Klinik Pintar Tutup Pendanaan Seri A1 Rp78 Miliar Dipimpin Altara Ventures

Startup healthtech Klinik Pintar menutup putaran pendanaan seri A1 senilai $5 juta (sekitar Rp78 miliar) dipimpin oleh Altara Ventures, serta partisipasi dari Golden Gate Ventures, Venturra, Skystar Ventures, dan investor strategis asal Jepang di bidang healthcare IT Infocom.

“Dengan pendanaan ini, kami akan mengembangkan produk baru untuk meningkatkan layanan bagi klinik dan jaringan mitra. Kami memilih Altara Ventures untuk memimpin putaran ini dan bergabung dalam jajaran eksekutif kami karena keahlian mereka pada investasi di sektor kesehatan. Ini melengkapi jajaran investor dan keahlian operasional kami yang sudah ada,” tutur Co-Founder & CEO Klinik Pintar Harya Bimo.

Klinik Pintar mengembangkan solusi untuk membantu pemilik klinik dalam mendigitalkan proses bisnis dan layanan sehingga dapat terintegrasi dan terhubung dengan ekosistem kesehatan lain. Untuk klinik yang dimilikinya, layanan Klinik Pintar mencakup konsultasi dokter, obat-obatan, laboratorium, hingga vaksinasi yang dapat diakses secara offline dan online.

Per November 2023, Klinik Pintar mengoperasikan 22 klinik, dan jaringan 1.500 mitra klinik di seluruh Indonesia yang telah menggunakan solusinya. Klaimnya, teknologi Klinik Pintar telah digunakan 5% dari total klinik yang ada di Indonesia, atau setara peningkatan lebih dari tiga kali lipat sejak awal 2023.

CEO Infocom Yoichiro Hamazaki mengatakan, “Kami bermitra dengan Klinik Pintar untuk berkontribusi lebih lanjut terhadap peningkatan layanan kesehatan Indonesia. Platform mereka memungkinkan fasilitas kesehatan setempat untuk dapat mengelola operasi dan keselamatan pasien lebih baik. Dengan kerja sama ini, kami dapat mengintegrasikan solusi yang dapat mendukung keputusan klinis kami ke platform Klinik Pintar.”

Meningkatkan skala operasi

Dalam keterangan resminya, Klinik Pintar mengungkap sedang menyiapkan klinik spesialis neurologi kedua di Jabodetabek pada tahun ini. “Kami akan memperluas jangkauan jaringan dan penawaran produk, juga memulai masuk ke segmen korporasi dengan membangun lebih dari sepuluh klinik on-site bersama produsen otomotif terkemuka di Indonesia.”

Klinik Pintar mengembangkan Aplikasi Klinik Pintar (AKP) yang terhubung dengan platform Satu Sehat milik Kementerian Kesehatan, BPJS, dan jaringan asuransi swasta. Aplikasi ini disebut membantu para klinik untuk mematuhi aturan terbaru pemerintah terkait kewajiban integrasi dengan Satu Sehat.

AKP menawarkan sistem pengadaan untuk pemesanan obat, bahan habis pakai, dan peralatan medis yang terintegrasi dengan sistem inventaris klinik. Fitur ini dapat membantu klinik mencapai margin operasi yang lebih berkelanjutan.

Maka itu, digitalisasi klinik dipilih sebagai pendekatan utama Klinik Pintar usai pivot pada 2020. Menurut Bimo saat itu, klinik lebih menyentuh segmen akar rumput mengingat jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan rumah sakit (RS) di Indonesia. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, Indonesia memiliki sebanyak 176.110 jumlah dokter. Namun, angka tersebut belum memenuhi standar ideal WHO yang mematok rasio 1 dokter per 1.000 penduduk. Rasio dokter di Indonesia baru 0,63 dokter per 1.000 penduduk. Di Singapura, rasio dokternya berada di level 2,5, dan 1-1,5 dokter untuk rasio dokter di negara-negara berkembang lainnya.

[Video] Misi Skystar Ventures Membangun Ekosistem Startup lewat Mahasiswa

Skystar Ventures adalah inkubator startup UMN yang memiliki fokus pengembangan sumber daya manusia, startup tahap awal, dan startup tahap berkembang sehingga memberi nilai tambah.

Di video ini, DailySocial bersama Octa Ramayana dari Skystar Ventures membahas cara dan strategi perusahaan dalam mengembangkan ekosistem startup, khususnya di kalangan mahasiswa.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Menyimak Minat dan Transparansi Venture Capital Berinvestasi Saat Pandemi

Pandemi yang berkepanjangan telah meruntuhkan beberapa startup secara global. Berubahnya gaya hidup hingga kebiasaan, menjadikan startup yang memiliki model bisnis tertentu, harus gulung tikar karena tidak bisa mempertahankan bisnis dan mendapatkan revenue.

Hal menarik yang kemudian menjadi perhatian adalah, runway timeline yang menjadi faktor penentu keberlangsungan startup dan bagaimana startup bisa beradaptasi dengan realitas baru yaitu ‘new normal’.

Berikut adalah rangkuman startup clinic yang menghadirkan Kolibra Capital, Angin, dan Skystar Capital membahas peluang investasi dan potensi bagi startup untuk bisa survive di saat pandemi.

Inisiatif dan inovasi baru founder

Ketika pendapatan bisa didapatkan dan traksi terus tumbuh meskipun pandemi berlangsung, bisa dipastikan masa depan startup akan menjadi positif. Salah satu cara yang bisa dilakukan startup untuk bisa mencapai semua hal tersebut adalah, mengubah mindset dan model bisnis yang sebelumnya mengandalkan faktor offline atau ketergantungan dengan pengguna secara langsung.

Menurut Teezar Firmansyah Partner dari Kolibra Capital, startup bisa memberikan respons positif saat pandemi berlangsung dan bisa beradaptasi dengan kondisi saat ini, tentunya adalah startup yang bisa survive saat pandemi dan ketika pandemi pada akhirnya usai.

Secara khusus Kolibra yang fokus kepada fundamental dan generate revenue bukan kepada GMV, melihat saat ini menjadi saat yang krusial bagi startup untuk menunjukkan jati diri mereka. Apakah mereka bisa bersaing dan menawarkan inovasi baru kepada pelanggan.

