Bukalapak Ubah Alokasi Dana IPO, Dorong Akselerasi Pertumbuhan Bisnis

PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) mengumumkan perubahan alokasi dana yang diperoleh sebesar Rp21,9 triliun dari aksi melantai di Bursa Efek Indonesia. Bukalapak mengubah porsi modal kerja dan mengalokasikan sebesar 33% untuk pengembangan perusahaan dan anak usaha, misalnya melalui pembelian atau penyertaan saham dan/atau aset.

Dalam keterangan resminya, perubahan alokasi dana IPO ini disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bukalapak yang digelar pada Rabu, 23 Desember 2021.

Direktur Utama Bukalapak Rachmat Kaimuddin mengatakan bahwa langkah ini sejalan dengan strategi perusahaan untuk fokus mencapai pertumbuhan perusahaan secara berkesinambungan. Perusahaan akan terus mengelola biaya-biaya yang timbul secara efisien serta mengkaji potensi dan kesempatan untuk mendorong pertumbuhan di masa depan.

Rinciannya, sebesar 33% dari dana IPO akan digunakan untuk modal kerja perusahaan. Kemudian, 34% untuk modal kerja anak usaha yang terdiri dari; Buka Mitra (15%), Buka Usaha (15%), serta Buka Investasi, Buka Pengadaan, Bukalapak, dan Five Jack masing-masing 1%.

Bukalapak memberikan alokasi baru sebesar 33% untuk pengembangan usaha perusahaan dan anak usaha. Dalam pernyataannya, pengembangan usaha ini tidak terbatas pada pembelian saham dan/atau aset, dan/atau penyertaan saham pada satu atau lebih perusahaan termasuk perjanjian patungan (joint venture), metode transaksi lain yang sesuai, serta pelunasan fasilitas pinjaman yang digunakan untuk keperluan pertumbuhan dan/atau pengembangan usaha baik sekarang maupun yang akan datang.

ALOKASI SEBELUM SESUDAH
Modal kerja 66% 34%
Buka Mitra  15% 15%
Buka Usaha  15% 15%
Buka Investasi Bersama 1% 1%
Buka Pengadaan 1% 1%
Bukalapak Pte. Ltd 1% 1%
Five Jack (itemku) 1% 1%
Pengembangan usaha lewat model; (1) pembelian saham dan/atau aset, (2) penyertaan saham pada satu atau lebih perusahaan, (3) pelunasan fasilitas pinjaman untuk keperluan pertumbuhan dan/atau pengembangan usaha saat ini dan akan datang  33%

Selain perubahan penggunaan dana IPO, RUPSLB juga mengumumkan pengunduran diri Lau Eng Boom dari jajaran Dewan Komisaris. RUPSLB ini dipimpin oleh Komisaris Utama sekaligus Komisaris Independen Bukalapak Bambang Brodjonegoro.

Lau Eng Boom telah memulai masa pensiunnya di Government of Singapore Investment Corporation Pte Ltd (GIC). Dengan kondisi ini, berakhir pula masa tugas Lau Eng Boon sebagai Komisaris Bukalapak.

“Agenda RUPSLB ini merefleksikan dinamika positif dan komitmen Bukalapak sebagai perusahaan publik untuk terus tumbuh melalui berbagai pengembangan. Kami optimistis pengembangan ini dapat terus mendukung tujuan Bukalapak menuju pertumbuhan berkelanjutan serta profitabilitas,” ujar Komisaris Utama dan Komisaris Independen Bukalapak Bambang Brodjonegoro.

Sebagaimana diketahui, Bukalapak resmi mencatatkan diri sebagai perusahaan publik pada Agustus 2021 dengan meraup dana sebesar $1,5 miliar atau sebesar Rp21,9 triliun (kurs saat itu). Bukalapak tercatat sebagai startup unicorn pertama yang go public di Asia Tenggara.

Mendukung bisnis existing

Jika mengacu pada pencapaian kinerja dan fokus strategi, alokasi dana baru ini bisa saja dimanfaatkan untuk mendongkrak bisnis existing Bukalapak, terutama pada lini bisnis yang tumbuh signifikan, melalui strategi anorganik.

Sebagai ujung tombak bisnis perusahaan, Mitra Bukalapak punya PR besar untuk mendigitalisasi segmen warung dan UMKM. Unit bisnis ini juga mengincar ruang pertumbuhan baru dengan rencana ekspansi ke kota tier 2 dan 3. Strategi anorganik ini dapat membantu Bukalapak mengakselerasi pertumbuhan Mitra Bukalapak.

Berdasarkan laporan keuangan di kuartal III 2021, marketplace memang masih menjadi kontributor pendapatan terbesar dengan Rp780,4 miliar, tetapi hanya tumbuh 5,1% secara tahunan. Sementara, pertumbuhan Mitra Bukalapak meroket hingga 322% menjadi Rp496,7 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu.

Bukalapak saat ini tengah mengecap momentum dari pertumbuhan Mitra Bukalapak serta klaim posisinya yang mendominasi segmen warung dan UMKM. Bukalapak kini punya 7 mitra dalam lima tahun sejak diluncurkan.

Porsi pendapatan Bukalapak didasarkan pada unit bisnisnya / DailySocial.id

Menurut survei Nielsen terhadap 1.800 warung dan 1.200 kios pulsa, Mitra Bukalapak tercatat sebagai pemimpin di pasar O2O dengan penetrasi sebesar 42% dibandingkan pemain O2O yang memiliki pengguna 2,5 kali lipat lebih banyak di survei ini.

Dihubungi secara terpisah, Head of Media and Communications Bukalapak Fairuza Ahmad Iqbal belum dapat memberikan informasi lebih lanjut terkait rencana dari alokasi baru tersebut. Ia menegaskan bahwa pihaknya terbuka terhadap peluang di sektor yang dapat menciptakan hasil yang bermanfaat dengan sumber daya yang dimiliki.

“Dengan disetujuinya perubahan penggunaan dana IPO ini, kami dapat menggunakan dana untuk mengimplementasikan rencana akuisisi. Namun, sampai sekarang belum ada ada yang bisa kami laporkan,” ungkapnya.

Application Information Will Show Up Here

Mengulik Dapur WLabku, Daur Ulang Ampas Tebu demi Akselerasi “Zero Carbon Emission” di Indonesia

“Many business leaders are seeing the relationship between long term success and sustainability, and that’s very heartening.” — Jacqueline Novogratz, entrepreneur

Ada berbagai persepsi yang menyebutkan bahwa tak mudah untuk berkecimpung pada bisnis di environmental impact. Anggapan pertama, sulit bagi pelaku startup untuk menghasilkan uang–apalagi keuntungan–dan realisasinya pun memakan waktu panjang. Kedua, anggapan ini membuat minat investor semakin terbatas. Namun, bukan berarti tidak ada.

Banyak startup di dunia yang membawa misi untuk menyelamatkan bumi alih-alih mengedepankan keuntungan. Di Indonesia, jumlahnya mungkin masih terhitung jari. Ada startup energi terbarukan Xurya dan startup pengumpulan sampah Duitin. Semua ini ingin membuat bumi menjadi lebih hijau dan ramah bagi manusia.

