Shopee Jadi Marketplace Berikutnya yang Miliki Produk PayLater

Shopee memperkenalkan fitur pembayaran kartu kredit digital teranyar yang dinamai Shopee PayLater. Fitur ini sudah digulirkan sejak Maret 2019, namun masih dalam tahap beta dan belum diperkenalkan secara resmi. Pihak Shopee belum bersedia memberikan tanggapannya ketika dihubungi oleh DailySocial.

Shopee menyediakan fitur PayLater ini dengan menggandeng pemain p2p lending bernama PT Lentera Dana Nusantara (LDN). Perusahaan ini sudah beroperasi sejak 2018 dan pada awal tahun ini resmi mengantongi surat tanda terdaftar dari OJK.

Belum diketahui apakah ada keterlibatan kepemilikan di LDN oleh Shopee atau sekadar kerja sama eksklusif. Di situs, LDN menyebutkan Shopee PayLater adalah produk p2p lending yang dikelolanya.

Sama seperti fitur PayLater di situs marketplace lainnya. Shopee PayLater dapat digunakan untuk seluruh pembayaran di dalam platform Shopee, kecuali kategori Voucher dan Produk Digital.

Untuk mengaktifkan fitur ini, pengguna bisa mengakses menu tab Saya > Shopee PayLater di aplikasi, kemudian mengunggah foto diri beserta KTP. Dalam hitungan menit hasil verifikasi akan keluar.

Bila diterima, limit pinjaman pertama yang diberikan adalah Rp750 ribu yang dapat dibayar H-30 tanpa bunga atau mencicil selama 2-3 bulan dengan biaya 2,95%.

Rincian tagihan akan muncul tiap tanggal 25 dan pembayaran paling lambat tanggal 5 pada bulan berikutnya. Bila terlambat akan dikenakan denda 5% per bulan dari total tagihan.

Di situs LDN dipaparkan statistik Shopee PayLater. Total akumulasi pinjaman yang telah disalurkan ke Shopee PayLater sebesar Rp88,3 miliar. Peminjamnya mencapai 102.971 orang, dengan 81.423 orang adalah peminjam aktif.

LDN juga membuka kesempatan konsumen menjadi pemberi pinjaman (lender). Seluruh prosesnya dilakukan melalui situsnya. Setelah lolos verifikasi, lender dapat memilih peminjam Shopee yang sesuai dengan profil risiko yang diinginkan. Lender dapat menyetor dana melalui Virtual Account.

Tren memiliki produk sendiri dengan embel-embel PayLater kini dilirik para pemain e-commerce. Selain Shopee, telah lebih dulu ada Tokopedia dengan Ovo menyediakan Ovo PayLater, Traveloka PayLater menggaet Danamas, dan Bukalapak merilis BayarNanti bekerja sama dengan Julo.

Kehadiran fitur PayLater makin memperkuat persaingan antar pemain dalam menggaet kebutuhan pengguna yang kini ingin serba instan dan mudah.

Application Information Will Show Up Here

Mirae Asset Capital Is Said to Contribute to Kredivo’s Series C Round

Kredivo, an online lending platform with no collateral (KTA), today (11/15) announced to secure funding from Mirae Asset Capital with an undisclosed amount. Based on DealStreetAsia‘s statement, this is still a part of the ongoing Series C round. As previously reported, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) and MDI Ventures have started this round last July.

FinAccel (Kredivo’s parent company) team avoids leaking any information to DailySocial.

The Series C funding aims to strengthen its business in Indonesia and create a new market share in the Philippines. The expansion plan has rumored since last year after they raised Series B investment worth of 435 billion Rupiah.

In early September 2019, the company led by Akhsay Garg also announced to receive debt funding/debt financing from Partners for Growth V, L.P (PFG) worth of 283 billion Rupiah. The smooth distribution cannot be separated from its business growth in Indonesia. Kredivo’s Commissioner, Umang Rustagi said during the last 18 months, their transactions have increased by 40%.

Regarding the expansion plan, Kredivo’s Co-Founder, Alie Tan said the Philippines was appointed due to similar market characteristics with Indonesia. In fact, the name Kredivo will also be used in there. In addition, there are two more countries for business expansion, Singapore and Thailand.

