Investree Kantongi Pendanaan Seri C Tahap Pertama 382 Miliar Rupiah

Startup p2p lending Investree mengumumkan pendanaan tahap pertama seri C sebesar $23,5 juta (lebih dari 382 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh MUIP, anak usaha ventura dari Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), dan BRI Ventures. Turut berpartisipasi investor lainnya SBI Holdings dan 9F Fintech Holdings Group, keduanya adalah investor existing yang masuk saat putaran seri B.

Dalam konferensi pers yang digelar secara online, Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi menjelaskan, dana segar akan digunakan untuk memperkuat posisi perusahaan sebagai p2p lending terdepan untuk UKM dan mendukung bisnis perusahaan di Thailand dan Filipina.

“Pendanaan ini sudah close dari pertengahan Maret 2020. Untuk close round, kita masih paralel diskusi dengan potensi investor lainnya. Apakah ada kenaikan dari sisi jumlah [funding], masih dalam proses. Kita tidak buru-buru karena kita well capitalized,” terangnya, Rabu (8/4).

Adrian juga mengutarakan pendanaan yang diterima di tengah pandemi ini, membuktikan kepercayaan kuat investor terhadap strategi dan tim manajemen perusahaan. “Platform dan kondisi finansial yang kokoh memungkinkan perusaahaan untuk mengatasi iklim saat ini secara percaya diri.”

Masuknya MUFG dan BRI lewat masing-masing venturanya ke Investree, memungkinkan perusahaan untuk perdalam kemitraan. MUFG adalah salah satu pemilik saham Bank Danamon. Sinergi dengan kedua bank ini, sambungnya, bukan hal baru. Sebelumnya, Investree sudah mulai menjalin sejak 2016 dengan Bank Danamon dan 2018 dengan BRI.

Presiden dan CEO MUIP Nobutake Suzuki mengatakan, keyakinannya untuk berinvestasi ke Investree karena perusahaan tersebut punya fundamental yang baik dari sisi performa, legalitas, dan latar belakang petingginya yang matang di dunia finansial. Di samping itu, dia melihat secara industri, Investree punya peluang yang besar untuk memimpin pasar lending untuk UKM.

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menambahkan, pihaknya tertarik dengan Investree karena mereka berhasil melayani segmen usaha underserved, seperti industri kreatif. Bagi institusi finansial konvensional, segmen ini cenderung penuh risiko. “Kami percaya kolaborasi antara grup BRI dan Investree yang telah berlangsung sejak 2018 mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.”

Investree mengantongi pendanaan seri B dengan nilai dirahasiakan pada pertengahan 2018. Pada saat itu, putaran dipimpin oleh SBI Holdings Inc, lalu diikuti oleh MCI, Persada Capital, Endeavor Catalyst, 9F Fintech Holdings Group, dan Kejora Ventures.

Rencana Investree berikutnya

Adrian melihat, di tengah pandemi yang masih berlangsung, perusahaan akan masuk sektor industri yang tumbuh hijau yakni kesehatan dan telekomunikasi. Dua sektor ini dinilai punya peluang yang signifikan dan bisa dibantu lewat pembiayaan, apalagi saat ini industri kesehatan menjadi garda terdepan dalam melawan pandemi.

Di samping itu, untuk menekan laju kredit macet, perusahaan sudah menetapkan serangkaian mitigasi risiko, seperti menggunakan asuransi kredit, restrukturisasi dan reschedule yang dilihat kasus per kasus. Bagaimana performa para peminjam tersebut dan seberapa jauh dampak Covid-19 terhadap bisnis mereka.

“Sampai saat ini kita sedang diskusi dengan beberapa borrower dari perhotelan dan ritel. Kita lihat case by case apa yang bisa kita lakukan. Apakah dampaknya jangka pendek, perlu direstrukturisasi. Kita sudah siapkan template-nya dan siap disampaikan ke lender karena kita bukan pemberi pembiayaannya.”

Terkait ekspansi perusahaan ke Thailand dan Filipina, sejauh ini masih dalam tahap pemrosesan izin usaha. Bila tidak ada aral melintang, diperkirakan paling lambat pada kuartal ketiga tahun ini izin bisa dikantongi. “Sejauh ini proses perizinan masih sesuai rencana kita dan belum ada perubahan.”

Adrian juga memastikan perusahaan hanya fokus pada tiga negara sepanjang tahun ini. Thailand dan Filipina sebelumnya dipilih karena keduanya punya masalah yang sama dengan Indonesia, yakni rendahnya penetrasi pinjaman modal usaha untuk UKM.

“Kami masuk ke dua negara ini dengan menggandeng mitra lokal yang tahu bisnis dan regulasi di sana seperti apa.”

Hingga awal April 2020, perusahaan membukukan total pinjaman sebesar Rp5,11 triliun dan nilai pinjaman tersalurkan Rp3,83 triliun. Rata-rata tingkat pengembalian mulai 16% dan TKB90 90%. Ada 1297 peminjam yang terdiri dari individu dan institusi.

Application Information Will Show Up Here

Apakah Perlu Mengkaji Jumlah Pelaku “Fintech Lending”

Dalam tiga bulan mendatang, OJK akan kembali membuka proses pendaftaran putaran baru untuk pemain fintech lending. Penangguhan yang berlaku mulai paruh pertama tahun ini, sebelumnya diambil atas rekomendasi AFPI karena mereka tengah membangun pusat data dan butuh waktu untuk integrasi dengan semua platform lending.

Mengutip dari berbagai pemberitaan, regulator dan asosiasi saat ini fokus pada pengembangan pusat data fintech atau Pusdafil (Fintech Data Center/FDC) yang telah dirilis pada November 2019. Salah satu manfaatnya adalah mengindentifikasi peminjam ‘nakal.’ Bagi regulator, karena ini adalah bagian komponen dari penyempurnaan sistem, maka proses pendaftaran dihentikan sementara.

“Penghentian itu dilakukan untuk memberi waktu dalam menyempurnakan sistem pengawasan dan memastikan peningkatan kualitas industri ini,” ujar Kepala Eksekutif IKNB OJK Riswinandi dikutip dari akun resmi OJK di Twitter.

AFPI merilis pusat data Fintech Data Center (FDC) untuk mempermudah penyedia layanan p2p dalam melakukan credit assessment saat menyalurkan kredit
Perayaan hari jadi AFPI yang pertama, turut dihadiri perwakilan OJK / DailySocial

Sepanjang penangguhan berlangsung, AFPI berfokus pada mengintegrasikan platform seluruh anggotanya dengan Pusdafil. Pusdafil dapat menjadi cara untuk mendeteksi dan mencegah calon nasabah melakukan peminjaman berlebihan melalui banyak platform fintech pada waktu bersamaan.

“Butuh waktu sekitar enam bulan untuk mengintegrasikan secara penuh dan real time [Pusdafil] bagi seluruh anggota AFPI saat ini,” terang Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi.

Lebih jauh dijelaskan, Pusdafil akan berperan optimal jika seluruh anggota terintegrasi karena seluruh data yang dapat meningkatkan manajemen risiko di industri. Mereka semua bisa mengetahui portofolio calon peminjam dan credit assessment sehingga bisa mencegah potensi kredit bermasalah.

Adrian menyampaikan, informasi terkini sudah ada 21 perusahaan yang sudah terintegrasi dari 161 anggota AFPI yang terdaftar di OJK. “Ada sekitar 36 [perusahaan] yang sedang dalam tahap finalisasi. Target dalam tiga minggu ke depan bisa live lagi [Pusdafil],” ujar Adrian secara terpisah kepada DailySocial, Senin (16/3).

