Langkah Tepat Hadapi Ancaman Cyber Attack di Tengah Penerapan WFH

Masa pandemi covid-19 memberikan disrupsi besar terhadap operasional bisnis di hampir semua sektor. Remote working kini telah menjadi cara kerja baru yang diimplementasikan berbagai perusahaan, baik perusahaan berskala besar maupun kecil dan menengah.

Walau membantu perusahaan tetap menjalankan bisnisnya di kala pandemi, remote working sendiri di satu sisi juga dapat mendatangkan ancaman, terutama dari sisi keamanan data. Bekerja secara remote memungkinkan karyawan bekerja dengan koneksi dan server yang tidak terlindungi, sehingga ancaman yang datang dari ransomware dapat semakin meningkat.

Tingkat serangan ransomware yang terjadi di Indonesia sendiri cukup tinggi. Menurut laporan Emsisoft, Indonesia kini menduduki peringkat ke-4 sebagai negara yang paling banyak menerima serangan ransomware di dunia. Selain itu, Kaspersky juga melaporkan bahwa lebih dari 50% serangan ransomware di Indonesia menargetkan sektor bisnis.

Hal ini tentunya amat mengkhawatirkan. Mengingat mayoritas sektor bisnis di Indonesia saat ini juga sedang menerapkan kebijakan remote working yang di satu sisi mempercepat transformasi digital pada operasional perusahaannya. Hal tersebut membuat para pelaku bisnis cukup rentan terhadap serangan ransomware yang dapat merugikan perusahaan, bila suatu saat menyebabkan kehilangan ataupun kebocoran data penting.

Salah satu cara untuk menghindari ancaman-ancaman tersebut adalah dengan memiliki solusi backup data yang dapat diandalkan. Dengan memiliki backup data, perusahaan akan lebih siap dalam menghindari serangan ransomware. Bila suatu saat terjadi kerusakan atau kehilangan data, Anda dapat dengan cepat memulihkannya karena data cadangan telah disimpan di lokasi dan platform yang berbeda.

Meski begitu, memilih solusi backup data sendiri juga terkadang menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan. Mulai dari banyaknya platform berbeda yang harus dicadangkan, kerumitan operasionalnya, hingga biaya yang cukup mahal. Untuk itu, Anda harus mempertimbangkan solusi backup data yang terintegrasi dan juga anggaran penggunaan yang lebih ramah seperti NAS dan Active Backup for Business (ABB) dari Synology. Berikut beberapa alasan mengapa solusi backup data yang dihadirkan oleh Synology merupakan pilihan tepat yang dapat membantu mengamankan data penting perusahaan Anda:

1. Backup dan kelola data secara terpusat dan terintegrasi.

Salah satu tantangan utama dalam melakukan pencadangan data adalah terlalu banyaknya platform yang digunakan. Hal ini dapat terjadi karena umumnya solusi backup hanya menyediakan satu perangkat lunak untuk satu platform. Dengan menggunakan NAS dan software backup built-in Active Backup for Business, tim IT dapat perusahaan Anda dapat dengan mudah mencadangkan dan mengelola data secara terpusat dan terintegrasi, meski data tersebut tersebar di berbagai platform. Salah satu perusahaan yang telah memanfaatkan solusi backup ini adalah Shiseido Taiwan. Beberapa tahun lalu, Shiseido pernah dilanda serangan ransomware besar yang menyerang seluruh PC karyawannya. Setelah hal ini terjadi, mereka segera mencari solusi backup yang dapat melindungi PC karyawan serta data lainnya yang berada di virtual machine dan server Windows. Dengan menggunakan Active Backup for Business, mereka kini dapat memantau backup data dari 45 PC, 2 server, dan 77 mesin virtual sekaligus melalui satu antarmuka.

2. Operasional backup data yang mudah dan simpel.

Proses pencadangan dan pemulihan data yang rumit terkadang menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Belum lagi bila operasionalnya sulit dimengerti, sehingga perusahaan harus mempekerjakan tenaga tambahan untuk melakukan prosesnya. Kesulitan ini dapat diantisipasi dengan penggunaan Active Backup for Business. Dengan template yang sudah dikonfigurasi sebelumnya oleh IT admin, tim teknis dapat langsung menerapkannya untuk backup sekaligus, sehingga pencadangan dapat berjalan dengan mudah tanpa memakan banyak waktu

synology
Interface Active Backup for Business dari Synology

3. Biaya lisensi yang lebih hemat tanpa mengurangi fungsi produk.

Anggaran biasanya merupakan faktor terbesar dalam keputusan pembelian solusi teknologi perusahaan Anda. Keterbatasan anggaran seringkali membuat perusahaan mau tidak mau mencari solusi backup yang murah, meski tidak memiliki fungsi yang lengkap. Namun hal tersebut bukan menjadi halangan bila perusahaan menggunakan Active Backup for Business sebagai solusi datanya. Alih-alih memiliki biaya yang membengkak, Anda justru dapat melakukan penghematan anggaran. Contohnya TEKIRO Indonesia, yang dapat menghemat ratusan juta untuk biaya lisensi saat menggunakan Active Backup for Business untuk mem-backup lebih dari 170 PC dan 60 virtual machine di perusahaannya.

Salah satu produk dari Synology yang juga dapat membantu perusahaan Anda memiliki solusi backup yang tepat adalah Synology SA3600, sebuah rackmount server yang memiliki skalabilitas dan kinerja penyimpanan yang fleksibel. Selain itu, melalui dukungan sistem file Btrfs, produk ini juga dapat membantu perusahaan dalam mencegah kerusakan data dan mengurangi biaya pemeliharaan secara optimal.

synology
Synology SA3600, storage on-premise dengan performa tinggi

Dengan memiliki solusi backup data yang terintegrasi, mudah digunakan, serta menghemat anggaran, perusahaan Anda dapat meraih keuntungan maksimal dalam mencegah adanya kerusakan dan kebocoran data. Untuk mengetahui informasi lebih lanjut terkait bagaimana solusi backup data ini juga merupakan solusi bisnis yang penting dalam menghadapi situasi post-pandemi ini, Synology akan menyelenggarakan webinar bertajuk “Data & Technology Revolution in Post-Pandemic Era”. Webinar ini akan diselenggarakan pada hari Rabu, 4 November 2020 pukul 14.00-16.00 WIB.

Selain pengetahuan terkait solusi teknologi untuk bisnis dalam menghadapi situasi post-pandemi, Anda juga berkesempatan untuk memenangkan grand prize dan hadiah eksklusif menarik bagi peserta terpilih. Segera daftarkan diri Anda sekarang juga di  sy.to/ds3postpandemicwebinar.

Insta360 One X2 Hadir Membenahi Sejumlah Kekurangan Pendahulunya

Mengawali kiprahnya sebagai produsen aksesori kamera 360 derajat untuk smartphone, Insta360 telah berevolusi menjadi brand action cam yang sangat inovatif dalam kurun waktu yang cukup singkat. Kunci kesuksesannya, kalau menurut saya pribadi, adalah sinergi hardware dan software yang apik, kurang lebih seperti yang kita jumpai pada produk-produk DJI di kategori consumer drone.

Memasuki penghujung tahun 2020 ini, Insta360 punya satu persembahan baru, yakni Insta360 One X2. Sesuai namanya, ia merupakan penerus langsung dari Insta360 One X yang diluncurkan dua tahun silam. Fisiknya memang cukup identik, dengan wujud menyerupai balok kecil yang pipih dan bobot kurang dari 150 gram.

Tentu saja ada beberapa perubahan yang sudah diterapkan. Yang paling utama, seperti yang bisa kita lihat, adalah kehadiran layar sentuh yang dapat berfungsi sebagai viewfinder di salah satu sisinya, menggantikan layar indikator kecil yang terdapat pada pendahulunya.

Adanya layar semacam ini jelas bakal memudahkan kegiatan vlogging, apalagi mengingat pengguna dapat menggeser-geser tampilan preview-nya saat tengah merekam video 360 derajat. Kita patut berterima kasih kepada DJI selaku yang memulai tren ini, yang pada akhirnya juga ditiru oleh GoPro baru-baru ini.

Dua hal yang sebelumnya cukup sering dikeluhkan konsumen Insta360 One X adalah terkait ketahanan air dan kualitas audio yang dihasilkan. Kabar baiknya, dua hal itu tidak lagi menjadi problem buat One X2.

Berbekal sertifikasi IPX8, One X2 siap diajak menyelam sampai kedalaman 10 meter tanpa perlu bantuan casing sama sekali. Barulah untuk kegiatan diving yang lebih ekstrem, pengguna bisa membeli aksesori Dive Case dan membawanya sampai sedalam 45 meter.

Terkait kualitas audio, One X2 dilengkapi dengan empat buah mikrofon. Pengguna dibebaskan memilih antara merekam suara stereo dengan algoritma wind-reduction aktif, atau merekam suara ambisonic (multi-channel) guna mendapatkan pengalaman yang lebih immersive. Alternatifnya, pengguna juga dapat menyambungkan mikrofon eksternal menggunakan bantuan sebuah adaptor yang dijual terpisah.

Insta360 juga tidak lupa menyempurnakan daya tahan baterainya. Meski dimensinya tidak jauh berbeda, One X2 punya baterai berkapasitas lebih besar (1.630 mAh) yang diklaim sanggup bertahan hingga 80 menit perekaman di resolusi maksimumnya, alias 20 menit lebih lama dari sebelumnya. Baterainya ini tetap bisa dilepas-pasang, yang berarti pengguna bisa menyiapkan unit cadangan ketika hendak mengabadikan momen-momen spesial.

