GoTo: Pendapatan dari Biaya Layanan Tokopedia Dorong Pertumbuhan Kinerja 2024

PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO) memproyeksikan pendapatan dari biaya layanan e-commerce Tokopedia dapat berkontribusi signifikan terhadap kinerja keuangannya di 2024. Sembari kembali fokus pada bisnis inti di on-demand dan fintech, GoTo tetap bakal mengecap pemasukan usai tak lagi menjadi pemegang saham kendali Tokopedia.

Dalam kesepakatannya dengan TikTok, GoTo akan memperoleh pendapatan dari biaya layanan e-commerce Tokopedia secara kuartalan. Pendapatan dari biaya layanan e-commerce ini baru akan dicatat per 1 Februari 2024.

Chief Financial Officer GoTo Jacky Lo meyakini kontribusi pendapatan fee dari Tokopedia dapat menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan bisnis GoTo tahun ini. Ia juga menambahkan bahwa kontribusi pendapatan ini akan memperkuat arus kas GoTo secara kuartalan.

“Maka itu di 2024, hasil dari [kinerja] di segmen e-commerce akan segera berubah menjadi positif dari posisi sebelumnya yang negatif sebesar $134 juta (setara Rp2 triliun) selama sembilan bulan pertama di 2023,” ungkap Jacky saat sesi Paparan Publik GoTo yang digelar hari ini (28/2).

Sementara, CEO GoTo Patrick Walujo menambahkan saat ini perusahaan memiliki posisi kinerja kuat usai mencapai EBITDA yang disesuaikan positif pada kuartal IV 2023. Capaian ini baru akan diumumkan di laporan keuangan perusahaan pada Maret 2024.

“Ini menunjukkan pentingnya e-commerce service fee yang akan diterima oleh GoTo dalam mencapai kinerja perusahaan yang lebih baik tahun ini. GoTo akan terus meningkatkan kinerja dan fokus pada pelaksanaan strategi untuk investasi pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan dan memiliki daya saing di pasar yang dinamis,” tuturnya.

Lebih lanjut, perusahaan menargetkan proses integrasi antara TikTok dan Tokopedia dapat rampung dalam waktu 1,5 bulan ke depan sesuai dengan masa uji coba. Pengalaman belanja pengguna TikTok menjadi prioritas utama integrasi ini, di mana Tokopedia akan berperan untuk mengelola sistem elektroniknya.

“Proses belanja, pembayaran, hingga check-out transaksi, telah terpisah dari aplikasi TikTok, dan terjadi di sistem backend Tokopedia. Kami harap proses ini akan selesai paling lambat dalam 1,5 bulan. Kami terus berkonsultasi secara erat dengan Kementerian terkait dan sesuai peraturan berlaku,” tambah Chief Corporate Affairs GoTo Nila Marita.

Berdasarkan data yang diperoleh dari merchant Tokopedia dan TikTok yang terlibat dalam Kampanye Beli Lokal, mereka memperoleh pertumbuhan penjualan produk sebesar 125% dibandingkan September 2023. Per 2023, Tokopedia tercatat memiliki 18 juta Monthly Active User (MAU), sedangkan TikTok Shop memiliki MAU sebesar 125 juta.

Application Information Will Show Up Here

Approaching the IPO Moment, GoTo’s Valuation to Reach 403 Trillion

Last week (20/10) the decacorn GoTo Group announced a strategic cooperation agreement with the Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) subsidiary. As a follow-up, ADIA led the fundraising for GoTo’s pre-IPO worth $400 million or equivalent to IDR 5.6 trillion. This funding is estimated to boost the company’s valuation to $28.5 billion or equivalent to IDR 403.7 trillion – according to Reuters‘ sources.

This value increased significantly compared to the previous estimated valuation of $18 billion, by combining each company’s valuations as they were doing separate fundraising. Today’s situatuion is estimated to bring GoTo’s value to more than $30 billion in the lead-up to its IPO, with the public investment climate gains its best momentum.

“We are proud to welcome ADIA as the company’s newest investor and the first in our pre-IPO fundraising, as we prepare the business for exponential growth for years to come. This kind of support underscores our belief that Indonesia and Southeast Asia will be the next big destination for technology investment,” GoTo Group’s CEO, Andre Soelistyo said.

He said, GoTo has generated more than 1.8 billion transactions in 2020 with a total GTV of more than $22 billion. In the company’s ecosystem, there are more than 11 million partners, with the majority being MSMEs and more than 2 million driver-partners.

Fluktuation before IPO

Although it has not been officially announced, the GoTo IPO plan is predicted to be finalized in early 2022. Sources say that the go-public process will start at the local exchange (IDX), followed by New York.

“The IPO is one of our strategies to support the company’s sustainable growth. What we can ensure is that GoTo will always comply with all applicable regulations in carrying out every corporate action,” a company representative said to DailySocial.id.

The success of Bukalapak’s IPO at IDX and Grab’s previously announced plan to go public via SPAC become the benchmarks for ‘success’ to the next unicorn that will enter the stock market. Grab’s plan was delayed from the schedule, the SPAC agreement was targeted to complete in mid-2021. It is actually due to the request for a financial audit from the local exchange authority. The company is targeting a valuation of nearly $40 million just before going public.

The startup path to the stock exchange is being tested with various uncertainties. Including the declining interest in public offerings through SPAC – as it was too blatant. In 2021, there will be a lot of SPAC transactions on the NASDAQ, which will have an effect on the decline in the selling price of shares to below the expected nominal value. According to EY data, as of H1 2021 there were 634 successful SPAC transactions, a new record on the local stock exchange.

Previously, rumor has it that Traveloka would make a deal with Bridgetown Holdings Ltd. for SPAC. However, as we’ve recently informed, Traveloka’s board of directors decided not to proceed with this step. The company is likely to explore the traditional IPO process, remaining on US exchanges, according to Bloomberg sources.

On the other hand, Bukalapak’s corporate action in August 2021 also illustrates the good enthusiasm of local investors in welcoming local unicorns to the stock market.

Gojek-Tokopedia synergy

The GoTo Group continues to strive to accelerate its business pace, especially by combining the capability of Gojek and Tokopedia. Several initiatives were recently announced, such as setting Gopay and Gopaylater as the main payment options on Tokopedia.

“In addition, the synergies embodied in the GoTo ecosystem include cross-selling and upselling, a wider hyperlocal delivery network, the largest digital payment ecosystem and financial technology, as well as promotions and loyalty programs to expand users,” GoTo’s Corporate Affairs Nila Marita added.

Synergy is also designed to expand opportunities for Gojek driver partners to earn additional income, among others, realized through a number of Gojek and Tokopedia collaboration programs such as Indonesia Shopping Time (WIB). Driver partners have the opportunity to be able to send more orders from Tokopedia consumers.

“This business synergy also opens up great opportunities for GoTo to expand in several lines, such as daily necessities (grocery), fast-moving consumer goods (FMCG), and logistics,” Nila said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Menjelang IPO, Valuasi GoTo Ditaksirkan Capai 403 Triliun Rupiah

Pekan lalu (20/10) decacorn GoTo Group mengumumkan peresmian perjanjian kerja sama strategis dengan anak usaha Abu Dhabi Investment Authority (ADIA). Sebagai tindak lanjut, ADIA memimpin penggalangan dana pra-IPO GoTo senilai $400 juta atau setara Rp5,6 triliun Rupiah. Pendanaan ini ditaksirkan mendongkrak valuasi perusahaan di angka $28,5 miliar atau setara Rp403,7 triliun Rupiah – menurut sumber yang menyampaikan pada Reuters.