“Salah satu portofolio yang kami miliki yaitu Travelio telah menunjukkan pentingnya untuk bisa beradaptasi. Sebagai platform yang mengandalkan pelanggan dengan sumber daya yang dimiliki, Travelio mampu melakukan inovasi dengan melakukan kolaborasi yang relevan dan menawarkan layanan baru yang dibutuhkan oleh pelanggan,” kata Teezar.

Pentingnya bagi para founder untuk bisa beradaptasi juga menjadi perhatian khusus dan sangat dianjurkan oleh Michelle Irawan dari Skystar Capital kepada startup yang masuk dalam portofolio mereka. Menjadi hal yang menarik ketika para pendiri startup bisa tampil dengan inovasi dan produk hingga layanan baru kepada pelanggan.

“Bagi kami yang sudah dilakukan oleh Sweet Escape bisa menjadi contoh yang positif. Bisnis mereka yang sangat bergantung kepada traveller tentunya mengalami impact secara langsung. Namun dengan pilihan layanan yang baru dan memanfaatkan momentum social distancing, mereka mampu menciptakan layanan baru untuk pelanggan saat pandemi berlangsung,” kata Michelle.

Sementara itu bagi David Soukhasing Managing Director Angin, portofolio mereka yang menyasar bisnis kuliner, mulai mengadopsi penjualan secara online dan memanfaatkan kegiatan digital marketing. Meskipun tidak menghasilkan pendapatan yang cukup jika dibarengi dengan gerai offline yang dimiliki, paling tidak bisa mempertahankan bisnis agar terus berjalan.

“Di Burgreens saat ini fokus mereka lebih kepada penjualan secara online memanfaatkan online delivery yang ditawarkan oleh pihak terkait. Di saat bersamaan promosi secara digital juga makin gencar dilakukan untuk menarik perhatian pelanggan melakukan transaksi secara online,” kata David.

Runway startup dan minat investor

Di dunia startup, runway atau landasan pacu adalah berapa lama startup dapat bertahan jika pendapatan dan pengeluaran tetap konstan. Ketika startup mengumpulkan uang, mereka berupaya untuk meningkatkan runway.

Runway ini bisa menentukan keberlangsungan perusahaan berdasarkan uang yang mereka simpan usai penggalangan dana. Menurut investor, timeline runway terbaik bagi startup agar bisa survive adalah untuk satu hingga dua tahun. Semakin panjang runway yang dimiiki, semakin besar potensi startup untuk bertahan.

Meskipun tidak semua startup bisa menerapkan cara ini, paling tidak mereka bisa melakukan penghematan dan memangkas pengeluaran yang dirasakan tidak terlalu penting dalam anggaran mereka. Pada akhirnya ‘cash is king’ menjadi hal yang krusial bagi startup untuk bisa bertahan dengan dana yang dimiliki saat ini, sambil mengantongi pendapatan meskipun jumlahnya mengalami penurunan akibat pandemi.

Cara cerdas yang bisa dilakukan oleh startup untuk bisa memperpanjang usia runway adalah, kesepakatan di awal dengan para investor saat melakukan penggalangan dana. Apakah ketika sebelum pandemi berlangsung atau saat pandemi, pastikan kesepakatan terjadi agar startup bisa bertahan.

“Saya juga menyarankan kepada para investor untuk lebih transparan kepada startup. Apakah mereka memang berniat untuk melakukan penggalangan dana atau tidak. Karena masih banyak investor yang kurang transparan atas niat mereka untuk berinvestasi saat ini,” kata David.

Meskipun kesempatan untuk mendapatkan dana segar dari investor saat ini cukup kecil peluangnya, namun tidak menjadikan venture capital enggan untuk memberikan investasi. Namun tidak dipungkiri, proses kurasi yang ketat dan pemilihan startup yang relevan menjadi faktor pertimbangan para investor.

“Bagi kami di Kolibra Capital tidak pernah memilih kategori industri startup yang menjadi favorit kami. Semua startup menjadi perhatian dari kami asal mereka mengusung konsep generate revenue bukan kepada GMV,” kata Teezar.

Dekoruma Secures Investor’s Fund on Pre Series C

Dekoruma’s interior design and construction services platform announced pre-series C funding with an undisclosed value. The main investors involved in this round included InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundamental, OCBC NISP Ventura, and Skystar Ventures. Also participated investors from the previous round.

Previously, Dekoruma has received series A funding from Skystar Capital, Beenext, and Convergence Ventures. Later, in the series B round, they booked a million-dollar fund led by Global Digital Niaga (Blibli) and AddVentures.

Dekoruma’s CEO Dimas Harry Priawan said in the release, fresh funds will be used to further invest in the development of SOMA products, as an interior design and project management application that connects designers, suppliers, contractors, and customers. Currently, this application has been used in more than three thousand interior design projects.

Dekoruma noted as the work from home situation ongoing, furniture and home furnishing purchases increased. More people are likely to make their living spaces more comfortable and productive as seen by increasing sales in various categories from home furnishings to kitchen utensils.

Furthermore, the company also claims there are currently no Dekoruma’s projects that are affected by social distance policy, because SOMA allows design and project management discussion between customers and interior design partners to be held virtually.

The developed technology enables Dekoruma to grow efficiently in 2019. Dekoruma claims to have achieved a positive economic unit for its retail business lines and interior design lines and is preparing to achieve positive EBITDA by early 2021.

At the end of 2019, Dekoruma revealed some of its achievements, the platform currently has around one million active users and 500 retail merchants. They also have an Experience Center and the number is to grow by this year, particularly in the Greater Jakarta area.

Although 70% of its focus currently lies on B2C, Dekoruma opens for partnerships with home development or property companies in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Dekoruma Kantongi Pendanaan Pra-Seri C dari Sejumlah Investor

Platform jasa desain interior dan konstruksi Dekoruma mengumumkan pendanaan tahapan pra-seri C dengan nilai tidak disebutkan. Investor utama yang terlibat dalam pendanaan kali ini di antaranya InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundamental, OCBC NISP Ventura, dan Skystar Ventures. Investor dalam putaran sebelumnya juga turut berpartisipasi.

Sebelumnya Dekoruma telah mendapatkan pendanaan seri A dari Skystar Capital, Beenext, dan Convergence Ventures. Kemduian di pada putaran seri B, mereka bukukan dana jutaan dolar yang dipimpin Global Digital Niaga (Blibli) dan AddVentures.

