Arnold Egg Mengungkap Segala Hal tentang Masa depan Industri Digital

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sudah lebih dari 20 tahun berlalu sejak Arnold Sebastian Egg atau akrab disapa Arno Egg menginjakkan kaki di Indonesia. Selama itu, ia berusaha membangun bisnis di negeri ini, keluar-masuk dunia e-commerce, merambah industri travel, hingga menemukan passion-nya di dunia digital.

Liburan yang membawa Arno ke Indonesia, tapi bisnis digital yang membuatnya bertahan. Dia memulai di usia yang cukup muda bersama Tokobagus, menghabiskan lebih dari tiga tahun sampai akhirnya mencapai traksi, memutuskan untuk merger, dan akhirnya melepaskan diri untuk membangun usaha digitalnya sendiri. Pada tahun 2013, ia secara resmi memutuskan segala keterbatasan dengan menjadi warga negara Indonesia untuk tetap berkarya di pasar nusantara.

Arno adalah seorang product guy, dia membangun produk berdasarkan apa yang dibutuhkan konsumen. Namun, ia juga menyarankan agar tidak jatuh cinta dengan produk Anda dan tetap mendengarkan opini orang. Ia telah mengecap manis dan menyeka peluh dengan membangun startup dari nol. Tokobagus adalah warisan pertamanya. Ia kini fokus mengembangkan produk digital melalui Sprout Digital, dan baru-baru ini meluncurkan platform baru bernama Toco. Selain itu, selama 6 bulan terakhir, dia juga terlibat sebagai Mitra Pendiri dari sebuah Venture Builder bernama Wright Partners.

Arnold Sebastian Egg (2)

DailySocial berkesempatan untuk bertemu dengannya secara virtual dan berdiskusi tentang industri digital di negara ini, dan dia pun sangat bersemangat. Berikut kami sajikan kisah lebih lengkapnya.

Kapan Anda mulai tertarik untuk mendalami industri teknologi?

Saya merupakan salah satu dari anak-anak yang pertama kali menggunakan PC di sekolah. Semua bermula ketika saya masih berusia sangat muda, lalu mengembangkan minat di bidang komputer dan menjadi mahasiswa ilmu komputer angkatan pertama. Awalnya, saya belajar di Rotterdam kemudian pindah ke AS untuk mendalami hal-hal yang saya minati. Setelah itu, saya kembali ke Belanda.

Bagaimana kisah Anda sampai ke Indonesia? Apa yang membuat Anda bertahan di sini?

Saya pergi berlibur ke Indonesia. Saya menikmati bersantai di pantai, lalu  menemukan warnet dan mulai berdiskusi dengan orang-orang di sana. Itu adalah bagaimana saya mulai melakukan hal-hal digital di Indonesia. Menurut saya ini adalah tempat terbaik untuk produk digital.

Saya berasal dari Belanda, namun sudah lama di Indonesia. Yang saya tahu, untuk sukses, Anda membutuhkan audiens yang banyak. Di Eropa, hal ini menjadi sangat sulit karena setiap negara memiliki budayanya sendiri, membuatnya agak sulit untuk diukur. Di Indonesia, meskipun dengan banyak budaya yang berbeda, cara orang beraktivitas masih tetap sama. Itulah mengapa saya memulai perjalanan digital saya di Indonesia.

Dulu, saya akui memang sulit, internet sangat mahal, meskipun audiens banyak, tidak ada yang bisa online. Oleh karena itu, pada masa-masa awal, saya mulai mendirikan software house di Bali, membangun jalur untuk pasar Eropa, sebagai proyek sampingan. Itu menjadi asal muasal Tokobagus.

Jadi, Tokobagus sebelumnya adalah proyek sampingan, bagaimana kisah dibaliknya?

Sebenarnya ini cerita lucu yang telah berkali-kali saya sampaikan. Pekerjaan ini datang dari seorang klien di Belanda yang ingin mendirikan bisnis classified kemudian gagal dan menyalahkan kami karena menghabiskan banyak uang tanpa hasil yang signifikan. Dari kesulitan mendapatkan pengguna hingga akhirnya gagal sebelum bisa masuk ke pasar. Saya rasa kebanyakan orang lupa ketika memulai perusahaan digital, butuh waktu yang cukup lama untuk mendapatkan traksi.

Dengan Tokobagus, memakan waktu selama 2005-2008 sampai kita mendapatkan traksi yang nyata, kira-kira sekitar 3 tahun. Saya pikir pelajaran terbesar di sini adalah Anda harus bersabar. Ketika perusahaan mulai tumbuh, banyak yang mulai berkolaborasi di pasar, mereka bergabung dengan perusahaan lain. Kami mengakuisisi Berniaga karena jelas bahwa kami berdua berjuang untuk posisi yang sama. Hal ini menjadi masuk akal, dan kami dapat memfokuskan energi dan sumber daya kami untuk mengembangkan produk dan melayani konsumen. Hal ini juga untuk membawa perdamaian ke pasar.

Arno Egg with team Tokobagus.com at event power seller community 2011
Arno Egg bersama tim Tokobagus.com dalam acara Power Seller Community 2011

Tidak lama setelah Tokobagus, Anda memulai bisnis di ranah OTA. Bagaimana pengalaman Anda?

Ketika saya pergi, saya memiliki klausul non-kompetisi yang sangat ketat dengan Tokobagus, jadi saya tidak dapat melakukan apa pun dengan basis e-commerce. Setelah melakukan eksplorasi, satu-satunya hal yang dapat saya lakukan saat itu adalah OTA. Selama itu saya juga akhirnya resmi menjadi orang Indonesia untuk bisa tetap berkarya di pasar, keadaannya bahkan jadi jauh lebih baik. Ketika saya masih sebagai orang asing, berbisnis di Indonesia cukup menantang dengan segala keterbatasannya.

Bagi saya, industri perjalanan adalah pengalaman yang sangat luar biasa tetapi sangat sulit. Meskipun semakin digital, hal itu cenderung masih cukup konvensional dengan internet. Satu-satunya pengalaman saya di OTA hanyalah menjadi penonton di pinggir lapangan. Saya menghabiskan masa itu untuk membangun jaringan, mendapatkan konteks dengan produknya. Segera setelah limitasi saya berakhir, saya bisa kembali ke basis e-commerce. Meskipun saya menikmati perjalanannya, OTA menjadi pertempuran yang sangat sulit untuk dimenangkan, ada banyak pemain besar dengan pendanaan dan pengalaman lebih banyak. Oleh karena itu, tidak apa-apa untuk jatuh, bersiap untuk petualangan selanjutnya!

Akhirnya Anda kembali ke industri e-commerce. Bisa jelaskan secara singkat bagaimana prosesnya?

Kembali ke e-commerce, saya bekerja untuk korporat, membantu menyiapkan online channel untuk HP yang fokus pada pasar konsumen dan UKM di Indonesia. Dalam industri korporat, mereka melakukan banyak hal dengan sangat berbeda. Meskipun mereka memiliki produk yang luar biasa kuat, pergerakan digitalnya masih cukup lambat. Saya tidak terlalu lama di tempat ini, tapi saya belajar banyak hal. Pengalaman ini memberi saya wawasan tentang bagaimana bergerak di pasar dengan cara korporasi dan bagaimana eksekusi mereka berbeda dari startup digital lainnya. Setelah itu, saya diminta oleh seorang teman untuk membantu menyiapkan produk digital di Lippo.

Saya terjun ke Lippo sebenarnya untuk mendirikan bank digital, yang sekarang dikenal sebagai OVO. Karena kami banyak melakukan riset, selain itu saya juga membantu MatahariMall.com (E-Commerce Marketplace), Mbiz.co.id (e-procurement B2B No.1 di Indonesia), dan Red Carper Logistics (RCL – Perusahaan logistik yang mengkhususkan diri dalam pemenuhan last-mile). Namun, OVO menjadi kasus pertama saya di bidang fintech. Sangat menyenangkan, karena saya suka melakukan hal-hal baru. Kita belajar bagaimana melakukan core banking system, switch, dan bagaimana sistem pembayaran di Indonesia. Ini menjadi perjalanan yang luar biasa dalam mempelajari banyak hal dan memahami cara kerja perbankan dan bagaimana kami dapat melakukan disrupsi dalam hal itu.

Anda sempat menjajal industri e-commerce, OTA, lalu fintech. Apa yang sebenarnya menjadi passion Anda?

Passion saya adalah digital. Saya sangat senang saat ini digital telah menjadi cara kerja bisnis normal. Dengan begitu, Anda harus aktif di ranah digital untuk bisa bertahan. Kejadian ini sunguh cepat. Memang, hasrat awal saya adalah di e-commerce, dan sementara saya mencurahkan banyak waktu saya di sana, saya tetap menikmati melakukan hal lainnya.

Saya bahagia bersama Sprout digital, membantu orang membangun produknya, juga membangun bisnis perusahaan. Selama berada di Lippo atau Bizzy, saya memiliki banyak ide yang tidak dapat persetujuan atau pendanaan. Namun, sekarang saya bisa mengeksekusinya sendiri dan mengeluarkannya ke pasar serta siap melayani pasar Indonesia. Kapanpun ada ide muncul di benak saya dan saya punya waktu untuk mencoba mengerjakannya dan melihat apa yang terjadi, saya merasa diberkati.

Pada satu linimasa, Anda memiliki tanggung jawab di beberapa perusahaan secara paralel. Bagaimana Anda memastikan semua berjalan seiring?

Sangat penting untuk menaruh kepercayaan Anda pada orang yang tepat di sekitar Anda serta menjalin hubungan yang baik dengan semua orang yang bekerja dengan Anda. Dengan lapisan yang baik di sekitar Anda, segala hal bisa jadi lebih mudah, karena mereka dapat memberi Anda informasi yang Anda butuhkan untuk membuat keputusan. Di OVO kami belum memiliki lapisan itu, jadi semua orang melapor langsung kepada saya, dan sangat penting untuk mengenal semua orang.