Nilai ini meningkat derastis dibandingkan prakiraan valuasi sebelumnya di angka $18 miliar, dengan menggabungkan masing-masing valuasi perusahaan yang saat itu masih melakukan penggalangan dana secara terpisah. Kondisi yang ada sekarang juga ditaksirkan dapat membawa nilai GoTo melebihi $30 miliar pada waktu menjelang IPO-nya nantinya, jika iklim investasi publik mendapatkan momentum terbaiknya.

“Kami bangga menyambut ADIA sebagai investor terbaru di perusahaan dan yang pertama dalam penggalangan dana pra-IPO kami, selagi kami menyiapkan bisnis untuk pertumbuhan eksponensial untuk tahun-tahun mendatang. Dukungan dengan skala seperti ini menegaskan keyakinan kami bahwa Indonesia dan Asia Tenggara akan menjadi tujuan besar selanjutnya untuk investasi teknologi,” sambut CEO GoTo Group Andre Soelistyo.

Dalam pemaparan yang disampaikan, GoTo telah menghasilkan lebih dari 1,8 miliar transaksi pada 2020 dengan total GTV lebih dari $22 miliar. Dalam ekosistem perusahaan, tercatat lebih dari 11 juta mitra dengan mayoritas berskala UMKM dan lebih dari 2 juta armada mitra pengemudi.

Fluktuasi menjelang IPO

Kendati belum disampaikan secara resmi, rencana IPO GoTo digadang-gadang akan dilaksanakan pada awal tahun 2022. Sumber mengatakan, proses go-public akan dimulai di bursa lokal terlebih dulu (IDX), diikuti ke New York.

“IPO menjadi salah satu strategi kami untuk mendukung pertumbuhan perusahaan yang berkelanjutan. Yang dapat kami pastikan adalah GoTo akan selalu mematuhi seluruh regulasi yang berlaku dalam menjalankan tiap aksi korporasi,” ujar perwakilan perusahaan kepada DailySocial.id.

Kesuksesan IPO Bukalapak di IDX dan rencana go-public Grab via SPAC yang telah diumumkan sebelumnya sebenarnya menjadi tolok ukur sendiri untuk ‘kesuksesan’ bagi unicorn berikutnya yang akan melenggang ke pasar saham. Rencana Grab sendiri mundur dari jadwal, target awalnya kesepakatan SPAC rampung di pertengahan 2021. Alasannya ada permintaan audit keuangan dari otoritas bursa setempat. Perusahaan menargetkan valuasi hampir $40 juta sesaat sebelum melantai.

Jalan startup menuju bursa memang tengah diuji dengan berbagai ketidakpastian. Termasuk merosotnya minat penawaran umum lewat SPAC – karena terlalu riuh. Tahun 2021 ini terjadi banyak transaksi SPAC di NASDAQ, sehingga berpengaruh pada penurunan harga jual saham hingga di bawah nominal nilai yang diharapkan. Menurut data EY, per H1 2021 terdapat 634 transaksi SPAC yang berhasil dijalankan, menjadi rekor baru di bursa saham setempat.

Sebelumnya berhembus kabar unicorn Traveloka akan membuat kesepakatan dengan Bridgetown Holdings Ltd. untuk SPAC. Namun baru-baru ini, tersiar informasi bahwa dewan direksi Traveloka memutuskan untuk tidak melanjutkan langkah tersebut. Perusahaan kemungkinan akan menjajaki proses IPO tradisional, tetap di bursa AS, menurut sumber Bloomberg.

Di sisi lain, aksi korporasi Bukalapak pada Agustus 2021 lalu juga memberikan gambaran tentang antusias yang cukup baik oleh investor lokal dalam menyambut unicorn lokal di pasar saham.

Sinergi Gojek-Tokopedia

Percepatan laju bisnis juga terus diupayakan oleh GoTo Group, utamanya dengan menggabungkan kekuatan yang dimiliki oleh Gojek maupun Tokopedia. Beberapa inisiatif baru-baru ini diumumkan, seperti menjadikan Gopay dan Gopaylater sebagai gerbang pembayaran utama di Tokopedia.

“Selain itu sinergi yang diwujudkan dalam ekosistem GoTo di antaranya adalah penjualan silang antar-platform (cross-selling) dan upselling, jaringan pengiriman hyperlocal yang lebih luas, ekosistem pembayaran digital, dan teknologi finansial terbesar, serta promosi dan program loyalitas untuk pengguna yang diperluas,” imbuh Corporate Affairs GoTo Nila Marita.

Sinergi juga didesain agar dapat memperluas peluang bagi mitra driver Gojek untuk memperoleh tambahan penghasilan, antara lain diwujudkan dengan sejumlah program kolaborasi Gojek dan Tokopedia seperti Waktu Indonesia Belanja (WIB). Mitra driver berkesempatan untuk dapat mengirimkan lebih banyak pesanan dari konsumen Tokopedia.

“Sinergi bisnis ini juga membuka kesempatan besar bagi GoTo untuk berekspansi di beberapa lini, seperti kebutuhan sehari-hari (grocery), fast-moving consumer goods (FMCG), dan logistik,” tutup Nila.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Collaboration of Startup and Digital Bank to Ramp up Innovation and Financial Inclusion

There was a time when corporations saw startups as a challenge. However, as years passed by, this assumption is getting hazier when the two parties are now collaborating with each other, to complete each other out in winning the market.

In the banking sector, a new phenomenon has occurred, that large startups have started to invest and become majority shareholders in banks that have just transformed into digital banks. For example, Akulaku joined Bank Neo Commerce (BNC), then Gojek invested in Bank Jago, and Sea Group, Shopee’s holding company, which reportedly entered the Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Currently, Akulaku, through PT Akulaku Silvrr Indonesia, is trying to extend ownership in BNC through the rights issue scheme. Therefore, Akulaku’s ownership is to increase from 24.98% to 27.25%. Akulaku has been a shareholder of BNC since 2019.

Moreover, in mid-December 2020, Gojek Group through its subsidiary GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) has invested into Bank Jago in the form of  22% equity at the end of 2020.

Meanwhile, there has not been any confirmation regarding the involvement of Sea Group in BKE. However, there is already strong evidence based on information from the recruitment website which says there is a new placement at “Sea Money-Bank BKE”.

Overseas, the dynamics of digital banks are escalated quickly. For instance, the Monetary Authority of Singapore (MAS) has issued digital bank operating licenses to four corporate groups. The four companies receiving these licenses are (1) Ant Group, a subsidiary of Alibaba Group, (2) the Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel) consortium, (3) the parent Sea Group of Shopee, and (4) a consortium consisting of companies from China, including Greenland Financial Holdings.

Thus, what is the meaning of this synergy between startups and digital banks? How can the synergy between the two be mutually beneficial without breaking the existing rules? The banking sector is a highly regulated sector with high-risk management when it comes to product and service development.

Strong capital and innovation development

Although the terminology for digital banking and the supporting regulations is still unclear, the sign for digital banks has occurred when BTPN launched Jenius. This step was followed by DBS through Digibank. It’s just that Jenius and Digibank are not quite legitimate as digital banks as their business processes are still under the owner’s company.