Dalam rilisnya CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan mengungkapkan, dana segar akan digunakan untuk berinvestasi lebih lanjut dalam pengembangan produk SOMA, yang merupakan desain interior dan aplikasi manajemen proyek yang menghubungkan desainer, pemasok, kontraktor, dan pelanggan secara mudah. Hingga saat ini, aplikasi ini telah digunakan di lebih dari tiga ribu proyek desain interior.

Dekoruma mencatat sepanjang aturan bekerja di rumah berlangsung, pembelian furnitur dan keperluan rumah meningkat. Terlihat lebih banyak orang yang berusaha membuat ruang hidup mereka lebih nyaman dan produktif dengan peningkatan penjualan di berbagai kategori dari perabot rumah tangga hingga peralatan dapur.

Kemudian perusahaan juga mengklaim, saat ini tidak ada proyek desain interior Dekoruma yang dipengaruhi oleh kebijakan jarak sosial, karena SOMA memungkinkan diskusi serta desain dan manajemen proyek antara pelanggan dan mitra desain interior bisa dilakukan secara virtual.

Teknologi yang telah dibangun memungkinkan Dekoruma untuk tumbuh secara efisien pada tahun 2019. Dekoruma mengklaim telah mencapai unit ekonomi positif untuk lini bisnis ritel dan lini desain interior, dan tengah bersiap untuk mencapai EBITDA positif pada awal 2021.

Akhir tahun 2019 lalu Dekoruma menyampaikan sejumlah pencapaiannya, saat ini platformnya telah memiliki sekitar satu juta pengguna aktif dan 500 merchant ritel. Mereka juga telah memiliki Experience Center dan rencananya tahun ini jumlahnya akan ditambah di area Jabodetabek.

Meskipun saat ini fokusnya 70% masih kepada B2C, namun Dekoruma juga terus membuka kemitraan dengan pengembangan rumah atau perusahaan properti di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Etobee Pivot Jadi Finfleet, Sediakan “Platform Logistik” Khusus Layanan Finansial

Di Indonesia, tingkat ketimpangan antara masyarakat underbanked dan underserved dengan mereka yang sudah terfasilitasi dengan layanan finansial masih tinggi. Isu ini belum tentu bisa diselesaikan dengan kehadiran internet. Bagi masyarakat tingkat bawah, yang masih awam dengan produk keuangan, butuh agen untuk menjelaskan semua.

Di sisi lain, perusahaan jasa keuangan punya tantangan saat ekspansi di berbagai pelosok. Bagaimana proses onboarding konsumen yang efisien, namun tetap sesuai ketentuan. Peluang ini akhirnya menginspirasi Finfleet untuk hadir.

“Finfleet adalah gabungan dari startup logistik dengan layanan branchless banking. Selama ini masing-masing jual produk keuangan mereka, padahal menjualnya ini tidak mudah. Misi kami adalah edukasi konsumen, sekaligus meningkatkan taraf hidup agen,” terang Co-Founder & CEO Finfleet Brata Rafly dalam Fintech Media Clinic by Aftech, pekan lalu.

Sebenarnya, Finfleet adalah pivot dari Etobee, startup marketplace logistik untuk pengiriman last mile. Startup ini sudah berdiri sejak 2015, pivot dan rebrand dilakukan Februari 2018. Struktur manajemen sepenuhnya berubah. Selain Brata, Donny Swandono turut bergabung sebagai Co-Founder & Presiden Direktur. Keduanya pernah berkarier bersama di Dimo.

“Untuk bersaing di logistik ini harus berani bakar duit, sementara kita ingin buat profit. Akhirnya tes market dengan buat model bisnis last mile untuk financial services, resmi mulainya di Februari 2018.”

Brata menyebut, Finfleet telah mengantongi pendanaan seri A pada awal tahun ini dari Kejora Ventures, XL Axiata, Gobi Ventures, Skystar Ventures, dan Asian Trust Capital. Investasi yang didapat mencapai $3,5 juta (hampir Rp50 miliar).

Model bisnis Finfleet

Bahasa termudah untuk memahami Finfleet adalah agen mobile untuk Laku Pandai. Program dari OJK yang diarahkan untuk penyediaan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya melalui kerja sama dengan pihak lain (agen bank), dan didukung dengan penggunaan teknologi.

Finfleet menempatkan diri startup hybrid yang bergerak di logistik dengan layanan khusus jasa keuangan, dengan model bisnis B2B2C. Jenis layanannya, mulai dari verifikasi konsumen, pengiriman produk keuangan seperti kartu debit dan kredit, pembayaran dan pick up (dokumen, COD, mobile ATM) dan akuisisi konsumen (jual produk keuangan).

Agar terhubung dengan perusahaan jasa keuangan, Finfleet membangun infrastruktur layanannya yang terdiri atas platform aplikasi, API, agen, dan perangkat keras. Perusahaan memiliki agen sendiri yang sudah dilatih sebelum terjun ke lapangan.

Brata menjelaskan keagenan di Finfleet sifatnya bukan pekerja lepas, melainkan tetap. Ada gaji bulanan yang pasti mereka dapat dan tambahan komisi dari setiap pekerjaan yang berhasil diselesaikan.

“Sistem kami adalah hub, jadinya setiap agen harus datang ke kantor tiap pagi untuk melihat apa saja tugas mereka pada hari itu. Ini sifatnya mengikat, beda dengan mitra pengemudi di Gojek atau Grab.”

Agen memiliki jam kerja pagi sampai sore dan menyelesaikan sejumlah tugas pada satu hari itu dari satu bank. Misalnya, bank A meminta verifikasi konsumen, maka pada mereka memasukkan tugas tersebut ke dalam sistem yang terhubung dengan aplikasi agen.

Saat sore, agen bisa mendapatkan komisi tambahan dengan menjual produk keuangan kepada calon nasabah. Namun ini baru bisa diberikan buat agen yang paham dengan produk keuangan itu sendiri.

Dia mengklaim dengan model bisnis ini, perusahaan memperoleh keuntungan bersih antara 15%-20%. Agen bisa mengantongi pendapatan naik antara dua sampai tiga kali lipat per bulannya. Revenue Finfleet dibandingkan tahun pertama beroperasi, naik 100%.

Disebutkan, Finfleet telah bermitra dengan 12 perusahaan jasa keuangan, di antaranya DBS, HSBC, BNI, KEB Hana Bank, OCBC NISP, Bank Sinarmas, UOB, Bank Danamon, BTPN, CIMB Niaga, Ovo, dan Bank Permata. Kebanyakan adalah perusahaan asing terbatas dalam persebaran kantor cabang, namun tetap ingin bersaing dengan bank lokal.

