Acer Perkenalkan Desktop PC ConceptD 300 Sekaligus Perbarui Spesifikasi Laptop ConceptD 7

Acer memperkenalkan segudang produk baru belum lama ini, salah satunya dari lini ConceptD yang ditujukan untuk para kreator konten, baik yang masih kelas amatir maupun yang sudah di taraf profesional. Total ada tiga produk anyar dari lini Acer ConceptD, yakni desktop ConceptD 300 dan laptop ConceptD 7 beserta ConceptD 7 Pro.

Kita mulai dari ConceptD 300 dulu, yang berhasil mencuri perhatian saya berkat desainnya yang sangat elegan. Bodinya putih bersih khas lini ConceptD, dengan aksen warna hitam pada grille bagian depannya. Tambahan panel kayu di bagian atasnya membuat desainnya secara keseluruhan tampak timeless.

Secara teknis, ConceptD 300 masuk kategori mid-tower dengan volume 18 liter, cukup ringkas untuk ditempatkan di atas meja – mempunyai PC dengan desain secantik ini tentu akan terasa sia-sia kalau harus disembunyikan di bawah meja. Kebetulan panel depannya turut dilengkapi slot SD card, yang pastinya bakal semakin memudahkan workflow.

Konsumen juga tidak perlu khawatir keberadaannya di atas meja bakal mengganggu konsentrasi, sebab tingkat kebisingannya diklaim kurang dari 40 dBA, atau setara dengan kondisi di ruang perpustakaan. Namun yang lebih penting tentu saja adalah bagaimana PC ini dapat mengakomodasi keperluan kreasi konten lewat kinerjanya yang mumpuni.

Hal itu diwujudkan berkat penggunaan prosesor Intel Core i7 generasi ke-10, GPU Nvidia GeForce RTX 3070, RAM DDR4 64 GB 2666 MHz, SSD NVMe 1 TB dan HDD 4 TB. Berdasarkan pengujian yang dilakukan oleh banyak reviewer, RTX 3070 terbukti mempunyai performa setara atau bahkan melampaui RTX 2080 Ti, yang sendirinya sudah menjadi andalan banyak kalangan profesional. Bonusnya tentu saja PC ini siap dipakai untuk gaming dalam resolusi 4K sekalipun.

Beralih ke ConceptD 7 dan ConceptD 7 Pro, di sini Acer telah melakukan penyegaran agar spesifikasinya makin bertenaga sekaligus makin optimal berkat sistem pendingin baru. Keduanya sama-sama ditenagai prosesor Intel Core i7 generasi ke-10, dan letak perbedaan utamanya adalah pada kartu grafis yang digunaka: ConceptD 7 dengan RTX 2080 Super Max-Q, sedangkan ConceptD 7 Pro dengan Quadro RTX 5000 Max-Q pada varian termahalnya.

Namun salah satu faktor yang selalu menjadi daya tarik utama lini ConceptD selama ini adalah layar dengan reproduksi warna yang sangat akurat. Baik pada ConceptD 7 maupun ConceptD 7 Pro, panel yang digunakan adalah panel IPS 15,6 inci dengan resolusi 4K dan dukungan 100% spektrum warna Adobe RGB. Lebih lanjut, validasi dari Pantone pada dasarnya menjamin bahwa layar kedua laptop ini benar-benar bisa diandalkan dalam konteks profesional.

Ketiga produk ini kabarnya bakal tersedia di tanah air, tapi masih belum dipastikan kapan dan berapa harganya. Sebagai referensi, Acer ConceptD 300 dihargai mulai 1.299 euro di dataran Eropa (± Rp22,4 jutaan), sedangkan ConceptD 7 dan ConceptD 7 Pro masing-masing mulai 2.899 euro (± Rp50,1 jutaan) dan (± Rp63,9 jutaan).

WD Luncurkan SSD PCIe 4.0 dan Dua Solusi Penyimpanan Berkinerja Tinggi Lainnya di Indonesia

Popularitas SSD PCIe 4.0 terus meningkat seiring semakin dekatnya peluncuran console next-gen. Satu per satu produsen SSD bergantian mengumumkan solusi penyimpanan tercepatnya, tidak terkecuali Western Digital, yang baru saja mengungkap tiga produk baru sekaligus dari lini teratasnya, WD_BLACK.

Produk yang pertama sekaligus yang menjadi bintang utama adalah WD_BLACK SN850 NVMe SSD. Ini merupakan SSD PCIe 4.0 pertama dari WD, sekaligus penerus langsung dari WD_BLACK SN750. Keunggulannya? Apa lagi kalau bukan kecepatan transfer data yang sangat tinggi; hingga 7.000 MB/s read dan 5.300 MB/s write pada varian yang berkapasitas 1 TB

Seperti yang bisa dilihat, SN850 mengadopsi form factor standar M.2 2280, yang berarti secara teori ia juga dapat ditambatkan ke PlayStation 5 nantinya. Pilihan kapasitasnya sendiri ada tiga, yaitu 500 GB, 1 TB dan 2 TB.

Kabar terbaiknya, SN850 dijadwalkan tersedia di Indonesia mulai pertengahan Desember mendatang dengan harga mulai Rp2.488.000. Memasuki kuartal pertama tahun depan, WD juga akan menawarkan varian lain SN850 yang dilengkapi heatsink sekaligus pencahayaan RGB.

Produk yang kedua, yakni WD_BLACK AN1500 NVMe SSD Add-In-Card, ditujukan bagi konsumen yang PC-nya hanya mendukung interface PCIe 3.0 (pada dasarnya semua yang memakai prosesor Intel), tapi di saat yang sama mendambakan kinerja mendekati SSD PCIe 4.0. Syaratnya cuma satu: pastikan di motherboard ada satu slot PCIe 3.0 x8 yang menganggur.

Kalau syarat itu terpenuhi, maka AN1500 siap mewujudkan kecepatan baca hingga 6.500 MB/s dan tulis hingga 4.100 MB/s pada varian yang berkapasitas 2 TB atau 4 TB. Rahasianya terletak pada dua SSD yang tertanam dan terhubung dalam konfigurasi RAID 0 di dalamnya.

AN1500 datang membawa heatsink, lengkap beserta pencahayaan RGB yang customizable. Selain varian 2 TB dan 4 TB, AN1500 juga tersedia dalam varian berkapasitas 1 TB yang saat ini sudah dijual seharga Rp4.399.000. Varian 2 TB dan 4 TB-nya sendiri dikabarkan bakal menyusul pada kuartal pertama 2021.

Terakhir, ada WD_BLACK D50 Game Dock NVMe SSD yang ditargetkan untuk pengguna laptop. Idenya adalah, cukup dengan mengandalkan sambungan satu kabel Thunderbolt 3, maka pengguna bakal mendapat akses ke penyimpanan SSD berkapasitas besar untuk menyimpan game, plus sederet port konektivitas tambahan, termasuk halnya port Ethernet dan DisplayPort.

Lagi-lagi pencahayaan RGB yang bisa diprogram juga tersedia sebagai standar, dan konsumen bisa memilih antara varian yang berkapasitas 1 TB atau 2 TB. Sama seperti dua produk sebelumnya, WD_BLACK D50 Game Dock juga bisa dibeli lewat official store WD di Tokopedia mulai pertengahan Desember dengan harga mulai Rp7.599.000.

Polytron Multipurpose Sterilizer Box PUV Mampu Bunuh Virus dan Bakteri Hingga 99,9%

Sejak Covid-19 menyerang Indonesia, ada banyak perubahan terjadi di masyarakat kita, tidak hanya cara bekerja tapi juga kebiasaan dalam berinteraksi dan beraktivitas. Covid-19 menjadi ancaman serius bagi mereka yang memang berada dalam zona resiko tinggi, seperti bayi, manula dan orang dengan penyakit bawaaan.

Continue reading Polytron Multipurpose Sterilizer Box PUV Mampu Bunuh Virus dan Bakteri Hingga 99,9%

[Review] Samsung Galaxy M51, Jagokan Baterai Jumbo 7.000 mAh & Performa Mumpuni

Lewat Galaxy M series, Samsung berupaya menghadirkan smartphone dengan titik harga dan performa terbaik. Membawa tagline #SobatAntiLowbat, kapasitas baterai besar menjadi identitas dari seri ini dan yang terbaru; Galaxy M51 mengemas baterai 7.000 mAh.

Smartphone yang dijual seharga Rp5.499.000 ini tak hanya bermodalkan baterai jumbo. Di atas kertas, aspek lain seperti layar, kamera, dan performa juga tidak akan mengecewakan, karena dicomot langsung dari Galaxy A71 yang merupakan smartphone A series paling top saat ini. Namun guna menekan harga agar lebih terjangkau, Samsung mau tidak mau harus mengorbankan beberapa hal, apa saja itu? Berikut review Samsung Galaxy M51 selengkapnya.

Desain Klasik

Desain-Samsung-Galaxy-M51-1
Desain Samsung Galaxy M51 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Penggunaan baterai besar tentu membuat bodi Galaxy M51 cukup gemuk, ketebalannya di angka 9,5mm belum termasuk case dan bobotnya 213 gram. Bahkan tonjolan modul kamera belakangnya hampir sama rata dengan permukaan punggungnya.

Desainnya klasik, bagian muka mengemas Infinity-O display berukuran 6,7 inci dengan lubang kamera depan di dahi. Sementara, bingkai dan bagian belakangnya terbuat dari material plastik dengan finishing glossy polos tanpa motif. Saat proses foto dan syuting Galaxy M51, saya harus rajin-rajin membersihkan noda atau bekas sidik jari yang sangat mudah menempel.

Layar-Samsung-Galaxy-M51-1
Layar Samsung Galaxy M51 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Saat dibandingkan dengan Galaxy A71, Galaxy M51 memang terlihat sedikit lebih tebal meski panjang dan lebarnya mirip. Menurut saya, ketebalan 9,5mm ini masih tergolong wajar dan justru terasa mantap dalam genggaman tangan. Meski beratnya mungkin akan sedikit merepotkan saat digunakan dalam durasi lama.

Samsung memangkas kelengkapan seperti earphone, case, dan anti gores dalam paket penjualan guna menekan harga. Menurut Samsung, meski case dan anti gores penting untuk menjaga perangkat dalam penggunaan sehari-hari, tetapi aksesori tersebut bisa dengan mudah dibeli secara terpisah.

Selain itu, Samsung juga mengambil fitur premium fingerprint under display digantikan sensor sidik jari konvensional yang terintegrasi dengan tombol power yang terletak di samping kanan. Kabar baiknya, performa kecepatan dan keakuratan dalam membuka kunci layar jauh lebih cepat.

Untuk atributnya, selain tombol power di samping kanan juga terdapat tombol volume dan SIM tray berada di sisi sebrangnya yang terdiri dari dua slot kartu SIM dan satu microSD. Di atas ada mikrofon sekunder, serta di sisi bawa ada jack audio 3,5mm, port USB Type-C, mikrofon utama, dan speaker.

Layar Terbaik di Kelasnya

Layar-Samsung-Galaxy-M51-2
Layar Samsung Galaxy M51 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Bentang layar 6,7 inci milik Galaxy M51 mengandalkan panel Super AMOLED Plus dengan resolusi 1080×2400 piksel dalam rasio 20:9 dan diproteksi Gorilla Glass 3. Kualitas layarnya ini salah satu yang terbaik di kelas menengah, khas AMOLED yang dapat menampilkan warna hitam pekat, kontras tinggi, dan warna-warna cerah secara lebih menonjol.

Di pengaturan terdapat screen mode, bagi yang kerap edit foto di smartphone dan butuh keakuratan warna bisa memilih mode natural. Sementara, bagi penikmat konten multimedia seperti nonton video atau bermain game akan lebih dimanjakan dalam mode vivid. Dark mode dan fitur blue light filter juga tersedia untuk menyaring cahaya biru agar ramah dilihat mata.

Layarnya juga sudah dilengkapi dengan sertifikasi Widevine L1 yang memungkinkan menikmati konten HD saat streaming di aplikasi Netflix. Anda juga bisa menikmati video HDR di YouTube, pengalaman saya menonton video HDR 1080p 60fps di Galaxy M51 terasa sangat mengesankan.

Selain itu, layarnya ternyata memiliki tingkat kecerahan maksimum lebih tinggi dibanding layar Galaxy A71. Bagi yang kerap bekerja di lapangan, layar yang terang ini penting agar smartphone tetap nyaman ketika dipakai di bawah terik matahari.

Kombinasi baterai besar membuat kita tak perlu khawatir akan cepat kehabisan daya ketika menggunakan kecerahan maksimum. Lalu apa yang kurang? Samsung masih mengandalkan panel dengan refresh rate standar 60Hz, padahal di segmen ini para kompetitornya sudah mulai menawarkan layar dengan refresh rate tinggi 90Hz atau 120Hz.

One UI Core 2.1

Beralih ke antarmuka, Samsung Galaxy M51 ini menjalankan One UI Core versi 2.1 berbasis Android 10. Bedanya apa dengan One UI yang standar? Ini adalah versi yang lebih basic dari One UI, jadi beberapa fitur tidak tersedia.

Penggunaan One UI Core juga salah satu cara Samsung menekan harga dan sekaligus menjadi pembeda dengan Galaxy A series yang lebih mahal. Dibanding One UI 2.1 di Galaxy A71, saya menemukan beberapa fitur yang hilang antara lain Bixby, Secure Folder, Link to Windows, Edge Lighting, Samsung Kids, dan mungkin ada lagi yang lain.

Mungkin pemangkasan beberapa fitur bawaan Samsung ini akan mempengaruhi pengalaman pengguna, tetapi perbedaannya tidak begitu signifikan. Untuk antarmukanya juga semakin matang, sangat intuitif, dan mudah digunakan dengan ikon dan elemen menu berukuran besar.

Galaxy M51 sendiri merupakan smartphone Galaxy M series pertama yang memiliki konektivitas NFC, fitur ini dianggap semakin penting ke depannya. Fitur Samsung Pay juga tersedia yang memungkinkan lebih cepat melakukan pembayaran dengan teknologi QR menggunakan dompet digital Dana.

Quad Camera dengan Kamera Utama 64MP

Kamera-Samsung-Galaxy-M51-1
Kamera Samsung Galaxy M51 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Beralih ke sektor fotografi, Galaxy M51 dibekali empat unit kamera belakang dengan kamera utama 64MP f/1.8 menggunakan sensor Sony IMX682 berukuran 1/1.73 inci dan piksel 0.8µm. Sensor ini mengadopsi teknologi Quad Bayer, di mana hasil optimalnya secara default 16MP dengan piksel besar 1.6µm atau 64MP jika semua piksel digunakan dengan piksel 0.8µm.

Proses pemotretannya didukung fitur HDR yang secara otomatis aktif bila dibutuhkan dan AI Scene Optimizer yang akan mengenali subjek atau adegan, kemudian mengoptimalkan pengaturan sesuai kondisi. Mode foto 64MP bisa dipilih di pengaturan aspek rasio, namun perlu dicatat mode resolusi tinggi ini tidak didukung HDR dan AI Scene Optimizer.

Kamera-Samsung-Galaxy-M51-2
Kamera Samsung Galaxy M51 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Kamera utamanya turut ditemani kamera sekunder 12MP f/2.2 dengan lensa ultrawide yang memberikan bidang pandang seluas 123 derajat. Kemudian 5MP f/2.2 sebagai depth sensor dan juga 5MP f/2.4 dengan lensa macro. Serta, kamera depan 32MP f/2.0 menggunakan sensor Sony IMX616. Konfigurasi kameranya sangat mirip dengan Galaxy A71, bedanya kamera utama Galaxy A71 menggunakan sensor ISOCELL Bright GW1.

Meski begitu, dukungan fitur-fitur kameranya sangat identik. Ada Single Take yang mana dalam sekali tekan dapat mengambil foto dan video secara bersamaan untuk mengabadikan momen secara lebih lengkap. Peningkatan mode kamera Pro, di mana kita dapat melakukan penyesuaian mulai dari ISO, shutter speed, fokus manual, white balance, dan exposure compensation. Juga terdapat semacam profil, di mana kita bisa mengatur temperature, tint, contrast, saturation, highlight, dan shadow.