Therefore, digital banks such as Bank Jago and BNC are experiencing a massive transformation by changing faces and new branding in order to strengthen their position as a digital bank. Bank Jago is a new identity (previously Bank Artos), while BNC was previously named Bank Yudha Bhakti (BYB).

Bank Jago changed the name in June 2020 following its acquisition by a group of investors led by Jerry Ng and Patrick Waluyo through PT Metamorfosis Indonesia (MEI) and Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng is the former President Director of BTPN for a decade and also the person behind the development of Jenius, while Patrick Waluyo is the Co-Founder of Northstar Group, one of the former BTPN owners.

Next, Akulaku became a shareholder in BNC for the first time in March 2019 with 8.9% ownership of the current controlling shareholder, PT Gozco Capital. This fintech platform continues to increase its share ownership to become the controlling shareholder.

In previous reports, Bank Yudha Bhakti’s President Director, Tjandra Gunawan emphasized that his team is transferring the entire work process and business model from a conventional bank to digital, including the existence of branch offices with limited numbers.

In developing internal human resources, BNC recruited many talents in the technology sector, assisted by the collaboration of two giant technology companies, namely Huawei and Sunline.

In recent contact with DailySocial, Gunawan highlighted that BNC is trying to come up with a different positioning through its collaboration with Akulaku. It will target the retail and MSME segments through a number of digital banking products.

“Akulaku as one of the shareholders in BNC is a fintech company that focuses on e-commerce, B2B financing, and other digital financings, therefore, BNC and Akulaku is to combine market segments in the future,” said Tjandra.

Meanwhile, it is still unclear why Sea Group entered through BKE. If it is true, it is possible that BKE will have the same fate as the two banks mentioned above, coming with a new identity. It seems difficult to move forward without a new identity for legacy companies looking to undertake a major transformation.

Product development and integration to the ecosystem

The involvement of Gojek, Akulaku, and Shopee (Sea Group) has the same common thread, namely efforts to integrate innovation into a digital service ecosystem for people who are yet to be exposed to banking services.

Banks are a business of trust, while digital platforms have the strength in technological innovation. In this case, banks can push financial services into a broader platform services ecosystem with a large customer base.

Gojek already has an A to Z service ecosystem. Likewise, Shopee, according to iPrice data, is the e-commerce with the largest monthly visitors in Indonesia in the first quarter of 2020. Meanwhile, Akulaku is targeting a comprehensive financial ecosystem, from marketplaces, P2P lending, to financing.

Quoting KrAsia, Akulaku’s CEO, William Li said that the potential of digital banking in Southeast Asia is enormous. “There are 400 million workers, but only 5% -10% are using digital banking services. That means, we have 300 million potential customers,” Li said. He thought, if Akulaku can work on around 5% -10% of the market share, the company could potentially reap greater achievements.

In terms of technology, Tjandra also said that his team would optimize technology development and digitization of the loan origination system and online financing related to granting approval and lending. In the future, this coordination and integration can become a pilot ecosystem that can be replicated to other marketplaces.

In addition, BNC will develop open banking in the payment system through the formulation of Open API Standards, therefore, the transaction and identification process will be more seamless. “This is a piloting project of the digital product on Akulaku platform as well as the use of the BNC Virtual Account to make it easier for customers to make payments,” Gunawan added.

Platform Category Service Ecosystem User/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 million (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 million (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 million (2020)

Meanwhile, Gojek’s Chief Corporate Affairs, Nila Marita revealed that Gojek and Bank Jago are currently preparing a synergy for digital banking services. This is in line with the company’s efforts to increase financial inclusion at all levels of society.

Based on reports from Google, Temasek, and Bain & Company, as many as 52% or around 95 million adults in Indonesia do not have bank accounts and more than 47 million adults do not have adequate access to credit, investment, and insurance. On the other hand, smartphone penetration in Indonesia has reached up to 70% -80%. This indicates that the Indonesian people are ready to accept digital banking services.

“The number is quite large of people who do not have a bank account in Indonesia. Therefore, Gojek and Bank Jago will provide digital banking services on the Gojek platform to facilitate access to financial services,” she told DailySocial.

Referring to this, collaboration between startups and digital banks can encourage penetration of financial inclusion. One use case is that the digital platform can be a front-end channel for opening an online account. This is what Gojek and Bank Jago are currently preparing as their initial synergy plan. A number of banks in Indonesia have implemented a similar concept, such as opening a BRI online account on the Grab platform.

By utilizing the platform as an entry point, the public can be exposed to the integrated platform service ecosystem. Bank Jago can take advantage of the Gojek service ecosystem to increase its service penetration, as well as BNC-Akulaku and Sea Group-BKE. This means that the government’s efforts to encourage financial inclusion at all levels of society can be realized more quickly.

The next step is technology transfer. This is an expensive price to pay to leverage the technological innovations that have been built by Gojek, Shopee, and Akulaku. It will be free to develop innovations than to work together without investment commitments.

However, considering the current regulations have not accommodated digital banks, financial innovation players are still waiting and wondering about the limitations and potentials for future business development.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kolaborasi Startup dan Bank Digital untuk Memperkuat Inovasi dan Inklusi Keuangan

Ada masa di mana korporasi sempat menganggap eksistensi startup sebagai sebuah tantangan. Namun, dari tahun ke tahun, anggapan ini makin kabur tatkala kedua pihak kini saling berkolaborasi, mengisi satu sama lain untuk memenangkan pasar.

Di sektor perbankan, fenomena baru yang terjadi adalah startup besar mulai berinvestasi dan menjadi pemegang saham mayoritas di bank-bank yang baru bertransformasi menjadi bank digital. Misalnya, Akulaku masuk ke Bank Neo Commerce (BNC), lalu Gojek berinvestasi ke Bank Jago, dan Sea Group, induk usaha Shopee, yang kabarnya masuk ke Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Saat ini Akulaku, melalui PT Akulaku Silvrr Indonesia, tengah berupaya meningkatkan kepemilikan sahamnya di BNC lewat skema right issue. Dengan aksi ini, kepemilikan Akulaku bakal naik dari 24,98% menjadi 27,25%. Adapun Akulaku telah masuk menjadi pemegang saham BNC sejak 2019.

Kemudian, pada pertengahan Desember 2020, Gojek Group melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) menyuntikkan investasi ke Bank Jago berupa penyertaan saham sebesar 22% pada akhir 2020.

Sementara itu, belum ada konfirmasi apapun mengenai keterlibatan Sea Group di BKE. Namun, sudah ada bukti kuat berdasarkan informasi dari laman perekrutan yang menyebutkan ada penempatan baru di “Sea Money-Bank BKE”.

Di luar negeri, dinamika bank digital sudah berjalan cepat. Ambil contoh, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) telah menerbitkan izin operasi bank digital kepada empat kelompok perusahaan. Keempat perusahaan penerima lisensi ini adalah (1) Ant Group anak usaha Alibaba Group, (2) konsorsium Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel), (3) Sea Group induk dari Shopee, dan (4) konsorsium yang terdiri dari perusahaan asal Tiongkok, termasuk Greenland Financial Holdings.

Lalu, apa arti dari sinergi antara startup dan bank digital ini? Bagaimana sinergi keduanya bisa saling menguntungkan tanpa menerobos aturan yang ada? Sektor perbankan adalah high regulated sector yang memiliki manajemen risiko tinggi jika bicara pengembangan produk dan layanan.