WLabku, sebuah startup waste management yang mendapatkan pendanaan dari impact investor Gayo Capital, memiliki misi yang sama, yaitu mendaur ulang ampas tebu menjadi produk bernilai demi mewujudkan akselerasi zero carbon emission di Indonesia.

DailySocial berkesempatan berbincang dengan dua sosok penting di Gayo Capital, yakni Jefri R Sirait selaku Co-Founder & Managing Partner dan Eldo Wana Kusuma sebagai Investment Principal tentang pengembangan daur ulang, metrik bisnis, hingga dampak lingkungan di segmen bisnis ini.

Mengenai WLabku

Berdiri sejak 2019, WLabku merupakan startup di bidang waste management solution yang mendaur ulang limbah tebu sebagai pakan ternak (bagasse). Tak hanya itu, hasil daur ulang ini dapat digunakan sebagai biofuel (bahan bakar dari materi tumbuhan dan hewan) untuk memproduksi panas, energi, listrik, serta manufaktur pulp dan bahan bangunan. Kuantitas yang diperoleh berkisar 22%-36%, tergantung porsi serat dan kebersihan dari pasokan tebu.

Mengapa tebu? Mengutip informasi di situs resmi Gayo, ampas tebu adalah residu berserat yang tersisa setelah penggilingan, mengandung kadar air sebesar 45%-50% dengan campuran serat fibre dan jaringan parenkim yang lembut dan halus dengan sifat higroskopis tinggi. Ampas tebu juga mengandung selulosa, hemi selulosa, pentosan, lignin, gula, lilin, dan mineral.

Di Indonesia, tebu telah ditanam dengan luas mencapai 450.000 hektar. Rata-rata hasil produksinya di community plantation (sekitar 266.000 hektar) tak sampai 80 ton per hektar dengan yield level di bawah 8%. Potensi kapitalisasi pasar daur ulang tebu berkisar 5% dari ampas tebu tua, yakni sebesar Rp2,2 triliun.

Pada 2020, WLabku memperoleh investasi dari Gayo Capital lewat dua putaran pendanaan. Berdasarkan data Crunchbase, WLabku mendapat pendanaan tahap awal (seed) pada Januari 2020 sebesar $1 juta, dan putaran kedua pada Juli 2020 melalui convertible note sebesar $90.000.

Co-Founder & Managing Partner Jefri R Sirait mengungkap, WLabku merupakan salah satu portofolio investasi Gayo Capital yang menawarkan value added sebagai biomass waster. Menurutnya, banyak sekali material tak terpakai (unused) yang sebetulnya dapat dimanfaatkan kembali (circular economic) di sektor pertanian, peternakan, bahkan masyarakat Indonesia.

Ia menilai daur ulang material terpakai ini menjadi salah satu kunci penting untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi di Indonesia, serta dapat memproduksi carbon farming.

“Sejak awal, saya dan Edward [Ismawan Chamdani] sebagai Founder Gayo Capital, melihat Sustainable Development Goals (SDG) serta petani, peternak, nelayan, dan UMKM harus menjadi epicentrum di Indonesia. Ini menjadi dasar kuat bagaimana pedesaan dapat memperkuat perkotaan. Hal ini juga menjadi fundamental dalam investasi kami dan we bring the tech ke mereka. WLabku akan melengkapi ekosistem portofolio kami di bidang waste management dan agriculture,” ujar Jefri.

Agenda WLabku

Ada dua agenda besar yang akan dilakukan WLabku. Pertama, mengekspor sampah ampas tebu yang sudah didaur ulang menjadi produk bernilai. Misalnya, daur ulang menjadi bahan baku (feedstock). WLabku mengambil peran untuk mendaur ulang dan mengolahnya menjadi makanan sapi, lalu mengekspornya ke beberapa negara, seperti Jepang dan kemungkinan Selandia Baru.

Investment Principal Eldo Wana Kusuma mengungkap, salah satu klien supplier-nya kebingungan untuk mengolah limbah ampas tebu yang telah menumpuk bertahun-tahun. Apabila limbah ini dibakar, prosesnya menghasilkan lebih banyak emisi karbon yang justru menimbulkan polusi terhadap lingkungan. Artinya, metode pembakaran bukan lah solusi tepat untuk mengolah sampah organik.

Selain itu, prosesnya juga memakan waktu lama sehingga hasil produksi tidak seimbang dengan proses pemusnahan sampahnya. Ini belum lagi bicara potensi pengeluaran biaya baru untuk menampung sampah.

Tanpa pabrik pengolahan, ampas tebu akan terbuang sia-sia karena hanya akan berakhir di pembakaran dan kehilangan nilainya. Ini akan berdampak buruk terhadap lingkungan karena memicu produksi karbon. WLabku memainkan peran untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas dengan mengubah sampah atau limbah menjadi produk bernilai. 

Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah timbulan sampah nasional mencapai 175.000 ton per hari atau setara 64 juta ton per tahun (asumsi sampah dihasilkan setiap orang per hari sebesar 0,7 kg)

Dirinci dari komposisinya, mayoritas sampah sebesar 50% berasal dari organik (sisa makanan dan tumbuhan), plastik (15%), dan kertas (10%). Sisanya berasal dari logam, karet, kain, kaca, dan lain-lain. Dari kategori sumber, rumah tangga paling banyak menghasilkan sampah (48%), diikuti pasar tradisional (24%), kawasan komersial (9%), dan sisanya dari fasilitas publik, sekolah, kantor, dan jalan.

Kedua, mengakselerasi program zero emission. “Sisa penyaringan ampas tebu tidak 100% bisa dijadikan feedstock. Sisa residu dapat dipadatkan dan dimanfaatkan untuk bahan bakar co-firing dalam bentuk pellet untuk mengurangi emisi karbon dari hasil pembakaran fossil. Ini yang saya maksud sebagai akselerasi program zero emission,” tuturnya.

Pada 2030, Jepang mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh pabrik menggunakan bahan bakar fossil. Ampas tebu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam bentuk pellet atau bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan konsentrat atau hijauan untuk mengurangi sifat keambaan pakan. Adapun, pellet yang dihasilkan WLabku dapat mencapai 4.300 kalori.

Akselerasi bisnis

Dengan berbagai rencana di atas, bagaimana upaya Gayo Capital untuk mengakselerasi bisnis WLabku?

Gayo Capital turut berperan sebagai venture builder. Mereka ikut memberikan pendampingan dan menghubungkan jaringan bisnis kepada founder WLabku. Gayo tak hanya terlibat dari aspek permodalan saja. Apalagi, ungkapnya, tiga partner di Gayo Capital memiliki latar belakang kuat di bidang keuangan, operasional, jaringan, dan kemitraan bisnis. Ini menjadi nilai tambah yang ingin diberikan kepada WLabku.