Sembari itu pula, OJK masih tetap memproses perusahaan yang sudah terdaftar untuk mendapatkan izin. Menurut regulator, terdapat 164 perusahaan yang sudah beroperasi, sebanyak 25 diantaranya sudah mengantongi izin.

Apakah perlu kaji ulang jumlah perusahaan?

Ada pertanyaan yang muncul dari pasca keputusan yang diambil regulator dan asosiasi, apakah sebenarnya durasi penangguhan perlu diperpanjang? Apakah jumlah pemain fintech yang terdaftar sebenarnya bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan kredit yang belum bisa dijamah perbankan?.

Pengamat Indef Nailul Huda berpendapat dalam perlambatan ekonomi yang sedang dialami Indonesia, juga negara lainnya, kredit itu ibarat darah. Sehingga selalu dibutuhkan untuk menggenjot dunia usaha apalagi buat usaha kecil dan mikro agar terus bergerak dalam cashflow yang ideal. Fintech lending bisa menjadi channel yang tepat untuk memanfaatkan momentum tersebut.

“Gap kredit masih sangat lebar. Kita perlu membuka pintu untuk fintech. Saya kira masih banyak jenis fintech yang mampu didorong untuk memenuhi gap kredit di Indonesia. Equity crowdfunding salah satu yang bisa didorong untuk masuk ke pasar pembiayaan domestik,” imbuh Huda kepada DailySocial.

Sementara itu, Adrian belum bersedia memberikan pandangannya terkait pertanyaan ini. Dia berujar, asosiasi dan akademi sedang menyiapkan studi terkait credit gap dan kebutuhan akses pembiayaan untuk UMKM per sektor yang bisa dilayani fintech dan masuk ke segmen fintech.

“Sehingga tentunya terkait dengan kuantitas dan kebutuhan segmen UMKM bisa terpenuhi. Dari sisi kualitas [penyaluran kredit] tetap bagus. Sekitar sementar kedua akan dipublikasi.”

Dari hasil studi tersebut diharapkan akan muncul sejumlah rekomendasi valid yang bisa menjadi bahan pertimbangan buat para pengambil kebijakan. Kekhawatiran kerap muncul karena pesatnya pertumbuhan fintech lending, sejalan dengan kenaikan tindakan fraud yang dilakukan oleh pemain ilegal.

Satgas Waspada Investasi (SWI) menemukan 508 entitas ilegal pada kuartal pertama tahun ini. Bila menarik rentang waktu lebih jauh, total pinjaman fintech ilegal yang berhasil diringkus SWI sejak 2018 hingga Maret 2020 mencapai 2.406 perusahaan. Angka ini berbanding jauh dengan jumlah pemain yang legal.

Belajar dari Tiongkok

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Quality over quantity. Kuantitas tidak melulu menjadi perkara baik kalau tidak bisa diimbangi dengan kualitas. Ketimpangan penyaluran kredit di Indonesia sebesar Rp1.000 triliun ini seperti pisau bermata dua, sehingga tidak bisa hanya dijawab dengan menghadirkan banyak pemain.

Skandal yang terjadi di Tiongkok menjadi bekal bahan pembelajaran agar tidak mengulangi yang sama. Saat ini pemain p2p lending diambang gulung tikar karena regulator Tiongkok memperketat ruang gerak laju pemain p2p lending dengan membuat sejumlah aturan. Kepercayaan masyarakat pun akhirnya pupus, meski angka permintaan kredit dari bisnis kecil dan individu tidak menunjukkan tanda mereda.

“Meningkatnya aturan dan modal untuk pemberi pinjaman p2p Tiongkok terus memberikan tekanan pada keberlanjutan model bisnis di seluruh sektor pada tahun ini, yang mengarah ke kontradiksi industri lebih lanjut,” kata Direktur Lembaga Keuangan Non Bank Fitch Ratings Katie Chen, seperti dikutip dari South China Morning Post.

Pengetatan aturan terefleksi dari berkurangnya jumlah pemain. Disebutkan pada 2016 angkanya mencapai 2.680 pemain, lalu turun drastis menjadi 343 pemain pada tahun lalu. Lebih dari separuh pemain berbasis di Beijing, ibukota Tiongkok.

Menurut laporan Wangdaizhijia, angka penyaluran menyusut menjadi 491 miliar Yuan ($70,4 miliar) pada tahun lalu. Padahal pada Juni 2018, angkanya tembus mencapai 1,32 triliun Yuan ($189,2 miliar). Perkembangan yang terlalu pesat dan kebijakan drastis yang diambil regulator mengakibatkan keruntuhan industri dalam waktu singkat.

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

“Uang telah mengering karena regulator mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membersihkan sektor pinjaman non-bank dari penipuan dan penyalahgunaan yang terlalu merajalela,” kata Ketua dan Kepala Eksekutif China First Capital (bank investasi berbasis di Shenzhen) Peter Fuhrman. “Operator yang baik dihukum bersama bajingan,” sambungnya.

Salah satu pemain p2p lending terbesar di Tiongkok, Ezubao, disebutkan mengumpulkan dana sebesar 59,8 miliar Yuan ($8,5 miliar) dari lebih dari 900.000 investor. Perusahaan ini menjanjikan bunga pengembalian antara tiga hingga empat kali lebih besar dari bank. Tapi ini hanya sekadar janji manis, berbagai kasus bunuh diri terjadi karena mereka frustasi kehilangan dana.

Pada November 2019, regulator membuat ketentuan perusahaan harus memenuhi batas modal minimal 1 miliar Yuan ($143 juta) untuk memperoleh lisensi pembiayaan mikro online dan dapat beroperasi secara nasional. Besaran ini sama dengan persyaratan untuk bank komersial.

Regulator juga membatasi perusahaan untuk mengandalkan lembaga sebagai sumber dana, tidak lagi mengambil dari investor ritel. Fitch Ratings melihat persyaratan ini cenderung menjadi hambatan pertumbuhan untuk industri p2p lending, meski angka permintaan dari kalangan usaha kecil dan individu tidak menunjukkan tanda-tanda peredaan.

Frost & Sullivan memperkirakan p2p lending akan tumbuh menjadi 2,17 triliun Yuan ($311 miliar) pada 2023, naik drastis dari posisi 789 miliar Yuan ($113 miliar) pada 2018.

Mantan Presiden ICBC Yang Kaisheng mengatakan bahwa regulator Tiongkok perlu belajar dari kesalahan mereka dalam bertindak terlalu lambat dalam menangani risiko p2p lending.

“Jika enam atau tujuh tahun lalu ketika gelombang keuangan digital memanas, jika ada peraturan yang disarankan saat itu, meski kemungkinan [aturan] tidak terlalu matang, [risiko] mungkin agak samar, itu akan jauh lebih baik daripada apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian,” katanya.

Kualitas di Indonesia sejauh ini

Dalam mengukur kualitas suatu industri indikatornya bisa dilihat dari kinerja. Menurut data yang dirangkum OJK, per Januari 2020, akumlasi penyaluran pinjaman secara nasional mencapai Rp88,37 triliun naik 239,85% yoy. Pulau Jawa masih mendominasi dari total portofolio sebesar Rp75,71 triliun dan luar Pulau Jawa Rp12,67 triliun.

Tingkat keberhasilan 90 hari (TKB90) mencapai 96,02% (skala 100), turun dibandingkan Desember 2018 sebesar 98,55%. Meski turun, angka ini menurut Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede masih dalam tahap wajar, sehingga tidak akan mengurangi kepercayaan pemberi pinjaman.

“Turunnya tingkat keberhasilan tahun lalu dianggap merupakan konsekuensi dari upaya penetrasi ke daerah-daerah yang tengah gencar dilakukan oleh pemain. Di luar Jawa, mereka gencar dengan sasaran utamanya adalah pinjaman bersifat konsumtif,” kata Tumbur dikutip dari Bisnis.com.

TKB adalah istilah lazim dalam dunia p2p lending, untuk memberi gambaran kepada calon pemberi pinjaman sebelum berinvestasi melalui platform. TKB merujuk pada tingkat keberhasilan dari perusahaan dalam menyediakan fasilitas penyelesaian kewajiban pinjam meminjam dalam jangka waktu 90 hari sejak jatuh tempo.

TKB wajib dicantumkan dalam laman situs platform sebagai perwujudan transparansi. Semakin tinggi persentase TKB 90 dalam sebuah platform menunjukkan bahwa perusahaan memiliki strategi yang solid untuk mencegah terjadinya gagal bayar kepada pemberi pinjaman.

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Penyaluran peminjaman memang sudah merambah ke daerah luar Jawa. OJK mencatat, titik lokasinya terlihat sudah menyentuh Aceh hingga Papua. Dari pertumbuhan yoy terbesar, dipegang oleh Sulawesi Utara (458,37%), Sulawesi Tengah (437,1%), Papua Barat (432,73%), Maluku Utara (392,71%), dan Kalimantan Tengah (380,24%).

Meskipun secara nominal belum besar, tapi pertumbuhan ini menjadi indikasi bahwa ada kebutuhan yang besar di sana. Angka pertumbuhan yang dipegang lima provinsi ini kalah jauh dengan pertumbuhan di Pulau Jawa dan Bali.

Peluang tersebut, bisa dijawab oleh pemain fintech lending entah baru atau petahana dengan meracik produk pinjaman yang bisa menjawab kebutuhan pasar. Jadi sebenarnya ini bukan soal perlu atau tidaknya banyak pemain baru. Melainkan seberapa cepat perusahaan berinovasi menangkap peluang. Kesempatan terbuka ini berlaku buat semua perusahaan.

Keberadaan platform digital, sangat membantu perusahaan ekspansi lebih cepat. Pemberi pinjaman dari manapun bisa meminjamkan dananya untuk peminjam di lokasi lain. Memanfaatkan keberadaan pemain industri keuangan konvensional seperti koperasi dan BPR, atau membuat skema urun dana seperti Amartha bisa menjadi cara untuk mengendalikan potensi fraud dan kredit macet.

Laporan East Ventures bertajuk EV-DCI 2020 menjadi rujukan terbaik (untuk saat ini) dalam memetakan potensi ekonomi digital dari masing-masing kota atau provinsi yang bisa dikembangkan lebih dalam. Di Sulawesi Utara, misalnya, masuk urutan ke-15 dengan skor 30,2 (dari skala 0-100).

Kekuatan di provinsi ini adalah pilar penggunaan ICT (54,9; urutan ke-10 dari semua provinsi). Pilar tersebut didukung oleh indikator rasio penduduk yang mengakses internet dengan smartphone (93,1; ke-8). Selain itu, infrastruktur juga sudah cukup baik (46,9; ke-17).

Akan tetapi, dari sisi SDM masih tertinggal dan ada di posisi ke-24 karena jumlah program studi digital yang sangat minim. Alhasil mahasiswa berkemampuan digital menjadi sangat terbatas. Input dan penunjang yang masih kurang membuat kewirausahaan digital di provinsi ini sulit berkembang (5,8; ke-24).

Kondisi ini selaras dengan jumlah Usaha Menengah Besar (UMB) dan Usaha Mikro Kecil (UMK) yang menggunakan internet (3,3) dan rasio antara keduanya (21,7).

Bagi sektor fintech lending, menciptakan produk pinjaman dimulai dari bersifat konsumtif bisa menjadi panduan awal sebelum diperkenalkan lebih dalam dengan produk pinjaman lainnya yang diperuntukkan buat modal usaha di sektor usaha yang paling dominan.

Di sana, kontribusi PDRB (produk domestik regional bruto) terbesar dipegang oleh ICT (38,3), sektor jasa keuangan (29,6), dan subsektor pergudangan, penunjang angkutan, pos & kurir (16,4).

EV-DCI mencatat rasio desa yang memiliki ATM sangat kecil (9,2). Angka ini selaras dengan ketersediaan kantor cabang bank (9,7). Dengan kata lain, provinsi ini punya peluang yang besar untuk dirambah pemain fintech, khususnya lending.

Advance.AI Fokus Hadirkan Teknologi “Credit Scoring” di Indonesia

Advance.AI, sebuah startup fintech yang berbasis di Singapura, meluaskan pasarnya dengan membentuk tim di Indonesia. Didirikan oleh CEO Jefferson Chen, saat ini perusahaan telah memiliki 40 orang anggota tim di Indonesia. Fokus pengembangan produknya adalah platform berbasis teknologi artificial intelligence dan big data untuk membantu credit scoring dan deteksi anti penipuan. Advance.AI juga telah hadir di Tiongkok, Vietnam, India, dan Filipina.

Kepada DailySocial, Deputy Chief Operating Officer Advance.AI Indonesia Yenny Aitan mengungkapkan, saat ini perusahaan telah terdaftar di OJK melalui perusahaan afiliasinya, PT Bangun Percaya Sosial (BPS).

“Bisnis kami telah berkembang pesat di kawasan ini dalam beberapa tahun terakhir dengan satu brand, yaitu Advance.AI. [..] Solusi di dalamnya termasuk deteksi anti penipuan, pengenalan wajah, pemeriksaan identitas, dan penilaian risiko kredit dan profil.”

Advance.AI memiliki produk flagship bernama Guardian. Fungsinya berupa produk anti-fraud, credit scoring, dan eKYC yang bisa dimanfaatkan industri perbankan, fintech, ritel, dan e-commerce.

Selain pengembangan produk credit scoring, grup ini juga memiliki layanan peminjaman (lending) yang mengimplementasi teknologinya, termasuk Atome dan Kredit Pintar.

Kredit Pintar fokus mengembangkan produk peminjaman secara tunai, sedangkan Atome, yang baru saja mengangkat CEO baru di Indonesia, berfungsi seperti layanan paylater berbasis online. Keduanya menyasar kategori konsumen underbanked dan underserved. Nantinya keduanya direorganisasi di bawah payung baru, yang rencananya akan diumumkan akhir tahun ini.

Rencana Advance.AI di Indonesia

Advance.AI mencatat, saat ini masih terlalu banyak “kredit tidak terlihat”, yaitu mereka yang tidak memiliki skor kredit yang berdampak tidak memiliki akses ke kredit atau pinjaman. Hal ini bisa menyulitkan mereka untuk mengambil langkah pertama (untuk meminjam dana) atau sekadar memiliki skor kredit.

“Di Advance.AI, kami bermitra dengan bank, [layanan] fintech, ritel, dan perusahaan e-commerce di sekitar tiga bidang utama: e-KYC (pengenalan wajah dan dokumentasi OCR), layanan data (multi platform, nomor telepon, dan cek daftar hitam), dan pemodelan penilaian kredit alternatif,” kata Yenny.

Teknologi yang dimiliki Advance.AI tersebut telah diimplementasikan oleh 400 klien, di berbagai negara, per awal tahun ini. Termasuk di antaranya adalah Bank Mega dan Danamart di Indonesia. Teknologi ini disebut mampu membantu menyederhanakan proses verifikasi pelanggan yang kebanyakan menghabiskan waktu dan tenaga.

Yenny mengklaim, “Di Indonesia, kami memiliki akurasi 99% untuk solusi e-KYC kami, seperti pengenalan wajah dan OCR [pengenalan karakter optik]. Ini sebagian besar disebabkan oleh teknologi AI milik kami yang dilatih oleh sumber data lokal dan kemitraan.”

“Kami juga mempercepat proses penilaian dan analisis kredit mereka, baik dari segi waktu dan akurasi. Ke depannya kami ingin bermitra dengan lebih banyak bank [dan] perusahaan jasa keuangan di Indonesia dengan tujuan akhir untuk membantu lebih banyak orang Indonesia yang masuk dalam kategori underbanked dan undeserved bisa mendapatkan akses layanan keuangan,” tutupnya.

Komitmen Danamas “Naik Kelaskan” Pengusaha Lewat Riwayat Kredit Produktif

Sektor usaha informal punya andil yang begitu tinggi terhadap perekonomian negara. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM RI, pangsa pasar UMKM sekitar 99,99% setara 62,9 juta unit dari total pelaku usaha di Indonesia pada 2017. Tenaga kerja yang diserap juga terbesar, mencapai 97% secara nasional.

Kebanyakan dari mereka tidak masuk kriteria yang layak menerima kredit karena tidak ada pencatatan yang rapi terkait usahanya. Ketika tidak ada, maka harapan untuk masuk kategori bankable dan mendapat fasilitas perbankan hanya di ujung mata.

Danamas, startup fintech p2p lending milik Grup Sinar Mas, mengungkapkan komitmennya untuk “naik kelaskan” UMKM yang unbankable menjadi bankable. Mereka punya pemahaman sendiri tentang hal ini. Menurutnya hanya ada dua segmen, yakni served dan unserved bank. Bukan, unbanked, unbankable, dan bankable.

“Kita pakai istilah itu karena sebenarnya semua orang bisa ke bank, tapi ada orang yang punya rekening tapi tidak bisa dilayani bank. Supaya orang tersebut dari tidak terlayani, jadi terlayani bank, kita sebutnya unserved dan served bank,” ujar Presiden Direktur Danamas Dani Lihardja kepada DailySocial, Senin (24/2).

Danamas merupakan startup fintech p2p pertama yang mengantongi izin dari OJK sejak 2017. Konsep yang mereka pakai berbeda dengan yang biasa dipakai fintech lending lainnya. Mereka tidak mau memberikan peminjam dalam bentuk uang tunai, melainkan lewat perantara. Sumber dana pinjaman berasal dari para pemodal.

Dani menjelaskan sejak awal Danamas memakai konsep ini sebagai langkah mitigasi risiko terjadinya kredit macet. Menurut pandangannya, penyebab utama kredit macet adalah penggunaan dana yang tidak sesuai dengan permohonan awal, meski bentuk pinjaman yang mereka ambil adalah kredit modal usaha.

“Dari awal konsep kita bukan pinjaman online, setelah melalui analisis kita ingin pinjaman tidak boleh konsumtif. Kita ada visi misi ingin memberdayakan usaha produktif yang sekarang unserved.”

Dia melanjutkan, “Harapannya begitu mereka masuk ke served bank, bunga kredit yang dia dapat dari bank 16% setahun, paling bagus 9%. Itu lebih kecil, daripada saat pertama kali pinjam di Danamas yang bunganya sampai 29%. Setelah itu, kalau bisnisnya terus meningkat, mereka bisa jadi pemodal, sehingga siklusnya berputar.”

Konsep bisnis dan kinerja Danamas

Mengingat konsepnya yang berbeda, Danamas membentuk satu ekosistem sendiri yang terdiri dari tiga unsur, yakni peminjam, pemodal, dan pihak ketiga yang diwakili oleh distributor, pembina, pengelola, atau koperasi. Pemodal tidak bisa memberikan dananya langsung ke peminjam, melainkan harus melalui pihak ketiga untuk mengontrolnya.

“Syaratnya, mau nggak si peminjam tidak menerima kredit dalam bentuk uang. Jika Anda punya warung, kita akan tanya siapa distributor terbesarnya, kita akan kirimkan uangnya ke distributor. Nasabah tinggal kirim list barang yang akan dibeli.”

Sejalan dengan upaya menekan risiko, perusahaan menggunakan konsep kantor cabang untuk memantau seluruh pinjaman yang terjadi di lokasi tersebut. Terhitung kini ada 22 kantor yang tersebar di berbagai kota besar, seperti Medan, Pekanbaru, Jambi, Cirebon, Bandung, Surabaya, Pontianak, Makassar, Manado, dan Sorong.

Setiap pembukaan kantor baru, perusahaan akan membuat ekosistem di tiap segmen yang potensial dengan membuat daftar calon peminjam yang layak dan sesuai dengan kriteria di Danamas dan mencari pihak ketiga untuk memantau seluruh portfolio pinjaman. Ketika segmen potensial di lokasi tersebut sudah digarap, perusahaan akan geser mencari potensi berikutnya.

Dengan konsep ini, sebenarnya semua segmen usaha bisa dibiayai asal ada ekosistemnya tersebut. Akan tetapi, untuk saat ini segmen yang telah mendapat fasilitas pinjaman dari Danamas, diantaranya pedagang pulsa, warung kelontong, petani jagung, pengusaha telur bebek dan ayam, dan pengumpul kertas.

Dari seluruh usaha tersebut, penyaluran pinjaman terbesar adalah pedagang pulsa dengan porsi sekitar 50%. Berikutnya, pemilik warung kelontong 25%, sisanya terbagi menjadi petani jagung, peternak telur, pengumpul kertas dan Traveloka PayLater.

Menurut Dani, sekitar 10% dari pedagang pulsa yang telah mengambil pinjaman dari Danamas sudah mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Mereka telah lolos dan menerima kredit dari bank. Kebanyakan dari mereka mengambil kredit untuk membeli tokonya dari pemilik dengan mencicil dari bank.

“Prioritas bank bisa pilih Bank Sinarmas, mereka pasti langsung terima. Tinggal tunjukkan histori kreditnya di Danamas ke petugas, pasti akan lolos. Bank lain juga bisa, ada BPR, BRI, atau BNI, hanya saja biasanya mereka butuh tambahan assesment karena punya kriteria sendiri.”

“Biasanya bank begitu lihat histori kreditnya dan bayarnya benar, mereka cenderung akan langsung kasih. Beda dengan kondisi sebelumnya, pas mau ambil KUR, bank langsung tolak karena tidak ada sepotong surat apapun,” sambungnya.

Adapun secara akumulatif hingga hari ini (27/2), Danamas telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp1,9 triliun. Ada lebih dari satu juta pengajuan pinjaman yang disetujui dan diajukan oleh 350.540 peminjam aktif. Sementara, jumlah pemodal ritel terdaftar ada 142.941 orang dan lima pemodal dari institusi.

Dani juga menyebut perusahaan memberikan pinjaman konsumtif, tapi terbatas untuk peminjam yang masuk ke dalam kriteria.

Kontribusi dari Traveloka PayLater tergerus

Danamas merupakan mitra pertama yang digaet Traveloka saat merilis produk PayLater pada medio 2018. Dani menyebut pada saat itu, total penyaluran Danamas tembus di angka Rp1,4 triliun secara kumulatif. Kontribusi terbesarnya datang dari Traveloka sebesar Rp1 triliun dan sisanya adalah penyaluran komersil ke pedagang pulsa.

Saat ini kontribusi PayLater semakin tergerus di Danamas, bahkan ia menyebut sudah semakin minim, meski tidak menyebutkan angka persisnya. Kondisi ini terjadi karena banyak faktor.

Pertama, target pengguna Traveloka PayLater kebanyakan adalah sektor pekerja formal yang tidak sejalan dengan visi misi yang diusung perusahaan yang ingin menyasar segmen informal dan produktif. Alhasil Danamas tidak bisa memperluas nasabah untuk kebutuhan pinjaman yang lebih bersifat produktif.

“Pemakai Traveloka PayLater adalah nasabah yang sudah educated dan di sini tidak jalan unsur informalnya karena kebanyakan mereka adalah white collar. Jadinya ini beda dengan visi misi kita yang mau menaikkan yang unserved jadi served.”

