Platform Insurtech Qoala Kantongi Pendanaan Seri A Senilai 209 Miliar Rupiah

Platform insurtech Qoala yang didirikan oleh Harshet Lunani dan Tommy Martin kembali mengantongi pendanaan, kali ini untuk tahapan Seri A senilai $13,5 juta atau sekitar 209 miliar Rupiah. Putaran pendanaan kali ini dipimpin oleh Centauri Fund.

Beberapa investor baru dalam putaran pendanaan ini termasuk Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, dan Mirae Asset Sekuritas. Investor terdahulu antara lain Central Capital Ventura dari Bank Central Asia, MDI Ventures, Surge, MassMutual Ventures Southeast Asia, dan SeedPlus.

Dana segar ini akan dimanfaatkan perusahaan untuk berinvestasi lebih jauh dalam teknologi, SDM dan brand untuk dapat mendukung strategi kami dalam memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan, mitra platform, dan perusahaan asuransi. Qoala juga memiliki target bisa menambah jumlah pegawai menjadi 300 orang hingga tahun 2021 mendatang.

“Melalui pendanaan ini, kami akan berinvestasi lebih jauh dalam teknologi, SDM dan brand untuk dapat mendukung strategi kami dalam memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan, mitra platform, dan perusahaan asuransi,” kata Co-Founder dan COO Qoala Tommy Martin.

Sebelumnya Qoala telah mengantongi pendanaan tahap awal senilai $1,5 juta (atau setara 21,6 miliar Rupiah) dari Sequioa Capital India (Surge). Beberapa pemain yang berada di ranah yang sama antara lain PasarPolis, Fuse Insurtech, dan 9Lives.

Produk asuransi Covid-19

Tim dan manajemen Qoala
Tim dan manajemen Qoala

Salah satu inovasi produk yang akan dihadirkan Qoala dalam waktu dekat adalah penawaran produk asuransi khusus yang mencakup risiko terjangkit Covid-19 untuk konsumen perorangan dan UKM.

Qoala menganggap produk ini menjadi komplemen BPJS Kesehatan yang dimiliki masyarakat dengan memberi manfaat tambahan.

“Terlebih dengan kondisi krisis dan pemberlakuan PSBB saat ini, kami melihat meningkatnya kebutuhan atas inovasi untuk mendukung industri asuransi terutama adanya keterbatasan pemasaran produk secara offline,” kata Tommy.

Sebagai platform insurtech, Qoala mengklaim telah mampu memroses lebih dari 2 juta polis per bulan, naik dari sebelumnya sebanyak 7.000 polis per bulan pada Maret 2019. Qoala juga telah meluaskan layanannya mencakup lima industri inti, yaitu pariwisata, fintech, ritel, logistik, dan kesehatan karyawan.

“Sebagai pendatang baru di industri teknologi asuransi / Insurtech, kami senang mendapat kepercayaan dari investor global terkemuka yang terus mendukung kami mengembangkan inovasi di bidang teknologi asuransi. Dukungan ini membuat kami sangat optimistis dalam mencapai visi misi Qoala dalam memasyarakatkan asuransi dan mempermudah akses asuransi bagi semua orang,” kata Founder dan CEO Qoala Harshet Lunani.

Application Information Will Show Up Here

Telkom Siapkan Dana Kelolaan Baru Senilai 7 Triliun Rupiah

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom Group) tengah mempersiapkan dana kelolaan baru tahun ini. Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin menyebutkan kapasitas pendanaannya berkisar US$300-500 juta atau Rp4,2 triliun-7 triliun (kurs Rp14.000/dolar AS).

Disampaikan Budi di ajang Digital Economy Summit 2020 oleh Microsoft Indonesia, Telkom Fund atau dana kelolaan tahap pertama telah menyalurkan investasi ke 35 startup, baik lokal maupun global.

Telkom Fund tahap kedua disiapkan untuk mendukung transformasi digital Telkom Group ke depan. Salah satu strateginya adalah berinvestasi ke startup. “Sektor telekomunikasi punya belanja modal yang sangat tinggi sehingga perlu ada perubahan dari infrastruktur digital ke platform digital,” katanya di Jakarta.

Sebagaimana diketahui, Telkom Fund adalah investasi yang dikelola oleh MDI Ventures sebagai corporate venture capital (CVC) di bawah naungan Telkom.  Di awal berdiri di 2015, MDI Ventures mendapat suntikan dana tahap pertama sebesar $100 juta.