Baik kamera depan maupun belakang sudah mendukung perekaman video dari resolusi 720p, 1080p, hingga 4K pada frame rate 30fps. Dilengkapi fitur Super Steady khusus untuk kamera belakang dengan memanfaatkan kamera wide angle untuk mendapatkan pergerakan yang lebih mulus di video.

Ada dua hal yang saya harap bisa hadir di Galaxy M51 lewat update firmware berikutnya. Pertama ialah opsi untuk menyimpan foto dalam format Raw yang secara signifikan dapat meningkatkan hasil foto.

Kemudian yang kedua opsi frame rate 60fps di video yang mana memungkinkan memperlambat video hingga 40 persen untuk mendapatkan efek sinematik. Samsung memang menyematkan mode slow-mo dan super slow-mo, tapi pengaturannya tidak bisa diotak-atik dan hasilnya terbatas pada resolusi 720p.

Berikut hasil foto kamera utama dan mode wide-angle Samsung Galaxy M51:

Hardware & Performa

Dari sisi performa, Galaxy M51 ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon 730G yang sedari awal dirancang untuk keperluan gaming. Kemampuan olah grafisnya disebut 15 persen lebih baik dibanding Snapdragon 730 versi standar dan dilengkapi beberapa fitur Snapdragon Elite Gaming seperti Jank Reducer yang secara signifikan mencegah terjadinya lag dan mendukung True HDR 10-bit.

SoC ini memiliki fabrikasi 8nm dengan AI Engine generasi ke-4, mengemas CPU octa-core yang terdiri dari dual-core 2.2GHz Kryo 470 Gold dan hexa-core 1.8GHz Kryo 470 Silver, serta GPU Adreno 618. Berpadu RAM sebesar 8GB dan penyimpanan internal 128GB yang bisa ditambah dengan menyisipkan microSD.

Semua fitur gaming di Galaxy M51 bisa diakses lewat Game Launcher. Pusat kontrol permainan ini memiliki fitur Game Booster yang mana salah satunya kita bisa mengatur mode game ke focus on performance bila membutuhkan tenaga ekstra. Lewat Game Launcher, game-game yang diinstal dapat dikumpulkan menjadi satu, lengkap dengan statistik, history, dan tips bermain.

Ada beberapa game yang saya coba, Genshin Impact, Honkai Impact 3, League of Legends: Wild Rift, dan Mobile Legends. Semua game tersebut dihajar habis-habisan tanpa kendala dan sebagai gambaran soal performa di atas kertas berikut hasil benchmark dari Galaxy M51.

Soal baterai, kapasitas 7.000 mAh dapat memberi ketenangan bagi para penggunanya. Untuk pemakaian yang cukup intens, Galaxy M51 dapat bertahan sepanjang hari. Menurut Samsung, bisa buat telponan hingga 64 jam, mendengarkan musik hingga 182 jam, dan hingga 34 jam buat streaming maraton nonton film series.

Baterai jumbo tersebut tentu perlu pasangan yang tepat. Dalam paket penjualan sudah dilengkapi adaptor charger dengan teknologi Super Fast Charging 25W yang dapat mengisi penuh baterai 7.000 mAh dalam waktu kurang lebih 115 menit atau hampir dua jam.

Kabel data yang disertakan sudah menggunakan USB Type-C ke USB Type-C dan dengan kemampuan Wired Powershare, Galaxy M51 bisa berfungsi layaknya power bank. Anda bisa berbagi daya dengan smartphone lain yang menggunakan port USB Type-C.

Verdict

Layar-Samsung-Galaxy-M51-7
Layar Samsung Galaxy M51 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Samsung Galaxy M51 adalah smartphone klasik yang berfokus pada kebutuhan pokok ber-smartphone secara umum. Anda akan mendapat baterai besar 7.000 mAh, layar besar 6,7 inci Super AMOLED Plus, kamera utama beresolusi besar 64MP yang dapat diandalkan, dan performa besar Snapdragon 730G yang powerful untuk komputasi sehari-hari bahkan untuk gaming.

Dibanderol Rp5.499.000, harga Galaxy M51 memang sangat kompetitif di kelasnya meskipun tidak bisa dikatakan ‘murah’. Namun untuk mencapai harga tersebut, Galaxy M51 datang dengan sejumlah kompromi. Seperti penggunaan One UI Core 2.1 dengan banyak fitur yang dipangkas, termasuk fingerprint under display dan layarnya juga belum memiliki refresh rate yang tinggi.

Sparks

 

  • Baterai jumbo 7.000 mAh
  • Layar lapang 6,7 inci Super AMOLED Plus 
  • Kamera utama 64MP dengan sensor Sony IMX682
  • Performa powerful berkat Snapdragon 730G
  • Harga sangat kompetitif di kelasnya

Slacks

  • Profil bodinya agak gemuk
  • Belum memiliki panel dengan refresh rate tinggi
  • Menggunakan One UI Core 2.1, beberapa fitur dipangkas
  • Fingerprint under display diganti konvensional, tetapi lebih cepat

Membuat Game Bernuansa Indonesia. Berkah atau Bencana?

Ketika saya masih SMP, saya tertarik dengan sejarah Tiga Kerajaan di Tiongkok karena memainkan game Dynasty Warriors. Saat itu, terbersit sedikit rasa bersalah dalam hati saya karena saya lebih familier dengan tokoh-tokoh di Tiga Kerajaan daripada pahlawan Indonesia. Namun, apa boleh buat, pada tahun 2000-an, tidak ada game yang membahas sejarah Indonesia.

Sekarang, industri game di Indonesia sudah jauh lebih berkembang. Tidak hanya jumlah developer game Indonesia yang bertambah, kualitas game buatan developer lokal juga semakin baik. Dengan begitu, semakin banyak pula game-game yang memiliki unsur khas Indonesia di dalamnya. Salah satunya adalah Tirta dari Agate.

 

Tirta

Tirta adalah game terbaru yang tengah Agate garap. Game yang diperkirakan akan diluncurkan pada 2022 ini akan fokus pada kebudayaan masyarakat Bali. Dalam game ini, Anda akan bermain sebagai seorang priestess yang harus menjelajah Bali dan pulau-pulau di sekitarnya untuk melakukan ritual. Dalam perjalanannya, dia harus mengatasi berbagai masalah yang mengancam keberadaan makhluk dan binatang mistis yang ada di Bali.

Menggunakan keahlian bela diri dan sihir elemental, para pemain akan diminta untuk mengalahkan beragai monster. Di Tirta, para gamer juga akan menghadapi berbagai puzzle saat mereka menjelajah Bali. IGN menyebutkan, dari segi gameplay, Tirta mengingatkan mereka akan Legend of Zelda: Breath of the Wild. Memang, di Tirta, para pemain juga akan bisa menjelajah Bali untuk mencari tahu tentang lore dalam game.

Namun, tentu saja, Tirta akan tampil beda dari Breath of the Wild. Pasalnya, di Tirta, Agate sengaja untuk menonjolkan unsur budaya Bali. “Tirta membawa tema dan cerita yang unik bagi dunia, yang dirancang berdasarkan legenda Indonesia. Tema ini ditunjukkan salah satunya melalui grafis yang cantik agar menonjolkan karakter dan arsitektur yang terinspirasi budaya lokal,” kata Cipto Adiguna, VP of Consumer Games, Agate.

Lebih lanjut, Cipto menjelaskan, alasan Agate membuat game dengan unsur budaya Indonesia yang sangat kental adalah karena mereka ingin memamerkan kemampuan dan budaya Indonesia di hadapan dunia. “Banyak orang asing yang belum mengenal Indonesia, baik dalam hal budayanya maupun bahwa kita memiliki talenta game development yang kuat. Tirta dibuat dengan impian menancapkan bendera Indonesia dan memperkenalkan kemampuan kita pada dunia,” ujarnya.