“Risiko masuk ke daerah baru itu besar, makanya mereka lebih baik tes pasar sebelum terjun besar-besaran karena kita ini tinggal plug and play saja.”

Salah satu pencapaian terbesarnya adalah bantu DBS dalam verifikasi nasabah baru untuk produk Digibank. Sebanyak 500 ribu rekening baru berhasil dibuat dalam delapan bulan, tanpa DBS harus buka cabang sama sekali. Disebutkan untuk buka satu kantor cabang, bank harus berinvestasi sampai Rp1 miliar.

Mitra lainnya datang dari perusahaan multifinance dan sejenisnya (Adira Finance, Shopintar, Alodokter, dan Clipan Finance), p2p lending (CekAja, Modalku, Investree), telekomunikasi (XL Axiata), dan e-commerce (Blibli, Sephora, Mapemall, iLotte, Laku6, dan Tamasia).

Rencana perusahaan

Brata menyebut Finfleet memiliki 600 agen yang tersebar di sekitar Jawa dan Medan. Menariknya, 60% bisnis terbesarnya ada di Jabodetabek. Ini cukup ironis, melihat kondisi masih banyak masyarakat yang malas datang ke bank, meski penetrasi kehadiran bank sudah cukup kuat.

Tahun depan, dia menargetkan Finfleet bisa hadir di kota-kota besar di seluruh Indonesia. “Awalnya kita mau make sure dulu saat ekspansi harus sudah ada potensi bisnis di sana. Tapi ke depannya kita mau langsung buka, model bisnis kita ini hub bukan platform jadi harus ada investasi yang keluar.”

Untuk dukung rencana tersebut, Finfleet akan menggalang pendanaan seri B pada tahun depan. Di luar ekspansi, perusahaan akan mengembangkan pusat data dengan teknologi AI agar dapat lebih baik memberikan rekomendasi produk keuangan kepada calon nasabah.

Bicara tentang regulasi, Finfleet sedang memroses surat tanda terdaftar dari OJK sebagai supporting fintech, mengikuti aturan sebagai IKD. Di satu sisi, perusahaan sudah mengantongi lisensi pos untuk layanan kurir dan pengiriman barang dan sertifikat ISO 27001 untuk jamin keamanan sistem IT.

Melihat Besarnya Peluang Kebutuhan Teknisi Data, Skystar Ventures Lahirkan DQLab

Salah satu tren digital yang dibawa revolusi industri 4.0 adalah optimasi data — dalam artian mencoba memanfaatkan data yang ada di bisnis untuk dikonversi menjadi pengetahuan. Tak heran jika saat ini hampir setiap perusahaan membutuhkan tim data, baik dari sisi analis, teknisi, hingga pemrogram. Melihat peluang tersebut, DQLab hadir memberikan wadah berupa kanal pembelajaran soal data. Program-programnya memberikan pengajaran komprehensif tentang pengelolaan data dengan studi kasus industri.

Untuk mengetahui lebih dalam tentang program DQLab, DailySocial telah berbincang Yovita Surianto selaku Program Director. Ia mendefinisikan DQLab sebagai program pembelajaran data science yang dikemas dengan metode praktik dan aplikatif berbasis proyek. Pendekatan tersebut diambil untuk membawa pengalaman dan kompleksitas riil terkait pengolahan data di perusahaan, khususnya di Indonesia. Program ini diinisiasi Universitas Multimedia Nusantara (dalam hal ini melalui Skystar Ventures) dan PHI-Integration.

“Visi kami menciptakan talenta data yang dapat berkontribusi secara tepat bagi perusahaan tempat mereka bekerja. Dengan terciptanya banyak talenta data yang dapat memberikan impact, akan menciptakan ekosistem data yang kuat untuk menuju Indonesia yang lebih data-driven,” terang Yovita.

Kebutuhan talenta data masih sangat besar

Mengutip hasil penelitian Microsoft dan IDC yang diterbitkan awal 2018 ini, dari 79% perusahaan di Indonesia yang tengah menjalankan proses transformasi digital, hanya 7% memiliki strategi digital secara menyeluruh. Dalam tulisan sebelumnya, DailySocial juga pernah membahas tentang transformasi digital, dua aspek berkaitan langsung dengan data, yakni data-driven strategy dan data analytics. Industri 4.0 yang mengarah ke digitalisasi dan otomasi, menuntut pelaku industri untuk cepat beradaptasi dengan perubahan.

“Banyaknya program edukasi teknis di Indonesia untuk membangun talenta transformasi digital adalah inisiatif yang tepat. Edukasi di bidang data science yang terstruktur dan tepat dapat membantu mengoptimalkan proses pengolahan dan analisis data. Kami percaya, exposure ke beragam studi kasus dan penanganan data akan membantu pemahaman para praktisi data, bukan hanya dalam penggunaan tools melainkan mengasah problem solving dan analytical skills,” lanjut Yovita.

Kondisinya saat ini perusahaan memiliki banyak sekali data, seiring dengan komputerisasi di berbagai segmen. Sayangnya, menurut Yovita, hingga saat ini masih banyak sekali permasalahan pada data sehingga belum layak untuk diolah menjadi pengetahuan yang berguna dan menyebabkan hasil analisis menjadi kurang terpercaya. Isu-isu seperti struktur hingga redudansi data masih banyak dijumpai. Sementara di tengah kompetisi global, perusahaan perlu menjadi tangkas dan memutuskan sesuatu dengan cepat, tentu tidak hanya berdasarkan asumsi, melainkan analisis yang terukur.

“Pengolahan data yang tepat dapat memunculkan insight menarik untuk membantu pengambilan keputusan bagi bisnis. Contoh studi kasusnya: untuk menentukan paket produk yang tepat dan berdampak pada penjualan, melakukan proses segmentasi konsumen untuk membantu aktivitas pemasaran yang tertarget, menentukan variabel untuk memprediksi credit scoring, dan masih banyak lainnya,” jelas Yovita.

DQLab dengan pendekatan berbasis komunitas

DQLab
Salah satu kegiatan komunitas di DQLab / DQLab

Saat ini sudah banyak program edukasi yang secara khusus mengajarkan tentang data science. Selain DQLab, ada juga Algoritma yang secara khusus menyelenggarakan workshop terpadu tentang data science. Pendekatan berbasis komunitas dinilai relevan oleh DQLab. Dengan pendekatan tersebut, DQLab menghubungkan berbagai pihak, mulai dari industri, praktisi, dan pengajar; untuk saling mengisi satu dengan lainnya. PHI-Integration sebagai mitra strategis DQLab adalah konsultan data di Indonesia. PHI-Integration fokus ke pengembangan konten, dan platform.

“Program DQLab terbuka untuk umum. Saat ini kami bekerja sama dengan beberapa perusahaan untuk memberikan rekomendasi data talents yang memenuhi kriteria. Untuk memberikan pemahaman proses dan teknik pengolahan data secara tepat, secara berkala kami melakukan sesi bedah kasus mengundang pakar data di industri,” tutup Yovita.

Baca juga seri tulisan tentang data science dari DailySocial:

  1. Bagian 1 – Dasar Data Science
  2. Bagian 2 – Big Data
  3. Bagian 3 – Business Intelligence
  4. Bagian 4 – Machine Learning

Daftar Program Inkubator dan Akselerator Startup Indonesia

Program akselerator dan inkubator memang sangat lekat dengan dunia startup. Kendati keduanya memiliki misi yang sama –yakni memperlancar laju startup—namun terdapat perbedaan antara akselerator dan inkubator. Secara umum perbedaan akselerator dan inkubator ialah pada jangkauannya.

Akselerator mencoba mempercepat atau mengakselerasi laju bisnis startup yang sudah berjalan. Bisanya dengan memberikan investasi, pendampingan ataupun konsultasi. Sedangkan inkubator lebih kepada proses pembinaan pada startup di tahap awal, mulai dari mematangkan model bisnis, konsep produk hingga pangsa pasar. Jadi dapat dikatakan bahwa untuk sebuah startup prosesnya adalah membentuk tim, mengikuti program inkubator lalu mematangkan bisnis melalui program akselerator.

Di Indonesia, saat ini sudah mulai banyak program inkubator dan akselerator startup. Mulai yang dikelola oleh perusahaan modal ventura, korporasi hingga pemerintah. Berikut daftar program inkubator dan akselerator yang dapat diikuti oleh startup Indonesia. Untuk program inkubator ditandai dengan (i), sedangkan program akselerator ditandai dengan (a).

1000 Startup (i)

Diinisiasi oleh Kominfo dan Kibar, program inkubasi ini terbagi menjadi lima fase, yakni Ignition penanaman pola pikir kewirausahaan, Workshop pembekalan keahlian dasar startup, Hacksprint pembentukan tim untuk membuat prototipe, Bootcamp pembinaan bersama mentor, dan Incubation pembinaan lanjutan hingga siap diluncurkan. Ditargetkan tahun 2020 akan tercetak sebanyak 1000 startup yang menjadi solusi atas berbagai masalah dengan memanfaatkan teknologi digital.

Diadakan di berbagai kota, kegiatan ini menjadi sebuah jembatan bagi individu yang berminat mengembangkan karier di dunia kewirausahaan digital. Pasalnya jika dirunut dari awal hingga akhir, kegiatan yang ada dalam Gerakan Nasional 1000 Startup ini memang mempersiapkan talenta dari nol, hingga siap untuk menjadi bagian dari ekosistem startup digital di tanah air. Hingga saat ini program 1000 startup masih terus berjalan dan membuka kesempatan kepada semua anak muda di Indonesia.

Alpha Startup (a)

Program ini akselerasi ini merupakan hasil kemitraan strategis antara 1337 (Leet) Ventures, Convergence Ventures, Baidu Indonesia, dan Gobi Partners. Batch pertama program ini sudah dimulai sejak pertengahan tahun 2016 lalu. Tidak ada spesifikasi khusus untuk kategori startup yang dapat masuk ke program ini. Alpha Startup juga memberikan fasilitas berupa program bimbingan dan beragam fasilitas, termasuk ruang bekerja, fasilitas pendukung produktivitas dari AWS, dan juga suntikan investasi senilai Rp 325 juta.

Namun sejatinya jika melihat materi yang disampaikan, Alpha Startup ini masuk dalam skala pre-accelerator. Mereka berada di antara startup yang sudah memiliki ide namun sedang tahap validasi. Proses pembinaan di dalamnya membantu startup melakukan validasi, terkait produk dan pangsa pasar. Bahkan salah satu outcome yang dihasilkan dari program ini ialah pematangan MVP (Minimum Viable Product).

Bekraf for Pre-Startup (i)

Bekraf for Pre-Startup (BEKUP) adalah program yang dirancang khusus untuk mematangkan integrasi ekosistem startup dari hulu sampai ke hilir, yaitu pematangan calon-calon sumber daya manusia yang akan membangun startup di tanah air. Kegiatannya berupa workshop, baik terkait manajemen bisnis maupun teknis pengembangan produk. Program BEKUP lebih cocok ditempatkan pada fase pre-incubation, pasalnya kegiatan ini memfokuskan pada pembinaan individu dari 0, hingga pembentukan tim yang siap untuk masuk tahap inkubasi awal.

Tidak melepas begitu saja startup pemula yang menjadi lulusan di program ini, melainkan BEKUP menghubungkannya dengan kanal inkubasi lanjutan melalui koneksi Bekraf. Termasuk membawa startup pemula yang dilahirkan ke dalam program inkubator dan akselerator lain yang telah bekerja sama dengan Bekraf.

BNV Labs (i)

BNV Labs didirikan oleh Bank Bukopin bekerja sama dengan Kibar. Program tersebut terfokus kepada tiga elemen utama, yaitu pembentukan tim terbaik, melancarkan program inkubasi dan memfasilitasi co-working space yang berfungsi sebagai wadah bagi pelaku startup berinovasi. Fokusnya ialah untuk startup pada sektor finansial (fintech). Beberapa kegiatan pengembangan startup termasuk menghubungkan peserta terhadap ekosistem kewirausahaan digital, membuka akses pasar, dukungan bisnis, pembinaan, juga pengembangan kapasitas pelaku di dalamnya.