Lebih lanjut, Eldo berujar skalabilitas bisnis WLabku dapat ditingkatkan selama memiliki model bisnis yang matang. Menurutnya, skalabilitas bisnis impact sulit dicapai apabila founder hanya memikirkan aspek ‘for the sake of humanity and mother earth‘.

Salah satu tantangannya adalah berinvestasi di sektor lingkungan membutuhkan lebih dari satu sumber permodalan, yakni menggabungkan private capital dan development funding. Penggunaannya pun harus tepat sasaran. Ambil contoh, dana hibah dari yayasan atau program CSR dapat digunakan untuk kebutuhan riset, sedangkan investasi dari Venture Capital (VC) dipakai untuk biaya operasional (opex) dan modal kerja.

Pendekatan investasi untuk membangun sustainable ecosystem / Sumber: Gayo Capital

Dalam kasus WLabku, perusahaan telah melakukan riset sendiri, sedangkan sumber pendanaan masih dipimpin oleh Gayo Capital. “Selagi penggunaannya tepat sasaran, saya rasa semua bisa berjalan lancar. Kebanyakan para founder yang bermain di ranah impact, terlalu mementingkan riset dan mengesampingkan bisnis. Jadi ini tantangan yang lumayan sulit,” ucapnya.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Eldo mengincar kolaborasi strategis antara WLabku dan ekosistem portofolio di Gayo Capital. Terutama kolaborasi lintas produk/layanan yang masih dalam koridor sustainability. Misalnya, waste-to-energy atau clean energy. Artinya, scale up bisnis tak cuma terbatas pada pemilik model bisnis serupa dengan WLabku.

“Kami tidak bisa bergantung hanya dari fossil fuel dan ini sebetulnya agenda kami sejak lama. Kami berharap ada kolaborasi antara portofolio dengan pendekatan penta-helix di Gayo Capital, dan seharusnya hal ini bisa diakselerasi lebih cepat lagi.”

Impact vs profit

Mana yang perlu didahulukan, dampak atau keuntungan? Sebuat pertanyaan sulit menyikapi tantangan berbagai investor ketika melakukan impact investing di sektor environmental atau sustainability.

Eldo mengungkap, saat ini pihaknya tengah mencoba membuktikan model bisnis WLabku dapat diterima di pasar, yakni mengubah sampah menjadi valuable product untuk menyelesaikan masalah pada penumpukan limbah pabrik. Apabila berhasil, Gayo baru akan bicara soal financial return.

Adapun, ia menyebut rerata investasi VC secara umum berkisar 3-5 kali dalam 5-10 tahun fund lifetime (berkisar 27%-30% return per tahun).

Profit belum menjadi fokus utama meski pada akhirnya investor pasti mengharapkan return. Untuk tahap awal, kami berharap pada impact. Sebetulnya, berkat bantuan stakeholder, kami sudah [mulai] mengarah ke dua-duanya, baik impact maupun financial return,” ujarnya.

WLabku menggunakan sejumlah metrik untuk mengukur pertumbuhan bisnis maupun dampak terhadap lingkungan. Dari pertumbuhan bisnis, Gayo memakai metrik, seperti jumlah supplier dan buyer.

Secara paralel, ia menilai semakin banyak yang suplai, semakin berkurang juga sampah limbah pabrik. Semakin banyak yang membeli, semakin cepat pula akselerasi untuk mewujudkan program zero carbon emission.

Sementara itu, WLabku mengukur lewat jumlah ampas tebu yang didaur ulang dan dampak terhadap lingkungan dari solusi yang mereka tawarkan. Dampak ini dapat diukur dari tingkat pengurangan polusi bau atau pencemaran lingkungan. “Untuk [mengukur] dampak itu, kami pakai tools dengan ESG Report,” tambahnya.

Sedikit informasi, ESG (Environmental, Social, Governance) Reports merupakan acuan atau formula untuk mengukur dampak pencemaran lingkungan. ESG melaporkan data operasional berbagai perusahaan yang berfokus pada tiga area, yaitu lingkungan, sosial, dan corporate governance.

Di Indonesia, penerapan ESG mulai diberlakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada Maret 2021, BEI meluncurkan indeks baru IDX ESG untuk mendorong praktik lingkungan, sosial, dan tata kelola emiten (perusahaan tercatat di pasar modal). Dalam jangka panjang, penerapan ESG diharapkan dapat menggerakan lebih banyak aliran modal ke Indonesia.

Metrik satu-untuk-semua

DailySocial berbincang singkat dengan Partner di Patamar Capital Dondi Hananto, bicara tentang metrik dan skalabilitas impact investing di Indonesia secara umum. Mengambil contoh pada social impact, menurutnya saat ini belum ada metrik satu-untuk-semua (one for all) yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan bisnis, baik yang bersifat equity maupun non-equity. Semua bergantung dari model bisnis dan dampak yang dikejar oleh startup.

Sementara di segmen environmental impact, Dondi menilai pengembangan bisnisnya belum dapat mengandalkan commercial financing sepenuhnya mengingat pasarnya di kawasan Asia Tenggara belum matang. Maka itu perlu dorongan dari sumber pendanaan lain (blended finance), seperti yayasan, CSR, atau dana sosial.

Ini menjadi salah satu faktor mengapa skalabilitas bisnis pada startup di environmental impact sulit diakselerasi. Belum lagi bicara soal benturan dalam mengejar ‘impact versus profit‘ mengingat keduanya sulit untuk dicapai secara bersamaan. Dondi menilai sulit untuk menahan dampak dalam jangka panjang apabila sejak awal bisnisnya sudah profit-oriented.

“Secara business model, saya belum melihat [environmental startup] yang bisa cepat scalable. But, the trend is going there,” ungkap Dondi.

OUE Limited Akuisisi 17,2% Saham Multipolar, Ingin Dorong Bisnis Digital di Indonesia

Perusahaan pengembang properti berbasis di Singapura, OUE Limited mengakuisisi 17,2% saham milik PT Multipolar Tbk (MLPL) dengan nilai Rp1 triliun (sekitar $70 juta). Aksi korporasi ini dilakukan untuk mendorong bisnis digitalnya di Indonesia.

Transaksi ini disepakati melalui perjanjian jual-beli atau sale and purchase agreement (SPA). Dalam proses pengajuan di bursa Singapura, OUE akan mencaplok sebanyak 2,5 miliar saham Multipolar di harga Rp400 per lembar saham. Harga ini terbilang premium di kisaran 11,1% dibandingkan harga penutupan per 17 Desember 2021.

“Transaksi ini akan memberikan kesempatan bagi OUE untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi digital yang tengah berkembang pesat di Indonesia, yang mana seluruh portofolio bisnisnya berada di intersection dari sektor teknologi dan consumer,” ungkap OUE Corporate Secretary Kelvin Chua seperti dikutip dari DealStreetAsia.

Untuk mengakuisisi Multipolar, OUE akan membeli saham PT Inti Anugerah Pratama (IAP), perusahaan investasi yang dimiliki Stephen Riady dan James Riady. IAP akan memegang sebesar 8,97 miliar saham Multipolar, mewakili 55,1% dari total saham perusahaan.

Sebagai informasi, Stephen merupakan pengendali saham di OUE Limited, yang merupakan pemilik, pengembang properti dan pengelola real-estate di kawasan Asia. Stephen Riady juga menggenggam 40% saham di IAP, serta menduduki posisi sebagai Executive Chairman dan Group Chief Executive Officer.

Sementara, Multipolar merupakan anak perusahaan konglomerasi raksasa Lippo Group. Sebelumnya, CEO Lippo Karawaci John Riady sempat mengungkap minatnya untuk menempatkan Multipolar di barisan depan untuk mendongkrak bisnis di sektor teknologi dan investasi di grup.

Berdasarkan laporan keuangan kuartal III 2021, Multipolar berhasil meraup keuntungan sebesar Rp88 miliar, dari kerugian besar Rp675 miliar di periode sama tahun lalu. Namun, perusahaan mencatat penurunan pendapatan dari Rp7,4 triliun dari sebelumnya Rp7,6 triliun.

Rebranding Multipolar

Aksi korporasi di atas mengindikasikan upaya Lippo Group untuk menempa bisnis teknologi dan investasi lebih agresif di tahun depan. Ditambah, kelanjutan dari kemitraan strategis Multipolar usai GoTo mengakuisisi perusahaan jaringan ritel modern PT Matahari Putra Prima (IDX: MPPA) pada Oktober lalu.

Baru-baru ini, Multipolar juga mengumumkan wajah barunya dengan nama “MPC“. Rebranding ini dilakukan sekaligus untuk mempertajam strategi dan fokus perusahaan di sektor ekonomi digital. Group CEO MPC Adrian Suherman mengungkapkan akan menggenjot investasi baru di area futuristik yang berfokus pada empat sektor utama, yaitu ritel, teknologi, kesehatan, dan bank digital di 2022.

Multipolar telah menanamkan investasi strategis di sejumlah startup melalui kendaraan investasi milik Lippo Group, Venturra Capital. Beberapa di antaranya adalah OVO, Sociolla, dan Ruangguru. Hingga saat ini, MPC telah berinvestasi di lebih dari 50 perusahaan teknologi di Indonesia.

Mengacu laporan e-Conomy SEA 2021 yang disusun oleh Google, Temasek, dan Bain & Co, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi akan mencapai $70 miliar di 2021.

MDI Ventures Memperkenalkan “eMerge”, Program untuk Fasilitasi Jaringan Angel Investor di Indonesia

Perusahaan ventura milik Telkom Group, MDI Ventures, meluncurkan platform eMerge yang dapat menghubungkan jaringan angel investor dan startup di Indonesia. Platform ini menutup kesepakatan pertamanya yang diperoleh startup livestreaming game Gox dengan nominal yang dirahasiakan.

eMerge merupakan platform yang difasilitasi oleh MDI Ventures untuk mempertemukan angel investor dan startup tahap awal (early stage) di Indonesia. MDI enggan menyebut jumlah angel investor yang telah bergabung ke platform eMerge.

Partner di Centauri MDI-KB Kenneth Li mengatakan, pihaknya ingin membuka kesempatan kepada angel investor untuk berinvestasi di startup lokal. Ia melihat selama ini startup tidak selalu bertemu dengan angel investor yang tepat untuk membangun bisnis.

Selain itu, ekosistem angel investor di Indonesia kurang terekspos karena mereka cenderung menutup identitasnya ketika berinvestasi. Berbeda dengan kiblat industri digital dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok yang sudah terbentuk jaringan angel investor-nya.

“Maka itu, kami ingin bantu develop ekosistem ini. Angel investor dapat membawa startup yang mereka temui ke dalam platform ini,” ungkap Kenneth saat dihubungi oleh DailySocial.id.

Tidak ada kriteria khusus bagi angel investor yang ingin berinvestasi melalui platform ini. Namun, Kenneth menambahkan bahwa MDI akan ikut memberikan pendampingan kepada para angel investor ini.

“Kami akan assist dan educate, tetapi angel investors lead the investment. Mereka yang melakukan negosiasi dengan startup. Kami bantu di aspek legal dan due dilligence,” ungkapnya.

Sedikit informasi, eMerge memiliki ketentuan periode investasi dari 1-10 tahun dengan target return sekitar 2,6 kali dalam 3,5 tahun dan internal rate of return (IRR) tahunan sebesar 27%.

Ekosistem angel investor di Indonesia

Berdasarkan laporan Angel Investment Network Indonesia (ANGIN) di 2020, ekosistem angel investor di Indonesia saat ini masuk fase bertumbuh (growing), bersama dengan Filipina, Thailand, dan Vietnam. Sementara ekosistem angel investor di negara tetangga, Malaysia dan Singapura, sudah ada di fase mature.

Di Indonesia, ANGIN merupakan organisasi jaringan angel investor terbesar di Indonesia yang memiliki 130 klien investor, termasuk 80 angel investor individu. Dari jumlah tersebut, ANGIN telah mengumpulkan lebih dari 200 investor tahap awal yang terlibat dalam pendanaan.

Meski VC sudah mulai bermain di ticket size kecil, Impact Investment Lead ANGIN Benedikta Atika menilai bahwa angel investor punya peran yang lebih relevan, terutama bagi startup tahap awal.

Ada beberapa faktor yang melandasi hal ini, yakni fleksibilitas angel investor dalam memberikan dukungan di luar kapital serta minat angel investor untuk memberi dukungan ke sektor niche (misal less-tech enabled model, social impact) yang selama ini dianggap kurang menarik oleh investor pada umumnya.

Dalam jajaran angel investor yang bergabung di ANGIN, terdapat investor institusi yang datang dari VC, keluarga konglomerat, korporat, impact investor, dan organisasi. Sementara dari kalangan individu, datang dari pengusaha, HNWI (High-Net-Worth-Individuals), dan figur publik. Sebesar 80% dari total klien ANGIN adalah orang Indonesia.

Sebelumnya, Founder & CEO Kenangan Kapital Edward Tirtanata juga sempat menyinggung tentang minimnya akses untuk terhubung dengan angel investor di Indonesia. Ia menilai eksistensi angel investor di Indonesia sebetulnya bukannya tidak ada, hanya saja mereka cenderung tak ingin terekspos namanya. Edward sendiri telah menjajal peran baru sebagai angel investor lewat Kenangan Fund selama dua tahun terakhir.

Misi Unit Bisnis Telkom “Agree” Mendigitalisasi Ekosistem Pertanian dari Hulu ke Hilir

Sebagai kekuatan perekonomian Indonesia, pertanian menjadi salah satu sektor utama dalam agenda transformasi digital yang dibidik oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). Perusahaan melalui unit bisnis Agreeculture (Agree) berupaya memecahkan berbagai masalah dan tantangan yang dialami oleh petani Indonesia dengan teknologi.

Agree adalah platform agregator untuk membantu digitalisasi pertanian yang menghubungkan pelaku, pembeli, pemodal, dan entitas pendukung ekosistem pertanian.

Berdasarkan laporan DSResearch dan Crowde bertajuk “Driving the Growth of Agriculture-Technology Ecosystem in Indonesia”, sektor pertanian di Tanah Air umumnya terhalang oleh akses permodalan, literasi keuangan, serta kemampuan, pengetahuan budidaya, dan hingga kemampuan bercocok tanam petani. Belum lagi bicara soal risiko gagal panen di sektor budidaya akibat faktor cuaca dan hama.

Rendahnya latar belakang pendidikan dan literasi keuangan para petani turut berkontribusi terhadap tantangan pelaku usaha budidaya. Badan Pusat Statistik (BPS) di 2018 mencatat hanya 4,5 juta dari total 27 juta pelaku usaha di agrikultur yang terhubung dengan internet.

Bagaimana perjalanan dan peta bisnis Agree dalam memecahkan sejumlah masalah di atas?

DailySocial mendapat kesempatan untuk berbicara lebih dalam mengenai pengembangan platform Agree bersama Head of Digital Vertical Ecosystem Agriculture Hikmatullah Insan Purnama dan Head of Go-To-Market (GTM) Operations Agree Danang Satria Mustari.

Ide, pivot, dan model bisnis

Hikmatullah, yang akrab disapa Hikmat, mengungkap ide mengembangkan Agree baru tercetus di 2017. Agree berdiri sejalan dengan visi Telkom untuk berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi nasional, salah satunya melalui digitalisasi sektor pertanian.

Usai melalui masa inkubasi ide sekitar satu tahun, layanan Agree komersial di 2018. Saat itu, Agree  baru menawarkan produk pinjaman modal usaha kepada petani lepas, mirip konsep platform P2P lending TaniFund dan iGrow. Namun, Hikmat berujar, dalam dua tahun perjalanannya, produk pinjaman ini tidak memperoleh product-market fit dikarenakan banyak petani gagal bayar dan rasio Nonperforming Loan (NPL) bengkak hingga 10%.

Hikmat yang baru bergabung pada Maret 2020 memutuskan untuk mem-pivot Agree dengan mengubah segmen pasarnya, dari pemberian modal usaha ke petani lepas ke petani yang sudah bekerja sama dengan perusahaan agribisnis. Model ini diadopsi untuk menjamin produk petani dibeli dan memastikan harga jual di awal. Dengan model ini, ia meyakini lembaga keuangan mau memberikan pinjaman.

Agree mulai go to market pada Januari 2021 setelah melewati proses uji coba pasar sejak September 2020. Menurut catatannya, perusahaan telah menyalurkan Rp826 miliar ke 47.362 petani dengan 80 miliar transaksi pembelian 88 perusahaan agribisnis. Perusahaan membantu menyalurkan modal usaha dari startup Alami Sharia dan sepuluh lembaga keuangan lainnya.

Cara Agree menghubungkan ekosistem di pertanian / Sumber: Agree

“Perusahaan agribisnis yang bergabung di Agree diharapkan dapat meningkatkan demand. Untuk mendapat demand, platform kami menawarkan dua skema, yakni mempertemukan perusahaan agribisnis dan buyer, serta mencarikan buyer untuk perusahaan agribisnis. Baru lah perusahaan agribisnis membuat kontrak dengan petani. Jadi, rantai ekosistem ini akan sampai ke buyer,” ungkap Hikmat.

Untuk memitigasi risiko, Agree menyiapkan sejumlah langkah, yaitu mengembangkan dashboard agar bank dan lembaga keuangan dapat memonitor kegiatan petani, serta memanfaatkan perangkat IoT dan field assistant untuk memastikan pemanfaatan modal usaha. Agree bekerja sama dengan asuransi Jasindo untuk memitigasi risiko gagal bayar.

Struktur organisasi

Agree merupakan unit bisnis yang berada di bawah naungan Direktur Digital Business Telkom M Fajrin Rasyid. Ekosistem ini dipimpin langsung oleh Head of Digital Vertical Ecosystem Agriculture Hikmatullah Insan Purnama.

Hikmat membawah tiga tribe leader, yang terdiri dari pertanian, perikanan, dan smart city. Adapun, Agree menawarkan lima layanan antara lain Agree Partner, Agree Modal, Agree Market, Agree Pedia, dan Smart Farming. Kelima layanan ini disiapkan untuk mendigitalisasi kegiatan pertanian dan menghubungkan berbagai stakeholder.

Menurut Hikmat, Agree diamanatkan untuk mengembangkan digitaliasi pada sektor pertanian, tetapi kapabilitasnya juga dipakai untuk mendukung ekosistem peternakan dan perikanan karena sekop bisnisnya sangat luas. Adapun, total orang yang mengelola ekosistem digital di pertanian, peternakan, dan perikanan mencapai 100 orang (pro hire), ditambah tujuh orang Telkom.

Mengingat pengembangan bisnis digital di lingkup korporasi akan selalu dikaitkan dengan growth culture, agilitasnya tentu akan berbeda dalam lingkup startup. Dalam hal ini, Hikmat mengaku bahwa Telkom memberikan kewenangan sepenuhnya kepada tribe leader yang mengelola Agree untuk mengembangkan produk, strategi, hingga marketing. Bahkan Direktur Digital Business M Fajrin Rasyid turut memberikan pendampingan.

Pengembangan ide hingga eksekusi Agree dilakukan dari scratch dengan mengambil sejumlah pelajaran dan pengalaman dari startup-startup lain. Namun, untuk meningkatkan kapabilitasnya, Agree akan dikembangkan sebagai open platform sehingga dapat membuka peluang kemitraan dengan startup atau perusahaan lain.

Metrik, target unicorn, dan spin-off

Selain growth culture, lanjut Hikmat, Agree juga diberikan keleluasaan untuk menentukan metrik bisnis, seperti jumlah transaksi, jumlah mitra perusahaan agribisnis, dan Monthly Active User (MAU).

Menurutnya, ini menjadi landasan utama Agree dibentuk dalam divisi terpisah dan dipimpin oleh Direktorat Digital Business. Agree ingin memisahkan diri dari nature business telekomunikasi yang identik dengan investasi besar dan dituntut untuk balik modal.

“Agree tidak dituntut menghasilkan pendapatan di tahap awal. Targetnya adalah mengantongi traction, bahkan target jangka panjang harus dapat mencapai unicorn. Dengan cara ini, rule di Telkom berbeda dengan Agree. Key Performance Indicator dihitung dari pendapatan, benefit, dan valuasi. Bagi [bisnis] yang belum menghasilkan pendapatan, misal IoT, kami akan divaluasi dari internal dan eksternal.

Dengan melihat pertumbuhan ekosistem agritech yang mulai mature, Agree juga mempertimbangkan rencana untuk spin off sehingga dapat bergerak lebih cepat sebagai perusahaan digital. Dengan posisi saat ini, Agree masih harus mengikuti cara kerja sesuai aturan Telkom dan negara sebagai pemilik saham perusahaan.

Untuk saat ini, Hikmat belum dapat mengelaborasi rencana spin off tersebut dalam waktu dekat.

Rencana bisnis

Head of Go-To-Market (GTM) Operations Agree Danang Satria Mustari menambahkan, ada sejumlah rencana ekspansi yang disiapkan di tahun depan, mengingat saat ini Agree baru meluncurkan dua layanan ke pasar, yakni Agree Modal dan Agree Partner.

Pertama, Agree akan memperluas segmen pasar komoditas yang lebih besar dan tidak terbatas pada sektor pertanian dan perikanan saja. Misalnya, kopi dan produk hortikultur. Kemudian di Agree Modal, perusahaan akan memperluas target pasar pembiayaan, tak cuma pelaku budidaya saja, tetapi juga ke pembiayaan buyer (invoice financing).

Pada layanan Agree Partner, pihaknya akan meningkatkan kolaborasi dengan sejumlah penyedia solusi IoT untuk mendorong kegiatan pertanian berbasis data (data driven). “Data ini diolah untuk menghasilkan rekomendasi bagi petani bercocok tanam, misalnya kondisi tanah. Selain itu, data-data analitik ini nantinya dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia dari hulu ke hilir,” ujar Danang.

Terakhir, Agree akan mendorong digitalisasi pasar basah di Indonesia sebagai sumber utama petani untuk menyuplai hasil panen melalui Agree Mart. Melalui platform ini, Agree berupaya untuk mengakomodasi kebutuhan transaksi buyer lebih luas.

Kemenkes Terbitkan Peta Jalan Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2024

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) resmi menerbitkan peta jalan (roadmap) yang tertuang dalam cetak biru (blueprint) transformasi dan digitalisasi sektor kesehatan Indonesia pada periode 2021-2024. Ada tiga agenda utama yang menjadi prioritas Kementerian, yaitu integrasi dan pengembangan pada sistem data, aplikasi pelayanan, dan ekosistem di bidang teknologi kesehatan (healthtech).

Pada peluncuran yang digelar secara offline dan online ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa transformasi sektor kesehatan Indonesia merupakan salah satu tugas besar yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo. Maka itu, Kemenkes harus membangun platform yang menghubungkan berbagai data dan sistem di ekosistem kesehatan dalam satu kesatuan.

“Kami ingin melakukan transformasi yang fokus pada healthtech, mulai dari layanan primer dan sekunder, ketahanan sistem kesehatan, sistem pembiayaan, hingga SDM. Dengan begitu, transformasi ini tak cuma [menghasilkan] sesuatu yang sifatnya pelaporan ke pejabat tetapi menjadi sebuah pelayanan,” ujar Budi.

Ia menilai, sebagai pemilik posisi tertinggi di industri kesehatan, Kemenkes ingin memberikan kesempatan kepada startup dan inovator untuk menciptakan inovasi yang dapat dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan (stakeholder), baik itu Rumah Sakit, farmasi, laboratorium, pemerintah, dan startup .

“Untuk membangun platform yang baik, perlu ada cetak biru ekosistem teknologi kesehatan. Krisis besar ekonomi dan kesehatan di dunia telah memberikan kesempatan untuk melakukan major reform,” tambahnya.

Situasi dan tantangan

Dalam kesempatan sama, Chief Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan Setiaji mengatakan pandemi Covid-19 menjadi momentum yang tepat untuk bertransformasi karena memunculkan permasalahan sistemik yang perlu diperbaiki. Di antaranya adalah tantangan pada sistem data serta tidak seimbangnya rasio jumlah tenaga kesehatan dan kapasitas kamar dengan jumlah penduduk.

Saat ini, terdapat ratusan aplikasi yang pengelolaan datanya masih berbasis informasi individu. Di pemerintahan, ada lebih dari 400 aplikasi di bidang kesehatan, dan jumlah ini belum termasuk di tingkat daerah. Ini belum lagi bicara rekam medis milik 270 juta penduduk Indonesia yang belum sepenuhnya berbasis digital.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan 2020 mencatat rasio dokter mencapai 03,8 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur RS berkisar 1,2 per 1.000 populasi di Indonesia.

“Kita telah melihat bagaimana pandemi Covid-19 berdampak signifikan pada berbagai hal, termasuk mengubah cara masyarakat berkonsultasi. Kami harus mulai transformasi ini dan fokus pada pengembangan platform serta pelaksanaan insiatif yang kolaboratif dengan para pemangku kepentingan. Kami harap bisa wujudkan Indonesia sehat dan membuat platform kesehatan terintegrasi,” paparnya.

Agenda prioritas

Peta jalan bertajuk “Strategi Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2024” memuat sejumlah kegiatan prioritas yang akan dilakukan secara bertahap dan melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholder).

Ada tiga agenda utama transformasi yang fokus pada integrasi dan pengembangan, yaitu sistem data, sistem aplikasi pelayanan, dan ekosistem di teknologi kesehatan (healthtech)

Dari ketiganya, transformasi yang akan dilakukan di 2022 adalah mengembangkan sistem big data berbasis integrated electronic health record, platform sistem fasyankes terintegrasi, dan memperluas telemedicine dan implementasi regulatory sandbox.

Peta Jalan Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2021-2024 / Sumber: Kementerian Kesehatan

“Kemenkes telah meluncurkan sandbox regulatory sebagai inisiatif awal untuk mengakselerasi industri startup, termasuk memastikan keamanan seluruh platform yang dikembangkan oleh para inovator sesuai regulasi,” tuturnya.

Selain itu, Pemerintah juga akan menyiapkan platform Indonesia Health Services (IHS) yang menjadi payung ekosistem digital kesehatan terintegrasi masyarakat Indonesia. IHS akan menyediakan konektivitas data, analisis, dan layanan untuk mengintegrasikan berbagai aplikasi kesehatan di Indonesia.

Sesuai peruntukkannya, IHS akan dikembangkan dalam dua jenis aplikasi. Pertama, Partner Systems yang ditujukan bagi pelaku industri kesehatan, seperti RS, Puskesmas, klinik, dan laboratorium. Kedua, CitizenHealth atau platform terintegrasi yang menyimpan data kesehatan pribadi secara lengkap untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Contoh penggunaannya, masyarakat dapat mengakses laporan kesehatan pribadi dan mendapatkan rekomendasi secara personal (electronic personal health record, pelayanan dan penggunaan obat, profil asuransi, tracing & testing) melalui CitizenHealth.

Setiaji juga menambahkan, Pemerintah juga berupaya me-nurture ekosistem healthtech di Indonesia melalui Health Tech Space. Wadah ini akan menghadirkan sejumlah program, yakni launchpad (inkubator), creative space, dan pusat bisnis (akselerator).

Lemonilo Snags 516.2 Billion Rupiah Series C Funding

Lemonilo healthy food startup received a series C funding of $36 million or around 516.2 billion Rupiah led by Sofina Ventures SA, Sequoia Capital India also participated in this round. Lemonilo will use this funding to strengthen its distribution network in Indonesia and expand its products overseas.