Meskipun begitu, Agate juga ingin memastikan bahwa Tirta tetap relevan dengan pasar global. Karena itulah mereka memilih untuk menampilkan budaya Bali, yang memang sudah sangat dikenal di kalangan turis mancanegara. Memang, bagi sebagian orang asing, nama Bali lebih familier daripada Indonesia.

Di Tirta, Anda akan bermain sebagai priestess. | Sumber: IGN
Di Tirta, Anda akan bermain sebagai priestess. | Sumber: IGN

Cipto mengungkap, ide dan konsep untuk Tirta muncul pada akhir 2018. Sementara proses pembuatan teknis dari game tersebut baru dimulai pada awal 2019. Saat ini, ada delapan orang yang sedang mengerjakan Tirta. “Jumlah ini dirasa ideal untuk bergerak cepat dan mencoba banyak ide baru,” ujar Cipto melalui pesan singkat. “Jumlah anggota tim direncanakan bertambah ketika game masuk tahap produksi.”

Keputusan Agate untuk menjadikan budaya Bali sebagai tema utama dari game terbarunya — yang akan tersedia di PC, PlayStation 4 dan 5, serta Nintendo Switch — membuat saya bertanya-tanya…

 

Perlukah Memasukkan Konten Lokal Dalam Game?

Agate bukan satu-satunya developer Indonesia yang pernah memasukkan unsur kearifan lokal ke dalam game-nya. Ada beberapa developer lain yang juga sukses menyelipkan konten khas Indonesia di game buatan mereka. Salah satunya adalah Digital Happiness. Dengan DreadOut, developer asal Bandung itu sukses membuat game horor dengan cita rasa lokal, menampilkan hantu-hantu khas Indonesia, seperti pocong dan kuntilanak.

Saya lalu menghubungi Rachmad Imron, CEO Digital Happiness, menanyakan tentang alasan mereka untuk menonjolkan konten lokal di DreadOut. Imron menjelaskan, salah satu alasan Digital Happiness adalah karena ketika itu, belum ada game horor yang fokus pada cerita mistis lokal. Jadi, menampilkan konten khas Indonesia justru membuat DreadOut tampil unik.

“Kami pikir, kalau head-to-head perang teknologi dengan developer asing, kita pasti kalah. SDM dan experience juga pasti kalah, karena industri game mereka sudah berkembang selama puluhan tahun,” kata Imron. “Yang bisa kita lakukan ketika itu ya menggunakan tema konten lokal, hantu domestik, yang tidak dikenal oleh para developer asing.” Dengan begitu, para pemain akan bisa merasakan pengalaman bermain game horor yang berbeda dari game horor kebanyakan.

Meskipun konten lokal justru menjadi keunikan DreadOut, Imron percaya, konten lokal tidak seharusnya menjadi prioritas pertama para developer. “Yang paling penting adalah gameplay itu sendiri. Pada akhirnya, pemain tidak peduli ada atau tidaknya konten lokal dalam game. Mereka akan lebih peduli pada gameplay: gampang atau tidak, seru atau tidak,” jelasnya. “Kami selalu mencoba untuk mengedepankan gameplay terlebih dulu. Adapun memasukkan konten lokal, kita akan coba sesubliminal mungkin, bukan hard sell. Bisa dari setting, kostum, dan lain sebagainya. Intinya, mencari sesuatu yang unik, yang tidak sering dipakai oleh media/developer lain.”

Konten lokal jadi keunikan DreadOut. | Sumber: Steam
Konten lokal jadi keunikan DreadOut. | Sumber: Steam

Contoh lain game buatan developer Indonesia yang mengandung muatan lokal adalah Coffee Talk. Memang, konten khas Indonesia dalam game tersebut tidak segamblang DreadOut atau Tirta, tapi Coffee Talk tetap menyisipkan konten lokal dalam bentuk resep minuman khas Indonesia.

Mohammad Fahmi, kreator game indie dan yang dulu jadi penulis skenario Coffee Talk punya pendapat yang sama dengan Imron. Perlu atau tidaknya memasukkan konten khas Indonesia ke dalam game tergantung pada game itu sendiri. Dia menjelaskan, jika developer memaksakan untuk memasukkan konten lokal ke dalam game-nya, hal itu justru bisa membuat konten itu terlihat buruk.

“Idealnya sih, kita bisa dan mau mempromosikan sesuatu yang ada dari kita, seperti budaya. Tapi, perlu juga menentukan penempatan yang pas,” kata Fahmi saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Jangan sampai niatnya mau mempromosikan budaya lokal, tapi malah jadi bumerang dan membuat game-nya jadi kurang dan pesan yang ingin disampaikan justru tidak tersampaikan dengan baik.”

Senada dengan Fahmi, Program Manager, Asosiasi Game Indonesia, Febrianto Nur Anwari mengungkap, perlu atau tidaknya memasukkan konten lokal dalam game tergantung pada target gamer dari sebuah game. “Konten lokal bisa menjadi penting jika diimbangi dengan riset yang mendalam dan dikemas dengan gameplay yang memang disukai oleh target pasarnya,” kata Febri. “Dengan begitu, developer bisa memperkenalkan konten lokal dan para gamer bisa tetap menikmati konten tersebut.”

 

Tujuan Memasukkan Konten Lokal?

Jika gameplay tetap jadi prioritas pertama bagi developer ketika membuat game, lalu kenapa masih ada developer yang mau memasukkan konten khas Indonesia? Jawaban pertama yang terpikir oleh saya adalah idealisme. Seorang kreator punya hak prerogatif untuk memasukkan idealismenya ke dalam karyanya. Developer bisa saja menyelipkan idealismenya ke dalam game buatannya. Kami pernah membahas masalah game dan idealisme di sini.

Ketika saya menanyakan tentang tujuan developer memasukkan konten lokal dalam game, Imron menjawab, “Hal itu tergantung developer-nya sih. Saya yakin selalu ada developer yang punya idealisme. Namun, semua tetap harus ada pertimbangan ekonomis serta erat dengan strategi marketing-nya.”

Sementara itu, Fachmi mengatakan, developer bisa punya alasan bisnis dan altruistik untuk memasukkan konten lokal dalam game mereka. “Bisa memuaskan idealisme sekaligus menjadikan konten lokal sebagai keunikan game, ini jalur yang indie sekali kan?”

Resep kopi khas Indonesia jadi muatan lokla di Coffee Talk. | Sumber: Steam
Resep kopi khas Indonesia jadi muatan lokla di Coffee Talk. | Sumber: Steam

Sayangnya, tidak semua developer punya tujuan yang “murni” ketika mereka memasukkan konten khas Indonesia ke dalam game mereka. Ada juga developer yang memasukkan konten lokal dengan tujuan untuk memenangkan hati gamer Indonesia dengan embel-embel “buatan Indonesia” atau “game khas Indonesia”. Menurut Febri, hal inilah yang bisa menyebabkan masalah. Pasalnya, jika konten lokal dalam game tidak diimbangi dengan gameplay yang menarik serta kualitas yang baik, hal ini justru akan membuat para pemain kecewa, yang bisa berakhir dengan kehilangan kepercayaan pada developer.

“Biasanya, game yang dibuat hanya karena ‘local pride‘, risetnya kurang mendalam. Dan usianya tidak bertahan lama. Karena, orang-orang tertarik untuk download hanya karena ada bau-bau Indonesia-nya. Ketika mereka memainkan game itu dan ternyata kurang oke, akhirnya mereka justru uninstall,” jelas Febri. Meskipun begitu, tetap ada developer yang mengelu-elukan konten lokal demi memasarkan game mereka. Menurut Febri, hal ini terjadi karena memang masih ada gamer Indonesia yang merasa “bangga” dengan game khas Indonesia. Developer akan bisa dengan mudah memenangkan hati para gamer tersebut selama mereka membuat game dengan unsur khas Indonesia.

“Setahu saya, di forum-forum gamer, masih banyak gamer yang merasa ‘bangga’ dengan game bernuansa Indonesia. Mereka berbagi informasi di grup dan kadang-kadang, mereka menambahkan, ‘Kalau membajak game, game internasional saja, jangan game Indonesia. Game Indonesia harus di-support dengan dibeli atau di-download‘,” ungkap Febri. “Yang membuat game seperti itu (game yang menjual dengan embel-embel “khas Indonesia” — red) biasanya developer-developer baru, yang bisa saja baru pertama kali rilis game, yang ingin berkontribusi mengenalkan budaya Indonesia ke para gamer, walau mereka tidak yakin dengan kualitas game buatan mereka. Tujuannya ya agar game mereka lebih cepat dikenal dan mudah masuk ke komunitas gamer-gamer yang saya sebutkan tadi.”

 

Konten Lokal di Game untuk Audiens Global, Menjual?

Apapun alasannya, memasukkan konten khas Indonesia ke game memang tidak salah. Namun, pada akhirnya, developer game adalah perusahaan yang punya tujuan untuk mendapatkan untung. Untuk itu, developer bisa saja menyasar pasar global dan tidak sekedar pasar Indonesia saja. Hanya saja, mungkinkah developer menyasar pasar global jika mereka memasukkan konten khas Indonesia ke dalam game mereka? Jawaban singkatnya: ya.

“Dengan asumsi target pasar internasional, konten lokal itu bisa memberikan ‘warna’ tersendiri ke karya kita, sesuatu yang buat game kita berbeda dari ribuan game lain yang rata-rata dikembangkan di Amerika Utara, Eropa, atau Asia Timur,” ungkap Fachmi.

Imron juga punya pendapat yang sama dengan Fachmi. Namun, dia mengingatkan, keberadaan konten lokal dalam sebuah game bukanlah jaminan bahwa game tersebut akan laku di pasar global. “Karena ada banyak faktor di formula laku atau tidaknya game di pasar,” ujarnya.

Memasukkan konten “lokal” dari negara-negara tertentu merupakan salah satu strategi developer untuk memenangkan hati para pemain di negara atau kawasan tertentu. Imron memberikan contoh karakter Gatot Kaca dan Nyi Roro Kidul di Mobile Legends atau Gajah Mada dan Tribuana Tungga Dewa di Civilization V. Dalam setiap game Assassin’s Creed pun, Ubisoft biasanya fokus pada satu negara. “Hal ini menunjukkan bahwa developer asing pun menggunakan strategi pelokalan game untuk menggaet pasar-pasar domestik,” ungkapnya.

Satu hal yang harus diingat, ujar Imron, developer harus tetap mengutamakan gameplay. Tujuannya, agar game yang mereka buat tetap relevan dengan audiens global walau game itu mengandung konten lokal dari negara-negara tertentu. “Gameplay first, konten lokal bisa dipikirkan belakangan. Kalaupun bisa, itu akan jadi value lebih bagi pemain,” katanya. “Hal ini juga bisa dilihat dari seri The Witcher, yang menampilkan budaya Polandia, tapi hanya sebagai background dari game itu sendiri. Sementara pada game The Witcher, tidak ada embel-embel ‘based on Poland myth‘.”

Franchise The Witcher hanya menjadikan mitos Polandia sebagai background. | Sumber; Steam
Franchise The Witcher hanya menjadikan mitos Polandia sebagai background. | Sumber; Steam

Baik Tirta maupun DreadOut menjadikan konten lokal sebagai ujung tombak, sesuatu yang membuat kedua game itu unik. Namun, sebenarnya, konten lokal dalam game juga bisa disisipkan dalam hal-hal kecil. Misalnya, di Coffee Talk, Toge Productions memasukkan unsur lokal dengan menyelipkan resep minuman khas Indonesia. Mengingat Coffee Talk bercerita tentang barista, maka konten lokal tersebut akan terasa natural.

Febri memuji cara Toge Productions untuk menyelipkan konten lokal dalam Coffee Talk. “Coffee Talk itu punya setting di dunia fantasi kan, ada elf-nya juga. Tapi, ketika sedang main, pemain tiba-tiba menemukan resep kopi lokal. Mereka jadi surprised dan hal ini justru memberikan impresi yang bagus,” ungkap Febri. Dia bercerita, ada orang asing yang mengaku mencoba untuk membuat kopi jahe karena menemukan resep minuman tersebut dalam Coffee Talk. Hal ini menjadi bukti bahwa Coffee Talk telah sukses untuk memperkenalkan bagian dari Indonesia — dalam hal ini minuman — ke audiens global.

Selain makanan dan minuman, ada banyak cara lain bagi developer untuk menyelipkan konten lokal dalam game mereka. Fachmi menjelaskan, konten khas Indonesia yang bisa dimasukkan dalam game bisa berupa item, senjata, dongeng, musik, tarian, atau bahkan arsitektur. Yang paling penting, dia menegaskan, adalah untuk memastikan konten lokal itu sesuai dengan tema dari game yang sedang dibuat.

“Di game-ku berikutnya, What Comes After, kan setting-nya di kereta, yang sebenarnya KRL, karena cerita ini terinspirasi dari mas-mas yang ketiduran di KRL,” ujar Fachmi. “Tapi, semua kereta lokal itu kan terlihat mirip. Jadi, game ini bisa diinterpretasikan secara bebas mengambil setting lokasi dimana. Karena itu, aku menjual konten Indonesia dalam bentuk lain, yaitu musik.” Dia bercerita, dia menggunakan lagu berbahasa Indonesia dari band Indonesia sebagai musik di trailer dan ending song dari game What Comes After.

 

Sisi Gelap Game dengan Konten Lokal

Konten lokal bisa membuat sebuah game tampil unik. Namun, seperti yang disebutkan oleh Imron, keberadaan konten lokal bukan jaminan sebuah game akan sukses. Dan memang, tidak semua game dengan konten lokal sukses di pasar. Ada juga game-game yang mengusung kearifan lokal tapi berakhir dengan ketidakpastiaan waktu peluncuran.

Salah satu contohnya adalah Boma Naraka Sura. Developer dari game ini mencari pendanaan untuk membuat game tersebut melalui Kickstarter. Proyek Boma Naraka Sura diluncurkan di Kickstarter pada Juli 2015. Satu bulan kemudian, mereka berhasil memenuhi target pendanaan. Secara total, mendapatkan US$28 ribu dari 625 pendukung. Sayangnya, ketika kami mencoba mencari berita tentang peluncuran game tersebut, kami tidak dapat menemukannya.

Pale Blue berhasil memenuhi target pendanaan. | Sumber: Kickstarter
Pale Blue berhasil memenuhi target pendanaan. | Sumber: Kickstarter

Contoh lainnya adalah Pale Blue. Sama seperti Boma Naraka Sura, pendanaan untuk pengembangan game 2D platformer itu dikumpulkan melalui Kickstarter. Proyek untuk mengumpulkan dana pengembangan dari Pale Blue diluncurkan di Kickstarter pada Mei 2014. Pada awalnya, target pendanaan yang ditetapkan oleh developer Pale Blue, Tinker Games, adalah US$48 ribu. Pada akhirnya, mereka berhasil mendapatkan US$59,5 ribu. Namun, pada akhirnya, Tinker Games hanya dapat meluncurkan demo dari game tersebut.

Berdasarkan penelusuran yang kami lakukan, kami menemukan bahwa alasan Pale Blue tak pernah diluncurkan adalah karena Tinker Games telah kehabisan dana sebelum game selesai dibuat. Hal ini bisa terjadi karena mereka tidak memiliki orang yang bertanggung jawab untuk mengatur alur kerja tim, seperti produser, seperti dikutip dari Duniaku. Tak hanya itu, mereka juga tidak punya orang yang mengatur pengeluaran selama proses pengembangan. Hal ini membuat tim developer bekerja tanpa arah. Pada akhirnya, target yang telah ditetapkan oleh tim developer tidak tercapai.

Baik Pale Blue maupun Boma Naraka Sura merupakan game buatan developer lokal yang mencari pendanaan di Kickstarter. Keduanya juga berhasil mencapai target pendanaan. Hal ini menunjukkan bahwa game buatan developer Indonesia — dan mengandung unsur budaya dari Asia Tenggara dalam kasus Boma Naraka Sura — diminati jika dikemas dengan baik. Sayangnya, kedua game itu tak pernah dirilis ke pasar. Dalam kasus Pale Blue, hal ini terjadi karena keteledoran developer dalam manajemen proyek.

 

Kesimpulan

Dari sini, saya menyimpulkan, kesuksesan sebuah game tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya konten lokal dalam game tersebut. Kualitas game tetap menjadi tolok ukur nomor satu. Konten lokal hanyalah “vitamin tambahan”, menurut Fachmi. Sementara Febri menekankan pentingnya manajemen proyek bagi developer dalam mengembangkan game. Karena, jika tidak hati-hati, developer bisa kehabisan dana sebelum proses pengembangan selesai.

“Seperti mobil yang kehabisan bensin di tengah jalan,” ujar Febri.

Effectivity of Business Pivot from Three Startups Amid Pandemic

Business pivot is not a new thing for startups. Usually, this action is taken when a business is difficult to progress, aka not growing. In the Covid-19 pandemic situation, many startups have pivoted. This is not because the business is not growing, but the act must be taken due to survival.

The pandemic has hit all business sectors, especially the aviation, tourism, and hospitality sectors. As a result, startups that depend a lot on their main income from this sector are forced to rethink their business strategy and take new steps.

It has been eight months since Covid-19 broke out in Indonesia. DailySocial interviewed three CEOs of three Indonesian startups regarding the realization and effectiveness of their business pivots during the pandemic.

Market research before pivot

Before talking about effectiveness and realization, doing a pivot must be accompanied by careful readiness for the target market and business model to be explored. In their interview with DailySocial, Kedai Sayur, Medigo, and Izy admitted to doing market research and survey first.

Please note, the three startups are both playing in the Business-to-Business (B2B) segment. The difference is, both Izy and Kedai Sayur decided to pivot to B2C because of the pandemic. Meanwhile, Medigo, whose pivot has been planned since 2019, has actually been impacted by the pandemic.

Izy’s business model is closely related to hospitality where it provides digitalization of services to encourage increased consumption of hotel and accommodation guests through the platform. For example room service and laundry.

Izy started pivoting in April 2020 after conducting simple market research with several clients and related parties to get initial input. With the same business model, Izy creates new markets by penetrating modern retail and residential settlements.

Meanwhile, Kedai Sayur, which initially served B2B, such as vegetable vendors, cafes, and restaurants, is forced to enter the B2C segment or end-users. Social restrictions have resulted in a decrease in visitor transactions at restaurants and cafes, therefore, managers have to reduce the volume of orders for ingredients.

“We do market research to determine consumer behavior, the need for fresh products that are of interest, and on the lifestyle. This is because B2C and B2B consumer behavior is different,” Kedai Sayur’s Co-Founder and CEO, Adrian Hernanto said.

In Medigo’s case, this platform initially attempted to connect all ecosystems in the health industry from upstream to downstream with hospitals (RS) as an initial approach.

Given the hospital bureaucracy that required a long integration process, Medigo finally pivoted by focusing on clinical management only. In December 2019, Medigo built a Smart Clinic and opened it in February 2020.

“When we developed the clinic management system in early 2019, there were indeed more than 300 clinics that registered. It’s just that the usage is still small. We start researching and surveying the clinic to find out what the problem is. Is technology or is there any major problem that hasn’t been resolved yet?,” Medigo Indonesia’s Co-Founder and CEO Harya Bimo said.

Along the way, Medigo encountered difficulty in executing the pivot. Smart Clinics are run with two business models, namely building their own and collaborating with existing clinics. Problems arise when a pandemic hits.

“When we wanted to build a second Smart Clinic, the situation was not possible because the model had to be monitoring, renovating, where it requires high touch. Meanwhile, we had to be low touch as that time were social restrictions. Here we are rethinking our pivot strategy and partnership model,” said the man who is better known as Bimo.

Pivot realization during pandemic

Approximately almost eight months after the pandemic occurred in Indonesia, the three startups said that they had reaped positive results or responses from the new services they offered to the market.

Although this pivot is temporary, Izy’s Co-Founder and CEO, Gerry Mangentang admitted that he has managed to earn revenue. Even so, his team avoids sharing details regarding the increase in revenue because it is related to internal data with its partners.

“For the core product/service, we will remain the same as before, focusing on the hotel industry. However, this pivoting will be very useful in the future to complement the Izy platform and ecosystem,” he said.

Meanwhile, Kedai Sayur recorded an increase in sales with the demand of more than 50 percent after entering the B2C segment. Adrian said the demand continues to increase because people are getting used to buying foodstuffs, vegetables, and fruits online.

Apart from sales, Adrian said, the company also recorded other positive responses. For example, the number of customer complaints at Kedai Sayur continues to decline every month, followed by an increase in traffic engagement and the number of new users through social media. “To maintain customer satisfaction and loyalty, we accelerate the delivery process from H + 2 to H + 1,” he explained.

Medigo’s entry into the clinical supply chain also recorded a significant increase. At the beginning of the period of social distancing, the company did not immediately reap a business increase because people tend to be afraid to go to hospitals or clinics during that period.

However, its services began to increase with a peak in May up to four times compared to April. He claims that since May until now, the increase has more than quadrupled. “In fact, we already have a healthy margin every month. Therefore, our income is higher than our burn rate,” he said.

Effectivity and metrics used

By optimizing technology, operations, and the right business model, Medigo, Izy, and Kedai Sayur reveal that this pivot is working effectively. However, there is still room for improvement in the future.

In measuring the effectiveness of pivots, Adrian said that his team did not rely solely on traction metrics or the number of transactions alone. They seek to maximize Customer Relationship Management (CRM) by utilizing quality data to get better business prospects.

Previously, Adrian had mentioned that data plays an important role in reading a trend or phenomenon in the digital era. In the context of a pandemic, Adrian said data can show trends in demand for orders or product prices in certain areas.

“The biggest challenge of pivoting into B2C is the big effort in bringing the [name] brand to the wider community with various characteristics. Therefore, we pay close attention to details that can be essential updates to improve our services in the future,”

However, Bimo added, his team did not rely solely on sales metrics to measure the effectiveness of this pivot. Since its debut, Medigo has defined interactivity in the healthcare ecosystem as its “North Star Metric”. This means that these metrics are at the core of growing its main business.

“Our pivot is very effective because it is not only measured from commercial, but also non-commercial. It’s useless if non-commercial is good, but it can’t be monetized because the business model is not yet supported. After the pivot, [non-commercial metric] interactions on our platform increase extraordinary,” Bimo added.

He said the success of this pivot can be maintained if the two metrics can work together. “We run many clinics where patient medical records are stored in our system. If one hospital can handle 900 patients per day, we can manage 60 clinics with 100 patients each per day. This becomes our ‘North Star Metric’ to encourage the interaction of healthcare stakeholders,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Andalin Secures New Funding, Local Logistics are Getting the Highlight

The smart logistic platform developer Andalin posted new funding led by BEENEXT. Access Ventures and ATM Capital took part in this round. There was no further details regarding the nominal, but Andalin is said to have raised $1.5 million, equivalent to 22 billion Rupiah.

The additional capital will be focused on expanding the team and strengthening services, the target is to acquire more clients from manufacturing companies and distributors. The service expansion throughout Indonesia will be their next target.

Was founded in 2016 by Rifki Pratomo, Andalin helps many businesses to perform export-import shipments. Including having a B2B model to help shipping companies in Indonesia find affordable cargo transportation – using aircraft (Air Cargo & Air Courier) or ships (Full Container Load & Low Container Load).

In addition, Andalin also has a supply chain service. This includes consulting services, customs management for import-export, and cargo insurance. They have also become Alibaba’s official partner in Indonesia, bridging the needs of local entrepreneurs to embrace the international market through the Alibaba platform.

“Our mission is to simplify and optimize international trade for businesses in Indonesia, starting with cross-border logistics,” Rifki said.

He also believes that Indonesia is experiencing a manufacturing boom, as happened in China three decades ago. This trend was accelerated by the US-China trade war which resulted in companies relocating manufacturing from China to countries in Southeast Asia, including Indonesia.

“By building a delivery company with modern technology, Andalin has the ability to dynamically simplify international supply chain solutions for our clients,” he added.