Kemudian pada Mei 2019, Telkom kembali menyuntik investasi lanjutan sebesar $40 juta untuk sub unit investasi Telkomsel, yakni Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Adapun investasi ini tetap dikelola oleh MDI Ventures.

Barulah di September 2019, MDI Ventures melakukan debut penggalangan dana dengan investor di luar Telkom sebesar $100 juta atau setara Rp1,4 triliun. Salah satu limited partner (LP) yang terlibat adalah Kookmin Bank. Pada Desember 2019, Telkom melalui MDI Ventures dan KB Financial Group asal Korea Selatan membentuk dana kelolaan baru bernama Centauri Fund.

Sebelumnya Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengungkap, akan ada tambahan dua dana kelolaan baru tahun ini. Fokus pendanaannya untuk segmen growth stage dan later stage. Dengan kata lain, ini adalah Telkom Fund tahap kedua yang disinggung sebelumnya.

Kenneth sendiri telah mengonfirmasi kapasitas investasi sebesar Rp7 triliun untuk dana kelolaan baru. “Ini masih dalam proses. Tapi kami belum bisa confirm [apakah cari LP lagi atau murni dari Telkom],” ujarnya dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Industri telekomunikasi terdisrupsi

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), industri telekomunikasi Indonesia mencatat  pertumbuhan minus 6,4 persen di 2018.

Ketua ATSI sekaligus Direktur Utama Telkom Ririek Adriansyah mengungkap, di sepanjang 2018 industri telekomunikasi di tanah air diperkirakan hanya mampu mengantongi pendapatan Rp148 triliun. Nilai ini turun dari pencapaian dua tahun sebelumnya sebesar Rp158 triliun.

“Penurunan ini disebabkan oleh penurunan layanan voice dan SMS yang kini digantikan oleh layanan baru dari pemain Over-the-Top (OTT), perang tarif data antar-operator, dan regulasi registrasi SIM Card,” ungkapnya seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Sementara Telkom mencatat pertumbuhan pendapatan 3,5 persen atau sebesar Rp102 triliun dibandingkan periode sama tahun sebelumnya pada kuartal ketiga 2019. Marjin EBITDA Telkom juga hanya tumbuh 3,4 persen secara year-on-year (YoY).

Dalam beberapa tahun terakhir, operator telekomunikasi berupaya untuk menemukan model bisnis yang tepat untuk mengembangkan bisnis digital. Transformasi ini memang diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan pendapatan dan EBITDA. Sayangnya, kebanyakan bisnis digital yang dikembangkan operator gagal.

Maka itu, pertumbuhan anorganik dirasa menjadi salah satu langkah yang tepat untuk mengakselerasi pertumbuhan perusahaan. Dalam hal ini, Telkom membentuk entitas baru sebagai perpanjangan investasi untuk startup dari berbagai vertikal bisnis.

Mempertebal sinergi dan capital gain

Dalam kurun waktu cukup berdekatan Telkom mendelegasikan Telkomsel untuk membentuk unit investasi baru, yakni TMI. Kemudian dilanjutkan dengan sinergi Telkom dan KB Financial Group untuk mendirikan Centauri Fund.

Dengan rencana tambahan dua dana kelolaan baru–sepertinya bisa bertambah lagi–menandakan betapa pemerintah agresif untuk mendorong sinergi untuk memperkuat transformasi bisnis digital Telkom dalam beberapa tahun ke depan.

Tentu dengan semakin banyaknya kesempatan untuk berinvestasi di startup dapat menciptakan sinergi, baik dari sisi teknologi maupun transfer knowledge, yang dapat diserap seluruh anak usaha Telkom, utamanya Telkomsel sebagai penyumbang pendapatan terbesar.

Di sisi lain, MDI Ventures sebagai perpanjangan tangan investasi Telkom kini telah menghabiskan investasi tahap awal dengan mendanai 35 portofolio. Selama rentang empat tahun pasca-didirikan, MDI Ventures telah membuktikan kesuksesannya di bawah nakhoda Nicko Widjaja yang kini telah berlabuh ke BRI Ventures.

Dengan target penggalangan dana besar senilai Rp7 triliun dan iklim investasi di ekosistem digital yang semakin selektif , Telkom akan membuka peluang bagi investor lokal dan luar untuk lebih banyak masuk ke dalam kantong investasi selanjutnya.

Inisiatif “Growth Fund” untuk Ekosistem Startup Indonesia

Ada perkembangan luar biasa yang terjadi pada ekosistem startup di Asia Tenggara beberapa tahun terakhir. Salah satu takarannya adalah popularitas growth fund – baik dari sisi startup yang telah mencapai tahapan tersebut dan/atau investor yang mengalokasikan investasi untuk tahapan tersebut.

Menurut catatan Cento Ventures, sepanjang tahun 2019 ada beberapa startup yang mulai masuk ke kelompok centaur (memiliki valuasi antara US$100-900an juta), di antaranya Payfazz (fintech), Moka (SaaS), HappyFresh, Xendit, dan Alodokter.

Startup di atas mengokohkan diri dengan valuasi tersebut pada tahun 2019 melalui pendanaan di tahap lanjutan (growth). Ruangguru mengumumkan pendanaan Seri C US$150 juta menjelang akhir tahun. Atau Halodoc yang menggalang pendanaan Seri B mulai awal tahun, termasuk merangkul yayasan ternama Bill & Melinda Gates Foundation sebagai salah satu investornya.

Startup Asia tenggara 2020

Growth fund

Kebalikan dari early stage, later stage adalah tahapan startup yang telah mencapai kematangan dalam bisnis. Variabel yang dihitung cukup beragam, mulai dari kualitas produk, cakupan area, traksi pengguna, jajaran tim hingga nilai investasi yang didapatkan.

Untuk berinvestasi ke startup later stage, ada dua pendekatan yang selama ini dijalankan. Pertama, venture capital (VC) atau corporate venture capital (CVC) menyediakan dana besar –yang didapat dari LP atau modal yang disuntikkan perusahaan induk—untuk diinvestasikan ke startup. Skema kedua, VC berkolaborasi membentuk inisiatif dana gabungan.

Hal menarik lain dalam perkembangan growth fund adalah beberapa diinisiasi investor yang sebelumnya fokus pada early stage. Dana yang lebih besar diguyurkan untuk membantu portofolionya mencapai ekspansi pasar yang lebih luas.

Berikut ini beberapa inisiatif growth fund di Asia Tenggara yang sudah diresmikan atau sudah beroperasi:

Growth Fund in SEA

Desember lalu, Telkom dan KB Financial Group meresmikan dana kelolaan baru Centauri Fund. Fokusnya untuk pendanaan Pra-Seri A hingga Seri B. Sebelumnya CVC milik mereka MDI Ventures juga memberikan porsi pendanaannya di tahap tersebut.

Di bulan yang sama, EV Growth mengumumkan telah membukukan US$250 juta (hard cap) setara 3,4 triliun Rupiah dalam pengumpulan dana pertamanya. Perusahaan mengklaim, saat ini mereka telah menyalurkan lebih dari 50% total dana yang dikumpulkan ke dalam 20 kesepakatan pendanaan. Sebanyak 80% startup yang mendapatkan kucuran dana dari Indonesia. Turut diinformasikan internal rate of return pendanaan berkisar 36%.

Peluang investasi

Dalam sebuah kesempatan, Direktur Lippo John Riady berujar, ia cukup optimis ketika pertama kali membuat proposal untuk berinvestasi di bidang teknologi.  John memproyeksi bahwa dalam 10 tahun pasar tersebut tumbuh bernilai US$20-100 miliar. Tahun 2017 ia mulai membangun OVO dan kini perusahaan digital tersebut sudah mencapai status unicorn dengan valuasi terakhir yang diketahui mencapai US$2,9 miliar.

“Teknologi adalah salah satu aset paling menarik yang dimiliki perusahaan. Teknologi memungkinkan perubahan luar biasa dalam perilaku konsumen. Ini mempengaruhi mata pencaharian hingga tidak dapat dibalik. Saya benar-benar yakin dengan semua perubahan mendasar yang terjadi ini,” kata John.

Kini setidaknya ada 11 startup unicorn di Asia Tenggara. Hipotesis mengenai prakiraan pertumbuhan yang pesar di masa mendatang tampaknya juga dimiliki oleh para investor lain, melihat pertumbuhan startup di Indonesia. Beberapa model bisnis telah tervalidasi dengan baik, lainnya lagi tengah memastikan penerimaan pasar atas solusi yang ditawarkan.

Berikut ini daftar vertikal startup yang telah berhasil memvalidasi model bisnisnya dengan baik – ditandai dengan besarnya investasi yang masuk ke beberapa startup pendominasi pasar:

Vertikal Keterangan
E-commerce Saat ini Indonesia telah memiliki 2 unicorn dari kategori bisnis ini, sementara beberapa pemainnya memiliki sokongan besar dari raksasa teknologi Singapura (Sea) dan Tiongkok (Alibaba, JD.com).
On-Demand Didominasi dua pemain utama, kendati tidak menutup kemungkinan hadirnya beberapa platform baru yang menyasar model layanan spesifik. Seperti Anterin yang tengah dalam proses perampungan akuisisi oleh salah satu unit usaha grup MNC.
Travel & Hospitality Pariwisata menjadi sektor prioritas pemerintah yang terus dioptimalkan, mengharap perputaran ekonomi yang besar –baik dari wisatawan domestik maupun mancanegara—terjadi di sini. Bisnis di bidang OTA dan pemesanan hunian menjadi bagian penting untuk menopang strategi tersebut.
Fintech, Insurtech Menurut laporan Fintech Report 2019, tahun lalu sekurangnya ada 144 perusahaan p2p lending yang telah mendapatkan status terdaftar dan berizin di OJK, sementara ada 39 pemain di bidang pembayaran yang telah kantongi lisensi dari Bank Indonesia. Pergeseran gaya hidup masyarakat Indonesia menjadikan layanan berbasis finansial digital mudah diterima masyarakat.
Online-to-Offline Konsep O2O direpresentasikan dalam berbagai model bisnis, beberapa di antaranya memberdayakan masyarakat/pedagang kecil untuk mitra distribusi, beberapa lainnya menyajikan pengalaman campuran antara melakukan transaksi secara langsung dan melalui aplikasi. Bisnis-bisnis dengan pendekatan ini mendapatkan pertumbuhan signifikan beberapa waktu terakhir.
Healthtech Dengan perolehan pendanaan seri B+, Halodoc mantap masuk ke jajaran startup centaur. Sementara sejak dua tahun terakhir, sektor ini terus dieksplorasi para pemain digital lokal. Termasuk menghadirkan ragam inovasi untuk mendukung gaya hidup sehat dalam layanan wellness.
Edtech Tahun 2019 ada tiga startup yang membukukan pendanaan lanjut, meliputi Ruangguru, HarukaEdu dan Zenius. Ketiganya berambisi untuk merangkul pelajar dengan jumlah yang besar melalui pendekatan baru dalam kegiatan belajar.
SaaS Pada dasarnya produk vertikal ini mendukung proses bisnis digital dari startup lain, misalnya berbentuk layanan POS, kecerdasan buatan, analisis data, sistem perekrutan dan lain-lain.

Potensi terhadap vertikal tersebut di atas senada dengan target investasi yang sudah dicanangkan oleh investor. Salah satunya Telkom Group melalui Centauri.

“Sekarang kami sedang evaluasi lima startup di bidang fintech, insurtech, big data dan artificial intelligence. Sejauh ini semua [dari Indonesia]. Target kami mungkin bisa investasi ke lima sampai sepuluh [startup] di 2020,” ungkap Manaing Partner MDI Ventures Kenneth Li.

Tahun 2020 prospek investasi melambat?

Banyak analis yang menerangkan, tahun ini akan ada perlambatan dalam iklim investasi untuk startup digital. Ada beberapa faktor penyebab, dua di antaranya karena perlambatan ekonomi global di tengah isu-isu internasional yang memanas dan kejadian seperti “WeWork apocalypse” yang berdampak pada kepercayaan investor.

Menelisik lebih dalam kondisi di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya. Startup later stage terus meningkatkan laju bisnis untuk menjadi profitable, beberapa telah menyampaikan rencana IPO. Di tahap early-stage, founder baru mulai realistis. Saat mereka merasa tidak mungkin lagi bersaing dengan model bisnis yang telah diusung pemain besar lainnya, jalan yang ditempuh adalah menghasilkan solusi mendukung model bisnis yang ada – atau satu hal yang benar-benar unik dan menyasar ceruk pengguna yang sangat spesifik.

Faktanya VC masih memiliki ambisi kuat dengan prospek Indonesia. Tahun ini bank OCBC NISP melalui OCBC NISP Ventura debut dengan 400 miliar Rupiah untuk berinvestasi ke startup digital. Tidak hanya menyasar fintech, namun juga proptech hingga edtech. Kinesys Group sebagai “binaan” Northstar Group juga hadir untuk mendampingi segmen early stage dengan menyiapkan dana senilai 280 miliar Rupiah.

Penggalangan dana dari sisi investor juga masih berjalan mengesankan. Salah satu pemain teraktif di Indonesia, Alpha JWC Ventures, akhir tahun lalu mengumumkan penutupan Fund 2-nya dengan status “oversubscribed”, artinya jumlah yang diterima dari LP yang masuk lebih besar dari nilai yang ditargetkan di awal. Mereka mengumpulkan dana 1,7 triliun Rupiah dan masih akan terus disalurkan untuk startup-startup yang sebagian besar beroperasi di Indonesia.

MDI Ventures to Release Two More Managed Funds in 2020

MDI Ventures is to release two more managed funds to enhance Telkom Group’s startup investment portfolio from early-stage to the later stage.

MDI Ventures’ Head of Investor Relations & Capital Raising, Kenneth Li said to DailySocial that this step was taken due to the first-round fund distribution has run out in four years.

“True, that is the plan. However, I’m not in the position to share the details because the process is just begun,” he added.

In early December 2019, Telkom Group through MDI Ventures with South Korea-based KB Financial Group established a new managed fund named Centauri Fund.

mdi

Prior to this, halfway through 2019, Telkomsel, a subsidiary in cellular business, created an investment arm named Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) managed by MDI Ventures.

Kenneth affirmed the plan of two new managed funds would create diversity in Telkom Group’s investment portfolio and its subsidiaries.

“Centauri focused on Series A and B. Meanwhile, TMI has a specific requirement from Telkomsel to be a single LP fund and more CVC style with synergy requirement,” he added.

In terms of funding, he said the company is to make another fundraising on every new managed fund.

“[Fundraising] Rp1.4 trillion is only for Centauri Fund. Each fund, [the allocation] is different. Later [there will be] another fundraising,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

MDI Ventures akan Tambah Dua Dana Kelolaan Baru di 2020

Tahun ini MDI Ventures segera menambah dua dana kelolaan baru lagi untuk memperkuat portfolio investasi startup Telkom Group dari tahap early stage sampai later stage.

Head of Investor Relations &  Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li kepada DailySocial mengungkap bahwa penambahan ini dikarenakan alokasi dana putaran pertama selama empat tahun sudah habis.

“Ya betul itu rencananya. Tapi, saya belum bisa share detailnya seperti apa karena kami baru mulai prosesnya,” ujar Kenneth.

Awal Desember 2019 lalu, Telkom Group melalui MDI Ventures dan KB Financial Group asal Korea Selatan juga membentuk dana kelolaan baru bernama Centauri Fund.

MDI Ventures

Mundur lagi, di pertengahan 2019, anak usaha di bisnis seluler Telkomsel membentuk unit investasi baru, yaitu Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) yang akan dikelola oleh MDI Ventures.

Kenneth menegaskan bahwa rencana pembentukan dua dana kelolaan baru ini akan mengisi ragam portofolio pendanaan Telkom Group dan anak usahanya.

“Centauri fokus pada seri A dan B. Sementara, TMI punya spesifik requirement dari Telkomsel sehingga jadi single LP fund dan style-nya lebih CVC dengan synergy requirement,” tambahnya.

Dari sisi pendanaan, ia menyebut bahwa pihaknya akan melakukan penggalangan dana lagi pada setiap dana kelolaan baru.

“[Penggalangan dana] Rp1,4 triliun itu hanya untuk Centauri Fund. Setiap fund, [alokasinya] beda-beda. Nanti [ada] fundraising lagi,” katanya.

A Kaleidoscope of Strategic Corporate Acts in 2019

The disruptive era has been driven not only by the startup industry. In recent years, a number of large-scale corporations have taken part in developing the digital ecosystem in Indonesia.

Moreover, innovation development within the scope of the corporation or corporate innovation will come back to its main goal, a sustainable business.

The year 2019 highlighted some strategic steps with various instruments, from internal innovation incubation, collaboration with startups, and the rise of venture capitals.

DailySocial summarizes the most engaging corporate actions of some sectors within the year of 2019 as follows:

A synergy of state-owned e-money products

Last year begins with Telkomsel’s e-money service transformation, Tcash, to LinkAja. This is said to be the former SOE Minister Rini Soemarno’s initiative who wants to put state-owned e-money companies altogether into one platform.