Founder Institute (a)

Masuk ke dalam kategori pre-accelerator, program ini sebenarnya bersifat global, namun demikian sudah ada di Indonesia dalam Jakarta Founder Institute (JFI). Founder Institute menyajikan program pelatihan yang berjalan selama empat bulan per batch-nya. Sesuai namanya, program ini melatih founder baru untuk membentuk generasi terbaik di perusahaan. Program ini memfasilitasi sesi mingguan yang diisi dengan mentor berpengalaman di bidangnya untuk membantu para founder mengembangkan dan meluncurkan bisnis mereka.

Di Indonesia, JFI didukung oleh berbagai mitra, mulai dari Indosat Ooredoo, Baidu, Kejora, Mountain Partners, Bakti Barito, dan lainnya. Beberapa kurikulum yang diajarkan termasuk bagaimana memvalidasi visi dan ide, riset dan pengembangan konsumen, penentuan model bisnis, pengembangan produk, branding hingga pendanaan.

Global Entrepreneurship Program Indonesia (i)

Dimulai sejak awal tahun 2011, Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI) telah didukung oleh pemimpin bisnis terkemuka di Indonesia. Program ini memiliki visi untuk mengkatalisis strategi kewirausahaan Indonesia dengan bekerja sama dengan program yang ada dan menghubungkan calon pengusaha Indonesia dengan perkembangan global dan prospek investasi.

GEPI juga merupakan bagian dari inisiatif global yang lebih luas yang disebut Global Entrepreneurship Program (GEP), yang tumbuh dari sebuah inisiatif Presiden Obama dan sekarang menjadi program inti di Departemen Luar Negeri AS, untuk mempromosikan kewirausahaan sebagai sebuah pilar utama pembangunan ekonomi di antara negara-negara berkembang. Saat ini di Indonesia beberapa mitra strategis dengan beberapa mitra seperti ANGIN.

GnB Accelerator (a)

Ini merupakan program akselerasi kerja sama antara Fenox VC dan Infocom Corporation. Program yang berjalan selama tiga bulan ini menawarkan mentorship, support, training hingga funding. Selama mengikuti program tersebut, setiap startup peserta akan mendapat investasi sekitar Rp666 juta, fasilitas co-working space, serta bimbingan dari para mentor.

Dari sisi materi, GNB Accelerator lebih fokus pada market-fit dan penyiapan tim untuk lebih siap dalam pendanaan. Kendati tidak menyasar kategori spesifik, startup health-tech, e-commerce, on-demand, dan fintech menjadi sasaran utama.

Google Launchpad Accelerator (a)

Sebuah program yang diinisiasi oleh Google dalam rangka membantu startup  terpilih untuk mengakselerasi bisnis dan teknologi mereka. Dengan Launchpad Accelerator, Google berkomitmen untuk terus membina sejumlah startup berbakat, termasuk di Indonesia. Selain Indonesia, Google Launchpad Accelerator juga membuka kesempatan untuk startup di beberapa negara seperti India, Thailand, Vietnam, Malaysia dan Filipina dan beberapa negara di benua lain.

Prosesnya startup yang lolos seleksi akan diterbangkan langsung ke markas Google untuk dibina secara intensif. Selain bootcamp 2 minggu di kantor Google dan program inkubasi yang dilaksanakan selama 6 bulan, para startup (khusus pengembang solusi mobile) juga akan menerima pendanaan bebas ekuitas hingga $50.000. Program Launchpad Accelerator sendiri memang difokuskan untuk negara dengan pertumbuhan startup berpotensi. Program ini menargetkan mampu merangkul 50 startup baru per tahun.

Ideabox (a)

Ideabox merupakan program gabungan yang dimotori Indosat Ooredoo, Mountain Partners, dan Kejora yang bertujuan mengangkat potensi startup Indonesia melalui bantuan dana investasi tahap awal dan memberikan penghargaan khusus untuk startup yang bergerak di sektor internet dan telekomunikasi. Ideabox menonjolkan pada empat hal, yakni penguatan market-size, penguatan model bisnis dan operasional, penguatan produk, dan growth. Hingga pada akhirnya mempersiapkan startup untuk pitching pendanaan.

IDX Incubator (i)

IDX Incubator merupakan program inkubasi inisiatif Bursa Efek Indonesia (BEI). Visinya untuk membantu mengembangkan startup digital Indonesia, dari segi bisnis, legal, hingga membantu startup untuk melenggang ke lantai bursa saham atau melakukan IPO. Program inkubator ini terselenggara berkat kerja sama BEI dan Bank Mandiri.

BEI menjanjikan beberapa hal yang bisa didapatkan peserta, mulai fasilitas co-working space, program pengembangan bisnis, akses ke permodalan, dan workshop atau event lainnya yang tentunya bermanfaat bagi pengembangan bisnis startup, lengkap dengan beberapa mentor yang siap membina.

Indigo Creative Nation (i)

Indigo merupakan program pembinaan startup yang diselenggarakan Telkom untuk membangun ekosistem digitalpreneur di Indonesia, melalui fasilitas kreatif digital, pendanaan dan akses pasar untuk mempercepat industri kreatif digital Indonesia. Program Indigo merupakan penggabungan program sebelumnya yang sudah ada yakni Indigo Incubator, Indigo Accelerator, dan Indigo Venture. Program ini memberi kesempatan bagi para startup untuk merealisasikan karya kreatif mereka, baik yang masih dalam bentuk ide, produk yang sudah memiliki pengguna, bisnis yang sudah mendatangkan pendapatan, serta bisnis yang membutuhkan akselerasi dan pendanaan lebih lanjut.

Program inkubasi diselenggarakan oleh Telkom Group bersama MIKTI (Masyarakat Industri Kreatif TIK Indonesia) ditujukan bagi startup yang ingin mengembangkan bisnisnya di bidang digital. Startup yang terpilih akan mendapat dukungan inkubasi dari 1 bulan sampai dengan 18 bulan tergantung tahapannya dan mendapatkan berbagai fasilitas seperti, akses pasar melalui kanal pemasaran.

Inkubator Parama (i)

Untuk turut mengambil andil di pengembangan startup digital, Lima Ventura mendirikan program inkubasi bernama Parama Indonesia. Beberapa program unggulan yang ingin disajikan oalah terkait dengan strategi branding dan peningkatan valuasi oleh startup melalui kemitraan bisnis. Aktivitasnya ialah mengadakan kompetisi dan membina startup yang terjaring melalui kegiatan tersebut.

Kolaborasi.co (i)

Dimotori oleh empat orang dari startup berbeda, yakni Yohan Totting, Moon Leoma, Sutansyah  Marahakim, dan Adryan Hafizh, Kolaborasi.co berusaha menjadi sebuah wadah berkumpulnya startup, khususnya di wilayah Bandung, untuk belajar bersama. Tidak hanya untuk pebisnis di dunia online, Kolaborasi.co juga mengakomodasi startup yang bergerak dalam sektor offline. Tidak seperti program lain yang memfokuskan pada fasilitas atau pendanaan, sesuai namanya, konsep kolaborasi lebih ditekankan. Kelompok inkubasi startup ini sudah berdiri sejak tahun 2013.

Mandiri Capital (i)

Sebuah inkubator besutan Bank Mandiri yang memiliki visi untuk mendorong hadirnya startup di bidang teknologi finansial. Dalam prosesnya, program ini bekerja sama dengan Indigo Inkubator dan ActionCoach. Dari kategori fintech pun inkubator ini masih membaginya ke dalam tiga fokus utama, yakni payment, lending dan enterprise solution. Ketiga segmen ini dinilai dapat bersinergi langsung dengan Bank Mandiri Group. Mandiri Capital Indonesia (MCI) berfokus untuk membantu startup dalam empat hal, mulai dari investasi, mentoring, membantu startup dalam memperkuat jaringan, dan program inkubator eksklusif.

Plug and Play (a)

Plug and Play Indonesia (PNP Indonesia) adalah bagian dari PNP Tech Center, yakni sebuah akselerator startup global dengan misi membantu pada suksesi dalam teknologi digital. Dengan kantor pusatnya di Silicon Valley, jaringan bisnis Plug and Play mencakup lebih dari 200 mitra korporasi, investor, universitas dan mitra terkait lainnya di bidang ritel, fintech, Internet of Things (IoT), media dan komputasi awan.

Selama 3 bulan startup yang lolos seleksi program akselerasi akan diberikan dana, bimbingan, ruang kerja gratis juga dukungan lainnya melalui program akselerator. PNP Indonesia akan melakukan investasi di 50 startup tahap awal setiap tahunnya.

Skystar Ventures (i)

Skystar Ventures didirikan oleh grup Kompas Gramedia (KG) dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Keuntungan yang ditawarkan bagi startup yang terpilih mengikuti program ini adalah seed funding, mentoring yang intensif, fasilitas Skystar Ventures yang terdiri atas tempat kerja, serta paparan dengan jaringan Kompas Gramedia dan para investor.

Program ini menyasar startup segmen e-commerce, pendidikan, mobile, sosial, SaaS, media, dan infrastruktur, meskipun mereka tidak menutup kemungkinan bagi startup yang bergerak di segmen lain untuk mendaftarkan diri. Startup tersebut sebaiknya masih berada di tahap awal (early stage) dan sudah memiliki traksi, konsumen, dan pertumbuhan.

Start Surabaya (i)

Didirikan oleh pemerintah kota Surabaya, program ini berbentuk inkubasi untuk perusahaan startup di bidang teknologi. Misinya untuk memberdayakan anak muda di Surabaya agar meluncurkan bisnis atau produk berbasis teknologi yang berdampak positif dan memberikan nilai tambah kepada masyarakat. Program ini menjadi salah satu inkubator tingkat kota pertama di Indonesia. Untuk kegiatannya, pemkot Surabaya menjalin kerja sama dengan Kibar dan beberapa mitra lainnya.

Startup Weekend (i)

Konsep Startup Weekend adalah memberikan kesempatan bagi para entrepreneur memvalidasi ide dan  mematangkan konsep untuk memulainya. Acara akan dimulai dengan open mic, setiap peserta berhak menyampaikan ide yang telah dimiliki di depan para hadirin. Presentasi harus meyakinkan, karena di sana juga berkesempatan untuk menemukan anggota tim guna merealisasikan ide tersebut.

Acara ini terbuka bagi siapa saja yang tertarik mengembangkan startup. Mulai dari mahasiswa, pengusaha, programer, desainer dan lainnya. Beberapa mentor yang dihadirkan adalah pelaku startup sukses dan managing partner dari perusahaan venture capital. Nantinya ide yang terpilih menjadi pemenang, karena dalam acara tersebut juga akan didadakan kompetisi, akan mendapatkan sesi privat berdiskusi dengan para mentor.

Visio (i)

Visio adalah program inkubator berbasis di Kota Padang. Dimotori oleh Hendriko Firman dan Ogy Winenriandhika, program ini memiliki visi untuk menumbuhkan ekosistem bisnis digital di kawasan Sumatera Barat. Program ini menginkubasi startup selama 3 bulan, hingga startup matang untuk mempresentasikan karyanya di depan investor.

Gambaran Kondisi Investasi Startup Indonesia Di Mata Pemain Modal Ventura

Startup digital di Indonesia jumlahnya memang terus tumbuh hingga kini, tidak ada data pasti yang menyebut berapa total startup yang beroperasi di Indonesia. Sebagai gambaran, Telkomtelstra pernah menyebut jumlah startup sekitar 2 ribu perusahaan atau tertinggi di Asia Tenggara. Untuk fintech sendiri, OJK mendata ada sekitar 157 perusahaan fintech yang beroperasi, sekitar 80% di antaranya bergerak di bisnis lending.

Lahirnya berbagai startup tersebut menjadi indikasi timbul semangat dari orang Indonesia untuk menjadi wirausahawan dengan membangun usaha sendiri. Bisnis yang mereka jalankan sebagian besar mengklaim bertujuan untuk memberikan pemecahan masalah yang terjadi di tengah masyarakat.

Sebuah diskusi panel yang diadakan Convergence Ventures, kemarin (21/2), menyoal tentang peluang investasi teknologi di Indonesia. Diskusi ini menghadirkan Abraham Hidayat (Skystar Capital), Dirk van Quaquebeke (Beenext), Eddi Danusaputro (Mandiri Capital Indonesia), dan Roderick Purwana (Sinar Mas Digital Ventures), serta dimoderatori Adrian Li (Convergence Ventures).

Mengenai hal-hal yang telah dipelajari para pemain modal ventura semenjak menginvestasikan dananya ke perusahaan startup, ada beberapa poin yang perlu ditekankan. Roderick mengatakan pihaknya mempelajari bahwa kebanyakan dari mereka belum mampu menunjukkan rencana matang untuk proses scaling up.