Kedua, mitra sumber dana untuk Traveloka PayLater terus bertambah. Selain Danamas, sekarang ada Caturnusa, BRI, dan BNI. Kendati demikian, Dani tidak akan menyetop kesepakatan kerja samanya dengan Traveloka. “Dari awal memang kita tidak eksklusif. Kita bersedia karena ekosistemnya sama dengan kita. Peminjam tidak terima uang, kalau ekosistemnya beda, ya kita tidak mau.”

Rencana berikutnya

Danamas saat ini sedang meracik produk pembiayaan untuk penjual di platform e-commerce dan petani kelapa sawit. Dana perusahaan perlahan diarahkan untuk memberikan pembiayaan yang sejalan dengan bisnis utama dari holding, Di antaranya kelapa sawit dan percetakan kertas.

“Dua segmen baru ini sedang kita racik skemanya akan seperti apa, tapi intinya di sini sudah terbentuk ekosistemnya sehingga sangat memungkinkan untuk kita garap.”

Dari sisi kinerja, perusahaan menargetkan angka penyaluran dapat menembus angka Rp3 triliun secara akumulasi. Kenaikan ini bakal dipacu dengan menambah dua lokasi kantor cabang lainnya di Solo dan Pekalongan.

“Per tahun rata-rata kita menyalurkan Rp600 miliar, sekarang kita mau double. Driver-nya dari penambahan cabang, dulu ada tujuh, tahun lalu ada 15, sekarang sudah 22 kantor. Dari tiap cabang, kami targetkan bisa menciptakan ekosistem masing-masingnya.”

Secara struktur perusahaan, Dani menyebut Sinar Mas Multi Artha (SMMA), unit di bidang finansial di bawah Grup Sinar Mas, masih menjadi pemilik saham mayoritas di Danamas. Berikutnya, ada Itochu Corp yang masuk pada 2017. Total modal yang dikantongi perusahaan dari dua investor ini disebutkan sekitar Rp720 miliar.

Dia juga menegaskan posisi perusahaan sedang tidak dalam mencari pendanaan eksternal.

“Karena didukung ekosistem dari SMMA, semua sarana dan prasarana sudah disiapkan. Jadi sudah dari awal kita cetak profit. Kita hanya butuh cari ekosistem yang bisa kita giring ke bank atau multifinance. Makanya kita nggak cari pemodal karena dirasa tidak ada kebutuhan,” pungkasnya.

Rencanakan IPO Tahun 2023, UangTeman Perkuat Strategi Bisnis Berkelanjutan

Tahun 2020 banyak rencana yang akan dilancarkan oleh UangTeman. Salah satunya ingin fokus untuk menjalankan bisnis berkelanjutan dan mencapai profit yang lebih baik lagi.

Kepada DailySocial, Founder & CEO UangTeman Aidil Zulkifli mengungkapkan, tahun ini perusahaan juga akan fokus menawarkan produk pinjaman dengan bunga rendah lebih banyak lagi kepada pelaku UKM yang masuk dalam segmentasi bisnis mikro.

“Mikro di sini yang kami fokuskan adalah mereka kalangan B dan C yang memiliki bisnis warung makan hingga bisnis kecil lainnya yang membutuhkan tambahan modal. Bukan hanya menurunkan bunga, UangTeman juga ingin merangkul lebih banyak mereka.”

Sebelumnya UangTeman memang kerap menawarkan pinjaman dengan bunga yang cukup tinggi. Tahun ini perusahaan memutuskan untuk menurunkan bunga dan fokus kepada pemilik bisnis mikro sebagai target pengguna.

Dalam survei yang dilakukan secara internal oleh perusahaan terungkap, hampir 31% pinjaman yang masuk adalah pinjaman produktif untuk keperluan usaha. Menurut Aidil hasil survei tersebut membuktikan bahwa kalangan yang masuk dalam kategori underbanked atau mereka yang tidak memiliki akun rekening hingga kartu kredit, paling ideal untuk diberikan pinjaman.

“Kita juga melihat bisnis mikro yang saat ini mulai ramai disasar oleh layanan finansial hingga dompet digital, paling ampuh untuk memberikan profit kepada perusahaan. Dibandingkan dengan produk pinjaman yang bersifat consumerism seperti KTA atau PayLater,” kata Aidil.

Untuk memperluas ekosistem, perusahaan juga berencana untuk menambah kemitraan dengan institusi finansial, startup hingga perbankan dalam waktu dekat. Harapannya melalui kolaborasi tersebut bisa menambah channel memanfaatkan produk unggulan dari masing-masing mitra. Salah satu produk yang akan diluncurkan dalam waktu dekat adalah, pinjaman kepada karyawan perusahaan besar seperti pabrik yang nantinya akan difasilitasi oleh mitra perbankan.

Peluang pasar lending seperti yang disasar UangTeman memang sangat besar. Dengan demografi unbankable usia dewasa yang mencapai 92 juta jiwa, ditambah dengan 64 juta UKM yang tersebar di berbagai wilayah, produk fintech berbasis pinjaman miliki masa depan yang cukup cerah.

Tak ayal per tahun 2019 sudah ada 144 fintech lending serupa UangTeman yang terdaftar di OJK. Hingga tahun 2019 jumlah pinjaman yang didistribusikan juga telah capai 60,4 triliun Rupiah, memfasilitasi sekitar 14,3 juta pengguna.

Dengan banyaknya pemain di Indonesia saat ini, baik yang menyasar konsumer maupun UKM, penting bagi pemain seperti UangTeman untuk hadirkan diferensiasi produk — di luar kualitas layanan yang harus selalu ditingkatkan. Beberapa pemain di sektor serupa bahkan sudah klaim bervaluasi centaur, alias telah membukukan modal lebih dari US$100 juta, di antaranya KoinWorks dan Investree.

Rencana IPO tahun 2023

Jajaran manajemen dan tim UangTeman
Jajaran manajemen dan tim UangTeman

Saat ini UangTeman telah memiliki sekitar 82 ribu pengguna aktif dan 1 juta unduhan aplikasi. Perusahaan juga telah menyediakan layanan di 14 kota di Indonesia.

Disinggung apakah UangTeman akan melakukan ekspansi ke kota-kota besar lainnya di Indonesia, Aidil menyebutkan belum memiliki rencana dalam waktu dekat. Untuk saat ini fokus perusahaan adalah bagaimana bisa memperoleh profit di 14 kota yang ada.

“Sesuai dengan komitmen kita yaitu untuk bisa IPO tahun 2023 mendatang, diharapkan perusahaan bisa mengumpulkan profit menyesuaikan dengan persyaratan yang ditentukan jika startup berencana melakukan IPO,” kata Aidil.

Pertengahan bulan Februari perusahaan juga telah mengumumkan pendanaan seri B2. Tidak disebutkan berapa nilai investasi yang diterima, namun pendanaan tahapan seri B2 ini rencananya akan digunakan perusahaan untuk meningkatkan teknologi dan mempercepat proses penerimaan aplikasi pinjaman dari pengguna.

Saat ini perusahaan mengklaim, satu orang yang ditempatkan mampu mengumpulkan 100 aplikasi. Dengan bantuan teknologi diharapkan bisa mempercepat proses menjadi 200 aplikasi dalam satu hari. UangTeman juga berencana untuk menambah tim engineer.

Investor yang terlibat dalam pendanaan tahapan seri B2 ini di antaranya adalah ACA Investments dan Pegasus Tech Ventures. Sebelumnya UangTeman telah menutup putaran pertama pendanaan seri B1 tahun 2019 lalu. Investor di tahap ini meliputi KDDI Open Innovation Fund dan Global Brain Corporation. Secara keseluruhan UangTeman telah mengumpulkan pendanaan seri B senilai US$10 juta.

“Pendanaan ini juga menandakan kepercayaan investor kepada kami. Untuk itu dengan mengembangkan teknologi diharapkan bisa mempercepat pertumbuhan bisnis, mengumpulkan profit dan menjalankan bisnis yang berkelanjutan. Sekaligus tentunya bertanggung jawab penuh kepada sharehodler hingga investor,” kata Aidil.

Application Information Will Show Up Here

Keyakinan Induk Kredit Pintar Tawarkan Ragam Produk Keuangan Digital di Indonesia

Atome Financials, startup lending dari Singapura, resmi masuk ke Indonesia. Sebagai perusahaan holding, pihaknya akan mengakselerasi ragam produk keuangan untuk menyasar konsumen underbanked dan underserved. Indonesia menjadi ekspansi berikutnya Atome setelah membuka kantor di Tiongkok, India, Filipina dan Vietnam.

Sebelum hadir dengan brand sendiri, sebenarnya Atome sudah menginjakkan kakinya di Indonesia sejak 2017 melalui Kredit Pintar, startup lending yang khusus pada pinjaman cepat.

Kepada DailySocial, CEO Atome Indonesia Wawan Salum menjelaskan, sebagai perusahaan induk ada keleluasaan untuk mengakselerasi ragam produk, tidak hanya bertumpu pada satu produk saja. Saat ini perusahaan tengah menggodok brand baru yang melayani kartu kredit digital atau paylater bernama APayLater.

“Belum ada yang bisa kita share. Sekarang kami masih melihat di pasar seperti apa agar dapat gambaran bagaimana posisi brand kita. Konsep APayLater sudah dirilis di Singapura, mau dilihat bagian mana yang perlu diubah,” terangnya.

Wawan juga menegaskan kehadiran Atome tidak mendorong peleburan bisnis dengan Kredit Pintar. APayLater dan Kredit Pintar akan fokus pada bisnis yang berbeda, sehingga tidak saling berkompetisi satu sama lain. CEO Kredit Pintar Wisely Wijaya masih menjabat di posisi yang sama.

“Kredit Pintar fokus ke penyaluran pinjaman untuk underbanked dan underserved dengan AI dan credit scoring, sementara APayLater produknya untuk semua orang.”

Kredit Pintar diklaim memiliki 10 juta unduhan dan dinobatkan sebagai salah satu aplikasi fintech dengan rating tinggi di Google Play. Total akumulasi pinjaman yang telah disalurkan sejak 2017 sebesar Rp10 triliun untuk 2 juta peminjam.

Peluang pasar lending seperti yang disasar memang sangat besar. Dengan demografi unbankable usia dewasa yang mencapai 92 juta jiwa, produk fintech masa depan yang cukup cerah. Tak ayal per tahun 2019 sudah ada 144 fintech lending serupa Kredit Pintar yang terdaftar di OJK. Hingga tahun 2019 jumlah pinjaman yang didistribusikan juga telah capai 60,4 triliun Rupiah, fasilitasi sekitar 14,3 juta pengguna.

Sementara untuk paylater, layanan ini memang tengah dalam pertumbuhan di Indonesia. Beberapa bisnis saling bekerja sama, mengintegrasikan platform pinjaman dengan layanan consumer. Berikut beberapa produk yang beredar di Indonesia:

Produk APayLater

Perusahaan lebih dahulu meluncurkan aplikasi APayLater di Singapura. Konsepnya tidak jauh dengan layanan paylater lainnya di Indonesia. Limit kredit yang diterima dapat dipakai untuk berbelanja di merchant dengan metode pemindai QR.

Konsumen diharuskan membayar pertama sepertiga dari harga total dengan kartu debit atau kredit yang sudah disinkronkan. Pembayaran berikutnya akan ditagih setiap 30 hari kemudian dan tenor maksimal adalah tiga bulan. Secara otomatis sistem akan deduct saldo dari sumber dana setiap tagihan muncul.

Apabila ada kredit macet, APayLater akan membekukan akun dan ditambah dengan biaya admin sebesar SG$20. Jika dalam tujuh hari tidak dibayar, ada tambahan biaya SG$10. Di sana, pemerintah menetapkan batas maksimum biaya admin yang dikenakan adalah SG$60 per transaksi.

Wawan menyebut pilot project dari APayLater akan hadir di Indonesia setidaknya dalam kuartal kedua tahun ini, sebelum merilis versi penuhnya. Menurutnya iterasi sangat dibutuhkan startup untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.

“Banyak hal yang mau kita lihat, tapi kita ingin selalu memastikan consumer journey-nya harus bagus. Makanya kami pilih pilot dulu selama beberapa waktu, sambil terus monitor dan diskusi internal.”

Dia melihat meski di industri berbagai pemain sudah merilis produk paylater-nya, masih ada ceruk bisnis yang besar di segmen ini. Asalkan perusahaan paham dengan kondisi pasar, letak peluang ada di mana, dan bagaimana memosisikan produknya pasti akan bisa bersaing dengan pasar.

“Saat Kredit Pintar mulai di 2017 dan perkembangannya hingga sekarang sangat pesat, meski pada saat itu pemainnya tidak hanya dia saja di industri. Jadi ini bukan masalah pemain lama dan baru, asalkan kita paham dengan industri dan proses pengembangannya, pasti bisa bersaing.”

Rencana Atome di bawah kepemimpinan Wawan Salum

Di bawah kepemimpinan Wawan, ia akan fokus pada pengembangan klien dan partner untuk Atome dari bank, fintech, e-commerce, ride sharing, termasuk akuisisi taleta, ekspansi pasar dan pengembangan produk.

Wawan Salum menambah jajaran bankir senior yang terjun ke startup. Sebelumnya dia adalah bankir di DBS Indonesia sebagai Head of Consumer Banking Group dan enam tahun di HSBC dengan berbagai jabatan. Perjalanannya sebagai bankir dimulai dari Citibank selama tujuh tahun dan posisi lainnya di General Motors dan ABN Amro Bank N.V.

Ia terjun ke startup karena menurut pandangannya perkembangan digital, khususnya fintech pada beberapa tahun ke depan, akan masuk ke posisi mature, menyusul perbankan. Kondisi tersebut ditandai dengan pertumbuhan tahunan yang tidak lagi eksponensial dan kue bisnis yang sudah ramai-ramai digarap yang lambat laun ukurannya mengecil.

“Saya tidak mau ketinggalan kereta. Bank sudah mature karena growth opportunity-nya sudah enggak bisa 100% lagi. Beda dengan fintech dengan kondisi sekarang [growth-nya eksponensial], tapi prediksi saya growth-nya tidak akan sekencang tahun-tahun sebelumnya karena segera masuk posisi mature.”

Dengan pengalamannya yang kuat di finansial, ia akan mengombinasikan framework dan struktur yang kuat di bank tanpa menghilangkan unsur agility yang melekat di tubuh startup. “Ketika semua di-combine, ini akan membuat startup jadi sangat powerful. Agility itu harus tetap dijaga karena pasar dan teknologi cepat berubah,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Memahami Metrik “Customer Lifetime Value” dalam Startup

Membangun startup tidak hanya mengandalkan metrik traction untuk validasi bisnis. Pada perjalanannya, founder juga perlu memikirkan metrik lainnya untuk memastikan kelangsungan bisnis.

Salah satu metrik utama adalah Customer Lifetime Value (CLV) atau nilai umur pelanggan, tentang bagaimana pelanggan dapat memberikan pengaruh besar terhadap bisnis startup.

Metrik ini acapkali dilupakan. Padahal CLV dapat membantu startup untuk mengukur pendapatan dan investasi yang dihabiskan untuk memperoleh pelanggan.

Apa saja hal-hal penting lainnya yang bersinggungan dengan CLV dan bagaimana cara menghitung metrik ini? Selengkapnya simak paparan Co-founder dan CEO Investree Adrian A Gunadi pada sesi #SelasaStartup berikut ini:

Strategi navigasi P2P lending

Adrian menekankan pentingnya memetakan strategi bernavigasi. Pasalnya, industri fintech sangat teregulasi dan diawasi ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketika bicara soal ‘bakar uang’ dan regulasi, kedua hal ini tentu sangat bertolak belakang.

Yang perlu ditekankan adalah bagaimana pemain Peer-to-Peer (P2P) lending dapat bernavigasi dan tetap menyeimbangkan posisinya pada industri yang memiliki regulasi ketat.

Sejalan dengan perkembangan bisnis, startup harus mempertahankan keseimbangan saat melakukan ‘bakar uang’ dan menjaga pendapatan tetap naik.

“Karakter dan tantangan pada startup adalah mereka harus tumbuh dan scale dengan cepat. Makanya strategi navigasi ini penting karena kedua poin tersebut sering dikaitkan dengan ‘bakar uang’ dan regulasi,” sebutnya.

Eksplorasi pasar B2B

Bagi sejumlah pemain P2P lending, pasar Business-to-Business (B2B) dianggap lebih menarik dibandingkan Business-to-Consumer (B2C). Tentu saja, mencari traction pada segmen B2C lebih mudah. Namun, bukan itu.

Pentingnya menentukan target pasar akan sangat berkaitan dengan bagaimana sebuah startup melakukan bakar uang. Bagi Adrian, B2B menjadi lebih menarik karena biaya akuisisi pelanggan jauh lebih rendah dibandingkan B2C.

Berdasarkan riset Roland Berger di 2016, sebagaimana dikutip Adrian, alasan mayoritas pemain fintech di Eropa memilih segmen B2B adalah dapat menghasilkan pendapatan lebih maksimal.

“Sejak awal Investree tidak bermain di ranah B2C karena impact B2B terhadap pendapatan akan lebih tinggi. Ini patut menjadi pertimbangan bagi startup. Lagipula, semakin startup berkembang, investor tidak hanya akan melihat growth, tetapi juga profitabilitas,” paparnya.

Di sisi lain, pasar B2B juga dapat dieksplorasi lebih lanjut, seperti e-procurement. Sebagai startup yang juga masu ke ranah ini, Adrian menilai e-procurement berpotensi besar bagi P2P lending, terutama dapat mendorong lebih banyak borrower.

Ia mencontohkan bagaimana Investree mengakuisisi platform e-procurement Mbiz dan melakukan pendekatan ke Telkom dan Unilever. Yang diincar bukan mereka sebagai korporasi besar, tetapi vendor atau pihak ketiga yang menangani iklan dan event perusahaan ini.

Vendor-vendor ini kebanyakan berada di skala UKM yang membutuhkan cashflow yang jelas. Dengan e-procurement, Investree dapat membantu vendor Unilever maupun Telkom supaya dibayar lebih cepat.

“Kita tahu rata-rata pembayaran procurement vendor itu 90-120 hari. Bahkan ada yang 150 hari. Dengan melebarkan solusi ke ranah ini, ini bisa memudahkan pembayaran vendor,” jelas Adrian.

Menghitung CLV dan timing tepat menyetop ‘bakar uang’

Disebutkan sebelumnya bahwa penentuan target pasar akan berkaitan erat dengan bagaimana startup menentukan strategi bakar uang.

Jika sebuah startup mulai bicara tentang Customer Lifetime Value, pertanyaannya adalah sampai kapan harus melakukan strategi ‘bakar uang’ demi mengakuisisi pelanggan?

Sebagai pelaku P2P lending, Adrian memiliki perhitungan CLV sendiri, yakni pendapatan yang diperoleh borrower selama menjadi borrower di Investree. Jika hanya meminjam dana satu kali, artinya CLV juga hanya satu kali.

Kemudian, biaya untuk akuisisi pelanggan. Investree memperhitungkan beberapa komponen biaya, mulai dari biaya promosi, biaya tenaga kerja yang dipakai untuk memperoleh pengguna, hingga biaya processing. 

“Bobot setiap komponen berbeda. Akan tetapi, cost harus dihitung sampai borrower memberikan pendapatan ke Investree. Begitu ada opex dan gaji yang harus dibayarkan, startup sudah harus menghitung [CLV] karena growth tanpa pendapatan tidak sustain,” ucapnya.

Umumnya setelah tahun pertama, startup perlu menghitung metrik untuk memastikan bahwa penggunaan investasi untuk ‘bakar uang’ tidak lebih tinggi dari pendapatan yang diterima.

“Perhitungannya adalah CLV dibagi [biaya] akuisisi pelanggan. Di industri B2B, yang dianggap bagus anything above dua kali. Kalau Investree, average empat kali karena kita ada ekosistem yang mendukung sehingga faktor pembilangnya jauh lebih besar,” papar Adrian.

Pentingnya melakukan kolaborasi

Pada dasarnya, eksklusivitas bukan lagi yang utama dalam berbisnis. Adrian juga menekankan pentingnya berkolaborasi dengan ekosistem inti dan pendukung di industri P2P lending untuk menciptakan nilai lebih.

“Daripada mengajukan lisensi [bisnis tertentu], misalnya, lebih baik kita kerja sama dan menciptakan nilai masing-masing bagi bisnis,” katanya.

Adrian kembali mencontohkan bagaimana Investree menghadapi tantangan dalam meningkatkan konversi pada retail lender-nya. Menurutnya, retail lender cenderung menarik dana investasinya lebih cepat, apalagi untuk kebutuhan seasonal seperti hari raya dan liburan.

Retail lender itu tidak sticky ya. Kalau kita ingin masuk ke Telkom [untuk e-procurement], Telkom sebagai anchor partner tentu butuh kepastian bahwa Investree bisa mendukung,” ujarnya.

Hal ini membuat Investree tidak dapat mengukur sustainability fund dan harus mengeluarkan biaya lagi. Untuk mengatasi hal ini, Investree akhirnya melakukan pendekatan ke institutional lender untuk menyeimbangkan segmen pemberi pinjaman dengan retail lender.

Moka Partners with P2P Lending Platform to Distribute Funding for SMEs

Moka’s innovation as a SaaS (Software as a Services) provider for cashiers is not limited to the features in the application. They also present services to help SMEs develop businesses. One of those is Moka Capital, a service that connects SMEs with various types of capital institutions under OJK supervision.

Moka Capital practically began operation since mid-2018. Currently, they have worked with various p2p lending platforms such as Koinworks, Taralite, and Modalku.

The Moka team is said to have distributed capital loans worth more than Rp40 billion to more than 300 business people. They offer various numbers of loans from IDR5 million to IDR2 billion with tenors from 3 to 18 months.

“Systematically, we provide access for Moka merchants to connect with the integrated fintech partners. Through the back-office, merchants can choose partners they see fit to each the requirements that have been attached,” Moka’s VP Brand & Marketing Bayu Ramadhan said.

Moka also claims the submission process through the Moka Capital system is easier than conventional loan products. In addition, funding is offered without collateral.

“Merchants can submit applications without attaching financial reports and transaction lists because all sales data have been integrated with the Moka system for the purposes of credit analysis for partners,” Bayu added.

Moka’s journey to help merchants is not without obstacles and challenges. One of which is to give an understanding that easy access to investors can help businesses to develop.

“Moka will expand collaboration with various financial institutions and the financial services industry in Indonesia, to provide relevant loan products, therefore, more business players can benefit from business development through capital funds obtained through Moka Capital. Currently, Moka is conducting a trial collaboration with various other institutions to provide funding in the form of equity crowdfunding and credit line facilities,” Bayu said.