Tcash is considered to have the most ready ecosystem at that time than any other SOE e-money, therefore, It was designated as an “embryo” for the LinkAja platform. This is quite a surprising decision since Tcash plans to become an agnostic e-money service and spin off from Telkomsel in the mid-2018.

Meanwhile, LinkAja has been announced and started rolling in February. In fact, it was officially launched in the middle of the year due to the long-await for the integration of all SOE e-money to be completed.

It is to be highlighted that LinkAja is the result of a joint venture of state-owned companies in which 25% of the shares owned by Telkomsel, 20% each for Mandiri, BRI and BNI, BTN, Pertamina with 7%, and Jiwasraya Insurance also involved with 1%.

Prior to this, LinkAja positioned itself as e-money for daily basis. Therefore, this joint venture – to be followed by other shareholders – is considered to fasten the acceleration for the company’s use case, such as transportation and gasoline purchases.

Collaboration and Innovation

Innovation and collaboration between corporations and startups have made the news in 2019. It indicates a number of business sectors have realized the power of inclusiveness towards Indonesia’s digital business development.

As an example, Gojek officially partners with Indonesian Railways (KAI) to support the integration of digital ecosystems and railroad services through orders and payments in one transaction. In this case, Gojek is the first and last-mile provider, while KAI acts as the middle mile provider.

Next, BRI kicked off the market through its collaboration with Traveloka through the “PayLater Card” launching. This co-branding partnership allows users to transact at offline and online merchants in 53 million locations worldwide and receive payments by VISA.

In late 2019, BRI is to increase its digital service portfolio by launching a BRI Ceria virtual credit card that provides loans starting from Rp500 thousand to Rp1 million. The app-based service aims for BRI customers in the underbanked segment.

In terms of telco, Telkomsel initiated another breakthrough by launching the first digital app-based cellular service product by.U. It’s called digital-based for all activities of purchase, registration, and use are fully carried out in the application.

It was internally incubated and developed through MVP, the by.U service has become Telkomsel’s strategic “weapon” to win the market in the digital era. In fact, by.U is targeting gen Z for their digital literacy and unwillingness to be “regulated” for data packages.

The rise of Corporate Venture Capitals

2019 highlights the aggressive penetration of Corporate Venture Capital (CVC). In our observation, there are four new CVCs established to capture great opportunities in the Indonesian digital industry. They include Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi / TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), and Sarana Papua Ventura (BTN).

Furthermore, DailySocial also highlighted Nicko Widjaja‘s transfer from MDI Ventures to be the head of BRI Ventures. Nicko’s appointment as CEO is expected to bring a new success story in the coming year.

Broadly speaking, each CVC targets a different business vertical, depending on the demand and values ​​of the company’s business development. Likewise, the funding stage. For example, TMI is currently aiming for early-stage and BRI Ventures will focus on growth and late-stage startups.

In addition to the CVC, Telkom Group has recently added more to its managed funds by launching the Centauri Fund.  The new strategy is a joint venture between the telco giant with KB Financial Group, which is one of the largest banks in South Korea.

Expecting the next strategic step in 2020

Through the summarize of various corporate actions above, we can draw a common thread that inclusiveness will be the main key for players – whoever are both corporations and startups – in driving the development of the digital ecosystem in the future.

Collaboration will be more aggressive and there are more innovations to arrive. A number of Indonesian corporates have realized the power of innovation and digital transformation. Some of those, such as BRI and Telkomsel, have prepared themselves to start a new chapter in 2020.

Moreover, in line with the more mature startup ecosystem, the VC industry will be more selective for its investment. The investment climate is predicted to increase. However, we are likely to see a decrease in the initial funding.

For some reason, both CVC and VC will be more focused on growth and late-stage funding. Aside from minimizing risk — learn from the previous years — startups must have clear traction, scale-up, and monetizing plans.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kaleidoskop Aksi Korporasi Strategis di Sepanjang 2019

Era disruptif sesungguhnya tak hanya didorong oleh industri startup. Faktanya sejumlah korporasi berskala besar turut ambil bagian dalam pengembangan ekosistem digital di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Walau demikian, pengembangan inovasi di lingkup korporasi atau corporate innovation akan kembali mengacu pada tujuan utamanya, yakni kelangsungan bisnis untuk jangka panjang.

Tahun 2019 menandai ramainya sejumlah langkah strategis dengan instrumen bervariasi, mulai dari inkubasi inovasi internal, kolaborasi dengan startup, hingga pembentukan pemodal ventura.

DailySocial merangkum berbagai aksi korporasi menarik dari beberapa sektor industri di sepanjang 2019 berikut ini:

Sinergi besar-besaran e-money BUMN

Tahun 2019 diawali dengan transformasi layanan e-money Telkomsel, Tcash, menjadi LinkAja. Transformasi ini disebut sebagai inisiasi dari eks Menteri BUMN Rini Soemarno yang ingin menggabungkan seluruh e-money milik perusahaan pelat merah ke dalam satu platform.

Tcash dinilai punya ekosistem paling siap saat itu dibandingkan e-money BUMN yang lain sehingga Tcash ditetapkan sebagai “embrio” bagi platform LinkAja. Keputusan ini tentu cukup mengagetkan mengingat di pertengahan 2018, Tcash berencana untuk menjadi layanan e-money agnostik dan spin off dari Telkomsel.

Adapun, LinkAja diumumkan dan beroperasi pada Februari, namun baru diluncurkan secara resmi di pertengahan tahun karena menunggu integrasi seluruh e-money BUMN rampung.

Yang perlu digarisbawahi, LinkAja merupakan hasil kongsi perusahaan BUMN yang saat ini sahamnya dimiliki oleh Telkomsel sebesar 25 persen, Mandiri, BRI, dan BNI yang masing-masing menguasai 20 persen, BTN dan Pertamina 7 persen, serta Asuransi Jiwasraya 1 persen.

Sejak awal, LinkAja memposisikan diri sebagai e-money untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka itu, kongsi ini–dan akan bertambah dengan masuknya pemegang saham lain–dinilai akan memperkuat akselerasi use case yang disiapkan perusahaan, seperti transportasi dan pembelian bensin.

Kolaborasi dan inovasi

Inovasi dan kolaborasi antara korporasi dan startup mewarnai pemberitaan di sepanjang 2019. Ini menandakan sejumlah sektor bisnis telah menyadari pentingnya inklusivitas terhadap pengembangan bisnis digital di Indonesia.

Misalnya, Gojek resmi bermitra dengan Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mendukung integrasi ekosistem digital dan layanan perkeretaapian melalui penerapan pesanan dan pembayaran dalam satu transaksi. Dalam hal ini, Gojek menjadi penyedia first mile dan last mile, sedangkan KAI sebagai penyedia middle mile.

Kemudian BRI menggebrak pasar lewat kolaborasinya dengan Traveloka lewat peluncuran kartu kredit “PayLater Card”. Kerja sama co-branding ini memungkinkan pengguna untuk bertransaksi di merchant offline dan online yang tersebar di 53 juta lokasi di seluruh dunia dan menerima pembayaran dengan VISA.

Di penghujung tahun 2019, BRI kembali menambah portfolio layanan digital dengan meluncurkan kartu kredit virtual BRI Ceria yang menyediakan pinjaman mulai dari Rp500 ribu-Rp1 juta. Layanan berbasis aplikasi ini hanya menyasar nasabah BRI di segmen underbanked.

Dari sektor telekomunikasi, Telkomsel juga membuat gebrakan baru dengan meluncurkan produk layanan seluler pertama berbasis aplikasi digital by.U. Disebut digital karena seluruh aktivitas pembelian, registrasi, dan pemakaian sepenuhnya dilakukan di aplikasi.

Diikubasi di internal dan dikembangkan secara MVP, layanan by.U menjadi “senjata” strategis Telkomsel untuk memenangkan pasar di era digital. Maka tak heran, by.U membidik generasi Z yang dianggap sudah melek digital dan tidak mau “diatur” dalam memilih paket.

Corporate Venture Capital paling bersinar

Tahun 2019 menyoroti agresifnya pembentukan Corporate Venture Capital (CVC). Menurut catatan kami, terdapat empat CVC baru yang didirikan untuk menangkap peluang besar di industri digital Indonesia. Mereka antara lain Amatil X (Coca Cola Amatil), Telkomsel Mitra Inovasi/TMI (Telkomsel), BRI Ventures (BRI), dan Sarana Papua Ventura (BTN).

Kemudian, DailySocial juga menyoroti kepindahan Nicko Widjaja dari MDI Ventures untuk menakhodai BRI Ventures. Penunjukkan Nicko sebagai CEO diharapkan membawa kisah kesuksesan baru di tahun mendatang.