Padahal scaling up itu merupakan tantangan startup yang sebenarnya. Berapa lama mereka bisa bertahan dalam kondisi ketika harus dihadapkan pada perubahan dinamika pasar, persaingan, hingga berbagai permasalahan internal.

Menurutnya, untuk mendapatkan traksi saat pertama kali baru berdiri memang cukup mudah. Meskipun demikian, ketika dituntut untuk bertumbuh, mereka mengalami kesulitan.

Di sisi lain, Abraham bilang dirinya lebih memerhatikan kualitas founder itu sendiri, bagaimana mereka dapat memimpin diri sendiri, orang lain, dan membangun tim yang solid. Abaraham juga menekankan pada pentingnya komunikasi rutin secara fisik tanpa memanfaatkan fasilitas video chat.

“Sebab pada akhirnya komunikasi tatap muka dan berkumpul secara rutin itu lebih mudah dalam mengelola suatu perusahaan, ketimbang harus video chat karena lokasi tempat tinggal yang berbeda. Mengelola tim yang remote memiliki kelemahan tersendiri,” kata Abraham.

Tak hanya itu, Abraham mengatakan bahwa Indonesia masih mengalami kekurangan talenta yang berkualitas. Inti permasalahan ini sebenarnya karena belum dianggap pentingnya potensi dari ilmu bidang teknologi informasi. Padahal, bidang ilmu ini adalah dasar dari pengembangan kualitas talenta di dunia startup.

Senada dengan Abraham, Quaquebeke menambahkan kurangnya talenta Indonesia membuat negara ini jadi masih tertinggal dari India dan Tiongkok.

“Karakter orang tua di India, mereka selalu mendorong anaknya untuk terus merasa penasaran dan mendorong anaknya untuk menuntut ilmu di luar negeri. Beberapa hal inilah yang membuat India jadi lebih baik dari Indonesia,” katanya.

Sementara bagi Eddi, dia menekankan pada sikap proaktif pemerintah Indonesia dalam membuat suatu regulasi, dalam hal ini adalah OJK dan Bank Indonesia. Menurutnya, regulasi mengenai bisnis fintech di Indonesia saat ini memang belum lengkap, namun sikap yang ditunjukkan regulator memperlihatkan bahwa mereka sangat memerhatikan kondisi terkini.

Dalam proses pembuatan regulasi pun, regulator seringkali mendiskusikan terlebih dahulu dengan para pemain untuk dimintai masukan sebagai bahan dasar pertimbangan. Eddi menyarankan kepada para investor untuk mempelajari dengan betul bagaimana aturan main di Indonesia.

Sektor startup lainnya yang berpotensi akan besar

Eddi melanjutkan, dirinya melihat ada potensi yang besar dari sektor big data dan keamanan data. Dua sektor ini dinilai akan menunjang bisnis layanan keuangan Indonesia. Tak hanya itu, keamanan data juga disebut Quaquebeke bakal dibutuhkan ke depannya, terutama untuk menunjang sektor Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).

Sementara itu, Roderick memprediksi bahwa sektor startup yang bakal pesat ke depannya adalah machine learning, sebab hal ini dapat membantu startup untuk scale up.

Adapun bagi Abraham, beberapa sektor startup yang bakal menarik adalah fintech, healthtech, dan edutech. Ia menilai sudah ada beberapa startup yang bergerak di sektor tersebut hanya saja, menurutnya, masih ada pasar yang belum dijangkau oleh mereka.

Geraldine Oetama Berbagi Pengalaman Membangun Program Inkubasi dalam Institusi Pendidikan di Echelon Indonesia 2016

Ajang Echelon Indonesia 2016 akan menghadirkan banyak tokoh dan pembicara yang berkecimpung dalam kolam industri teknologi di Indonesia. Bukan hanya para pria, namun juga pembicara perempuan yang aktif dalam ekosistem. Executive Director Skystar Ventures Geraldine Oetama adalah salah satu di antaranya.

Skystar Ventures merupakan program inkubator yang diinisiasi pada tahun 2013 atas kerja sama Universitas Multimedia Nusantada (UMN) dan Kompas Gramedia (KG). Lokasinya terletak di lantai 12 New Media Tower UMN Serpong, Tanggerang.

Geraldine, yang juga merupakan cucu dari pendiri KG Jakoeb Oetama, adalah orang yang paling berperan atas hadirnya Skystar Ventures. Selain mendirikan program inkubasi, Geraldine juga menginisiasi lahirnya Skystar Capital yang fokus untuk memberikan pendanaan tahap awal pada startup. Geraldine sendiri adalah lulusan University of Southern California dan memegang gelar MA dalam bidang Marketing dengan fokus di Digital Media dan Marketing.

Di ajang Echelon Indonesia 2016, Geraldine akan menjadi salah satu pembicara perempuan yang hadir. Topik yang akan dibawakan adalah seputar pengalamannya mendirikan program inkubasi di UMN. Selain itu, Geraldine juga ingin berdiskusi mengenai peran pendidikan dalam membangun mindset kewirausahaan.

“Saya akan berbagi mengenai pengalaman saya dalam membangun program inkubasi yang tergabung dalam sebuah universitas di Indonesia, yaitu UMN. Saya juga berencana untuk mendiskusikan peran pendidikan yang sangat berpengaruh dalam membangun mindset kewirausahaan,” ujar Geraldine.

Geraldine menambahkan:

“Konferensi startup seperti Echelon ini relevan dalam pengembangan ekosistem, karena hal ini membantu mengedukasi pasar dalam lapisan dan sektor yang berbeda mengenai lingkup startup. Dalam event ini, founder dari segala kalangan dapat bertemu untuk saling bertukar pengetahuan, membangun relasi, serta memperluas network mereka. Ini  adalah batu loncatan yang baik untuk audience yang ingin belajar tentang apa yang membuat mereka gagal dan berhasil di industri startup.”

Echelon Indonesia 2016 akan digelar pada tanggal 5-6 April 2016 di Balai Kartini, Jakarta. Sebagai ajang konfrensi internasional, Echelon Indonesia 2016 dapat menjadi platform bagi startup, SME, dan perusahaan berbasis teknologi untuk membawa bisnis ke level selanjutnya. Innovate – Developer – Empower adalah tiga kata kunci yang diterjemahkan dalam gelaran acara dua hari ini.

Penjualan tiket saat ini telah dibuka dan tersedia diskon 20 persen dalam waktu terbatas dengan menggunakan kode “EMPOWER20”.