Ketika Anda membangun koneksi, bukan berarti hanya di tingkat rekan kerja namun juga secara pribadi, oleh karena itu, Anda dapat memahami apa yang dialami orang lain. Saya pribadi tidak percaya semua orang bisa berfungsi 100% setiap saat. Selalu ada suka dan duka. Setiap orang memiliki masalah pribadi dan masalah pekerjaan. Jika Anda bisa memahaminya dan Anda bisa memberi ruang saat mereka membutuhkannya. Itu juga penting.

Arno Egg with Bizzy Korea
Arnold Egg bersama Bizzy Korea

Ketika pertama kali datang ke Indonesia sebagai non-native, bagaimana impresi Anda terhadap negara ini? Adakah kesulitan untuk beradaptasi?

Tentu saja, itu membutuhkan waktu. Saya berasal dari Eropa yang pergerakan masyarakatnya tidak secepat saat saya tinggal di Bali. Di Jakarta, semakin hidup. Bagi saya, karena saya masih sangat muda ketika tiba di sini, saya dapat menyesuaikan diri dengan mudah, hanya mencoba untuk berbaur. Saya selayaknya bocah biasa yang kebetulan orang asing. Sesampainya di Indonesia, saya memutuskan ingin bekerja di sini, lalu saya pelajari bahasanya secepat mungkin. Meskipun bahasa Inggrisberfungsi dengan baik, karena orang-orang berbicara dalam bahasa Inggris di mana-mana, untuk tujuan tertentu, sangat penting untuk memahami penduduk setempat. Anda akan mendapatkan banyak informasi saat Anda berbicara dalam bahasa yang sama.

Anda telah membangun beberapa perusahaan, dengan segala ups and downs, apa yang membuat Anda percaya dengan pasar Indonesia?

Menurut saya, Indonesia adalah pasar yang sempurna untuk digital. Cukup mengecewakan mengetahui beberapa investor global yang tidak pernah memasukkan Indonesia ke dalam peta. Ada begitu banyak pulau dan digital dapat membawa kesetaraan ke pasar. Masalah itu belum selesai sampai hari ini, saya sedang bekerja untuk digitalisasi rantai pasok logistik, mengerjakan beberapa proyek dengan petani untuk memastikan mereka yang berada di luar Jawa dapat tetap terlibat. Infrastruktur belum optimal dan banyak sekali proses yang masih belum efisien, negeri ini sangatlah luas. Digital akan jadi alat yang luar biasa untuk membuatnya lebih efisien dan menempatkan Indonesia pada posisi kompetitif di kawasan.

Di sekolah saya belajar banyak tentang Indonesia, ada banyak kontak di masa lalu saya. Setidaknya saya senang menyebut Indonesia sebagai rumah saya, untuk dapat mewujudkan impian saya, Indonesia adalah pasar terbaik untuk melakukannya. Tanah ini memiliki semua elemen untuk menjadi negara yang sangat kuat. Dengan semua perusahaan unicorn dan pemain besar, jika Anda membandingkan dengan pasar lain di kawasan ini. Ada banyak pemenang terlibat dalam kompetisi dan pasarnya sudah teredukasi. Saya sangat bersemangat mendengar hal itu.

Coba ceritakan tentang perusahaan Anda sekarang, Sprout Digital? Apa visi yang ingin Anda wujudkan?

Bagi saya, Sprout adalah sebuah yayasan. Ada beberapa tujuan yang ingin saya capai bersama Sprout, yaitu untuk menempatkan bakat baru ke pasar. Saya sangat senang melihat banyak orang yang sebelumnya di Tokobagus kini memiliki posisi yang baik di industri. Itu juga yang ingin saya lakukan di sini. Saya menaungi banyak anak muda yang baru memulai di industri digital. Saya ingin memberi mereka alat yang tepat untuk kemudian sukses di masa depan.

Dan tentu saja, Sprout memungkinkan saya membangun produk yang saya sukai. Kami baru saja meluncurkan Toco. Dari awal, cerita Tokobagus tidak pernah selesai. Melihat e-commerce semakin kurang bermanfaat bagi pemain kecil membuat saya berpikir bahwa inilah saatnya untuk melanjutkan bagian yang saya tinggalkan. Toco sekarang tidak jauh berbeda dengan Tokobagus di masa lalu, tetapi kami akan terus menambahkan fitur untuk memungkinkan pengguna membeli dan menjual dengan lebih nyaman tanpa menghilangkan keuntungan yang diperoleh dengan susah payah. Menjadikannya lebih transparan. Saat ini, bentuknya adalah C2C dan akan semakin banyak bergerak ke pasar campuran C2C dan B2C. Prosesnya tidak akan cepat tapi pasti.

Arnold Sebastian Egg

Di pikiranku selalu muncul hal-hal baru. Selain mendukung banyak perusahaan untuk sukses di ruang digital, Sprout memungkinkan saya untuk mengeluarkan ide-ide itu dari pikiran saya ke dalam produk yang dapat mulai digunakan orang.

Sungguh mengerikan apa yang terjadi pada dunia, sungguh menyakitkan melihat orang-orang menderita karena Covid, tidak hanya dalam dunia kesehatan tetapi juga dalam bisnis. Satu hal yang positif, yaitu hal ini mempercepat edukasi pasar. Saya pergi ke Lampung untuk proyek membantu petani. Saya melihat semua orang memiliki smartphone untuk pendidikan anak-anak mereka. Hal itu mempercepat seluruh proses digital, orang mulai memahami cara menggunakannya. Semua akan semakin mendekatkan jarak antara penduduk desa dan penduduk perkotaan. Transformasi digital membantu menyeimbangkan level dari liga permainan ini dan menggerakkan semua orang dalam fase yang sama.

Arnold Sebastian Egg with tim Sprout-Toco
Arnold Sebastian Egg bersama tim Sprout-Toco

Di era digital seperti sekarang, bagaimana Anda menggambarkan industri teknologi di masa depan?

Saya senang melihat bagaimana orang-orang menyiapkan bisnis mereka sekarang. Indonesia sendiri sudah menjadi pasar yang menarik, kita tidak perlu terlalu banyak melihat ke dunia global sejak awal. Jika Anda ingin memulai sesuatu di Indonesia, jika Anda sukses, itu adalah pasar yang besar untuk dilayani. Bukannya saya tidak melihat Indonesia bisa bersaing di pasar global, saya kira ke depan mungkin bisa. Namun menurut saya, penting juga untuk mengambil langkah demi langkah. Jangan lakukan itu karena Anda ingin, namun jika ada demand, maka lakukan. Bagi saya, sukses di Indonesia itu sudah cukup, mendunia bukanlah tujuan terbesar saya.

Pertumbuhan organik itu fundamental. Anda dapat mempercepat tetapi Anda jangan sampai meledak dengan membeli pengguna. Itu tidak akan menyisakan apa pun untuk Anda. Saya mengaku kuno, hal itu membuat saya melawan arus. Bagi saya, ini semua tentang PnL (untung dan rugi). Apakah bisnis ini masuk akal? bisakah kamu menskalakannya? Jika Anda menskalakannya, apakah masih menghasilkan atau tidak? Saya membangun produk karena saya ingin melayani pelanggan. Saya memahami pelanggan, apa yang mereka butuhkan, dan masalahnya. Saya pikir itu juga alasan mengapa perusahaan Indonesia dapat bersaing dengan pemain global ketika mereka masuk. Amazon, eBay, Rakuten tidak memahami pengguna, kami memahami pelanggan kami. Itu adalah pengalaman yang membuka mata.

Namun dalam hal investasi, hal itu adalah sesuatu yang harus dipahami orang. Perusahaan membual tentang bagaimana mereka mengumpulkan lebih banyak uang sementara yang seharusnya mereka lakukan adalah fokus pada membangun perusahaan yang tepat. Penting untuk membuat iklim investasi sehat.

Sebagai seorang serial entrepreneur, apa yang bisa Anda sampaikan pada para penggiat teknologi dan digital di luar sana yang ingin berhasil dalam industri ini?

Anda perlu mencintai apa yang Anda lakukan, oleh karena itu, setiap perjuangan akan menjadi menyenangkan karena Anda menikmatinya. Tidak ada kisah sukses yang terjadi sejak hari pertama. Semua adalah tentang perjuangan, selalu ada pertarungan. Sangat sulit untuk sukses. Saya bilang seperti ini karena saya mengalaminya sendiri, setiap startup akan menyakitkan dan memiliki banyak rintangan. Saya memulai Tokobagus dengan domain saya sendiri, membangunnya dengan semua waktu yang saya punya. Kalau boleh saya katakan, bootstrap adalah cara yang baik untuk memulai bisnis.

Jangan jatuh cinta dengan produk Anda sendiri. Jika konsumen Anda mengatakan bahwa mereka tidak menyukainya, percayalah. Tidak apa-apa gagal, lebih baik gagal tapi cepat, daripada terlanjur malangkah jauh. Buat manuver, pivot, pahami apa yang diinginkan konsumen dan lakukan lagi. Jika Anda ingin melakukan sesuatu yang benar-benar baru, bersiaplah untuk perjuangan berat karena Anda perlu edukasi pasar. Catatan untuk diri sendiri: Bekerja itu penting tetapi Anda perlu menyisihkan waktu untuk bersama keluarga dan orang yang Anda cintai. Penting untuk memiliki keseimbangan yang tepat dalam hidup.

Jika ada kesempatan, apakah Anda ingin kembali ke Belanda untuk memulai bisnis baru?