Beralih ke pembahasan mengenai performa, One X2 sanggup menciptakan video 360 derajat dengan resolusi maksimum 5,7K 30 fps, atau video standar dengan resolusi maksimum 1440p 50 fps. Meski kemampuan merekam videonya tidak berubah, Insta360 bilang teknologi penstabil gambar FlowState yang ada di One X2 sudah disempurnakan agar dapat semakin efektif menggantikan peran gimbal.

Secara total, ada empat mode perekaman yang One X2 tawarkan. Selain mode 360 dan mode standar tadi, terdapat juga mode yang dinamai MultiView, dan yang paling baru, InstaPano. Seperti yang bisa ditebak dari namanya, InstaPano memungkinkan pengguna untuk mengambil gambar panorama dengan satu kali klik saja ketimbang harus melakukan panning secara manual.

Namun kualitas gambar baru sebagian dari cerita utuh One X2, sebab ia turut mengunggulkan sederet fitur pintar yang siap menunjang kreativitas para penggunanya. Seperti sebelumnya, One X2 juga datang bersama aplikasi pendamping yang sanggup menyunting video secara otomatis, memilah-milah mana saja momen terbaik yang sempat terekam, dan dari perspektif mana momen tersebut kelihatan paling bagus.

Pada praktiknya, ini berarti pengguna tidak perlu menghadapkan kamera ke arah tertentu selagi merekam. Cukup tekan tombol record dan biarkan perangkat merekam video dari segala arah, lalu persilakan AI mengedit hasilnya menjadi sebuah video yang bisa langsung dibagikan ke media sosial. Berbagai template efek sinematik juga bisa ditambahkan dengan mudah pasca perekaman.

Insta360 pun tidak lupa memperbarui algoritma fitur tracking-nya sehingga One X2 dapat mengunci fokus pada subjek yang dipilih secara otomatis, entah itu manusia, binatang, atau objek-objek bergerak lainnya secara lebih baik lagi.

Saat ini Insta360 One X2 sudah dipasarkan seharga $430, atau $30 lebih mahal daripada harga perdana pendahulunya. Seperti yang saya bilang, Insta360 juga menawarkan sejumlah aksesori opsional buat One X2, mulai dari adaptor mikrofon, cover lensa, sampai unit docking fast charging yang bisa memuat hingga tiga modul baterai.

Menyimak Proses Pengembangan Wild Rift Dulu, Kini, dan Nanti.

Saya mewakili tim redaksi Hybrid.co.id kebetulan cukup beruntung untuk dapat mendengar cerita tersebut langsung dari dua orang yang memimpin pengembangan Wild Rift yaitu Brian Feeney (Riot Feralpony) selaku Design Director Wild Rift dan Michael Chow selaku Executive Producer Wild Rift.

Tanggal 15 Oktober 2019 lalu, Riot Games membuat banyak gamers terkejut pasca acara perayaan ulang tahun ke-10 Riot Games dan League of Legends. Pengumuman banyak game dengan berbagai genre menjadi hal yang mengejutkan dari Riot Games karena mereka diingat sebagai developer yang hanya fokus pada League of Legends saja selama 10 tahun terakhir. Dari jajaran game yang diumumkan, Wild Rift sebagai versi mobile League of Legends jadi yang paling ditunggu oleh gamers tanah air.

Rumor kehadiran League of Legends untuk platform mobile memang sudah lama simpang siur di komunitas. Sempat ada kabar angin yang mengatakan bahwa Tencent selaku pemilik sebagian saham Riot Games pernah meminta Riot Games membuatkan League of Legends untuk platform mobile beberapa tahun silam. Namun Riot Games tidak setuju dengan hal tersebut yang akhirnya membuahkan dua MOBA Mobile besutan Tencent sendiri yaitu Arena of Valor untuk pasar global dan Honor of Kings untuk pasar Tiongkok.

Pendek cerita, League of Legends Mobile (Wild Rift) yang telah lama didamba akhirnya hadir menjadi pengisi waktu luang di keseharian kita. Namun proses untuk menuju titik ini tidak pendek. Ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh tim developer Riot Games demi menyajikan Wild Rift ke muka publik.

 

Cerita Proses Pengembangan Wild Rift.

Apabila Anda adalah pemain yang berkali-kali protes karena merasa proses pengembangan Wild Rift terasa lambat, Anda harus ingat bahwa Riot Games adalah perusahaan pengembang game PC selama 10 tahun belakangan. “Tidak bisa dipungkiri bahwa kami adalah perusahaan game PC yang membuat, mengembangkan, serta membangun komunitas game PC. Kami juga tidak menyangkal bahwa kami cenderung lambat mengikuti tren di pasar game mobile,” jawab Brian Feeney menanggapi pendapat orang-orang soal lamanya proses perkembangan Wild Rift.

Lebih lanjut, Brian menceritakan bahwa dirinya dan tim sudah mengerjakan proyek Wild Rift sejak dari 3 tahun lalu. “Titah” pertama yang ia terima saat memulai proyek Wild Rift kurang lebih adalah, “Hey! Coba buat League of Legends untuk platform mobile dengan durasi permainan yang lebih pendek tapi ‘feelgameplay-nya harus sama seperti League versi PC,” cerita Brian seraya menirukan perintah yang ia terima ketika itu.

“Perintah tersebut terasa tidak masuk akal awalnya. Bagaimana cara membuat seperti apa yang diperintahkan tersebut?” Brian melanjutkan ceritanya seraya menggambarkan apa yang ada di kepalanya saat menerima titah tersebut.

“Namun pada akhirnya kami menjawab tantangan itu. Kami (Tim pengembang Wild Rift) putuskan untuk duduk bersama selama kurang lebih 3 bulan fokus membuat purwarupa Wild Rift seraya mencari tahu apakah kami benar bisa membuat seperti apa yang diminta.” Lanjut Brian menceritakan awal-awal pengembangan Wild Rift.

“Seiring waktu kami menemukan bahwa proses tersebut terasa sangat menyenangkan. Awalnya memang kami memang perlu meyakinkan diri lebih dulu. Tapi seiring proses berjalan kami akhirnya yakin bahwa membuat League of Legends di mobile tidak mustahil dan akan ditunggu-tunggu oleh kalian para gamers,” tutup Brian menceritakan kisah awal tim pengembang dalam membuat Wild Rift.

Brian lalu menjelaskan bagaimana proses pembuatan dari Wild Rift itu sendiri. Ia mengatakan bahwa salah satu alasan kenapa butuh proses lama untuk membuat Wild Rift adalah karena fokus mereka dalam merancang game-nya terlebih dahulu.

“Menurut saya salah satu alasan yang membuat pengembangan Wild Rift butuh proses lama karena fokus awal kami untuk merancang gameplay Wild Rift terlebih dahulu. Ketika memulai pengembangan Wild Rift, saya dan tim mengerahkan seluruh energi untuk memastikan bahwa gameplay, champion, dan semua aspek di dalam game terasa solid.”

Penjelasan Brian mungkin terasa abstrak tapi gambarannya mungkin seperti ini. Pertama, mengecilkan map League of Legends di PC untuk Wild Rift di mobile tidak sesederhana seperti resize foto yang tinggal drag saja. Mengecilkan map bisa berarti menata ulang tatak letak elemen permainan seperti Turret, Dragon, Baron, ataupun tata letak monster Jungle. Bahkan pada Announcement Trailer di atas, Anda bisa lihat sendiri Riot Games mengatakan ada proses “Rebuilt” untuk Wild Rift yang bisa berarti membuat semua elemen game dari ulang.

Kedua, memendekkan durasi permainan dari 25-35 menit menjadi sekitar 15-25 menit juga tidak mudah. Game designer harus memikirkan beberapa aspek. Salah satu contoh yang saya bayangkan adalah memikirkan berapa rasio tepat antara Hit Points Turret dengan damage yang diberikan Champion agar permainan bisa selesai pada durasi yang diperkirakan. Tentunya masih ada banyak elemen lain lagi yang harus dipikirkan ketika ingin memendekkan durasi permain selain dari sekadar rasio HP Turret dengan damage Champion.

Ketiga, menghadirkan Champion dari League of Legends PC ke Wild Rift juga tidak sesembarang copy-paste. Besaran damage dan cara pemain menggunakan skill Champion dengan virtual joystick harus dipikirkan kembali.

Tiga hal tersebut hanya berdasarkan gambaran dari apa yang saya pikirkan saja. Saya yakin bahwa masih ada banyak hal lain yang harus dipikirkan tim pengembang Riot Games saat membuat Wild Rift yang jadi alasan panjangnya durasi proses pengembangannya. Bahkan setelah rancangan pertama Wild Rift selesai dibuat, Brian bercerita bahwa mereka baru tersadar akan teringat akan masalah lain yang harus dihadapi setelahnya.

“Setelah rancangan gameplay Wild Rift selesai dan solid, kami baru teringat bahwa ada masalah lain yang harus diselesaikan seperti, bagaimana cara optimasi game di berbagai device di mobile? Bagaimana agar game ini bisa menjangkau pemain baru yang mungkin belum pernah main League of Legends sebelumnya? Jadi kami punya banyak sekali tantangan dan masalah yang harus dicari solusinya pasca rancangan pertama Wild Rift selesai.” Cerita Brian.

Setelah membahas proses pengembangan, kami lalu berbincang soal penyajian Champion di Wild Rift. Hal tersebut mungkin jadi salah satu pertanyaan yang ditanyakan oleh komunitas seperti, kapan Champion A atau B ada di Wild Rift? Kok Champion X sudah ada di Wild Rift tapi Champion Y tidak?

Menanggapi pertanyaan pertanyaan tersebut, Brian membuka jawaban dengan pernyataan bahwa Riot Games memang tidak berencana untuk membuat semua Champion di League of Legends ada di Wild Rift.

Kenapa begitu? Brian menjawab, “Champion di League of Legends (PC) ada banyak sekali. Kalau misalnya kami merilis 1 Champion setiap minggu di Wild Rift, maka akan butuh bertahun-tahun agar jumlah Champion di Wild Rift sama jumlahnya dengan Champion di League of Legends (PC).”

Lebih lanjut Brian lalu memberi penjabaran lebih lanjut, “fokus kami adalah menyajikan Champion yang bisa memenuhi kebutuhan beragam playstyle ataupun role yang dipilih oleh para player. Maka kalau Anda sadar, Champion di Wild Rift sebenarnya sangat beragam. Anda bisa melihat Champion populer seperti Lux, Jhin, ataupun Yasuo. Tapi di sisi lain Anda juga melihat Champion seperti Aurelian Sol, Gragas, ataupun Braum yang sebenarnya jarang dipakai tapi bisa memenuhi playstyle beberapa orang.”

Setelahnya, obrolan kami berlanjut ke pembahasan lokalisasi konten Wild Rift. Lokalisasi konten mungkin bisa dibilang sebagai salah satu spesialisasi Riot Games pada setiap game yang ia sajikan. Sebelum Wild Rift, VALORANT terbilang jadi contoh pertama atas usaha Riot melakukan lokalisasi. Kembali membahas Wild Rift, Michael Chow yang turut bergabung di tengah perbincangan kami lalu membahas alasan Riot Games atas usaha lokalisasi konten yang dilakukan.

Michael membuka jawaban dengan menjelaskan bahwa proses lokalisasi sebenarnya tidak mudah bahkan bagi pengembang game sebesar seperti Riot Games. “Tetapi itu (lokalisasi konten) adalah hal yang kami (Riot Games) garap secara serius. Kami ingin game yang kami buat menjadi sebuah game yang mendunia. Kami ingin semua pemain merasa seperti berada ‘di rumah sendiri’ saat memainkan game besutan kami,” ucap Michael.

“Proses ini membutuhkan komitmen khusus mengingat ada banyak bahasa, banyak negara, dan banyak dialek di dunia. Kami sadar proses tersebut tidaklah mudah namun kami di Riot Games mendedikasikan diri untuk bisa mencapai visi kami tersebut lewat kerja sama dengan berbagai rekan kami di berbagai belahan dunia,” lanjut Michael.

Brian lalu juga menambahkan bahwa lokalisasi bahasa menjadi salah satu hal yang masuk dalam proses pengembangan Wild Rift sejak awal. Brian dan tim pengembang Wild Rift sudah memastikan bahwa semua konten nantinya bisa dilokalisasi ke berbagai bahasa dengan mudah sejak dari awal pengembangan.

“Tim pengembang Wild Rift di Riot Games juga gamers. Kami tahu bagaimana perasaaan memainkan game tanpa kehadiran bahasa lokal yang membuat pengalaman bermain jadi terasa kurang lengkap. Perasaan tersebut menjadi salah satu motivasi serta alasan kenapa kami di Riot Games sangat peduli terhadap lokalisasi konten,” ucap Brian menambahkan.

Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Sedikit cuplikan lokalisasi konten ke bahasa Indonesia di Wild Rift. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Setelah bahasa lalu bagaimana dengan konten lokal lainnya seperti Champion atau mungkin Skin bertema lokal? Anda yang mengikuti perkembangan berita game mungkin tahu betul bagaimana banyak pengembang game mobile membuat konten lokal sebagai usaha menarik hati gamers Indonesia.

Mobile Legends: Bang Bang menghadirkan dua karakter Indonesia sebagai Hero yaitu Gatot Kaca dan Kadita (Nyi Roro Kidul). Arena of Valor tidak mau kalah dengan menghadirkan Wiro Sableng sebagai Hero. Free Fire juga jadi contoh lain yang menghadirkan Jota (Joe Taslim) sebagai karakter di dalam game.

Terkait hal tersebut Michael lalu menanggapi, “Anda bisa lihat sendiri bahwa Champion yang sudah ada di League of Legends/Wild Rift juga terinspirasi dari budaya lokal, seperti Ahri yang terinspirasi dari budaya Korea atau Akali yang terinspirasi dari budaya Jepang. Soal Champion lokal (Indonesia), saya tidak akan mengenyampingkan soal hal tersebut. Tetapi saya tidak menjanjikan dan cuma bisa mendorong Anda semua untuk menunjukkan kepada kami apabila punya ide/konsep Champion atau Skin yang berdasarkan dari budaya lokal (Indonesia). Buat kami terinspirasi untuk membuat Champion/Skin yang terinspirasi dari budaya lokal.”

 

Wild Rift Saat Ini dan Rencana Riot Games Untuk Nanti.

Fase closed-beta Wild Rift di wilayah Asia Tenggara sudah dimulai sejak 16 September 2020 lalu. Hampir kebanyakan elemen utama permainan Wild Rift berjalan dengan mulus pada saat tim redaksi Hybrid.co.id berkesempatan menjajal game tersebut pada fase closed-beta terbatas.

Tetapi ada satu masalah yang cukup esensial terjadi yaitu masalah optimasi server. Ketika mencoba Wild Rift untuk pertama kalinya, saya sempat mengalami kendala permainan berupa delay yang cukup terasa walau indikator ping/sinyal berwarna hijau.

Beberapa hari setelah itu, akses closed-beta diperbanyak dan ternyata pemain lain pun mengalami hal yang sama. Tanggal 8 Oktober 2020 Riot Games menambah akses beta untuk 2 negara lagi yaitu Korea Selatan dan Jepang.

Penambahan tersebut menambah masalah lagi bagi pemain. Penyebabnya adalah karena pemain Indonesia yang harusnya tersambung ke server SEA kadang malah dipaksa tersambung ke server Korea/Jepang. Dampak atas hal tersebut adalah delay menjadi semakin terasa sampai membuat permainan jadi tidak nyaman.

Banyak pemain sudah menyampaikan pendapat mereka terkait kondisi tersebut. Lalu bagaimana tanggapan Riot sendiri terkait masalah ini?

Michael menjelaskan bahwa sistem matchmaking di dalam Wild Rift mengutamakan 3 aspek. Aspek pertama adalah Match Quality (keseimbangan kemampuan rekan satu tim dan lawan yang dihadapi), kedua Queue Time atau waktu antrian matchmaking, dan ketiga adalah ping pemain. “Idealnya kami ingin pemain bisa mendapatkan yang terbaik dari 3 aspek tersebut,” ucap Michael.

“Mengingat Wild Rift masih dalam kondisi beta, maka kami masih dalam proses belajar untuk lebih optimasi server. Salah satu alasan kenapa cross-region matchmaking (SEA bertemu Korea/Jepang) bisa terjadi adalah karena jumlah pemain yang tergabung ke dalam matchmaking terbilang masih sedikit pada fase tersebut. Nantinya apabila game sudah masuk fase open-beta, maka akan ada lebih banyak pemain asal SEA yang mengantri untuk matchmaking. Semakin banyak yang melakukan matchmaking maka akan semakin mudah bagi kami untuk bisa memenuhi 3 aspek yang saya sebut barusan,” perjelas Michael.

Berikutnya adalah soal optimasi game terhadap perangkat. Wild Rift jadi ditunggu banyak gamers mobile karena kebutuhan spesifikasi minimum perangkat atas game tersebut yang cukup rendah.

Riot menjelaskan bahwa Anda cuma butuh smartphone 4-Core dan 1,5 Ghz CPU dengan RAM 1,5 GB jika ingin main di platform Android dan smartphone iPhone 7 jika ingin main di platform iOS. Terlepas dari spesifikasi yang dibutuhkan, pertanyaan berikutnya adalah platform mana yang akan jadi prioritas optimasi utama Riot Games?

Pertanyaan tersebut saya lontarkan mengingat game mobile kompetitif yang ada kini cenderung lebih teroptimasi di iOS daripada Android. Menjawab persoalan tersebut Michael lalu mengatakan, “satu hal yang bisa kami katakan adalah kami peduli dengan semua kalangan pemain. Sejauh ini fokus optimasi kami ada 2. Pertama adalah membuat Wild Rift semakin ringan dengan harapan pemain device low-end tetap bisa bersaing di dalam pertandingan. Kedua adalah terus meningkatkan performa grafis di tingkat atas supaya pemain yang menggunakan device high-end bisa menikmati grafis ciamik dengan performa terbaik.”

Hybrid.co.id - Foto Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id – Foto Oleh Akbar Priono

Setelah membicarakan optimasi, obrolan kami berlanjut kepada pembahasan basic gameplay Wild Rift. Belakangan komunitas Wild Rift sedang dipenuhi perdebatan terkait cara terbaik untuk bermain Wild Rift. Perdebatan tersebut terjadi karena ada dua cara main berbeda bertemu di dalam Wild Rift.

Pada satu sisi ada pemain dari League of Legends PC yang merasa formasi Top, Mid, Jungle, dan ADC/Support Duo adalah cara main terbaik di Wild Rift.

Sementara di sisi lain ada juga pemain Mobile Legends: Bang-bang yang merasa strategi Hypercarry adalah cara main terbaik di Wild Rift. Perdebatan kedua belah pihak ini seakan tidak ada habisnya karena masing-masing merasa diri mereka sendiri sebagai yang terbaik.

Lalu bagaimana pendapat dari Riot Games? Apa yang mereka pikirkan ketika merancang gameplay Wild Rift pada awalnya?

Kali ini giliran Brian yang menanggapi. “Pembahasan tersebut terbilang sebagai topik yang sangat mendalam. Kami dari divisi Design Team kadang juga berdebat soal hal tersebut selama berjam-jam. Menanggapi hal tersebut, pada satu sisi kami tidak ingin memaksa pemain untuk bermain dengan cara main tertentu. Namun patut diketahui bahwa Wild Rift pada dasarnya dirancang berdasarkan dari gameplay, posisi, serta role di League of Legends.”

“Sejak awal kami sudah menyampaikan bahwa kami membuat Wild Rift untuk para pemain League of Legends. Karena banyak pemain yang mengatakan kepada Riot Games bahwa mereka ingin dapat bermain League of Legends di mana saja. Berangkat dari hal tersebut maka kami membuat Wild Rift berdasarkan dari gameplay, posisi serta role yang ada di League of Legends. Walau demikian… Tetap ada ruang untuk eksperimen. Anda boleh coba strategi apapun yang Anda inginkan. Mungkin ‘eksperimen’ tersebut bisa membuat Anda senang karena berhasil atau sebal karena membuat kalah. Namun intinya adalah, komunitas pemain harus terus berevolusi, belajar untuk terus jadi lebih baik, dan belajar untuk menyesuaikan.” Brian menambahkan pendapatnya terkait hal tersebut.

Setelah membahas soal server, optimasi, dan gameplay dasar Wild Rift, perbincangan kami berlanjut membahas soal masa depan Wild Rift dan penambahan fitur yang jadi pertanyaan komunitas. Salah satu fitur yang juga dibicarakan komunitas adalah fitur Touch Control.

Wild Rift cukup diantisipasi para pemain dari game MOBA lain, tak terkecuali pemain Vainglory. Melihat pengembangan Wild Rift melibatkan ShinKaigan selaku juara dunia Vainglory pada masanya, apakah ada kemungkinan Wild Rift menyertakan Touch Control di masa depan?

https://twitter.com/wildrift/status/1318944391873011712

Menanggapi pertanyaan tersebut, Brian mengatakan bahwa Riot tidak punya rencana untuk menyematkan fitur Touch Control ke dalam Wild Rift. Brian menjelaskan bahwa alasan utama atas jawaban tersebut adalah karena akan ada masalah teknis yang rumit apabila Riot Games memutuskan untuk menyertakan dua jenis skema kontrol ke dalam satu game.

“Vainglory dikembangkan untuk menggunakan Touch Control. Sementara Wild Rift dikembangkan untuk menggunakan Virtual Joystick. Saya tertarik untuk mengeksplorasi kemungkinan penerapan Touch Control di Wild Rift walau sebenarnya cukup pesimis hal tersebut bisa jadi kenyataan,” Brian membuka pembahasan.

“Hal yang perlu diketahui adalah bahwa kehadiran dua jenis skema kontrol memberikan kerumitan teknis yang sangat tinggi kepada tim developer. Satu contohnya saja dari segi balancing. Jika ada dua jenis skema kontrol, maka kami harus melakukan kerja ekstra agar suatu champion atau elemen gameplay secara bisa balance untuk kedua jenis kontrol tersebut,” tukas Brian memberi gambaran teknis apabila Wild Rift menerapkan dua jenis skema kontrol.

Menutup pembahasan, kami lalu membahas soal fitur-fitur esports. Satu yang mungkin tak bisa dipungkiri adalah kenyataan bahwa MLBB terbilang jadi yang paling getol dalam menyematkan fitur yang relevan terhadap esports ke dalam game. MLBB mungkin bisa dibilang jadi yang pertama dalam menerapkan sistem streaming via in-game dan turnamen via in-game dalam ranah game platform mobile.

Brian kembali menanggapi pertanyaan ini. Ia mengatakan bahwa fitur-fitur tersebut adalah fitur yang memang direncanakan untuk ada di masa depan. Namun setelah itu Brian menjelaskan lebih lanjut soal pandangan developer Riot Games terhadap “esports game“.

“Strategi Riot Games terhadap esports sedari awal adalah dengan membuat sebuah game yang solid/bagus lebih dahulu. Jangan langsung menentukan sebuah game sebagai game esports karena kami melihat beberapa perusahaan yang gagal karena rencana tersebut. Pandangan kami adalah apabila sebuah game sudah solid dan ternyata ada banyak orang berdedikasi memainkan game tersebut, maka esports akan muncul sendiri secara alami nantinya,” tukas Brian memberi pandangannya.

“Terkait fitur yang disebut barusan, saya mewakili tim pengembang Riot Games ingin menyampaikan bahwa kami mungkin akan lebih membelakangkan hal tersebut. Tetapi alasannya adalah karena fokus utama kami jelang open-beta adalah untuk membuat Wild Rift sesolid mungkin agar pemain nyaman ketika bermain. Walau begitu, beberapa fitur seperti Replay Mode atau Spectator Mode sudah dalam proses pengembangan,” jawab Brian sembari menutup obrolan kami.

 

League of Legends: Wild Rift seharusnya sudah memasuki fase Open Beta pada saat artikel ini terbit. Bagaimana? Sudah cukup bahagia karena akhirnya bisa memainkan Wild Rift setelah penantian yang panjang? Puas dengan sajian gameplay hasil kerja keras tim pengembang dari Riot Games?

Menutup pembahasan ini saya ingin menyampaikan pesan untuk selalu mengingat peran serta kehadiran developer yang bekerja siang dan malam demi menciptakan game bagus yang kalian mainkan. Ketika suatu game lambat/lama proses perkembangannya, bukan berarti para developer tersebut sedang menunda-nunda pekerjaan atau sedang ngopi santai.

Jadilah penikmat game yang bijak. Jangan jadi penikmat game yang cuma bisa ngoceh di internet cuma gara-gara keburukan suatu game tapi abai dengan proses pembuatannya itu sendiri.

Achmad Zaky: to Achieve Something Big, One Must Dare to Dream Big

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Some people say entrepreneurship is like investing. It is often said that to be a successful investor, you have to think like a business owner. Technically it makes sense. Achmad Zaky is one of the inspirational stories of entrepreneurs who left his previous growth company to build a new venture in the tech investment landscape.

As a Founder & former CEO of Bukalapak, Zaky becomes one of the pioneers in the local e-commerce industry. Through his hard work, he managed to build an e-commerce site in 2010. After a decade of building and nurturing Bukalapak, he resigned as chief executive officer (CEO) of Bukalapak effective January 6, 2020. However, he is still an active advisor to the Board of Commissioners in the unicorn.

Zaky started Bukalapak with his hometown schoolmate, Nugroho Herucahyono. Before establishing Bukalapak, Zaky and Nugroho already had a company called Suitmedia. Being friends and partners for the past 20 years, they decided to set up another venture in the form of a VC fund, called init 6, currently deploying funds from their personal pockets, to invest in early-stage startups in Indonesia.

This is a profiling session with Achmad Zaky sharing his experience building ventures and insights on the tech startup and investment ecosystem in Indonesia.

After a decade of building and nurturing Bukalapak in the e-commerce vertical, you’ve recently entered the tech investment scene with Init 6. How does the VC life been treating you lately?

It is marvelous. I mean, in Bukalapak, we’re kind of single-minded. It’s all about e-commerce until the very technical aspect. In the VC industry, it is more horizontal, with all the industry potentials. Also, this industry is quite challenging, that is actually part of the reason I shifted from the e-commerce sector, to seek more challenges. It’s also been ten years and Bukalapak has grown this big, mature, and independent. In a parable way, I consider Bukalapak as my big-grown child, and in order to grow the ecosystem, I need to create a new venture. Not easy, but I’m refreshed now.

Init-6 team member
Achmad Zaky and Eduka’s team member. Eduka is Init 6’s first investment portfolio

Back in those days of Bukalapak, how do you feel about leaving your first-big-venture? How is it different from managing a company and VC?

It’s very difficult. I think this is what my parents feel as they sent me to college. However, when I see the Indonesian ecosystem, it’s clear that we need a more mature ecosystem. In order to reach that stage, there may have required more unicorns. With the existing ones, hopefully, the alumni including the founders can make another success story. It is for the sake of the young generation because they also need a role model.

Again, in the e-commerce area, it’s quite single-minded. Every day I go day by day move vertically to learn e-commerce to the technical aspect because I’m the founder. As an investor, it’s different to some degree. I savor the e-commerce sector very well, my ability expert on a specific industry. However, as investors, it’ll definitely not going to be just about one sector. I learned a lot for a while now, regarding the fintech sector, cloud computing, SaaS, as we recently invest in

In this tech investment landscape, I need to gain extensive insight from the industry.  Therefore, in terms of knowledge, it will not be as deep as when I was in e-commerce, but it’s absolutely fine. As an investor, I’m not expected to be Mr. Know-it-all. We have Founders who we believe have expertise in their field and we’ll take a perspective where they may lack, such as experience and network.

When you first started building this new venture, is it the same feeling like your first time in Bukalapak? Please do share a bit about the journey.

It all started with a dream. Nugroho and I have been friends since high school through university, it has been almost 20 years. Along the journey, we realized that we have a shared dream about how Indonesia can have lots of tech companies. As we noticed that the global war is all about technology, and Indonesia should drive the industry. The young generation must be able to compete in the future industry.

Zaky in his childhood figure
Zaky in his childhood figure

The world is now dominated by tech companies, while Indonesia still lacks those ventures. Also, we’re not to be complacent with all the achievements in Bukalapak by challenging ourselves. Can we create more unicorn in the next ten years? Then it becomes our personal challenge. If we can only create one unicorn in the last 10 years, hopefully, we can create more in the next span of ten years.

As good as it impacts the industry, it also affects the country positively. Especially with many young generations are motivated in being a player rather than just the end consumers. It is also our dream to cater to global demands with more Indonesian products. I’m not saying this is an easy task, it will be hard indeed, that is why we’re very thrilled. The biggest challenge is in front of us, to solve as many problems at a time. The way quite varies, it can be through another startup venture, but instead of doing something we’ve done previously, we tried to contribute to the same amount by supporting founders.

Zaky 2

init 6 is relatively new in the tech investment landscape. What is actually drives you to invest and what the key qualities you look for in a startup? What kind of VC do you want init-6 to be?

We are industry agnostic. In fact, we’ve been invested in 6 companies, and two of those are edtech. We seek for every industry, particularly in the most problematic area. Edtech is one of them but not the only one. This sector is lucrative and quite sexy for startups to disrupt and solve many problems.

In addition, when we invest in one, we’ll look for a founder with the capability and clean track record. Another extra point when the founder can grow the company with only a small amount of money. That’s the kind of founder we look for as if we’re looking at ourselves in the mirror.

However, as an expert, as I am in e-commerce sector, in my hypotheses, the sector has no longer become a problematic space. There are several unicorns that have done quite a good job of solving the problem. Except, when there is a sub-sector with quite an issue and sexy enough, we’ll consider to tap in.

Also, we’re kind of a typical executor investor. In other words, investors with more execution capability. It’s not the same as a venture builder, but we’re more than willing to help founders scale-up through collaboration and technical assistance. Indeed, exit becomes one of the goals, as it would also grow the ecosystem. That is also our goal for this venture. I think those are the key qualities we look for since we always want to keep things simple.

This is not an ideal situation for everyone. How Covid-19 affect your company and its portfolio? Given the situation that the venture debuts at the beginning of a crisis.

In fact, we saw this as an opportunity, when we first started at the time of the pandemic. The crisis becomes a natural screening, of what kind of startups worth invested and whatnot. Honestly, one of the reasons we launched this fund is due to pandemic Covid-19. We invest in early-stage startups to build a new way of life after Covid-19. We invest in great founders. We love technical founders with the passion to solve big problems. We understand their challenges and we are not afraid of getting our hands dirty in helping them.

The pandemic accelerates the digital era. People can’t go anywhere, even school must be held online, and digital becomes one and the most reliable tool. In terms of the founder, it is expected that founder quality will be improved, as the pandemic becomes a test. I called this venture a Covid University. Later, the Covid graduates will be very good in quality and mental. This is what we also encourage our portfolios. They are beyond ready to face this crisis with a number of anticipations. We believe this mental quality remains even after Covid-19, therefore, the company can achieve growth at all times.

Zaky 4

I noticed a few startup founders who eventually becoming an investor or create a VC fund. Do you consider this as some kind of level-up or do you have other insight?

The thing is, it is very important for ex-founder or those contributed to the development of the Indonesian tech startup landscape to stay active in the ecosystem.  We should perceive to grow our tech industry. There are many ways, which I personally decided in the form of a fund to back founders. Others might have their own channels, as long as they didn’t leave the ecosystem.

Some people can be very disappointed that they want to just stop and look for another industry, it is unfortunate for the ecosystem as if losing a small part of the brain. This is also what we’re trying to plant in the Indonesian culture. In Silicon Valley where the ecosystem has been mature, failure is common. In fact, people/founders who fail will have a better accumulation of knowledge. It is because they did what they’ve done and gained a lesson for the next venture.

In Indonesia, it is only natural to blame the founders. I think that’s the mindset/scene that our country needs to develop. There have to be more success stories from people who experience failure. That failure is not always a bad thing. Also, we, as founders also aware of the fact.

When the news spread of you leaving Bukalapak, there’s this plan about a foundation. What encourages you to do so? And how is it the foundation nowadays?

I mentioned supporting the young generation and create a foundation. In terms of supporting the young generation, it is through init 6. Moreover, Achmad Zaky Foundation is also quite active in supporting the education sector, such as building a school, providing scholarships. Honestly, this is partly because both my parents are teachers. They grant me a mandate to support Indonesia’s education sector, not limited to basic education, but also entrepreneurship skills and so on.

As an entrepreneur and investor, what can you say about the tech startup and investment landscape in Indonesia? In terms of founders, challenges, and projection.

There are two key factors, it is the seed and the environment. These are cross each other’s path, not in a black and white form. When we want to grow the seed, the land must be fertile, if we are to nurture, it’s the environment. There are people who are born with the gift of entrepreneurship, but I believe the success comes from above.

We, through our fund, will try to nurture as many startups with a little we have.  I’ve done my research, there are some countries with fertile land to grow startups. Indonesia indeed a leading environment in Southeast Asia, but not in the global competition. The indicator varies, from the high rate of a startup per capita, high exit rate compares to the less fertile land, also the numbers of startup employees. In the investment scene, when the exit rate is high, investors will be attracted, it will create more founders. This is quite a chicken and egg situation. Indonesia still a long way to go, and it starts with the investor and founders.

The cycle usually takes a decade, soon there will probably more exit news. I’ve been observing that Indonesia has quite a low exit rate with other countries in the same league, such as Israel and Berlin. In terms of the ecosystem, we have loads of homework. However, if we can be a leading market in Southeast Asia, why not upgrading the standard into a more global market. If we are to achieve big, we must dare to dream big.

It’s been over a decade you’ve been actively contributed to the ecosystem. During your journey, what is the most important lesson learned in the Indonesian tech industry?

To be honest, there are a lot of lessons learned. I’m here to speak as a startup founder because it’s still too early as an investor. As a founder, perseverance and experiment may be the most important practice I’ve learned in the startup industry. As a founder, we should never easily satisfied and always create innovations. Improve your standard growth by growth, and do not ever give up experimenting. I think that is also what has brought Bukalapak this far, innovation first.

The startup ecosystem is dynamic, it can be attached to a big space hypothetically, but uncertain. It’s not as simple as corporate launching a product. The market might not be ready, it requires an experiment and strong will. The startup is to bridge dreams with reality.

Andalin Dapat Pendanaan Baru, Startup Logistik Lokal Makin Diperhitungkan Investor

Pengembang platform smart logistic Andalin membukukan pendanaan baru yang dipimpin oleh BEENEXT. Access Ventures dan ATM Capital turut andil dalam putaran ini. Tidak disebutkan detail nominal pendanaan yang diberikan, namun disampaikan Andalin telah mengumpulkan total pendanaan $1,5 juta setara 22 miliar Rupiah.

Modal tambahan akan difokuskan untuk memperluas tim dan memperkuat layanan, targetnya dapat mengakuisisi lebih banyak klien dari perusahaan manufaktur dan distributor. Perluasan layanan di seluruh Indonesia juga akan jadi target selanjutnya.

Didirikan sejak tahun 2016 oleh Rifki Pratomo, Andalin banyak membantu bisnis untuk melakukan pengiriman ekspor-impor. Termasuk memiliki model B2B untuk membantu perusahaan pengiriman di Indonesia menemukan angkutan kargo yang terjangkau — menggunakan pesawat (Air Cargo & Air Courier) atau kapal laut (Full Container Load & Low Container Load).

Selain itu Andalin juga memiliki layanan supply chain. Di dalamnya termasuk jasa konsultan, kepengurusan bea cukai untuk ekspor-impor, dan asuransi kargo. Mereka juga sudah menjadi mitra resmi Alibaba di Indonesia, menjembatani kebutuhan pengusaha lokal untuk merangkul pasar internasional lewat platform Alibaba.

“Misi kami adalah merampingkan dan terus mengoptimalkan perdagangan internasional untuk bisnis di Indonesia, dimulai dengan logistik lintas batas,” kata Rifki.

Ia juga meyakini, bahwa di Indonesia sedang mengalami booming manufaktur, seperti yang terjadi di Tiongkok tiga dekade lalu. Tren ini dipercepat oleh perang dagang AS-Tiongkok yang mengakibatkan perusahaan merelokasi manufaktur dari Tiongkok ke negara-negara di Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia.

“Dengan membangun perusahaan pengiriman dengan teknologi modern, Andalin memiliki kemampuan untuk secara dinamis merampingkan solusi rantai pasokan internasional untuk klien kami,” imbuhnya.

Di Indonesia sendiri bisnis logistik cukup berkembang, didorong oleh banyak faktor. Selain perkembangan manufaktur, tren pertumbuhan bisnis e-commerce juga digadang-gadang menjadi faktor penyokong. Terlebih, banyak layanan dari dalam dan luar negeri yang menjamah pasar internasional. Di segmen ekspor-impor sendiri, Andalin tidak sendirian, beberapa pemain lain di area tersebut antara lain Expedito, Tera Logitic, dan Janio.

Ekosistem bisnis logistik di Indonesia data iInfografik per Maret 2019)
Ekosistem bisnis logistik di Indonesia data iInfografik per Maret 2019)

Pendanaan startup logistik

Pandemi justru seperti menjadi momentum bagi para startup logistik untuk memaksimalkan bisnis. Terbukti, sepanjang tahun ini sudah ada beberapa startup di bidang terkait yang mendapatkan pendanaan. Paling signifikan didapatkan Waresix melalui putaran seri B, jika ditotal secara keseluruhan perusahaan telah mengumpulkan pendanaan senilai $100 juta atau setara dengan 1,5 triliun Rupiah.

Startup Tahapan Nilai Investor
Andalin Seed BEENEXT, Access Ventures, ATM Capital
Waresix Series B EV Growth, Jungle Venture, SoftBank Ventures Asia, EMTEK Group, Pavilion Capital, Redbadge Pacific
Webtrace Seed Corin Capital, Prasetia Dwidharma, Astra Ventures
Shipper Series A $20 juta Prosus Ventures, Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, AC Ventures
GudangAda Series A $25,4 juta Sequoia India, Alpha JWC Ventures, Wavemaker Partners
Kargo Technologies Series A $31 juta Tenaya Capital, Sequoia India, Intudo Ventures, Amatil X, Agaeti Convergence Ventures, Alter Global, Mirae Asset Venture Investment
Waresix Series A $25,5 juta EV Growth, Jungle Ventures

Dibanding tahun lalu trennya meningkat, dari sisi kuantitas maupun nominal yang dibukukan. Dari catatan DailySocial, sepanjang 2019 ada 6 startup di bidang logistik yang mendapatkan pendanaan dari investor, sebagai berikut:

Startup Tahapan Nilai Investor
Kargo Technologies Seed $7,6 juta Sequoia India, 10100 Fund, Agaeti Ventures, Northstar Group, Intudo Ventures, Zhenfund, ATM Capital, Innoven Capital
Triplogic Seed East Ventures
Ritase Series A $8,5 juta Golden Gate Ventures, Jafco Asia, ZWC Partners, Insignia Ventures, Beenext, Skystar Capital, Mitsubishi Corporation
Waresix Series A $14,5 juta EV Growth, Sinarmas Digital Ventures, Jungle Ventures
Shipper Seed $5 juta Lightspeed Ventures, Floodgate Ventures, Insignia Ventures Partners, Convergence Ventures, Y Combinator
Finfleet Seri A $3,5 juta Kejora Ventures, XL Axiata, Gobi Ventures, Skystar Ventures, Asian Trust Capital

Mendiskusikan Minat Masyarakat Indonesia Berinvestasi Lewat Platform Online

Keunikan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia banyak menciptakan peluang baru bagi platform fintech lokal hingga asing. Mulai dari peer-to-peer lending, investasi reksa dana, hingga emas. Sampai saat ini masih besar peminatnya. Tercatat saat pandemi, investasi emas makin digandrungi oleh masyarakat. karena sifatnya yang stabil dan tentunya mudah untuk diakses hingga di jual-belikan.

Pandemi juga mendorong lebih banyak masyarakat untuk menabung. Dalam hal ini menurut Co-Founder Pluang Claudia Kolonas, di Indonesia persentasenya hanya 10% saja masyarakat Indonesia yang menyimpan uang mereka dalam tabungan. Dalam sesi #Selasastartup kali ini, DailySocial mengupas lebih jauh tentang risiko dan peluang untuk berinvestasi memanfaatkan platform fintech.

Fleksibilitas dan kemudahan

Sebagai platform yang menawarkan kemudahan untuk berinvestasi, Pluang sejak awal telah mengamati keunikan yang hanya ada di Indonesia. Yaitu pentingnya bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki kepercayaan, saat mereka berniat untuk berinvestasi. Salah satu produk investasi yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini adalah emas.

“Kenapa toko emas menjadi pilihan kebanyakan masyarakat Indonesia untuk menabung, yaitu menurut mereka, pemilik toko emas sudah dikenal dan tidak berubah banyak dari dulu hingga sekarang. Rasa kekeluargaan dan kepercayaan yang erat menjadi alasan utama mengapa mereka lebih senang berinvestasi di emas dan membeli langsung di toko emas,” kata Claudia.

Mengedepankan teknologi, Pluang ingin menjadi sumber yang terpercaya bagi semua kalangan, yang ingin berinvestasi di emas dengan mudah dan fleksibel. Dalam hal ini mereka berupaya untuk mendengarkan semua feedback dari pelanggan dan memiliki pilihan harga yang stabil. Berbeda jika membeli emas secara konvensional.

“Selama ini kita menawarkan investasi emas karena ingin menawarkan produk investasi yang mudah dipahami. Namun ke depannya kami mau menambah produk lain, seperti reksa dana dan kripto tapi masih menunggu izin dari regulator terkait,” pungkas Claudia kepada DailySocial.

Kolaborasi membantu edukasi

Salah satu kunci sukses Pluang melakukan edukasi adalah, dengan memanfaatkan kolaborasi strategis dengan berbagai mitra ternama di Indonesia. Mulai dari Gojek melalui GoInvetasi, Dana, Lazada dan Bukalapak, dimanfaatkan benar oleh Pluang untuk menjangkau lebih banyak target pengguna yang dimiliki oleh masing-masing mitra.

Selama pandemi, Pluang juga mengklaim mengalami pertumbuhan yang positif. Gaya hidup yang mulai shifting ke online selama pandemi, semakin memudahkan lebih banyak pengguna untuk mengakses dan pada akhirnya berinvestasi dalam platform.

“Jika sebelumnya mereka sudah terbiasa melakukan transaksi di dompet digital seperti Gopay, Dana, dan Ovo, hal tersebut sudah membuka mata mereka tentang teknologi. Dan harapannya bukan hanya pengguna yang melek teknologi yang memiliki minat untuk berinvestasi secara online, namun juga semua kalangan,” kata Claudia.

Secara umum kebanyakan pengguna yang mendaftarkan diri untuk berinvestasi di Pluang adalah mereka para pemula. Meskipun secara jumlah 30% pengguna berasal dari gabungan kalangan milenial dan gen-Z, namun 70% pengguna Pluang adalah mereka usia matang, yang sudah terbiasa untuk berinvestasi dan sangat familiar dengan emas hingga produk investasi lainnya.

“Dengan produk dan pilihan yang ada, kami juga memiliki target untuk bisa menjangkau lebih banyak kalangan milenial berinvestasi emas. Yang selalu kami tekankan adalah, investasi emas merupakan kebiasaan yang sudah banyak diterapkan bukan hanya di Indonesia, namun juga secara global,” kata Claudia.

Dirinya menambahkan, para hedge fund di Amerika Serikat contohnya, banyak yang menyisihkan uangnya untuk berinvestasi dalam emas. Komitmen itulah yang dicoba untuk disampaikan oleh Pluang kepada berbagai kalangan, khususnya generasi muda.

“Pada akhirnya platform fintech seperti Pluang dan lainnya ingin memudahkan dan tentunya meringankan biaya yang harus dikeluarkan pengguna saat berinvestasi. Dengan demikian akan lebih banyak lagi masyarakat yang tertarik untuk menabung dan berinvestasi, bukan hanya kepada emas, namun juga reksa dana dan produk lainnya,” kata Claudia.

Application Information Will Show Up Here

Bos Xbox: Semua Karya Xbox Game Studios Akan Tersedia di PC

November ini, perang console next-gen akan resmi dimulai dengan diluncurkannya PlayStation 5 dan Xbox Series X. Terakhir peristiwa serupa terjadi adalah di bulan November 2013, tepatnya ketika PlayStation 4 dan Xbox One juga dirilis hampir bersamaan.

Definisi “perang console” sendiri menurut saya sudah bergeser menjadi “perang game eksklusif”. Pasalnya, kalau kita lihat dari sisi teknis, PlayStation 5 dan Xbox Series X punya spesifikasi yang tidak begitu jauh berbeda, dan keduanya pun sama-sama menjanjikan kualitas grafik next-gen yang kurang lebih sama, dengan dukungan resolusi maksimum 8K atau 4K 120 fps.

Buat saya, memilih console next-gen apa yang harus saya beli sama saja dengan memilih game apa yang ingin saya mainkan. Kalau saya suka game balapan, berarti saya tinggal memilih apakah saya lebih tertarik memainkan Gran Turismo 7 (PS5) atau Forza Motorsport (Xbox Series X). Kira-kira begitu pola pertimbangan paling sederhananya.

Di kubu Sony, definisi eksklusif sendiri sangat jelas: sebagian besar game yang dibuat oleh studio internal mereka (yang berada di bawah naungan PlayStation Studios) hanya bisa dimainkan di PlayStation 5. Namun di kubu Microsoft, definisinya terbilang abu-abu, sebab seperti yang kita tahu, mayoritas game bikinan anak-anak perusahaan Xbox Game Studios dalam beberapa tahun terakhir ini juga tersedia di PC.

Microsoft xCloud (Xbox Game Pass)

Ke depannya, Phil Spencer selaku petinggi Xbox malah memastikan bahwa semua karya studio internal mereka juga akan hadir di PC. Pernyataan ini disampaikan dalam wawancaranya bersama Gamereactor, dan beliau turut mengonfirmasi bahwa ketersediaan di PC ini bukan cuma melalui Microsoft Store, melainkan juga Steam.

Bagi Microsoft, eksklusif bukan berarti mereka harus memaksa konsumen untuk membeli sebuah console Xbox. Di titik ini, Xbox sendiri bisa kita anggap sebagai sebuah ekosistem, dan kebetulan ekosistem tersebut dapat diakses dari berbagai macam perangkat; dari PC atau dari perangkat Android dengan bantuan layanan xCloud (Xbox Game Pass).

Merujuk kembali pada logika “membeli console berdasarkan katalog game eksklusifnya” saya tadi, mudah sekali muncul pertanyaan: “Mengapa saya harus membeli Xbox Series X kalau memang koleksi game-nya bakal bisa dimainkan lewat PC atau perangkat Android?”

Jawabannya adalah timing. Phil memang tidak menjelaskan secara merinci, akan tetapi beliau ada menyinggung soal timing dalam wawancaranya, dan yang saya tangkap, bisa jadi beberapa game eksklusifnya akan hadir lebih dulu di Xbox Series X sebelum akhirnya menyusul ke PC dan xCloud. Kalau ditambah dengan faktor lain seperti kepraktisan atau harga, seharusnya bakal semakin jelas mengapa masih ada orang yang mau membeli console Xbox ketimbang PC.

Via: PC Gamer.

Efektivitas Pivot Bisnis Tiga Startup di Masa Pandemi

Pivot bisnis bukanlah hal baru bagi startup. Biasanya, aksi ini diambil apabila sebuah bisnis sulit maju alias tidak berkembang. Dalam situasi pandemi Covid-19, tak sedikit startup melakukan pivot. Ini bukan karena bisnisnya tak berkembang, tetapi terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan bisnisnya.

Pandemi menghajar telak segala sektor bisnis, terutama sektor penerbangan, pariwisata, dan hospitality. Alhasil, startup yang banyak menggantungkan pendapatan utamanya dari sektor tersebut terpaksa harus memikirkan ulang bisnisnya dan mengambil langkah baru.

Delapan bulan sudah berjalan sejak Covid-19 mewabah di Indonesia. DailySocial mewawancarai tiga CEO tiga startup Indonesia mengenai realisasi dan efektivitas pivot bisnisnya di masa pandemi.

Riset pasar sebelum pivot

Sebelum bicara efektivitas dan realisasi, melakukan pivot harus disertai kesiapan yang matang terhadap target pasar dan model bisnis yang akan dijajaki. Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Kedai Sayur, Medigo, dan Izy mengaku melakukan riset dan survei pasar terlebih dahulu.

Perlu diketahui, ketiga startup tersebut sama-sama bermain di segmen Business-to-Business (B2B). Yang berbeda, baik Izy dan Kedai Sayur memutuskan pivot ke B2C karena pandemi. Sementara, Medigo yang pivot-nya yang direncanakan sejak 2019 justru eksekusinya terdampak karena pandemi.

Model bisnis Izy sangat bersinggungan dengan hospitality di mana pihaknya menyediakan digitalisasi layanan untuk mendorong peningkatan konsumsi tamu hotel dan akomodasi lewat platform. Contohnya room service dan laundry.

Izy mulai pivot sejak April 2020 setelah melakukan riset pasar secara sederhana dengan beberapa klien dan pihak terkait untuk memperoleh masukan awal. Dengan model bisnis yang sama, Izy membuka pasar baru dengan merambah ritel modern dan permukiman residensial.

Sementara Kedai Sayur yang awalnya melayani B2B, seperti tukang sayur, cafe, dan restoran, mau tak mau masuk ke segmen B2C atau end user. Pembatasan sosial mengakibatkan penurunan transaksi pengunjung di restoran dan cafe sehingga pengelola harus menurunkan volume pesanan bahan makanan.

“Di sini kami riset pasar untuk menentukan perilaku konsumen, kebutuhan produk segar yang diminati, dan bagaimana lifestyle-nya. Ini karena perilaku konsumen B2C dan B2B berbeda,” ungkap Co-Founder dan CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto.

Di kasus Medigo, semula platform ini berupaya menghubungkan seluruh ekosistem di industri kesehatan dari hulu ke hilir dengan Rumah Sakit (RS) sebagai pendekatan awal.

Mengingat birokrasi RS yang mengharuskan proses integrasi yang panjang, Medigo akhirnya pivot dengan fokus pada pengelolaan klinik saja. Pada Desember 2019, Medigo membangun Klinik Pintar dan meresmikannya pada Februari 2020.

“Ketika kami kembangkan clinic management system di awal 2019, memang ada lebih dari 300 klinik yang daftar. Hanya saja usage-nya masih kecil. Di sini kami mulai riset dan survei ke klinik untuk tahu apa masalahnya. Apa teknologi jadi masalah utama atau ada hal lain yang belum bisa diselesaikan?,” ujar Co-Founder dan CEO Medigo Indonesia Harya Bimo.

Dalam perjalanannya, Medigo menemui kesulitan dalam mengeksekusi pivot. Klinik Pintar dijalankan dengan dua model bisnis, yakni membangun sendiri dan berkolaborasi dengan klinik existing. Masalah muncul ketika pandemi melanda.

“Ketika kami mau membangun Klinik Pintar kedua, situasi tidak memungkinkan karena modelnya harus monitoring, renovasi, di mana perlu high touch. Sementara, kami harus low touch karena saat itu ada pembatasan sosial. Di sini kami memikirkan ulang strategi pivot dan model partnership kami,” tutur pria yang karib disapa Bimo ini.

Realisasi pivot selama pandemi

Sekitar hampir delapan bulan terhitung sejak pandemi mewabah di Indonesia, ketiga startup di atas mengungkapkan telah menuai hasil atau respon positif dari layanan baru yang mereka tawarkan ke pasar.

Meski pivot ini bersifat sementara, Co-Founder dan CEO Izy Gerry Mangentang mengaku sudah berhasil mengantongi pendapatan. Meskipun demikian, pihaknya belum dapat membagikan lebih rinci terkait kenaikan pendapatan tersebut karena berkaitan dengan data internal dengan mitranya.

“Untuk core product/service, kami akan tetap akan sama seperti sebelumnya, yakni fokus di industri hotel. Akan tetapi pivoting ini akan sangat berguna untuk kedepannya bisa melengkapi platform dan ekosistem Izy,” ucapnya.

Sementara Kedai Sayur mencatat kenaikan penjualan dengan permintaan lebih dari 50 persen pasca masuk ke segmen B2C. Menurut Adrian, permintaan terus meningkat karena semakin hari masyarakat semakin terbiasa membeli bahan makanan, sayur mayur, dan buah-buahan melalui online.

Selain penjualan, ungkap Adrian, perusahaan juga mencatatkan respons positif lainnya. Misalnya, jumlah keluhan pelanggan Kedai Sayur terus menurun setiap bulan, lalu diikuti peningkatan engagement traffic dan penambahan pengguna baru melalui media sosial. “Untuk menjaga kepuasan dan loyalitas konsumen, kami mempercepat proses pengiriman dari H+2 menjadi H+1,” jelasnya.

Medigo yang masuk ke rantai suplai klinik juga mencatatkan peningkatan signifikan. Di awal masa pembatasan sosial, pihaknya belum langsung menuai kenaikan bisnis karena pada periode tersebut masyarakat cenderung takut ke RS atau klinik.

Namun, layanannya mulai mengalami kenaikan dengan puncaknya pada Mei naik hingga empat kali lipat dibandingkan April. Ia mengklaim sejak Mei hingga saat ini, kenaikannya sudah melebihi empat kali lipat. “Bahkan kami sudah memiliki margin yang sehat setiap bulan. Jadi, pendapatan kami lebih tinggi dari burn rate kami,” katanya.

Efektivitas dan metrik yang digunakan

Dengan mengoptimalkan teknologi, operasional, dan model bisnis yang tepat, baik Medigo, Izy, dan Kedai Sayur mengungkap bahwa pivot ini berjalan efektif. Meskipun demikian, tetap perlu ada ruang perbaikan ke depannya.

Dalam mengukur efektivitas pivot, Adrian menyebutkan bahwa pihaknya tak hanya mengandalkan metrik traction atau jumlah transaksi semata. Pihaknya berupaya memaksimalkan Customer Relationship Management (CM) dengan memanfaatkan data berkualitas untuk mendapatkan prospek bisnis lebih baik.

Sebelumnya, Adrian pernah menyebutkan bahwa data memegang peranan penting dalam membaca sebuah tren atau fenomena di era digital. Dalam konteks pandemi, Adrian menyebutkan data dapat memperlihatkan tren permintaan pesanan atau harga produk di area tertentu.

“Tantangan terbesar pivot ke B2C adalah effort yang besar dalam membawa [nama] brand ke masyarakat lebih luas dengan karakteristik beragam. Maka itu, kami sangat memperhatikan detail yang dapat jadi pembaruan berarti untuk meningkatkan layanan kami ke depan,”

Kendati demikian, tambah Bimo, pihaknya tidak berpatok pada metrik sales saja untuk mengukur efektivitas pivot ini. Sejak awal berdiri, Medigo telah menetapkan interactivity di ekosistem healthcare sebagai “North Star Metric”-nya. Artinya metrik ini menjadi inti pertumbuhan bisnis utamanya.

Pivot kami sangat efektif karena tidak hanya terukur dari commercial saja, tetapi juga non-commercial. Percuma kalau non-commercial bagus, tetapi tidak bisa dimonetisasi karena model bisnis belum mendukung. Setelah pivot, [metrik non-commercial] interaksi di platform kami naik luar biasa,” tambah Bimo.

Menurutnya, keberhasilan pivot ini dapat terjaga apabila metrik keduanya dapat saling berjalan. “Kami kelola banyak klinik di mana rekam medis pasien tersimpan di sistem kami. Jika satu RS bisa handle 900 pasien per hari, kami bisa pegang 60 klinik dengan masing-masing 100 pasien per hari. Ini jadi ‘North Star Metric’ kami untuk mendorong interaksi healthcare stakeholder,” tutupnya.

Adaptasi Startup Lewati Pandemi: Tidak Hanya Bertahan, Tetapi Juga Berkembang

Masa pandemi ini merupakan masa-masa yang sulit bagi para startup, tanpa terkecuali. Hal-hal  yang terjadi sepanjang tahun ini mungkin sangat berbeda dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Mau tidak mau, startup harus menyusun ulang rencana bisnisnya dan segera beradaptasi dengan cepat. Agility kini menjadi kunci utama bagi startup untuk mempertahankan bisnisnya.

Adaptasi yang lebih cepat ini di satu sisi sebenarnya memang dibutuhkan oleh berbagai jenis perusahaan, terutama sektor-sektor bisnis yang secara langsung terdampak oleh pandemi seperti pariwisata, retail, entertainment, serta food and beverages. Para pelaku bisnis di sektor ini kini adu cepat untuk mengadopsi transformasi digital, agar dapat tetap terhubung dengan pelanggan karena bisnis mereka belum pulih seutuhnya. Selain itu, sektor pendidikan dan kesehatan juga kini telah menggunakan berbagai solusi digital yang belum pernah digunakan sebelumnya.

Lewat adaptasi ini, masa pandemi juga bisa dimanfaatkan oleh para startup di sektor manapun untuk mencari peluang dari mitra maupun konsumen baru. Produk ataupun fitur baru yang hadir dari proses adaptasi startup tersebut dapat menjadi senjata utama bagi startup untuk mempertahankan bisnisnya, terutama bila inovasi yang dihadirkan dapat menjawab tantangan baru yang hadir setelah pandemi. Fitur baru ini, dapat hadir dalam bentuk penambahan dan peningkatan layanan ataupun sebagai bentuk pivot untuk mencari peluang di area bisnis yang belum dijangkau sebelumnya. Kesempatan ini juga didukung oleh meningkatnya penggunaan layanan digital oleh para konsumen secara umum. Kebiasaan baru dalam berinteraksi dengan layanan digital ini juga dapat dimanfaatkan oleh para startup untuk menghadirkan pengalaman penggunaan produk dan layanannya secara digital.

Akan tetapi, bertindak agile dan bergerak cepat sebenarnya hanyalah langkah awal. Di tengah situasi sulit, startup juga harus bisa mencari cara untuk melakukan efisiensi anggaran, mencari peluang bisnis baru, dan memastikan sumber daya manusianya tetap terus mengembangkan keterampilan baru. Bila hal-hal tersebut dilakukan dengan baik, startup tersebut mungkin tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga berkembang dalam kondisi new normal ini.

Cloud Sebagai Solusi Efektif dan Efisien Ciptakan Peluang Baru

Hal tersebut juga dilihat oleh Amazon Web Services (AWS) sebagai challenge yang dapat dijawab oleh para startup melalui produk-produknya. AWS memungkinkan penggunanya  untuk memiliki sumber daya teknologi yang dibutuhkan. Salah satunya membuat startup dapat menggunakan ratusan hingga ribuan server hanya dalam hitungan menit. Kemudahan cloud ini dapat membantu startup yang ingin bereksperimen dengan ide-ide baru selama pandemi ini. Selain hanya perlu membayar fitur cloud yang digunakan (pay-as-you-go), serta jika percobaan ide bisnis baru tersebut gagal, dapat dibatalkan dengan mudah, tanpa perlu khawatir risiko pengeluaran yang membengkak.

Salah satu startup Indonesia yang merespon perubahan kondisi bisnisnya menggunakan solusi cloud dari AWS adalah Halodoc. Contohnya Halodoc, startup healthtech yang merespon perubahan kondisi bisnisnya bersama AWS. Selama COVID-19, Halodoc bekerja sama dengan lebih dari 20 rumah sakit di Jabodetabek dan Karawang, Jawa Barat. Kolaborasi ini memungkinkan penggunanya untuk pemesanan tes COVID-19 lewat aplikasi.

Halodoc sendiri telah menggunakan beberapa layanan AWS, seperti Amazon EC2 Reserved Instances, Amazon RDS, Amazon S3, Amazon CloudFront, Amazon Route 53, dan AWS Lambda. Hasilnya, sejauh ini Halodoc berhasil melakukan penghematan anggaran IT sebesar 20-30%. Penghematan ini didapat dari sistem pembayaran pay-as-you-go yang dimiliki AWS sehingga mereka dapat mengatur anggaran dalam menggunakan produk cloud dengan lebih efektif. Selain itu, Halodoc juga berhasil meluncurkan fitur aplikasi baru yang 30% lebih cepat dari versi sebelumnya, sehingga dapat meningkatkan waktu respons pasien-dokter di dalam aplikasinya.

Ikut Bantu Startup Berkembang lewat Berbagai Kegiatan

Selain melalui produk dan layanannya, AWS juga turut aktif untuk membantu para startup dalam mengembangkan bisnisnya selama pandemi ini. Contohnya kursus online AWS Training and Certification, AWS Innovate conferences, AWS Builders Online Series, serta program akselerasi baru yang bekerja sama dengan DailySocial.id, yaitu DSLaunchpad 2.0. Program DSLaunchpad 2.0 ini juga menjadi salah satu upaya AWS dan DailySocial.id untuk membantu startup dalam mengakselerasi idenya melalui mentoring bersama para expert secara intensif selama empat minggu penuh.

dslaunchpad
Para expert yang akan menjadi mentor pada DSLaunchpad 2.0

Dengan memiliki mindset agile, startup dapat beradaptasi dengan lebih cepat bila terjadi perubahan yang memberikan dampak pada bisnisnya. Namun, selain dengan menggunakan produk yang mendukung agility-nya, para founders juga harus dapat memanfaatkan peluang dalam meningkatkan kapabilitas tim dan startupnya. Sehingga startup tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga terus berkembang meski harus melewati banyak tantangan di masa pandemi ini.

—-

Artikel asli ditulis oleh Gaurav Arora, Head of Startup Ecosystem, Asia Pacific-Japan, Amazon Web Services. Ditulis dalam bahasa Inggris, serta diterjemahkan dan diolah kembali oleh Ilham Sanjaya.

Ambisi Localio Bangun Platform Marketplace untuk Bisnis Kuliner Rumahan

Sudah bukan pengetahuan baru bahwa kegiatan rumah tangga selama pandemi berlangsung jadi lebih sibuk dari hari normal. Kegiatan masak-memasak salah satu yang paling dominan. Tolok ukurnya dari jumlah bisnis kuliner rumahan yang bertambah signifikan di masa pandemi. Localio mencoba menangkap peruntungan dari tren tersebut.

Localio adalah startup digital yang baru berdiri pada Juli kemarin. Perusahaan rintisan ini didirikan oleh Andry Suhaili, Sebastian Wijaya, Donald D. Kusumo, dan Handoko Kusumo sebagai marketplace bisnis kuliner rumahan. Meski sekilas tak berbeda dengan platform GoFood dan GrabFood, mereka bersikeras bisnis Localio berbeda. Salah satunya kelokalan produk mereka.

“Pada dasarnya Localio itu marketplace homemade lokal, membantu UMKM bertemu komunitasnya,” ujar Andry yang berperan sebagai CEO.

Ide awal dari Localio bermula dari keluarga Andry yang berniat menjual masakan rumahan mereka namun kesulitan untuk menemukan ceruk pasar yang luas. Untuk masuk ke platform seperti GoFood atau GrabFood pun menurut Andry cukup sulit karena perlu antre cukup lama.

Berangkat dari masalah itu, ia dan teman-temannya membuat riset tentang kesulitan yang dialami bisnis kuliner rumahan. Setelahnya mereka menemukan sejumlah masalah serupa termasuk kesulitan bisnis rumahan tersebut dalam memasarkan dan belum ada satu platform yang mewadahi mereka.

Segmentasi produk

Andry mengakui bahwa sudah ada platform lain seperti GoFood, GrabFood, serta e-commerce lain yang bisa dipakai bisnis kuliner rumahan. Namun menurutnya platform di atas belum begitu sesuai dengan kebutuhan bisnis rumahan. Dengan Localio, Andry mengatakan pihaknya dapat membantu bisnis rumahan mulai dari promosi, menjaring pelanggan, pelatihan bisnis online, hingga pemilihan kurir.

Oleh karena target pengguna mereka adalah bisnis mikro bahkan ultra mikro, Localio tidak mengenakan biaya kepada penjual yang bergabung. Mereka juga tidak mencari keuntungan dengan menerapkan komisi.

“Kita memang tidak tidak ambil komisi, tapi kami lihat peluangnya di infrastruktur, misalnya dengan supplier,” imbuh Andry.

Yang dimaksud infrastruktur oleh Andry adalah ekosistem yang sedang Localio bangun. Andry memaparkan ada tiga pilar utama yang akan menjadi ekosistem Localio, yaitu fulfillment, keuangan, jasa konsultasi dan iklan. Iklan termasuk model bisnis mereka yang sudah berjalan saat ini.

Fulfillment yang dimaksud termasuk rantai suplai yang menghubungkan penjual ke vendor bahan pangan, pengantaran, serta penyediaan dapur satelit. Perihal rantai suplai ini, mereka menyebutnya LocaSupply, masih dalam proses. Andry menyebut pihaknya berencana menggandeng Wahyoo untuk produk tersebut.

Yang cukup menarik di opsi pengantaran. Andry mengatakan bahwa mereka menyiapkan pilihan kurir menggunakan sepeda, otoped, dan pejalan kaki. Opsi pejalan kaki muncul karena jarak pengantaran makanan di Localio tadinya cuma 3 kilometer. Di samping pilihan kurir tadi, mereka juga menggandeng Gojek dan Help sebagai opsi tambahan.

“Model bisnis kami yang sudah jalan itu Live Streaming, LocaAds, dan delivery.”

Target dan rencana bisnis

Localio memulai bisnisnya di lingkup yang relatif kecil. Mereka memulai bisnisnya dengan menggaet penjual di wilayah Tanjung Duren, Jakarta Barat. Lalu menggaet bisnis rumahan lain di wilayah Kelapa Gading, Pluit, PIK, Sunter, hingga Pasar Minggu.

CTO Sebastian Wijaya mengatakan, pihaknya pun kini sudah memiliki sejumlah penjual yang tersebar di luar kota seperti Sidoarjo dan Medan. Namun untuk saat ini mereka masih akan berfokus untuk memperluas jangkauannya di wilayah Jabodetabek. Sementara hingga Desember nanti mereka setidaknya menargetkan bisa ekspansi hingga ke Bandung, Surabaya, Bali, dan Singapura. Mereka memilih Singapura karena menurut mereka kondisi bisnis kuliner rumahan di sana juga sedang meningkat, ditambah Sebastian yang sedang bermukim di sana.

Selain ekspansi, Localio juga berencana menggaet koki profesional yang diberhentikan dari tempat kerjanya selama pandemi untuk bergabung ke platform mereka. Nantinya para koki tersebut akan diwadahi ke dalam kanal tersendiri.

Sampai pertengahan Oktober, Localio sudah berhasil meraih 1000 penjual. Mereka menargetkan dapat meraih 4000 penjual hingga akhir tahun dengan ekspansi yang telah mereka rencanakan. Target pertumbuhan itu nantinya juga akan dipakai untuk menarik minat para investor. Saat ini modal di Localio masih di fase bootstrap dengan tambahan modal dari Win Ventures.

“Ke depan kami ingin membentuk ekosistem usaha rumahan. Secara keseluruhan kami ingin jadi platform yang menghubungkan UMKM lokal, mempromosikannya dari bisnis makanan yang tidak terkenal menjadi pemain global hingga ekspor ke luar negeri,” pungkas Andry.

Application Information Will Show Up Here