In Indonesia, the logistics business is quite developed, driven by many factors. Apart from manufacturing developments, the e-commerce business growth trend is also predicted to be a supporting factor. Moreover, there are many services from home and abroad that reach the international market. In the export-import segment, Andalin is not alone, there are several other players in the area include Expedito, Tera Logitic, and Janio.

Ekosistem bisnis logistik di Indonesia data iInfografik per Maret 2019)
Logistis business ecosystem in Indonesia, Infographic per March 2019

Logistics startup funding

The pandemic has become a momentum for logistics startups to maximize business. Evidently, this year there have been several startups in related fields that have received funding. The most significant was obtained by Waresix through the series B round if in total the company had raised $ 100 million worth of funding or the equivalent of 1.5 trillion Rupiah.

Startup Stage Nominal Investor
Andalin Seed BEENEXT, Access Ventures, ATM Capital
Waresix Series B EV Growth, Jungle Venture, SoftBank Ventures Asia, EMTEK Group, Pavilion Capital, Redbadge Pacific
Webtrace Seed Corin Capital, Prasetia Dwidharma, Astra Ventures
Shipper Series A $20 million Prosus Ventures, Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, AC Ventures
GudangAda Series A $25,4 million Sequoia India, Alpha JWC Ventures, Wavemaker Partners
Kargo Technologies Series A $31 million Tenaya Capital, Sequoia India, Intudo Ventures, Amatil X, Agaeti Convergence Ventures, Alter Global, Mirae Asset Venture Investment
Waresix Series A $25,5 million EV Growth, Jungle Ventures

Compared to last year, the trend is increasing, both in terms of quantity and nominal volume. From DailySocial’s records, there were 6 startups in the logistics sector that received funding from investors throughout 2019, as follows:

Startup Stage Nominal Investor
Kargo Technologies Seed $7,6 million Sequoia India, 10100 Fund, Agaeti Ventures, Northstar Group, Intudo Ventures, Zhenfund, ATM Capital, Innoven Capital
Triplogic Seed East Ventures
Ritase Series A $8,5 million Golden Gate Ventures, Jafco Asia, ZWC Partners, Insignia Ventures, Beenext, Skystar Capital, Mitsubishi Corporation
Waresix Series A $14,5 million EV Growth, Sinarmas Digital Ventures, Jungle Ventures
Shipper Seed $5 million Lightspeed Ventures, Floodgate Ventures, Insignia Ventures Partners, Convergence Ventures, Y Combinator
Finfleet Seri A $3,5 juta Kejora Ventures, XL Axiata, Gobi Ventures, Skystar Ventures, Asian Trust Capital


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

The Future of Impact Investment in Indonesia

How many startups and investors in Indonesia are using an environmental, social, and governance (ESG) approach or better known as impact investment in running their business? The answer is indeed limited. There are many factors to cause this. However, the digital economic entities are recently paying attention to this aspect.

In fact, Indonesia is not as mature as developed countries with regulations that “force” more players to make impactful investments. Apart from the current digital ecosystem which is yet to mature, there are a number of factors that hold the rise of impactful investment.

Piotr Jakubowski founded nafas with a focus on raising public awareness of the importance of clean air. Nafas allows an individual or corporation to participate as a sponsor in providing air quality sensors.

What becomes a challenge, says Piotr, is that often environmental impact initiatives such as the one he built through nafas are associated with company’s charity or CSR program. It is yet to be the main objective of an entity.

“The future of this category is clear. Science has confirmed the urgency of a number of environmental issues that can result in the growth of a for-profit business model that will focus on avoiding harm to our planet,” Piotr explained.

Crowde also nurtured the importance of green business. Head of Impact Investment, Afifa Urfani said that the urgency of holding the value of sustainability is not only for the purposes of company branding which is temporary but also for long-term interests.

Afifa takes an example of how Crowde, which focuses on credit in the agricultural sector, also implements reasonable restrictions on the use of chemicals, analyzes the impact of climate change on agriculture, mitigates risks related to climate change, such as the impact of prolonged drought on capital, and the formation of green scoring to assess the capital of a sustainable plan.

“For example, we invest a certain amount of money for a conventional business. Indeed, the income will be large and quite instant, but investing in a sustainable business looks heavy in the future, it can get low maintenance costs afterward,” Afifa said.

From an investor’s point of view, belief in the importance of impact investing can determine the sustainability of a company both resource and financially. This is held what ANGIN believes in.

ANGIN’s Impact Investment Lead, Benedikta Atika, noticed that impact investment growth in Indonesia maybe around 5-10 years behind other countries with more mature markets, however, there’s still some space for impact investment to grow in Indonesia.

In the early stages of private investment, Atika sees that many digital economy players in the country are starting to look at the environmental impact on the business they are in. The growth of the sustainable agricultural sector, waste management, and circular economy represent a positive movement of impactful investment.

“Apart from that, we also observed that several VCs who previously did not pay special attention to environmental impacts are now starting to have exposure, either having a special team related to impact investment or ESG (Environment, Social, and Governance) investment. They even launching a new fund for this approach,” Atika added.

Bagan di laporan ANGIN yang menemukan investasi berdampak di Indonesia makin bergairah setiap tahun.
ANGIN’s report shows that impact investing in Indonesia gets more excited every year.

Overall awareness

Even though it is called impact investment, the awareness of its importance must start from the business players. Crowde and nafas represent this by implementing sustainability values ​​into its business model.

Atika said, aligning perceptions of investment opportunities with the business entity’s mission of sustainability is a challenge. Based on the Investing in Impact in Indonesia 2020 report, there is indeed a gap in the perceptions of the two parties. One is very focused on how big the impact of the solution they can provide, the other prioritizes the scalability of solutions that can reach a wider market in the hope of bringing greater financial benefits.

Atika believes, as long as the business model and strategy to be implemented by startups are sustainable, investors’ trust will follow.

“In fact, commitment to the environment must come from the startup and be embedded in its business model, not as a “mandate” from investors. This commitment will then be reflected in the business strategy and implementation,” Atika said.

Crowde has applied that. They have won the trust of a number of investors. Trusts earned because their entire team has equal awareness of the importance of the impact of their business on the agricultural environment

Crowde is one of the few startups that has compiled an environmental impact report on the business they run. The distribution of knowledge and awareness is not only held by company officials, but also by all employees.

“For example, the approval of a draft budget for farmers’ costs for capital by using certain chemicals that have passed the dose will not reach the CEO’s ears. It takes awareness not only from agents in the field but also from supervisors at HQ,” Afifa added.

Pandemic accelerates process

The market’s flavor can determine investment appetite. Shifts in community behavior will affect business people in sustainable issues. We can take an example of the increasing public enthusiasm for clean energy products which is finally captured by new energy startups. However, it usually takes a long time to shift human behavior into a new habit.

Pandemic accelerates this process. Piotr said public awareness of clean air began to increase rapidly since the Covid-19 outbreak took place. A study from Harvard University showed there was a higher death rate from Covid-19 in areas with more concentrated PM2.5 pollution.

Afifa also sees the same thing in the agricultural sector. When the pandemic hits the global economy, investment in the food sector comes into the spotlight. Increasing productivity has always been the main focus of the food sector, almost without intersect on the sustainable aspect. In fact, Afifa mentioned, there are quite a lot of incentives from the government and the private sector to encourage investment in startups that hold sustainable issues as stated in the SDGs.

“Before the pandemic, investment in the agricultural sector was considered a ‘futuristic’ concept for future generations – which is clearly a misconception. However, with a huge hit during the pandemic, finally, investment in the food sector has become the main focus for economic growth, not just inclusively but massively,” Afifa said.

Growing awareness in the digital economy ecosystem also requires a long-term approach. Atika noticed that people often only rely on financial reports as a reference for operating expenses. Whereas health, welfare, and access can also be counted as non-financial burdens.

These indicators should be used to measure whether their business can contribute better to their environment. In addition, pursuing sustainability values, according to him, can still go hand in hand with the financial targets of a business entity.

“Again, reflecting on the mission and vision of the organization about what approach is the most feasible to do, both in terms of solutions, value chains, and business processes,” Atika said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kebangkitan Digital Banking dalam Ekosistem Startup

Dalam satu dekade terakhir ini, terlihat bagaimana industri mulai melirik dan mengadopsi teknologi. Berbekal inovasi dan digitalisasi, hampir seluruh industri dalam berbagai skala bisnis sudah menerapkan perubahan teknologi. Perbankan, sebagai salah satu institusi finansial tertua, mulai dituntut untuk bertransformasi secara digital baik internal maupun eksternal. Di sisi internal, pemanfaatan teknologi digital diharapkan dapat mengubah cara bank dalam melayani nasabah dan juga dalam kegiatan operasional. Di sisi eksternal, bank diharapkan mampu bekerjasama dan bertransformasi bersama dengan startup fintech sehingga layanan perbankan dapat terjangkau dan dinikmati oleh lebih banyak lagi nasabah.

Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh sektor perbankan dalam bekerjasama dengan startup dan/atau pelaku ekosistem lainnya, terutama dalam mendorong terwujudnya transformasi digital dengan menghadirkan inovasi yang berkelanjutan, contohnya dengan menghadirkan bank digital sebagai bentuk baru dalam produk dan layanan perbankan.

Dukungan pendanaan dan pengembangan secara in-house

Salah satu perbedaan yang dirasakan antara bank digital dengan bank konvensional adalah hubungan emosional yang terjalin melalui interaksi langsung saat nasabah mendatangi kantor cabang. Sedangkan jati diri dari bank digital adalah keterlibatan teknologi yang sangat kental. Menurut Ernst & Young (EY), ada beberapa cara perbankan mengadopsi tenkologi dalam kegiatan finansial mereka, terutama untuk meningkatkan bisnis dan pertumbuhan strategis ke depannya.

Dua diantara cara yang dapat dilakukan oleh sektor perbankan, antara lain:

1. Investasi

Cara yang paling umum yang digunakan oleh sektor perbankan adalah memanfaatkan perpanjangan tangan berupa corporate venture capital (CVC) yang dapat membuka kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan lebih banyak solusi inovatif yang sejalan dengan visi group induk untuk dapat melakukan penetrasi pasar yang lebih luas dalam waktu yang relatif singkat. Salah satu contoh yang dilakukan oleh Bank Mandiri melalui anak usahanya Mandiri Capital Indonesia (MCI) adalah menyediakan produk untuk fintech ataupun insurtech agar dapat diintegrasikan ke dalam ekosistem group Bank Mandiri.

2. Pengembangan produk secara in-house

Kompleksitas bisnis, lingkungan regulasi, dan compliance yang ketat cukup menjadi tantangan bagi sektor perbankan dalam melakukan inovasi produk. Dengan melakukan pengembangan secara in-house, diharapkan bank dapat mengakselerasi pengembangan produk.

Kehadiran platform API untuk redefinisi pelayanan jasa keuangan

Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia telah meningkat pesat. Hal ini didukung oleh peningkatan akses masyarakat terhadap internet melalui smartphone dan kehadiran fintech, startup, serta ecommerce yang mampu menghadirkan inovasi layanan keuangan digital bagi seluruh lapisan masyarakat. Tingginya respon masyarakat terhadap inovasi keuangan digital menunjukan adanya peluang bisnis bagi para pelaku industri keuangan untuk dapat menghadirkan inovasi keuangan digital. Pada akhirnya, hal ini juga dapat meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.

Bank Mandiri sebagai salah satu pelaku industri keuangan terbesar di Indonesia turut berupaya menghadirkan inovasi-inovasi layanan keuangan yang dapat meningkatkan akses Nasabah terhadap layanan keuangan dengan tetap mengutamakan kenyamanan Nasabah dalam bertransaksi. Inovasi layanan keuangan digital ini tidak hanya berfokus pada layanan yang dimiliki oleh bank namun juga dilakukan melalui strategi kolaborasi dengan para pelaku industri keuangan lainnya seperti fintech, startup dan ecommerce.

Hal ini yang kemudian diwujudkan oleh Bank Mandiri melalui pengembangan Mandiri API sebagai salah satu upaya Bank Mandiri untuk mengkoneksikan nasabahnya dengan layanan perbankan andal Bank Mandiri melalui platform milik mitra bisnis. Kehadiran Mandiri API diharapkan mampu membentuk suatu ekosistem digital sehingga layanan perbankan dapat diakses kapan saja dan dimana saja.

Bank Mandiri membuka kesempatan kepada pihak luar untuk turut berkontribusi menghadirkan layanan perbankan yang lebih terbuka. Hal ini tentu saja akan menguntungkan tidak hanya bank, tetapi juga pihak ketiga yang menjadi mitra bisnis. Dengan adanya Mandiri API nasabah dapat mengakses produk-produk dari Bank Mandiri seperti Mandiri e-Money, Mandiri Productive Loan Application, Mandiri Virtual Account, Mandiri Transfer, dan juga Mandiri Bill Payment dari platform mitra bisnis Bank Mandiri.

Bila ingin mengetahui informasi lebih lanjut terkait Mandiri API, silakan mengunjungi link berikut ini.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh Bank Mandiri

Melihat Bagaimana Peningkatan Penggunaan Email Marketing saat Pandemi

 

Pandemi COVID-19 memang menjadi tantangan tak terelakkan bagi para pelaku bisnis. Menurut data Topfloor, sejak merebaknya pandemi ini, terdapat 90% bisnis yang mengalami penurunan dalam kurun waktu satu bulan. Untuk dapat bertahan dan beradaptasi dengan situasi sulit ini, perusahaan mau tidak mau harus bisa beradaptasi dengan pendekatan digital dalam upaya pemasrannya.

Selain itu, para pelaku bisnis juga harus dapat secara cermat untuk menyesuaikan kembali anggaran pemasaran mereka selama pandemi. Meski harus tetap memikirkan banyak faktor bisnis, anggaran pemasaran harus tetap diatur dengan baik agar brand terus dapat mempertahankan sekaligus mengembangkan awareness yang dapat berdampak pada peningkatan penjualan.

Untuk mendukung hal tersebut, perusahaan juga harus memilih channel pemasaran yang efektif dan efisien dari segi anggaran, salah satunya adalah email marketing. Channel ini sendiri dianggap sebagai salah satu channel pemasaran yang tidak akan redup. Hal ini dikarenakan penggunaan email yang berisian dengan kehidupan sehari-hari, mulai dari urusan pekerjaan hingga hiburan, semua membutuhkan email.

Bahkan, selama pandemi ini penggunaan email marketing terus mengalami lonjakan penggunaan. Peningkatan signifikan ini sendiri juga dialami oleh salah satu penyedia platform email marketing, MTARGET. Menurut data MTARGET, terhitung ada lonjakan sebesar 61% semenjak masa pandemi mulai mempengaruhi banyak kegiatan bisnis di awal bulan Maret lalu.

 

email marketing
Data penggunaan email marketing bulan Agustus 2019 hingga Juli 2020 pada platform MTARGET.

Berdasarkan data di atas, ada peningkatan dalam penggunaan email marketing yang cukup signifikan terjadi pada bulan Agustus hingga Juli 2020 pada platform email marketing MTARGET. Data ini juga menunjukkan peningkatan ini juga terjadi secara signifikan saat memasuki masa pandemi yaitu pada bulan Maret 2020.

 

Data peningkatan pengiriman email pada platform MTARGET
Statistik peningkatan pengiriman email pada platform MTARGET

Secara detail, aktivitas pengiriman email marketing pada platform MTARGET selama masa pandemi ini juga memang terus mengalami peningkatan. Pengiriman email yang mulai menurun hinga Februari, perlahan terus menanjak hingga bulan Juli lalu. Data di atas menunjukkan bahwa email marketing memang dilihat dan dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan untuk berinteraksi ataupun meningkatkan awareness di masa pandemi. Hal ini seiring dengan adanya peningkatan intensitas penggunaan yang terjadi pada periode ini.

Untuk mengetahui informasi seputar email marketing dan fitur-fitur yang dimiliki oleh MTARGET, silakan kunjungi link berikut ini.