Tidak. Di Indonesia orang suka inovasi, orang suka mencoba hal baru. Setiap kali saya kembali ke kampung halaman, hal itu selalu membuat saya takut. Saya selalu melakukan hal yang sama persis dengan yang saya lakukan ketika di sana. Yang ingin saya katakan adalah, mereka jauh lebih lambat dalam berinovasi, hal itu akan sangat melelahkan bagi saya. Saya sangat diberkati karena saya pergi ke Asia. Saat ini saya berada di tengah episentrum. Asia adalah tempat inovasi atau pasar baru akan menuju masa depan. Saya percaya akan ada ups and downs. Adalah saat yang menyenangkan berada di sini. Mengapa kembali ke masa lalu?


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Arnold Egg Passionately Speaks about the Future in Digital Industry

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

It has been over 20 years since Arnold Sebastian Egg, or familiarly known as Arno Egg, arrived in Indonesia. During that time, he has been trying to build a business in this country, working in and out of e-commerce, making its way to the travel industry, until he found his passion in digital.

The holiday is what brought Arno to Indonesia, but doing digital business is what makes him stay. He started quite young with Tokobagus, spending over three years until finally get real traction, deciding to merge, and eventually left to build his own digital venture. In 2013, he finally got rid of all the limitations and became an Indonesian citizen to stay close to the market.

Arno is a product guy, he builds products based on what consumer needs. However, he still suggests that it’s not really appropriate to fall in love with your product and to listen to the people. He had wiped up a sweat and tasted sweetness in building startup from scratch. Tokobagus was his first legacy. He is now focused on developing digital products through Sprout Digital, and recently launched a new platform named Toco. Also, for the past 6 months, he’s been involved as a Founding Partner in a Venture Builder called Wright Partners.

Arnold Sebastian Egg (2)

DailySocial had a chance to virtually met him and discussed the digital industry in this country, and he was really passionate about it. Let’s hear more of the story.

When did you start to grow an interest in the tech industry?

I was one of those kids who occupied the first and only PC at school. I started at a very young age, and developed an interest in the computer field, then become the first batch of computer science students. At first, I studied in Rotterdam then moved to the US to catch up with the stuff I’m trying to learn. After that, I went back to Holland.

How did you end up in Indonesia? What makes you stay?

I went on holiday to Indonesia. I did enjoy sitting on the beach, then I find my way to the warnet and started talking to people over there. That’s how I started doing digital stuff in Indonesia. It is the best place for digital products in my opinion.

I’m from Holland, originally, already in Indonesia for a long time. What I know is in order to be successful, you need a big audience. In Europe, it’s very difficult because every country has its own different culture, which makes it a bit difficult to scale. In Indonesia, whether there are many different cultures, the way people do stuff is still the same. That’s why I started my digital journey in Indonesia.

Back then, it was difficult indeed, the internet was very expensive, even if there’s a big audience, nobody was able to go online. Therefore, in the early days, I started to set up a software house in Bali, building stuff for the European market, as a side project. It was the origin of Tokobagus.

So, Tokobagus used to be a side project, what’s the story behind that?

It was a funny story I told many times. It was from a client in Holland want to set up a classified business and then failed and blamed us for spending a lot of money without significant results. It was quite difficult to acquire users and finally run out before it was able to go into the market. I think most people forget that if you start a digital company, it takes quite a long time to get traction.

For Tokobagus, it was between 2005-2008 until we get real traction, around 3 years. I think what was the biggest lesson here, is you have to be patient. As the company grows, people have been doing stuff together in the current market, they merge with other companies. We acquired Berniaga because it’s clear that we both are fighting for the same spot. It just makes sense, and we can focus our energy and sources to develop the product and serve the consumers. It was also to bring peace to the market.

Arno Egg with team Tokobagus.com at event power seller community 2011
Arno Egg with team Tokobagus.com at event power seller community 2011

Not long after Tokobagus, you’ve started a new venture in the travel industry. How was it?

When I left, I had a very tight non-compete clause with Tokobagus, so I wasn’t able to do anything in the e-commerce base. After some research, the only thing I can do at the time was OTA. During that time I was also able to become Indonesian and keep close to the market, the situation is even better for me. When I was a foreigner, doing business in Indonesia is quite a challenge with all the limitations.

The travel industry was a very amazing journey but very difficult for me. Even though it’s getting more digital, it’s still quite a conventional internet way. My only experience in OTA was being on the side of the table. I spent those days setting up a network, getting context with the stuff. As soon as my limitation expired, I was able to get back into the e-commerce base. Even though I enjoy the journey, it was a very difficult battle to win, there were lots of big players with good funds and have been in the game for much longer. Also better companies with experience, therefore, it’s ok to fall, next!

Next, you did come back to the e-commerce industry. Can you share the journey?

Went back to e-commerce, I managed to work for the corporate, I was extra help for setting up the online channel for HP which focusses on the consumer and SMB market in Indonesia. In corporate industry, they do things totally differently. Even though they have amazingly strong products, it’s still quite slow in the digital pace. It wasn’t that very long journey, but I learned many things. It gave me insights on how to move on the market in corporate’s ways and how they execute differently than other digital startups. After that, I got asked by a friend to help out to set up the digital product in Lippo.

I jumped to Lippo mainly to set up a digital bank, which is now known as OVO. Because we were doing a lot of research, in the meantime, I also helped with MatahariMall.com (E-Commerce Marketplace), Mbiz.co.id (No.1 B2B e-procurement in Indonesia), and Red Carper Logistics (RCL – Logistics company specialized in last-mile fulfillment). However, OVO was my first deployment in the fintech space. Which is fun, because I like to do new things. We need to learn how to do the core banking system, switches, and how payments are done in Indonesia. It’s a great journey to learn so many and understand how normal banking works and how we can disrupt in that sense.

You’ve been into the e-commerce, travel industry, also fintech. What is your actual passion?

My passion is digital. I’m super happy that these days digital is just how normal business works. In that way, you need to be active in the digital space to be able to survive. It’s happening at a very fast pace. Indeed, my initial passion is in e-commerce, and while I manifest my time there, I still enjoy doing a lot of other stuff.

I’m happy with Sprout digital, helping people to set up new products, also do corporate venture building. During my time in Lippo or Bizzy, I had a lot of ideas that I was unable to get approval for or funding for. However, I can now execute that on my own and get that out into the market and ready to serve the Indonesian market. Whenever things pop out in my mind and I have time and work to try out and see what happens. I feel blessed.

At a certain period, you have to work and maintain several companies in parallel. How could you manage?

It’s very important to put your trust in the right people around you and good connection with all the people you work with. If you have a good layer around you then, it can make it easier, because they can fetch you the information you need to make decisions. In OVO we didn’t have that layer yet, so everybody reported directly to me, and it’s important to know everybody.

When you build connections, it’s not only at the working level but also on the private level, therefore, you can understand what people go through. I personally don’t believe everybody can function 100% all the time. There are always ups and downs. Everybody has personal issues and work issues. If you’re able to have a sense for that and you give people space when they need space. That’s important as well.

Arno Egg with Bizzy Korea
Arno Egg with Bizzy Korea

When you first come to Indonesia as a non-native, what was your impression of this country? Do you find it difficult to adjust?

Of course, that takes some time. I came from Europe and the pace is not as fast as when I live in Bali. In Jakarta, it’s getting more alive. For me, as I was quite young when I arrived, I was able to adjust easily, just try to mix in. I was the same kid as every foreigner. Arrived in Indonesia, I want to work here, so learn the language as fast as I can. Although English is fine, because people speak in English everywhere, when it comes to specific purposes, it’s really important to understand the locals. You’ll get a lot of information when you talk in the same language.

You’ve set up several companies, what makes you believe in the Indonesian market?

I think Indonesia is the perfect market for digital. It was quite a disappointment for some global investors that never put Indonesia on the map. There are so many islands and digital can bring equality to the market. It’s not done yet until this very day, I was working to digitize the supply chain for logistics, working on some projects with farmers to make sure those outside of Java can stay in the playing field. Infrastructure is not optimized yet and there are so many processes that are still inefficient, it’s such a broad country. Digital is an amazing tool to make it more efficient and put Indonesia in a competitive position in the region.

In school I learned a lot about Indonesia, there are lots of touchpoints in my past. I’m happy to call Indonesia my home at least, to be able to live my dream, Indonesia is the best market to do so. It has all the ingredients to be a very strong country. With all the unicorns and big players, if you compare to the other market in the region. There were lots of winners in the competition and the market is already educated. I’m so energized by knowing that.

Tell me about your current venture, Sprout Digital. What is your vision?

For me, Sprout is a foundation. I have a few objectives with Sprout, it’s to place new talents into the market. I’m so happy to see many people who previously in Tokobagus are currently having good positions in the market. That’s something I want to do here as well. I have a lot of young people, who only started in the digital industry. I want to give them the right tools to make it successful in the future.

And of course, Sprout enables me to set up those products which I like to have myself. We’ve just launched Toco. From the beginning, the Tokobagus story was never finished. Seeing e-commerce getting less and less worthwhile for smaller players made me think that it was time to pick up where I left off. Toco is now the same as Tokobagus in the past, but we will continue adding features to enable users to buy and sell more conveniently without taking away their hard-earned profit. Making it more transparent. At the moment it is a C2C and that will move more and more to a mixed marketplace where you have C2C and B2C mixed. The process will be slow but sure.

Arnold Sebastian Egg

My mind always thinking about new things. Besides supporting a lot of companies to succeed in the digital space, Sprout enables me to be able to get those ideas out of my mind into products which people can start using.

It’s terrible what happened to the world, really painful to see people suffering because of Covid, not only in health but also in business. But there’s only one thing that’s positive, to speed up the education of the market. I went to Lampung for a project to help farmers. I saw everybody have smartphones for their children’s education. And that speeds up the whole digital process, people start to understand how to use it. It’ll move the distance closer between villagers and the urban population. Digital transformation is helping balance the level out of this playing field and moving everybody under the same phase.