Moka currently runs several digital ecosystems besides POS, including Moka Pay, Moka Capital, Moka Fresh, and Moka Connect. Moka Pay is a payment aggregator application, while Moka Fresh is a service that connects food suppliers for culinary merchants.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Gandeng Platform P2P Lending, Moka Capital Salurkan Permodalan untuk Mitra UKM

Inovasi Moka selaku penyedia SaaS (Software as a Services) untuk kasir tidak berhenti pada fitur yang ada dalam aplikasi. Mereka juga menghadirkan layanan yang mampu membantu UKM mengembangkan bisnis. Salah satunya dengan Moka Capital, yakni layanan yang menghubungkan UKM dengan berbagai macam lembaga permodalan yang berada di bawah pengawasan OJK.

Moka Capital sejatinya mulai dijalankan sejak pertengahan tahun 2018. Hingga saat ini mereka telah bekerja sama dengan berbagai macam platform p2p lending seperti Koinworks, Taralite dan Modalku.

Klaim dari pihak Moka, mereka telah menyalurkan pinjaman modal senilai lebih dari Rp40 miliar ke lebih dari 300 pelaku usaha. Pinjaman yang ditawarkan bekisar antara Rp5 juta hingga Rp2 miliar dengan pilihan tenor mulai dari 3 hingga 18 bulan.

“Secara sistem, kami menyediakan akses bagi merchant Moka untuk langsung terhubung dengan partner fintech kami telah terintegrasi. Melalui back-office, merchant dapat memilih partner yang sesuai dengan masing-masing persyaratan yang telah dilampirkan,” VP Brand & Marketing Moka Bayu Ramadhan.

Pihak Moka juga mengklaim bahwa proses pengajuan melalui sistem Moka Capital lebih mudah dibanding produk pinjaman konvensional. Selain itu pendanaan yang ditawarkan tanpa agunan.

Merchant dapat mengajukan aplikasi tanpa melampirkan laporan keuangan serta daftar transaksi karena semua data penjualan telah terintegrasi dengan sistem Moka untuk keperluan analisis kredit bagi partner,” imbuh Bayu.

Jalan Moka untuk membantu merchant bukan tanpa halangan dan tantangan. Salah satunya adalah memberikan pengertian bahwa mudahnya akses ke pemodal bisa membantu bisnis untuk berkembang.

“Moka akan memperluas kolaborasi dengan berbagai lembaga finansial dan industri jasa keuangan di Indonesia, untuk memberikan produk pinjaman yang relevan agar lebih banyak lagi pelaku usaha dapat merasakan manfaat pengembangan bisnis melalui modal usaha yang didapat melalui Moka Capital. Saat ini, Moka sedang melakukan uji coba kerja sama dengan berbagai lembaga lainnya untuk memberikan pendanaan dalam bentuk ​equity crowdfunding dan ​credit line facility,” imbuh Bayu.

Moka saat ini memiliki beberapa ekosistem digital selain POS, mereka adalah Moka Pay, Moka Capital, Moka Fresh hingga Moka Connect. Moka Pay merupakan aplikasi agregator pembayaran sedangkan Moka Fresh merupakan layanan yang menghubungkan penyuplai bahan makanan untuk merchant kuliner.

Application Information Will Show Up Here

The Unspoken Truth Behind OJK’s Public Appeal on Illegal Fintech Lending

Fintech, peer to peer lending (FP2PL) in particular, is still an on-demand sector in Indonesia. However, the industry exists with the presence of illegal fintech lending. Although law enforcement and authorities have been hunting it down, these illegal FP2PL keep surviving and multiplying.

The act against illegal practices took place on December 21th, 2019. An operation by Polres Metro Jakarta Utara uncover the fraudulent practice of online lending (fintech lending) office under the name PT Vega Data and PT Barracuda Fintech in Penjaringan, North Jakarta, specifically pinned at Mal Pluit Village. The police named 5 suspects of the total of 76 employees at that time.

The impact of the massive raid on illegal fintech lending is OJK’s appeal letter. It is to appeal registered fintech to avoid the Pluit and Central Park area, West Java, for an office space.

OJK said some of that illegal fintech players were running as syndicates, therefore, they are most likely to move in one area. Appeals to not have offices in the two places mentioned, according to the FSA, are part of prevention efforts.

“Considering that illegal fintech can be very tricky for intimidating users, and in terms of protection for the public community, prevention steps are required, as well as to maintain the quality and reputation of registered and/or fintech lending licenses,” OJK’s Director for Fintech Managing, Licensing and Supervision, Hendrikus Passagi told DailySocial,

In fact, the illegal fintech termination wasn’t just a one-time thing. Similar operations have been carried out before. There are some factors that allow those illegal firms to keep appearing and capture new customers.

Large market

Lending businesses grow big every year. In 2017, lending has contributed 15% of the total fintech transaction in Indonesia. Another indicator is the number of cash distributed to customers that keeps increasing.

Based on OJK’s data during 2019, fintech lending has distributed up to Rp68 trillion. The number grew from Rp22.66 trillion last year. This is considered a rapid growth.

It is obvious that the business players are also increasing, both legal and illegal. OJK said, there are a total of 25 fintech lending players by December 2019, while the illegal ones are getting thousands.

Regarding the illegal fintech lending, they’ve been using various kinds of platforms. There’s an app-based operation, websites, or through SMS blast that’ll lead into instant messages platforms, such as WhatsApp. The Ministry of Communication and Information, as part of the OJK-formed Investment Alert Task Force, claims that there are 4,020 illegal fintech players have been blocked during the last two years.

The existing gap

Observing the government’s effort in terminating illegal fintech is like trying to dodge a bullet. The acts are unstoppable because there’s still a gap to be leveraged by the law gangsters.

The biggest one is, there’s no exact law to avoid the rise of these illegal businesses. Passagi admitted the absence of regulations can be the main reason for the mushrooming illegal fintech lending.

Another hole that may be missed by the supervisory authority, especially by the Ministry of Communication and Information, is the SMS feature to outsmart the government systems supervision and operating system provider. Quoted from Kompas, the Pluit based office search by the police used random SMS chains. Start from the SMS, potential victims will be escorted to a site through the sent link. They will be asked for some data to process loans such as National Identity Cards, Family Cards, also the Tax ID.

On the other hand, prohibiting an area for fintech lending operation is a kind of unreasonable act. Seeing how dynamic the movement of illegal syndicates is, a place is just a place. With the existing passionate market and multiple gaps, they can be anywhere.

Room for Improvements

Aside from hoping the regulations for illegal fintech lending issued, the government has an “optimistic” plan coming.

The Kominfo, The Indonesian Telecommunications Regulatory Agency (BRTI), and the Directorate General of Population and Civil Registration are currently working on renewing the registration terms of prepaid cellular. This plan will later enable cellular operators to use the ‘know your customer’ mechanism as in banking.

It will involve biometric technology to make sure the prepaid cellular owner has a valid number. In reverse, when the data doesn’t match in the Dukcapil’s system, there will be sanctions.

“For example, with face recognition technology, fingerprint, or iris recognition. On the records, operators are fully responsible for the validity of their customers. In this way, hopefully there will be no misuse of other people’s data to register prepaid customers,” BRTI’s member, I Ketut Prihadi said.

Basically, the new draft regulation will patch up the failure of the prepaid registration policy which was previously said to overcome SMS / telephone spam. The rest is yet to know whether the new policy is applicable. No doubt, as long as there is no policy intends to protect the industry from unlicensed organizers, the stories of illegal fintech lending with tens of billions of revenue like the one in Pluit will keep repeating.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian