Laporan DSInnovate: Social Commerce Report 2022

Selama satu dekade terakhir, e-commerce telah berhasil menjadi lokomotif industri yang mendorong berbagai inovasi digital di berbagai sektor. Sebut saja pembayaran digital, logistik pintar, sampai dengan platform pemberdayaan UMKM. Namun demikian, di balik gegap-gempita industri e-commerce masih terdapat gap yang cukup kentara di Indonesia, khususnya saat berbicara tentang pemerataan.

Berbeda dengan masyarakat di perkotaan yang sudah terbiasa dengan layanan digital, kondisi di pedesaan —apalagi daerah rural—kondisinya masih jauh berbeda. Banyak faktor menjadi penyebab, mulai dari tingkat literasi digital sampai dengan keandalan infrastruktur. Terkait infrastruktur, contohnya, pengguna di pedesaan mendapati biaya kirim yang besar karena barang dikirim dari kota.

Adanya isu-isu tersebut mendorong para inovator melahirkan “Social Commerce”, versi e-commerce yang dimodifikasi dengan berbagai penyesuaian fitur. Model bisnisnya juga unik, seperti lewat kemitraan untuk menangani isu literasi digital, lewat group buying untuk menangani isu mahalnya ongkos kirim, sampai sistem hub-and-spoke untuk menangani sistem distribusi yang rumit.

Perlahan tapi pasti, model social commerce mulai diterima oleh masyarakat Indonesia, membuat bisnis ini kian banyak diminati oleh startup lokal.

Untuk melihat perkembangan bisnis ini, DSInnovate meluncurkan “Social Commerce Report 2022” dengan tema besar “Digitizing the Second-Tier Cities in Indonesia”. Laporan ini merangkum sejumlah hal, meliputi:

  1. Pembahasan konsep dan model bisnis social commerce
  2. Ekosistem social commerce di Indonesia
  3. Studi kasus social comerce di Indonesia
  4. Tren perkembangan social commerce di Indonesia

Terdapat beberapa temuan data menarik, salah satunya dari 16 startup social commerce yang ada di Indonesia, 14 di antaranya telah mengumumkan perolehan investasi. Menunjukkan bawah model bisnis yang diusung berhasil divalidasi oleh adopter awal dan hipotesis dari pemodal ventura. Selain itu, konsep bisnis berbasis syariah juga dipertimbangkan beberapa pemain di Indonesia.

Di sisi kematangan industri, peneliti juga melakukan analisis dan pengukuran terhadap beberapa variabel — yang menunjukkan bahwa social commerce masih memiliki ruang gerak yang luas untuk dieksplorasi. Selain itu, masih ada data dan temuan menarik lainnya. Selengkapnya, unduh laporan tersebut melalui tautan berikut: Social Commerce Report 2022.


Disclosure: Dagangan mendukung peluncuran laporan ini

Fresh Factory Raih Pendanaan Tahap Awal Senilai 66 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures

Startup penyedia solusi fulfillment rantai dingin (cold chain) Fresh Factory berhasil meraih pendanaan tahap awal atau seed funding senilai $4,5 juta atau setara 66 milliar Rupiah dipimpin East Ventures. Putaran ini juga diikuti oleh beberapa investor lainnya, termasuk PT. Saratoga Investama Sedaya TBK, Trihill Capital, Indogen Capital, Prasetia Dwidharma, Number Capital, Y Combinator, dan beberapa investor angel lainnya.

Dana segar ini rencananya akan dialokasikan untuk ekspansi gudang ke semua kota sekunder di Jawa serta kota-kota utama di Sumatera dan Sulawesi.  Selain itu, investasi kali ini juga akan digunakan untuk memperkuat tim dan teknologi guna meningkatkan adopsi dan pencapaian operasional perusahaan.

Didirikan pada tahun 2020 oleh Larry Ridwan (Founder & CEO), Widijastoro Nugroho (Co-Founder & CCO), dan Andre Septiano (Co-Founder & CFO), Fresh Factory menyadari besarnya masalah pada logistik rantai dingin di Indonesia. Maka dari itu, perusahaan berkomitmen menyediakan jaringan pusat fulfillment rantai dingin hiperlokal, transformasi, dan sistem manajemen fulfillment cerdas yang memungkinkan pelaku bisnis untuk menyimpan, mengambil, mengemas, dan mengirimkan produk mereka ke pelanggan dengan lebih baik, cepat dan efisien.

Sebagai negara dengan sumber daya yang melimpah dari pertanian dan akuakulturnya, Indonesia memiliki kebutuhan logistik rantai dingin yang efisien untuk penyimpanan dan pengiriman dari pusat produksi ke pelanggan. Namun, masih ada kesenjangan besar dalam lingkaran distribusi yang hanya berfokus pada gudang pusat tanpa memperhatikan logistik mid dan last mile. Fresh Factory ingin menjembatani hal ini dengan mendirikan cold storage cerdas di berbagai lokasi dekat dengan pelanggan.

Beberapa solusi teknologi yang telah terintegrasi ke dalam layanan mereka termasuk GeoTagging dan GeoLocation dalam menyimpan produk di gudang, Artificial Intelligence (AI) untuk proyeksi dan pengelolaan stok di gudang, serta Internet of Things (IoT) untuk memantau suhu freezer dan chiller.

Venture Partner East Ventures Avina Sugiarto mengungkapkan, “Melihat kesenjangan besar dalam solusi rantai dingin dan bagaimana hal tersebut menyebabkan berbagai masalah terkait food loss dalam rantai pasokan, kami percaya Fresh Factory hadir seagai solusi untuk memperbaiki logistik rantai dingin untuk produk makanan yang mudah rusak dan membantu para UMKM. Kami yakin Fresh Factory telah dan akan terus memberi manfaat dan menciptakan masyarakat yang lebih tangguh.”

Hingga April 2022, Fresh Factory telah mencapai $10 juta GMV tahunan dan fulfillment tahunan untuk lebih dari 1 juta pesanan. Hal ini diikuti dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 30% MoM dalam tiga bulan terakhir. Perusahaan juga telah memiliki lebih dari 20 gudang cabang yang tersebar di berbagai kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Bali dengan solusi penyimpanan barang beku hingga dingin.

Layanan fulfillment di Indonesia

Pertumbuhan e-commerce sedikit banyak telah mempengaruhi lanskap layanan pemenuhan atau fulfillment. Indonesia saat ini menjadi pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara dengan kontribusi hingga 50% dari seluruh transaksi yang tercatat. Pertumbuhan ini menandakan kontribusi besar e-commerce terhadap perekonomian digital di Indonesia.

Dikutip dari laporan e-Conomy SEA 2021, ekonomi digital Indonesia mengalami peningkatan dari angka USD47 miliar di 2020 menjadi USD70 miliar di 2021, ditambah dengan penetrasi digital yang terus meningkat berjumlah 158 juta pengguna e-commerce di Indonesia.

Sementara itu, berdasarkan laporan dari Research and Markets, pasar layanan fulfillment secara global diperkirakan akan mencapai $198,62 miliar pada tahun 2030, tumbuh pada CAGR sebesar 9,5% selama periode perkiraan. Penetrasi layanan internet yang cepat dan peningkatan jumlah pembeli online merupakan faktor utama yang mendorong permintaan akan layanan fulfillment di seluruh dunia.

Manuver dari para pemain e-commerce tanah air untuk masuk ke bisnis fulfillment dinilai sangat baik dengan memberikan pelayanan logistik secara terpadu. Langkah ini pertama kali diambil Tokopedia dengan meluncurkan layanan TokoCabang yang kini bertransformasi menjadi Dilayani Tokopedia. Layanan tersebut memungkinkan penjual menitipkan produk di “gudang pintar” pada wilayah dengan permintaan tinggi.

Selanjutnya, Bukalapak ikut menyasar segmen ini melalui layanan BukaGudang yang sudah dapat digunakan pelapak sejak Maret 2020. Buka Gudang memiliki dua mitra fulfillment, yakni PT IDCommerce dan startup penyedia jaringan pergudangan mikro Crewdible. Lalu, ada Shopee yang resmi masuk lewat layanan Dikelola Shopee pada September lalu. Layanan Dikelola Shopee memanfaatkan gudang milik sendiri dengan rata-rata pesanan diklaim dapat dikirim dua jam setelah pengguna menyelesaikan transaksi.

Selain para pemain e-commerce yang melakukan penetrasi di segmen fulfillment, sejumlah startup lokal juga fokus menggarap jaringan pergudangan mikro dan solusi pengadaannya untuk menciptakan dampak efisiensi. Beberapa diantaranya termasuk CrewdibleShipper, dan TokoTalk.

[Video] Strategi YouTap Indonesia Dorong Adopsi Solusi Bisnis secara Digital

Dalam wawancara bersama DailySocial, CEO Youtap Indonesia Herman Suharto membahas bagaimana platform besutannya memberikan alternatif solusi untuk bisnis UMKM dan korporasi di Indonesia.

Menyasar pelaku usaha yang masih mengelola bisnis secara konvensional, Youtap Indonesia berupaya mendorong mitra beralih ke pengelolaan digital agar meningkatkan penjualan secara signifikan.

Sejumlah fitur menarik menjadi solusi all-in-one bagi mitra Youtap Indonesia, mulai dari pengadaan stok barang, laporan penjualan, hingga pembayaran digital.

Simak pembahasan Herman tentang Youtap Indonesia yang terangkum di video wawancara di bawah ini.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis dan kontribusi sejumlah startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.

Good Doctor Perkuat Posisi Sebagai Penyedia Ekosistem Kesehatan Holistik di Asia Tenggara

Tahun ini menandai tiga tahun Good Doctor melayani masyarakat Indonesia. Sejak beroperasi di 2019, Good Doctor menyebut telah mencatatkan berbagai pencapaian signifikan, yakni 14,2 juta pengguna dengan pertumbuhan hingga 40 kali lipat di Indonesia.

Selain itu, Good Doctor telah bermitra dengan lebih dari 45 perusahaan asuransi, 500 mitra korporasi dan jaringan administrator pihak ketiga (TPA) utama, lebih dari 1.000 rumah sakit dan laboratorium, serta 2.500 apotek di seluruh Indonesia. Pesatnya jaringan kemitraan Good Doctor di Indonesia disebut telah mendorong pertumbuhan bisnis secara tahunan hingga 864%.

Menurut Managing Director Good Doctor Technology Indonesia Danu Wicaksana, pihaknya juga sedang menjajaki kemitraan Health-as-a-Service, yakni salah satu agenda yang tengah mereka siapkan. “Kami tidak hanya ingin menawarkan solusi saja, tapi menciptakan ekosistem dari berbagai stakeholder, baik itu pemerintah, laboratorium, dan klinik,” ujarnya kepada DailySocial.

Good Doctor Technology (GDT) merupakan perusahaan patungan antara Ping An Healthcare and Technology (sebelumnya bernama Ping An Good Doctor), Grab, dan SoftBank. Awalnya, Good Doctor hadir di Indonesia sebagai fitur bernama GrabHealth yang di-embed ke dalam aplikasi Grab pada 2019. Kemudian, layanan ini resmi menjadi aplikasi terpisah pada Maret 2021. Saat ini, Good Doctor telah hadir di Indonesia dan Thailand dengan operasi regional berbasis di Singapura.

Dalam sesi wawancara eksklusif dengan DailySocial, Regional CEO Good Doctor Technology Melvin Vu menyebutkan tengah mempersiapkan diri untuk menjadi penyedia telehealth dengan ekosistem holistik di Asia Tenggara. Momentum akselerasi digital dimanfaatkan penuh untuk mengembangkan berbagai layanan kesehatan sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan lebih luas.

Bagaimana langkah dan strategi Good Doctor selanjutnya?

B2B dan Health-as-a-Service

Berdasarkan data Dukcapil per akhir 2021, jumlah tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia tercatat sebanyak 567.910 orang atau 0,21% dari total penduduk yang mencapai 273,87 juta jiwa. Sementara, pengeluaran kesehatan melalui platform digital di Indonesia diprediksi sebesar $973 juta (sekitar Rp14,4 triliun) di 2023.

Dengan sebaran dokter yang tidak merata, Melvin menilai telehealth dapat mengatasi tantangan bagi pasar seperti Indonesia yang memiliki populasi dan kondisi geografis luas. Ia juga meyakini telehealth dapat menyeimbangkan ekosistem kesehatan di Indonesia.

Agar tetap terdepan di sektor telehealth, Good Doctor memiliki dua strategi utama. Pertama, menjangkau lebih banyak orang dengan memperluas layanan ke segmen B2B. Kedua, menawarkan solusi Health-as-a-Service (HaaS) dengan memanfaatkan dukungan kuat pada teknologi, ekosistem, hingga mitra yang dimiliki Good Doctor.

Leverage teknologi dan lokalisasi

Di industri kesehatan, termasuk virtual health, ada banyak yang dapat dieskplorasi dengan teknologi. Melvin menilai Good Doctor punya posisi kuat untuk mengeksekusinya berkat teknologi dan pengalaman yang dibangun oleh induk usaha selama tujuh tahun terakhir. Misalnya, implementasi AI untuk membantu para dokter di Indonesia memahami gejala, memberi diagnosis, dan membuat resep obat bagi pasiennya.

Selain itu, ungkap Melvin, Good Doctor juga memiliki nilai tambah lain karena memiliki dokter in-house yang ekspertisnya dapat dimanfaatkan untuk melakukan quality control layanan. Salah satunya adalah mengembangkan clinical pathway. Sekadar informasi, clinical pathway merupakan sebuah pedoman yang digunakan untuk melakukan tindakan klinis berbasis bukti pada fasilitas layanan kesehatan. Setiap penyakit punya pedoman berbeda.

Umumnya, kebutuhan layanan kesehatan hampir sama di semua negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam kasus ini, Good Doctor membawa solusi yang ada di Thailand, kemudian dikustomisasi untuk pasar Indonesia.

“Kami beruntung Ping An telah lama di bidang ini sehingga kami dapat leverage teknologinya yang sudah terbukti di Tiongkok. Menjadi pemain regional juga membuat kami dapat memahami isu healthcare di pasar berbeda, learning each other. Dengan teknologi kami, everything is conceived on how we deliver healthcare virtually,” tuturnya.

Kendati demikian, Melvin juga menyoroti pentingnya untuk terintegrasi dengan berbagai stakeholder. Kolaborasi akan memampukan Good Doctor untuk menghadirkan berbagai layanan dan menciptakan ekosistem kesehatan holistik di masa depan, baik melalui rumah sakit, klinik, perusahaan, maupun platform digital.

Leveraging technology is one thing, but it is important that we customize to localize. Kami dapat memiliki berbagai sudut pandang ketika melakukan integrasi layanan. Dan ini memungkinkan kami untuk membuat kesalahan minim karena setiap integrasi, setiap platform itu berbeda. Jadi kami bisa integrasi dengan cepat. We can deliver a better customer journey to our clients,” jelasnya.

Transisi ke endemi

Menjawab langkah Good Doctor menyambut endemi, Melvin menilai telemedicine atau layanan kesehatan virtual lainnya akan tetap memainkan peran signifikan. Menurutnya, layanan bagi perawatan sakit (sick care) akan selalu ada, tetapi layanan pencegahan (preventive care) juga tak kalah penting.

“Kami ingin [Good Doctor] transcend layanan sick care ke preventive care agar menjaga orang tetap sehat. Kami juga ingin membantu mengontrol dan menangani penyakit kronis. Produk dan layanan terkait yang akan dikembangkan, juga memungkinkan agar dapat terhubung ke perangkat IoT. Good Doctor punya posisi kuat untuk melakukannya karena kami punya teknologi dan memahami cara deliver produk,” ujarnya.

Langkah selanjutnya, Melvin memastikan bahwa pihaknya akan menjajaki ekspansi baru sambil fokus menggarap pasar existing di Singapura, Thailand, dan Indonesia.

Platform Logistik Deliveree Rampungkan Pendanaan Seri C Senilai 1 Triliun Rupiah

Perusahaan teknologi logistik yang mengoperasikan marketplace trucking dan kargo skala besar di Indonesia, Deliveree, merampungkan putaran pendanaan Seri C senilai $70 juta (sekitar 1 triliun Rupiah) yang dipimpin Gobi Partners dan SPIL Ventures. Inspire Ventures, investor terdahulu perusahaan, juga turut ambil bagian di putaran kali ini. Secara total mereka telah mendapatkan pendanaan sebesar $109 juta (1,6 triliun Rupiah) selama lima tahun terakhir.

Dana segar tersebut rencananya dimanfaatkan perusahaan untuk meningkatkan penetrasi pasar, memperluas jenis layanannya seiring dengan hadirnya solusi kargo kontainer, dan melakukan pengembangan skala besar yang dibutuhkan untuk menjadi marketplace logistik yang tersedia di seluruh pelosok Asia Tenggara. Selain itu, pendanaan ini juga akan digunakan untuk meningkatkan layanan bagi puluhan ribu bisnis yang setiap harinya mengandalkan Deliveree.

“Di Deliveree, misi kami adalah digitalisasi logistik dengan membuat transportasi kargo menjadi sederhana, terjangkau, fleksibel, dan terukur untuk bisnis dari segala ukuran. Hal ini diwujudkan lewat kekuatan platform marketplace kami yang menghubungkan pelanggan logistik dengan jaringan angkutan dan penyedia layanan besar – yang saya sebut sebagai logistics mega marketplace,” ujar Co-Founder & CEO Deliveree Tom Kim.

Menurut Managing Partner Gobi Partners Kay Mok, pasca-pandemi berpotensi besar mengalami inflasi yang turut diwarnai oleh permasalahan rantai
pasok. Platform teknologi dari Deliveree memungkinkan terjadinya optimasi dan penurunan total biaya operasional bagi industri pengiriman dan logistik.

“Dengan investasi strategis kami di Deliveree, kami dapat memberi mereka kapabilitas operasional supply chain yang kuat dan merupakan yang pertama di ranah industrinya, dengan menyelaraskan moda transportasi darat dan laut. Hal ini memungkinkan platform teknologi Deliveree untuk menawarkan solusi logistik yang lebih luas dan melampaui trucking darat dengan jangkauan antar pulau, didukung secara strategis oleh jaringan kapal kontainer SPIL yang melayani seluruh pelabuhan utama di Indonesia,” kata Widarta Liunanda dari SPIL Ventures.

Skalabilitas bisnis dan teknologi

Dalam 24 bulan terakhir, Deliveree mengklaim telah meningkatkan transaksi brutonya sebesar 3,2 kali dengan nilai $100 juta pada tahun ini. Perusahaan telah meningkatkan kapasitas timnya hingga hampir mencapai 500 karyawan di empat negara yang membuat perusahaan masuk ke daftar 5 angkutan kargo terbesar di Indonesia, Filipina, dan Thailand.

Akhir tahun 2021 lalu, Deliveree mengumumkan layanan Muat Sebagian untuk mengakomodasi kebutuhan bisnis yang ingin mengirim barang, kargo, bahkan paket besar/kecil tanpa harus menyewa satu kendaraan penuh. Solusi ini mendigitalisasi layanan muat sebagian yang sudah hadir di perusahaan logistik konvensional dengan memanfaatkan algoritma pintar.

Saat pemesanan dilakukan, algoritma Deliveree akan memperhitungkan rute yang paling optimal dan efisien dari gabungan muatan barang pebisnis dengan pebisnis lainnya. Hal tersebut berdampak pada efisiensi biaya dan estimasi pengiriman tercepat karena mempertimbangkan jarak dan waktu. Seluruh proses pemesanan ini dilakukan baik melalui aplikasi maupun situs.

Menurut data tahun 2021, total pasar logistik Indonesia mencapai $240 miliar atau lebih dari Rp3300 triliun. Sejauh ini sudah ada sebuah layanan unicorn logistik (J&T) dan sejumlah soonicorn (Shipper, SiCepat, Waresix) di sektor logistik, khususnya yang mengurusi segmen B2B.

Application Information Will Show Up Here

Platform Riset Pasar Populix Peroleh Pendanaan Sebesar 114 Miliar Rupiah, Dipimpin Intudo Ventures dan Acrew Capital

Startup pengembang platform riset pasar Populix memperoleh putaran pendanaan Seri A dalam bentuk pembiayaan (financing) sebesar $7,7 juta atau sebesar 114 miliar Rupiah, dipimpin oleh Intudo Ventures dan Acrew Capital. Turut juga berpartisipasi Altos Ventures dan Quest Ventures.

Tahun lalu Populix menerima pendanaan pra-seri A senilai $1,2 juta atau setara Rp17,3 miliar dari Intudo Ventures, yang sebelumnya juga memimpin pendanaan awal di 2019, dan Quest Ventures.

Populix merupakan platform yang menawarkan kegiatan riset dan pengumpulan data bagi pebisnis, perusahaan, dan individual untuk mempermudah pengambilan keputusan dengan menggunakan studi kualitatif dan kuantitatif.

Dalam keterangan resminya, Co-founder dan CEO Populix Timothy Astandu mengatakan, pihaknya akan memperkuat digitalisasi seluruh proses pendataan, optimalisasi produk existing, dan meluncurkan sejumlah layanan baru yang memungkinkan siapapun mengambil keputusan tepat bagi bisnis mereka.

“Orang-orang tidak lagi mengandalkan insting untuk menjalankan bisnis mereka. Kami sedang membangun dunia di mana pengusaha dan CEO Fortune 500 dapat mengakses data yang cepat dan relevan untuk mendorong keputusan bisnisnya,” tutur Timothy.

Sementara itu, Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip mengatakan bahwa  Indonesia merupakan pasar consumer yang berkembang pesat dan bergerak dengan kecepatan yang sulit dipahami oleh bisnis lokal. Maka itu, pemahaman yang tepat dan akurat sangat dibutuhkan bagi keberhasilan bisnis berskala besar maupun kecil. “Sebagai salah satu pendukung Populix paling awal, kami bangga dengan bagaimana tim Populix semakin matang dan mengiterasi produk mereka mengikuti pasar Indonesia yang selalu berubah,” tutur Yip.

Partner Quest Ventures Jeff Seah menambahkan, “Asia Tenggara telah menjadi pasar terkemuka bagi perusahaan global untuk mendorong pertumbuhan bisnis dan masuk ke kelas konsumen baru. Bagi bisnis baru di regional, penting untuk memahami pola pikir lokal agar bisa sukses. Populix telah menunjukkan kemampuan luar biasa untuk menggambarkan preferensi konsumen Indonesia dan mengubah data point menjadi business insight yang dapat ditindaklanjuti,” kata Seah.

Pengembangan produk hingga ekspansi

Timothy mengungkap, pihaknya akan merekrut ahli di bidang produk dan engineering untuk meningkatkan pengumpulan data dan mengakomodasi kebutuhan lebih banyak klien. Untuk memperkuat posisinya di Asia Tenggara, pihaknya juga berencana ekspansi regional di tahun 2023 dengan fokus awal pada produk Poplite.

Berdiri pada Januari 2018, Populix menawarkan sejumlah layanan untuk kebutuhan riset. Pertama, Datasets berbasis subscription yang berisi ribuan data point terkait perilaku konsumsi online, gaya hidup, hingga emerging trend. Kedua, Poplite atau layanan penelitian dengan model bayar per penggunaan (pay-per-use). Layanan ini memungkinkan siapapun untuk membuat survei dan mengumpulkan business insight yang ditargetkan dan dapat ditindaklanjuti.

Menurut Timothy, misi awal Populix adalah membuat kegiatan penelitian lebih mudah, sederhana, akurat bagi bisnis, dan dapat diakses siapapun dengan dukungan teknologi. Dengan kemampuan Populix memindahkan kumpulan data secara online dan mobile, pihaknya berupaya membuat kegiatan riset menjadi lebih seru dan rewarding bagi responden.

Sejak 2020, Populix telah melakukan kegiatan riset dengan lebih dari 1,500 klien, mulai dari Fortune Global 500, pemerintahan, perusahaan konglomerasi, UMKM, akademik, dan individual di Indonesia. Menurut catatannya, sebanyak 45% klien Populix merupakan pengguna consumer insight pertama kali yang berupaya merefleksi utilitas sehari-hari sehingga pelaku bisnis dapat memahami konsumen dan mencapai product-market fit.

Populix menawarkan lebih dari 300.000 responden terverifikasi dan targeted untuk mengikuti kegiatan riset terkait preferensi, kebiasaan, dan pendapat terkait konsumen di Indonesia. Untuk memvalidasi keakurasian responden, Populix mengembangkan Popscore sebagai credit scoring system yang menilai kualitas responden dari tingkat kejujuran dan aktifnya seorang responden.

Perusahaan mengklaim telah mengalami pertumbuhan pendapatan hingga tiga kali lipat selama setahun terakhir.

Northstar Mulai Bidik Startup Tahap Awal, Siapkan Dana 1,5 Triliun Rupiah

Perusahaan private equity Northstar Group dikabarkan tengah menyiapkan dana kelolaan khusus untuk berinvestasi ke startup tahap awal. Menurut sumber kami, Northstar telah menyiapkan dana debut sekitar $100 juta (sekitar 1,5 triliun Rupiah).

Nantinya mereka akan menyuntik startup pre-seed dan seed dengan ukuran tiket berkisar $500 ribu (sekitar 7,5 miliar Rupiah). Hipotesis investasinya tidak jauh dari yang sudah dilakukan sebelumnya, yakni menyasar startup di bidang finansial, konsumer, dan ekonomi digital.

Ketika dihubungi DailySocial.id, perwakilan Northstar enggan berkomentar atas rumor pasar, tapi ditegaskan bahwa perusahaan memang punya ketertarikan di area tersebut [berinvestasi ke startup seed].

Sebelumnya Northstar dikenal sebagai investor startup tahap akhir dan/atau korporasi — ukuran tiket investasinya bisa mencapai $20 juta. Akhir tahun 2021 lalu, perusahaan juga baru mengumumkan penutupan dana “flagshipNorthstar Equity Partners V Limited dengan nilai komitmen $590 juta atau sekitar 8,3 triliun Rupiah.

Secara total saat ini Northstar mengelola portofolio dengan nilai lebih dari $2,5 miliar (lebih dari 35 triliun Rupiah). Adapun tahun ini mereka juga berpartisipasi dalam pendanaan lanjutan sejumlah startup lokal, seperti Moladin, Pintu, DailyBox, Sayurbox, dan NOICE.

Untuk memperluas cakupannya,  Northstar juga telah bermitra dengan Google sepakat membentuk joint business plan. Fokusnya untuk bersama-sama mempercepat pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara.

Diterangkan oleh salah satu direktur perusahaan, melalui inisiatif tersebut Northstar akan fokus pada investasi dan mengalokasikan sumber daya untuk memberikan pengetahuan pasar lokal. Sementara Google akan banyak membantu di unsur teknologi, juga mengajarkan praktik terbaik dari studi kasus global.

ShopBack Peroleh Pendanaan 1,18 Triliun Rupiah; Bisnisnya Moncer di Indonesia

Startup agregator cashback ShopBack mengumumkan perolehan putaran pendanaan seri F sebesar $80 juta atau sekitar 1,18 triliun Rupiah. Pendanaan yang dipimpin oleh Asia Partners ini akan dipakai mendukung pengembangan platform untuk memberikan pengalaman belanja online terbaik di Asia Pasifik.

Mengutip laporan Bloombergputaran pendanaan ini turut didukung oleh investor existing January Capital. Dengan suntikan tersebut, ShopBack telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $230 juta.

“Ini menjadi momentum tepat untuk mendukung para pemenang, mengonsolidasikan posisinya, dan mendapatkan hasil,” ungkap Managing Partner Asia Partners Nick Nash.

ShopBack didirikan di 2014 oleh Henry Chan dan Joel Leong. Saat ini ShopBack mengantongi 35 juta pengguna dan beroperasi di sepuluh negara, termasuk Singapura, Indonesia, Korea Selatan, dan Australia. Tahun lalu, ShopBack memperluas sekop layanannya dengan mencaplok platform “Buy Now, Pay Later” (BNPL) Hoolah asal Singapura.

Di Indonesia sendiri, menurut data SimilarWeb situs ShopBack menempati peringkat 6 di antara platform e-commerce lainnya dengan kunjungan bulanan rata-rata hampir 600 ribu, tertinggi untuk kategori layanan cashback. Mengindikasikan basis pengguna yang cukup besar ke layanan ini. Sementara di Google Play, untuk kategori Shopping, ShopBack menempati peringkat 19 — di bawah aplikasi e-commerce dan tertinggi untuk jenis aplikasi serupa.

Sementara itu, dalam laman Linkedin-nya, Co-founder dan CEO ShopBack Henry Chan mengungkap ingin terus memberikan pengalaman berbelanja sambil berhemat dengan cerdas di situasi perekonomian saat ini.

“Setiap hari kami mengirimkan lebih dari satu juta perjalanan belanja ke 10.000 mitra merchant di mana mereka bisa menemukan promo, perbandingan harga, dan reward dari pesanannya. Kami tetap menjadi partner terpercaya untuk memberikan solusi marketing dengan biaya efektif bagi merchant,” tuturnya.

Sebelumnya, ShopBack mendapat pendanaan sebesar $45 juta (Rp643,5 miliar) yang dipimpin oleh EV Growth dan Rakuten serta partisipasi EDBI dan investor lainnya.

Menurut laporan “2020 Global Cashback Report”, ukuran pasar untuk layanan ini secara global diproyeksi telah mencapai $108 miliar, termasuk didorong oleh adopsi e-commerce yang signifikan akibat pandemi. Sekurangnya ada 450 pemain global yang berpartisipasi memberikan layanan tersebut.

Pasar e-commerce

Potensi pertumbuhan bagi platform reward dari transaksi belanja online masih sangat besar di Indonesia. Sektor e-commerce masih menjadi kontributor terbesar di Indonesia. 

Menurut laporan NielsenIQ, jumlah konsumen yang belanja di mencapai 32 juta di 2021 atau naik 88% dari 2020. Sementara itu, laporan e-Conomy SEA 2021 mencatat sektor e-commerce tumbuh 52% secara tahunan. GMV e-commerce Indonesia diperkirakan mencapai $53 miliar atau naik dari $35 miliar di 2020.

Pertumbuhan ini turut didongkrak dari penambahan 21 juta konsumen digital baru sejak awal pandemi, di mana 72% di antaranya bukan berasal dari kota-kota besar.

Di Indonesia, aplikasi reward cukup diminati oleh online shopper. Selain ShopBack, beberapa aplikasi yang menawarkan layanan serupa di antaranya Snapcart yang hadir sejak 2015 dan Cashbac yang baru beroperasi sejak 2018.

Cashbac menyasar pasar social economy A dan B yang memiliki spending power tinggi dan rata-rata punya kartu kredit. Sementara, Snapcart memungkinkan pembeli mendapatkan cashback dari foto/video struk belanja dan memungkinkan brand berinteraksi dengan konsumen melalui survei.

Application Information Will Show Up Here

Terkendala Perizinan, Platform Aset Kripto Blocknom Hentikan Layanan Sementara

Platform earning aset kripto Blocknom mengumumkan akan menghentikan layanannya sementara mulai 1 Juli 2022. Blocknom tidak merinci alasan penghentian ini, tetapi pihaknya menyebut telah mempertimbangkan situasi pasar dan peraturan pemerintah. Di sisi lain, mereka memang belum memiliki izin operasional atau lisensi otoritas, dalam hal ini dari Bappebti.

Disampaikan dalam blognya, manajemen Blocknom mengatakan akan menghentikan dukungan untuk Decentralized Finance (DeFi), yang mana bunga harian pada USDT, USDC, dan XIDR juga akan berhenti bertambah.

“Saat ini, kami menyarankan Anda untuk menarik aset Anda dari platform sesegera mungkin. Anda tidak perlu khawatir karena aset Anda aman. Harap tarik semua aset Anda sebelum 31 Juli 2022,” demikian pernyataannya.

Menurut manajemen, pihaknya telah menutup penerimaan pengguna dan setoran baru sejak 20 Juni 2022. Untuk mempermudah proses penarikan aset, pihaknya mengimbau kepada para pengguna untuk segera menarik aset sebelum 31 Juli 2022. Setelah itu, kemungkinan besar penarikan hanya melalui CS offline.

We will come back stronger with more services when we get our license. Please wish us luck.” Tutup tim Blocknom.

Layanan manajemen aset kripto akhir-akhir ini memang mulai bermunculan di Indonesia. Hal ini seiring dengan makin banyaknya orang yang melakukan diversifikasi ke mata uang virtual ini. Menurut Bappebti, per Februari 2022 ada sekitar 12,4 investor kripto.

Selain Blocknom, dengan mekanisme yang unik, beberapa startup juga tawarkan layanan crypto-earn, di antaranya NOBI dan Finblox. Keduanya sama-sama telah mendapatkan dukungan pendanaan ekuitas dari pemodal ventura.

Baru peroleh pendanaan

Sebagai informasi, Blocknom baru dirintis pada Januari 2022 oleh eks pegawai Gojek & Shopee Fransiskus Raymond dan eks engineer Ritasi Ghuniyu Fattah Rozaq. Blocknom diketahui merupakan salah satu startup inkubasi di Y Combinator batch Winter 2022.

Blocknom juga baru memperoleh pendanaan tahap awal (seed) sebesar $500 ribu atau lebih dari Rp7 miliar dari tiga investor, yaitu Y Combinator, Number Capital, dan Magic Fund pada Maret lalu.

Untuk memberi nilai tambah pada platformnya, Blocknom menawarkan yield deposito pada aset kripto berbasis stablecoin, yaitu USDT (Tether), USDC (Circle), dan XIDR (StraitsX).

Selain itu, Blocknom menerapkan transparansi pada proses pengelolaan dana dan memiliki sistem proof of community pada proses pemilihan DeFi untuk pengelolaan dana investor, dan program unlimited incentives bagi komunitasnya.

Sejak beberapa bulan terakhir, ekosistem digital Indonesia tengah dilanda fenomena bubble burst akibat situasi dan konflik global. Harga aset kripto juga dilaporkan terus anjlok, tak terkecuali Bitcoin dan Ethereum.

Surge Tingkatkan Ukuran Tiket Pendanaan Awal Startup Binaannya

Setelah mengumumkan dana kelolaan perdana untuk kawasan Asia Tenggara senilai $850 juta (lebih dari 12,5 triliun Rupiah), Sequoia India dan Asia Tenggara melalui program akseleratornya Surge kembali memperkuat komitmen dengan meningkatkan kucuran dana untuk startup tahap awal binaannya. Sebelumnya mereka memberikan seed funding di rentang $1 juta – $2 juta, kini ditingkatkan hingga $3 juta.

Kendati di tengah pasar yang sedang melambat, Surge menaikkan ukuran tiket demi memberi para founder landasan pacu dan waktu yang lebih lebar untuk mendapatkan product-market fit; serta membangun tim yang kuat sebelum mengumpulkan putaran pendanaan berikutnya. Hal ini dilakukan Surge untuk bisa tetap relevan bagi sebanyak mungkin founder, termasuk mereka yang baru memulai serta yang tengah dalam proses mengumpulkan modal tambahan.

Para peserta di Surge 08 atau kohort selanjutnya berkesempatan mendapatkan pendanaan awal dengan ukuran tiket di atas. Namun Surge juga tidak menutup kesempatan bagi startup di tahap pre-seed untuk memperoleh dana dengan nominal yang lebih kecil, misalnya $300 ribu s/d $500 ribu. Faktanya lebih dari 20% startup Surge sedang dalam tahap pre-launch ketika mereka mulai bergabung.

Hingga saat ini, program Surge telah berlangsung sebanyak enam kali. Di enam kohort, Surge telah bermitra dengan 246 founder dari 112 startup — termasuk 45 dari Asia Tenggara dan 64 dari India. Startup di bawah naungan Surge secara kolektif telah mengumpulkan lebih dari $1,5 miliar.

Rajan Anandan selaku Managing Director Sequoia Capital India mengungkapkan, “Saat kami memperluas Surge, kami berharap untuk bermitra dengan startup masa depan yang akan mengubah ekosistem Indonesia di berbagai sektor. Selama tiga tahun terakhir, Surge telah bermitra dengan startup luar biasa dari Indonesia, termasuk Qoala, Lummo, Otoklix, Hangry, CoLearn, Durianpay, RaRa Delivery, Bobobox, Rukita dan lainnya.”

Tren pendanaan awal startup di Indonesia

Berdasarkan laporan DSInnovate yang bertajuk “Startup Report 2021-2022Q1“, jumlah putaran pendanaan meningkat dari 113 pada 2019 menjadi 214 pada tahun 2021. Berdasarkan laporan ini, pendanaan tahap awal menjadi putaran yang paling banyak terjadi.

Tingginya jumlah pendanaan awal juga menyiratkan bahwa masih ada peluang bagi generasi baru pendiri untuk menciptakan inovasi untuk mendemokratisasikan aspek bisnis tertentu.

Sumber: DSInnovate

Sementara itu, dari semua putaran pendanaan, terdapat sekitar 341 investor institusi yang terlibat. Daftar ini diisi oleh masing-masing dari Venture Capital (VC), Corporate Venture Capital (CVC), Limited Partners (LP), dan korporasi baik lokal maupun global.

Dalam daftar ini, East Venture menjadi VC dengan transaksi pendanaan terbanyak, diikuti oleh AC Ventures dan MDI Ventures. Sequoia Capital India sendiri masuk ke dalam lima teratas daftar ini dengan total 17 transaksi pendanaan. Berikut tabel lengkap para investor yang paling banyak menyalurkan investasi di Indonesia.

Sumber: DSInnovate