Arnold Sebastian Egg with tim Sprout-Toco
Arnold Sebastian Egg with Sprout and Toco team

In this digital era, how do you picture our tech industry will be in the future?

I’m happy to see how people are now setting up their businesses. Indonesia on its own is already an interesting market, we don’t have to look very much into the global from the beginning. If you want to start something in Indonesia, if you’re successful it’s a big market to serve. Not that I don’t see Indonesia can compete in the global market, I think in the future we might be able to. But I think it’s also important to take it a step at a time. Don’t do it because you want to, if there’s a demand for it, please do. For me, It’s good enough to be successful in Indonesia, going global is never really my biggest objective.

Organic growth is fundamental. You can speed up things a little but you should not implode buying all your users. It’ll leave you with nothing. I admit to being old-fashioned, it makes me against the odds. For me, it’s all about PnL (profit and loss). Does this business make sense? can you scale it? If you scale it, does it still make money or not? I was doing products because I want to serve customers. I understand the customers, what they need, and the problems. I think that’s also why Indonesian companies can compete with the global players as they arrived. Amazon, eBay, Rakuten don’t understand the users as we were understanding our customers. It was an eye-opener experience.

However when it comes to investment, it’s something that people should understand. Companies are bragging about how they raise more money while what they should really do is to focus on building the proper company. It’s important to make the investment climate healthy.

You’ve started several companies, anything you want to say to those tech/digital enthusiasts trying to make it into this industry?

You need to love what you’re doing, therefore, every struggle would be fine because you enjoyed it. There’s no success story that happened from day one. It’s always a struggle, it’s always a fight. It’s very difficult to be successful. I’m saying because I experience it myself, every startup will be painful and have a lot of work. I started Tokobagus with my own domain, build it with a lot of my time. If I may say, bootstrap is a good way to start a business.

Don’t fall in love with your own product. If your consumers said they don’t like that, believe them. It’s ok to fail, it’s better to fail fast, than in the long term. Create a maneuver, pivot, understand what the consumer wants and do it again. If you want to do something totally new, be ready for an uphill battle because you need to educate the market. Note to self: Working is important but you need to find time to spend with your family and loved ones. It’s important to have the proper balance in life.

If you had the chance, would you go back to Holland and start a new venture?

Nah. In Indonesia, people like innovations, people like to try out new things. Every time I go back, it always scares me. I always do the exact same thing I’ve been doing. What I want to say is, they’re much slower in innovations, it’ll be very tiresome for me. I’m super blessed that I went to Asia. I’m now in the middle of the epicenter. Asia is where the innovation or new market is going to be for the perceivable future. I believe in things will go up and down. It’s a fun time to be here. Why go back to the past?

Neurosensum Soroti Meningkatnya Popularitas Penggunaan ShopeePay

Neurosensum merilis laporan terbaru terkait adopsi uang elektronik selama periode November 2020 hingga Januari 2021. Laporan ini diikuti oleh 1.000 responden dengan rentang usia 19-45 tahun dan kelas ekonomi ABC di delapan kota (Jabodetabek, Jawa non-Jabodetabek, dan luar Pulau Jawa).

Managing Director Neurosensum Indonesia Mahesh Agarwal mengatakan, pandemi Covid-19 telah membawa dampak luar biasa terhadap adopsi uang elektronik di Indonesia dalam setahun terakhir. Ia mengungkap, adopsi uang elektronik hanya 2% (lebih dari 5 tahun lalu), lalu meningkat menjadi 10% (3-5 tahun yang lalu), dan naik signifikan menjadi 45% (1-3 tahun lalu).

“Menariknya, pandemi mendongkrak adopsi dompet digital hingga 44% dalam kurun waktu kurang dari setahun. New adopter berkontribusi besar terhadap penggunaan e-wallet selama pandemi,” ungkap Agarwal.

Selain itu, dampak luar biasa juga terlihat pada aktivitas belanja online ketika uang elektronik menjadi opsi pembayaran terbanyak digunakan (88%), diikuti transfer bank (72%), dan Cash on Delivery (47%) selama pandemi.

Lebih lanjut disoroti bahwa ShopeePay, yang baru hadir belakangan, mulai menggeser dominasi sejumlah pemain existing.

ShopeePay kuasai pasar tiga bulan terakhir

Berdasarkan survei, ShopeePay tercatat menguasai pangsa pasar uang elektronik selama periode November 2020-Januari 2021 dengan persentase sebesar 68%. Posisi kedua dan selanjutnya diikuti OVO (62%), DANA (53%), GoPay (54%), dan LinkAja (23%). Dalam temuan ini, responden tercatat menggunakan multiple e-wallet untuk kebutuhan berbeda.

Dari sisi frekuensi penggunaan, ShopeePay juga berada di posisi teratas dengan total gabungan transaksi sebanyak 14,4 kali per bulan atau 9 kali (online) dan 5,4 kali (offline). OVO menyusul di posisi kedua dengan total 13,5 kali penggunaan per bulan atau 8,1 kali (online) dan 5,4 kali (offline). Di urutan ketiga, GoPay dengan total 13,1 kali per bulan atau 8 kali (online) dan 5,1 kali (offline).

ShopeePay juga mendominasi transaksi di sejumlah kategori produk/jasa, antara lain make up (60%), skincare (58%), personal care (50%), dan perlengkapan rumah tangga (47%). Sementara, OVO unggul pada transaksi untuk kategori pembayaran tagihan (25%) dan elektronik (20%).

Category Make up Skincare Sports &

Outdoor

Household

Equipment

Bill Payment Electronics Personal

Care

ShopeePay 60% 58% 32% 47% 23% 37% 50%
OVO 13% 17% 18% 17% 25% 20% 16%
DANA 10% 9% 13% 13% 23% 14% 11%
GoPay 6% 6% 8% 7% 13% 7% 9%
LinkAJa 2% 3% 2% 3% 9% 4% 3%
Don’t buy the product 9% 8% 27% 13% 7% 19% 11%

Sumber: Neurosensum Indonesia / Diolah kembali oleh DailySocial

Responden juga menilai ShopeePay paling mudah digunakan berbelanja online dengan persentase 54% dengan posisi kedua diisi oleh OVO (20%). Uniknya, DANA berada di posisi ketiga (14%), di atas GoPay (9%) dan Link Aja (4%).

Research Manager Neurosensum Indonesia Tika Widyaningtyas menilai ada sejumlah faktor yang mendorong posisi ShopeePay saat ini. Menurutnya, ShopeePay sangat digemari karena kemudahannya untuk bertransaksi online. Jika dibandingkan pemain lain, ShopeePay sudah terintegrasi di Shopee. Artinya, pengguna tidak perlu bolak-balik mengganti aplikasi

“Shopee gencar menawarkan banyak promosi ShopeePay. Kami sadar semua pemain dompet digital juga melakukan hal yang sama, tetapi promosi ShopeePay lebih banyak terserap konsumen. Tidak cuma banyak, tetapi persyaratan pada promosinya juga tidak terlalu sulit. Misalnya, transaksi minimal masih terjangkau konsumen,” ujar Tika.

Hal ini juga terlihat dari temuan survei di mana ShopeePay unggul dengan persentase 41% sebagai uang elektronik yang memberikan promosi offline dan online serta persyaratan promosi yang memuaskan. Peringkat selanjutnya adalah OVO (25%), GoPay (16%), DANA (14%), dan LinkAja (4%).

Tren Konsolidasi Ekosistem Startup Indonesia Sepanjang Tahun 2020

Berdasarkan kaleidoskop ekosistem startup Indonesia 2020, sepanjang tahun lalu tercatat 13 aksi korporasi dalam bentuk merger and acquisition (M&A). Sebagian besar akuisisi dilakukan untuk memperkuat atau menambah model bisnis yang dimiliki oleh startup terkait. Misalnya saat platform agregator logistik Shipper mengakuisisi Porter dan Pakde dibarengi dengan inisiatif perusahaan memperluas cakupan bisnis ke pergudangan dan fulfillment. Belum lagi soal rumor yang santer beredar, terkait rencana merger antara Gojek dan Tokopedia.

Di tahun 2021, banyak pihak mengatakan tren konsolidasi bakal makin diprioritaskan oleh para startup. Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dalam kesempatan wawancara bersama DailySocial mengatakan, “Konsolidasi akan banyak lagi di tahun ini. Semakin segmented pasar, kita akan melihat banyak orang mengerjakan hal berbeda-beda. Konsepnya seperti ini, kalau ada satu startup ditambah satu hasilnya bisa lebih dari dua, dalam artian bisa lebih efisiensi dan memperbesar peluang, maka konsolidasi sangat memungkinkan untuk membuat lebih powerful.”

Bagi startup yang sudah besar, misalnya di level unicorn, konsolidasi juga bisa dipandang sebagai strategi untuk memperluas cakupan model bisnis – semua ingin menjadi super app. Pilihannya memang ada dua, mereka bisa saja mengembangkan layanan serupa di internal. Namun beberapa tahun belakang tampaknya pola pikirnya mulai bergeser ke arah konsolidasi. Seperti yang dilakukan oleh Gojek yang beberapa tahun terakhir sibuk melakukan akuisisi, totalnya sampai 13 startup termasuk yang paling baru pemimpin bisnis point-of-sales lokal, Moka.

Ada banyak variabel penentu, namun yang paling diperhitungkan terkait biaya. Membuat semuanya dari baru, selain harus menyiapkan semua dari nol (tim, infrastruktur, pengetahuan dll), perusahaan dihadapkan dengan tantangan untuk melakukan edukasi pasar, akuisisi pengguna, bahkan melawan pesaingnya. Akuisisi bisa saja bernilai sama dalam hitung-hitungan tersebut, namun dengan tempo yang jauh lebih singkat. Contohnya kolaborasi cepat yang dilakukan Gojek dan Moka melahirkan GoStore pasca proses akuisisi rampung.

draft_konsolasi_startup-01

Peluang kolaborasi juga makin luas cakupannya, tidak hanya antarpemain di segmen pasar yang sama. Hal ini diceritakan oleh Co-Founder & CEO Mekari Suwandi Soh, bisnisnya adalah layanan SaaS untuk UKM dan korporasi.  Ia mengatakan, sepanjang 2020 banyak sekali kesempatan kemitraan yang mendekat. Kolaborasinya juga tidak hanya sekadar membahas integrasi produk lewat API, tapi meliputi proses bisnis, sampai strategi go-to-market. Beberapa perusahaan yang menawarkan kerja sama pun beragam, termasuk perbankan dan asuransi. “Jadi 2021 ke depan itu harusnya makin banyak opportunity untuk kolaborasi,” ujar Suwandi.

Lebarkan bisnis

Di sisi startup, kebanyakan memang cukup terbuka untuk menjajaki kolaborasi mutual. Misalnya disampaikan oleh perwakilan OVO, “Kami selalu terbuka untuk melakukan win-win collaboration. Kesediaan kami untuk berkolaborasi telah menjadi ciri khas dari strategi dan pendorong pertumbuhan kami. Kemitraan dengan Grab dan Tokopedia, misalnya, membantu meningkatkan penerimaan OVO secara signifikan dalam perjalanannya menjadi platform [berskala] nasional.”

Baik Tokopedia dan Grab sama-sama memiliki persentase saham di OVO. Dan untuk memperkuat inti bisnisnya, OVO sendiri juga sempat melakukan akuisisi terhadap startup fintech lending Taralite dan fintech investment Brareksa. Narasumber kami tersebut juga mengatakan, dengan misi kolaborasi yang digenggam, secara sistem OVO juga didesain untuk mampu menciptakan interoperabilitas untuk membantu mitra strategis terhubung ke dalam ekosistem aplikasinya.

Hal serupa juga dikatakan oleh CMO Halodoc Dionisius Nathaniel, di perusahaannya peluang kolaborasi adalah sesuatu yang dijalakan terus menerus. Fokusnya bukan ke siapanya, tapi lebih ke sinergi apa yang dapat mendukung vii masing-masing. Halodoc sendiri saat ini juga telah terintegrasi ke super app Gojek, diawali dengan investasi yang diberikan decacorn tersebut dalam seri A pada tahun 2016.

Konsolidasi juga tidak hanya berbicara antara startup dengan startup. Lebih dari itu, saat ini tidak jarang korporasi tertarik untuk melakukan sinergi dengan startup demi mendapatkan percepatan inovasi bisnis. Di sisi korporasi, corporate venture capital (CVC) menjadi strategi yang sejauh ini paling ampuh digunakan untuk menjaring kandidat startup potensial. Salah satunya dilakukan oleh MDI Ventures, CVC di bawah naungan Telkom Group yang kini diberi mandat untuk memperlebar jangkau integrasi, tidak hanya ke perusahaan induknya tapi juga ke perusahaan lain di lingkungan BUMN.

Kepada DailySocial, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, “Kami memiliki dua KPI utama yang terukur, yakni menciptakan valuation growth dari investasi yang diberikan dan men-deliver sinergi dengan Telkom dan perusahaan BUMN lainnya. Tugas kami memastikan startup terkait sudah terbukti, misalnya terkait market fit dan unit economic, sehingga ketika di-plug in ke korporasi dapat memberikan nilai lebih kepada masing-masing. Startup butuh kapital dan pasar, korporasi punya itu. Sementara korporasi membutuhkan inovasi digital, startup memiliki itu.”

MDI Ventures banyak memberikan pendanaan kepada startup later stage, seri B ke atas. Menurutnya ini juga menjadi proven layer untuk memastikan startup tersebut memang sudah benar-benar matang. Terkait konsolidasi startup dengan BUMN, ia juga bercerita tentang inisiatif “ecosystem building” yang digarap bersama CVC BUMN lainnya. Pada dasarnya ini adalah sebuah working group untuk mendorong digitalisasi di beberapa sektor strategis, mulai dari kesehatan, pertanian, dan logistik. Serta menjembatani inovasi potensial dengan perusahaan di lingkungan BUMN.

Dorongan exit

Golden Gate Ventures dalam laporannya berjudul “Southeast Asia Exit Landscape: A New Frontier” mengatakan, bahwa kematangan ekosistem startup di Asia Tenggara juga akan berimplikasi pada meningkatnya jumlah exit. Dorongan pemain besar regional untuk melakukan akuisisi membuat M&A jadi opsi keberhasilan exit yang akan banyak dicapai. Laporan tersebut dibuat sebelum pandemi melanda, namun dari sinyal yang diberikan pasar, justru banyak terjadi percepatan.

draft_konsolasi_startup-02

Jika ditelisik lebih dalam, M&A menjadi jalur exit ideal untuk portofolio yang tengah dalam tahap pertumbuhan (maksimal dengan valuasi setara centaur), sementara untuk startup yang sudah mapan IPO tetap jadi jalur yang terus diupayakan. Beberapa unicorn lokal sudah menggaungkan rencana untuk melantai di bursa dalam waktu dekat. Menanggapi ini Willson juga mengatakan bahwa memang sudah saatnya para startup di Indonesia memperhitungkan IPO sebagai jalur exit mereka.

“Ada pandemi ataupun tidak, IPO memang sudah waktunya. Contohnya, Tokopedia sudah 11 tahun, Traveloka 8 tahun dan lain-lain. Selain itu monetisasi sudah  mulai clear, banyak yang sudah mulai profitable, banyak yang makin jelas roadmap-nya, jadi tinggal bagaimana cara IPO-nya. Tapi karena pandemi, pemerintah banyak mengeluarkan stimulus. Khususnya di US, mereka mulai cetak uang, maka nilai uang jadi turun. Dan membuat public market semakin liquid, makanya semua stock market lagi hijau semua, masih murah melebihi tahun 2008. Jadi membuat kesempatan untuk IPO lebih dipercepat,” jelas Willson.

Untuk persiapan IPO, konsolidasi juga dapat memiliki arti. Pertama adalah untuk meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri. Kedua, untuk mempersempit peluang persaingan pasar – terlebih jika kedua perusahaan dapat saling memperkuat lini bisnisnya. Dan yang ketiga, untuk meningkatkan kepercayaan publik terkait kekuatan bisnisnya. Belum banyak contoh startup melantai di papan pengembangan, menjadi penting untuk debutnya nanti benar-benar memberikan pengalaman terbaik bagi ekosistem.


Gambar Header: Depositphotos.com

OVO Gandeng Bareksa dan Manulife Luncurkan Fitur Investasi

Platform pembayaran dan dompet digital OVO hari ini (26/1) meluncurkan fitur terbarunya “Invest” bekerja sama dengan Bareksa dan Manulife. Reksa dana pasar uang menjadi produk pertama dari sinergi ini, menargetkan kaum milennials yang baru mulai menjajaki dunia investasi.

Presiden Direktur OVO sekaligus Co-Founder/CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra mengungkapkan, “Peluncuran fitur Invest adalah bagian dari komitmen kami untuk membuka akses yang terjangkau, terpercaya, dan nyaman dalam pengelolaan investasi, khususnya bagi investor pemula. Produk yang kami sediakan secara eksklusif di platform OVO adalah reksa dana pasar uang Manulife OVO Bareksa Likuid (MOBLI) yang dikelola oleh Manulife Aset Manajemen Indonesia, salah satu perusahaan manajemen investasi terbesar di dunia.”

Mengacu pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Indeks Inklusi Keuangan di Indonesia saat ini mencapai 76,2 persen. Sementara tingkat literasi keuangan menunjukkan angka yang masih rendah yaitu sebesar 38,0 persen dengan hanya 1,7 persen yang masuk ke area pasar modal. Untuk menjawab tantangan dan permasalahan tersebut, OVO didukung Bareksa sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana (APERD) menciptakan terobosan baru dengan melakukan integrasi e-money dan e-investment.

Sebelum ini, beberapa platform investasi juga lakukan integrasi dengan berbagai layanan digital konsumer. Misalnya yang dilakukan Pluang dengan masuk ke ekosistem Dana dan Gojek. Bahkan saking tingginya minat pasar terhadap investasi reksa dana, Bukalapak juga telah membentuk unit usaha tersendiri yang fokus ke segmen tersebut.

“Sebagaimana halnya kita lihat pada integrasi Alipay dan Yu’e Bao di China, yang telah mencatatkan sukses besar dalam mengenalkan investasi reksa dana secara masif di kalangan milenial. Dalam mengembangkan terobosan ini, kami telah berkonsultasi dengan Bank Indonesia (BI) dan OJK. Untuk itu, kami berterima kasih atas dukungan BI dan OJK yang pro-inovasi dan visioner dalam pemanfaatan tekfin bagi peningkatan inklusi keuangan dan pendalaman pasar keuangan kita,” jelas Karaniya.

Reksa dana pasar uang MOBLI tersedia secara eksklusif di aplikasi OVO. Para pengguna yang sudah memperbarui layanan akan menemukan fitur “Invest” di halaman utama OVO. Setelah masuk ke dalam fitur “Invest”, pengguna hanya perlu mengisi profil resiko serta menunggu proses verifikasi dan bisa langsung mematok nominal yang ingin di-invest mulai dari Rp10 ribu.

Selain menawarkan kemudahan dan kenyamanan bertransaksi [belanja, membayar tagihan, dll] dan berinvestasi dalam satu platform, keunggulan lainnya adalah proses pencairan instan, yang memungkinkan investor dapat mencairkan investasi mereka langsung ke saldo OVO Cash.

Salah satu Financial coach yang ikut hadir dalam acara peluncuran OVO “Invest”, Philip Mulyana turut menyatakan bahwa investasi reksa dana juga dapat menjadi salah satu opsi tabungan dana darurat yang baik untuk investor pemula. Pertimbangannya adalah reksa dana pasar uang merupakan salah satu instrumen investasi yang paling aman namun memberikan retur yang lumayan.

Application Information Will Show Up Here

OVO Group Perluas Ekosistem Layanan, Dirikan Perusahaan Patungan di Bidang Insurtech

PT Bumi Cakrawala Perkasa, selanjutnya disebut OVO Group, merupakan perusahaan induk layanan dompet digital OVO (PT Visionet Internasional) dan p2p lending Taralite (PT Indonusa Bara Sejahtera).  Mereka baru mengumumkan kerja sama strategis dengan ZA Tech untuk membentuk perusahaan patungan di bidang insurtech.

Diketahui ZA Tech merupakan anak perusahaan ZhongAn Online P&C Insurance, terbentuk dari kemitraan antara SoftBank Vision Fund 1 dan ZA International.

Hadirnya insurtech di OVO Group tentu memperluas cakupan produk finansial mereka. Selain dompet digital dan p2p lending, mereka juga memiliki keterikatan kuat dengan Bareksa sebagai layanan fintech yang fokus pada investasi reksa dana. Potensi penetrasi berbagai layanan finansial yang terus menguat menjadikan dasar bagi perusahaan untuk melakukan aksi perusahaan tersebut.

“Melalui kemitraan ini, kami percaya bahwa kita dapat  bersama-sama mendorong transformasi digital di Indonesia untuk perusahaan asuransi, sehingga mempercepat adopsi asuransi di Indonesia,” ujar Presiden Direktur OVO Group Jason Thompson.

Turut disampaikan, penetrasi asuransi di Indonesia tergolong masih sangat rendah, yaitu hanya sebesar 1,7% dari lebih dari 265 juta orang Indonesia yang saat ini dilindungi oleh asuransi swasta. Di sisi lain, Indonesia juga merupakan pasar dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat rata-rata di atas 5% dalam tiga tahun terakhir.

Layanan yang nantinya dihadirkan oleh insurtech tersebut akan membantu perusahaan asuransi untuk mendigitalkan produk mereka. Proses backend yang tadinya manual akan diautomasi; termasuk menyederhanakan proses perhitungan premi yang sebelumnya sangat rumit. Harapannya dapat tercipta ekosistem produk yang terjangkau dan diminati kalangan masyarakat yang lebih luas.

“Dengan menggunakan platform insurtech yang dibangun oleh BCP dan ZA Tech, perusahaan asuransi akan dapat mendigitalkan penawaran konvensional mereka, sehingga dapat memberikan produk dan layanan secara lebih efektif kepada masyarakat dalam rangka mempercepat transformasi digital di pasar asuransi Indonesia yang sangat besar,” tutup Thompson.

ZhongAn sendiri sebelumnya juga telah membentuk perusahaan patungan dengan Grab untuk membuat layanan insurtech berbasis marketplace. Di dalamnya akan menawarkan berbagai kategori produk asuransi yang dapat diakses langsung melalui aplikasi Grab dan dibayarkan melalui fitur GrabPay. Di Indonesia, Grab juga terafiliasi dengan OVO sebagai dompet digital yang menopang sistem pembayaran di aplikasinya.

Ekosistem insurtech di Indonesia

DSResearch dalam laporan bertajuk “Insurtech Strategic Innovation 2020” memetakan beberapa pemain insurtech yang saat ini sudah beroperasi di Indonesia. Melalui kemitraan yang dimiliki dengan berbagai perusahaan asuransi, masing-masing layanan mencoba menghadirkan berbagai produk asuransi – sebagian besar ditujukan di segmen konsumer.

Insrutech di Indonesia

Beberapa juga lakukan integrasi dengan layanan digital di segmen lain, misalnya yang dilakukan PasarPolis dengan menghadirkan layanan GoSure di Gojek untuk asuransi perjalanan; hal serupa juga dilakukan Qoala bersama Grab di Indonesia; kemudian ada juga Premiro yang masuk ke ekosistem layanan Tanamduit.

Mengutip hasil studi Munich Re Economic Research, Indonesia akan memimpin pertumbuhan premi asuransi kesehatan dan jiwa dari tahun 2019-2030, dengan CAGR sebesar 9,1%. Sepanjang taun 2019, premi yang berhasil dibukukan sudah mencapai 185,3 triliun Rupiah untuk asuransi jiwa dan 80,1 triliun Rupiah untuk asuransi kesehatan.

Pandemi tidak menyurutkan pertumbuhan bisnis asuransi di Indonesia. Data menunjukkan adanya pemulihan yang relatif cepat terkait pendapatan bruto premi untuk asuransi jiwa sepanjang tahun 2020.

Asuransi di Indonesia Selama Pandemi

Gerak cepat fintech memasuki insurtech juga terus terlihat, tidak hanya oleh pemain legasi yang terus melakukan ekspansi bisnis. Salah satunya Fazz Financial Group, unit yang membawahi layanan Payfazz dan Modal Rakyat, mulai bekerja sama dengan Adira Insurance untuk mendukung salah satu unit layanan mereka. Karena diyakini, kesadaran adopsi layanan asuransi akan terbentuk seiring peningkatan literasi finansial masyarakat Indonesia yang terus digenjot, tarmasuk dibantu para pemain fintech tersebut.

Dinamika Pendiri dan Pimpinan Startup: dari CEO jadi Pegawai

Banyak alasan ketika para pendiri startup akhirnya memutuskan bergabung dengan startup atau perusahaan teknologi yang sudah memiliki nama besar. Mulai dari proses merger dan akuisisi atau kesempatan berbeda yang bisa dieksplorasi.

Kami ingin memahami lebih lanjut bagaimana proses mereka beradaptasi kembali ke situasi yang berbeda. DailySocial mewawancarai Calvin Kizana (Pendiri Picmix dan kini menjadi COO dan Head of Platform GoPlay), Kevin Mintaraga (Pendiri Bridestory dan kini menjabat VP Tokopedia pasca akuisisi), dan Johnny Widodo (CEO BeliMobilGue dan kini menjadi CEO OLX Autos pasca akuisisi).

Proses adaptasi

Kevin Mintaraga memiliki track record bagus ketika menjadi pendiri perusahaan. Setidaknya dia sudah merasakan dua kali perusahaannya diakuisisi oleh entitas yang lebih besar.

Tentang bagaimana proses adaptasi setelah meninggalkan posisi sebagai CEO, Kevin menyebutkan penyesuaian yang paling penting dilakukan adalah mengubah perspektif mengikuti budaya perusahaan baru. Ia percaya visi dan misi perusahaan akan menjadi kompas tersendiri dalam berkarya.

“Selain itu, dibutuhkan kecepatan dalam mengadopsi teknologi, kemampuan membaca kebutuhan pasar dan perubahannya yang sangat dinamis di era digital saat ini, dan pikiran untuk terus maju dan terbuka terhadap ide-ide baru demi menciptakan inovasi terbaik — yang bisa mempermudah kehidupan masyarakat Indonesia,” kata Kevin.

Proses adaptasi yang seamless dan selaras juga dilakukan Calvin Kizana saat resmi bergabung dengan Gojek Group. Ketika bergabung di perusahaan baru, ia merasa ada visi dan misi yang sama dan semangat untuk mengembangkan perusahaan menjadi lebih baik lagi. Kontribusinya diharapkan dapat mendorong percepatan inovasi teknologi untuk menjawab kebutuhan pasar dan berkolaborasi secara optimal untuk mengembangkan produk bersama tim yang lebih besar.

“Salah satu nilai penting yang saya pelajari selama di Gojek adalah visi perusahaan yang mengutamakan ‘it’s not about you’ yang menjadi prinsip dasar dalam melakukan kolaborasi serta adaptasi ke dalam lingkungan baru. Pengambilan keputusan tidak bisa dilakukan sepihak dan juga harus dilakukan dengan penuh perhitungan dan pertimbangan yang melibatkan berbagai stakeholders,” kata Calvin.

Kunci utama saat melakukan penyesuaian di tempat kerja dan posisi baru, menurut Calvin, adalah cepat mempelajari struktur yang ada, belajar menyeimbangkan ego, dan memahami bagaimana berkolaborasi optimal untuk mencapai tujuan perusahaan.

Leadership sebagai startup founder juga sangat berperan dalam mendelegasikan pekerjaan dan mendorong kinerja tim lebih maksimal demi mencapai tujuan perusahaan,” kata Calvin.

Menurut Johnny Widodo, pendiri startup biasanya adalah seseorang yang penuh dengan drive dan passion. Ketika mulai menjadi bagian dari keluarga besar dari perusahaan yang baru, banyak hal yang mulai harus diperhatikan.

“Jadi para pendiri startup ini harus bisa beradaptasi dengan managing stakeholders vs shareholders. Lebih bisa bersabar untuk menunggu proses yang mungkin lebih birokratis dan juga belajar untuk memiliki bos/manajer,” kata Johnny.

Secara etika, pada umumnya semua kekayaan intelektual (IP) dan teknologi yang dikembangkan di startup sebelumnya tidak boleh dibawa ke startup yang baru, terutama apabila kedua startup bergerak di dalam vertikal yang sama dan jika startup tempat si pegawai bekerja sebelumnya masih sepenuhnya beroperasi. Hal ini dapat menimbulkan conflict of interest.

Biasanya para pegawai startup harus bersama-sama menyepakati NDA. Jika telah memiliki investor, hal serupa juga berlaku bagi startup founder dengan investor di startup tersebut.

“Apabila startup yang didirikan ternyata mengalami gagal dan founder startup kemudian bekerja di startup/perusahaan lainnya, kita harus perhatikan arrangement yang telah disepakati antara founder dengan investor yang tertuang dalam shareholders agreement. Intinya, pada saat pindah startup, baik pegawai maupun startup founder harus menghargai kekayaan intelektual (IP) dan pengetahuan yang diperoleh dari startup sebelumnya — dengan mengacu kepada kesepakatan yang tertuang dalam agreement antara si pegawai/founder dengan startup sebelumnya,” kata Calvin.

Hal senada diungkapkan Johnny. Banyak hal yang bersifat rahasia yang diketahui pendiri startup tersebut. Eetika bisnis yang tinggi harus diterapkan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

“Setiap perusahaan pasti memiliki NDA tersendiri untuk menjamin profesionalitas para pekerjanya, tidak terkecuali Tokopedia. Hal ini tentu harus dipatuhi setiap Nakama demi menjaga kelangsungan bisnis yang sehat,” kata Kevin.

Fenomena perpindahan pegawai

Saat ini perpindahan pegawai startup, dari satu tempat ke tempat lainnya sudah menjadi fenomena yang sering ditemui. Setiap individu memiliki tujuan masing-masing, termasuk dalam berkarier.

Mengingat membangun karier cenderung menghabiskan sebagian besar waktu seseorang, hal yang menjadi sangat penting adalah mencari perusahaan yang memang sejalan dengan tujuan hidup. Seiring berjalannya waktu, tujuan bisa saja berubah. Hal ini, menurut Kevin, dapat menjadi salah satu faktor kenapa seseorang berpindah perusahaan.

“Tujuan hidup saya saat ini sejalan dengan Tokopedia yang konsisten mendorong pemerataan ekonomi Indonesia melalui pemanfaatan teknologi bahkan di tengah pandemi. Maka saya bersama tim terus menghadirkan berbagai inisiatif yang dapat mengakselerasi terwujudnya misi besar tersebut,” kata Kevin.

Sementara, menurut Calvin, peran serta perusahaan dalam menghasilkan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat juga menjadi aspek pertimbangan karyawan untuk berkarya di perusahaan tersebut.

“Umumnya karyawan akan terus bertahan di sebuah perusahaan yang memberinya tantangan, kesempatan untuk belajar, dan semangat untuk terus berkembang. Di samping itu, talenta-talenta profesional saat ini sudah tidak hanya berorientasi pada benefit, namun juga pada bagaimana karyawan dapat berperan dan berkontribusi secara signifikan untuk kemajuan perusahaan dan masyarakat,” kata Calvin.

Understanding Fintech Challenges and Opportunities amid Recession

The impact of the Covid-19 pandemic has finally brought Indonesia officially into a row of countries experiencing a recession. The Central Bureau of Statistics (BPS) recorded a growth of minus 3.49 percent Gross Domestic Product (GDP) on an annual basis (Year-on-Year/YoY).

This condition claims an alert for all the business sectors in Indonesia, considering that not a few have been affected by Covid-19. Business people, large to small, have struggled to survive this situation over the past few months.

How do fintech players run business in times of recession? See in full the interesting explanation from CCO Payments of OVO Jaygan Fu Ponnudurai and Chief Risk of Asetku Jimmi Adhe Kharisma in the following #SelasaStartup session.

Trend for consumer behavior and business impact

Pandemic triggers changes in consumer behavior in transactions. This trend applies worldwide, including in Indonesia. For OVO and Asetku, shifting from offline to online has a positive and negative impact on their business.

Based on company data, Jaygan admitted that there was a significant increase in food ordering (Grab Food) and online shopping (Tokopedia). Because of this shift, consumers tend to be promo-centric and cost-centric.

“We do see a decline, but it’s not as bad as we thought. We are trying to reach [the target] that we have corrected. Currently, we see that people are getting used to [transacting online] during the pandemic,” he said.

Meanwhile, Asetku, who plays in P2P lending, admitted that he experienced an increase in Non-Performing Loans (NPL) as a result of business difficulties during the PSBB period. As of September 2020, the company noted that the NPL of My Assets increased to 8.27% from the average NPL before the pandemic of 1% -2%.

Jimmi even saw an increase in the number of lenders rather than borrowers on his platform. According to him, this happened due to several factors, such as changes in consumer behavior in shopping, a decline in the JCI, tightening borrower criteria, and government initiatives to restructure debt.

“We see that the demand for borrowers has increased, so we have tightened the criteria. In addition, consumer loans have also increased because of the shifting behavior. Consumers often shop online,” he said.

Mitigation act

With the current situation, business players have started to secure the business and keep the runway long by mitigating both in terms of cost efficiency and re-evaluating their future strategies.

Both Jaygan and Jimmi claim to be efficient in their business by cutting unnecessary costs. In the Asetku case, his party took mitigation steps according to the government’s initiative to restructure.

However, according to Jimmi, one thing that should be underlined is to continue to observe trends in existing consumer behavior. According to him, it is important to understand this so that the company can continue to channel and maybe even increase loans to existing borrowers.

Meanwhile, Jaygan assessed the importance of understanding consumers to maintain the relevance of his services in the future. His party even evaluated a number of collaborations with several partners because they became irrelevant during a pandemic, for example with malls.

“This is all about optimizing what we spend, the difficult thing is to grow revenue lines and stay relevant to our consumers, especially when the promo period ends. That’s why we build risk mitigation, it takes time being customer centric,” he said.

Opportunities for SMEs to drive cashless

On the other hand, the pandemic is recognized as a momentum to accelerate a cashless society, especially since there are still many people in Indonesia who depend on cash. One of the most highlighted segments of MSME players is considered to be the most affected by the pandemic.

For Jaygan, this situation is an opportunity to encourage the penetration of QRIS features throughout Indonesia through the MSME segment, such as merchants in the market. According to company data, there are OVO merchant partners from this segment that are affected.

“Before the pandemic, we acquired MSMEs in Indonesia, for example with Pujasera. Because many were affected by the pandemic, we tried to convert merchants from offline to online with Tokopedia and Grab so that their business would continue,” he said. Now he sees an increasing trend of additional users outside Java who have been identified as being cash centric.

Meanwhile, as mentioned earlier, said Jimmi, his party continues to strive to accommodate loans to the MSME segment, especially for merchants selling on e-commerce platforms that are partners.

“The SMEs loan is not large, around Rp. 5-15 million. With KYC, algorithms, and mitigation measures, we are trying to accommodate their loans because this segment is untouched by banks, ”he explained.

Recession: Challenge or Opportunity?

Personally, Jaygan considered that a recession due to a prolonged pandemic has become a kind of reality check in running a business. He learned to think carefully before executing something.

According to him, this could be a good implication or not in the future.
“If there was no reality check, we would have just spent, not necessarily we could come up with new products or think about new market segments,” said Jaygan.

Meanwhile, Jimmi did not see this recession as a brutal challenge for fintech players, but a learning moment to be able to sustain a business. Moreover, he said, Indonesia was not the first to face this situation. Indonesia experienced economic crises in 1998 and 2008.

“The definition of economy is very broad, of course this situation can be an opportunity to learn because we have experienced crises before,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memahami Tantangan dan Peluang Pelaku Fintech di Masa Resesi

Imbas pandemi Covid-19 akhirnya membawa Indonesia resmi masuk dalam deretan negara yang mengalami resesi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) minus 3,49 persen secara tahunan (Year-on-Year/YoY).

Kondisi ini otomatis menjadi red alert bagi sektor bisnis di Indonesia, mengingat tak sedikit yang terdampak dari Covid-19. Para pelaku bisnis berskala besar hingga kecil berupaya keras untuk bisa bertahan dari situasi ini selama beberapa bulan terakhir.

Bagaimana pelaku fintech menjalankan bisnis di situasi resesi? Simak selengkapnya paparan menarik dari CCO Payments of OVO Jaygan Fu Ponnudurai dan Chief Risk of Asetku Jimmi Adhe Kharisma pada sesi #SelasaStartup berikut ini.

Tren perilaku konsumen dan dampak bisnis

Pandemi memicu perubahan perilaku konsumen dalam bertransaksi. Tren ini terjadi di dunia, termasuk di Indonesia. Bagi OVO dan Asetku, shifting dari offline ke online memberikan dampak positif dan negatif terhadap bisnis mereka.

Berdasarkan data perusahaan, Jaygan mengaku ada peningkatan transaksi secara signifikan pada pemesanan makanan (Grab Food) dan belanja online (Tokopedia). Karena pergeseran ini, konsumen jadi cenderung menjadi promo-centric dan cost-centric.

We do see a decline, tapi belum separah yang kami kira. Kami lagi berupaya mencapai [target] yang sudah kami koreksi. Saat ini kami lihat orang-orang sudah mulai terbiasa [bertransaksi online] selama pandemi,” ujarnya.

Sementara Asetku yang bermain di P2P lending mengaku mengalami peningkatan Non Performing Loan (NPL) sebagai akibat dari kesulitan bisnis selama masa PSBB. Per September 2020, perusahaan mencatat NPL Asetku naik sampai 8,27% dari NPL rerata sebelum pandemi 1%-2%.

Jimmi bahkan melihat terjadinya peningkatan jumlah lender ketimbang borrower di platformnya. Menurutnya, hal ini terjadi karena beberapa faktor, seperti perubahan perilaku konsumen dalam berbelanja, penurunan IHSG, pengetatan kriteria peminjam, dan inisiatif pemerintah untuk melakukan restrukturisasi utang.