In the official statement, Lemonilo‘s Co-Founder & Co-CEO, Shinta Nurfauzia said that the company has proven its business model to work effectively in Indonesia. Therefore, Lemonilo plans to duplicate this business concept to other countries, starting with the neighbors, Malaysia and Singapore.

“With Sofina’s best practive with established FMCG companies, we believe Lemonilo can build the new image of FMCG companies in Indonesia and its surroundings,” Shinta said.

Sofina Ventures’ Member of the Executive Committee, Maxence Tombeur said that this strategic investment is in line with Sofina’s values. “Lemonilo is the pioneer of Indonesia’s healthy living movement aiming to become the world’s leading FMCG brand. We are delighted to partner with Lemonilo’s ambitious and mission-motivated founders, and aligned with its long-run strategy of offering affordable access to healthy food and products throughout Indonesia,” Tombeur said.

On a general note, Sequoia Capital India previously led Lemonilo’s series B funding with an undisclosed amount in the second half of 2021. From our observation, this funding has brought Lemonilo’s valuation to $300 million, or around Rp.4.3 trillion and strengthening its position in the ranks of startup centaur.

Thus, Lemonilo’s investor list includes Alpha JWC Ventures, Unifam Capital, Sequoia Capital India, and Sofina Ventures SA. Before exited, East Ventures was involved in Lemonilo’s seed funding.

Global expansion

Lemonilo is known as a new economy startup that produces healthy food alternatives. Founded in 2016 by Shinta Nurfauzia, Ronald Wijaya, and Johannes Ardiant, Lemonilo use self-developed platforms, both websites and applications, to distribute and promote its products.

To date, Lemonilo has launched more than 40 types of products, such as instant noodles, snacks, and spices sold on its own platform at more than 200 thousand Point of Sales (POS) in Indonesia, including resellers.

Lemonilo’s Co-CEO, Ronald Wijaya revealed that the compnay will continue focuusing on its main market while innovating new products. His team will strengthen Lemonilo’s distribution network to strengthen its position on a national scale. This is in line with Lemonilo’s mission to provide Indonesian people with access to a healthier lifestyle.

“We believe there are many people want to live healthier, especially since Covid-19. We expect more Indonesians will adopt a better lifestyle through practical, delicious and affordable products,” Ronald said.

In a previous interview with DailySocial.id, Shinta revealed that she is currently focusing on strengthening the product distribution network, increasing the number of teams, and launching various new products.

Shinta said, Lemonilo wants to fill the market gap between the demand for high-priced imported healthy products and the number of existing FMCG companies. Lemonilo ensures that its production is free from more than 100 potentially harmful ingredients, such as preservatives, flavor enhancers, and various synthetic ingredients, which are often found in many consumer goods products.

In fact, the Covid-19 pandemic has encouraged changes in people’s food consumption in Indonesia. Quoting Alinea, Femina’s survey in early 2021 recorded 82% of 300 respondents changed their diet during the pandemic. Meanwhile, 62% of them change their diet to maintain their health.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Binance dan MDI Ventures Bentuk Konsorsium untuk Bangun Platform Pertukaran Aset Digital

Platform pertukaran mata uang kripto Binance membentuk konsorsium melalui joint venture dengan MDI Ventures untuk mengembangkan platform pertukaran aset digital di Indonesia. Kolaborasi ini merupakan bagian dari strategi lebih luas Binance untuk membangun ekosistem blockchain di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Founder &  CEO Binance Changpeng Zao mengungkap ambisinya untuk mendorong pertumbuhan ekosistem blockchain dan mata uang kripto (cryptocurrency) secara global.

“Dengan kecepatan adopsi teknologi dan potensi ekonomi yang kuat, Indonesia dapat menjadi salah satu pusat ekosistem blockchain dan kripto yang memimpin kawasan Asia Tenggara. Dengan pengalaman mendalam mereka di pasar, kami yakin dapat memberikan produk unggulan bagi pengguna,” ungkap Zao.

Sementara itu, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, sebagai kendaraan investasi Telkom, pihaknya ingin berpartisipasi dalam perjalanan mengembangkan blockchain, aset kripto, mata uang kripto, dan teknologi turunannya. Menurutnya, semua itu akan memainkan peran penting dalam keuangan dan infrastruktur digital lainnya di masa depan.

“Kami tidak sabar untuk tumbuh bersama Binance dan mitra investasi kami, serta menjembatani segala kesempatan dan teknologi dengan Telkom untuk membantu upgrade kapabilitas infrastruktur digital di Indonesia,” papar Donald.

Sebagai informasi, Binance merupakan penyedia infrastruktur blockchain dan cryptocurrency global yang menawarkan berbagai produk keuangan, mencakup pertukaran aset digital berbasis volume. Binance memiliki misi untuk meningkatkan kebebasan uang bagi pengguna dan menampilkan portofolio produk kripto, termasuk trading, keuangan, pendidikan, hingga investasi.

Sementara, MDI Ventures merupakan kendaraan investasi dengan nilai $830 juta milik operator telekomunikasi terbesar di Indonesia PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (IDX: TLKM), yang juga anak usaha BUMN. MDI berinvestasi di vertikal bisnis startup yang bervariasi, mulai dari logistik, fintech, consumer tech, hingga deep IT.

Secara kolektif, konsorsium ini telah mengembangkan ekosistem teknologi digital dan keuangan terbesar di Indonesia, serta memiliki akses ke lebih dari 170 juta konsumen di negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia ini.

Kerja sama korporasi

Menarik melihat upaya Binance merangkul Telkom melalui MDI Ventures. Pasalnya, Binance kebanyakan menggandeng startup, baik melalui aksi akuisisi, kemitraan, dan investasi, untuk beroperasi. Salah satunya adalah investasinya ke platform jual-beli kripto Tokocrypto pada 2020.

Sementara, Telkom termasuk perusahaan korporasi berskala besar yang juga dimiliki pemerintah. Per semester I 2021, Telkom memiliki 8,3 juta pengguna broadband dan 169,2 juta pelanggan mobile dari anak usahanya Telkomsel. Di luar bisnis telekomunikasi, Telkom melalui MDI Ventures telah mendanai lebih dari 50 startup di 12 negara, di mana 28 di antaranya berasal dari Indonesia.

Binance sendiri belum memiliki izin beroperasi di negara manapun. Beberapa negara sudah mengeluarkan peringatan terkait aksi Binance, seperti di Belanda dan Malaysia. De Nederlandsche Bank (DNB) sempat mengeluarkan surat peringatan kepada Binance terkait kegiatan operasionalnya yang dianggap ilegal.

Tindakan serupa juga dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Meski sudah masuk ke dalam Daftar Peringatan Investor pada Juli 2020, Binance telah dianggap beroperasi secara ilegal karena mengoperasikan crypto exchange.

Sembrani Kiqani and Bukalapak Invest in the Philippines’ Play-to-Earn Gaming Startup

Sembrani Kiqani, a managed fund by BRI Ventures (BVI), and the unicorn startup Bukalapak were participated in the Yield Guild Games Southeast Asia (YGG SEA) $15 million investment through two financing rounds.