Although it’s a different LP, Mirae Asset used to participate in the previous rounds involving Indonesian startups. The recent one is Bukalapak and HappyFresh – they secured funding from Mirae Asset-Naver Asia GrowthFund, Mirae’s managed funds with Korea-Japan tech company, Naver.

In Indonesia, Kredivo competes with Akulaku. Earlier this year, Akulaku is reportedly raised Series D funding worth of 1.4 trillion Rupiah led by Ant Financial, a fintech company under the giant retail Alibaba Group.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

 

Mirae Asset Capital Dikabarkan Terlibat di Putaran Pendanaan Seri C Kredivo

Kredivo, startup pengembang layanan kredit tanpa agunan (KTA) online, hari ini (15/11) dikabarkan telah mengamankan pendanaan dari Mirae Asset Capital dengan nilai yang tidak disebutkan. Menurut pemberitaan DealStreetAsia, ini masih termasuk dalam putaran seri C yang tengah digalang. Seperti diberitakan sebelumnya, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dan MDI Ventures telah membuka putaran ini pada Juli 2019 lalu.

Kepada DailySocial, pihak FinAccel (induk perusahaan Kredivo) masih enggan memberikan tanggapan.

Pendanaan seri C digalang FinAccel untuk menguatkan bisnisnya di Indonesia dan membuka pangsa pasar baru di Filipina. Rencana ekspansi ini memang sudah disampaikan sejak akhir tahun lalu, pasca membukukan investasi seri B senilai 435 miliar Rupiah.

Awal September 2019 lalu, perusahaan yang dinahkodai oleh Akshay Garg juga mengumumkan perolehan debt funding/debt financing dari Partners for Growth V, L.P (PFG) senilai 283 miliar Rupiah. Lancarnya penambahan modal ke Kredivo tidak terlepas dari pertumbuhan bisnisnya di Indonesia. Dalam sebuah kesempatan Komisioner Kredivo Umang Rustagi mengatakan selama 18 bulan terakhir transaksi meningkat 40%.

Terkait rencana ekspansi, Co-Founder Kredivo Alie Tan menyampaikan, pemilihan Filipina tidak terlepas dari karakteristik pasar yang mirip dengan Indonesia. Bahkan merek “Kredivo” juga akan digunakan di sana. Selain itu, ada dua negara lainnya yang sudah dipertimbangkan untuk perluasan bisnis, yakni Singapura dan Thailand.

Kendati bersama LP berbeda, nama Mirae Asset sendiri sebelumnya sudah terdengar di beberapa putaran investasi yang melibatkan startup di Indonesia. Salah satunya pada penggalangan dana terbaru Bukalapak dan HappyFresh — mereka mendapatkan pendanaan dari Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund, dana kelolaan Mirae dan perusahaan teknologi Korea-Jepang Naver.

Di Indonesia, layanan Kredivo bersaing langsung bersama Akulaku. Awal tahun ini Akulaku dikabarkan memperoleh pendanaan seri D senilai 1,4 triliun Rupiah yang dipimpin oleh Ant Financial, perusahaan teknologi finansial di bawah naungan raksasa ritel Alibaba Group.

Application Information Will Show Up Here

KoinWorks Rampungkan Akuisisi Pengembang Piranti Lunak di Yogyakarta

KoinWorks telah merampungkan akuisisi penuh pengembang piranti lunak di Yogyakarta dengan nilai yang tidak disebutkan. Seluruh talenta dari perusahaan tersebut dilebur menjadi tim engineering untuk KoinWorks — prosesnya dikenal dengan istilah acquihire.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono menerangkan akusisi ini telah rampung sekitar dua bulan lalu. Sejak saat itu, perusahaan tersebut telah dilebur sepenuhnya dengan KoinWorks.

“Sudah jalan, ada kantor barunya di Yogya. Mereka fungsinya untuk full engineering saja, suasananya dibuat ‘kampus banget’ sehingga bisa bekerja dengan rileks,” terang dia, saat ditemui di NextICorn International Summit 2019, Kamis (14/11).

Ada 40 tambahan talenta engineering dari sana. Hanya saja, ia enggan menyebut nama perusahaan yang ia akuisisi dengan alasan sensitif.

Dia beralasan mengakuisisi perusahaan tersebut, lantaran memiliki talenta yang cukup baik. Terlebih internal KoinWorks sendiri memang tengah memperkuat jajaran tim.