“Kami melihat demand borrower naik, maka itu kami perketat kriterianya. Selain itu, pinjaman konsumtif juga naik karena ada shifting behaviour. Konsumen jadi sering berbelanja online,” ungkapnya.

Melakukan langkah mitigasi

Dengan situasi saat ini, pelaku bisnis sudah mulai mengamankan bisnis dan menjaga runway tetap panjang dengan melakukan mitigasi, baik dari sisi efisiensi biaya hingga mengevaluasi kembali strateginya ke depan.

Baik Jaygan dan Jimmi mengaku melakukan efisiensi di bisnisnya dengan memangkas biaya yang tidak perlu. Pada kasus Asetku, pihaknya melakukan langkah mitigasi sesuai inisiatif pemerintah untuk melakukan restrukturisasi.

Namun, menurut Jimmi, salah satu yang patut digaris bawahi adalah terus mengamati tren perilaku konsumen existing. Menurutnya, penting untuk memahami hal tersebut agar perusahaan tetap bisa menyalurkan bahkan mungkin menaikkan pinjaman kepada borrower existing.

Sementara Jaygan menilai pentingnya memahami konsumen untuk menjaga relevansi layanannya di masa depan. Pihaknya bahkan mengevaluasi sejumlah kolaborasi dengan beberapa mitra karena menjadi tidak relevan selama pandemi, misalnya dengan mal.

“Ini semua tentang optimalisasi what we spend, yang sulit adalah grow revenue line dan stay relevant to our consumer, apalagi ketika masa promo berakhir. Makanya kami build risk mitigation, it takes time being customer centric,” ujarnya.

Peluang bagi UMKM dorong cashless

Di sisi lain, pandemi diakui menjadi momentum untuk mengakselerasi cashless society, apalagi saat ini masih banyak masyarakat di Indonesia yang bergantung pada uang tunai. Salah satu yang paling banyak disoroti adalah segmen pelaku UMKM yang dinilai paling terdampak dari pandemi.

Bagi Jaygan, situasi ini menjadi peluang untuk mendorong penetrasi fitur QRIS di seluruh Indonesia melalui segmen UMKM, seperti merchant di pasar. Menurut data perusahaan, ada mitra merchant OVO dari segmen tersebut yang terdampak.

“Sebelum pandemi, kami memang acquire UMKM di Indonesia, misalnya dengan Pujasera. Karena banyak yang terdampak dari pandemi, kami coba convert merchant dari offline ke online dengan Tokopedia dan Grab supaya bisnis mereka tetap lanjut,” tuturnya. Kini ia melihat ada tren peningkatan penambahan pengguna di luar Jawa yang selama ini diidentifikasikan masih cash centric.

Sementara sebagaimana disebutkan di awal, ungkap Jimmi, pihaknya terus berupaya untuk mengakomodasi pinjaman kepada segmen UMKM, terutama pada merchant yang berjualan di platform e-commerce yang menjadi mitranya.

“Pinjaman UMKM itu tidak besar berkisar Rp5-15 juta. Dengan KYC, algoritma, dan langkah mitigasi, kami coba mengakomodasi pinjaman mereka karena segmen ini kan tidak tersentuh bank,” jelasnya.

Resesi: tantangan atau peluang?

Secara personal, Jaygan menilai bahwa resesi akibat pandemi berkepanjangan menjadi semacam reality check dalam menjalankan bisnis. Ia mendapat pembelajaran untuk berpikir matang sebelum mengeksekusi sesuatu.

Menurutnya, ini dapat menjadi implikasi baik atau tidak di masa depan.
“Kalau tidak ada reality check, kami pasti spending begitu saja, belum tentu kami bisa come up dengan produk baru atau memikirkan segmen pasar baru,” tutur Jaygan.

Sementara Jimmi tidak melihat resesi ini sebagai tantangan brutal bagi pelaku fintech, melainkan momen pembelajaran untuk bisa mempertahankan bisnis. Terlebih, ungkapnya, Indonesia bukan baru sekali menghadapi situasi ini. Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi di 1998 dan 2008.

“Definisi ekonomi itu sangat luas, tentu situasi ini dapat menjadi peluang untuk belajar karena kita pernah mengalami krisis sebelumnya.” Tambahnya.

Survei Ipsos Soroti Tingkat Kepuasan Pengguna Terhadap Layanan Dompet Digital di E-commerce

ShopeePay, uang elektronik milik Shopee, disebut sebagai e-wallet dengan penetrasi terbesar selama tiga bulan terakhir. Sebuah survei menyebutkan bahwa ShopeePay memiliki pengguna dengan tingkat kepuasan tertinggi.

Survei berjudul “Kepuasan, Persepsi, dan Loyalitas Pengguna Dompet Digital di Indonesia” ini dilakukan oleh Ipsos in Indonesia. Dalam survei ini, Ipsos mengukur beberapa hal mengenai penggunaan dompet elektronik di Indonesia mulai dari penetrasi, frekuensi penggunaan, kepuasan, serta pengalaman pengguna.

Ipsos melakukan survei secara daring sejak 16 Oktober sampai 23 Oktober 2020. Sampel yang mereka gunakan mencapai seribu responden dari seluruh Indonesia dengan batasan menggunakan layanan dompet elektronik dan belanja di e-commerce dalam dua tahun terakhir.

Managing Director Ipsos in Indonesia Soeprapto Tan mengatakan, pihaknya melihat ada peningkatan penggunaan dompet elektronik secara signifikan di Indonesia sejak dua tahun terakhir. Peningkatan itu makin tinggi ketika pandemi Covid-19 melanda sehingga mengharuskan banyak orang beralih ke pembayaran non-tunai agar terhindar dari penularan virus. Ia menyebut setidaknya 44% penduduk Indonesia lebih sering memakai dompet elektronik selama pandemi.

“Berdasarkan hal tersebut, Ipsos in Indonesia berinisiatif untuk mengadakan survei lebih lanjut, untuk mengetahui merek dompet digital apa yang memiliki kepuasan, loyalitas, dan persepsi pengguna yang paling unggul,” jelas Soeprapto.

ShopeePay mendominasi

Survei Ipsos menemukan lima besar layanan e-wallet di Indonesia, yakni GoPay, Ovo, Dana, LinkAja, dan ShopeePay. Meski belum terlalu lama muncul, survei mendapati ShopeePay justru mendominasi di setiap aspek penggunaan dompet elektronik. Associate Project Director Ipsos in Indonesia Indah Tanip menjelaskan, dari aspek kepuasan terhadap merek e-wallet. ShopeePay menempati peringkat satu untuk kepuasan ini dengan skor 82%. Angka itu jauh melebihi pemain lain seperti Ovo (77%), Gopay (71%), Dana (69%), dan LinkAja (67%).

Menurut Indah ada beberapa faktor yang menyebabkan kepuasan pengguna ShopeePay lebih tinggi dari yang lain. Sejumlah faktor itu di antaranya adalah layanan yang mudah digunakan, mudah top up, waktu top up real time, dan banyaknya tawaran promosi saat menggunakannya.

“Terakhir ShopeePay ini selain bisa digunakan di toko online, mulai digunakan di banyak toko offline,” imbuh Indah.

Ipsos juga menyoroti aspek loyalitas pengguna dalam penggunaan dompet elektronik ini. Ipsos mengukur kesetiaan pelanggan ini memakai Net Promotor Score (NPS) guna memahami bagaimana loyalitas pengguna terhadap suatu merek dompet elektronik.

Country Service Line Leader Customer Experience, Channel Performance, and Observer Ipsos in Indonesia Andi Sukma, menjelaskan NPS ini bisa mengukur reaksi pengguna atas penggunaan layanan. Semakin puas dan setia pengguna, semakin besar kemungkinan mereka merekomendasikan produk tersebut ke orang lain. Sebaliknya, jika produk itu tidak memuaskan pengguna dan menimbulkan sentimen negatif, kecil kemungkinan produk itu akan direkomendasikan.

“Bayangkan ini terjadi di seorang yang tergolong influencer,” ucap Andi.

Dalam aspek ini, ShopeePay lagi-lagi unggul dibanding yang lain. Skor NPS ShopeePay berada di angka +42% dari 598 responden, Ovo +34% dari 684 responden, Gopay +28% dari 580 responden. Dana dan LinkAja menyusul di belakang.

“Semua pengguna sebenarnya setia dengan layanannya masing-masing. Akan tetapi ShopeePay punya skor NPS paling setia,” ujar Indah menambahkan.

Berkat pertumbuhan pesat Shopee

Melejitnya kepopuleran ShopeePay tentu saja tak lepas dari performa Shopee sebagai e-commerce. Bertahun-tahun bersaing ketat dengan pemain besar lain seperti Tokopedia dan Bukalapak, Shopee saat ini berhasil mengungguli kompetitornya itu.

Indah menjelaskan bahwa hal itu pula yang berhasil mengangkat ShopeePay dalam waktu singkat. Shopee memperoleh lisensi uang elektronik dari Bank Indonesia di akhir 2018. Layanan itu baru benar-benar optimal berjalan sepanjang tahun lalu.

Menurut Indah Shopee berhasil menggaet banyak pengguna karena bertebarnya harga promo yang hanya bisa digunakan dengan pembayaran ShopeePay. Contoh paling umum adalah gratis ongkir dengan ShopeePay. Selain itu Shopee juga dianggap cukup agresif dalam menggaet merchant offline agar memakai dompet elektronik mereka.

“Hal itu bisa meningkatkan trial rate, dari yang cuma coba-coba lalu malah ketagihan. Itu juga yang membuat mereka menjadi promoter,” terang Indah.

Survei Ipsos ini juga menyimpulkan bahwa ShopeePay adalah merek dompet elektronik dengan penetrasi penggunaan tertinggi selama tiga bulan terakhir dan paling sering digunakan pada Oktober lalu.

Application Information Will Show Up Here