Permodalan kuat dan pengembangan inovasi

Meski belum jelas terminologi bank digital dan regulasi yang mendukung, cikal bakal menuju bank digital sebetulnya sudah muncul ketika BTPN meluncurkan Jenius. Langkah ini kemudian diikuti DBS melalui Digibank. Hanya saja, Jenius dan Digibank belum sahih dikatakan sebagai bank digital karena proses bisnisnya masih berada di atap perusahaan empunya.

Untuk itu bank-bank digital seperti Bank Jago dan BNC melakukan transformasi besar-besaran dengan berganti wajah dan branding baru demi mengokohkan posisinya sebagai bank digital. Bank Jago adalah identitas baru dari nama sebelumnya Bank Artos, sedangkan BNC sebelumnya bernama Bank Yudha Bhakti (BYB).

Pergantian nama Bank Jago pada Juni 2020 menyusul aksi akuisisinya oleh grup investor yang dipimpin Jerry Ng dan Patrick Waluyo lewat PT Metamorfosis Indonesia (MEI) dan Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng adalah eks Direktur Utama BTPN selama satu dekade yang juga orang di balik pengembangan inovasi Jenius, sedangkan Patrick Waluyo merupakan Co-Founder Northstar Group, salah satu mantan pemilik BTPN.

Kemudian, Akulaku masuk menjadi pemegang saham di BNC pertama kali pada Maret 2019 dengan kepemilikan 8,9% dari pemegang saham pengendali saat itu PT Gozco Capital. Platform fintech ini terus menambah kepemilikan sahamnya untuk menjadi pemegang saham pengendali.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan telah menegaskan bahwa pihaknya mengalihkan keseluruhan proses kerja dan model bisnis sebagai bank konvensional menjadi digital, tak terkecuali keberadaan kantor cabang yang jumlahnya bakal dibatasi.

Untuk memperkuat SDM di internal, BNC bahkan merekrut banyak talent di bidang teknologi dan turut dibantu kerja sama oleh dua perusahaan teknologi raksasa, yakni Huawei dan Sunline.

Dihubungi DailySocial baru-baru ini, Tjandra kembali menegaskan bahwa BNC berupaya hadir dengan positioning yang berbeda melalui kolaborasinya dengan Akulaku. Pihaknya akan menyasar segmen ritel dan UMKM melalui sejumlah produk digital banking.

“Akulaku sebagai salah satu pemegang saham di BNC adalah perusahaan fintech yang berfokus pada e-commerce, financing B2B, dan pembiayaan digital lainnya, sehingga ke depannya BNC dan Akulaku akan melakukan kombinasi segmen pasar,” ujar Tjandra.

Sementara itu, belum diketahui alasan Sea Group masuk melalui BKE. Jika ini benar, bisa jadi BKE akan bernasib sama seperti dua contoh bank di atas, yakni hadir dengan identitas baru. Tampaknya, akan sulit untuk maju tanpa identitas baru bagi perusahaan legacy yang ingin melakukan transformasi besar-besaran.

Pengembangan produk dan integrasi ke ekosistem layanan

Keterlibatan Gojek, Akulaku, dan Shopee (Sea Group) memiliki benang merah yang sama, yakni upaya untuk memadukan inovasi terhadap ekosistem layanan digital bagi masyarakat yang masih banyak belum terpapar layanan perbankan.

Bank merupakan bisnis kepercayaan, sedangkan platform digital memiliki kekuatan pada inovasi teknologi. Dalam hal ini, bank bisa mendorong layanan keuangan masuk ke dalam ekosistem layanan platform yang lebih luas dengan basis pelanggan besar.

Gojek telah memiliki ekosistem layanan dari A sampai Z. Demikian juga Shopee yang menurut data iPrice merupakan e-commerce dengan pengunjung bulanan terbesar di Indonesia pada kuartal pertama 2020. Sementara Akulaku membidik ekosistem keuangan yang komprehensif, mulai dari marketplace, P2P lending, hingga pembiayaan.

Mengutip KrAsia, CEO Akulaku William Li mengatakan bahwa potensi perbankan digital di Asia Tenggara sangat besar. “Kami melihat ada 400 juta pekerja, tetapi hanya 5%-10% yang menggunakan layanan perbankan digital. Artinya, kami punya 300 juta pelanggan potensial,” tutur Li. Menurutnya, apabila Akulaku dapat menggarap sekitar 5%-10% dari pangsa pasar tersebut, perusahaan dapat berpotensi meraup pencapaian yang lebih besar.

Dari sisi teknologi, Tjandra juga menyebutkan bahwa pihaknya akan mengoptimalkan pengemba ngan teknologi dan digitalisasi loan origination system dan online financing terkait pemberian persetujuan dan penyaluran kredit. Ke depannya, kordinasi dan integrasi ini dapat menjadi percontohan ekosistem yang bisa direplikasi ke marketplace lain.

Selain itu, BNC akan mengembangkan open banking di sistem pembayaran melalui perumusan Standar Open API sehingga proses transaksi dan identifikasi akan lebih seamless. “Ini merupakan piloting project produk digital di platform Akulaku serta untuk penggunaan BNC Virtual Account guna yang memudahkan customer melakukan pembayaran,” tambah Tjandra.

Platform Kategori Ekosistem Layanan Pengguna/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 juta (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 juta (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 juta (2020)

Sementara itu, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengungkap bahwa Gojek dan Bank Jago saat ini tengah mempersiapkan sinergi layanan perbankan digital. Hal ini sejalan dengan upaya perusahaan untuk meningkatkan inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, and Bain & Company, sebanyak 52% atau sekitar 95 juta penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening bank dan lebih dari 47 juta penduduk dewasa tidak memiliki akses memadai kepada kredit, investasi, dan asuransi. Di sisi lain, penetrasi smartphone di Indonesia telah mencapai hingga 70%-80%. Ini menandakan masyarakat Indonesia sudah siap untuk menerima layanan perbankan digital.

“Jumlah penduduk yang belum memiliki rekening bank masih sangat banyak di Indonesia. Maka itu, Gojek bersama Bank Jago akan menyediakan layanan perbankan digital di platform Gojek untuk memudahkan akses terhadap layanan keuangan,” ujarnya kepada DailySocial.

Mengacu pada hal tersebut, kolaborasi startup dan bank digital dapat mendorong penetrasi inklusi keuangan. Salah satu use case-nya adalah platform digital bisa menjadi front-end channel untuk pembukaan rekening online. Inilah yang tengah disiapkan Gojek dan Bank Jago sebagai rencana sinergi awal mereka. Konsep serupa sebetulnya sudah diterapkan sejumlah bank di Indonesia, seperti pembukaan rekening online BRI di platform Grab.

Dengan memanfaatkan platform sebagai jalan masuk, masyarakat dapat terpapar oleh ekosistem layanan platform yang terintegrasi. Bank Jago dapat memanfaatkan ekosistem layanan Gojek untuk meningkatkan penetrasi layanannya, demikian juga berlaku pada BNC-Akulaku dan Sea Group-BKE. Ini berarti upaya pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat bisa semakin cepat terealisasi.

Langkah selanjutnya adalah transfer teknologi. Ini merupakan harga mahal yang harus dibayar untuk me-leverage inovasi teknologi yang telah dibangun oleh Gojek, Shopee, dan Akulaku. Akan lebih leluasa mengembangkan inovasi ketimbang bersinergi tanpa komitmen investasi.

Namun, mengingat regulasi yang ada saat ini belum mengakomodasi bank digital, pemain inovasi keuangan masih wait and see tentang limitasi dan potensi-potensi pengembangan bisnis di masa mendatang.

Gojek and Halodoc Shared Some Tips to Optimize Growth Opportunity Amid Pandemic

The pandemic has turned out to be able to make big tech companies like Gojek perform strategic changes and focus on new businesses on the platform. In the webinar event initiated by the Technology Journalists Forum (Forwat), representatives from Gojek and Halodoc conveyed challenges to new innovations that are then implemented and are expected to become their respective superior products.

Focused on user’s feedback

The pressure and economic changes that occurred during the pandemic have actually increased the number of Halodoc users who then conduct mental consultations to psychiatrists and psychologists through the platform. After being officially launched in late June, the consulting service has now been supported by 500 psychologists and psychiatrists.

According to Halodoc’s CMO, Dionisius Nathaniel, not only was it used by adults, but there were also some children who took advantage of the mental consultation channel presented by Halodoc through the application and website. This achievement shows the increasing need for users to convey the complaints and stresses they experience during the pandemic.

As a platform that promotes health for all, Halodoc has also carried out several activities that help the government and of course the community during the pandemic. One of them is the giving of the Covid-19 Rapid Test. At the beginning of the pandemic, Halodoc has also introduced chatbot technology, namely Preliminary Risk Assessment. Its function is in the form of a questionnaire that helps people check whether they are at risk of being affected by Covid-19 or not.

“In the mapping, we can see how many users use this feature and help us to see the location. Mostly are those living in big cities,” said Dionisius.

In addition to mental consultations and Covid-19 rapid tests, Halodoc also claims to have experienced positive growth from the Health Shop. In this case, taking advantage of partnerships with 100 health shops spread out and integrated delivery with Gojek driver-partners, is able to increase the number of purchases and deliveries easier and of course faster.

“The strategic collaboration with Gojek proves that what we present, namely a fast delivery in under 60 minutes, has been successfully realized by Halodoc and of course Gojek,” said Dionisius.

To maintain business growth during the pandemic and help more people access health information and consultation services with doctors, Halodoc wants to continue to get feedback from users in order to provide comprehensive digital health services, not only in big cities but in other regions in Indonesia.

“We currently have around 20 million active users on applications and websites. This increase is supported by the services and information we provide related to the Covid-19 topic. Education is part of our strategy to increase user traction on applications and websites,” Dionysius said.

Support partners with technology

Meanwhile, Gojek, which already has a variety of services, during the pandemic began to focus on the welfare of driver-partners and merchants. Starting from making donations to launching appropriate technology. According to Gojek’s Chief of Corporate Affairs Nila Marita, the company is trying to focus on their core business. Starting from mobility, food-related, logistics, and payment.

“An interesting fact that also occurred during the Gomed service pandemic has also increased quite well. We note that transactions in Gomed have increased by up to 103%,” Nila mentioned.

Another service that has also increased is entertainment, with GoTix services recorded an increase of up to 30 times. Adjusting the PSBB rules and working at home which is mostly applied by office workers and students. Meanwhile, to help culinary partners outside the culinary business to run their business, Gojek has also launched Selly which is a keyboard and dashboard application that makes it easier for SMEs to serve customers.

With the launch of this special merchant application, it is hoped that it can accelerate the acceleration of Gojek merchants through tools tailored to their needs.

“Through the Selly application, we hope that there will be more social commerce players in Indonesia who can be facilitated in terms of supporting tools for their business. Gojek will also continue to collaborate with relevant partners and brands,” Nila said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tips dari Gojek dan Halodoc Optimalkan Peluang Pertumbuhan di Tengah Pandemi

Pandemi yang berkepanjangan ternyata mampu membuat startup hingga perusahaan teknologi besar seperti Gojek melakukan perubahan strategi bahkan memfokuskan kepada bisnis baru dalam platform. Dalam acara webinar yang diinisiasi oleh Forum Wartawan Teknologi (Forwat), perwakilan dari Gojek dan Halodoc menyampaikan tantangan hingga inovasi baru yang kemudian diterapkan dan diharapkan bisa menjadi produk unggulan masing-masing.

Fokus pada umpan balik pengguna

Tekanan hidup dan perubahan ekonomi yang terjadi selama pandemi, ternyata telah meningkatkan jumlah pengguna Halodoc yang kemudian melakukan konsultasi jiwa kepada psikiater dan psikolog melalui platform. Setelah resmi diluncurkan akhir bulan Juni lalu, kini layanan konsultasi tersebut telah didukung 500 psikolog dan psikiater.

Menurut CMO Halodoc Dionisius Nathaniel, bukan hanya dimanfaatkan orang dewasa, namun tercatat ada beberapa anak-anak yang kemudian memanfaatkan kanal konsultasi jiwa yang dihadirkan oleh Halodoc melalui aplikasi dan situs web. Capaian tersebut menunjukkan makin besarnya kebutuhan pengguna untuk menyampaikan keluh kesah dan tekanan hidup yang mereka alami selama pandemi.

Sebagai platform yang mengedepankan kesehatan untuk semua, Halodoc juga telah melakukan beberapa kegiatan yang membantu pemerintah dan tentunya masyarakat selama pandemi. Salah satunya adalah pemberian Rapid Test Covid-19. Di awal pandemi, Halodoc juga telah menghadirkan teknologi chatbot yaitu Preliminary Risk Assesment. Fungsinya berupa kuesioner yang membantu masyarakat memeriksa apakah mereka beresiko terdampak Covid-19 atau tidak.

“Dalam pemetaan tersebut memanfaatkan lokasi yang ada di platform kami akhirnya terlihat, berapa banyak pengguna yang menggunakan fitur tersebut dan membantu kami untuk melihat lokasi. Kebanyakan tentu saja mereka yang tinggal di kota-kota besar,” kata Dionisius.

Selain konsultasi jiwa dan pemeriksaan rapid test Covid-19, Halodoc juga mengklaim mengalami pertumbuhan positif dari Toko Kesehatan. Dalam hal ini memanfaatkan kemitraan dengan 100 toko kesehatan yang tersebar dan integrasi pengantaran dengan mitra pengemudi Gojek, mampu mendongkrak jumlah pembelian dan pengantaran lebih mudah dan tentunya lebih cepat.

Kerja sama strategis dengan Gojek membuktikan bahwa apa yang kami hadirkan yaitu pengantaran yang cepat di bawah dari 60 menit, berhasil diwujudkan oleh Halodoc dan tentunya Gojek,” kata Dionisius.

Untuk mempertahankan pertumbuhan bisnis selama pandemi dan membantu lebih banyak masyarakat mengakses informasi kesehatan dan layanan konsultasi dengan dokter, Halodoc ingin terus mendapatkan umpan balik dari pengguna agar bisa menghadirkan layanan kesehatan digital yang menyeluruh, bukan hanya di kota-kota besar namun wilayah lainnya di Indonesia.

“Saat ini kami telah memiliki sekitar 20 juta pengguna aktif di aplikasi dan website. kenaikan ini terjadi didukung dengan layanan dan informasi yang kami hadirkan terkait dengan topik Covid-19. Edukasi menjadi bagian dari strategi kami untuk bisa meningkatkan traksi pengguna di aplikasi dan juga website,” kata Dionisius.

Dukung mitra melalui teknologi

Sementara itu bagi Gojek yang telah memiliki beragam layanan, selama pandemi mulai memfokuskan kesejahteraan mitra pengemudi dan merchant. Mulai dari memberikan donasi hingga meluncurkan teknologi tepat guna. Menurut Chief of Corporate Affairs Gojek Nila Marita, perusahaan berupaya untuk fokus kepada core business mereka. Mulai dari mobility, food related, logistik dan tentunya payment.

“Fakta menarik yang juga terjadi selama pandemi layanan Gomed juga mengalami peningkatan yang cukup baik. Kami mencatat transaksi di Gomed mengalami peningkatan hingga 103%,” kata Nila.

Layanan lain yang juga mengalami peningkatan adalah entertainment, tercatat layanan GoTix mengalami peningkatan hingga 30 kali lipat. Menyesuaikan aturan PSBB dan bekerja di rumah yang banyak diterapkan oleh pekerja kantor dan siswa. Sementara itu untuk membantu mitra kuliner hingga diluar bisnis kuliner untuk menjalankan bisnis mereka, Gojek juga telah meluncurkan Selly yang merupakan aplikasi keyboard dan dasbor yang memudahkan UKM melayani pelanggan.

Dengan diluncurkannya aplikasi khusus merchant ini diharapkan bisa mempercepat akselerasi merchant Gojek melalui tools yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

“Melalui aplikasi Selly kami harapkan akan lebih banyak pelaku social commerce di Indonesia yang bisa dimudahkan dalam hal alat pendukung untuk bisnis mereka. Gojek juga akan terus menjalin kolaborasi dengan partner dan brand yang relevan,” kata Nila.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Initiatives from “Sharing Economy” Platforms to Support Partners Amid Pandemic

In 2015, the concept of sharing economy has not become part of the daily life of the Indonesian people. In a survey involving 1008 people, 85% of respondents said they had heard this concept, but still less than 40% had tried it. In 2020, such services have become a necessity and part of a lifestyle.

According to data at the end of the first quarter of 2020, Gojek, Indonesia’s largest local economic sharing platform, has operated in 214 cities and five Southeast Asian countries with more than 2 million driver-partners. The application is claimed to have been downloaded more than 170 million times by consumers in the region. According to App Annie’s report titled “2020 State of Mobile Report”, Gojek has become the most widely used on-demand application for Indonesians throughout 2019.

The sharing economy has now become many people’s sources of income in the ecosystem, including driver-partners, restaurant business owners, and various service providers (cleaning, massage, health, etc.).

The current outbreak of Covid-19 in Indonesia directly affects the use of services and the welfare of these ecosystem partners. According to INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Researcher, Nailul Huda, the impact is a bit burdensome for the business industry with the concept of sharing economy.

“The demand will automatically decrease. There will be less people ordering motorcycle taxi services online or lodging based on sharing economy. This is quite hard for some partners that their services will lose a significant income,” Huda said.

Gojek’s initiative to support partners and merchants

With no further explanation on the percentage decrease in the number of uses in the ecosystem, Gojek’s Chief of Corporate Affairs Nila Marita told DailySocial that there are many changes during this pandemic. Nevertheless, Gojek claims to build a strategic and sustainable business that does not only rely on one service.

“Although the large-scale restrictions (PSBB) has affected online transportation services, we finally see a shift in people’s behavior from transacting offline to online, because most people have to do most activities from home to avoid the risk of spreading the virus,” Marita said.

She also added the shift in offline to online transactions is quite a thing, especially in food delivery services, groceries, and shipping goods. People’s habit of eating on the spot (dine-in) and buying their groceries in stores or supermarkets, is now shifting to online purchases.

Gojek moves quickly to adjust, such as expanding GoFood services from only food delivery orders to groceries, daily necessities and ready-to-cook food.

“We also help our SME partners to be able to conduct their business online so that they do not lose the opportunity to maintain revenue and business turnover. The ability to adapt quickly to this situation is one of our competitive advantages to be able to continue to maintain business sustainability amid pandemic,” She added.

Gojek also provides financial support to partners. The funding comes from three sources. Gojek’s co-CEO and senior management will donate 25% of their annual salary over the next 12 months, the annual salary increase of all Gojek employees will be diverted to aid funds, and also creating a foundation to help others make donations, including Gojek’s corporate partners.

In a joint statement, Gojek’s Co-CEO Andre Soelistyo and Kevin Aluwi said, “This fund will support the driver-partners as part of our core business and have become a vital part of people’s lives who are currently experiencing limited mobility. The thing is that every company has the responsibility to provide as much support as possible and this is something we can do to help our partners through this hard season.”

Furthermore, Gojek and Bank BRI launched a mild interest loan facility for GoRide partners, GoCar, and GoFood merchants. Gojek partners who register and fulfill BRI requirements have the potential to obtain a loan facility of Rp.5-20 million.

Seekmi’s new innovation

Meanwhile, Seekmi platform is trying to expand services to accommodate the needs of its consumers. According to the CEO, Clarissa Leung, most businesses in Indonesia and throughout the world have experienced a slowdown due to the crisis. The best thing about Seekmi is the flexibility of the business changes.

“For example, we have been able to reuse cleaning workers and utilize their existing expertise, with some additional training, to provide disinfection cleaning services. We’re also able to provide jobs for our engineers to help build and assemble furniture, a developed area as a result of Work From Home implementation. Our technology platform is very powerful that it can manage all types of ‘blue-collar’ workforce and easily adapt to different situations,” Leung said.

After the pandemic, Clarissa can see that the services provided by her company would experience technology adoption faster than before. In fact, households and businesses can no longer function in the same way.

“We are also exploring partnerships with lending companies to provide loans to our technicians and cleaners,” she said.

Grab Indonesia’s campaign #KitaVSCorona

With a policy to remain at home in order to reduce the spread of the Covid-19 virus, many SMEs are feeling the impact on their livelihoods. Digitalization can help them. The move was chosen by Grab to help small and traditional businesses to adapt to this new trend. The company tried to help them maintain revenue, even with various restrictions.

Grab claims, during the pandemic, delivery business services have increased, including GrabFood, GrabExpress, GrabMart, GrabFresh by HappyFresh, and the latest concierge on-demand access, GrabAssistant.

“As a super-app, Grab believes in technology for good (tech for good) to create positive social impacts both for each of our partners, such as driver-partners, merchant partners, delivery partners, and also our customers. Therefore, Grab always strives “to create large-scale economic opportunities, financial inclusion for the underserved, and easy access to safer and higher-quality daily services,” Grab Indonesia’s Managing Director Neneng Goenadi told DailySocial.

Similar to Gojek, Grab Indonesia and Bank BRI collaborated to launch a mild interest loan facility for Grab driver-partners, GrabFood merchant partners, and GrabKios partners. This loan aims to ease the financial burden of the affected driver-partners. In addition, the distribution of People’s Business Credit (KUR) is expected to help GrabFood merchants and GrabKios partners to get the financial assistance they need to overcome challenges during this pandemic.

“We are conducting socialization for driver-partners who have the opportunity to get this loan facility. Driver-partners who can get this loan are productive and active partners and have been Grab’s driver-partners for several years. In addition, the partners concerned must have good performance including certain average income amounts,” Goenadi said.

The future of sharing economy

The new normal term seems to affect the sharing economy platforms such as Gojek, Seekmi, and Grab. Not only in terms of the approach to target customers but also the company’s approach to driver and merchant partners. The use of non-cash payments is becoming more common and the application of technology is expected to provide a more efficient and faster implementation of new situations.

After the pandemic, the community will be more concerned with health and hygiene factors. Digital industry services based on sharing economy will also be more selective in choosing partners.

“Their business will soon arise following the good record,” Huda said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Upaya Platform “Sharing Economy” Membantu Mitra di Tengah Pandemi

Di tahun 2015, konsep sharing economy belum menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Dalam sebuah survei kepada 1008 orang, 85% responden menyatakan pernah mendengar konsep ini, tapi masih kurang dari 40% yang pernah mencobanya. Di tahun 2020, layanan seperti ini telah menjadi kebutuhan dan bagian dari gaya hidup.

Menurut data per akhir kuartal pertama 2020, Gojek, platform sharing economy lokal terbesar di Indonesia, telah beroperasi di 214 kota dan lima negara Asia Tenggara dengan lebih dari 2 juta mitra pengemudi. Aplikasi Gojek diklaim telah diunduh lebih dari 170 juta kali oleh konsumen di kawasan ini. Menurut laporan App Annie yang berjudul “2020 State of Mobile Report”, Gojek menjadi aplikasi on-demand paling banyak digunakan masyarakat Indonesia sepanjang 2019.

Sharing economy kini menjadi tumpuan penghasilan bagi banyak pihak di dalam ekosistem, termasuk mitra pengemudi, pemilik usaha restoran, dan pemberi berbagai jasa (kebersihan, pemijatan, kesehatan, dan lain-lain).

Penyebaran Covid-19 yang sedang terjadi di Indonesia secara langsung mempengaruhi penggunaan layanan dan kesejahteraan mitra ekosistem ini. Menurut Peneliti INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Nailul Huda, dampaknya sedikit memberatkan industri bisnis yang berkonsep sharing economy.

“Permintaan layanan jasa mereka otomatis akan menurun. Akan sangat berkurang orang yang memesan layanan ojek online ataupun penginapan berbasiskan sharing economy. Dampaknya tentu saja mitra yang menyewakan jasanya akan kehilangan pendapatan yang cukup signifikan,” kata Huda.

Upaya Gojek membantu mitra dan merchant

Meskipun tidak dijelaskan lebih lanjut berapa persen penurunan jumlah penggunaan di ekosistem, Chief of Corporate Affairs Gojek Nila Marita, kepada kepada DailySocial menjelaskan, di masa pandemi ini berlangsung banyak perubahan yang terjadi. Meskipun demikian Gojek mengklaim membangun bisnis secara strategis dan berkelanjutan yang tidak hanya bertumpu pada satu layanan.

“Walau pembatasan berskala besar berpengaruh terhadap layanan transportasi online, kami melihat terdapat pergeseran perilaku masyarakat dari bertransaksi offline menjadi ke online, karena sebagian besar masyarakat harus beraktivitas dari rumah untuk menghindari risiko penyebaran virus,” kata Nila.

Ditambahkan Nila, pergeseran transaksi offline ke online ini banyak dirasakan terutama di layanan food delivery, groceries, dan pengiriman barang. Kebiasaan masyarakat untuk makan di tempat (dine-in) dan membeli kebutuhan pokok sehari-hari di toko atau supermarket, saat ini bergeser menjadi menjadi pembelian secara online.

Gojek bergerak cepat menyesuaikan diri, seperti memperluas layanan GoFood dari sebelumnya pesan antar makanan menjadi juga melayani pembelian bahan pokok, kebutuhan sehari-hari, dan makanan siap masak.

“Kami juga membantu mitra UKM kami untuk dapat melakukan bisnisnya secara online, sehingga mereka tidak kehilangan peluang untuk menjaga pendapatan dan omzet usaha. Kemampuan untuk beradaptasi cepat dengan situasi inilah yang menjadi salah satu competitive advantage kami untuk dapat terus memelihara keberlangsungan bisnis di masa pandemi,” ujar Nila.

Dukungan finansial juga dilancarkan Gojek ke mitra. Pendanaan tersebut berasal dari tiga sumber. Co-CEO dan jajaran manajemen senior Gojek akan mendonasikan 25% dari gaji tahunan mereka selama 12 bulan ke depan, anggaran kenaikan gaji tahunan seluruh karyawan Gojek akan dialihkan untuk dana bantuan, dan pembentukan yayasan untuk membantu pihak lain memberikan donasi, termasuk mitra korporat Gojek.

Dalam pernyataan bersamanya, Co-CEO Gojek Andre Soelistyo dan Kevin Aluwi mengatakan, “Dana ini akan mendukung mitra pengemudi yang merupakan urat nadi bisnis kami dan telah menjadi bagian vital dari kehidupan masyarakat yang saat ini mengalami keterbatasan ruang gerak. Yang jelas adalah bahwa setiap perusahaan punya tanggung jawab untuk memberikan dukungan sebisa mungkin dan ini adalah sesuatu yang bisa kami lakukan untuk membantu mitra kami melalui periode sulit ini.”

Lebih lanjut, Gojek dan Bank BRI meluncurkan fasilitas pinjaman bunga ringan bagi mitra GoRide, GoCar, dan merchant GoFood. Mitra Gojek yang mendaftar dan memenuhi persyaratan BRI berpotensi mendapatkan fasilitas pinjaman Rp5-20 juta.

Inovasi baru layanan Seekmi

Sementara itu, platform Seekmi mencoba memperluas layanan yang demi mengakomodir kebutuhan konsumennya. Menurut CEO Seekmi Clarissa Leung, sebagian besar bisnis di Indonesia dan seluruh dunia telah mengalami pelambatan akibat krisis. Hal terbaik dari bisnis Seekmi adalah dapat dengan mudah mengubah posisi.

“Sebagai contoh, kami telah dapat menggunakan kembali tenaga pembersih dan memanfaatkan keahlian mereka yang sudah ada, dengan beberapa pelatihan tambahan, untuk menyediakan layanan pembersihan desinfeksi. Kami juga mampu menyediakan pekerjaan bagi teknisi kami untuk membantu membangun dan merakit furnitur, area yang berkembang sebagai efek dari aturan Kerja Dari Rumah. Platform teknologi kami sangat kuat sehingga dapat mengelola segala jenis tenaga kerja ‘kerah biru’ dan mudah beradaptasi dengan situasi yang berbeda,” kata Clarissa.

Pasca pandemi, Clarissa melihat layanan yang dihadirkan perusahaannya akan mengalami adopsi teknologi lebih cepat dari sebelumnya. Kenyataanya rumah tangga dan bisnis tidak lagi dapat berfungsi dengan cara yang sama seperti sebelumnya.

“Kami juga menjajaki kemitraan dengan perusahaan pemberi pinjaman untuk memberikan pinjaman kepada teknisi dan petugas kebersihan kami,” kata Clarissa.

Kampanye #KitaVScorona Grab Indonesia

Dengan kebijakan untuk tetap berada di rumah dalam rangka mengurangi penyebaran virus Covid-19, banyak UKM yang merasakan dampak terhadap mata pencaharian mereka. Digitalisasi dapat membantu mereka. Langkah tersebut dipilih Grab untuk membantu bisnis kecil dan tradisional untuk beradaptasi ke tren baru ini, Perusahaan mencoba membantu mereka mempertahankan pendapatan, bahkan dengan berbagai pembatasan.

Grab mengklaim, selama pandemi, layanan bisnis pengantaran memiliki peningkatan, termasuk layanan pengantaran makanan GrabFood, layanan pengantaran GrabExpress, layanan pembelian barang GrabMart, layanan GrabFresh yang didukung HappyFresh, dan layanan concierge on-demand access terbaru GrabAssistant.

“Sebagai aplikasi serba bisa, Grab percaya pada teknologi untuk kebaikan (tech for good) untuk menciptakan dampak sosial positif baik bagi setiap mitra kami, seperti mitra pengemudi, mitra merchant, mitra pengantaran, dan juga pelanggan kami. Oleh karena itu, Grab selalu berusaha untuk menciptakan peluang ekonomi dalam skala besar, menciptakan inklusi keuangan bagi yang kurang terlayani, serta memungkinkan akses ke layanan sehari-hari yang lebih aman dan berkualitas tinggi,” kata Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi kepada DailySocial.

Serupa dengan Gojek, Grab Indonesia dan Bank BRI berkolaborasi meluncurkan fasilitas pinjaman bunga ringan untuk mitra pengemudi Grab, mitra merchant GrabFood, dan mitra GrabKios. Pinjaman ini bertujuan meringankan beban finansial mitra pengemudi yang terkena dampak. Selain itu, penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) diharapkan membantu merchant GrabFood dan mitra GrabKios untuk mendapatkan bantuan finansial yang mereka butuhkan untuk mengatasi tantangan selama pandemi ini.

“Saat ini kami sedang melakukan sosialisasi bagi mitra pengemudi yang berkesempatan mendapatkan fasilitas pinjaman ini. Mitra pengemudi yang bisa mendapatkan pinjaman ini adalah mitra yang produktif dan aktif serta telah menjadi mitra pengemudi Grab selama beberapa tahun. Selain itu mitra yang bersangkutan harus memiliki performa yang baik termasuk jumlah pendapatan rata-rata tertentu,” kata Neneng.

Masa depan layanan sharing economy

Istilah new normal nampaknya bakal berpengaruh ke platform sharing economy seperti Gojek, Seekmi, dan Grab. Tidak hanya dalam hal pendekatan ke target pelanggan, tetapi juga pendekatan perusahaan ke mitra pengemudi dan merchant. Penggunaan pembayaran nontunai menjadi lebih umum dan penerapan teknologi diharapkan bisa memberikan implementasi situasi baru yang lebih efisien dan cepat.

Usai pandemi, masyarakat akan lebih mementingkan faktor kesehatan dan kebersihan. Pelayanan industri digital berbasiskan sharing economy juga akan lebih selektif lagi memilih mitra.

“Bisnis mereka akan kembali menggeliat dengan catatan tersebut,” kata Huda.

Gojek Xcelerate Batch Kedua Pilih 10 Startup Karya Founder Perempuan

Program akselerator besutan Gojek bersama Digitaraya, Gojek Xcelerate, telah sampai di batch kedua dengan tema startup karya founder perempuan dari Indonesia dan Asia Pasifik. Diharapkan peserta terpilih bisa mengakselerasi partisipasi perempuan di industri teknologi.

Kali ini, Digitaraya menggaet Simona Ventures yang merupakan pemodal ventura yang fokus mengembangkan bisnis dan inisiatif membawa misi sosial terkait kesenjangan gender dan pemberdayaan perempuan. Sebelumnya kedua pihak telah berkolaborasi saat menggelar program APAC Women Founders Accelerators pada Maret 2019.

SVP Product Management Gojek Dian Rosanti menjelaskan, Gojek Xcelerate batch kedua fokus melatih startup yang dipimpin perempuan mengenai strategi penting dalam mengembangkan bisnis, menghubungkan mereka dengan pemimpin perempuan sukses dari berbagai industri. Serta memberikan akses jejaring mentor dan investor yang memiliki kesamaan visi.

“Dalam proses pelatihan Gojek Xcelerate, para startup mendapatkan materi komprehensif mengenai strategi product and market fit, growth hacking, fundraising, pitch, training, leadership, dan culture building dari Gojek,” terangnya, Jumat (1/11).

Ada 10 startup terpilih yang telah selesai mengikuti program akselerasi selama satu bulan terakhir. Diisi dengan berbagai pelatihan intensif bersama sejumlah mentor Gojek dan mentor kelas dunia lainnya dari Google, McKinsey & Company, dan UBS.

Peserta dari Indonesia ada e-commerce fesyen Love and Flair dan startup penyedia layanan survei dan riset Populix. Berikutnya Jio Vio dan Pixyvlz (India), Kobe (Singapura), Paynamics dan 1Export (Filipina), Elevait (Tiongkok), PurelyB (Malaysia), dan Event Banana (Thailand).

Hari ini adalah demo day, puncak kegiatan dari seluruh rangkaian acara. Seluruh peserta memiliki kesempatan untuk pitching ke hadapan para investor global yang tertarik dengan ide-ide mereka. Kemungkinan terbesarnya adalah mereka bisa mendapatkan pendanaan, namun bukan dari Gojek.

Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita menambahkan, dalam demo day Gojek membuka exposure kepada para peserta akselerator dengan akses mentor dan investor. Sehingga harapannya mereka bisa mengakselerasi kemampuan pertumbuhan bisnis startup masing-masing.

Dia menegaskan, pertimbangan Gojek untuk merangkul startup dari akselerator yang akan masuk ke dalam ekosistemnya bukan dilihat per batch-nya. Melainkan dari seluruh batch yang bakal diselenggarakan Gojek sampai Maret 2020. Targetnya akan ada dua batch lagi yang segera digelar.

“Kami baru mempertimbangkan mana yang cocok [masuk ke ekosistem] itu dalam satu cycle dulu. Sambil paralel [Xcelerate berlangsung] kita lihat [calon startup] tapi bukan per batch, melainkan satu cycle dari empat batch tersebut,” terang Nila.

Ketimpangan peran perempuan dalam industri teknologi

Mengacu dari hasil riset ILO berjudul “Women in Business and Management: The business case for change” tahun 2019, menemukan lebih 60% responden setuju bahwa inisiatif keragaman gender meningkatkan hasil bisnis dan reputasi. Selain itu, lebih mudah menarik dan mempertahankan karyawan, serta lebih kreatif dan inovatif.

Mirisnya partisipasi perempuan di sektor teknologi masih tergolong sedikit. Sementara ekonomi digital diprediksi akan tumbuh pesat di Indonesia dan Asia Tenggara dalam satu dekade ke depan.

Dilihat dari jumlah startup yang mendaftar pada batch ini juga terlihat sangat timpang dibandingkan batch pertama yang mengambil tema machine learning. Pada batch pertama, startup yang mendaftar ada 1050 startup. Sementara pada batch kedua hanya 86 startup di Asia Pasifik.

Dian menerangkan para founder perempuan di dunia teknologi sering kali menghadapi tantangan dalam mengembangkan startup mereka dibandingkan founder laki-laki. Tidak hanya terkait stigma sosial, tetapi juga kurangnya jejaring dukungan dan akses terbatas pada pendanaan.

Di Gojek, persentase posisi manajer ke atas dari perempuan sekitar 33% dibandingkan laki-laki. Angka ini sedikit lebih tinggi dari rata-rata global yakni 30%. Namun, untuk persentase di product manager dan engineer saja, angkanya cenderung lebih sedikit sekitar 20%.

“Kami percaya bahwa industri teknologi yang lebih beragam secara gender akan mendorong lebih banyak inovasi dan mengakselerasi pertumbuhan sebuah bisnis,” tutup Dian.