Secara garis besar, setiap CVC memiliki target vertikal bisnis berbeda, tergantung dengan kebutuhan dan nilai yang diincar untuk pengembangan bisnis perusahaan. Demikian pula tahapan pendanaan. Misalnya, TMI saat ini membidik early-stage dan BRI Ventures akan fokus terhadap startup di growth dan late stage. 

Selain pembentukan CVC, Telkom Group baru-baru ini juga menambah dana kelolaan dengan membentuk Centauri Fund. Strategi dana kelolaan baru tersebut merupakan hasil kongsi raksasa telekomunikasi ini dengan KB Financial Group, yakni salah satu perusahaan bank terbesar di Korea Selatan.

Menantikan langkah strategis selanjutnya di 2020

Lewat rangkuman beragam aksi korporasi di atas, kami dapat menarik benang merah bahwa inklusivitas akan menjadi kunci utama bagi pemain—siapapun itu baik korporasi dan startup—dalam mendorong pengembangan ekosistem digital di masa depan.

Kolaborasi akan semakin agresif dan inovasi akan terus berdatangan. Sejumlah korporasi di Indonesia sudah menyadari pentingnya inovasi dan transformasi digital. Beberapa di antaranya, seperti BRI dan Telkomsel, telah mempersiapkan diri memulai babak baru di tahun 2020.

Di sisi lain, sejalan dengan semakin matangnya ekosistem startup, industri VC akan semakin selektif dalam memilih pendanaan. Iklim investasi memang diprediksi meningkat. Akan tetapi, kita tampaknya bakal melihat menurunnya fokus pendanaan tahap awal.

Baik CVC atau VC akan mulai lebih fokus membidik pendanaan growth dan late stage karena sejumlah alasan. Selain minim risiko—belajar dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya—startup memang harus memiliki traction, rencana scale up, dan monetisasi yang jelas.

Dana Kelolaan Telkom dan KB Financial Group “Centauri Fund” Incar Sepuluh Startup Tahun Depan

Centauri Fund, inisiatif dana kelolaan bentukan Telkom Group melalui unit CVC MDI Ventures dan KB Financial Group Korea Selatan, mengincar sepuluh portfolio startup di tahun 2020. Saat ini perusahaan tengah menjajaki kesepakatan investasi dengan lima startup Indonesia.

Telkom Group dan KB Financial Group resmi menandatangani perjanjian kerja sama (MoU) untuk membentuk Centauri Fund sebagai perpanjangan tangan untuk dana kelolaan baru pada pekan lalu, Senin (9/12).

Dalam keterangan resminya, Direktur Strategic Portfolio Telkom Achmad Sugiarto mengungkap Centauri Fund dibentuk sebagai komitmen kedua perusahaan untuk mengembangkan ekosistem teknologi dan startup, terutama Indonesia, sebagai pasar terbesar di kawasan Asia Tenggara.

“Sekarang kami sedang evaluasi lima startup di bidang fintech, insurtech, big data, dan artificial intelligence. Sejauh ini semua [dari Indonesia]. Target kami mungkin bisa investasi ke lima sampai sepuluh [startup] di 2020,” ungkap Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li kepada DailySocial.

Sebelumnya diberitakan beberapa bulan lalu MDI Ventures tengah dalam proses pengumpulan investasi ketiga dengan target nilai $100 juta atau sekitar Rp1,4 triliun.

Saat itu, Kenneth mengonfirmasi bahwa Kookmin Bank, bagian dari KB Financial Group, merupakan satu dari tiga potensial investor yang bakal menjadi LP (Limited Partner). Dua calon mitra LP lainnya belum mencapai kesepakatan final.

Kenneth mengungkapkan, baik Centauri Fund dan MDI Ventures masih sama-sama mengejar vertikal bisnis yang sama. Yang menjadi pembeda adalah Centauri Fund akan fokus ke pendanaan Pra Seri A dan Seri B, sedangkan MDI Ventures fokus di Seri B ke atas.

Meskipun demikian, ia enggan menyebutkan nilai investasi yang dikucurkan oleh KB Financial Group ke Centauri Fund. Kenneth memastikan bahwa masuknya mitra bisnis baru tersebut akan memberikan kapabilitas dan pembelajaran di bidang fintech.

“Vertikal bisnis [Centauri Fund] hampir sama karena sebenarnya MDI Ventures sudah cukup agnostik. Hipotesis kami memang lebih ke sustainable business. Startup yang kita pilih adalah yang bisa dibantu pertumbuhannya lewat ekosistem Telkom,” tutupnya.