Melihat Kesiapan Industri Memasuki Era Agritech 2.0

Butuh delapan tahun bagi eFishery untuk “buka jalan” betapa seksinya industri perikanan di Indonesia sampai akhirnya merengkuh status unicorn pada tahun lalu. Pemain sejenisnya, baik yang bergerak di akuakultur dan agrikultur, ikut kecipratan rezeki karena investor mulai menengok mereka.

Pasalnya, industri pertanian, perhutanan, dan perikanan merupakan penyumbang PDB terbesar ketiga setelah manufaktur dan perdagangan, dengan persentase sebesar 12,4% pada 2022. Walau besar, industri ini punya segudang masalah, mulai dari inkonsisten kualitas produk, akses modal, fluktuasi harga, dan rantai pasok.

Didukung oleh pendekatan teknologi yang diusung startup, sisi hulu dan hilir mulai teredukasi dengan konsep baru ini. Namun, sektor ini tak lepas dari tantangan lainnya, terutama penurunan permintaan pasca-pandemi. Bagaimana startup ini mempertajam strategi mereka dalam menghadapinya?. Bagaimana juga dari sisi investor mengamati evolusi startup di sektor ini?.

Pertanyaan ini dibahas melalui sesi “Are agritech & aquatech ripe for Version 2.0 to scale to next level?” dalam konferensi tahunan Indonesia PE-VC Summit 2024 yang diselenggarakan oleh DealStreetAsia.

Diskusi panel ini menghadirkan empat pembicara: Anthony Tjajadi (Partner Trihill Capital), Aldi Adrian Hartanto (Managing Partner Ascent Venture Group), Liris Maduningtyas (Co-Founder & CEO JALA), Witny Tanod (Co-Founder, Chief Marketing & Corporate Affairs Gokomodo).

Agritech & Aquatech 1.0

Witny menyampaikan pada periode 1.0 ini Gokomodo merasa bersyukur karena mereka telah menemukan product market fit yang tepat sebagai landasan penting sebelum berinovasi lebih jauh. Gokomodo fokus pada pengadaan dan pengiriman agri-input atau produk dan bahan baku pertanian, seperti pupuk yang dibutuhkan para pelaku agrikultur, sehingga mereka dapat menerima produk akhir dengan tepat waktu, kualitas tinggi dan harga wajar.

“Solusi kami sudah membuat rantai pasok jadi lebih efisien dan lebih mudah diakses oleh konsumen. Dari berbagai limitasi sebelumnya, kami jadi memahami bahwa versi 1.0 Gokomodo telah memberikan nilai tambah,” ucapnya.

Tidak jauh berbeda, Liris menyampaikan pihaknya menyelesaikan satu per satu masalah di budidaya udang yang saat ini jadi fokus utama perusahaan. Meluncurkan aplikasi yang bisa membantu petani udang adalah salah satu solusi yang ditawarkan JALA.

“Jadi tingkat adopsi teknologi ke dalam industri akuatik sudah ada, namun masih perlu penetrasi lebih jauh ke dalam diri para petani. Tujuannya agar mereka benar-benar dapat manfaatnya. Sebab, teknologi itu selalu dapat mengatasi beberapa masalah, meminimalkan risiko, meminimalkan biaya rantai pasokan, dan lain-lain,” kata dia.

Dorong disrupsi lebih jauh

Baik Aldi dan Anthony sepakat bahwa aspek sains yang menjadi ‘beauty’ harus lebih digalakkan untuk keberlanjutan industri ini. Anthony mengaku dirinya sudah menggeluti industri agrikultur sejak 30 tahun lalu, namun hingga detik ini masih minim disrupsi di sisi hulunya.

“Jadi perbaiki pasokannya, perbaiki sumbernya. Mungkin kembali ke lab dan mendeteksi, menemukan pupuk baru, benih baru, pestisida baru, atau apa pun. Saya ingin lebih banyak disrupsi dan teknologi, serta lebih banyak orang yang terlibat di sisi hulu bisnis,” ujar Anthony.

Aldi juga mengingatkan, menerapkan lebih banyak teknologi di sisi hulu, banyak memberikan pengaruh pada efisiensi di keseluruhan rantai pasok. Saat itu, startup perlu memikirkan bagaimana bisa meningkatkan profitabilitasnya, misalnya dengan membuat merek baru khusus untuk produk ayam potong karena punya margin yang lebih tinggi.

“Namun sebelumnya harus mengatasi masalah pasokan. Kami prediksi model farming-as-a-service jadi tren yang kami perkirakan akan terjadi,” kata dia.

Tantangan menuju 2.0

Liris menyoroti tantangan talenta yang dibutuhkan untuk buat inovasi sains di sektor akuakultur masih sulit dicari. Lulusan pertanian masih lebih tertarik bekerja di bank atau jadi pegawai negeri sipil, ketimbang menyalurkan ilmunya di bidang yang sesuai. Di samping itu, perjalanan untuk penetrasi ke para petani agar naik level dari dasar ke lanjutan tetap dibutuhkan.

Agar perusahaan tetap efisien, JALA memanfaatkan keberadaan big data yang sumbernya diperoleh dari cara yang murah dan efisien, yakni melalui aplikasi yang diunduh para petani.

“Dengan big data, kami bisa mengumpulkan data historis dan data terkini dari petani, mengambil sampelnya untuk membuat prediksi dan proyeksi biomassa mereka tanpa perangkat keras. Jadi itu solusi termurah menurut saya. Langkah pertama bagi petani di aquatech untuk membiasakan diri dengan teknologi.”

Witny menambahkan, bermitra dengan ekosistem dibutuhkan untuk masuk ke tahap berikutnya 2.0, baik dengan pemerintah, akademisi, petani, investor, dan startup.

“Kami punya banyak program yang mendapat dorongan dari pemerintah sendiri untuk dorong petani milenial. Kami juga berdiskusi dengan pemerintah itu sendiri, saat membuat produk baru. Kami perlu menjadi lebih baik lagi. Jadi kami tidak bisa berdiri sendiri, tapi semuanya harus saling dukung,” pungkasnya.

[Video] Cara Arise Dukung Startup Indonesia

DailySocial bersama Aldi Adrian Hartanto, Partner Arise, dana kelolaan MDI Ventures dan Finch Capital, membahas bagaimana dana kelolaan ini memberikan dukungan bagi startup Indonesia, tak hanya dari sisi modal jangka panjang, tetapi juga terlibat langsung di keseharian perusahaan.

Di video ini, Aldi juga memberikan opini terkait perkembangan ekosistem startup ke depan dan tips bagi para pendiri yang ingin melakukan fundraising.

Untuk video menarik lainnya seputar modal ventura (venture capital) dan seperti apa dukungannya terhadap startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi VCTalks.

Agriaku Dapat Pendanaan dari Arise, Selesaikan Isu Rantai Pasok Produk Pertanian

PT Agriaku Digital Indonesia (Agriaku) adalah startup argitech yang menyediakan berbagai perlengkapan dan kebutuhan untuk para petani melalui sistem keagenan atau social commerce. Mereka baru saja membukukan pendanaan awal yang dipimpin oleh Arise, sebuah dana kelolaan kolaboratif dari MDI Ventures dan Finch Capital.

Agriaku didirikan pada Mei 2021 oleh Irvan Kolonas dan Danny Handoko. Ivan memang memiliki pengalaman sebagai pengusaha di bidang agrobisnis, saat ini juga menjabat sebagai CEO Vasham. Sementara Danny adalah mantan Co-Founder & CEO Airy Indonesia. Diharapkan kolaborasi keduanya dapat memadukan keahlian di bidang pertanian dan teknologi untuk memberikan layanan komprehensif kepada UMKM agro dan petani.

Dengan dana segar yang didapat, Agriaku berencana menambah jumlah petani di jaringannya agar berhasil menembus pasar $17 miliar di Indonesia. Sejak awal, Agriaku telah memberdayakan lebih dari 6 ribu mitra dan ribuan petani kecil di seluruh Indonesia melalui teknologi. Agriaku memiliki cita-cita untuk menjadi superapp untuk pemain agri di Indonesia.

“Kemampuan Agriaku untuk memberdayakan petani melalui Toko Tani secara terukur melalui teknologi mengubah bisnis yang sangat tradisional di Indonesia. Kami bangga bermitra dengan tim Agriaku dan bersemangat untuk melihat hal-hal hebat di masa depan,” ujar Partner Arise Aldi Adrian Hartanto.

Selesaikan isu rantai pasok

Di fase awalnya, Agriaku masih fokus untuk meningkatkan jumlah mitra mereka. Model kemitraan ini dianggap lebih efektif ketimbang melakukan penjualan daring langsung ke petani, hal ini ditengarai tidak banyak petani yang cukup digital savvy untuk melakukan pembelanjaan kebutuhan produktivitasnya secara online.

Produk pertanian biasanya menjadi lebih mahal ketika sampai ke petani. Karena dalam proses rantai pasokannya harus melalui prinsipal, distributor, peritel, lalu konsumen akhir. Di sisi lain, kurangnya wawasan dan data untuk pengambilan keputusan pada distribusi produk pertanian juga kadang menimbulkan kesenjangan tersendiri, misalnya kelangkaan produk tertentu, yang mengakibatkan produktivitas petani terganggu.

Lewat layanannya, Agriaku ingin menciptakan sebuah jaringan yang transparan antara semua pemangku kepentingan dalam sistem supply chain produk pertanian. Salah satu pendekatannya, mereka membangun pasar yang disebut sebagai “Toko Tani”, terhubung dengan produsen atau distributor tingkat pertama. Cara ini diklaim memungkinkan petani mendapatkan katalog produk pertanian yang lengkap dengan harga yang jauh lebih terjangkau.

Sehingga kendati membeli ke mitra terdekat, yang mungkin adalah tetangganya sendiri, para petani juga tetap bisa mendapatkan penawaran menarik untuk produk-produk pertanian yang mereka butuhkan.

“Kami percaya bahwa pendekatan kami dalam memberdayakan Toko Tani lokal sebagai last mile agent untuk mendistribusikan setumpuk produk dan layanan bagi petani kecil di Indonesia berpotensi mendemokratisasi industri yang sejauh ini resisten terhadap perubahan”, kata Irvan.

Hipotesis investasi startup agri

Dalam publikasi bertajuk “Yielding Next Gen. Agri Conglomerate Leveraging Tech Orchestration”, Arise menyoroti  empat pain points utama dalam value chain pertanian. Yakni keterbatasan akses ke permodalan, rantai pasok yang terfragmentasi dan kurang efisien, minimnya akses ke teknologi, dan ketidakpastian harga akibat perubahan iklim.

Sementara sektor ini memiliki potensi industri yang sangat besar, nilainya bisa melebihi $500 miliar terhadap GDP global di tahun 2030 mendatang. Asia Pasifik sendiri berpotensi menyumbangkan 8,2% dari nilai total tersebut. Melihat tren tersebut, di kancah global investasi untuk startup argitech juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun 2020, terdapat sekitar 834 kesepakatan pendanaan, membukukan lebih dari $6,7 miliar.

Kendati pemain agritech sudah banyak bermunculan – termasuk beberapa yang sudah jadi soonicorn seperti Tanihub, Eden Farm, Aruna, dan eFishery—tim Arise masih melihat ada beberapa celah yang masih belum terisi oleh inovasi digital. Salah satunya terkait B2B marketpalce yang memenuhi kebutuhan petani. Selanjutnya mereka juga akan melirik layanan manajemen dan IoT yang bisa membantu petani melakukan tata kelola lahan garapannya.

Ekosistem solusi digital untuk sektor pertanian / Arise

Di kancah global, beberapa startup argitech berhasil membukukan traksi luar biasa, termasuk kaitannya dengan investasi yang dibukukan. Belum lama ini DeHaat, sebuah startup asal India yang memiliki model bisnis serupa dengan Agriaku, baru saja mengumpulkan dana seri D senilai $115 juta dari Lightrock, Sequoia Capital India, dan Temasek Holdings, dll.

Application Information Will Show Up Here

Aquatech Startup DELOS Receives Seed Funding Led by Arise

Aquatech startup DELOS announced seed funding with an undisclosed amount led by Arise, a special fund created by MDI Ventures and Finch Capital. MDI Ventures also participated in this round, along with other investors, such as Hendra Kwik (Number Capital), Irvan Kolonas (JAPFA Executive), and iSeed Asia.

The company plans to utilize the fresh funds to strengthen and improve its DELOS shrimp production software accurately to forecast and recommend actions to increase farm profitability and productivity. In addition, funds will also be channeld to develop value chain integration and on-board more DELOS agricultural partners.

DELOS was founded this year by Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, and Alexander Farthing. These three founders brings together a multidisciplinary team covering aquaculture, marine biology, technology, and business. The startup partners closely with Dewi Laut Aquaqulture, a leading local aquaculture company, and Alun, a leading aquaculture fintech company, to accelerate the development of in-house technology.

DELOS holds an ambition to encourage the growth and modernization of the Indonesian aquaculture industry. Currently, there are currently basic problems in the supply chain in this sector due to the lack of technology adoption. Whereas global demand for seafood-based protein is increasing, while wild-fished stocks are declining under immense pressure. Aquaculture supplies more than 60% of all seafood consumed.

With its 54,000 km coastline, abundant coastal human resources, and tropical climate, Indonesia is set to become a clear global leader for sustainable aquaculture, especially with Indonesian shrimp competing on a global scale as the world’s second most valuable aquaculture product, the greatest seafood export.

The Indonesian government recognizes a new revolution, targeting shrimp aquaculture and production to grow by 250% over the next 3 years. However, low technology adoption, non-standard management practices, and poor access to finance have set a limit to the growth of Indonesian aquaculture – particularly aquaculture productivity.

These factors have created bottlenecks in the middle of the value chain, and limited downstream processor output to an average of 40%-60% capacity. Less than 5% farms are 4 times more productive than neighboring farms (40 tonnes vs 10 tonnes/Ha).

This productivity gap has kept a $2 billion industry from fulfilling its latent potential and becoming a $4 billion industry, according to Indonesia’s Ministry of Fisheries.

DELOS‘s interdisciplinary team and cutting-edge technology will be critical to supporting the national agenda to promote this growth while maintaining economic, social and environmental sustainability.

Guntur and his team are trying to improve their experience, network and IP, a full-stack pond management system that is researched and developed internally to increase the productive capacity and output of existing Indonesian shrimp farms by 50%-150% – creating value for farmers, increase the volume of national exports, and enhance Indonesia’s reputation as the world’s leading aquaculture country.

In its official statement, Arise Partner Aldi Adrian Hartanto explained that the classic challenges in the layered value chain, low productivity, and lack of financing has blocked the Indonesian shrimp industry which has not been fully utilized, even though it accounts for 77% of the total value of fishery products.

“DELOS technology-based solutions have succeeded in immersing technology and operations into the culture and infrastructure of local farmers while bridging them with existing stakeholders. This leads to a higher FCR (Feed Conversion Ratio), SR (Survival Rate), and Harvest, making it a deadly flywheel,” he concluded, Thursday (28/10).

Aquaculture startup in Indonesia

The global Aquaculture market size is expected to have a market growth in the forecast period 2020 to 2025, at a CAGR of 3.5%% in the forecast period 2020 to 2025 and is expected to reach $239.8 trillion in 2025, from $209.4 trillion in 2019.

Every year, aquaculture increases its contribution to global seafood production. The sector produced 110.2 million tonnes in 2016, valued at $243.5 billion and constitutes 53 percent of the world’s seafood supply. According to FAO data, 90 percent of production volume is produced in Asia.

In Indonesia, there are already several startups that have started targeting similar segments. In includes Aruna, a technology startup that provides a platform to make it easier for fishermen to sell their products directly to global and domestic markets. The company has also successfully secured funding in 2020 from East Ventures, AC Ventures, and SMDV.

One more startup that is engaged in a more specific sector, Jala. This startup presents technological solutions to optimize the productivity of shrimp farmers in Indonesia. In 2019, his team managed to secure an initial round of funding from 500 Startups of 8 billion Rupiah.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Aquatech DELOS Peroleh Pendanaan Tahap Awal Dipimpin Arise

Startup aquatech DELOS mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dipimpin oleh Arise, fund khusus besutan MDI Ventures dan Finch Capital. MDI Ventures sendiri turut berpartisipasi dalam putaran tersebut, beserta investor lainnya, seperti Hendra Kwik (Number Capital), Irvan Kolonas (JAPFA Eksekutif), dan iSeed Asia.

Perusahaan berencana untuk memanfaatkan dana segar untuk memperkuat dan meningkatkan perangkat lunak produksi udang DELOS secara akurat untuk memperkirakan dan merekomendasikan tindakan agar profitabilitas dan produktivitas tambak meningkat. Selain itu, dana juga akan digunakan untuk mengembangkan integrasi value chain dan on-board lebih banyak mitra pertanian DELOS.

DELOS dirintis pada tahun ini oleh Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, dan Alexander Farthing. Perpaduan para founder ini menghadirkan tim multidisiplin yang mencakup akuakultur, biologi kelautan, teknologi, dan bisnis. Startup ini bermitra erat dengan Dewi Laut Aquaqulture, perusahaan akuakultur lokal terkemuka, dan Alun selaku perusahaan fintech akuakultur terkemuka, untuk mempercepat pengembangan teknologi in-house.

DELOS berambisi ingin mendorong pertumbuhan dan modernisasi industri akuakultur Indonesia. Saat ini masih terjadi masalah klasik dalam rantai pasok di sektor tersebut karena minimnya adopsi teknologi. Padahal permintaan global untuk protein berbasis makanan laut meningkat, sementara stok penangkapan ikan liar berkurang di bawah tekanan besar. Akuakultur memasok lebih dari 60% dari semua makanan laut yang dikonsumsi.

Dengan garis pantai sepanjang 54.000 km, sumber daya manusia pesisir yang melimpah, dan iklim tropis, Indonesia tampaknya akan menjadi pemimpin global yang jelas untuk akuakultur berkelanjutan, terutama dengan udang Indonesia yang bersaing dalam skala global sebagai produk akuakultur paling berharga kedua di dunia, yaitu ekspor makanan laut terbesar.

Pemerintah Indonesia mengakui sebuah revolusi baru, telah menargetkan budidaya dan produksi udang untuk tumbuh 250% selama 3 tahun ke depan. Namun, adopsi teknologi yang rendah, praktik pengelolaan yang tidak sesuai standar, dan akses yang buruk ke pembiayaan telah membatasi pertumbuhan akuakultur Indonesia –terutama menghambat produktivitas akuakultur.

Faktor-faktor tersebut telah menciptakan hambatan di tengah-tengah rantai nilai, dan membatasi output prosesor hilir hingga rata-rata 40%-60% kapasitas. Kurang dari 5% pertanian 4 kali lebih produktif daripada pertanian tetangganya (40 ton vs 10 ton/Ha).

Kesenjangan produktivitas inilah yang membuat industri senilai $2 miliar tidak dapat memenuhi potensi terpendamnya dan menjadi industri senilai $4 miliar, menurut Kementerian Perikanan Indonesia.

Tim lintas disiplin DELOS dan teknologi mutakhir akan sangat penting untuk mendukung agenda nasional untuk mendorong pertumbuhan ini dengan tetap menjaga keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Guntur beserta tim berusaha untuk meningkatkan pengalaman, jaringan, dan IP-nya, sistem manajemen tambak full-stack yang diteliti dan dikembangkan secara internal untuk meningkatkan kapasitas produktif dan output tambak udang Indonesia yang ada sebesar 50%-150% –menciptakan nilai bagi petani, meningkatkan volume ekspor nasional, dan meningkatkan reputasi Indonesia sebagai negara akuakultur terkemuka dunia.

Dalam keterangan resmi, Partner Arise Aldi Adrian Hartanto menjelaskan, tantangan klasik dalam value chain berlapis, produktivitas yang rendah, dan kurangnya pembiayaan menghambat industri udang nusantara yang belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal menyumbang 77% dari keseluruhan nilai hasil perikanan.

“Solusi berbasis teknologi DELOS telah berhasil membenamkan teknologi dan operasi ke dalam budaya dan infrastruktur petani lokal sambil menjembatani mereka dengan pemangku kepentingan yang ada. Ini mengarah ke FCR (Feed Conversion Ratio), SR (Survival Rate), dan Harvest yang lebih tinggi, menjadikannya roda gila yang mematikan,” tutupnya, Kamis (28/10).

Startup akuakultur di Indonesia

Ukuran pasar akuakultur global diperkirakan akan memperoleh pertumbuhan pasar pada periode perkiraan 2020 hingga 2025, dengan CAGR 3,5%% pada periode perkiraan 2020 hingga 2025 dan diperkirakan akan mencapai $239,8 triliun pada 2025, dari $209,4 triliun pada tahun 2019.

Setiap tahun, akuakultur meningkatkan kontribusinya terhadap produksi makanan laut global. Sektor ini menghasilkan 110,2 juta ton pada tahun 2016, senilai $243,5 miliar dan merupakan 53 persen dari pasokan makanan laut dunia. Menurut data FAO, 90 persen volume produksi diproduksi di Asia.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa startup yang mulai menyasar segmen sejenis. Sebut saja Aruna, startup teknologi yang menyediakan platform untuk mempermudah para nelayan dalam menjual produknya langsung ke pasar global dan domestik. Perusahaan ini juga telah berhasil meraih pendanaan di tahun 2020 dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Satu lagi startup yang bergerak di sektor yang lebih spesifik yaitu Jala. Startup ini menghadirkan solusi teknologi untuk mengoptimalkan produktivitas petani udang di Indonesia. Di tahun 2019, timnya berhasil mengamankan pendanaan putaran awal dari 500 Startups sebesar 8 miliar Rupiah.

GoCement Terima Pendanaan Tahap Awal, Digitalkan Industri Konstruksi Melalui Marketplace B2B

Startup marketplace B2B khusus konstruksi “GoCement” berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal dari Arise (fund kolaborasi MDI Ventures dan Finch Capital), MDI Ventures, Beenext, dan Ideosource. Tidak disebutkan nominal dana yang didapat dalam putaran ini. Perusahaan memastikan dana segar akan dimanfaatkan untuk mempercepat pengembangan produk pasar B2B dengan memasukkan distributor besar ke dalam platform-nya, termasuk memanfaatkan jaringan Arise di perusahaan konstruksi pelat merah.

GoCement didirikan pada 2020 di tengah pandemi oleh Djonny Suwanto dan Asanga Abhayawardhana yang berpengalaman lebih dari 30 tahun di industri konstruksi karena keduanya berasal dari latar belakang pabrikan dan distributor. Dengan pengalaman matang di industri perdagangan bahan bangunan, menjadi bekal yang baik untuk mendorong tingkat pertumbuhan teknologi konstruksi.

Layanan tersebut berusaha mendigitalkan industri konstruksi yang ada dengan menciptakan pasar yang memanfaatkan distribusi bahan bangunan terdesentralisasi melalui manufaktur cloud. Model ini dicapai dengan mengarahkan produsen, distributor, membangun toko ritel, kontraktor, dan konsumen individu lainnya ke dalam satu platform. Dengan memanfaatkan manufaktur cloud, GoCement akan memberdayakan produsen UKM lokal untuk meningkatkan load cell mereka agar dapat menjaring klien yang lebih besar.

Kebutuhan dramatis untuk transformasi digital telah diperkuat melalui pandemi, pertumbuhan pasar B2B melonjak 16% selama beberapa tahun terakhir. Alasan ledakan teknologi konstruksi terutama berkisar pada tantangan yang dihadapinya dengan fragmentasi yang tinggi, komunikasi yang buruk, dan kurangnya transparansi data. GoCement memberikan solusi inovatif untuk menjawab tantangan yang ada di pasar tersebut.

CEO & Founder GoCement Djonny Suwanto menuturkan, konstruksi adalah industri yang masif, ekosistem yang kompleks dari pemilik proyek, pengembang, arsitek, kontraktor umum, subkontraktor hingga tukang (mandor/tukang), dan banyak lagi. Ia bahkan menyebut industri ini sebagai dinosaurus terakhir yang siap untuk disrupsi teknologi.

Selama bertahun-tahun, ia mengamati beberapa masalah signifikan dalam industri konstruksi, terutama didorong oleh pengadaan material yang tidak efisien dan pengangkutan barang-barang berukuran besar yang bernilai rendah. Masalahnya nyata. Kontraktor harus dapat menghemat waktu dan kerumitan untuk menghasilkan produktivitas.

“GoCement hadir untuk merevolusi industri dengan menghadirkan transparansi dan pengadaan bahan bangunan serta perekrutan peralatan yang efisien melalui inovasi & teknologinya,” ucapnya dalam keterangan resmi, Senin (18/10).

Partner Arise Aldi Adrian Hartanto menjelaskan, industri konstruksi Indonesia mirip dengan India karena didominasi oleh beberapa pemain besar. Kesempatan tersebut memungkinkan pemain seperti Infra.Market untuk membangun jaringan yang membantu produsen kecil mengembangkan bisnis mereka dan bersaing dengan perusahaan yang lebih mapan. Infra.Market adalah startup sejenis asal India yang memiliki pangsa pasar besar di negara tersebut.

Semangat tersebut membentuk visi yang sama bagi GoCement untuk mengurangi kelebihan kapasitas di industri ini melalui digitalisasi dan pemberdayaan seluruh pemangku kepentingan terkait di Indonesia.

“Kami memiliki keyakinan penuh bahwa Djonny dan Asanga, mengingat latar belakang mereka yang sangat kompatibel, bergabung dengan sumber daya dan jaringan kami yang kuat dalam ledakan konstruksi nasional untuk menjadi ujung tombak keberhasilan GoCement,” terangnya.

Partner Ideosource Edward Chamdani menambahkan, ”Kami percaya bahwa GoCement akan menjadi hal besar berikutnya dalam industri ConTech (construction tech) melalui digitalisasi rantai pasokan; sehingga kehadiran GoCement akan memungkinkan pengguna akhir untuk mengakses produk berkualitas tinggi namun terjangkau dan mengirimkannya ke daerah yang kurang dapat diakses bahkan.”

Pangsa pasar marketplace B2B

Dalam unggahannya, Arise menjelaskan dengan meningkatnya adopsi digital yang didorong oleh pandemi secara global, marketplace B2C telah menjadi salah satu yang paling diuntungkan. Namun di Asia, segmen ini menyumbang hampir 80% dari penjualan transaksi B2B global, mencapai $6,1 triliun. “Angka tersebut menunjukkan peluang signifikan yang belum dimanfaatkan di sisi lain, yang menarik perhatian kami di Arise,” tulis perusahaan.

Tidak seperti marketplace B2C, sektor marketplace B2B menghadapi batasan yang signifikan karena sifat industri yang berbeda – membutuhkan pendekatan yang disesuaikan dan khusus. Tren serupa juga muncul di Asia Tenggara yang mengambil jalan berbeda tentang aturan main marketplace B2C.

Alih-alih “pemenang mengambil semua” (winner takes all) menjadi “berbagai pemenang di setiap vertikal” seperti: agrikultur, ritel F&B, consumer goods, perlengkapan konstruksi, manufaktur, perlengkapan kantor, dan lainnya.

MDI and Finch Capital Closes First Round of $40 Million for Arise Fund

Arise Fund, a joint venture capital vehicle for early-stage startups in ASEAN, today announced the first close on its US$40 million debut tech fund. This round is a collection of corporate investors, family offices, and high-net-worth backers committing capital, including Indonesia’s publicly traded ICT heavy-hitter Metrodata Electronics.

The managed fund aims to back 25 ‘real businesses’ that are building interesting tech in SEA, specifically Indonesia. There are at least five portfolios ready to be announced at the end of this year. The deal, which is currently in the finalization stage, revolves around the SaaS, B2B commerce, agritech, and fintech sectors.

Arise Fund’s Partner, Aldi Adrian Hartanto explained that, “Despite the significant influx of high-quality founders over the last decade, a disproportionate allocation of capital makes the situation more challenging for promising entrepreneurs to secure investments during the region’s economic slowdown.”

Launched in 2020, the fund mainly focusing on startups at post-seed and pre-series A stages. Arise offers ticket sizes ranging from US$250,000 to US$3 million per round, along with long-term capital, strategic go-to-market networks, and hands-on company building.

Finch Capital’s Managing Partner, Hans De Back said, “We’ve seen many seed-stage companies struggling to access the right markets, which is reflected by a lack of traction [..] Our role is to solve this problem with immediate go-to-market avenues by collaborating with our network of enterprise partners such as Metrodata and portfolio companies. In this way, we can enable companies to grow much faster and set them up stronger for series A.”

Long term investment

In addition to providing access to strategic go-to-market partners through its corporate LP network, the company also bridges asymmetric information related to validated business models, and empowers long-term capital through affiliated funds, including the Centauri Fund.

Hartanto adds, “Startups backed by Arise should ideally go on to receive investment from Centauri at the series A stage, MDI Ventures at series B and later stages, and finally — in some cases — see a meaningful exit via acquisition with Telkom Group as one of the potential buyers or IPO.”

In the Arise Fund affiliate network, one of the largest venture capitalists in Indonesia with total assets reaching US830+ million, MDI Ventures has 56 portfolios spread across 10 countries and generated 5 exits. On its website, Finch Capital itself has 29 international portfolios to date.

Dana kelolaan MDI Ventures

In order to foster long-term success, Arise’s strategic LPs and teams come with a unique, three-pronged offering to founders based on a proven global thesis and local conviction. The fund proactively looks for world-class -aspiring founders, then together builds companies with them while simultaneously looking for problems the startups can solve within its orbit and network of corporate LPs.

In addition, before receiving capital from Arise, startups will also have an option to enter Telkom’s Indigo Nation incubator, arrive at what they determine to be a repeatable and scalable business model, and then benefit from a broad network of Arise’s corporate LPs and tech ecosystems in Europe, Asia, and Silicon Valley.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

MDI dan Finch Capital Bukukan Putaran Pendanaan Pertama untuk “Arise Fund” Senilai 573 Miliar Rupiah

Kendaraan investasi hasil kolaborasi MDI Ventures dan Finch Capital yang dinamai “Arise Fund” berhasil menutup debut penggalangan dana senilai $40 juta atau setara 573 miliar Rupiah. Putaran ini melibatkan beberapa investor korporat, bisnis keluarga, serta konglomerat high-net-worth di Indonesia, termasuk Metrodata Electronics.

Dana kelolaan ini ditargetkan dapat menjangkau 25 bisnis yang fokus membangun industri teknologi di Asia Tenggara terutama Indonesia. Setidaknya ada lima portfolio yang siap diumumkan di akhir tahun ini. Kesepakatan yang tengah dalam tahap finalisasi tersebut berkisar pada sektor SaaS, B2B commerce, agritech, dan fintech.

Partner Arise Fund Aldi Adrian Hartanto mengungkapkan bahwa terlepas dari kehadiran banyak pendiri berkualitas dalam satu dekade terakhir, tantangan muncul dari alokasi modal yang tidak proporsional. Hal ini membuat para pengusaha kelimpungan untuk mengamankan modal di masa perlambatan ekonomi kawasan seperti saat ini.

Diperkenalkan pada akhir tahun 2020, Arise fokus pada investasi pasca-seed dan pra-seri A dengan ticket size mulai dari $250.000 hingga $3 juta per putaran. Selain itu, perusahaan juga menawarkan modal jangka panjang,  jaringan go-to-market strategis, serta terlibat langsung dengan portofolionya.

Managing Partner Finch Capital, Hans De Back turut mengungkapkan, “Kami telah melihat banyak perusahaan tahap awal berjuang untuk mengakses pasar yang tepat, yang tercermin dari kurangnya daya tarik [..] Peran kami adalah untuk memecahkan masalah ini dengan strategi go-to-market melalui kolaborasi dengan jaringan mitra perusahaan kami seperti Metrodata dan perusahaan portofolio. Dengan cara ini, kami dapat memungkinkan perusahaan untuk tumbuh lebih cepat dan mempersiapkan mereka untuk pendanaan seri A.”

Investasi jangka panjang

Selain menyediakan akses ke mitra go-to-market strategis melalui jaringan LP perusahaannya, perusahaan juga turut menjembatani informasi asimetris terkait model bisnis yang divalidasi, dan memberdayakan modal jangka panjang melalui dana afiliasinya, termasuk Centauri Fund.

Aldi menambahkan, “Startup yang didukung oleh Arise secara ideal akan terus menerima investasi dari Centauri di tahap seri A, MDI Ventures di seri B dan tahap selanjutnya, dan pada akhirnya – dalam beberapa kasus – berpotensi untuk exit melalui akuisisi dengan Telkom Group sebagai salah satu calon pembeli atau IPO.”

Dalam jaringan afiliasi Arise Fund, salah satu modal ventura terbesar di Indonesia dengan total aset mencapai US830+ juta, MDI Ventures telah memiliki 56 portfolio yang tersebar di 10 negara dan menghasilkan 5 exit. Dalam situsnya, Finch Capital sendiri telah memiliki 29 portfolio internasional hingga saat ini.

Dana kelolaan MDI Ventures

Untuk mendorong kesuksesan jangka panjang, LP dan tim strategis Arise memberi penawaran unik untuk para founder. Secara proaktif, perusahaan akan mencari calon pendiri kelas dunia, untuk kemudian bersama-sama membangun perusahaan, sembari tetap melakukan eksplorasi masalah yang dapat menciptakan sinergi dalam lingkaran perusahaan.

Selain itu, startup yang akan menerima investasi dari Arise juga memiliki opsi untuk ikut serta dalam program inkubasi Telkom Indigo Nation. Kesempatan ini diberikan untuk mereka bisa menentukan atau memastikan model bisnis saat ini scalable dan repeatable. Para LP yang terlibat juga berasal dari jaringan dan ekosistem teknologi global di Eropa, Asia dan Silicon Valley.

Telkom dan VC Asal Belanda Finch Capital Luncurkan Dana Kelolaan Baru “Arise Fund”

Telkom Group melalui unit CVC MDI Ventures meluncurkan dana kelolaan barunya “Arise Fund” dengan menggandeng mitra VC asal Belanda Finch Capital. Dihubungi oleh DailySocial, VP of Investments MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto menerangkan, targetnya sebesar $40 juta atau sekitar Rp568 miliar untuk dana kelolaan baru ini.

Ada sejumlah alasan di balik pembentukan Arise Fund. Menurut Aldi, sebagian besar investor generasi awal yang bermain di tahapan seed, kini sudah mulai menggalang dana yang lebih besar dan mulai fokus ke pendanaan seri A dan di atasnya.

Alhasil, startup di tahapan pra seri A menjadi kesulitan untuk memperoleh pendanaan apapun. Dari sejumlah laporan, ungkapnya, total pendanaan pra seri A telah mengalami penurunan hingga 20 persen di sepanjang 2020 setelah sempat stagnan selama beberapa tahun terakhir.

Situasi ini juga menyulitkan startup unicorn di kawasan Asia Tenggara karena mereka hanya mampu menggalang sepertiga atau seperempat dari pendanaan di putaran sebelumnya.

Di sisi lain, pandemi Covid-19 tak dimungkiri telah membuat ketidakpastian di berbagai macam aspek menjadi semakin besar, termasuk dalam membangun perusahaan/bisnis baru. “Ini menjadi alasan lainnya mengapa kami menghindari investasi di startup tahap awal. Maka itu, kami berupaya mengisi gap di tahapan post-seed hingga seri A,” tutur Aldi.

Ia meyakini akan ada kemunculan peluang bisnis lain seiring dengan masalah baru yang bakal timbul pasca-pandemi nanti. Fenomena ini juga sekaligus akan memunculkan founder generasi baru yang lebih berkualitas. “Vertikal yang kami incar relatif agnostik. Kami lebih fokus pada karakteristik founder dan startupnya,” tambahnya.

Sebelumnya pada akhir 2019, Telkom telah meluncurkan Centauri Fund yang merupakan unit kelolaan baru, hasil kemitraan dengan KB Financial Group asal Korea Selatan. Tahapan pendanaan yang dibidik adalah pra seri A dan seri B.

Kemudian pada awal Maret 2020, Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin sempat mengungkap bahwa Telkom tengah menyiapkan dana kelolaan baru dengan kapasitas pendanaan berkisar US$300-500 juta atau Rp4,2 triliun-7 triliun (kurs Rp14.000/dolar AS).

Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li juga menambahkan akan ada dua dana kelolaan baru tahun ini yang fokus pada pendanaan untuk segmen growth stage dan later stage.

Dana kelolaan baru pertama telah terealisasi pada Agustus 2020 senilai $500 juta atau sekitar Rp7 triliun, yakni Fund MDI 500. Adapun, Fund MDI 500 adalah kelanjutan dari Fund MDI 100 yang dimulai di 2015. Pengumuman dana kelolaan baru tersebut sekaligus berbarengan dengan penunjukan Fajrin Rasyid sebagai komisaris utama.

Memperluas value creation

Lebih lanjut, Aldi mengungkap bahwa kolaborasinya dengan Finch Capital diharapkan dapat menjembatani solusi gap pendanaan di post-seed hingga seri A di Indonesia. Ada beberapa hal yang dicari melalui kolaborasi ini. Pertama, VC yang memiliki pengalaman kuat dalam berinvestasi di ekosistem startup tahapan mature, baik di Eropa dan/atau Tiongkok.

Kemudian, MDI Ventures mencari kemitraan dengan pihak yang memiliki pemahaman dan posisi yang kuat terhadap ekosistem startup di Asia Tenggara, terutama startup tahapan awal di Indonesia. Selain itu, pihaknya juga mencari VC yang memiliki jaringan kuat pada limited partner (LP) dan korporasi di Indonesia untuk memperluas value creation-nya di luar Telkom dan lingkup perusahaan BUMN.

“Kami juga mencari orang/team yang dapat menguasai operasional dan atau latar belakang wirausaha. Setelah menjajaki sejumlah mitra, Finch Capital adalah satu-satunya yang dapat mengisi semua itu sehingga mendorong kami untuk bermitra dengan mereka,” kata Aldi.

Sekadar informasi, Finch Capital telah memiliki pengalaman berinvestasi selama 25 tahun di dua pasar utama, yakni kawasan Eropa dan Asia Tenggara. Dalam keterangan informasi di situs resminya, Finch Capital membidik vertikal bisnis AI, fintech, dan IoT di Eropa, sedangkan di Asia Tenggara membidik vertikal agrikultur, fintech, edukasi, dan transportasi.

Managing Partner Finch Capital Hans De Back mengatakan bahwa pandemi Covid-19 memicu kebutuhan untuk mengadopsi lebih banyak solusi digital. “Saat ini, Indonesia sudah menjadi pusat perekonomian terbesar di kawasan ini. Dengan sejumlah faktor pendukung ini, Indonesia siap menjadi pusat teknologi terbesar di Asia Tenggara pada 2025.” Ujar De Back dalam keterangan resminya.

Mengukur Prospek Sesungguhnya Bisnis Skuter Listrik di Indonesia

Bisnis penyewaan skuter listrik atau e-scooter kembali menemukan momentum setelah regulasi yang mengaturnya terbit. Satu hal yang paling penting dari penerbitan regulasi tersebut adalah pemerintah menjamin keberadaan skuter listrik dan penggunaannya.

Regulasi mengenai skuter listrik termaktub dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 45 Tahun 2020 tentang Kendaraan Tertentu Dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik. Regulasi itu terbit pada pertengahan Juni lalu. Grab mungkin satu dari sekian pihak yang paling menyambut satu regulasi ini.

Grab merambah bisnis penyewaan skuter listrik sejak Mei 2019 dengan nama GrabWheels. Sejak diluncurkan di area Jabodetabek, GrabWheels berhasil mencuri perhatian banyak orang. Skuter listrik mereka kerap terlihat di mana saja. Namun sebuah kecelakaan yang menewaskan dua pengguna GrabWheels di akhir tahun lalu memaksa Grab menghentikan layanan skuter listriknya untuk sementara.

Lahir kembali

Berbulan-bulan setelah kejadian nahas tersebut, Grab kini meluncurkan ulang GrabWheels. Mereka menggelar peluncuran kembali itu bersama dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. President Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menjelaskan sejumlah penyesuaian dilakukan guna memenuhi tuntutan standar regulasi.

Ridzki menjelaskan sekarang mereka menyiapkan station manager dan satgas khusus yang bertugas mengecek dan mengelola GrabWheels. Station manager bertugas mengelola unit GrabWheels termasuk melakukan disinfeksi, sementara satgas bertugas memastikan pengguna mematuhi protokol keamanan, keselamatan, dan kebersihan.

“Kami juga mendorong pengguna membawa helm serta menyediakannya di setiap titik akhir GrabWheels,” jelas Ridzki.

Ridzki memastikan saat ini pengoperasian kembali GrabWheels masih terbatas di tujuh lokasi di Jakarta dengan sekitar 200 unit skuter listrik. Lokasi itu di antaranya adalah kawasan Kuningan City, Lotte Shopping Avenue, Gedung BRI 2, Thamrin 10, Intiland Tower, Blok M Square, dan Blok M Mall. Sedangkan dari aspek tarif diganjar Rp10.000 per 30 menit.

Mencari potensi terbaik

Ridzki menegaskan bahwa sebagai alternatif transportasi, skuter listrik akan maksimal digunakan sebagai moda first mile dan last mile yang dapat berintegrasi dengan sistem transportasi yang sudah ada. Namun saat GrabWheels sedang ramai digunakan pada akhir tahun lalu sebagian pengguna memaanfaatkan skuter listrik itu untuk sarana rekreasi semata.

Grab tidak mengungkap secara detail rencana mereka dengan skuter listrik. Kembalinya mereka setelah berhenti beroperasi tentu ada alasannya. Melihat gigihnya mereka mempertahankan GrabWheels, bukan tak mungkin ada potensi yang cukup besar menanti di bisnis skuter listrik ini.

 

Di rumusan McKinsey, skuter listrik merupakan salah satu kendaraan kategori mikromobilitas. Mereka menangkap tren skuter listrik menciptakan potensi ekonomi yang tidak kecil. Pada 2019, McKinsey memperkirakan industri mikromobilitas bisa bernilai sekitar 300-500 miliar dolar AS hingga tahun 2030. Namun sejak pandemi menyerang, penggunaan mikromobilitas termasuk skuter listrik ini anjlok 50%-60%.

Head of Strategic MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto mengamini bahwa regulasi menjamin penggunaan skuter listrik. Namun secara bisnis, sukses atau tidaknya skuter listrik menurutnya tak akan bisa dilihat dalam waktu yang singkat.

MDI Ventures adalah salah satu investor di startup yang khusus menyediakan jasa penyewaan e-scooter bernama Beam. Skuter listrik Beam sudah bisa ditemui di Malaysia, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan Taiwan. Sejumlah lokasi di Jakarta sebenarnya sudah dapat ditemui e-scooter dari Beam. Namun khusus di sini, keberadaannya masih sebatas testing the water.

Aldi menyebut hal itu terjadi karena penggunaan e-scooter membutuhkan sejumlah kondisi. Infrastruktur jalan dan transportasi yang terintegrasi merupakan dua hal penting yang dapat mendukung penggunaan skuter listrik. Itu sebabnya Beam mengutamakan kota-kota padat penduduk di negara maju yang umumnya sudah memenuhi kedua kondisi tersebut.

“Kita melihat e-scooter potensinya itu untuk short distance mobility untuk jarak sekitar 3-5 kilometer yang punya infrastruktur bagus atau di bawah 3 kilometer yang enggak begitu bagus. Kita percaya ini jadi solusi kalau jalan kaki itu kejauhan tapi kalau naik ride hailing kemahalan,” imbuh Aldi.

Jakarta sebagai kota yang memiliki kriteria paling ideal bagi skuter listrik memang kian ramah bagi pengguna kendaraan non-bermotor. Dengan diperbolehkannya skuter listrik melintas di jalur sepeda, skuter dapat melintas di trek sepanjang 63 kilometer. Beberapa titik transportasi yang terintegrasi juga sudah muncul.

Mencari alternatif

Terlepas dari faktor pandemi, bisnis skuter listrik ini memang masih cukup berliku. Regulasi menyangkut keselamatan masih jadi isu utama. Namun di ujung lain, keberlanjutan bisnis penyewaan ini merupakan tantangan lain yang harus dilampaui para pemainnya.

Namun, menurut Aldi, masih ada use case alternatif yang bisa dijajal yakni menjadikan skuter listrik sebagai kendaraan rekreasi. Hal ini sudah terjadi pada GrabWheels saat mengalami puncak kepopulerannya tahun lalu.

Ia mencontohkan skuter listrik dapat diarahkan sebagai pilihan bagi para pelancong di area rekreasi seperti Monas. Aldi juga mengatakan pihak Beam masih mengkaji kemungkinan lain dengan menggandeng perkantoran yang memiliki area yang cukup luas. Maka dari itu ia yakin penggunaan skuter listrik akan membutuhkan waktu tidak sedikit di Indonesia.

“Kita sejauh ini melihatnya [butuh] long term di negara berkembang,” pungkasnya.