Sebelumnya, Benedicto sudah menyampaikan rencana akuisisi ini pada awal tahun pasca mengantongi pendanaan Seri A+ dari Quona Capital. Kala itu misinya untuk pengembangan pusat R&D.

Selain perkuat tim engineering, perusahaan sedang menambah tim baru untuk level menengah ke atas untuk produk dan legal compliance. KoinWorks saat ini memiliki sekitar 200 karyawan, berada di Jakarta dan Yogyakarta.

Awal bulan ini, KoinWorks mengumumkan perolehan tambahan pendanaan Seri B dan Seri B2 senilai SG$18,5 juta (setara 190 miliar Rupiah) dari Saison Capital, fund khusus yang dibentuk Credit Saison. Pendanaan ini menjadikan perusahaan portofolio pertama dari Saison Capital di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Startup Fintech Syariah Alami Bukukan Pendanaan 20 Miliar Rupiah

PT Alami Teknologi Sharia Group (Alami) berhasil mengantongi pendanaan terbaru dalam putaran seed. Investasi dipimpin oleh Golden Gate Ventures dengan keterlibatan RHL Ventures, Agaeti Ventures, dan Aamir Rahim melalui Zelda Crown.

“Karena ini masih MoU kami belum bisa disclose jumlahnya, tapi nilainya di atas 20 miliar Rupiah,” ujar Founder & CEO Alami Dima Djani dalam acara 6th Indonesia Sharia Economic Festival.

Dima mengatakan, dana segar tersebut seluruhnya akan dipakai untuk pengembangan teknologi, optimasi operasional, dan pemasaran produk. Seperti yang diketahui, Alami menyediakan produk keuangan berbasis syariah.

Alami sendiri fokus sebagai platform p2p lending untuk pelaku usaha kecil menengah (UKM) sebagai pasarnya. Namun dengan pendanaan baru ini, Alami membuka kemungkinan untuk merambah permodalan bagi pelaku usaha yang lebih kecil.

“Saat ini kita masih fokus di UKM tapi justru dengan pendanaan ini akan eksplorasi produk-produk baru salah satunya mungkin masuk ke pendanaan mikro,” imbuh Dima.

Langkah lain yang akan diambil oleh Alami adalah mengembangkan kembali layanan agregator mereka. Dalam riwayat Alami, layanan agregator diperkenalkan lebih dulu dengan tujuan memudahkan UKM mendapatkan pinjaman dari institusi keuangan syariah.

Selain itu Dima juga menuturkan, seluruh proses pendanaan dilakukan secara syariah, sehingga diklaim sebagai kesepakatan pendanaan berbasis syariah dengan modal ventura yang pertama di Asia Tenggara.

Dima melihat faktor keterbukaan masih luput sebagai pertimbangan para pelaku bisnis syariah di dalam negeri. Ia mencontohkan bagaimana bisnis syariah sulit berkembang karena begitu selektif dengan investor yang ingin bekerja sama.

“Karena pada akhirnya Islam itu kan untuk semuanya. Siapa saja yang mau, asalkan ikut struktur syariah kita OK,” tutur Dima.

Alami mengklaim sudah menyalurkan pembiayaan sekitar Rp50 miliar di periode Mei-Oktober 2019. Jumlah pemberi dana yang bergabung dengan sekitar 1.500 orang. Dengan pendanaan baru ini, Alami berharap dapat mengembangkan layanannya untuk setahun ke depan.

Kredit Pintar Ekspansi ke Filipina dengan Merek Dagang Atome

Startup fintech lending Kredit Pintar rambah pasar Filipina dengan merek dagang (brand) Atome untuk mereplikasi solusi atas isu yang sama dengan kondisi di Indonesia.

Kepada DailySocial, CEO Kredit Pintar Wisely Wijaya belum bersedia memberikan komentarnya terkait ini. Kendati, mengutip dari Kontan, Wisely sempat sesumbar soal ekspansinya ini.

Menurutnya, Filipina memiliki karakteristik yang sama dengan Indonesia, baik dari sisi inklusi keuangan hingga risiko yang dihadapi. Alhasil, melihat dari situsnya, produk yang ditawarkan tidak jauh berbeda, memberikan payday loan dan paylater.

Nominal pinjaman untuk payday loan yang diberikan antara PHP1.000-PHP10.000 (setara Rp270 ribu-Rp2,7 juta). Pilihan tenor yang disediakan 90-120 hari dengan bunga mulai dari 0,14%-0,8% per harinya.

Seluruh prosedurnya dilakukan secara online, melalui aplikasi. Persyaratan untuk calon nasabah adalah pekerja tetap dengan rentang usia 18-55 tahun, memiliki identitas resmi, menggunakan smartphone Android, dan memiliki rekening bank atau GCash (pemain e-wallet terbesar di Filipina).

Mengutip dari situs resminya, Atome adalah brand dari Neuroncredit Financing Company Inc., didirikan pada akhir 2018 di Filipina. Dia adalah anak usaha dari Neuroncredit Pte. Ltd. yang beroperasi di Singapura sejak 2015.

Seluruh perusahaan di bawah Neuroncredit, termasuk Kredit Pintar, menggunakan teknologi yang dibangun oleh perusahaan fintech asal Tiongkok Advance.ai untuk mempercepat pemrosesan pinjaman yang lebih cepat dan lebih baik.

Awalnya, Neuroncredit memakai brand Kredit Pintar PH saat masuk ke Filipina. Namun pada awal 2019 diubah menjadi Atome, brand yang sama dipakai Neuroncredit untuk operasionalnya di Singapura.

Atome Filipina terintegrasi dengan biro kredit milik pemerintah Filipina, Credit Information Corporation (CIC) dan masuk ke dalam asosiasi fintech di sana.

Mengutip dari platform global marketplace loan Mintos, tidak hanya Filipina, Kredit Pintar juga mengincar pasar Vietnam dan India untuk diversifikasi produk dan geografis yang jauh lebih besar.

Beberapa jajaran investor dari Kredit Pintar diantaranya GSR Ventures, Vision Plus Capital, Provident Capital, dan Northstar Group.

Bisnis Kredit Pintar di Indonesia

Saat ini perusahaan mulai menggarap pinjaman produktif, selain pinjaman konsumtif, dengan perpanjang tenor dari awal perilisan 2 bulan menjadi 12 bulan. “Kami ingin pengguna kami upgrade layanan keuangan yang lebih baik, dari sisi bunga, plafon, dan dari sisi tenor pinjaman,” terang Wisely, pekan lalu (7/11).

Dia mengakui, produk dengan tenor panjang cenderung berisiko lebih tinggi, tapi dia yakin perusahaan dapat terus menekan risikonya. Pasalnya, dengan total peminjam di Kredit Pintar berjumlah 1,8 juta orang, menjadi bank data untuk memilah profil risiko dari rendah sampai tertinggi.

Dari situ perusahaan bisa menerapkan risk based pricing sehingga risikonya bisa minimalisir. “Kami hanya memberikan pinjaman ke risiko yang terendah.”

Pinjaman produktif saat ini porsinya 20% terhadap total portofolio di Kredit Pintar. Perusahaan akan terus mendorong kontribusi dari bisnis ini, namun dengan catatan seleksi yang ketat.

“Yang mengajukan ke kami lebih banyak, tetapi setelah melalui proses underwriting dan analisis risiko, kami hanya menerima sebagian. Kebanyakan yang kami tolak adalah percobaan fraud.”

Diklaim total pinjaman yang sudah disalurkan Kredit Pintar dari Januari hingga November 2019 mencapai Rp7 triliun. Perusahaan meyakini dapat mencapai target Rp10 triliun pada akhir tahun 2019.

Application Information Will Show Up Here

Skema “Supply Chain Financing” Jadi Fokus Bisnis Crowdo, Danai Pembelian Pasokan Barang untuk UKM

Startup fintech lending Crowdo baru-baru ini memperkenalkan skema pembiayaan baru untuk membantu UKM di bidang perdagangan. Melalui produk Supply Chain Financing (SFC), platform fokus membiayai kebutuhan pasokan barang dagangan dari pemasok (supplier).

Melalui pendekatan baru tersebut, perusahaan miliki misi untuk menyederhanakan rantai transaksi antara UKM dengan pemasok, dinilai akan memberikan efisiensi dari sisi bisnis dan nilai transaksi.

Dalam rilisnya COO Crowdo Ikram Jeihan menjelaskan, pada dasarnya SCF memungkinkan UKM yang bertindak sebagai pembeli untuk memperpanjang jangka waktu pembayaran kepada pemasok. Di beberapa skenario bisnis dengan keterbatasan, barang diterima lebih dulu untuk dijual, lalu hasil penjualan digunakan untuk membayar harga pokok barang.

Permasalahannya kadang pemasok menjadi sulit untuk mengelola arus kas (cashflow) jika terlalu banyak yang membeli barang secara kredit. Crowdo hadir di sini, menjembatani dengan solusi pembiayaan/pinjaman bisnis kepada UKM.

“Pemasok tidak perlu takut dengan arus kas mereka, karena akan mendapatkan pembayaran lebih awal. Pemasok juga dapat menggunakan fitur faktur atau tagihan yang ada di Crowdo, sehingga memperoleh akses ke yang mereka lebih cepat. Diharapkan menjadi win-win solution,” terang Jeihan.

Menurut pihak Crowdo, skema tersebut juga sudah sesuai dengan Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) yang diluncurkan oleh asosiasi beberapa waktu lalu.

Jeihan mengatakan, potensi SCF sangat besar di Indonesia, sehingga dapat dioptimalkan untuk meningkatkan distribusi dana investasi. Dari data yang disampaikan, setiap tahun ada kesenjangan pembiayaan untuk UKM hingga 1.000 triliun Rupiah.

“SCF memiliki keunggulan dibandingkan dengan produk (permodalan) lain karena proses analisis telah disederhanakan dengan tidak mengurangi prinsip prudent (kehati-hatian), verifikasi, dan pengujian bisnis. (Bagi investor) juga menyediakan perlindungan, karena dana mendapat jaminan dari pemasok.”

Hingga tahun 2020 nanti, perusahaan akan fokus pada skema SCF ini. Diharapkan dapat menyerap hingga 60% pembiayaan yang ada di Crwodo. Kontribusi tersebut diharapkan dapat mewujudkan inklusi keuangan yang sehat di Indonesia.

Crowdo resmi hadir di Indonesia sejak tahun 2016. Bernaung di bawah PT Mediator Komunitas Indonesia, saat ini mereka telah terdaftar dan diawasi OJK. Fokus biayai bisnis, platform juga memberikan wadah bagi bisnis yang ingin melakukan penggalangan dana dengan ekuitas. Skema ini memang baru, namun secara legal OJK juga sudah menyusun aturannya, termasuk mendaftar dan mengawasi startup yang memberikan pelayanan tersebut.

Menurut data per September 2019, ada 127 pemain fintech lending yang terdaftar dan diawasi di OJK. Sebanyak 13 di antaranya sudah mendapatkan status berizin usaha. Banyaknya pemain memaksa setiap platform memiliki nilai unik, seperti Crwodo yang akhirnya memilih untuk memaksimalkan potensi melalui SFC.

Application Information Will Show Up Here

Dorong Industri Lebih Kondusif, Tiga Asosiasi Fintech Teken Kode Etik Bersama

Tiga asosiasi fintech yakni Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), menandatangani kode etik bersama atau joint code of conduct untuk perkuat aspek perlindungan konsumen dan iklim industri p2p lending yang jauh lebih sehat.

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menjelaskan, masing-masing asosiasi sebenarnya sudah memiliki kode etik, namun dengan penyatuan ini diharapkan bisa saling menguatkan satu sama lain. Sebab semangat akhir yang ingin dituju adalah pelayanan masyarakat yang lebih baik, untuk proteksi data mereka dan perlindungan konsumen itu sendiri.

“Ada yang kami bagian yang kami tambahkan agar kode etik ini saling melengkapi satu sama lain dan bisa diimplementasi oleh tiga asosiasi fintech,” katanya, Selasa (24/9).

Ketua Umum AFSI Ronald Yusuf Wijaya menambahkan, “Asosiasi sepakat bahwa kita harus payungi inovasi yang bergerak sangat cepat sekali ini dengan norma-norma dan etika dalam berbisnis fintech.”

Lewat kode etik bersama ini, ada sejumlah penyempurnaan, misalnya terkait privasi data dan perlindungan konsumen. Keseluruhan poin yang terangkum dalam kode etik ini berisi semua prinsip, proses, dan panduan yang mengikat semua anggota fintech dan penyelenggara pendukungnya.

Bila terbukti ada melanggar, ada hukuman yang siap diberikan. Terparah adalah dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi.

Payung sementara sebelum regulasi resmi terbit

Kehadiran kode etik ini sebenarnya sangat dibutuhkan oleh industri untuk menekan praktik ilegal, mengingat UU perlindungan data pribadi yang belum disahkan oleh pemerintah. Itu di luar kuasa OJK maupun asosiasi.

Maka, tindakan preventif yang perlu dilakukan adalah membuat kode etik. Dari sisi OJK, hanya mensyaratkan para pemain fintech lending yang terdaftar boleh akses kamera, lokasi, dan mikrofon dari perangkat konsumen. Di luar ketiga itu, akan ada tindak tegas oleh regulator.

Pada intinya, kode etik ini punya empat prinsip dasar yang meliputi: perlindungan konsumen termasuk transparansi produk dan harga, penawaran layanan atau metode produk yang bertanggung jawab, penyebaran informasi terkait risiko, penanganan keluhan dan standar sistem manajemen, dan lain-lain; mitigasi dan manajemen risiko; tata kelola perusahaan yang baik; anti pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menjelaskan, keberadaan UU perlindungan data pribadi tidak hanya dibutuhkan oleh fintech saja, tapi juga seluruh perusahaan teknologi.

Pasalnya, ada era teknologi 4.0 ini seluruh transaksi sudah dilakukan tanpa tatap muka. Alhasil data pribadi akan terekam dan ini yang dikhawatirkan bisa terjadi kebocoran. Lantaran belum ada payung hukum yang jelas, bisa mengakibatkan tidak ada hukuman buat pelaku yang setimpal.

“UU PDP saat ini belum gol. Jadi jangan heran kebocoran airline [Lion Group] terjadi karena ini sulit ditangani. Kami khawatir ke depannya [hal-hal sejenis] bisa ada lagi di kemudian hari, jadinya kontradiktif dan tidak ada pertanggungjawaban dari pelakunya,” pungkas dia.

Akseleran Dikabarkan Galang Pendanaan Seri A Hampir 120 Miliar Rupiah

Startup p2p lending Akseleran dikabarkan menggalang pendanaan sebesar $8,5 juta (hampir 120 miliar Rupiah) dari sejumlah investor, salah satunya adalah Access Ventures.

Kabar ini pertama kali diberitakan oleh DealStreetAsia (23/9) dan dikonfirmasi langsung oleh Co-Founder & CEO Akseleran Ivan Tambunan saat ditemui di sela-sela Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 di Jakarta di hari yang sama.

Ivan belum mau berkomentar banyak terkait informasi ini, dia malah berencana untuk membuat kabar resmi pada November 2019 mendatang. Dia beralasan pihaknya masih menunggu persetujuan dari OJK. Namun Ivan mengonfirmasi nominalnya memang benar $8,5 juta.

“Kita decline [beri] komentar, November baru bisa kasih komentar. Dari jumlah [investasi] itu benar, tapi kita belum bisa kasih komentar karena harus menunggu persetujuan dari OJK, itu adalah syarat yang harus kita penuhi,” ujar Ivan.

Kabar ini sebelumnya sudah lama digaungkan oleh Akseleran, bahkan sejak tahun lalu. Ivan menyebut perusahaan sedang mencari pendanaan seri A sebesar $7,5 juta (sekitar 105 miliar Rupiah).

Pada Februari 2019, perusahaan baru mengumumkan pendanaan sebesar $2,5 miliar (sekitar 35 miliar Rupiah) sebagai bagian dari putaran seri A ini. Konfirmasi dari Ivan secara langsung menguatkan bahwa terjadi oversubscribed dalam putaran ini.

Kinerja Akseleran

Ivan menerangkan saat ini perusahaan telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp690 miliar secara akumulatif dari pencapaian di tahun lalu. Secara target, perusahaan bidik total penyaluran tembus di angka Rp1,1 triliun. Per bulannya, Ivan menyebut Akseleran telah menyalurkan sekitar Rp70 miliar.

“Kalau tahun ini saja, kita targetkan penyaluran Rp900 miliar, tahun lalu itu Rp260 miliar. Jadi bila ditotal secara akumulatif, kita ingin tembus Rp1,1 triliun.”

Bila dijabarkan lebih dalam, produk yang paling banyak dimanfaatkan oleh borrower adalah invoice dan pre-invoice. Komposisi keduanya adalah 90% dari nominal penyaluran. Namun yang ingin didorong Akseleran pada akhir tahun ini adalah supply chain financing yang ditargetkan kontribusinya tembus 10%-15%.

Dia menjelaskan produk ini punya sisi positif semua pihak. Akseleran bisa mengamankan jaminan pembayaran jadi jauh lebih terjamin. Dari segi proses penilaian juga jauh lebih cepat, pasalnya perusahaan tidak perlu menilai risiko dari borrower saja, tapi cukup dari pembayar saja. Alhasil, besaran bunga yang dibebankan pun jauh lebih murah.

“Proses jauh lebih cepat karena kita cukup assess payer-nya saja, borrower enggak perlu lagi. Tapi Akseleran harus kerja sama dengan payer-nya dulu. Jadinya lebih efisien buat akuisisi borrower karena kita bisa partner-an sama satu partner tapi bisa dapat banyak borrower dari vendor supplier-nya.”

Para lender yang tergabung di Akseleran saat ini masih didominasi oleh perorangan (90%), mayoritas berlokasi di Jabodetabek, sisanya tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, bahkan Nusa Tenggara Timur.

Ivan berencana untuk menambah porsi peminjam dari institusi, target porsinya 20%-30%. Beberapa nama yang sudah bekerja sama adalah perusahaan multifinance, seperti Mandiri Tunas Finance dan Ciptadana Multifinance.

“Ada beberapa tambahan dari leasing, nanti mau juga ada dari bank besar. Sebenarnya sudah ada MoU dengan BPR, tapi baru MoU. Kita terbuka dengan semua pihak,” pungkas Ivan.

Application Information Will Show Up Here

Startup P2P Lending Julo Umumkan Pendanaan Seri A 140 Miliar Rupiah

Startup fintech lending Julo mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $10 juta (sekitar 140 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Quona Capital. Investor lain yang turut berpartisipasi adalah Skystar Capital, East Ventures, Provident Capital, Gobi Partners, dan Convergence Ventures.

Perolehan dana ini sebenarnya tambahan dari putaran seri A yang sudah berlangsung pada tahun lalu. Julo telah mengantongi dana segar sebanyak $5 juta, sehingga bila ditotal startup ini memperoleh $15 juta (sekitar 280 miliar Rupiah) dalam seri A.

“Pendanaan ini telah menghadirkan dan membuka kesempatan bagi Julo untuk terus berkembang dan memberikan layanan terbaik,” ucap Founder & CEO Julo Adrianus Hitijahubessy dalam keterangan resmi.

Ia menambahkan, pendanaan ini akan dipakai untuk mengembangkan bisnis secara keseluruhan dengan memperluas tim dan meningkatkan kualitas sistem skor kredit. Fokus ini selaras upaya perusahaan dalam meningkatkan mata pencarian masyarakat Indonesia, yang tercermin dalam portofolio penyaluran kredit mayoritas untuk pinjaman produktif.

“Karenanya kami selalu mengembangkan fitur baru untuk meningkatkan layanan kami dan menjangkau orang-orang di seluruh negeri,” katanya.

Startup yang berdiri sejak 2016 ini menawarkan pinjaman antara 500 ribu hingga 8 juta Rupiah dan dapat dicicil maksimal enam bulan. Bunga yang ditawarkan adalah 3%-4% per bulan atau 0,1%-0,3% per hari, diklaim sebagai salah satu yang terendah.

Kendati demikian, Julo tetap mengedepankan asas mitigasi risiko. Tanpa melanjutkan lebih dalam, dia mengklaim credit scoring yang dipakai Julo lebih efisien dari pemain sejenisnya.

Hingga kini, Julo telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp431 miliar kepada 116 ribu total peminjam. Dari angka peminjam, 54 ribu di antaranya adalah peminjam aktif. Bila dilihat pencapaian di tahun 2019 saja, Julo telah menyalurkan Rp321 miliar atau 74,4% dari total penyaluran.

Cakupan layanan Julo tersebar di 18 wilayah, di antaranya Sukabumi, Tasikmalaya, Sumedang, Cianjur, Garut, Palembang, Bandar Lampung, hingga Mataram.

Application Information Will Show Up Here