YGG SEA will use the fresh money to encourage the play-to-earn based games adoption in the Southeast Asia region. On the general note, YGG SEA is a decentralized autonomous organization (DAO) under the Yield Guild Games (YGG), a blockchain-based game developer startup from the Philippines.

Sembrani Kiqani is BVI’s latest investment vehicle targeting the direct-to-consumer (D2C) sector and blockchain and its derivatives, including cryptocurrencies. BVI is currently driving its investment to strengthen Indonesia’s crypto ecosystem.

In addition, YGG SEA also raised funding from several investors including Crypto.com Capital, Animoca Brands, MindWorks Ventures, Poloniex, Jump Capital, and Overseas Bank Venture Management. Last August, YGG SEA had received early stage funding led by YGG and Infinity Ventures Crypto.

YGG SEA is led by Evan Spytma as Co-Founder & CEO. YGG’s other co-founders are Dan Wang (previously leading Riot Games operations in China) and Irene Umar (Managing Partner of Discovery Nusantara Capital, an Indonesia-based VC gaming startup).

Expansion plan

With the participation of Bukalapak and Sembrani Kiqani, YGG SEA will set Indonesia as one of its main targets for the expansion in Southeast Asia, followed by Vietnam, Singapore and Thailand. After these four countries, then YGG SEA will further expansion throughout the Southeast Asia region.

The latest investment will help the company take the targeted offerings to the regional gaming community. The company will support the development of play-to-earn games in each country to accumulate game assets that will be useful to build a player base in the local market.

“SubDAOs, such as YGG SEA will be at the core of YGG’s worldwide expansion strategy given its power of local wisdom and networks,” YGG’s Co-founder, Gabby Dizon said.

Furthermore, DAO utilizes an open source protocol on a blockchain based on smart contracts. Its primary purpose is to provide an automated way of executing governance decisions. The DAO on YGG is based on smart contracts built on Ethereum.

Play-to-earn concept

Play-to-Earn (P2E) is one of the NFT concept derivatives in gaming that is getting more popular. Blockchain technology allows players to buy and sell digital assets in the form of games. In Indonesia alone, there are several developers have penetrate this segment, Soulcops is one of them.

Currently, there are 3,000 digital cards by collectors available in Soulcops before the official mobile game release next year. Collectors can play later with the NFT collections with each rarety to achieve objectives while playing, and upgradable along with other weapons and utilities to create stronger characters. Also, it can produce token that can be exchanged for real money as an implementation of P2E.

In addition, there are several other game products that leads to NFT-based concepts, including Arkipelago, Reality Chain, and Meta Forest Society.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

AWS Berencana Investasi 71 Triliun Rupiah dalam 15 Tahun, Memperkuat Bisnis “Cloud” di Indonesia

Amazon Web Services (AWS) mengumumkan telah resmi membuka Region Indonesia, yakni AWS Asia Pasifik (Jakarta) Region. Pembukaan Region baru ini sejalan dengan rencana AWS untuk berinvestasi sebesar $5 miliar atau sekitar 71 triliun Rupiah dalam 15 tahun ke depan di Indonesia.

Disampaikan pada media briefing secara virtual, Country Manager AWS Indonesia Gunawan Susanto mengatakan bahwa komitmen investasi di Tanah Air diproyeksi menciptakan sebanyak 24.700 pekerjaan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam skala makro, ungkapnya, AWS Asia Pacific (Jakarta) Region diestimasi dapat berkontribusi terhadap PDB Indonesia sebesar $10,9 miliar atau sebesar Rp155 triliun.

Studi Dampak Ekonomi Indonesia / Sumber: Amazon Web Services (2021)

Pasalnya, Region ini akan memampukan para pengembang, startup, wirausaha, perusahaan berskala besar, pemerintahan, hingga organisasi nirlaba untuk bertransformasi dan melayani pelanggan melalui berbagai digital.

“Maka itu, AWS berupaya untuk provide kebutuhan ini dengan melakukan berbagai pelatihan skill demi memperkuat talent lokal. Ini semua akan mendukung [bisnis] AWS di Indonesia, making the Region ready untuk memberikan pelayanan yang baik di Indonesia,” ungkap Gunawan.

Memperkuat Region Jakarta

Saat ini, AWS memiliki 84 availability zone di 26 wilayah geografis di dunia, dan berencana menambah 24 availability zone serta delapan AWS Region lainnya tahun depan.

Untuk kawasan Asia Pasifik, beberapa lokasi Region AWS tersebar antara lain di AWS Asia Pacific (Sydney) Region untuk Australia, Asia Pacific (Mumbai) Region untuk India, Asia Pacific (Singapore) Region untuk Singapura, dan Asia Pacific (Osaka) Region untuk Jepang.

Region merupakan kumpulan beberapa data center yang memungkinkan pelanggan beroperasi dan menyimpan data secara digital di Indonesia. DI Indonesia, AWS Asia Pacific (Jakarta) Region tersebar di tiga zona yang lokasinya dirahasiakan.

Adapun, AWS Region terdiri dari availability zone yang terletak cukup jauh satu sama lain demi mendukung kelangsungan bisnis pelanggan, tetapi dekat untuk menyediakan latensi rendah bagi aplikasi dengan kebutuhan tinggi yang memanfaatkan beberapa availability zone.

VP of Infrastructure Services AWS Prasad Kalyanaraman menambahkan bahwa adopsi cloud dapat membuka kesempatan bagi institusi, startup, perusahaan, hingga pemerintahan untuk mentransformasikan bisnisnya. Terlebih, AWS menawarkan sejumlah keunggulan, mulai dari biaya dan latensi lebih rendah serta meningkatkan agility.

Cloud membuka kesempatan bagi berbagai organisasi terlepas dari skala dan jenis bisnisnya, untuk mentransformasikan kegiatan operasional dan menghadirkan pengalaman yang menyeluruh bagi pelanggan,” paparnya.

Sebagai informasi, AWS resmi membuka kantornya di Jakarta pada 2018. Namun, AWS mencatat telah membantu lebih dari 1.700 startup di Indonesia untuk membangun dan meningkatkan skala bisnisnya. Beberapa perusahaan yang menggunakan layanan AWS antara lain PT Pos Indonesia (Persero), Tokopedia, Halodoc, dan MNC Group.

Sebagaimana diketahui, adopsi digital meningkat signifikan sejak pandemi Covid-19 di 2020. Hal ini dikarenakan segala pusat aktivitas mulai dialihkan ke digital sejalan dengan upaya pembatasan interaksi sosial, seperti melalui kebijakan Work From Home (WFH) dan Home Learning.

Berdasarkan riset World Economic Forum, sebanyak 91,7% di Indonesia telah menerapkan kebijakan remote working, sebanyak 58,3% di antaranya mengalami peningkatan otomasi pekerjaan. Adapun, cloud computing menjadi salah satu teknologi yang paling banyak diadopsi selama pandemi, yakni sebesar 95%.