Revaluasi Aset: Manfaat, Jurnal, dan Kekurangannya

Berbicara tentang aset mungkin yang sering terpikirkan adalah barang berharga yang dimiliki oleh perseorangan atau juga perusahaan seperti bangunan, rumah, atau juga peralatan.

Bukan sekadar barang, aset juga sering digunakan untuk perhitungan keuangan perusahaan contohnya dalam perhitungan leverage ratio. 

Namun, apakah kamu tahu jika aset juga bisa mengalami penyusutan dan revaluasi? Bahkan ada metode untuk mengukur revaluasi tersebut, loh! Hal ini dinamakan revaluasi aset. 

Bagi kamu yang belum familiar dengan istilah ini tidak perlu khawatir, karena di sini kamu akan mengetahui pembahasan revaluasi aset dari definisi, rumus, dan juga kekurangannya.

Apa Itu Revaluasi Aset?

Revaluasi aset adalah sebuah penilaian kembali atas aset tetap sebuah perusahaan karena adanya kenaikan atau penurunan nilai aset di pasaran, atau juga nilai aset yang terlalu rendah dalam laporan keuangan.

Tujuan revaluasi aset tetap ini adalah untuk memperbaharui nilai aset jangka panjang agar sesuai dengan nilai pasarnya dan juga membuat bagian keuangan perusahaan bisa melakukan perhitungan dan analisis penghasilan secara tepat. Revaluasi aset juga akan berhubungan dengan materi aset tetap dan aset tetap tidak berwujud sebuah perusahaan.

Harga sebuah aset bisa berubah itu tergantung berbagai faktor seperti inflasi, pasokan di pasaran renda, permintaan yang banyak atau sedikit, dan juga devaluasi. Apa itu devaluasi? Kebijakan pemerintah dalam menurunkan nilai mata uang sebuah negara.

Aset tetap juga sering disebut sebagai aktiva tetap yaitu aktiva sebuah perusahaan yang sifatnya permanen yang digunakan untuk menjalankan operasional perusahaan. Contoh aktiva tetap adalah gedung dan juga kendaraan.

Dasar Hukum yang Mengatur Revaluasi Aset

Revaluasi aset tentunya sudah diatur perintah dalam undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 mengenai perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1993 mengenai pajak penghasilan. Dalam PPh Pasal 19 Ayat UU 36/2008 berisi:

  1. Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.
  2. Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi.

Selain itu penilaian revaluasi aset juga tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan 9 PMK) Nomor 191/PMK.10/2015 mengenai penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan bagi permohonan yang diajukan pada tahun 2015 dan tahun 2016.

Melalui peraturan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan pengurangan tarif PPh Pasal 19 bagi perusahaan yang melakukan revaluasi aset.

Apa Saja Aset yang Dapat Direvaluasi?

Dikutip dari berbagai sumber, ternyata tidak semua aset perusahaan bisa dilakukan penilaian kembali atau revaluasi. Hanya aset tetap berwujud yang berada di indonesia saja yang bisa direvaluasi.

Contoh revaluasi aset tetap adalah aset properti seperti bangunan karena berwujud dan keberadaannya bisa diketahui secara pasti. Revaluasi aset ini juga bisa dilakukan oleh semua badan usaha tetap yang sudah memiliki kewajiban pajak badan dalam negeri.

Manfaat Revaluasi Aset

Revaluasi aset ini memiliki manfaat dalam bisnis perusahaan sebagai berikut:

1. Sebagai bentuk kekayaan perusahaan

Tujuan revaluasi aset adalah untuk memberikan penilaian terhadap aset tetap perusahaan, dengan begitu aset ini akan tercantum dalam laporan keuangan dan apabila sebuah perusahaan akan melakukan go public dapat dipakai untuk menyusun laporan aset dengan harga yang realistis.

2. Sebagai pengontrol modal

Revaluasi aset juga dapat menurunkan debt to equity ratio dalam leverage ratio perusahaan. Hal ini apabila perusahaan akan melakukan peminjaman modal di bank akan bisa diproses dengan mudah, karena apabila modal meningkat capital adequacy ratio akan mengikuti.

3. Menarik investor

Dengan adanya revaluasi aset maka kinerja keuangan perusahaan juga akan meningkat dan bisa menjadi poin plus untuk menarik investor. Kamu bisa mulai dengan melakukan peluncuran saham perusahaan atau juga obligasi.

4. Mengurangi kewajiban pajak

Nilai aset perusahaan yang mengalami perubahan juga bisa berpengaruh terhadap nilai penyusutan, apabila nilai penyusutan naik laba yang dihasilkan juga akan menurun. Sehingga kewajiban pajak akan berkurang.

5. Membantu perusahaan untuk merger

Revaluasi aset akan berguna bagi perusahaan yang akan merger, karena perusahaan tersebut harus melakukan penilaian ulang terhadap aset tetapnya. Sehingga pada saat itu nilai aset yang sesungguhnya dapat diketahui.

Contoh Jurnal Revaluasi Aset Tetap

Cadangan revaluasi aset ke atas

Perusahaan A melakukan revaluasi aset bangunan dan menemukan nilai pasar harus Rp600 juta. Nilai tercatat pada neraca di tanggal 1 juni 2022 adalah Rp400 juta, artinya perusahaan tersebut kehilangan nilai aset sebesar Rp200 juta.

Maka entri jurnal revaluasi aset ke atas:

ParticularsDebitCredit
Building AccountRp200 juta 
Revaluation Reserve Rp200 juta

Kenaikan nilai aset tetap nantinya tidak akan dicatat di dalam laporan laba rugi.

Cadangan revaluasi nilai ke bawah

Perusahaan  A melakukan revaluasi aset bangunan dan menemukan nilai pasar harus Rp500 juta. Nilai tercatat pada neraca di tanggal 1 juni 2022 adalah Rp350 juta.

Entri jurnal revaluasi nilai ke bawah:

ParticularsDebitCredit
Revaluation ReserveRp150 juta 
Building Account Rp1500 juta

Saat harga aset tetap menurun dan perusahaan tidak memiliki saldo kredit yang sama dengan penurunan harga. Sehingga penurunan nilai aset akan masuk debit dalam laporan laba rugi sebesar selisih jumlah cadangan penilaian kembali yang dikurangi penurunan di pasar harga aset tetap.

Kekurangan Revaluasi Aset

Selain memiliki manfaat, revaluasi aset juga memiliki kekurangan yang perlu kamu ketahui:

  1. Jumlah penyusutan atas revaluasi aset sering tidak menunjukkan pola yang abstrak atau tidak teratur.
  2. Perusahaan akan mengeluarkan banyak biaya dalam melakukan revaluasi aset, karena revaluasi aset harus dilakukan oleh yang profesional dan mungkin saja tidak semua bagian keuangan perusahaan tersebut bisa melakukannya.
  3. Perusahaan kamu tidak dapat melakukan revaluasi aset tiap tahun, karena terkadang biaya aset tetap juga tidak mengalami penurunan.

Nah, demikian pembahasan mengenai revaluasi aset yang merupakan penilaian kembali terhadap aset tetap sebuah perusahaan. Untuk melakukan revaluasi kamu harus selalu mengkonfirmasi dna mengecek nilai pasar saat ini.

Genjot Inklusi Belakangkan Literasi: Janjikan Untung, Malah Jadi Buntung

Saya ingat betul, awal tahun 2020 lalu memutuskan untuk membeli buku “The Intelligent Investor” karya Benjamin Graham. Buku tersebut saya beli setelah mengikuti beberapa sesi diskusi seputar investasi dan rekomendasi dari teman-teman yang saya percaya. Di balik itu, sebenarnya niatan saya mengkhatamkan buku itu tak lain untuk meyakinkan diri bahwa investasi di pasar modal dan/atau reksa dana bisa menjadi pilihan yang tepat untuk mengamankan aset dari inflasi.

Jujur, saya baru benar-benar mulai fokus berinvestasi di pasar modal dan reksa dana awal 2022 — dengan artian secara konsisten setiap bulan selalu menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk dimasukkan ke sana. Butuh waktu lebih dari 2 tahun untuk meyakinkan diri, riset, belajar, dan eksperimen terkait instrumen investasi ini.  Sebelumnya, saya cukup konvensional dalam berinvestasi.

Dengan proses yang panjang tersebut, ternyata membuat saya tergolong “ketinggalan zaman”, karena banyak teman di sekeliling sudah memulai investasi saham dan reksa dana sejak beberapa tahun belakangan. Persisnya saat wealthtech app ala Ajaib, Bibit, Pluang, dan sejenisnya beranjak populer.

Namun, dengan proses pendalaman yang cukup lama ini, setidaknya saya sudah tidak kaget ketika mendapati salah satu portofolio saham saya mendapati return minus lebih dari 30%. Karena saat membeli saham perusahaan tersebut, saya merasa sudah tahu bagaimana strategi dan arah perusahaan tersebut akan berkembang – toh saya tidak biasa membuka aplikasi investasi setiap hari, bahkan cenderung saat hendak top-up saja, setidaknya untuk masa sekarang.

Menyepelekan pemahaman

Sayangnya tidak semua orang memulai investasi dengan kesiapan – atau setidaknya pemahaman dasar mengenai instrumen yang hendak dimasuki. Alih-alih menempatkan kegiatan tersebut sebagai bagian dari kebutuhan terencana, tidak sedikit yang hanya bermodal motivasi biar tidak ketinggalan jaman, istilah kekiniannya FOMO (Fear Of Missing Out). Lihat saja di forum-forum diskusi investasi, nilai saham naik-turun satu digital sudah banyak yang teriak-teriak merugi atau melaba.

Memang sebagian tujuannya trader, alias mencari keuntungan dari transaksi jual-beli, namun tetap saja tanpa pemahaman yang benar ujung-ujungnya akan merugi sendiri. Tidak usah jauh-jauh, kita saksikan pemberitaan media mainstream yang akhir-akhir ini heboh soal kasus aplikasi binary option yang ternyata terindikasi judi. Bermodal keinginan untuk kaya secara instan, akses mudah ke platform, dan grup diskusi yang dimentori influencer, orang dengan mudah mempertaruhkan aset mereka untuk sesuatu yang kurang dipahami risikonya.

Mudah termakan jargon

Faktanya, menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019 oleh OJK, indeks literasi keuangan sebesar 38,03%; sementara indeks inklusi keuangan sebesar 76,19%. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia secara umum belum memahami dengan baik karakteristik dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan. Sementara terkait akses ke layanan keuangan justru telah terbuka lebar dan sudah banyak dimanfaatkan.

Lantas, apa yang memotivasi orang-orang untuk sangat berani meletakkan aset mereka ke instrumen investasi tertentu – termasuk mereka yang dirugikan karena binary option alias judi berkedok investasi? Seperti diketahui salah satu strategi pemasaran platform investasi adalah dengan menggembor-gemborkan jargon-jargon yang cukup menggugah. Misalnya dengan selalu menggoreng pernyataan kurang lebih: “investasi yang risikonya tinggi akan berbanding dengan hasil pengembalian yang tinggi, pun demikian sebaliknya.” Tidak ada salahnya, tapi kadang kurang pas pemahaman yang ditangkap.

Selain itu masih banyak jargon-jargon persuasif lain yang secara langsung memang membuat para pembacanya terdorong untuk turut andil dalam hype investasi ini. Belum lagi dibumbui dengan promo dan diskon yang banyak disuguhkan untuk pengguna awal. Dengan proses on-boarding ke platform yang memang relatif mudah, tak ayal kemudian banyak yang bergabung dengan bermodal coba-coba. Belum lagi program afiliasi berhadiah fantastis yang turut pengguna untuk mengajak orang-orang di sekitarnya bergabung. Sekali lagi, ini tidak ada salahnya, namun pemahaman mengenai risiko sering dihiraukan.

Kewajiban melakukan edukasi

Terkait kasus binary option yang baru-baru ini terjadi, salah satu strategi yang dilakukan untuk menggaet ‘korban’ adalah dengan memermak seorang ikon menjadi sosok yang sukses berjuluk “crazy rich”. Flexing tersebut ternyata berhasil menyita perhatian publik dan bikin orang bertanya-tanya bagaimana agar bisa menjadi berlimpah harta seperti mereka. Diikutilah cara-cara mereka dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, walau pada akhirnya tidak akan pernah menang seperti mereka.

Teknik tersebut berhasil. Nyatanya sebuah grup Telegram yang dikelola salah satu sosok tersebut mampu menjaring lebih dari 220 ribu anggota aktif.

Korban-korban ini sejatinya ada karena mereka telat memahami tentang apa yang sebenarnya ditawarkan – platform investasi yang ternyata tidak sesuai dengan kaidah investasi. Ini bisa terjadi karena dua hal: (1) tidak adanya transparansi dalam penyampaian informasi; (2) tidak ada sosialisasi mengenai risiko yang mungkin bisa dialami. Proses edukasi yang dilakukan tidak komprehensif, sehingga informasi yang didapat menjadi kurang berimbang.

Padahal dalam beleid yang dilahirkan untuk memayungi platform keuangan berbasis teknologi, otoritas selalu menekankan aspek edukasi sebagai salah satu hal wajib yang dilakukan penyedia layanan. Ambil contoh tertuang dalam Pasal 33 POJK 77/2016, mewajibkan penyelenggara layanan fintech untuk melakukan kegiatan peningkatan literasi dan inklusi berbentuk sosialisasi dan edukasi minimal 12 kali di 12 kota dan provinsi berbeda. Materi edukasi pun ditentukan, mulai dari pengelolaan keuangan, pemahaman industri, sampai dengan produk dan jasa beserta risikonya.

Tidak hanya platform investasi

Niatan ingin menjadi nasabah agar terbantu namun malah menjadi korban – ini sebenarnya tidak hanya berpotensi terjadi pada konteks platform investasi bodong saja. Bahkan bisa mencakup layanan lain yang sudah masuk koridor legal juga. Misalnya layanan payday loan dan paylater yang menjanjikan pinjaman instan; tanpa pemahaman yang benar tentang tata kelola keuangan, alih-alih membantu platform tersebut bisa saja menjadi bumerang yang justru membuat keuangan seseorang menjadi berantakan.

Inklusi keuangan telah terdongkrak naik secara signifikan, membuktikan bahwa digitalisasi berhasil mendapatkan penerimaan baik di tengah masyarakat. Sayangnya literasi keuangan indeksnya masih jauh di bawahnya. Analoginya seperti ini, inklusi ini seperti kemampuan menyetir mobil, sementara literasi adalah pemahaman tentang rambu-rambu. Saat banyak orang menyetir mobil namun tidak paham rambu-rambu, maka akan terjadi kekacauan di jalanan. Sayangnya jalanan yang kacau tidak hanya merugikan pengemudi tersebut, namun bisa berdampak pada pengemudi-pengemudi lain, apalagi yang masih baru.

Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kemudahan akses ke layanan finansial harus benar-benar diimbangi dengan pemahaman yang baik bagi para penggunanya. Banyak upaya yang baiknya digencarkan dalam kaitannya edukasi terus-menerus, termasuk salah satunya dengan menjadikan literasi keuangan menjadi materi wajib di bangku sekolah. Regulator juga dapat terus mendorong para pemilik platform untuk berperan lebih aktif menggencarkan berbagai kegiatan sosialisasi – terutama menyasar kalangan early adopter yang jumlahnya masih sangat banyak.

Carsome Rampungkan Akuisisinya Atas Induk Perusahaan Mobil123 dan Carmudi Indonesia

Carsome Group mengumumkan telah merampungkan akuisisinya terhadap iCar Asia. Mereka mengambilalih 80,1% saham dari Catcha Group dan pemegang saham lainnya. Setelah aksi korporasi ini, Carsome menjadi pemegang saham tunggal di perusahaan listing produk otomotif tersebut.

iCar Asia sebelumnya juga sudah melantai di Australian Stock Exchange (ASX) sejak September 2012. Saat berita ini diterbitkan, kapitalisasi pasar iCar Asia (ASX: ICQ) di kisaran AUD 238,4 juta atau setara 2,4 triliun Rupiah.

Seperti diketahui, iCar Asia memiliki sejumlah platform listing otomotif yang tersebar di sejumlah negara di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, mereka turut mengoperasikan portal Mobil123 untuk konsumer dan aplikasi SiJari untuk diler mobil. September 2019, iCar Asia juga mengumumkan akuisisinya atas Carmudi Indonesia senilai 42 miliar Rupiah.

Baik Carmudi ataupun Mobil123 saat ini tetap beroperasi dengan mereknya sendiri-sendiri. Selain portal listing,  iCar Asia juga memiliki media otomotif OtoSpirit untuk pasar Indonesia, didirikan sejak 2016.

Dalam rilis resminya, Co-founder & Group CEO Carsome Eric Cheng menyebutkan bahwa pihaknya telah bekerja sama dengan iCar Asia sejak Juli 2021. “Kami senang dengan kelancaran penyelesaian akuisisi ini. Kemitraan ini akan memungkinkan kami untuk lebih meningkatkan penawaran di proses pencarian, pertimbangan, pembelian, dan pemenuhan, mencakup seluruh ekosistem otomotif yang berlabuh pada nilai-nilai inti kepercayaan, transparansi, dan teknologi.”

Selain itu diharapkan masuknya iCar Asia dalam sinergi strategis memungkinkan Carsome memberikan solusi dan pengalaman yang lebih beragam di seluruh rantai nilai jual-beli mobil, baik untuk diler maupun konsumer. Apalagi diproyeksikan perputaran bisnis jual-beli mobil bekas kawasan Asia Tenggara setiap tahun menghasilkan nilai lebih dari $55 miliar.

Gerak cepat Carsome

Awal tahun ini, Carsome baru saja mengumumkan penutupan pendanaan seri E senilai $290 juta atau sekitar 4,1 triliun Rupiah; dan berhasil mendongkrak valuasi perusahaan menjadi sekitar $1,7 miliar.

Saat ini mereka berjalan dengan model bisnis C2B2C — tidak hanya membeli dari konsumen dan menjualnya kepada jaringan diler, mereka kini turut menjual mobil bekas secara langsung ke konsumen. Dilengkapi dengan pengalaman O2O melalui experience center yang tersebar di berbagi kota.

Terkait strategi M&A, ini bukan yang pertama dilakukan oleh Carsome. Sebelumnya unit mereka di Indonesia juga telah mengakuisisi mayoritas saham PT Universal Collection, yakni perusahaan jasa lelang mobil dan motor yang telah memiliki kantor cabang di berbagai wilayah, termasuk Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, hingga Sumatera. Aksi ini dikatakan dapat mendukung strategi omnichannel perusahaan, untuk menawarkan layanan online-offline yang terintegrasi.

Untuk platform car marketplace sendiri, sekarang memang tengah mengalami momentum pertumbuhan cepat. Selain Carsome, sejumlah startup lain juga mendapat pendanaan yang cukup signifikan. Termasuk teranyar Moladin selaku penantang lokal, pertengahan Januari lalu mereka umumkan pendanaan seri A yang mendongkrak valuasi perusahaan di angka 3,3 triliun Rupiah. Selain itu di kancah regional juga ada Carro yang juga telah sampai tonggak unicorn.

Sementara untuk platform listing sendiri, Mobil123 dan Carmudi termasuk yang mendapatkan atensi teratas jika dikaitkan dengan capaian trafik – masuk top 10 situs paling dikunjungi. Selain itu mereka juga memiliki sejumlah pesaing, satu di antaranya adalah Oto.com, OLX Indonesia, GridOto, hingga CintaMobil (bagian dari Dai Viet Group, asal Vietnam).

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Menyambut Metaverse: Peluang Inovasi dan Kekhawatiran yang Membuntuti

Secara sederhana, metaverse didefinisikan sebagai sebuah dunia baru yang sepenuhnya virtual. Berbagai hal yang ada dalam dunia nyata akan ada versi virtualnya, termasuk barang-barang fisik seperti bangunan, karya seni, televisi dll; maupun yang bersifat sistem, seperti pembayaran, telekomunikasi, asuransi, dan mungkin regulasi. Representasinya juga mungkin akan lebih bagus dibandingkan konten digital yang sudah kita nikmati sejauh ini, karena mengandalkan teknologi Virtual Reality (VR).

Realisasinya bisa saja lebih cepat dari yang kita bayangkan. Perusahaan teknologi seperti Facebook, Microsoft, dan yang lain telah berinvestasi besar-besaran dengan harapan bisa menjadi penyedia dari platform yang melandasi metaverse tersebut – untuk tidak menyebutnya sebagai penguasa dunia virtual tersebut nantinya. Banyak yang sudah bersiap-siap untuk turut andil dalam dunia baru tersebut, namun tidak sedikit yang belum paham, bahkan belum tahu sama sekali tentang metaverse ini.

Gambaran aktivitas di metaverse

Sama seperti di kehidupan yang kita jalani sekarang, di metaverse semua aset virtual di dalamnya dapat dimiliki seseorang. Jika di dunia nyata orang membeli tanah untuk ditempati sebagai rumah, di metaverse orang juga akan bisa membeli lahan virtual untuk dijadikan tempat singgahnya. Pun demikian lukisan yang dipajang di rumah kita, di metaverse kita bisa membeli lukisan virtual yang dapat kita pajang di aset yang kita miliki.

Infrastruktur proses ekonomi tersebut dilandasi teknologi blockchain, dengan salah satu sistem yang sudah mulai tenar akhir-akhir ini, yakni Non-Fungible Token (NFT). NFT memungkinkan sebuah aset virtual untuk diikat kepemilikannya oleh seseorang – yang sebenarnya konsepnya sama dengan sertifikat tanah. Tanah itu mungkin bisa ditempati siapa saja, tapi pemiliknya adalah orang yang ada di sertifikat tersebut. Pun gambar-gambar virtual yang mungkin bisa disimpan dan digunakan banyak orang. Pemiliknya adalah yang tercatat di sistem kontrak NFT.

Kegiatan lainnya pun bisa saja terjadi, seperti bisnis, hiburan, dan sebagainya. Digadang-gadang metaverse akan menawarkan berjuta kesempatan aktivitas baru [termasuk ekonomi] yang mungkin sebelumnya tidak pernah ada. Contoh sederhananya, ketika ada yang membangun rumah di metaverse, tentu ada yang butuh jasa orang lain untuk mempercantik rumah tersebut – mungkin nanti akan ada desainer interior khusus mendesain rumah virtual di metaverse.

Diyakini banyak orang akan bergabung di metaverse, layaknya orang yang kini berbondong-bondong memasuki “kehidupan di media sosial”. Populasi yang besar, akan menciptakan cara-cara baru dalam berkehidupan. Mirip dengan yang disajikan ekosistem digital sekarang ini, misalnya sistem pendidikan berubah menjadi e-learning, jual-beli menjadi e-commerce, kesehatan jadi e-health, dan sebagainya. Nantinya akan ada versi metaverse untuk kegiatan-kegiatan seperti itu.

Pada intinya, metaverse akan menawarkan cara-cara baru bagi seseorang untuk melakoni kehidupannya. Bukan tidak mungkin hal yang ada di film “Ready Player One” akan kita rasakan, saat orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia virtualnya. Apa yang ada sekarang ini memang masih sebatas konsep belaka, karena memang metaverse tersebut belum benar-benar ada. Meskipun demikian, beberapa infrastruktur penyangganya mulai bisa diakses pengembang dan semua orang.

Siapa cepat, dia dapat

Yang diupayakan para inovator teknologi saat ini adalah berlomba-lomba untuk terlebih dulu menghadirkan “planet baru” tersebut. Dengan harapan tempat itu yang akan dihuni oleh orang-orang, bersama dengan ekosistem aset metaverse yang ada. Tentu, dengan menyediakan platform, perusahaan tersebut menjadi yang paling diuntungkan. Untuk itu tidak heran jika puluhan triliun Rupiah dana digelontorkan untuk melakukan R&D tentang metaverse.

Kita, sebagai konsumen, mungkin juga termotivasi untuk menjadi early adopter NFT. Mereka berinvestasi untuk menyiapkan kehidupan barunya di metaverse, yang diyakini aset-aset tersebut akan lebih bernilai di sana. Mereka belajar dari harga Bitcoin, yang sangat rendah di fase awal kemunculannya sampai bertahun-tahun, namun melambung sangat tinggi di beberapa tahun terakhir seiring dengan fungsinya sebagai alat transaksi yang mulai diakui. Namun apa daya, tidak semua orang telah memiliki pemahaman, akses, kemampuan untuk turut andil di fase awal metaverse ini.

Sayangnya, belum ada satu negara pun yang memiliki regulasi tentang metaverse. Hal ini sebenarnya juga sudah terjadi sejak awal media sosial muncul. Kala itu semua yang ada di sana bebas, tidak ada regulasi secara khusus yang mengatur. Seiring berjalannya waktu, baru ada regulasi yang mengatur, misalnya terkait batasan ketika berpendapat. Yang lebih menyeramkan, dunia baru ini seperti tidak akan memiliki batasan, karena pada dasarnya metaverse memiliki banyak universe.

Kekhawatiran terbesar

Mungkin akan ada yang bilang, “dengan kondisi tersebut, metaverse tidak untuk semua orang”. Pernyataan tersebut mungkin juga relevan pada awal tahun 2010-an, ketika saat itu penetrasi ponsel pintar dan internet belum sebesar sekarang, media sosial dikatakan bukan untuk semua orang. Berbeda dengan saat ini, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, orang tua semua berbaur dalam media sosial untuk saling berinteraksi, berbagi, dan berkomunikasi.

Jika hambatan penetrasi metaverse adalah perangkat VR, tidak menutup kemungkinan akan ada inovasi produk yang memungkinkan perangkat tersebut menjadi sangat terjangkau dan menjadi kebutuhan yang lebih mendesak, seperti ponsel pintar.

Jika metaverse datang lebih cepat, ia akan hadir di tengah proses edukasi literasi digital yang belum tuntas, di tengah literasi finansial yang belum menyeluruh. Bukan tidak mungkin jika gap yang ada saat ini justru menjadi lebih lebar, memberikan peluang kepada orang-orang yang sudah berkecukupan, namun melahirkan tantangan baru bagi mereka-mereka yang seharusnya membutuhkan bantuan. Toh keberhasilan di dalam dunia teknologi selalu didasari dengan kesigapan dalam mengadopsi.

Saya pribadi jadi merasa khawatir. Di sisi lain, belum rampung dengan urusan kehidupan nyata yang sedang dijalani saat ini. Lantas, apakah sudah harus memaksakan diri masuk ke hiruk-pikuk adopsi metaverse, bahkan saat saya sendiri belum memahami manfaatnya. Sebuah kegamangan untuk menyambut masa depan. Memang, investasi selalu punya risiko, pun investasi untuk masuk ke metaverse lebih awal. Perasaan takut tertinggal [dalam artian tidak bisa beradaptasi secara cepat] di dunia baru tersebut kini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi orang-orang yang memikirkan, memikirkan bagaimana cara hidup di metaverse.

Peluang inovasi

Teknologi selalu menghadirkan sebuah disrupsi, dari skala yang sangat kecil sampai ke sesuatu yang mempengaruhi masyarakat luas. Disrupsi sendiri erat kaitannya dengan inovasi, yakni proses melahirkan cara-cara baru yang jauh lebih efisien dari mekanisme yang ada sebelumnya. Tentu kita ingat mengapa produk payment gateway dilahirkan; karena ada kebutuhan akses ke sistem pembayaran yang ringkas untuk memfasilitasi transaksi di sistem e-commerce.

Menawarkan dunia baru, cara-cara baru, metaverse diyakini akan melahirkan peluang baru untuk berinovasi. Para pengembang akan ditantang, bagaimana melahirkan pengalaman berbisnis yang baik di dunia virtual 3D, bagaimana membangun sistem pengajaran dan pendidikan yang nyaman dengan keterbatasan aktivitas fisik, bagaimana sistem perdagangan dikonsep ulang dengan pengalaman pelanggan yang baru, dan lain-lain. Istilah “startup digital” yang trendi saat ini bisa jadi menjadi “startup metaverse” di kemudian hari.

Epilog

Sebagai orang yang mengikuti perkembangan teknologi, saya pribadi selalu tertarik untuk melihat kejutan-kejutan inovasi berikutnya. Setiap tahun saya menyimak konferensi yang diadakan raksasa teknologi, seperti Google, Apple, atau Microsoft; mengagumi produk-produk teknologi yang akan makan digandrungi masyarakat. Karena saya sendiri merasakan betul manfaat dari alat-alat teknologi tersebut.

Entah mengapa metaverse ini memberikan kesan yang beda. Sebuah perasaan yang menyiratkan ketidaksiapan menyambut era baru teknologi tersebut. Bisa jadi saya yang terlalu berburuk sangka dengan kompleksitas yang ditimbulkan oleh dunia virtual tersebut; atau saya yang terlalu mencari-cari tahu sesuatu yang sebenarnya belum memiliki bentuk pasti lalu “overthinking”. Namun layaknya inovasi teknologi yang bisa mengubah kehidupan banyak orang menjadi lebih baik, saya punya pengharapan besar metaverse tidak membuat kekhawatiran –mungkin dirasakan banyak orang juga di luar sana—tersebut terjadi.

Entering QRIS’ Second Year: Various Challenges on Adoption to Startups and F&B

On the previous edition, DailySocial published a series of articles based on a mini survey highlighting QRIS based on the general consumer’s point of view and the transaction experience through digital financial apps. We have published both topics through two different articles, the first and second part.

Related to the previous series, DailySocial, throuh this writing, intend to validate a number of respondents’ assumptions regarding merchants as one of the barriers to QRIS adoption in Indonesia. In addition, the mini survey only represented a small part of the facts and challenges. This writing is part of our efforts to bridge issues in the field to stakeholders.

The mini survey was validated through several interviews with F&B startups in Indonesia, including Kopi Kenangan, Hangry, and Livera, on their perspectives of QRIS adoption in its outlets.

Customer and Merchant Presented Mode

A little reminder, two years after launching, the transaction value of Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) has reached Rp 9 trillion in the first semester of 2021 or grew 214% yearly (YoY). Bank Indonesia (BI) also recorded 8.2 million Indonesian merchants have adopted QRIS. The number has increased by about 3 million since the end of 2020.

Through this achievement, BI seeks to continue increasing the adoption of QRIS to all levels of Indonesian communities. In particular, considering the unprecedented situation due to Covid-19 pandemic, cashless transactions will always be on demand.

One of BI’s efforts is to release the Customer Presented Mode feature to facilitate the use of QRIS in the near future. The Customer Presented Mode allows merchant’s cashiers to scan a mobile user’s QRIS. Merchants will be provided with a scanner from the payment provider.

On the other hand, the Merchant Presented Mode we use enables transactions by scanning QRIS at the merchant and completing transactions through certain payment apps. Before QRIS, users have to submit the phone number on each EDC belonging to the payment service provider.

“In the near future, we will launch the Customer Presented Mode feature following the existing Merchant Presented Mode. We are also piloting QRIS transactions for cross borders, both inbound and outbound,” Bank Indonesia’s Assistant Governor and Head of the Payment System Policy Department, Filianingsih Hendarta said.

Validating QRIS adoption issues on merchant

Based on the QRIS mini survey results, we summarize some of the main reasons respondents are yet to use the QRIS method. First, they think that merchants only use QRIS as a ‘display’ or not properly utilized. Next, QRIS is already available, but not yet activated by merchants.

In addition, the clerk or cashier does not understand how to proceed transactions using QRIS. Also, there are too many QR Code displayed as each payment service provider has its own QRIS. Then, the availability of QRIS at merchants is still limited.

We have tried to validate the above issues by gathering a wider perspective from various F&B startups. However, only Kopi Kenangan, Hangry, and Livera are willing to reveal their perspectives of QRIS implementation. The challenges they experienced were quite different considering that Kopi Kenangan relies on physical outlets, while Hangry and Livera rely on cloud kitchens.

Illustration of using QRIS on a digital wallet payment platform / QRIS.id

In a statement to DailySocial, Kopi Kenangan Management said as many as 500 of its physical outlets have accepted the QRIS-based payment method. According to the records, the Kopi Kenangan transaction volume using QRIS payment method has increased 98% from May 2020 to August 2021. This growth is in line with the increase in public awareness of the QRIS payment method.

His team denied the assumption about cashiers who did not understand the QRIS terms. It is because Kopi Kenangan always provides education to staff regarding the procedures. Usually, the staff at the booth will ask the customer’s preferred payment method and its promotion.

“To date, the internet connection stability becomes the main challenge. It hinders the QRIS transaction process. Sometimes the barcode does not appear, or unavailable to be scanned,” Kopi Kenangan Management said.

Meanwhile, Hangry’s COO, Andreas Resha admitted that there is no crucial obstacle when his merchant staff processed QRIS transactions. The reason is, most of Hangry’s transaction orders use the delivery rather than take away method.

“We don’t have exact numbers, but we have seen a decline number since the pandemic, especially with many people doing activities at home. Therefore, the non QRIS based delivery methods are more widely used than the takeaway methods,” he said.

Currently, Hangry has implemented the QRIS payment method in 49 outlets across the Greater Jakarta and Bandung areas. Andreas admitted that his team is currently preparing a dine-in restaurant concept which will be opened in the near future and will include the QRIS payment method as well.

From a different perspective, Livera’s Founder and CEO, Marcello Judhandoyo considered that the QRIS adoption seems to be underutilized for F&B business people with cloud kitchen concept. It is because the money for food/beverage purchases via the ride-hailing platform will go directly to the merchant.

In a general note, cloud kitchen is a term used for restaurants that do not provide dine-in services, providing delivery and takeaway only.

“When it comes to the QRIS adoption in the F&B business with cloud kitchen concept, it’s actually not optimal. However, in the case of manual ordering via WhatsApp, it is actually possible. Livera offers payment via QRIS by sending a barcode to consumers. Unfortunately, in this case, most Livera consumers prefer transfer method. In fact, QRIS offer easier method as consumers don’t have to worry about the various bank accounts, let alone having to register one by one in the mobile banking application,” he explained.

Livera just started the business in 2020 and its operations are currently cloud kitchen only. Meanwhile, new product orders are available via delivery on the Gojek, Grab, and Tokopedia platforms as well as manual order via WhatsApp.

Expanding access of QRIS technology

No one thought the world would experience the Covid-19 pandemic where mobility would be very limited. In fact, the Government had just launched QRIS a few months before the first PSBB. This momentum can actually encourage the QRIS adoption, even more significantly than its current achievement.

At the same time, the cloud kitchen trend is developing among F&B businesses to deal with stifling costs and business uncertainty in the midst of a pandemic. People prefer to transact faster and easier without having to meet face to face and do physical interaction.

Layanan yang diharapkan mengadopsi QRIS / Sumber: Mini Survey QRIS 2021
Services that are expected to adopt QRIS / Source: QRIS Mini Survey 2021

The government’s act to introduce the Customer Presented Mode can also help accelerate the QRIS adoption. However, it is far more important to expand its implementation, therefore, it does not rely only on modern retail merchants. As many as 87.3% of our respondents expect QRIS to be used at street vendors, markets (81%), government services (76.2%), and public transportation (68.3%). This is actually the most anticipated thing to accelerate a more massive QRIS adoption.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Algobash Menjadi Pemenang ActCelerate 2021

Melalui pelaksanaan Demo Day pada 29 Oktober 2021, program akselerator yang diinisiasi oleh MCash, SiCepat, berkolaborasi dengan DailySocial.id, ActCelerate 2021 secara resmi mengumumkan ketiga pemenang. Produk yang menangani tes pengkodean SaaS dan perekaman platform wawancara, yakni Algobash Indonesia dinobatkan sebagai juara pertama.

Dalam proses penentuan ketiga pemenang hari ini berjalan sangat ketat, dibantu oleh para juri dari berbagai bidang startup, yaitu Izak Jenie selaku Komisaris Utama MCash, Wiwin Herawati selaku CMO SiCepat, Anis Yunianto selaku Direktur MCash, Alvin Cahyadi yang merupakan VP Investment AC Ventures, dan CEO DailySocial.id, Rama Mamuaya. Hingga sampailah pada tiga nama startup terpilih yaitu, Algobash, CityPlan, dan Bumblebook, sebagai ketiga juaranya.

Mengenai Algobash, perusahaan rintisan ini bergerak di bidang teknologi yang menangani tes pengkodean SaaS dan platform wawancara yang direkam sebelumnya. Misi dari Algobash sendiri adalah untuk menyamakan peluang dan menstandarkan talenta teknologi melalui pengalaman penilaian kode langsung dan bootcamp pemrograman yang dapat diskalakan.

Selain Algobash keluar sebagai pemenang, posisi kedua diraih oleh Cityplan. Startup ini membuka dan memberikan layanan dengan memanfaatkan data spasial dan analitik untuk membantu perusahaan berkembang dengan menggabungkan data spasial dan analitik untuk menyelesaikan area layanan cabang, optimalisasi rute armada, dan efisiensi biaya-investas.

Posisi ketiga diduduki oleh Bumblebook dengan memberikan layanan penyedia pembelajaran pengalaman pribadi 360 derajat untuk orang tua dan anak-anak dalam 2.000 hari emas pertama. Berfokus pada perkembangan anak, Bumblebook menawarkan produk yang dapat membantu perkembangan anak berusia 0-6 tahun.

Program ActCelerate berjalan dengan lancar dan mendapatkan antusias yang sangat tinggi dari para startup enthusiast. Hal ini dibuktikan dengan lebih dari 170 peserta telah mendaftarkan diri untuk mengikuti kegiatan ini. Tujuh puluh di antaranya terpilih mengikuti coaching serta mentoring session bersama para mentor yang ahli di bidang startup. Setelah mengikuti agenda yang komprehensif, akhirnya terpilih 13 peserta yang mengikuti Demo Day. Para pemenang ActCelerate 2021 akan mendapatkan insentif yang menarik dalam bentuk hadiah dengan nilai total sebesar 100 juta Rupiah.

Melalui program akselerator ini, diharapkan para pelaku startup bisa terus mengembangkan bisnisnya dan memiliki wadah yang cocok agar bisa lebih menguasai pasar, sekaligus melakukan inovasi pada produk, serta bisa memperluas networking bisnis dan dapat bekerja sama dengan MCash dan SiCepat.

Dalam tanggapannya, Martin Suharlie, selaku CEO MCash mengatakan, dirinya tertarik untuk bersinergi dan berkolaborasi lebih lanjut dengan seluruh startup yang terlibat, tidak hanya terhadap pemenang dan para finalis, namun juga seluruh peserta yang mendaftar.

“Selamat kepada 13 peserta, dan kami juga tentunya ingin dan akan mengundang serta berinteraksi dengan 13 peserta ini dan teman-teman di luar 13 ini. Kami sangat ingin membangun kolaborasi lebih lanjut,” ujar Martin.

Konsep Beli Sekarang Bayar Nanti di Indonesia Semakin Marak, Risiko Masih Tinggi

Dalam era gaya hidup digital-first, berbelanja tidak pernah semudah ini, berkat e-commerce dan fintech. Ketika melihat barang yang diinginkan di media sosial atau di pasar, Anda dapat membelinya dan langsung mengirimkannya dengan beberapa ketukan di ponsel pintar. Lalu, jika kekurangan uang tunai, Anda bahkan dapat membayarnya nanti dengan menggunakan metode BNPL.

BNPL adalah singkatan dari buy now pay later atau dalam bahasa Indonesia “beli sekarang, bayar nanti.” Hal ini memungkinkan pelanggan berkomitmen untuk pembelian dan melakukan pembayaran sebagian dari waktu ke waktu sampai saldo diselesaikan. Konsep BNPL bukanlah hal baru, karena mirip dengan produk pembiayaan angsuran yang sudah ada. Namun, penawaran BNPL berbasis aplikasi mendapatkan momentum di kalangan pembeli milenial dan Gen Z di Asia Tenggara di balik ledakan e-commerce, berkat kemudahan dan kepraktisannya.

Kesenjangan pinjaman di Indonesia masih signifikan, sementara penetrasi kartu kredit masih rendah di angka 5%. Ini menjadi peluang bagi BNPL untuk mengisi celah ini dan memberikan pinjaman pribadi untuk pelanggan yang kurang terlayani.

“Dengan meningkatnya adopsi smartphone di seluruh wilayah, layanan berbasis aplikasi seperti BNPL membuat akses ke layanan keuangan menjadi sangat mudah. Banyak orang Indonesia yang tersisih secara finansial, jadi BNPL menawarkan cara bagi mereka untuk mengakses kredit,” Zennon Kapron, direktur perusahaan riset dan konsultan fintech Kapronasia, mengatakan kepada KrASIA.

Saat ini, hampir semua platform e-commerce di Indonesia mengadopsi metode checkout BNPL dengan bermitra dengan berbagai penyedia fintech. Kredivo yang berkantor pusat di Jakarta telah menjadi salah satu pionir di segmen fintech BNPL sejak 2016, sementara pemain BNPL besar lainnya di tanah air termasuk Akulaku, Home Credit, Traveloka PayLater, dan Shopee PayLater.

Meningkatkan transaksi e-commerce

BNPL membawa banyak manfaat bagi merchant. Hal ini membantu vendor meningkatkan tingkat konversi dan nilai transaksi add-to-cart, serta menjangkau calon pelanggan baru. Pada tahun 2020, 55% pengguna e-commerce baru di Indonesia memilih untuk menggunakan opsi BNPL saat melakukan pembelian di platform e-commerce, menurut survei yang dilakukan oleh Kredivo dan Katadata Insights Center. Survei tersebut didasarkan pada 10 juta transaksi di enam platform e-commerce yang dilakukan antara Januari dan Desember 2020.

“Penyedia BNPL mengendarai gelombang e-commerce, yang merupakan perkembangan alami karena kredit akan meningkatkan daya beli konsumen pada platform e-commerce,” ujar Kenneth Li, mitra di MDI Ventures, pendukung beberapa perusahaan fintech, termasuk Kredivo. Dengan bermitra dengan platform e-commerce, penyedia BNPL dapat melacak kebiasaan belanja pengguna, yang selanjutnya akan menambah wawasan ke mesin penilaian kredit mereka untuk mengevaluasi potensi risiko saat meminjamkan uang atau memberikan kredit, tambahnya.

Platform online dan operator fintech telah melaporkan pertumbuhan yang stabil dalam transaksi BNPL selama setahun terakhir. Traveloka—perusahaan non-fintech pertama yang menawarkan layanan ini di Indonesia sejak 2018—mendapatkan peningkatan pengguna PayLater sebesar 750% sejak program diluncurkan.

Pada saat yang sama, di Tokopedia, transaksi BNPL meningkat dua kali lipat pada tahun 2020. Platform e-commerce ini bermitra dengan pemain seperti GoPay, Ovo, Kredivo, dan Indodana untuk program BNPL-nya. Blibli, yang juga bekerja sama dengan Indodana untuk layanan BNPL-nya, melaporkan pertumbuhan bulanan 63% antara Mei dan Oktober tahun lalu. KrASIA tidak dapat menemukan data tentang transaksi BNPL di platform e-commerce lain seperti Shopee, Bukalapak, dan Lazada.

Adapun Kredivo, total basis penggunanya telah berlipat ganda dalam sepuluh bulan terakhir, dan pendapatan tahunannya juga berlipat ganda selama tujuh bulan sebelumnya, VP pemasaran dan komunikasi perusahaan, Indina Andamari, mengatakan kepada KrASIA. Kredivo saat ini bermitra dengan sepuluh platform e-commerce dan memiliki hampir 4 juta pelanggan. “Kami menawarkan batas saldo hingga Rp 30 juta (USD 2.105), yang merupakan tertinggi di antara pemain BNPL di negara ini,” kata Indina.

Sisi lain paylater: Meningkatkan konsumerisme dan potensi terjebak hutang

Ide untuk membeli suatu produk tanpa langsung mengeluarkan uang sangat menggiurkan bagi banyak orang. Konsumen mungkin mendapatkan rasa aman yang salah, yang dapat menyebabkan belanja impulsif, dan mereka mungkin menghabiskan uang yang tidak mereka miliki.

Penelusuran cepat di Media Konsumen, situs yang membantu konsumen menyuarakan pendapatnya, menunjukkan banyak keluhan terkait penawaran BNPL. Beberapa pelanggan menulis surat terbuka di situs web yang meminta pengurangan tingkat bunga atau biaya keterlambatan, karena mereka tidak dapat melunasi hutang mereka. Beberapa pengguna bahkan menggambarkan praktik penagihan utang yang tidak etis oleh penyedia BNPL, sementara yang lain melaporkan transaksi misterius dan tidak sah pada rekening pembayaran mereka nanti.

Termasuk juga kurangnya pendidikan seputar BNPL, yang dapat menyebabkan konsumsi berlebihan. Mengajukan akun BNPL itu mudah—pada sebagian besar platform, hanya membutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk diverifikasi, dan kemudian akun pengguna diaktifkan. BNPL tidak memerlukan laporan gaji atau pendapatan, sehingga lebih sederhana daripada aplikasi kartu kredit. Namun, BNPL dapat memberi konsumen akses ke kredit yang tidak mampu mereka bayar, yang dapat menyebabkan jebakan utang yang semakin sulit untuk dilepaskan dengan setiap keterlambatan pembayaran.

“Secara global, regulasi seputar BNPL sangat sedikit, hal ini memastikan adanya risiko dalam model yang ada. Masih harus dilihat apa dampaknya bagi konsumen yang mungkin atau mungkin tidak terbiasa dengan model jenis ini dan mungkin terjebak oleh biaya tersembunyi atau sulit dipahami,” kata Zennon.

Sumber pendapatan terbesar bagi penyedia BNPL adalah biaya transaksi yang diperoleh dari pengecer atau pasar digital. Biaya ini cenderung lebih tinggi daripada transaksi kartu kredit atau debit biasa, dengan biaya pemrosesan mulai dari 2% hingga 8% per transaksi, dibandingkan dengan 1,3% hingga 3,5% pada mobil kredit biasa. Pemotongan yang lebih besar sering kali datang dengan janji nilai transaksi yang lebih tinggi untuk pedagang.

Namun, perusahaan juga memperoleh pendapatan tambahan dari penalti yang diterapkan pada pembayaran yang terlambat, sesuatu yang mungkin tidak disadari oleh pelanggan. Opsi bayar kemudian dari Shopee dan Traveloka membebankan biaya keterlambatan sebesar 5% per bulan dari total tagihan. Sementara itu, Kredivo mengenakan tarif 6%.

“Mirip dengan perusahaan kartu kredit, kami membebankan bunga kepada pelanggan kami, tetapi tarif kami termasuk yang terendah di negara ini. Kami menawarkan paket 0% untuk pembayaran nanti dalam 30 hari atau tiga bulan cicilan. Biaya merchant kami juga rendah,” kata Indina dari Kredivo, tanpa mengungkapkan jumlah pastinya. Dia menambahkan, rasio kredit bermasalah pada platform saat ini rendah, sekitar 2,5% hingga 3%.

Terlepas dari beberapa risiko yang disebutkan, Kenneth dari MDI Ventures berpendapat bahwa manfaat BNPL lebih besar daripada ancamannya, karena layanan ini memungkinkan pelanggan yang tidak memiliki rekening bank dan yang tidak memiliki rekening bank untuk mengakses kredit. Ini dapat membantu pelanggan menjaga arus kas mereka tetap terkendali dan pada akhirnya meningkatkan mata pencaharian mereka.

“Penyedia jasa BNPL tentunya harus bertanggung jawab dalam memberikan limit saldo kepada pelanggan. Mereka dapat melakukannya dengan melatih mesin penilaian kredit dengan benar agar tidak membebani individu dengan pengeluaran yang berlebihan,” pungkas Kenneth.

Perbandingan antar penyedia layanan di Indonesia

 

Data selengkapnya dapat dilihat melalui tautan terkait

Pertumbuhan berkelanjutan

Sepertinya BNPL ada untuk tinggal. Pembayaran “Beli sekarang, bayar nanti” di negara ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 72,8% per tahun mencapai USD 1,537 miliar pada tahun 2021, menurut sebuah laporan oleh PayNXT360, platform intelijen bisnis yang berfokus pada pembayaran. Nilai barang dagangan bruto BNPL di dalam negeri diproyeksikan meningkat dari USD 889,7 juta pada tahun 2020 menjadi USD 9,2 miliar pada tahun 2028.

Penyedia BNPL juga bekerja sama dengan bank untuk memberikan pinjaman kepada lebih banyak pelanggan. Pada bulan September, Traveloka bermitra dengan Bank Negara Indonesia untuk meluncurkan “nomor kartu bayar nanti virtual”, yang pertama di Asia Tenggara. Pelanggan dapat menggunakan nomor kartu virtual untuk berbelanja di berbagai platform e-commerce seperti Shopee, Lazada, JD.id, Bukalapak, dan Tokopedia. Perusahaan juga bermitra dengan pemberi pinjaman milik negara BRI dan Bank Mandiri untuk Traveloka PayLater Card dan Traveloka Mandiri Card, dua penawaran yang memungkinkan pengguna bertransaksi dengan pedagang offline dan online yang didukung oleh jaringan Visa.

Bank-bank besar di seluruh negeri juga mengejar pangsa pasar yang lebih besar dan telah mulai mengembangkan produk bayar nanti mereka sendiri untuk menjangkau pelanggan baru, terutama mereka yang tidak memiliki kartu kredit. Namun, Kenneth berharap untuk melihat lebih banyak kolaborasi antara fintech dan bank tradisional serta lembaga keuangan lainnya dalam waktu dekat. “Pasar BNPL masih dalam tahap awal di Indonesia. Karena adopsi pembayaran digital terus tumbuh, BNPL juga akan berkembang,” katanya.

Saat pasar matang, pihak berwenang kemungkinan akan memberlakukan pedoman yang lebih ketat untuk segmen ini. Misalnya, Otoritas Moneter Singapura saat ini sedang mengkaji pendekatan regulasi yang tepat untuk BNPL di tengah kekhawatiran atas utang konsumen. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menetapkan aturan yang harus dipatuhi oleh para pelaku fintech BNPL untuk beroperasi. Belum diketahui apakah organ tersebut akan merevisi kerangka tersebut dalam waktu dekat.

“Kami mengharapkan regulator untuk lebih memperhatikan segmen di masa depan, yang kemungkinan akan membatasi keuntungan bagi penyedia BNPL dalam jangka panjang,” kata Kapron.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Bank Digital Masih Sekadar “Nice to Have”

Nama saya Randi (29). Saat ini saya bekerja sebagai pegawai swasta dan tinggal di salah satu kota tier-3 di Jawa Tengah – bekerja penuh waktu secara remote. Kendati di kabupaten kecil, akses ke fasilitas umum seperti bank dan ritel modern cukup mudah. Di rumah, saya tinggal bertiga bersama istri [ibu rumah tangga] dan seorang anak batita. Menggunakan kategori Sosial Ekonomi Status (SES) yang umum digunakan dalam survei, abjad yang mencerminkan kondisi saya saat ini “A” di level kelas menengah.

Jika melihat aplikasi catatan keuangan yang saya kelola bersama istri, rata-rata pengeluaran bulanan kami di kisaran Rp4 juta s/d Rp6 juta [meningkat sekitar 40% setelah punya anak]. Beberapa pengeluaran rutin yang sudah dianggarkan seperti pembayaran tagihan, belanja kebutuhan harian, belanja kebutuhan anak, kesehatan termasuk imunisasi anak, dan hiburan. Di luar itu tentu ada beberapa kebutuhan mendadak atau mendesak yang hampir dikeluarkan setiap bulan dengan nominal tak tentu.

Dalam mengelola arus keuangan, kami memiliki beberapa rekening bank untuk tujuan spesifik. Bank Permata untuk payroll gaji dari kantor, Bank Mandiri digunakan sebagai tabungan, dan Bank BRI untuk membayar berbagai tagihan rutin. Pemilihan bank-bank tersebut juga punya alasan mendasar. Yang pertama, tentu kewajiban dari kantor; padahal cabang Bank Permata terdekat ada di kota sebelah yang jaraknya sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil. Rekening Mandiri yang digunakan untuk tabungan sebenarnya bekas rekening payroll istri saat dulu bekerja.

Sementara rekening Bank BRI saya pilih karena kantor cabang terdekat ada di seberang rumah saya, lengkap dengan mesin ATM. Sehingga cukup memudahkan jika harus mengambil uang tunai. Itu penting, karena di sini untuk benar-benar menjadi cashless society masih sangat susah. Saya ingat betul, beberapa minggu lalu di tukang batagor dekat rumah sudah memasang stiker LinkAja; namun ketika saya bertanya dan berniat untuk membayar secara nontunai, pedagangnya menolak. Bahkan ketika belanja di toserba di kota, mesin EDC-nya kadang-kadang tidak bisa dipakai, membuat saya harus terlebih dulu ambil uang tunai di ATM terdekat.

Selain bank, saya juga menggunakan beberapa layanan e-money. Untuk saat ini, yang selalu terisi saldo adalah OVO, LinkAja, dan ShopeePay. Sebagian besar digunakan untuk transaksi di e-commerce dan aplikasi ride-hailing. Saya menggunakan aplikasi pencatatan keuangan premium di ponsel.

Berkenalan dengan bank digital

Tahun ini kabar mengenai bank digital cukup nyaring terdengar di telinga. Kendati saya tahu, di tahun-tahun sebelumnya layanan seperti Jenius atau Digibank sudah bisa digunakan, tapi waktu itu belum tergelitik untuk mencoba, meskipun beberapa kali disodorkan langsung oleh salesman di bandara dan pusat perbelanjaan.

Di beberapa bulan belakangan, saya justru tertarik mengeksplorasi tentang aplikasi-aplikasi bank digital yang terus bermunculan.

Bagi saya, definisi bank digital cukup sederhana. Sepenuhnya digital dan tidak harus ribet dengan urusan di kantor cabang, khususnya dalam hal membuka akun dan proses administrasi yang mengikuti.

Dalam tiga bulan terakhir, setidaknya 9 aplikasi bank digital sudah saya pasang dan coba di ponsel, mulai dari TMRW ID, Jago, Motion Banking, LINE Bank, Jenius, SeaBank, neo+, Digibank, dan blu.

Tangkapan layar daftar aplikasi bank digital yang dipasang di ponsel

Selain Digibank dan neo+, proses registrasi berhasil dilakukan secara mudah. Bahkan saya sudah mendapatkan kartu debit untuk kelima bank, selain blu dan SeaBank yang tidak menawarkan fasilitas kartu fisik.

Untuk Digibank, harusnya proses verifikasi sudah bisa dilakukan melalui layanan biometrik di ponsel, namun ntah perangkat saya yang tidak mendukung atau faktor lain, yang mengharuskan saya melakukan verifikasi manual lewat agen. Terdekat di Yogyakarta, di pusat perbelanjaan atau kantor cabang di sana – selain harus menempuh jarak perjalanan 1,5 jam, saya urung karena masih PPKM.

Untuk neo+, antreannya masih panjang. Saat saya mendaftar di tanggal 16 Juni 2021, mendapatkan nomor 83.971. Selang beberapa minggu, saya sempat mendapatkan telepon dari bank untuk membuat janji melakukan verifikasi via telepon di hari esoknya. Sayang sekali saat telepon masuk, saya sedang di kamar mandi. Dan harus menunggu antrean baru lagi – sampai saat ini tak kunjung mendapatkan telepon lagi untuk verifikasi.

Pengalaman mencoba bank digital

Proses pendaftaran di semua aplikasi relatif sama. Dimulai dari pengisian data diri pada formulir yang disediakan, melakukan swafoto dengan identitas, dan mengunggah dokumen pendukung lainnya [NPWP]. Selanjutnya, proses verifikasi dilakukan secara video call melalui aplikasi. Di beberapa bank, pengguna harus menunggu antrean yang cukup panjang untuk melakukan verifikasi. Bahkan dari pengalaman saya, sempat ada yang harus mengulang 2-3x dengan agen berbeda, karena dari sisi mereka KTP tidak terlihat saat proses verifikasi.

Selain itu dalam proses pendaftaran, pengguna akan disuguhkan opsi rencana penggunaan akun tersebut: untuk menabung, investasi, kredit, atau lainnya. Dalam percobaan ini, saya memilih opsi investasi di semua aplikasi.

Kartu debit yang didapat dari pendaftaran akun aplikasi bank digital

Ketika akun bank sudah didapat, selanjutnya beberapa bank juga menyediakan opsi untuk mencetak kartu debit. Untuk layanan Jenius, saya harus mengisi saldo dulu minimal Rp500 ribu agar bisa mencetak Debit VISA – kendati setelah selesai melakukan permintaan, uang tersebut dapat digunakan atau dihabiskan (tidak harus mengendap). Sementara lainnya tidak membutuhkan pengisian saldo terlebih dulu.

Mengenai varian kartu, untuk bank Jago, LINE Bank, dan Jenius saya mendapatkan kartu debit berlabel VISA, sementara di TMRW dan Motion Bank mendapatkan kartu debit berlogo GPN. Dihitung dari sesaat setelah selesai berhasil terverifikasi, proses pengiriman kartu debit ke rumah relatif cepat – paling lama LINE Bank dengan dalih antrean cetak kartu yang padat.

Aplikasi Proses Pendaftaran Proses Verifikasi Pengiriman Kartu
Blu Mudah Relatif Cepat Tidak menyediakan kartu
Jago Mudah Relatif Cepat 1-2 minggu
Jenius Mudah Antrean Sedang (perlu penjadwalan) 1-2 minggu (setelah mengisi saldo)
LINE Bank Mudah Antrean Sedang Lebih dari 4 minggu
Motion Banking Mudah Relatif Cepat 1-2 minggu
TMRW ID Mudah Relatif Cepat 1-2 minggu
SeaBank Mudah Relatif Cepat Tidak menyediakan kartu
Digibank Mudah Antrean Panjang (perlu penjadwalan atau verifikasi manual) Pendaftaran tidak berhasil
Neo+ Mudah Antrean Panjang (perlu penjadwalan) Pendaftaran tidak berhasil

Dari sini saya menyimpulkan, bank digital benar-benar memberikan pengalaman baru untuk memiliki sebuah akun bank–dibandingkan proses yang sebelumnya saya lalui ketika membuat akun di bank konvensional.

Berkaitan dengan user internace dan user experience yang ditawarkan, bagi saya sudah sangat memudahkan. Khas aplikasi masa kini. Saya cenderung langsung bisa beradaptasi dengan fitur-fitur yang ada tanpa harus meraba-raba atau mencari tahu terpisah melalui mesin pencari. Namun terkait performa, beberapa aplikasi masih perlu disempurnakan. Beberapa kali saya mengalami forced close dan sulit untuk masuk ke dasbor. Misalnya yang terjadi bersama Bank Jago pagi ini (30/9).

Fitur menarik, tapi belum jadi urgensi

Secara umum, setiap aplikasi memiliki layanan mendasar seperti tabungan, fitur top-up ke e-money, dan transfer. Dari percobaan menggunakan masing-masing aplikasi, saya menemukan fitur yang menarik, sebagai berikut:

Aplikasi Fitur Menarik
Blu (versi 1.8.0)
    • bluGether: merencanakan keuangan bersama pengguna lain (bunga 3% per tahun)
    • bluDeposit: membuka layanan deposito berjangka min. Rp1 juta (bunga 4% per tahun)
    • Tarik tunai dari aplikasi melalui ATM BCA terdekat
Jago (versi 5.7.0)
    • Kantong: memisahkan tabungan sesuai penggunaan atau tujuan finansial yang ingin dicapai
    • Kirim & Bayar: mengirimkan permintaan pembayaran atau split-bill
    • Terkoneksi ke Gojek dan Bibit
Jenius (versi 3.1.0)
    • Save It: fitur tabungan dengan berbagai spesifikasi untuk tujuan finansial tertentu
    • Moneytory: untuk layanan pelaporan dan analisis finansial
    • Tagih Uang: mengirimkan permintaan pembayaran atau split-bill
LINE Bank (versi 1.1.5)
    • Time Deposit: layanan deposito jangka pendek min. Rp1 juta
Motion Banking (versi 2.1.3)
    • Pengelolaan layanan Deposito, KTA, KPR melalui aplikasi
TMRW IDE (versi 4.1)
    • City of TMRW: fitur gamimfikasi untuk menabung, dengan visualisasi dan konsep unik
SeaBank (versi 2.7.0)
    • Tabungan dengan bunga yang relatif tinggi, di kisaran 7% per tahun

Dengan memilih preferensi “investasi” saat mendaftar, sebagian layanan menyuguhkan fitur deposito. Secara personal saya kurang tertarik untuk menggunakan instrumen ini dalam berinvestasi – baik untuk jangka pendek atau panjang. Kondisi finansial saya saat ini memaksa untuk lebih konservatif dalam berinvestasi. Kendati demikian, saran dari rekan-rekan untuk mencoba instrumen saham dan reksa dana juga mulai dipikirkan untuk menjadi opsi.

Fitur ini sebenarnya sudah mulai ada di Bank Jago melalui integrasinya dengan Bibit dan akan segera ada di Jenius. Tapi rasanya kurang komprehensif jika dibanding dengan membuka aplikasi investasi langsung. Sehingga untuk kebutuhan ini, saya masih nyaman dengan aplikasi terpisah.

Untuk fitur seperti bluGether, kantong Jago, atau Save it di Jenius, sebenarnya menarik bagi saya yang melakukan pengelolaan keuangan berdua bersama pasangan. Namun sejauh ini satu akun dengan akses bersama masih mencukupi, alih-alih harus mendaftar akun baru lagi satu per satu. Upaya memindahkan saldo ke layanan bank digital tersebut yang ada juga masih dipandang “banyak effort” dibanding benefit yang didapat, sehingga urung melakukan untuk saat ini.

Ketika berdiskusi dengan istri untuk migrasi, ia pun juga memberikan konsiderasi untuk bertahan dulu dengan aplikasi yang saat ini digunakan. Ada dua alasan, sumber pendapatannya hanya dari saya saja dan dia enggan untuk membuat akun bank baru – walaupun sepenuhnya digital dan nantinya mendapat akses ke tabungan yang dikelola bersama.

Tampilan fitur City of TMRW

Fitur unik yang cukup menggugah justru City of TMRW. Kita didorong untuk menabung secara rutin setiap hari, mulai dari nominal Rp20 ribu. Setiap kali kita menambah saldo, maka level kota virtual yang ditampilkan akan menjadi lebih baik. Animasi dari gamifikasi yang diberikan juga sangat menarik. Saya berpikir, nantinya yang seperti ini akan seru digunakan untuk anak saya, sembari mengajarkan mereka tentang menabung rutin.

Setelah mengeksplorasi dan mencoba beberapa fitur tersebut, saya pun berkesimpulan bahwa saat ini urgensinya masih di tingkat “nice to have” saja, belum mendesak dan terdorong untuk menggantikan layanan sebelumnya. Terlebih, aplikasi mobile banking yang saat ini saya gunakan sehari-hari juga terus dikembangkan dan sangat memudahkan. Misalnya lewat aplikasi PermataMobileX, saya bisa tarik tunai melalui Indomaret terdekat – jadi cukup menolong di tengah ketiadaan cabang bank di kabupaten saya.

Yang diharapkan dari sebuah layanan finansial

Pengelolaan finansial yang saya dan keluarga kecil saya gunakan masih membutuhkan beberapa aplikasi: mobile banking, pencatatan keuangan, e-money, dan investasi. Sehingga prosesnya masih terpisah-pisah.

Pain points yang ditemui kadang nominal di catatan tidak sama dengan yang ada di aplikasi lain; dan harus melakukan top-up terpisah ketika ingin menggunakan e-money misalnya untuk belanja. Setiap bulan juga saya harus melakukan transfer terpisah-pisah di rekening yang digunakan untuk menabung dan transaksi.

Kondisi tinggal di kota tier-3 juga masih memaksa saya untuk tetap memiliki kartu debit untuk kebutuhan tarik tunai yang bisa digunakan di beragam mesin EDC dan ATM Bersama. Fitur blu mungkin menarik karena bisa tarik tunai lewat aplikasi, sayangnya sebaran ATM BCA di sekitar saya masih sangat terbatas — paling dekat harus melakukan perjalanan 12 km.

Sebenarnya kalau melihat visi layanan bank digital yang ada, mereka berusaha mengakomodasi pain points yang saya rasakan tersebut, menyesuaikan dengan gaya hidup masyarakat muda masa kini, misalnya fitur kantong untuk memisahkan anggaran atau integrasi ke layanan konsumer agar tidak perlu lagi top-up ke e-money. Mungkin karena masih di tahap awal, pengalaman pengguna yang disajikan masih kurang bisa memaksa saya beralih haluan, berpindah dari bank konvensional.

Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan, saat integrasinya sudah semakin luas dan performanya semakin andal, level “nice to have” tadi akan berubah menjadi “mandatory”.

Saya membayangkan, untuk adik-adik saya yang masih kuliah dan mulai bekerja (first jobber), opsi bank digital ini bisa menjadi menarik – terlebih saat sebelumnya mereka belum memiliki rekening pribadi. Jika dikonfigurasi untuk pengelolaan finansial dari awal, bank-bank tersebut menawarkan kapabilitas yang menarik dengan desain kekinian, sehingga saya tidak segan untuk menyarankan salah satu aplikasi yang sudah saya coba tersebut ke kolega nantinya.

Strategi Lifepal Difokuskan pada Pemenuhan Kebutuhan Konsumen

Pandemi Covid-19 banyak mengubah pola kehidupan masyarakat yang mulai beralih ke digital. Peluang ini dimanfaatkan beberapa perusahaan asuransi untuk semakin gencar memasuki ekosistem digital.

Meski ekonomi digital Indonesia masih didominasi industri transportasi, travel, e-commerce, dan teknologi finansial (tekfin), insurance technology (insurtech) alias bisnis industri asuransi secara radikal dan positif melalui inovasi teknologi digital sudah mulai banyak penggunanya.

Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2019 terhadap 1.418 responden yang telah menggunakan jasa tekfin, pengguna insurtech sebanyak 9,9% atau berada di urutan ketiga setelah tekfin pembayaran (66,6%) dan P2P lending (27,4%).

Marketplace asuransi Lifepal.co.id hadir sebagai insurtech yang memberikan layanan untuk membantu membandingkan, membeli, dan menggunakan produk asuransi sesuai dengan kebutuhan dan anggaran setiap calon nasabahnya. Adapun produk yang ditawarkan mulai dari asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi kendaraan, asuransi perjalanan, dan sebagainya.

“Kita adalah marketplace asuransi yang mendistribusikan produk asuransi untuk menghubungkan kembali antara asuransi ke konsumen. Kami bermitra dengan 40 brand asuransi. Kami menawarkan banyak produk asuransi secara transparan agar nasabah bisa membandingkan membeli asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi mobil dan lain sebagainya. Semuanya disuguhkan secara transparan, masyarakat tinggal membandingkan sendiri. Mirip ketika orang mencari tiket atau hotel dari traveloka, serupa,” kata Co-founder dan CMO Lifepal Benny Fajarai dalam wawancara bersama DailySocial.id.

Sebagai bagian dari insurtech, Lifepal mendigitalkan manajemen produk asuransi dalam kanal informasi dan perbandingan produk, pemesanan layanan, hingga klaim asuransi.

“Kita seperti marketplace lain yang memanfaatkan teknologi. Dengan teknologi ini, dapat melakukan perbandingan produk, harga, orientasi, dan semua pengalaman untuk membantu konsumen,” ungkap Benny.

Fokus untuk konsumen

Sebagai marketplace asuransi, Lifepal memberikan transparansi pilihan kepada nasabah atau masyarakat yang ingin membeli asuransi. Hal itu dilakukan agar nasabah bisa memberikan persektif yang objektif.

“Posisi marketplace itu kan distributor partner, jadi kita challenge-nya selalu bagaimana berhubungan dengan pelanggan, dan meningkatkan antara pelanggan dan asuransi. Jadi kita perlu memainkan peran dengan objektif serta transparan dan efektif,” jelas Benny.

Dengan tagline ‘Teman Andalanmu’, Lifepal memiliki cara kerja secara objektif agar konsumen bisa memberikan personal perspective yang terbaik.

“Dari perspektif asuransi untuk mengalihkan produk ke orang yang tepat, membimbing audiens untuk mendapatkannya. Dari perspektif pelanggan kita mau bantu mereka dan kasih the best product, very personalize. Personal perspective dari konsumen itu yang penting,” sambungnya.

Dampak Covid-19

Menurut Benny, industri asuransi di Indonesia justru diuntungkan oleh situasi pandemi Covid-19 berkat meningkatnya kesadaran konsumen mengenai risiko hidup dan kesehatan.

“Industri asuransi merupakan salah satu industri yang saat ini sedang berkembang sebagai dampak dari pandemi. Di Q2, Q3, penjualan asuransi jelas lebih kuat. Dampak dari pandemi, produk asuransi benar-benar cepat dijual. Dalam poin ini, masih 3% populasi di Indonesia yang punya asuransi, so worthed buat semakin menaikkan penjualan asuransi di Indonesia,” ungkapnya.

Dengan bantuan perkembangan teknologi di era digital seperti saat ini, masyarakat juga jadi lebih mendapat kemudahan untuk memiliki produk asuransi.

“Sama seperti awalnya ketika kita ingin membeli tiket di agen perjalanan online, banyak dari kita yang bingung dengan transparansi, perilaku pelanggan berubah dari situ. Semakin banyak masyarakat bertransaksi secara online di masa pandemi seperti sekarang.

Lebih lanjut, Benny juga memaparkan, pendistribusian transaksi produk asuransi offline ke online saat ini sangat diharapkan berhubungan dengan 3 bagian. Yaitu:

  1. Pelaku asuransi harus mengubah model produknya. Didistribusikan secara offline ke online.
  2. Transparansi.
  3. Regulator, dari pemerintah harus mengesahkan produk keuangan.

Asuransi Mikro

Saat ini, penjualan produk asuransi sudah mulai menyasar masyarakat ekonomi menengah ke bawah lewat asuransi mikro di luar perlindungan BPJS Kesehatan.

Yaitu, produk asuransi yang diperuntukkan bagi masyarakat yang memiliki penghasilan rendah alias masyarakat yang penghasilannya tidak lebih dari Rp2,5 juta setiap bulannya.

Asuransi mikro ini dikemas secara sederhana fitur dan proses administrasinya, mudah didapat, dengan harga yang ekonomis serta mampu memberikan penyelesaian pemberian santunan secepat mungkin.

Lantas, apakah Lifepal juga membidik konsumen ekonomi menengah ke bawah lewat asuransi mikro?

“Penetrasi asuransi mikro saat ini populer, mereka memasarkan produk asuransi. Jika melihat total volume industri asuransi, asuransi mikro sangat kecil. Lifepal sendiri kami tidak menargetkan pada asuransi mikro, kami menargetkan audiens menengah untuk produk lengkap,” imbuh alumni Universitas Bina Nusantara.

Artikel ini ditulis oleh Co-Founder dan CMO Lifepal Benny Fajarai, sebagai bagian dari kolaborasi antara DailySocial.id dan Lifepal

Dengan Jutaan Orang Mulai Mengakses Internet Setiap Tahunnya, Perubahan Monumental akan Terjadi di Daerah Rural Indonesia

Jakarta adalah kota yang penuh jukstaposisi. Di samping banyaknya masjid terdapat kehidupan malam yang semarak, meskipun banyak juga lingkungan yang tutup setelah gelap. Lebih dari setengah dekade yang lalu, jika Anda ingin menikmati camilan larut malam, pilihannya terbatas—berkreasilah di dapur sendiri atau tunggu hingga fajar menyingsing. Namun, semua hal tersebut telah berubah. Sekarang, Anda bisa mendapatkan makanan yang diantarkan langsung ke depan pintu rumah hampir setiap saat hanya dengan beberapa ketukan di ponsel. Ponsel cerdas dan koneksi internet yang stabil telah mengubah harapan kita dan cara kita membelanjakan uang kita. Urbanites, khususnya, dimanjakan dengan kenyamanan.

Transformasi serupa sedang terjadi di daerah yang tidak terlalu padat di negara ini. Dengan pandemi yang belum berakhir dan pembangunan infrastruktur baru yang berkelanjutan, perkembangan ini hanya terjadi pesat di negara-negara berkembang. Sekitar 40 juta orang di enam negara di Asia Tenggara—Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Thailand—online untuk pertama kalinya pada tahun 2020, menurut laporan Google, Temasek Holdings, dan Bain & Company. Ini jauh lebih tinggi dari jumlah tahun 2018 sebesar 10 juta, atau total 100 juta antara tahun 2015 dan 2019. Tujuh wilayah metropolitan, termasuk Jakarta, menyumbang lebih dari 50% ekonomi internet di kawasan itu, tetapi wilayah di luar kota-kota besar memiliki potensi untuk tumbuh dua kali lebih cepat, sebut penulis laporan.

Dengan semua perkembangan baru ini, masyarakat Asia Tenggara akan lebih terhubung dari sebelumnya. Apa sebenarnya harapan para pendatang baru di dunia maya?

Social media mendominasi

Pada tahun 2019, Amalia yang bekerja di sebuah instansi pemerintah dipindahkan ke provinsi paling timur Indonesia, Papua. Lahir dan besar di Jakarta, kepindahannya membutuhkan banyak penyesuaian. “Koneksi internet cukup stabil di siang hari, tetapi sering tiba-tiba turun di malam hari,” katanya kepada KrASIA.

Pada Q2 2020, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari populasi. Negara ini melihat 25,5 juta orang online untuk pertama kalinya dalam rentang waktu 2019 hingga 2020, menurut sebuah laporan oleh asosiasi penyedia internet Indonesia.

Jumlah pengguna internet di Indonesia

Pengguna internet baru di Pulau Jawa mencapai 56,4%, diikuti oleh Sumatera (22,1%), Pulau Sulawesi (7%), Kalimantan (6,3%), Bali dan Nusa Tenggara (5,2%), dan Maluku-Papua (3%), disebut dalam laporan.

Seperti yang biasa terjadi di negara berkembang, banyak orang Indonesia telah melalui komputer pribadi dan mengakses internet terutama melalui ponsel cerdas mereka. Motivasi utama adalah untuk mengakses media sosial, aplikasi perpesanan, serta konten informasi dan rekreasi.

Penetrasi internet (%) di Indonesia dari 2019 hingga Q2 2020

“Ada beberapa hotspot publik yang tersedia di daerah perkotaan. Banyak orang “nongkrong” di sekitar hotspot untuk internet gratis. Kebanyakan dari mereka menggunakan internet untuk hiburan, seperti streaming musik, dan untuk mengakses platform media sosial. Orang-orang juga mulai banyak menggunakan alat pembelajaran online selama pandemi,” kata Amalia.

Senada dengan pengamatan Amalia, operating partner East Ventures, David Fernando Audy mengatakan bahwa kebutuhan pengguna internet pemula tentu berbeda dengan kebutuhan masyarakat yang tech-savvy di wilayah metro. Biasanya, mereka mencari akses ke informasi baru, menyerap teks dan gambar melalui kueri di mesin pencari sebelum bergabung dengan jaringan media sosial.

“Begitu mereka memiliki kecepatan internet yang cukup untuk mencari dan berbagi gambar, mereka akan menjadi pengguna aktif platform media sosial seperti Facebook atau Instagram. Mereka juga ingin mengonsumsi konten audio-visual dari platform seperti YouTube. Setelah terbiasa menggunakan internet dan media sosial, mereka akan mulai menjajaki perdagangan online, yang merupakan layanan yang lebih maju,” kata Audy.

Namun, penyedia layanan digital cenderung merancang dan membuat produk berdasarkan kebutuhan masyarakat perkotaan karena mereka sering kali menjadi pengguna pertama dengan pendapatan yang dapat dibelanjakan lebih tinggi, dan pasarnya jauh lebih padat dan lebih besar. Misalnya, mudah untuk mencari informasi tentang restoran di Jakarta, dan ada banyak daftar acara, yang semuanya dapat dicari di aplikasi pesan-antar makanan atau tiket acara. Namun, selangkah saja meninggalkan area metro, keadaannya akan jauh berbeda.

“Kami memiliki Gojek dan Grab di sini, tetapi mereka tidak selalu tersedia seperti di Jakarta,” kata Amalia. “Untuk mendapatkan informasi terbaru, kami biasanya mengikuti akun komunitas lokal seperti Info Jayapura di Facebook dan Instagram—ini adalah dua aplikasi yang harus dimiliki di sini.”

Di luar kota-kota besar, meski sudah tidak asing lagi dengan belanja online, mereka tetap lebih suka menggunakan Facebook daripada Tokopedia atau Shopee. “Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, orang suka membeli barang secara online melalui Facebook Marketplace karena mereka memiliki banyak pilihan lokal, dan lebih mudah untuk menghubungi penjual di sana,” tambah Amelia. Secara garis besar, media sosial merupakan pintu gerbang pertama bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam menjalankan bisnisnya secara online. Mereka mulai dengan Facebook dan WhatsApp dan pada akhirnya beralih ke platform e-commerce untuk memperluas jangkauan pasar mereka.

Layanan spesifik untuk pengguna internet baru

Arena yang paling kompetitif—yang hampir tidak ada di kota-kota urban—akan menjadi layanan hyperlocal yang dibangun untuk kota-kota dengan tingkat yang lebih rendah. Ini dapat terwujud dalam pembelian kelompok dan social commerce, di mana jaringan komunitas memindahkan kebiasaan belanja orang secara online, seringkali dengan penduduk setempat yang bertindak sebagai pemimpin atau perwakilan kelompok. Sentuhan manusiawi dalam pengaturan ini menghilangkan keraguan yang mungkin dimiliki beberapa orang tentang melakukan transaksi online.

Investor telah menggelontorkan cek untuk penyedia layanan hyperlocal dalam mengantisipasi pertumbuhan bisnis yang melonjak. Penyedia perdagangan sosial Super baru-baru ini mengumpulkan USD 28 juta dalam putaran Seri B yang dipimpin oleh SoftBank, dan KitaBeli meraih USD 10 juta dari AC Ventures dan East Ventures pada bulan April. Kedua platform tersebut menjual barang-barang konsumen yang bergerak cepat di daerah-daerah di luar kota-kota besar Indonesia dan seringkali melayani orang-orang yang belum pernah berbelanja online sebelumnya. Di tempat lain di kawasan ini, social commerce masih merupakan sektor baru, dengan kemunculan platform-platform baru dalam beberapa tahun terakhir, seperti Webuy di Singapura dan Mio di Vietnam, yang mengumpulkan pendanaan awal pada bulan Mei.

Selain selera konsumen yang besar, digitalisasi usaha kecil juga akan membentuk kembali lanskap komersial Indonesia. Melalui laporan digital competitiveness report-nya, East Ventures memproyeksikan seluruh wilayah di Tanah Air akan terkoneksi internet tahun depan, dan 18,4 juta UMKM akan go digital pada akhir 2022.

Beberapa startup sudah mewujudkannya. Startup pembukuan seperti BukuWarung dan BukuKas juga tengah naik daun. Mereka berhasil mendapatkan pendanaan besar baru-baru ini, dan keduanya mengklaim telah mendigitalkan jutaan UMKM di kota-kota kecil di seluruh negeri. Sementara itu, Mitra Tokopedia, Mitra Bukalapak, GrabKios by Kudo, Warung Pintar, dan Ula telah mengembangkan platform bagi pemilik toko untuk mengelola inventaris dan pesanan mereka secara digital. Sejauh ini, banyak dari layanan ini terbatas di Jawa, tetapi Audy dari East Ventures percaya bahwa jejak mereka dapat menyebar karena UMKM diwariskan kepada anak muda yang mobile-first.

“Usaha kecil seperti warung tetangga dan rumah makan biasanya dimiliki oleh keluarga, dan sekarang telah terjadi regenerasi dimana para milenial mengelola kios tersebut, dan mereka lebih terbuka untuk menggunakan layanan digital,” kata Audy. “Semakin banyak UMKM yang mau berjualan online, namun seringkali mengalami kesulitan dalam mengelola beberapa toko online secara bersamaan, terutama karena sebagian besar usaha mikro dan kecil tidak memiliki karyawan. Oleh karena itu, akan ada lebih banyak permintaan untuk e-commerce enabler. Misalnya, ada Sirclo, yang memungkinkan pemilik usaha kecil untuk membuka dan mengelola beberapa toko online dengan mudah.”

Pentingnya teknologi di daerah terpencil

Ada bermacam-macam konsekuensi dari percepatan transformasi digital yang cepat selama pandemi —akses yang lebih baik ke pendidikan dan keterlibatan yang lebih kuat dalam masyarakat yang lebih luas di luar lingkungan terdekat mereka. Namun, sementara populasi ini sekarang memiliki akses ke jalur baru untuk pertukaran informasi, mereka masih membutuhkan kecepatan internet yang lebih tinggi, koneksi yang stabil, dan layanan lokal.

Dalam pidato yang diberikan tahun lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan pandemi adalah katalis untuk transformasi ekonomi pedesaan. Dia berjanji pemerintah akan memberikan lebih banyak akses ke teknologi, modal, dan peningkatan kapasitas. Salah satu upaya publik adalah pembangunan jaringan kabel serat optik Palapa Ring khususnya di kawasan timur Indonesia.

Pandemi telah memaksa bisnis dan organisasi publik untuk menempatkan karyawan mereka bekerja dari rumah. Banyaknya alat produktivitas dan kolaborasi yang tersedia, ditambah dengan internet dengan kecepatan tinggi, memungkinkan hal ini. Banyak orang yang tinggal dan bekerja di perkotaan kembali ke kampung halamannya untuk menghemat biaya sewa dan biaya hidup. Jika pengaturan ini berlanjut setelah pandemi, urbanisasi mungkin melambat, dan orang-orang yang tinggal di kota-kota kecil akan dapat bekerja dari jarak jauh untuk bisnis di mana pun di negara ini. Ini membuka peluang baru bagi orang-orang di kota tingkat-2 dan tingkat-3 dan bahkan dapat mengubah cara kantor dan kantor pusat perusahaan akan beroperasi dalam waktu dekat.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial