantier Dapat Pendanaan Awal, Hadirkan Layanan API untuk Bisnis Finansial

Finantier adalah startup pengembang layanan open finance, memungkinkan perusahaan finansial menggunakan sambungan API (Application Programming Interface) untuk mengefisiensikan beberapa proses. Di layanan Finantier ada tiga kapabilitas utama yang ditawarkan, yakni melakukan verifikasi identitas melalui data yang dimasukkan pengguna atau data bank yang sudah dimiliki; membantu bisnis mengelola data mentah dengan machine learning; dan menghadirkan fitur untuk mengakomodasi pembayaran yang dilakukan rutin atau langganan.

Startup yang didirikan Diego Rojas, Keng Low, dan Edwin Kusuma tersebut, hari ini (23/11) mengumumkan perolehan pendanaan pre-seed yang dipimpin oleh East Ventures dengan partisipasi dari AC Ventures, Genesia Ventures, dan beberapa investor lainnya. Tidak disebutkan detail nominal pendanaan yang didapat. Dana investasi akan difokuskan untuk memperkuat tim dan mengakselerasi pengembangan teknologi API mereka, termasuk mempersiapkan layanan agar bisa berkembang di berbagai negara di Asia Tenggara.

Co-Founder Finantier: Diego Rojas & Keng Low
Co-Founder Finantier: Diego Rojas & Keng Low

Open finance adalah sebuah kerangka yang dibangun di atas prinsip-prinsip open banking yang memberikan konsumen keleluasaan untuk mengakses data mereka dengan aman dan menggunakannya dengan optimal di berbagai platform,” kata Co-Founder & CEO Finantier Diego Rojas.

Di Indonesia sendiri aturan open banking ada di ranah Bank Indonesia. Sampai saat ini, standar Open API sedang dalam tahap pematangan. Sejak Juli 2020 lalu, BI sudah mengumumkan segera merilis standar Open API, memungkinkan kolaborasi antara bank dan fintech mewujudkan ekosistem layanan keuangan yang inklusif. Open API adalah program aplikasi yang memungkinkan perusahaan terintegrasi antar sistem.

Di Indonesia sendiri beberapa startup layanan API untuk mengakomodasi berbagai pembayaran. Salah satu yang terlengkap adalah Ayoconnect, menawarkan API untuk transaksi, pembayaran, sampai ke pengelolaan data transaksi. Dengan pendekatan berbeda, ada juga solusi open banking berbasis API yang disediakan Brankas, memungkinkan pengembang memfasilitasi berbagai transaksi dari pengguna ke bank.

“Kami memanfaatkan jejak digital konsumen dan bisnis untuk memberikan mereka akses yang aman di Asia Tenggara ke layanan finansial yang disesuaikan dengan kebutuhan, yang kemudian turut membantu meningkatkan kesejahteraan finansial konsumen,” tambah Co-Founder & CPO Finantier, Keng Low.

Sementara itu, Co-Founder & COO Finantier Edwin Kusuma menjabarkan salah satu isu yang selama ini kerap ditemui pemain fintech di Indonesia. “Perusahaan p2p lending seringkali kesulitan dalam menyalurkan pinjaman ke individu dan UMKM. Biasanya, hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi atau karena perusahaan fintech tidak bisa mendapatkan gambaran finansial yang lengkap dari calon peminjam, padahal data tersebut dibutuhkan untuk mengurangi risiko pinjaman dan menekan biaya.”

Finantier didirikan pada pertengahan tahun ini dengan tujuan menyediakan infrastruktur dan data yang dibutuhkan oleh bisnis dalam membangun produk finansial generasi selanjutnya. Finantier membuat platform fintech dan institusi keuangan bisa berkolaborasi dengan aman untuk memberikan konsumen keleluasaan, kenyamanan, dan keamanan dalam memanfaatkan data finansial milik mereka.

Startup “Food Discovery” Tertatih-tatih Sepanjang Pandemi

Startup direktori dan review tempat makan (food discovery) ikut menjadi korban efek pandemi karena berkurangnya mobilitas masyarakat di kala waktu senggang untuk makan di luar rumah. Menurut catatan DailySocial, setidaknya tahun ini saja ada empat startup segmen ini yang gulung tikar di Indonesia.

Mereka adalah Eatsy, MariMakan, Club Alacarte, dan terakhir Zomato. Zomato baru saja membubarkan tim operasionalnya di Indonesia, meski aplikasi dan situsnya masih bisa diakses. Pemain yang tersisa, seperti Chope, Qraved, Eatigo, dan Traveloka Eats, mendiversifikasi bisnisnya ke pengiriman makanan demi menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru. Hanya PergiKuliner yang masih bertahan sebagai startup direktori.

Menurut Founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li, sebenarnya industri F&B di Indonesia bernilai miliaran dolar karena kelas menengah yang tumbuh pesat. Ini merupakan salah satu faktor mengapa industri ini terus menarik startup teknologi yang didukung oleh modal ventura.

Namun, bisnis direktori menjadi salah satu vertikal bisnis yang harus “gigit jari” karena mereka gagal memonetisasi dan mewujudkan visinya sebagai perusahaan berkelanjutan.

“Banyak dari model awal ini fokus sebagai direktori atau listing yang berhasil memperoleh dan mempertahankan traffic yang signifikan, tapi tidak mampu menghasilkan pendapatan iklan yang signifikan. Pada akhirnya bisnis tutup atau perlu pivot,” terang Adrian kepada DailySocial.

Lebih dalam dijelaskan, startup direktori kebanyakan mengandalkan iklan sebagai model bisnis inti. Sayangnya mereka tidak dapat mencapai skala monetisasi. Permasalahan terjadi karena pendapatan iklan yang rendah dari restoran, dominasi bisnis jaringan restoran vs standalone, dan tingginya konsentrasi bisnis restoran berbasis mal.

“Covid-19 hanya mempercepat penutupan perusahaan-perusahaan tersebut pada bisnis yang non sustainable di Indonesia.”

Oleh karena itu, sambungnya, perlu ada perubahan strategi bisnis dengan menjadikan food directory sebagai fitur tambahan, bukan sebagai bisnis yang berdiri sendiri. Bisnis seperti ini dapat menjadi mesin pencetak traffic yang efektif dan berguna untuk konsumen.

“Tapi dengan catatan harus tetap menghasilkan pendapatan langsung untuk restoran. Model ini potensial untuk ini menjual kupon, pengiriman, memesan terlebih dahulu, atau pick up. Kami telah melihat ini sebagai pendorong yang kuat untuk Gojek melalui Go-Food yang pada dasarnya listing + pengiriman.”

Chope masuk ke layanan pengiriman makanan

Formula yang disampaikan Adrian cukup mencerminkan kondisi yang terjadi sekarang ini. Banyak startup foodtech yang berbondong-bondong menyediakan jasa pengiriman makanan.

Chope jadi salah satu yang terjun ke sana, meski tidak langsung. Menurut penjelasan General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty, pandemi ini membawa seluruh industri F&B dan perusahaan ke dalam posisi yang sulit. Chope sendiri fokus sebagai platform reservasi dine-in untuk konsumen yang ingin menikmati suguhan di restoran favorit.

Lockdown merupakan hambatan terbesar bagi Chope karena hal itu membuat bisnis kami benar-benar terhenti,” katanya.

 General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty / Chope
General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty / Chope

Kondisi tersebut tidak serta merta membuat Chope harus memberhentikan karyawan. Karthik memastikan tidak ada pemberhentian siapapun di tim Chope, baik di Indonesia atau di negara lain. “Kami semua mengambil pemotongan gaji dan untungnya model bisnis kami memungkinkan kami memiliki sejumlah cadangan yang tidak mengharuskan kami untuk layoff.”

Ia menceritakan, CEO perusahaan mengatakan “Don’t let a crisis go to waste!”. Jangan biarkan krisis jadi sia-sia (karena tidak melakukan apa-apa) kepada seluruh tim Chope. Oleh karena itu tim bekerja keras mengembangkan layanan baru Chope on Delivery.

Di Singapura, markas Chope, mereka bekerja sama dengan operator taksi lokal sebagai mitra pengirim makanan untuk mitra restoran Chope. Layanan ini hadir karena restoran kelas atas mengeluh karena biaya yang harus dibayarkan kepada kurir operator lokal terlalu mahal.

“Tim produk dan engineer kami bekerja non stop selama 72 jam untuk memodifikasi produk existing agar konsumen dapat memilih menu spesifik, terintegrasi dengan aplikasi taksi, dan kami mulai onboard restoran di Singapura untuk memasukkan menu mereka. Setiap pesanan akan dikirim ke taksi terdekat untuk melakukan pengiriman.”

Orang Singapura memang secara rutin memesan makanan di restoran kelas atas, sehingga cara ini berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia.

Untuk itu, Chope on Delivery di Indonesia dimodifikasi. Disebutkan Chope sulit menemukan mitra dalam waktu cepat dan proses integrasi yang memakan waktu. Karthik juga tidak ingin berkompetisi langsung dengan GoFood atau GrabFood.

Chope memiliki layanan e-commerce di dalam platform-nya. Akhirnya mereka menjual voucher dari berbagai paket menu, katering, maupun reguler, yang dijual mitra restoran. Pembeli dapat mengklaim voucher tersebut dengan mengontak restoran melalui WhatsApp. Pengiriman akan dilakukan melalui GoSend atau GrabExpress.

“Chope memberikan opsi untuk memilih dan memesan, tapi kami tidak melakukan pengiriman sendiri. Metode dengan WhatsApp ini banyak diapresiasi mitra restoran karena dianggap lebih mudah buat stafnya.”

Respons konsumen terhadap layanan ini, klaim Karthik, tidak buruk dari kacamata bisnis — meski belum signifikan jika dibandingkan sebelum pandemi.

“Namun yang terpenting adalah mitra restoran kami melihat bahwa kami masih berusaha melakukan berbagai hal untuk mendukung mereka dan mereka sangat menghargai hal ini. Melalui fitur ini, kami berusaha terus relevan dengan pengguna kami, sehingga mereka tidak perlu melupakan Chope sepenuhnya selama berbulan-bulan lockdown di Indonesia.”

Di luar layanan Chope on Delivery, perusahaan juga membuat diversifikasi bisnis lainnya dengan menjual tiket hotel karena banyak mitra restoran yang berlokasi di dalam hotel. Layanan “Save now, stay & dine later” memungkinkan konsumen untuk staycation di hotel dengan harga murah kapan saja dan menikmati berbagai fasilitas yang disediakan hotel.

Perusahaan membuat program dining voucher yang lebih fleksibel untuk membantu mitra restoran terhindar dari pembatalan dan konsumen yang tidak jadi datang (no-show). “Cara ini efektif menurunkan angka pembatalan karena konsumen dapat mengganti tanggal kedatangan. Tidak perlu membatalkan jika ada hal darurat.”

Ke depannya, Chope ingin memperkuat teknologinya untuk membantu lebih banyak restoran yang terdampak pandemi. Mitra dapat memaksimalkan pendapatannya dengan memanfaatkan sistem manajemen reservasi meja, membangun database yang dipersonalisasi dengan sistem CRM, dan mengantarkan lebih banyak pelanggan ke restoran. Tidak hanya berbentuk visibilitas pemasaran, tetapi juga melacak dan mengirim pelanggan ke restoran.

“Dalam jangka panjang, kami akan perluas layanan ke semua kota tier 1 dan 2 di Indonesia serta dengan perkembangan pesat di industri F&B di negara lainnya.”

PergiKuliner tetap bertahan sebagai direktori

Tim PergiKuliner / PergiKuliner
Tim PergiKuliner / PergiKuliner

DailySocial juga berkesempatan untuk mewawancarai CEO PergiKuliner Oswin Liandow. Ia menceritakan saat PSBB ketat diberlakukan pada Maret kemarin, traffic PergiKuliner terus berkurang. Sebulan setelah pandemi, traffic turun hingga minus 65% atau tersisa hanya sepertiga.

Buruknya kinerja ini harus diantisipasi secara cepat dengan berinovasi. “Kami memperkirakan kapan pandemi berakhir, bagaimana perubahan behavior user saat dan setelah pandemi, apa yang bisa kami lakukan, dan akhirnya ada banyak keputusan yang kami ambil,” tuturnya.

Keputusan terberat akhirnya harus diambil pada awal April dengan efisiensi karyawan. Oswin tidak menyebut berapa banyak karyawan yang terkena dampak. “Ini adalah keputusan terberat yang pernah saya ambil selama membangun PergiKuliner. Namun dengan semua pertimbangan yang ada, kami harus mengambil langkah ini.”

Berikutnya adalah memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk mitra restoran. Akhirnya PergiKuliner memutuskan membantu mereka yang membuka jasa pengiriman gratis dengan membuat laman direktori khusus dengan tagar BebasOngkir. Program ini diklaim sukses. Ada ribuan restoran ikut berpartisipasi.

Setelah PSBB mulai dilonggarkan, perusahaan membuat QR Code untuk melihat menu restoran secara online melalui situs atau aplikasi PergiKuiliner. Diklaim ada ribuan restoran yang sudah menggunakan QR Code dan jumlahnya terus bertambah setiap harinya.

Logo PergiKuliner

Saat PSBB transisi dan mulai dibukanya makan di restoran secara terbatas, traffic PergiKuliner diklaim hampir kembali normal atau 90% dari sebelum pandemi. Oswin meyakini strateginya untuk tetap berada di direktori dan review tempat makan adalah benar karena selalu dibutuhkan.

“Ke depannya kami menyiapkan beberapa proyek baru untuk meningkatkan excitement user. Salah satunya PergiKuliner Berburu Kopi yang akan launch awal Desember. Pengguna bisa mendapatkan gratis satu kopi setelah pergi ke lima coffee shop berbeda. Mereka bisa memilih dari ratusan tenant yang berpartisipasi,” tutupnya.

Layanan Marketplace C2C Garap “Fulfillment”, Jadi Investasi Masa Depan

McKinsey & Co memperkirakan nilai pasar e-commerce di Indonesia dapat mencapai $65 miliar (sekitar Rp910 triliun) pada 2022 atau naik delapan kali lipat dibandingkan tahun 2017 yang sebesar $8 miliar (sekitar Rp112 triliun). Pertumbuhan ini menandakan kontribusi besar e-commerce terhadap perekonomian digital di Indonesia.

Berdasarkan klasifikasinya, Consumer-to-Consumer (C2C) dan Business-to-Consumer (B2C) menjadi model bisnis yang banyak diadopsi oleh pelaku e-commerce Indonesia. Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee adalah contoh pelaku C2C yang menjadi platform pihak ketiga bagi transaksi yang dilakukan langsung antara pembeli dan penjual.

Sementara B2C memiliki model bisnis yang berbeda dengan C2C. Di sini, pemilik bisnis memanfaatkan platform untuk memasarkan produknya langsung ke konsumen akhir. Adapun, model ini diadopsi oleh sejumlah marketplace, yaitu Blibli, Lazada, dan JD ID.

Dalam satu dekade terakhir ini, ekosistem e-commerce di Indonesia semakin kuat. Masyarakat dapat menikmati beragam pilihan barang, metode pembayaran, hingga jasa pengiriman. Kendati begitu, ekspektasi masyarakat terhadap belanja online juga juga semakin meningkat.

Ekspektasi terhadap kecepatan pengiriman

Salah satunya adalah ekspektasi terhadap kecepatan pengiriman barang. Co-founder Paxel Zaldy Masita menilai konsumen rela merogoh kocek lebih agar pesanannya cepat sampai. Bahkan ia meyakini bahwa memang ada segmen pasar yang sebetulnya menginginkan kecepatan pengiriman.

Menurut riset Paxel Buy & Send Insights di 2019, sebanyak 36 persen dari total 535 responden penjual UMKM menyebutkan kecepatan pengiriman barang lebih penting ketimbang ongkos kirim murah. Sementara, sebanyak 97 persen penjual online mengalami peningkatan volume pengiriman barang dagangan setelah menyediakan jasa same day delivery.

Kemunculan layanan GoSend dan Grab Express juga dapat dikatakan sebagai pemicu booming-nya layanan logistik on-demand Indonesia. Kehadiran jasa logistik last mile di Indonesia dianggap sangat membantu mengakomodasi segmen pasar ini sekaligus menjawab tantangan logistik di negara kepulauan.

“Ada tiga pilar utama dalam industri e-commerce, yakni ICT, payment, dan logistik. Sekarang penetrasi smartphone semakin tinggi dan paket data semakin murah. Dengan tren ini, mau tak mau logistik juga harus berinovasi. Kami sadar bahwa instan itu mahal karena pasar logistik regular sudah terlalu banyak pemain,” ujar Zaldy di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

Beberapa layanan marketplace bahkan sampai menggunakan jasa logistik sendiri untuk mencapai kecepatan pengiriman yang diinginkan. Shopee Express, misalnya, merupakan layanan logistik terintegrasi milik Shopee. Bahkan tren ini melahirkan banyak startup logistik last mile, seperti Paxel dan Help.

Menurut catatannya, pertumbuhan industri logistik di Indonesia selama satu dekade terakhir naik di atas rata-rata pertumbuhan nasional yang berkisar 10 persen per tahun, terutama logistik last mile yang tumbuh 30 persen per tahun.

Layanan terpadu lewat fulfillment

Beranjak dari paparan di atas, masalah logistik tak hanya memunculkan startup baru di bidang logistik, tetapi juga peluang bisnis baru bagi marketplace C2C.  Persaingan industri e-commerce semakin ketat. Dengan strategi bakar uang yang masih terus berlanjut, pelaku C2C terus mencari cara menciptakan revenue stream baru.

Manuvernya adalah masuk ke bisnis fulfillment untuk menjadi platform-as-a-service (PaaS) dengan memberikan pelayanan logistik secara terpadu. Dalam kurun satu tahun, semua marketplace C2C di Indonesia resmi menjajal peruntungan baru di bisnis fulfillment

Langkah ini pertama kali diambil Tokopedia dengan meluncurkan layanan TokoCabang pada pertengahan 2019. Tokopedia menggaet menunjuk PT Bintang Digital Internasional (Haistar) dan Titipaja (unit bisnis terbaru layanan logistik last mile Anteraja) sebagai mitra penyedia jasa fulfillment.

Langkah ini diikuti Bukalapak melalui layanan BukaGudang. Dalam keterangannya kepada DailySocial, BukaGudang belum diperkenalkan secara resmi, tetapi sudah dapat digunakan pelapak sejak Maret 2020. Buka Gudang memiliki dua mitra fulfillment, yakni PT IDCommerce dan startup penyedia jaringan pergudangan mikro Crewdible.

Terakhir adalah Shopee yang resmi masuk lewat layanan Dikelola Shopee pada September lalu. Layanan Dikelola Shopee memanfaatkan gudang milik sendiri dengan rata-rata pesanan diklaim dapat dikirim dua jam setelah pengguna menyelesaikan transaksi.

Kepada DailySocial, VP Marketplace Bukalapak Kurnia Rosyada meyakini bahwa strategi ini dapat memperkuat komitmen perusahaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Kolaborasi dengan penyedia jasa fulfillment menjadi strategi marketplace untuk meningkatkan kenyamanan bertransaksi.

Kurnia menyebut bahwa layanan BukaGudang saat ini masih dalam tahap Proof of Concept (POC). Kami terus terus berupaya mendorong jumlah pelapak yang menggunakan BukaGudang,” ungkapnya dihubungi DailySocial beberapa waktu lalu.

Belum banyak data yang bisa dibagikan, namun Kurnia menyebutkan transaksi dari pelapak yang menggunakan BukaGudang lebih tinggi dibandingkan rata-rata transaksi biasa. Adapun, pengguna BukaGudang saat ini berasal dari kategori bisnis elektronik, bahan makanan, dan industri kecantikan.

Sementara menurut External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya, jasa fulfillment justru mempermudah penjual untuk mengelola bisnisnya, mulai dari pengiriman stok produk hingga perencanaan penjualan ke depan. Hal ini karena platform mencatat seluruh riwayat penjualan dari berbagai gudang.

“Kehadiran TokoCabang menjawab tantangan logistik kepulauan dengan membantu pelaku usaha di Indonesia, baik penjual nasional maupun berskala lokal dari berbagai sektor. Pelaku usaha juga mau tak mau mengakselerasi platform digital,” ungkapnya kepada DailySocial.

Ekhel menyebutkan kunci bisnis ini dapat bergantung pada ketersediaan gudang. Opsinya bisa dengan membangun gudang sendiri atau berkolaborasi dengan pihak ketiga dengan mitra logistik last mile dan yang sudah memiliki jaringan gudang tersebar di Indonesia. Tak heran, di tahap awal cakupan layanan fulfillment ini baru bisa dinikmati di sejumlah wilayah.

Saat ini TokoCabang sudah tersedia di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, dan Palembang. BukaGudang sendiri baru tersedia untuk kawasan Jabodetabek.

“Kami akan terus ekspansi ke seluruh Indonesia sehingga masyarakat bisa mendapatkan barang dari lokasi terdekat dengan ongkos kirim yang lebih murah,” ujar Ekhel.

Dihubungi secara terpisah, Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir menilai bahwa fenomena marketplace C2C di fulfillment menandakan langkah tersebut sebagai sebuah “investasi masa depan” untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis mereka. “Dengan masuk ke sini, mereka dapat menjaga kualitas para seller,” tuturnya.

Menurut Pandu, pelaku C2C berupaya membentuk value chain tersentralisasi. Dengan teknologi, mereka dapat mengoptimalkan permintaan pesanan di seluruh Indonesia. Nilai plusnya adalah pelaku C2C dapat menempatkan gudang-gudang mereka di daerah yang tren permintaannya besar.

“Mereka menjadi semacam demand lab, mereka paling tahu. Justru ini sangat penting karena mereka bisa memperikan permintaan satu minggu ke depan dan seterusnya. Ini menjadi investasi tambahan karena mereka sudah demand per wilayah, tidak perlu riset dulu di daerah mana, baru bangun gudang,” ujarnya.

Mengakomodasi lonjakan transaksi selama pandemi

Di sisi lain, situasi pandemi menjadi semacam test case bagi pelaku C2C yang masuk ke bisnis fulfillment untuk mengakomodasi lonjakan transaksi belanja online. Menurut Ekhel, pandemi telah mengubah perilaku konsumen dari offline ke online, terutama pesanan yang sifatnya kebutuhan sehari-hari.

Di sisi lain, pandemi juga mendorong peningkatan penjual baru di platformnya. Per Agustus 2020, terdapat lebih dari 9 juta penjual di Tokopedia yang hampir 100 persen merupakan UMKM, bahkan dapat dikatakan 94 persen adalah penjual ultra mikro. Dari Januari sampai Agustus 2020, terdapat penambahan 2 juta penjual karena pandemi.

Riset terbaru iPrice dan Parcel Monitor mengungkap bagaimana pandemi berdampak pada waktu pengiriman barang di Asia Tenggara. Indonesia menempati posisi kedua dengan pengiriman menjadi lebih lama 30 persen atau 3 hari dibandingkan periode sebelum pandemi yang rerata 2,3 hari.

Zaldy menilai bahwa pandemi menjadi momentum bagi kelahiran layanan logistik baru yang diharapkan tidak hanya datang dari layanan logistik last mile. Bisa berupa layanan tracking atau warehouse.

“Masuk ke B2C dan C2C tidak mudah. Dulu hanya Grab Gojek aja. Situasi ini justru memunculkan pemain baru, seperti Paxel. Buat kami ini memang agak telat masuknya karena butuh resource besar. Tapi ini menjadi peluang besar bagi kemunculan startup logistik di berbagai macam vertikal,” jelasnya.