6 Catatan Pelaku Agritech Beradaptasi dengan Perilaku Konsumen di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 mengubah perilaku belanja di Indonesia dari offline ke online. Masyarakat mulai banyak memanfaatkan platform jual-beli untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari selama PSBB.

Tren ini tentu menjadi peluang besar bagi pelaku agritech yang memasarkan bahan pangan, seperti sayur mayur dan buah-buahan. Di sisi lain, fenomena ini menjadi tantangan tersendiri dengan kesiapannya menghadapi lonjakan pemesanan yang signifikan.

Lalu, bagaimana agritech beradaptasi terhadap perilaku konsumen selama pandemi? Simak insight menarik dari Co-founder dan CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto di sesi #SelasaStartup berikut ini.

Atasi penurunan transaksi lewat jalur petani

Pandemi menghantam berbagai sektor bisnis tanpa terkecuali. Bagi Kedai Sayur yang sejak awal bermain di segmen B2B, pandemi mengakibatkan volume transaksinya menurun.

Saat pertama kali diterapkan, masa PSBB berdekatan dengan bulan Ramadan, sedangkan mitra tukang sayur yang menjadi salah satu ujung tombak bisnisnya, mudik dalam jangka waktu lama. Belum lagi mitra dari hotel, restoran, dan cafe terpaksa harus menurunkan volume pesanan karena PSBB.

Menurut Adrian, perusahaan berupaya mencari celah baru untuk menghadapi situasi ini. Caranya adalah membantu distribusi hasil panen para petani agar cepat terserap, dan membantu siklus tanam mereka agar tidak berhenti.

“Biasanya volume pesanan mencapai Rp1 juta per hari. Karena pandemi, size-nya turun menjadi Rp400 ribu per hari. Untuk menyesuaikan demand, kami cari solusi dengan membantu distribusi ke customer base. Pendapatan mereka terdisrupsi karena jalur konvensional logistik terhambat,” ungkap Adrian.

Memberdayakan komunitas sebagai agen

Karena masih fokus di area B2B, Kedai Sayur belum memiliki channel B2C untuk memasarkan produknya langsung ke konsumen. Kanal B2C sendiri ditargetkan meluncur di kuartal I 2021. Saat Covid-19 mewabah, ada banyak permintaan untuk bahan pangan dari segmen consumer.

Untuk beradaptasi terhadap permintaan tersebut, Adrian mau tak mau melakukan pivoting ke B2C. Ia menggunakan pendekatan komunitas untuk menjadi agen Direct-to-Consumer (DTC) kebutuhan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal.

Inisiatif ini diwujudkan lewat layanan Kedai Emak yang diluncurkan pada awal PSBB. Selain merangkul komunitas untuk menjadi agen, cara ini dilakukan untuk memberdayakan masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

Melakukan efisiensi operasional bisnis

Salah satu bentuk adaptasi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan efisiensi. Kedai Sayur melakukan shifting pasar dengan mengacu pada kebijakan pemerintah daerah setempat. Sebagai contoh, pada saat PSBB di Jakarta dipercepat, Kedai Sayur shifting pasar ke Bekasi dan Tangerang.

Adrian juga mengungkap bahwa pihaknya melakukan efisiensi besar-besaran dengan mengevaluasi pusat distribusi yang sekiranya mendatangkan permintaan besar. Selama pandemi, ia terpaksa harus menutup satu pusat distribusi dikarenakan volume transaksinya menurun.

“Bagian logistik juga perlu diefisiensikan karena startup itu critical dengan runaway. Startup memang perlu mempertahankan service level, tetapi mereka harus tetap efisien,” tutur Adrian.

Masuk ke semua segmen pasar

Salah satu tantangan pelaku agritech di industri perishable adalah bagaimana dapat memenuhi kebutuhan grade produknya secara lengkap. Menurut Adrian, kuncinya adalah masuk ke semua segmen pasar, baik B2B dan B2C.

Dengan masuk ke semua segmen, pelaku bisnis dapat memenuhi berbagai permintaan produk dari grade apapun. Penyerapan produk juga menjadi lebih cepat.

“Tukang sayur biasanya punya spesifik grade dalam memilih produk, sedangkan sourcing dari petani harus ambil semua grade. Nah, perishable itu baiknya masuk ke semua segmen supaya terserap. Kombinasi antara sourcing dan market demand itu jadi kunci sukses di bisnis ini,” kata Adrian.

Memanfaatkan data untuk mengoptimalkan operasional

Tak dapat dimungkiri, data memegang peranan penting dalam membaca sebuah tren atau fenomena di era digital. Dalam konteks pandemi, Adrian menyebutkan data dapat memperlihatkan tren permintaan pesanan atau harga produk di area tertentu.

Ambil contoh, harga cabe rawit di Bekasi dan Jakarta Timur bisa berbeda dengan di Jakarta Selatan. Justru dari situasi tersebut, Kedai Sayur dapat memanfaatkan data untuk mengoptimalkan operasionalnya.

“Kuncinya adalah meng-capture informasi dari last mile kami. Makanya, engine di back end dibuat sedemikian rupa untuk capture data secepat mungkin. Ini bisa jadi feedback ke bagian sourcing dan pricing untuk optimalisasi layanan,” jelasnya.

Value proposition yang kuat lewat logistik

Adrian menilai logistik menjadi elemen paling krusial dalam memasarkan produk pertanian. Apalagi produk ini masuk dalam kategori produk perishable. Bagi mitra seperti tukang sayur, tentu hal tersebut menjadi tantangan sendiri.

Ritme kegiatan kerja tukang sayur umumnya dimulai sejak malam hari, di mana mereka berbelanja produk satu per satu ke pasar dan mulai berjualan di pagi hari. Sementara, produk perishable tidak dapat dijual lagi apabila tidak laku,

“Maka itu kami menawarkan value proposition dengan solusi logistik sehingga tukang sayur bisa punya normal working hours, working capital, dan harga yang lebih baik. Sekarang tukang sayur tinggal login dan order saja. Mereka jadi punya bargaining power,” tutupnya.

New Energy Nexus Umumkan Pendanaan Pertama, Fokus pada Startup Energi Terbarukan di Indonesia

Lembaga non-profit global New Energy Nexus resmi mengumumkan debut pendanaan di Indonesia kepada PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), sebuah startup di bidang energi terbarukan dengan nilai pendanaan yang tidak disebutkan.

BLUE menyediakan solusi satu atap untuk barang dan jasa energi terbarukan melalui marketplace Warung Energi. Selain itu, BLUE juga mengembangkan solusi B2B energi surya untuk sistem energi surya secara komersial, industrial, maupun tersentralisasi bagi wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia.

Adapun, BLUE berpartisipasi pada program inkubasi Smart Energy pada akhir 2019 dan berlanjut ke program akselerasinya di 2020.

Dalam keterangan resminya, Direktur Investasi New Energy Nexus Indonesia Yeni Tjiunardi mengungkapkan bahwa pendanaan perdana ini sekaligus menandakan peluncuran program “Indonesia 1 Fund”. Fokusnya adalah membuka pintu terhadap startup energi terbarukan di Indonesia, dari di tahap seed hingga seri A.

Indonesia 1 Fund akan difokuskan untuk sepuluh area utama, antara lain renewable energy, smart grid, energy efficiency, energy management, customer experience, e-mobility, business model innovation, Internet of Things (IoT) & digitization, serta energy access & energy storage.

Sementara, CEO BLUE Abu Bakar Abdul Karim Almukmin mengatakan bahwa pendanaan ini digunakan untuk memperkuat fondasi perusahaan agar dapat menopang perkembangan strategis yang akan dilakukan selama dua tahun ke depan.

Berupaya menutup gap investasi energi terbarukan di Indonesia

Dihubungi DailySocial secara terpisah, Yeni mengungkapkan bahwa sejak hadir di Indonesia pada 2018, New Nexus Energy telah memiliki 35 startup yang berpartisipasi lewat program inkubasi dan akselerasi Smart Energy.  Satu di antaranya, BLUE, telah memperoleh pendanaan komersial dan lima startup lainnya telah menerima grant.

Sesuai misinya, New Nexus Energy mendukung pelaku usaha di bidang clean energy melalui pendanaan dan program akselerasi. Diawali di California, Amerika Serikat (AS), kini New Energy Nexus juga memperluas cakupan program dan investasinya di Tiongkok, India, Asia Tenggara, dan Afrika Timur.

Kendati demikian, Yeni menilai bahwa masih ada banyak persepsi bahwa investasi pada usaha di bidang ini sulit untuk bisa profitable, atau anggapannya baru terealisasi dalam jangka waktu yang panjang. Persepsi ini membuat jumlah investor peminat menjadi terbatas.

Maka itu, New Energy Nexus berupaya menjembatani gap investasi di early stage yang dihadapi para startup ini, investor saling menunggu siapa yang akan mengambil langkah pertama. “Padahal, sama seperti early stage investment di bidang lainnya, yang membedakan kesuksesan dan perjalanan bisnis setiap perusahaan adalah kemampuan eksekusi dan pemahaman pasar dari tim tersebut,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa situasi pandemi menjadi momentum bagi setiap orang untuk berpikir tentang inovasi dan alternatif dari bisnis pada umumnya. Dengan situasi ini, ia melihat semakin banyak pihak memahami dan meyakini potensi ekonomi dari energi terbarukan.

“Investasi ini dapat membantu mempercepat transisi Indonesia ke sistem ekonomi berbasis energi terbarukan,” tuturnya.

Mengingat baru debut pendanaan, saat ini pihaknya berupaya memberikan dukungan berkesinambungan. Pihaknya juga berencana menerapkan pengukuran efektivitas dampak dengan mengacu pada pengalamannya berinvestasi di California dan India.

Saat ini, pihaknya sedang melakukan outreach melalui sejumlah program, yaitu Connex Energy Meetup, (RE)Charge Series Bootcamp, serta program inkubasi dan akselerasi Smart Energy. Penjaringan dilakukan hingga pertengahan November 2020, dengan sesi cohort dimulai pada kuartal keempat 2020.

“Hipotesis kami mengacu pada identifikasi hingga eksekusi model bisnis sesuai kondisi pasar yang punya peluang keberhasilan besar. Tentu kami lihat komposisi tim dan potensi impact (lingkungan, ekonomi, livelihood). Tujuan utama kami memberi dukungan agar mereka bisa berkembang dan menjadi profitable.  Mereka bisa memberikan dampak dengan mengadopsi bisnis berbasis low carbon economy.” Tutupnya.

Bank Jago Tambah Modal untuk Perkuat Transformasi Menuju Bank Digital

PT Bank Jago Tbk kembali melakukan penambahan modal untuk mendukung rencana transformasinya menjadi bank digital. Penambahan modal ini dilakukan melalui aksi penerbitan saham baru (right issue) kedua yang diumumkan lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB).

Disampaikan Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar, perusahaan dituntut untuk meningkatkan skala usaha dan membangun infrastruktur teknologi yang mumpuni agar dapat bersaing dan beradaptasi terhadap perubahan akibat pandemi Covid-19.

“Sejak Covid-19, kita menyaksikan sendiri akselerasi teknologi dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kami ingin menjadi bagian dari perubahan hidup masyarakat yang semakin digital,” ujar Kharim dalam paparan RUPSLB, Selasa (5/10).

Sebelumnya, Bank Jago sudah menuntaskan right issue tahap pertama pada April 2020, mebukukan dana Rp1,3 triliun. Dana hasil right issue tahap kedua akan digunakan untuk memperkuat modal perusahaan agar dapat memenuhi aturan modal minimum bank sebesar Rp3 triliun.

Selain itu, dana tersebut nantinya digunakan untuk meningkatkan skala bisnis perusahaan, merekrut SDM yang relevan sesuai dengan visi perusahaan, dan mengembangkan teknologi.

Sebagaimana diketahui, Bank Artos resmi berganti nama menjadi Bank Jago pada Juni 2020. Rebranding ini dilakukan pasca akuisisi oleh grup investor yang dipimpin Jerry Ng dan Patrick Waluyo lewat PT Metamorfosis Indonesia (MEI), dan Wealth Track Technology (WTT). Selain itu, Bank Jago juga akan membidik segmen UKM dan ritel.

Bank Jago menargetkan komersialisasi sebagai bank digital pada akhir tahun ini  dengan meluncurkan platform aplikasi Life Finance Solution (LFS). Manajemen Bank Jago memastikan bahwa rencana menuju bank digital ini tetap sesuai target awal.

Pada paparan publik virtual Agustus lalu, Bank Jago menargetkan peluncuran LFS akan berbarengan dengan sejumlah produk keuangan digital lainnya. Perusahaan juga tengah mempersiapkan pengembangan teknologi, seperti Open API, microservices, dan cloud untuk memperkuat posisinya di ekosistem digital.

Realisasi bank digital

Sejumlah bank di Indonesia berencana untuk merealisasikan menjadi bank digital tahun ini. BCA melalui Bank Digital BCA ditarget meluncur sekitar Oktober atau November tahun ini dengan akses terbatas, sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

Kemudian, Bank Yudha Bhakti (BYB) juga resmi mengganti namanya menjadi Bank Neo Commerce. Dihubungi DailySocial, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu izin dari OJK untuk platform mobile banking.

“Targetnya semua phase [pengembangan] mobile banking bisa dirampungkan pada kuartal I 2021, termasuk teknologi QRIS dalam blueprint kami,” ujarnya dalam pesan singkat.

Sementara itu, BRI juga mempertimbangkan untuk membentuk bank digital. Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo mengungkap bahwa perusahaan masih mematangkan konsep dan strateginya saat ini.

Kepada DailySocial beberapa waktu lalu, Indra menyebut bahwa BRI Agro berpeluang untuk dikonversi menjadi bank digital. Produk digital lending Pinang (Pinjam Tenang) menjadi test case awal perusahaan untuk uji coba ke pasar.

“Terkait positioning baru Bank Agro, akan ada jawabannya di waktu yang tepat. Kami belum bisa jawab sekarang [apakah ada produk digital baru selain Pinang]. Namun, strategi digital kami akan tetap go smaller, go shorter, dan go faster. Artinya, kami masuk ke segmen yang lebih kecil, yaitu ultra mikro,” ungkapnya.

Bukalapak Masuk ke Bisnis “Fulfillment” Lewat BukaGudang

Bukalapak menambah deretan marketplace Consumer-to-Consumer (C2C) di Indonesia yang masuk ke bisnis pemenuhan layanan (fulfillment) lewat BukaGudang. Layanan ini belum resmi diperkenalkan, tetapi jasanya sudah dapat dinikmati para pelapak sejak 9 Maret 2020.

VP Marketplace Bukalapak Kurnia Rosyada kepada DailySocial mengatakan, untuk menggelar jasa ini BukaGudang menggandeng dua rekanan fulfillment, PT IDCommerce dan Crewdible. Yang terakhir merupakan startup penyedia jaringan pergudangan mikro.

Menurut Kurnia, salah satu keuntungan menggunakan jasa BukaGudang adalah pelapak dapat memproses pemesanan pembeli lebih cepat, yakni kurang dari sehari dari tenggat waktu normal selama 2×24 jam.

“Jasa BukaGudang bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan bertransaksi di Bukalapak dengan membantu para pelapak mengatur kegiatan operasional mereka melalui manajamen gudang dan penyimpanan, packing barang, dan distribusi barang ke pihak ketiga,” paparnya.

Untuk saat ini, lanjut Kurnia, layanan BukaGudang masih dalam tahap Proof of Concept (POC). Ia mengaku saat ini perusahaaan masih terus berupaya mendorong jumlah pelapak yang menggunakan BukaGudang.

Selain itu, pihaknya juga masih terus berupaya meningkatkan automasi pada inbound dan outbound, seperti melakukan pengecekan fisik barang dan strategi meningkatkan outbound barang. Kurnia menilai hal tersebut masih memerlukan proses manual agar lebih akurat.

“Transaksi dari pelapak yang menggunakan BukaGudang yang masuk ke BukaMall, lebih tinggi dibandingkan rata-rata transaksi dari para pelapak lainnya. Pengguna BukaGudang saat ini berasal dari kategori bisnis elektronik, bahan makanan, dan industri kecantikan,” tambahnya.

Dengan masuknya Bukalapak ke bisnis pemenuhan jasa, Kurnia meyakini strategi ini dilakukan untuk memperkuat komitmen Bukalapak dalam memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Kolaborasi dengan penyedia jasa fulfillment dinilai sebagai upaya pelaku di industri e-commerce untuk meningkatkan kenyamanan bertransaksi.

Dalam keterangan di laman resminya, BukaGudang menyediakan gudang untuk penyimpanan barang, manajemen gudang, inventaris gudang, dan sumber daya untuk memproses pesanan.

Pelapak terdaftar hanya dapat menggunakan jasa pengiriman yang ditentukan BukaGudang, antara lain Sicepat, J&T, Ninja, Lion Parcel, Grab, dan Go-Send. Layanan ini baru melayani jasa fulfillment di kawasan Jabodetabek.

Kurnia menyebutkan bahwa Bukalapak sedang sedang melihat potensi ekspansi di berbagai kota besar lainnya di Indonesia.

Selain Bukalapak, Tokopedia sudah lebih dulu masuk melalui TokoCabang yang beroperasi komersial sejak setahun lalu. Tokopedia menggandeng PT Bintang Digital Internasional (Haistar) dan Titipaja (unit bisnis terbaru layanan logistik last mile Anteraja).

Shopee juga masuk ke bisnis fulfillment lewat layanan “Dikelola Shopee” pada September lalu dengan memanfaatkan gudang sendiri. Pihaknya mengklaim rata-rata pesanan dikirim dua jam setelah pengguna menyelesaikan transaksi.

UMKM penuhi marketplace

Masa pandemi menjadi momentum bagi pelaku marketplace untuk mengakomodasi lonjakan transaksi belanja online selama masa pandemi. Di sisi lain, penjual UMKM juga makin memenuhi marketplace.

Survei terbaru TokoTalk menyebutkan, ada tren peningkatan jumlah UMKM yang bergerak secara online selama masa pandemi. Hal ini terlihat dari kenaikan jumlah pendaftar UMKM di platform dan mulai membuat situs sendiri.

Dari kenaikan tersebut, UMKM di kawasan Jabodetabek mendominasi kenaikan terbesar terhadap total keseluruhan, disusul Jawa Timur dan Jawa Barat.

Head of Business Development TokoTalk Kemas Antonius mengatakan, semakin banyak UMKM yang mau tak mau harus bertransformasi secara digital untuk menyesuaikan diri di masa pandemi. Caranya adalah mengubah cara berjualan dan meningkatkan transaksi online agar dapat mengakomodasi perubahan perilaku konsumen.

Application Information Will Show Up Here

Studi ITB: 5G Diprediksi Meluncur Paling Cepat pada 2021

Studi terbaru dari Institut Teknologi Bandung (ITB) memperkirakan jaringan 5G di Indonesia baru dapat dirilis secara komersial paling cepat pada akhir 2021.

Konsultan PT LAPI ITB Ivan Samuels mengatakan, perkiraan ini berdasarkan dua skenario, yakni (1) skenario dasar dengan asumsi spektrum kunci 5G dapat dirilis dari 2021-2023; dan (2) skenario agresif dengan asumsi seluruh spektrum 5G dapat tersedia di akhir 2021.

Adapun sejumlah spektrum kunci yang ditargetkan untuk 5G antara lain 2,3GHz dapat tersedia pada 2021; spektrum 2,6GHz, 26GHz, dan 28GHz tersedia pada 2022; dan spektrum 3,5GHz dan 700MHz tersedia pada 2023.

Dalam paparannya, Ivan menyebutkan studi ini menawarkan delapan rekomendasi kebijakan utama dalam rangka mempercepat penerapan 5G di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah memasukkan 5G sebagai Agenda Prioritas Nasional serta meluncurkan Rencana Pita Lebar dan Konektivitas Nasional (2021-2025).

Spektrum merupakan salah satu agenda utama yang kerap disoroti oleh pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder). Pasalnya, beberapa spektrum emas untuk menggelar 5G masih jauh dari ketersediaan.

Misalnya, frekuensi 700MHz (low band) digadang menjadi spektrum ’emas’ untuk menggelar 5G. Saat ini, spektrum tersebut masih dipakai untuk siaran TV analog dan direncanakan migrasi ke TV digital di 2022. Global System for Mobile Communications (GSMA) memprediksi perekonomian Indonesia berpotensi rugi $10,5 miliar atau sekitar Rp142,9 triliun jika tidak menggelar 5G di 700MHz.

Sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, yakni Malaysia, Filipina, dan Singapura telah menyelesaikan proses untuk mematikan layanan televisi analog mereka. Sehingga frekuensi yang sebelumnya digunakan untuk siaran TV analog, dapat digunakan operator untuk memperkuat layanan 4G-nya dan menguji jaringan percontohan 5G.

Dinamika 5G di Asia Tenggara
Sumber: Axiata Group / Diolah kembali oleh DailySocial

Sementara itu, laporan ITB menyebutkan bahwa implementasi 5G secara agresif di Indonesia dapat menambah Rp2.874 triliun bagi perekonomian negara secara kumulatif dari 2021-2030 atau setara 9,5 persen dari PDB, dan Rp3.549 triliun di 2035 atau setara 9,8 persen dari PDB.

The first step is the hardest step. Ini menjadi tantangan kami untuk menyiapkan perencanaan strategis ke depan. Metode [penggelaran 5G] juga menjadi tantangan lain karena butuh biaya besar untuk deployment dibanding teknologi sebelumnya,” ungkap Ivan pada sesi webinar yang digelar Axiata Group, Qualcomm, dan Asosiasi Penyelanggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI).

Delapan rekomendasi di atas akan dibahas secara paralel oleh 5G Task Force Indonesia yang dibentuk Kominfo pada 2019. Pembentukan Task Force ini terdiri dari beberapa grup yang mana juga melibatkan para pakar untuk memberi masukan.

Kepala 5G Task Force Indonesia Denny Setiawan menargetkan dokumen resmi Task Force ini dapat masuk pada akhir 2021. Pihaknya menargetkan dapat menggelar co-existing trial di spektrum 3,5GHz pada Oktober mendatang.

“Kami sudah menerapkan kebijakan teknologi netral. Nah, jika ekosistem sudah siap ekosistemnya, operator bisa langsung gelar 5G di spektrum existing,” ujar Denny pada kesempatan sama.

Belajar dari kegagalan migrasi 2G, 3G, dan 4G

Lebih lanjut, Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika Ismail juga mengungkap empat hal utama yang menjadi agenda prioritas pemerintah untuk mempercepat penggelaran 5G.

Keempat agenda ini antara lain adalah kebijakan strategis, diikuti infrastruktur 5G (jaringan, infrastruktur pasif, dan spektrum), ekosistem 5G, dan kebijakan implementasi 5G (uji coba, regulasi, model bisnis).

“Beberapa merupakan isu lama yang perlu segera diselaraskan mengingat infrastruktur 5G butuh kerapatan BTS yang tinggi. Untuk mendapatkan kualitas maksimal, semua juga bergantung pada ketersediaan spektrum. Baiknya operator punya spektrum [untuk gelar 5G] yang lengkap, dari lower, middle, dan high band,” katanya.

Berkaca dari kesalahan saat Indonesia migrasi teknologi (dari 2G ke 3G, 3G ke 4G), ungkapnya, pemerintah berupaya menghindari kegagalan pasar, baik dari supply maupun demand. “Kami tidak ingin pada akhirnya operator telekomunikasi menghabiskan biaya besar,” ungkap Ismail.

Menurutnya, saat migrasi teknologi tersebut, industri telekomunikasi hanya mempersiapkan infrastruktur di belakang infrastruktur penunjang. Alhasil, kualitas 4G menjadi tidak maksimal. Maka itu. pihaknya berharap infrastruktur 5G dapat dipersiapkan dengan matang, baik jaringan back hole, antar-middle mile, dan antar Base Transceiver Station (BTS) supaya tidak ada bottle necking.

Ekosistem dan perspektif konsumen terhadap 5G

Kemudian, Ismail juga menyoroti pentingnya ekosistem 5G. Dengan prioritas ini, pemerintah berupaya mendorong para maker di Indonesia agar dapat menyiapkan use case aplikasi lokal sebelum infrastruktur 5G dibangun. Berkaca pada migrasi 2G ke 3G dan 3G ke 4G, ekosistem aplikasi di Indonesia tidak kuat sehingga kurang dapat dimonetisasi.

Menurutnya, Indonesia masih kekurangan killer apps yang cocok dengan pasar. Pada akhirnya, jaringan ini justru diisi oleh pemain Over-The-Top (OTT) asing, seperti WhatsApp, Facebook, dan Google. “Jangan sampai nanti kita seolah-olah bangun infrastruktur untuk kasih ‘karpet merah’ ke OTT,” tambahnya.

Lebih lanjut, studi terbaru 5G turut mengungkap perspektif konsumen terhadap 5G. Laporan ini mencatat sebanyak 68,39 persen konsumen di Indonesia tertarik menggunakan 5G begitu dirilis, sedangkan 26,56 persen mengaku akan memakainya setelah melihat experience konsumen, dan 4,35 persen baru akan memakai layanan 5G jika tidak ada alternatif lain.

Layanan yang diprediksi meningkat penggunaannya oleh 5G
Sumber: Studi Institut Teknologi Bandung (ITB) / Diolah kembali oleh DailySocial

Menariknya, responden juga mengungkap dua pertimbangan utama lain terkait hal ini, yakni mahalnya harga perangkat yang sudah bisa menjalankan jaringan 5G dan konsumen masih ragu dengan kualitas 5G yang sebenarnya. Apalagi, jika melihat kualitas jaringan 4G hingga saat ini yang masih belum maksimal.

Adapun, segmen anak muda dan milenial di Indonesia diperkirakan menjadi kontributor konsumsi 5G terbesar sebanyak 80 persen terhadap pengguna potensial dengan rentang usia 19-44 tahun.

5 Catatan Penting Seputar Merger dan Transisi

Penggabungan bisnis atau merger antara SIRCLO dan ICUBE pada Juni lalu menjadi salah satu sorotan menarik industri startup Indonesia di sepanjang 2020. Apalagi, merger ini terjadi di masa pandemi Covid-19 di mana para pelaku bisnis harus mengencangkan ikat pinggangnya.

Bicara soal merger di masa pandemi, ada banyak insight menarik seputar topik tersebut yang dibagikan langsung oleh Founder & Chief Executive SIRCLO Brian Marshal pada sesi #SelasaStartup pekan ini. Simak ulasannya berikut.

Sinyal untuk merger dan menentukan partner yang tepat

Bagaimana mengetahui bahwa merger menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan pelaku startup? Bagaimana menentukan partner merger yang tepat?

Pada kasus SIRCLO dan ICUBE, ada beberapa hal yang diperhatikan. Pertama, melihat dependensi bisnis antara kedua perusahaan dengan mengacu pada visi dan misinya. Kedua belah pihak perlu memahami sejauh mana business proposition saling melekat satu sama lain.

Baik SIRCLO dan ICUBE sama-sama mengembangkan solusi dengan teknologi sebagai kompetensi utamanya. Namun, tetap menghargai human assistance. Dari sini, ujar Brian, kedua perusahaan melihat dinamika dan perilaku pelaku bisnis di Indonesia dari sudut pandang yang sama.

Kendati demikian, bukan berarti segala aspek harus saling selaras. Menurutnya, perbedaan justru saling melengkapi kedua perusahaan. SIRCLO memiliki target pasar dan teknologi berbeda dengan ICUBE. SIRCLO menghadirkan tools untuk  UMKM dan end-to-end services untuk brand besar. Sementara, ICUBE menghadirkan solusi tools juga untuk brand besar.

Kedua adalah “gaya”, yang dapat berarti cara suatu perusahaan menuju visinya, seperti gaya kepemimpinan. Faktor ini dapat menjadi pertimbangan apakah suatu perlu melakukan merger atau sebatas kolaborasi secara transaksional saja.

“Apabila hal-hal di atas saling selaras, alangkah baiknya bisa bekerja bareng. Kalau business proposition dan visinya sama, itu bisa jadi sinyal untuk merger,” kata Brian.

Tantangan dan kesiapan internal untuk merger

Brian menilai perusahaan tidak akan pernah siap untuk merger, kecuali langsung mencobanya. Maka itu, penting untuk melihat kesiapan internal dalam proses merger.

Kesiapan internal ini berkaitan dengan proses transisi antar-perusahaan. Transisi ini dapat meliputi gaya kepemimpinan, pengambilan keputusan, proses perekrutan karyawan, pengembangan tim, hingga penilaian performa kerja dengan top level dan manajemen baru.

“Cikal bakal merger adalah kesamaan visi dan proses transisinya tidak dapat selesai dalam waktu semalam. Pada pengalaman di lapangan, salah satu PR besarnya adalah menyamakan business offering. Dengan merger, kita seharusnya bisa berikan offering lebih lengkap,” ucapnya.

Meski membutuhkan waktu, Brian menilai bahwa proses transisi dapat menghasilkan sebuah efisiensi. Penyelarasan visi, business proposition, hingga internal dapat memberikan efisiensi dari sisi operasional hingga sistem penilaian karyawan.

Komunikasi pada shareholder dan middle management

Sebagaimana diungkap Brian sebelumnya, penyelarasan visi menjadi tahapan paling pertama yang perlu dilakukan untuk memulai proses merger. Pada kasus SIRCLO dan ICUBE, proses ini dimatangkan sejak Desember 2019 hingga Februari 2020.

Pada proses ini, tentunya kedua perusahaan juga harus berdiskusi dengan para pemegang saham (shareholder) terkait kesepakatan merger. Apabila diskusi sudah rampung di top management dan mendapat persetujuan shareholder, fase selanjutnya adalah mengomunikasikan rencana merger ke middle management.  

Barulah pada fase terakhir, proses merger dapat dilaksanakan. “Baiknya, semua [karyawan] tahu, apalagi kalau mergernya signifikan. Makanya di tahap awal kami perlu menginformasikan dan mendiskusikan dengan shareholder,” ujarnya.

Proses merger saat pandemi

Ada alasan mengapa SIRCLO dan ICUBE tetap melanjutkan upaya kesepakatan mereka ketika pandemi baru merebak di Indonesia saat itu. Pembatasan sosial yang dikeluarkan pemerintah, mau tak mau menuntut masyarakat untuk bertransaksi via online.

“Kami membantu solusi e-commerce dan sektor ini tidak terdampak karena pandemi. Justru pandemi mendorong transaksi secara online. Makanya, kami tetap jalan terus saat itu,” ungkap Brian.

Hanya saja, lanjutnya, proses merger ini memakan waktu lebih lama dari target yang ditentukan semula. Pembatasan sosial membuat sejumlah proses berjalan lebih lambat, misalnya proses dengan notaris. Karena pandemi, merger yang ditargetkan bisa selesai dalam empat bulan, mundur menjadi enam bulan.

Valuasi dan biaya untuk merger

Penentuan valuasi perusahaan umumnya disepakati oleh top management. Brian menyebut bisa saja menggunakan pihak ketiga untuk membantu penghitungan valuasi. Namun, dalam kasusnya, skala bisnis perusahaan belum membutuhkan pihak ketiga untuk menghitung valuasi.

Terkait biaya merger, ini dapat berarti dua hal. Pertama, biaya yang mengacu pada nilai transaksi/kepemilikan saham di perusahaan. Menurutnya, mahal atau tidak transaksi merger itu relatif, tergantung skala bisnis dan kesepakatan dengan top management.

Kedua, biaya yang dikeluarkan kepada pihak ketiga untuk melakukan proses merger. Misalnya, biaya notaris untuk membuat draf perjanjian atau membayar konsultan untuk membantu transisi merger.

“Jika diperlukan, perusahaan bisa saja membayar konsultan untuk melakukan integrasi saat merger. Misalnya, integrasi dari sisi budaya kerja atau manajemen human resource. Ini sebetulnya tak kalah penting, tetapi tergantung kebutuhan perusahaan juga,” jelasnya.

Manuver Blue Bird Hadapi Pandemi Lewat Akselerasi Digital

Ketika Gojek dan platform on-demand lainnya beroperasi secara komersial, sejumlah penyedia jasa transportasi konvensional sempat berteriak. Gojek dinilai telah mendisrupsi bisnis transportasi yang sudah ada. Kehadiran layanan seperti ini bahkan sempat memunculkan perseteruan antara penyedia transportasi konvensional vs on-demand.

Selang beberapa tahun kemudian, situasinya berkebalikan. Penyedia jasa transportasi konvensional maupun on-demand kini saling merangkul untuk me-leverage peluang baru lewat teknologi.

Konteks di atas turut terjadi pada operator taksi terbesar di Indonesia, Blue Bird, yang pada akhirnya berkolaborasi dengan Gojek di 2016. Korporasi semakin melihat esensi digitalisasi terhadap keberlangsungan bisnis. 

Lalu bagaimana manuver Blue Bird menghadapi perkembangan digital, terutama di masa pandemi? Simak selengkapnya lewat wawancara DailySocial dengan Chief Strategy Officer Blue Bird Paul Soegianto.

Transformasi digital Blue Bird

Bicara transformasi digital, Blue Bird dinilai perlu mengambil langkah baru dengan posisinya sebagai operator taksi terbesar di Indonesia. Apalagi, teknologi telah mengubah bagaimana pasar berperilaku.

Sejak 2015 hingga 2019, Blue Bird mencatatkan penurunan pada kinerja keuangannya. Puncak penurunan ini mulai terlihat pada pendapatan Blue Bird di periode 2015-2017, di mana saat itu popularitas layanan transportasi on-demand tengah meroket di sejumlah kota besar Indonesia.

Penurunan kinerja Blue Bird dalam 4 tahun terakhir

Yang tidak banyak diketahui, Blue Bird sebetulnya sudah lebih dulu mengembangkan aplikasi pemesanan taksi My Blue Bird sekitar 2011/2012. Dapat dikatakan aplikasi ini sudah jauh lebih dulu meluncur sebelum Gojek.

Menurut Andeka Putra, mantan Chief Information Officer Blue Bird di wawancara terdahulu, My Blue Bird kurang dipromosikan dengan baik sehingga popularitasnya belum dapat mengejar transportasi on-demand.

Kini, Paul Soegianto mengomandoi transformasi digital yang gencar dilakukan sejak tahun lalu oleh divisi Strategic Transformation Office (STO) untuk mengelola strategi, portofolio, dan transformasi digital perusahaan. Sebelumnya, transformasi digital dieksekusi divisi Business Transformation Office (BTO).

Paul mengungkap ada sejumlah inisiatif baru untuk mengakselerasi bisnisnya. Sebagai perusahaan berbasis aset, ia menilai Blue Bird perlu melakukan diferensiasi dengan kompetitor. Per akhir 2019, Blue Bird memiliki 20.633 unit armada taksi reguler, 883 unit taksi eksekutif, 6.231 unit limosin dan mobil sewaan, dan 601 unit bus.

Fokus utamanya adalah menjadi Mobility-as-a-Service (MaaS) di mana perusahaan menggunakan tiga pendekatan utama, yakni menjadi penyedia multiplatform/channel, multiproduct/service, dan multipayment. Tujuannya tak lain untuk menciptakan ekosistem layanan terintegrasi dan memperkuat posisinya di industri transportasi di era digital.

Pendekatan pertama, multichannel, adalah memperluas akses layanan transportasi Blue Bird di lebih dari satu channel. Sebelumnya, layanan ini sudah tersedia di Gojek dan Traveloka. “Kami akan perbanyak channel ini, akan ada akhir September ini,” ungkapnya di sesi virtual meet dengan DailySocial.

Saat ini My Blue Bird menjadi platform utama perusahaan dalam pemesanan taksi. Menurut Paul, aplikasi tersebut akan hadir dengan sejumlah pembaruan pada Desember mendatang.

Blue Bird juga melakukan diferensiasi layanan di luar jasa transportasi, yakni sewa mobil dan bus, serta logistik. Paul juga menargetkan layanan tersebut juga dapat dipesan melalui multiplatform.

“Terkait mobility partnership, kami juga akan umumkan kolaborasi dengan salah satu perusahaan besar di Indonesia untuk layanan multimoda. Ini berkaitan ke multiproduct/service tadi,” ungkap Paul.

Terakhir adalah multipayment. Opsi pembayaran beragam dinilai menjadi salah satu kunci utama di era inklusivitas layanan. Apalagi masuknya Gojek sebagai pemegang saham minoritas Blue Bird akan memungkinkan integrasi GoPay ke layanan My Blue Bird.

“Semua layanan Blue Bird menerima jenis pembayaran nontunai, termasuk platform digital. Bahkan sejak empat bulan terakhir, kami sudah roll out Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) ke 12.000 armada Blue Bird dan sudah selesai,” tambahnya.

Tak kalah penting, lanjut Paul, perusahaan juga berupaya mendigitalisasi semua armada taksi selama sebulan terakhir. Paul mengungkap bahwa kini setiap armada dilengkapi front panel yang dapat mengukur sensor di dalam taksi, melakukan tracking akurat dengan GPS, dan safety management.

“Kami mendukung ujung tombak (pengemudi) dengan teknologi, seperti IoT dan AI. Sekarang kami lagi moving semuanya ke cloud based. Sistem dan jaringan juga kami revamp supaya baru semua di akhir tahun ini. Ini semua untuk meyakinkan konsumen bahwa kami dapat memenuhi good factor layanan kami,” paparnya.

Masuk ke layanan logistik

Pandemi Covid-19 sangat memukul sektor transportasi di dunia. Dampaknya turut dirasakan Blue Bird akibat kebijakan pembatasan sosial yang mengharuskan kegiatan kerja dan sekolah di rumah.

Berdasarkan kinerja di kuartal II 2020, Blue Bird mengalami penurunan signifikan pada total pendapatan dan laba. Pandemi membuat kontribusi pendapatan dari jasa taksi Blue Bird turun 43 persen menjadi Rp865 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu Rp1,5 triliun.

Dampak pandemi terhadap kinerja Blue Bird
Sumber: Laporan Keuangan Kuartal II (2019-2020) / Diolah kembali oleh DailySocial

Blue Bird melakukan manuver dengan masuk ke layanan logistik sejak Maret lalu. Perusahaan memperkenalkan program COD (Chat-Order-Delivery) Blue Bird yang dapat dipesan melalui WhatsApp. Layanan ini tersedia untuk kawasan Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Medan, Padang, Pekanbaru, Batam, dan Palembang.

Program COD ini kemudian dikembangkan menjadi sebuah layanan baru, BirdKirim. Pelanggan dapat mengantar barang atau dokumen yang tarifnya disesuaikan dengan jarak kirim. Layanan yang tersedia di aplikasi My Bluebird ini diperkenalkan pada Juni lalu.

“Sekarang kami tinggal tunggu [pengembangan] untuk layanan logistik grosir, jadi dapat dipesan via aplikasi juga. Bagi kami, layanan logistik untuk korporasi sangat menarik. Sudah banyak perusahaan besar yang memindahkan layanan logistiknya ke kami. Ada [platform] e-commerce B2B yang pengiriman logistiknya sudah pakai jasa Blue Bird, hanya saja belum bisa kami umumkan,” jelasnya.

Selain itu, Paul mengungkap bahwa pihaknya berencana mengumumkan kolaborasi dengan salah satu startup logistik yang sudah berjalan sejak Maret lalu. Lewat upaya kolaborasi ini, perusahaan memproyeksikan pertumbuhan bagus dari layanan logistik.

Menentukan “Make-or-buy decision”

Bicara tentang pengembangan inovasi, baik sendiri maupun kolaborasi ini, tentu dibutuhkan komitmen solid dari top level. Dalam prosesnya, Paul menegaskan pentingnya menerapkan strategi “make-or-buy decision“.

Menurutnya, model ini belum diterapkan dengan baik oleh banyak perusahaan di Indonesia. Di Blue Bird sendiri, Paul mengaku terus mengamati kapabilitas perusahaan untuk memahami perlunya pengembangan sendiri, pengelolaan sendiri, atau berkolaborasi dengan pihak ketiga.

Sebetulnya model ini sudah tak asing bagi korporasi. Umumnya, strategi membeli lewat akuisisi sering dipilih karena lebih efisien secara waktu dan sumber daya. Dan konsep ini dinilai lebih cepat untuk men-deliver layanan di pasar. Namun, mengembangkan sendiri juga tidak ada salahnya selama ada modal dan sumber daya yang cukup dan mumpuni.

Di konteks ini, saham minoritas Blue Bird bahkan telah diakuisisi Gojek senilai $30 juta atau sekitar Rp411 miliar) pada Februari 2020.

Sampai saat ini belum diketahui rencana besar apa di balik pembelian saham Blue Bird oleh Gojek. Yang pasti, Blue Bird saat ini tengah menyiapkan sinergi menguntungkan bagi kedua belah pihak. Paul sendiri menolak berkomentar terkait rencana selanjutnya dari akuisisi tersebut.

“Beberapa hal yang bukan kompetensi Blue Bird pasti akan kami beli. Artinya, skema beli ini untuk long term partnership. Sebentar lagi, Blue Bird akan ada tanda tangan kontrak besar terkait hal ini,” ujarnya.

Application Information Will Show Up Here

Peliknya Industri Telekomunikasi di Masa Pandemi

Ketika pemerintah memberlakukan pembatasan sosial pada pertengahan Maret lalu, sebagian besar kegiatan hingga lalu lintas informasi terpaksa dilakukan secara online. Yang terjadi adalah tren konsumsi data berubah. Kawasan residensial kini bergeser menjadi pusat segala aktivitas di masa pandemi.

Fenomena tersebut tercermin dari riset yang dirilis MarkPlus Inc beberapa waktu lalu. Riset ini diikuti oleh sebanyak 111 responden yang terbagi atas wilayah Jabodetabek (57%) dan non-Jabodetabek (43%).

Dalam webinarnya, MarkPlus Inc melaporkan sebanyak 31,7 persen pengguna internet di Jabodetabek menghabiskan kuota internet seluler 5-10GB sebelum pandemi. Sementara pemakaian internet seluler di non-Jabodetabek lebih besar sebelum pandemi, dengan 22,9 persen responden menghabiskan kuota di atas 30GB.

Saat pandemi, sebanyak 63,5 persen pengguna di Jabodetabek mengaku tidak menambah/mengurangi kuota internet selama WFH dan SFH. Hal ini karena penetrasi fixed broadband (personal WiFi) di wilayah ini cukup besar dibandingkan non-Jabodetabek. Kebalikannya, 52,1 persen pengguna non-Jabodetabek harus menambah kuota karena 68,8 persen di antaranya belum memasang fixed broadband dan bergantung pada kuota seluler.

Dari jenis pemakaian, kegiatan telepon/video konferensi online menghabiskan kuota internet paling besar (36%). Tak heran mengingat pemerintah memberlakukan kebijakan WFH dan SFH yang mengharuskan interaksi online selama bekerja dan sekolah.

Lebih lanjut, sebanyak 57,1 persen pengguna fixed broadband dari kelas ekonomi atas memiliki tingkat ketidakpuasan tertinggi selama pandemi. Kebutuhan akan bandwith internet yang lebih besar membuat ekspektasi mereka juga menjadi cukup tinggi.

Apa artinya tren pergeseran ini terhadap industri telekomunikasi?

Imbas terhadap industri telekomunikasi

Operator telekomunikasi panen trafik pada masa awal pemberlakuan WFH dan SFH. Beberapa di antaranya melaporkan kenaikan trafik yang didominasi pada pemakaian platform online learning. Misalnya, Telkomsel mencatat kenaikan sebesar 16 persen. Kemudian, Tri Indonesia mengalami kenaikan trafik pada platform Zenius (73%), Ruangguru (78%), dan Quipper (196%).

Sekjen Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O. Baasir mengakui ada pergeseran trafik data dari kawasan bisnis ke residensial sebesar 12-30 persen secara industri.

“Karena semua sekarang serba online, kami meyakini rumah bakal jadi sentral aktivitas. Maka itu, operator perlu menambah produk terjangkau dan memperkuat jaringan, terutama di area residensial dan pedesaan,” ujarnya saat webinar MarkPlus Inc awal September ini.

Data ATSI mencatat trafik mobile industri naik 12,5 persen pada periode Februari-Maret. Kemudian, naik 7,5 persen (Maret-April) dan 5,7 persen (April-Mei). Pada periode Mei-Juni, trafik turun 0,5 persen.

Namun, ia mengungkap kenaikan trafik selama pandemi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan. Pemberlakuan WFH dan SFH juga berdampak terhadap penurunan layanan dasar operator, yakni voice dan SMS.

Sumber: ATSI Internal Analysis / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: ATSI Internal Analysis / Diolah kembali oleh DailySocial

Sebetulnya, industri telekomunikasi sempat mengecap kenaikan pendapatan sebesar 9,9 persen pada periode Februari-Maret. Namun, pertumbuhan pendapatan sejak Maret terus menurun. Pendapatan industri minus pada periode Maret sampai April (-1,9%), diikuti periode April-mei (-4,9%), dan Mei-Juni (-5%).

Menurut Marwan, operator mengakomodasi pergeseran konsumsi internet dengan memindahkan dan menambah kapasitas jaringan. Namun, upaya ini berujung pada peningkatan biaya. Bahkan ia menilai biaya ini terus bertambah seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap kegiatan kerja dan sekolah di rumah dan kualitas layanan.

Dalam kesempatan sama, menurut Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) Kristiono, paparan di atas menjadi momentum refleksi betapa tidak seimbangnya penetrasi fixed broadband dan mobile broadband di Indonesia.

Ketidakseimbangan penetrasi jaringan ini salah satunya tercermin pada perilaku pemakaian internet di Jabodetabek dan non-Jabodetabek, sebagaimana dilaporkan pada riset MarkPlus di atas. Sementara, data di bawah ini menampilkan rendahnya penetrasi pasar fixed broadband di Indonesia.

Sumber: Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) / Diolah kembali oleh DailySocial

Karena ketimpangan ini, ada banyak kasus di mana penyelenggaraan kegiatan sekolah dan kerja menjadi tidak efektif. Padahal, ujar Kristiono, akselerasi digital sangat diperlukan di situasi sekarang. Dengan kata lain, konektivitas menjadi ujung tombak yang perlu dibenahi untuk mengakomodasi hal tersebut.

Momentum dan urgensi untuk merealisasikan kebijakan yang tertunda

Melihat tren dan data di atas, Marwan menilai akan sulit bagi industri telekomunikasi untuk bertumbuh ke depan. Operator bahkan tidak dapat berekspektasi untuk memulihkan kinerjanya dalam waktu dekat. Ditambah lagi, ujarnya, persaingan industri telekomunikasi bakal menguat sejalan dengan prediksi melemahnya daya beli masyarakat di semester II 2020.

Di sisi lain, pandemi dinilai menjadi waktu yang tepat bagi stakeholder terkait untuk merealisasikan wacana usang. Wacana yang dimaksud adalah sejumlah kebijakan yang telah diusulkan dan dibahas selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada lampu terangnya. Misalnya, kebijakan OTT, infrastructure sharing, dan M&A.

Menurut Marwan, kebijakan-kebijakan ini dapat mengakomodasi gaya hidup dan pola orang bekerja dan sekolah ke depannya, yakni “The Post Normal” di mana rumah sebagai sentral aktivitas dan konektivitas. Maka itu, ia berharap pemerintah dapat melihat urgensi untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan yang diusulkan dan dibahas sejak dulu.

“Ini sebetulnya isu lama, tetapi tidak ada bargain position yang bisa diambil. Tapi, agenda ini harus diselesaikan, sudah tidak bisa ditunda. Rencana kebijakan soal OTT saja sudah empat tahun dibahas, tapi tidak ada ada penyelesaian berujung. Begitu juga kebijakan soal M&A. Semua inisiatif ini kan untuk mengurangi opex,” ujar Marwan.

Sumber: ATSI / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: ATSI / Diolah kembali oleh DailySocial

Kristiono menilai pemerintah juga perlu menurunkan ekspektasi terhadap industri telekomunikasi di situasi sekarang. Dengan perubahan perilaku konsumen yang semakin demanding, apalagi harus tinggal di rumah, kondisi ini memunculkan perubahan pada supply chain. Namun, Indonesia dinilai belum siap mengakselerasi digital karena konektivitasnya tidak merata.

Hal ini diamini CEO Biznet Adi Kusuma. Menurutnya, pandemi mengubah jauh ekspektasi pelanggan terhadap koneksi internet. “Apabila dulu orang berpikir broadband hanya untuk kebutuhan besar, sekarang semua perlu karena aktivitas kerja dan sekolah dirumahkan,” ujarnya.

Tren Perlambatan Iklim Investasi Startup Indonesia di Semester II 2020

Pandemi Covid-19 belum usai, perekenomian juga belum pulih. Indonesia bisa masuk ke periode resesi apabila perekonomian masih mencatat pertumbuhan minus di kuartal III 2020 .

Seluruh sektor bisnis dan industri saat ini sedang mengalami masa sulit karena pandemi. Meskipun demikian, ada juga yang melihat situasi ini sebagai momentum untuk mengakselerasi peran digitalisasi. Ini juga menjadi salah satu manuver terhadap perubahan pasar dan perilaku konsumen di tengah pandemi.

Bagaimana pencapaian transaksi pendanaan startup di Indonesia di semester I 2020 dan seperti apa tren selanjutnya di penghujung 2020?

Pendanaan di semester I 2020

Sebagaimana diberitakan Nikkei, tren investasi di Asia Tenggara justru melonjak pada kuartal II 2020 (periode April-Juni). Pandemi menjadi momentum bagi pelaku bisnis e-commerce dan fintech untuk memperoleh traksi layanan besar seiring dengan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pembatasan sosial dan Work From Home (WFH).

Menurut data DealStreetAsia, Indonesia menyumbang transaksi terbanyak pada periode tersebut dengan 45,8 persen dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara. Terbanyak kedua dan ketiga adalah Singapura (33,2%) dan Vietnam (7,9%).

Pada semester I 2020, DailySocial mencatat sebanyak 52 transaksi pendanaan startup Indonesia yang diumumkan. Apabila dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, memang ada peningkatan dari sebanyak 50 transaksi pendanaan, tetapi tidak signifikan.

Pendanaan Startup Indonesia Semester I 2020 / DailySocial
Pendanaan Startup Indonesia Semester I 2020 / DailySocial

Jumlah transaksi ini sebetulnya bisa lebih meningkat lebih besar dibandingkan periode sama tahun lalu. Hanya saja pandemi juga mengakibatkan sejumlah kesepakatan pendanaan menjadi mundur dari target semula.

Misalnya, Paxel awalnya menargetkan dapat mengantongi pendanaan baru di kuartal II 2020. Namun, rencana ini terpaksa diundur pada kuartal III 2020. Sementara, Mbiz mengaku kesulitan mencari investor baru karena situasi ini. Bahkan perusahaan di bidang e-procurement ini harus merevisi target penggalangan dana.

Dari sisi tahapan, startup pemula (seed) masih mendominasi transaksi pendanaan. Sementara, startup fintech dan edtech menjadi vertikal bisnis yang paling banyak memperoleh suntikan investasi di semester I 2020.

Tren investasi di kuartal III mulai melambat?

Kuartal ketiga 2020 memang belum berakhir. Namun, berdasarkan data yang dirangkum DailySocial, tren investasi pada kuartal ini terbilang cukup melambat.

Pada periode Juli hingga saat ini (year-to-date), terdapat sebanyak 19 transaksi pendanaan startup di Indonesia. Sebagai gambaran, pada kuartal ketiga 2019 terdapat 30 transaksi pendanaan yang diumumkan sebagaimana dirangkum pada Startup Report 2019.

Beberapa di antaranya berasal dari startup unicorn dan tahap lanjut, yaitu Traveloka dengan perolehan dana sebesar Rp3,6 triliun dan Sociolla sebesar Rp841 miliar.

Valuasi Traveloka sendiri diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir Rp40 triliun) demi memperoleh suntikan dana segar ini. Aksi down round ini terpaksa diambil karena bisnis perusahaan terpukul akibat Covid-19 sehingga mengakibatkan penurunan layanan.

Lebih lanjut, perolehan investasi periode Juli hingga awal September ini masih didominasi oleh beberapa vertikal bisnis yang mendapatkan keuntungan dari situasi saat ini, misalnya beautytech, e-commerce, logistik, dan fintech.

Startup Vertikal Bisnis Pendanaan
Sociolla Beautytech Series E
Payfazz  Fintech Series B
TiinTiin E-commerce Seed
SYCA Beautytech Seed
Kiddo  Edtech  Seed
Traveloka  OTA Series Unknown
Ayoconnect  Fintech Pre-Series B
Wahyoo  Social Enterprise Series A
CrediBook  Fintech  Seed
eFishery  Aquatech Series B
IUIGA E-commerce Series Unknown
BukuKas SaaS Pre-Series A
Tjetak Others Series A
SIRCLO E-commerce Enabler Series B
PasarPolis  Insurtech Series B
PropertyGuru Group Proptech Series Unknown
Webtrace Logistik Seed
CredoLab  Fintech Series A

Akselerasi digital picu optimisme iklim investasi

Dihubungi secara terpisah, Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa tren pendanaan startup di kuartal keempat 2020 diprediksi tetap lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini mengingat situasi pandemi masih berlanjut dan perekonomian belum pulih.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen (year-on-year). Pertumbuhan ini terburuk sejak krisis 1998 di Indonesia. Belum lagi, Jakarta kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid dua mulai pekan ketiga September ini.

Kendati demikian, Kenneth mengaku optismistis terhadap tren investasi ke depan mengingat ada banyak vertikal bisnis startup yang justru terdampak positif dari kondisi ini. Hal ini terutama berkaitan dengan akselerasi kapabilitas digital menjadi lebih cepat dan urgent.

Ia juga melihat ke depannya bisa saja jadi momentum konsolidasi lewat merger dan akuisisi (M&A) bagi industri startup. “Ini karena sekaligus mengevaluasi apakah para founder startup tersebut memiliki kemampuan untuk bertahan. Cara bertahan itu banyak, bisa lewat galang pendanaan baru, pivot, dan konsolidasi,” ujarnya kepada DailySocial.

Sebelumnya, perusahaan VC raksasa Sequoia Capital telah memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 bakal memberikan efek turbulensi terhadap bisnis dan iklim investasi di industri startup dunia. Sequoia bahkan menyebut Covid-19 sebagai “The Black Swan di 2020”.

Sequoia memperingatkan seluruh ekosistem startup dan turunannya untuk memikirkan ulang sejumlah aspek bisnisnya di sepanjang tahun ini. “Meskipun mungkin bisnis Anda belum akan terdampak langsung dari kasus ini, Anda perlu mengantisipasi bahwa konsumen bisa saja mengubah spending habit mereka,” menurut Sequoia.

Investasi ke Startup Myanmar, UMG Idealab Nilai Ekosistem di Sana Mirip Indonesia Delapan Tahun Lalu

UMG Idealab, Corporate Venture Capital (CVC) milik UMG Group, mengumumkan investasi tahap awal (seed) terhadap Zay Chin, startup online grocery di Myanmar. Adapun nilai investasinya tidak dapat disebutkan.

Zay Chin membidik posisinya sebagai platform terdepan untuk membantu para profesional muda dan ibu rumah tangga (IRT) di Myanmar dalam mencari kebutuhan pokok sehari-hari di pasar tradisional maupun pasar basah.

“Meskipun jumlah minimart dan pusat perbelanjaan terus bertambah di Myanmar, kami melihat kebutuhan para IRT di pasar tradisional tetap tinggi,” ucap CEO Zay Chin Kyaw Kyaw dalam keterangan resminya.

Sementara, Founder dan Executive Chairman UMG Idealab Kiwi Aliwarga menyebutkan investasi ini sejalan dengan strateginya untuk masuk ke pasar digital Myanmar. “Keputusan kami bersinergi dengan Zay Chin memungkinkan kami melanjutkan ekspansi di bisnis digital Myanmar,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Kiwi juga mengungkapkan bahwa pendanaan ini akan memperkuat upaya ekspansi operasional dan jaringan Zay Chin di Myanmar, terutama lewat kolaborasinya dengan BeeXprss sebagai partner last mile di Myanmar.

“Kesepakatan ini, untuk sekarang, akan fokus untuk pasar Myanmar dulu. Namun, dalam beberapa tahun ke depan, mereka [Zay Chin] akan ekspansi ke beberapa negara lain, yaitu Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Indonesia,” ungkap Kiwi kepada DailySocial.

Menurutnya, jika dibandingkan dengan Indonesia, ekosistem digital di Myanmar masih berada di tahap awal. Bisa dibilang ada gap delapan tahun dari sisi pengembangan. Dengan kata lain, ekosistem digital Myanmar sekarang sama seperti kondisi di Indonesia pada 2012 lalu. Namun, ia meyakini ekonomi digital di Myanmar akan berkembang cepat.

Sebagaimana diketahui, Kiwi Aliwarga merupakan konglomerat Myanmar asal Indonesia yang menginisiasi berdirinya UMG Idealab. Sejak 2016, UMG Idealab telah menyuntik pendanaan ke lima portofolio yang terdiri dari 2 startup teknologi, 1 UKM, dan 2 venture builder.

UMG Idealab menargetkan 5 sampai 15 portofolio dalam satu tahun. Ada tiga target utama yang dibidik melalui investasi ini, yaitu melawan perubahan iklim, mengurangi ketidaksetaraan pendapatan, dan mendorong bisnis UKM dengan teknologi. Kiwi mencontohkan layanan di sektor pendidikan dan kesehatan di Myanmar menggunakan teknologi berbasis IoT dan AI.

“Ada beberapa [portofolio] di pipeline kami, tapi closing di bulan ini bukan dari Indonesia dan Myanmar. Kami sudah mencapai kesepakatan tahap final dan kami akan umumkan pada akhir September ini.” Tutupnya.