Rencana ALAMI Menambah Model Bisnis untuk Pembiayaan Syariah

Sebagai platform fintech yang mengedepankan pembiayaan syariah, ALAMI saat ini terus melakukan langkah strategis untuk mengembangkan bisnis. Hingga bulan Februari 2021, mereka telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp428 miliar serta mempertahankan TKB 90 di angka 100%.

Kinerja tersebut berusaha terus ditingkatkan sampai di kuartal pertama tahun ini melalui beberapa program guna menarik minat pendana baru.

“Saat ini Indonesia sedang berada pada kebangkitan industri keuangan syariah. ALAMI melihat tren keuangan syariah yang semakin meningkat. Artinya, sudah banyak masyarakat yang melek melakukan hijrah finansial, salah satunya bergabung ke fintech P2P berbasis syariah,” kata Founder & CEO Alami Dima Djani.

Baru-baru ini ALAMI dikabarkan telah mengakuisisi PT BPRS Cempaka Al Amin. Disinggung apa rencana ALAMI dengan mengakuisisi perusahaan tersebut, Dima enggan untuk menjelaskan lebih lanjut. Ditegaskan olehnya, tidak menutup kemungkinan ke depannya akan membuka model bisnis lain selain p2p lending. Namun, harus menakar kapabilitas perusahaan, pasar, dan infrastruktur lainnya sebelum melakukan ekspansi bisnis.

“ALAMI percaya bahwa keuangan syariah di Indonesia memiliki potensi besar. Melalui pengembangan produk, kami selalu berupaya untuk mendukung pertumbuhan keuangan syariah,” kata Dima.

Awal tahun lalu ALAMI telah mengantongi pendanaan senilai $20 juta (lebih dari 283 miliar Rupiah) berbentuk ekuitas dan debt yang dipimpin AC Ventures dan Golden Gate Ventures. Quona Capital turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Baik AC Ventures dan Golden Gate Ventures, merupakan investor sebelumnya yang memimpin pendanaan tahap awal senilai $1,5 juta pada akhir 2019.

Berdasarkan publikasi terbaru OJK, per Januari 2021 di Indonesia ada 11 platform p2p lending syariah yang terdaftar. Sebanyak 3 di antaranya sudah mendapatkan status berizin, yakni Investree Syariah, ALAMI, dan Ammana.

Kolaborasi dengan Bukalapak

Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya dan CEO ALAMI Dima Djani / ALAMI
Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya dan CEO ALAMI Dima Djani / ALAMI

Berangkat dari komitmen yang serupa, yaitu untuk mendukung produktivitas UKM lokal, ALAMI menjalin kolaborasi strategis dengan Bukalapak melalui BukaPengadaan. Kontribusi ALAMI dalam hal ini adalah dari sisi penyaluran pembiayaan syariah. BukaPengadaan sendiri merupakan lini bisnis e-procurement, menyasar segmentasi pelanggan B2B.

“Bisnis pengadaan digital (e-procurement) menjadi salah satu pendorong bagi UKM (mitra penjual) untuk dapat meningkatkan eksposur usahanya ke skala B2B dan B2G. Untuk mencapai itu, pembiayaan juga perlu diberikan variasi opsi. Salah satunya ke pembiayaan syariah.”

Sebelumnya ALAMI juga telah menjalin kerja sama strategis dengan eFishery melalui program paylater syariah kepada petani yang masuk dalam komunitas eFishery. Melalui kolaborasi tersebut, ALAMI telah menjangkau sebanyak 504 UKM pembudidaya ikan dan udang yang tersebar di 20 kota di Indonesia.

“Hal ini menunjukkan gairah masyarakat dalam mencapai tujuan keuangannya dengan imbal hasil yang kompetitif dan sesuai keuangan syariah, serta sekaligus mendukung UKM di sektor ini agar terus berkembang,” kata Dima.

Ke depannya ALAMI berharap akan semakin banyak UKM yang dapat meningkatkan transaksi di sektor e-procurement melalui pembiayaan syariah. Hal tersebut nantinya bisa menghadirkan semakin banyak opsi pembiayaan, pada akhirnya membuat exposure ALAMI kepada pelaku usaha yang ingin eksplorasi peluang pembiayaan lebih lanjut yang tidak kalah dengan penyedia pembiayaan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Payfazz Reveals 428 Billion Rupiah Investment for Payment Gateway Startup Xfers

Payfazz disclosed a strategic investment in Singapore-based payment gateway startup Xfers. Rumor has been circulating in the industry since May 2020, but Payfazz‘ CEO Hendra Kwik keeps denying it every time DailySocial tried to confirm.

On 19 May 2020, he said that currently, the two companies are solely business partners. Eventually, we found the Xfers logo attached under the Fazz Financial logo at the Payfazz office. However, on January 26, 2021, Hendra still denied the rumor.

Under Fazz Financial, there is also Modal Rakyat. In addition, investment also planted in Credibook which has recently received Pre-Series A funding.

Through the strategic investment, Payfazz and Xfers will become part of the newly formed entity, the Fazz Financial Group (FFG) to jointly achieve the mission of providing financial inclusion throughout Southeast Asia. This will be the first cross-border transaction between two fintech startups in Southeast Asia.

It is said that the investment value Payfazz has disbursed for Xfers was worth $30 million (more than 428 billion Rupiah). Also, Hendra will occupy the position of CEO of FFG, while Tianwei Liu will occupy the position of Deputy CEO. Robert Polana, Tiket.com’s former CFO also joined as FFG CFO.

This strategic move is expected to further encourage the two companies to expand their business in providing more collaborative services throughout Southeast Asia.

For the record, Hendra had first introduced Fazz Financial during an interview with DailySocial in February 2020, as Payfazz has performed various business expansions, therefore, a business group was formed.

Separately, in a virtual press conference today (4/3), Hendra said that both Payfazz and Xfers will have their respective identities in achieving their goals. Payfazz will focus first on the Indonesian market considering that there is still a lot of potentials.

Meanwhile, Xfers will function as a B2B service from FFG – focused on connecting external customers to the payment infrastructure and user network that FFG aggregates. Xfers will continue to focus on increasing presence in a number of countries in Southeast Asia, considering the company is available in three countries. Although it is possible that Payfazz will expand its business in the future.

“Imagine that is like Amazon is Payfazz and AWS is Xfers. AWS present in every building cloud infrastructure, while Amazon is only present in a handful of countries because these two things are different [in terms of challenges and regulations]. Independence is very important, we [Payfazz] ] did not want to limit their operations, nor did we have to follow Xfers’ strategy,” Hendra said.

He added whether Payfazz has the opportunity for regional expansion in the future, the process will indeed be easier as it can take advantage of the API infrastructure that Xfers has built.

The reason behind Payfazz’s interest to invest is actually motivated by the longstanding partnership between the two companies. In addition, they are both graduates of the Y Combinator accelerator program.

Hendra observes Xfers’ API technology really helps the integration process with B2B clients in targeting more unbanked people with financial services. Thus, the more B2B clients successfully signed up with Payfazz, of course, the more inclusive digital financial services are.

“Therefore, we [Payfazz] can focus on pursuing better growth because instead of building the API itself, the costs that should have been incurred, can be transferred to Xfers.”

Currently, Payfazz has 250 thousand registered agents serving more than 10 million unbanked people in Indonesia.

Xfers‘ presence in Indonesia began in 2016 after obtaining $2.5 million in seed funding led by Facebook’s Co-Founder, Eduardo Saverin, Golden Gate Ventures, 500 Startups, GMP Venture Partners, and Partech Ventures.

In 2019, they released Straits X, the first blockchain-supported initiative to advance the open finance ecosystem in Singapore powered by Zilliqa. Xfers’ Indonesian business partners are not only Payfazz, there are also Porter Indonesia, Faspay, Modal Rakyat, and Tunai Kita.

Tianwei said, in the second quarter of 2021, the company will launch two new products. First, a payment solution without integration targeted at merchants based in Singapore. Second, a single integration solution to connect companies/entrepreneurs with fintech expecting to enter Southeast Asia with local payment methods in the region. This is also supported by assistance to reach unbanked consumers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Payfazz Umumkan Investasi 428 Miliar Rupiah Terhadap Startup Payment Gateway Xfers [UPDATED]

Payfazz mengumumkan investasi strategis terhadap startup payment gateway asal Singapura Xfers. Desas-desus kabar ini sebenarnya sudah dimulai sejak Mei 2020, namun CEO Payfazz Hendra Kwik selalu membantahnya saat dimintai konfirmasi oleh DailySocial.

Pada 19 Mei 2020,  dia berkilah bahwa saat ini hubungan kedua perusahaan semata-mata adalah mitra bisnis. Hingga kami mendapati logo Xfers yang terpampang di bawah logo Fazz Financial di kantor Payfazz. Namun, pada 26 Januari 2021 masih dibantah oleh Hendra.

Di bawah Fazz Financial, juga terdapat Modal Rakyat. Selain itu, juga berinvestasi ke Credibook yang belakangan ini peroleh pendanaan Pra-Seri A.

Melalui investasi strategis, Payfazz dan Xfers akan menjadi bagian dari entitas yang baru terbentuk yaitu Fazz Financial Group (FFG) untuk bersama-sama mencapai misi dalam menyediakan inklusi keuangan di seluruh Asia Tenggara. Hal ini menjadi transaksi antar-negara pertama antara dua startup fintech di Asia Tenggara.

Disampaikan, nilai investasi yang digelontorkan Payfazz untuk Xfers sebesar $30 juta (lebih dari 428 miliar Rupiah). Disebutkan juga, Hendra akan menempati CEO FFG, sementara CEO Tianwei Liu menempati posisi Deputy CEO. Robert Polana, eks CFO Tiket.com, bergabung sebagai CFO FFG.

Langkah investasi ini selanjutnya diharapkan dapat mendorong kedua perusahaan tersebut agar dapat mengembangkan bisnisnya dalam menyediakan layanan yang lebih kolaboratif untuk seluruh Asia Tenggara.

Sebagai catatan, brand Fazz Financial ini sebenarnya sudah diperkenalkan Hendra saat wawancara bersama kami pada Februari 2020, karena Payfazz telah melakukan berbagai ekspansi bisnis sehingga dibentuk grup usaha.

Secara terpisah, dalam konferensi pers virtual yang digelar hari ini (4/3), Hendra menyampaikan baik Payfazz dan Xfers akan memiliki indenpensi masing-masing dalam mencapai tujuannya. Payfazz akan fokus ke pasar Indonesia terlebih dahulu mengingat masih banyak potensi yang belum tergarap.

Sementara, Xfers akan berfungsi sebagai layanan B2B dari FFG – difokuskan pada menghubungkan pelanggan eksternal ke infrastruktur pembayaran dan jaringan pengguna yang dikumpulkan oleh FFG. Xfers bakal melanjutkan fokusnya perbanyak kehadiran ke sejumlah negara di Asia Tenggara, mengingat perusahaan sudah hadir di tiga negara. Meski tidak menutup kemungkinan bahwa ke depannya Payfazz akan ekspansi bisnis.

“Anggap seperti Amazon adalah Payfazz dan AWS adalah Xfers. AWS sudah hadir di mana-mana membangun infrastruktur cloud, sementara Amazon baru hadir di segelintir negara saja karena dua hal ini berbeda [dari segi tantangan dan regulasi]. Indenpendensi sangat penting, kami [Payfazz] tidak ingin membatasi operasional mereka, kami pun tidak ingin mengikuti strategi Xfers,” kata Hendra.

Dia menambahkan, akan tetapi apabila ke depannya Payfazz punya kesempatan untuk ekspansi regional, tentunya proses lebih mulus karena dapat langsung memanfaatkan infrastruktur API yang sudah dibangun Xfers.

Alasan Payfazz tertarik untuk berinvestasi sebenarnya juga dilatarbelakangi oleh hubungan kemitraan antara kedua perusahaan yang sudah terjalin sejak lama. Selain itu, sama-sama lulusan dari program akselerator Y Combinator.

Hendra memandang teknologi API yang dibangun Xfers sangat membantu proses integrasi dengan klien B2B dalam menargetkan lebih banyak masyarakat unbanked dengan layanan keuangan. Dengan demikian, semakin banyak klien B2B yang berhasil digaet Payfazz tentunya semakin inklusif suatu layanan keuangan digital.

“Sehingga kami [Payfazz] bisa fokus mengejar pertumbuhan yang lebih baik karena daripada bangun API sendiri, cost yang seharusnya dikeluarkan, bisa dialihkan ke Xfers.”

Saat ini Payfazz memiliki 250 ribu agen terdaftar yang melayani lebih dari 10 juta masyarakat unbanked di Indonesia.

Awal kehadiran Xfers di Indonesia dimulai pada tahun 2016 pasca memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $2,5 juta yang dipimpin oleh Co-Founder Facebook Eduardo Saverin, Golden Gate Ventures, 500 Startups, GMP Venture Partners, dan Partech Ventures.

Pada 2019, mereka merilis Straits X, inisiatif pertama yang didukung blockchain untuk memajukan ekosistem keuangan terbuka di Singapura yang didukung oleh Zilliqa. Mitra bisnis Xfers di Indonesia tidak hanya dengan Payfazz, juga ada Porter Indonesia, Faspay, Modal Rakyat, dan Tunai Kita.

Tianwei menuturkan, pada kuartal II 2021 nanti perusahaan akan meluncurkan dua produk baru. Pertama, solusi pembayaran tanpa integrasi yang ditargetkan bagi pedagang yang berbasis di Singapura. Kedua, solusi integrasi tunggal untuk menghubungkan perusahaan / pengusaha dengan fintech yang ingin memasuki Asia Tenggara dengan metode pembayaran lokal di wilayah tersebut. Hal ini juga didukung dengan bantuan untuk menjangkau konsumen yang tidak memiliki akses perbankan.

*Kami menambahkan pernyataan dari konferensi pers virtual yang digelar FFG

 

Application Information Will Show Up Here

Potensi “Exit” di Tahun 2021 di Mata Pendiri Startup dan Investor

Di Indonesia, strategi exit yang memungkinkan investor dan founder untuk mencairkan kapitalnya cenderung belum umum menjadi pemikiran sentral. Meskipun demikian, untuk mendorong iklim bisnis yang lebih sehat, setiap startup yang sudah matang sebaiknya memikirkan strategi yang memungkinkan kapital dari dana ventura diputar kembali di ekosistem.

Strategi exit yang efektif idealnya harus direncanakan untuk setiap kemungkinan positif dan negatif. Positif jika bisnis berjalan sesuai dengan yang direncanakan, sementara negatif jika bisnis tidak sesuai dengan harapan.

CEO Prasetia Dwidharma dan Venture Partner MDI Ventures Arya Setiadharma mengatakan, “Ketika Anda memulai sebuah startup, Anda sudah harus memiliki exit strategy, baik melalui IPO atau trade sale. Inilah yang dibutuhkan perusahaan modal ventura. Anda harus dapat mengkomunikasikannya dengan baik, karena dana perusahaan modal ventura harus keluar pada akhirnya.”

DailySocial mencoba memahami kapan dan bagaimana seharusnya startup melakukan exit, baik melalui go public atau melalui merger dan akuisisi (M&A), dengan berdiskusi dengan beberapa pendiri dan investor.

Kesiapan startup

Belum banyak startup Indonesia yang exit melalui IPO. Masih bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan exit terjadi melalui kendaraan M&A. BEI sendiri telah memberikan opsi papan akselerasi dan papan pengembangan untuk mendorong lebih banyak startup mencari kapital di pasar modal.

Tahun 2020 lalu, startup fintech Cashlez melantai di Bursa Efek Indonesia dan tercatat di papan akselerasi.

Reynold Wijaya, CEO Modalku, salah satu startup p2p lending terdepan di Indonesia, mengungkapkan, mereka belum memiliki rencana dan enggan membicarakan lebih jauh tentang strategi exit.

“Menurut kami, IPO belum memiliki urgensi untuk saat ini. IPO merupakan satu hal yang tidak kita pikirkan secara konstan karena dinamika industri startup bergerak sangat cepat. Prioritas utama adalah fokus terhadap perkembangan perusahaan itu sendiri dan menjaga agar bisnis tetap stabil.”

Ditambahkan Reynold, waktu ideal IPO untuk setiap perusahaan pasti berbeda. Tidak ada satu opsi yang mutlak, karena harus disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan startup bersangkutan. Tantangan yang mungkin ditemui adalah pemenuhan persyaratan regulator.

“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu untuk mengembangkan fundamental dan bisnis. Exit maupun IPO merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UKM yang berpotensi,” kata Reynold.

Hal senada diungkapkan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin. Ia mengatakan perusahaan belum akan merealisasikan IPO dalam waktu dekat. Dengan target bisnis yang dimiliki tahun ini, pihaknya masih berkomitmen untuk tumbuh dan mengejar profitabilitas.

“Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai standalone company,” paparnya.

Kendati demikian, Rachmat menyebut bahwa pihaknya terbuka terhadap opsi IPO. “IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya.”

Dukungan perusahaan modal ventura

Sebagai corporate venture capital (CVC) kelolaan Bank Mandiri yang fokus berinvestasi ke startup fintech dan pendukungnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) memiliki total kelolaan Rp1 triliun sejak berdiri pada tahun 2015.

CEO MCI Eddi Danusaputro menuturkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan exit. Di tahun 2020 lalu, mereka exit melalui IPO di Cashlez dan melalui M&A untuk Moka (yang diakuisisi Gojek). Exit di Moka berbentuk tunai dan saham minoritas di Gojek.

“Menurut saya, waktu terbaik bagi startup untuk mulai [memikirkan] exit strategy adalah [sejak awal] [..]. Startup sudah harus segera memikirkan rencana roadmap mereka, terutama jalan untuk menuju profitabilitas,” kata Eddi.

Menurut Eddi, IPO tidak selalu menjadi pilihan utama bagi startup. Jalur lain yang bisa dipilih adalah melalui penjualan perusahaan. Setiap perusahaan modal ventura memiliki pilihan waktu yang beragam, bisa 5 hingga 8 tahun ke depan.

“Pada akhirnya ketika IPO, M&A, atau jalur lainnya yang telah dipilih, akan terjadi perubahan dinamika dalam manajemen di perusahaan. Startup yang dibeli oleh perusahaan besar atau unicorn akan fokus ke integrasi. Sedangkan startup yang memilih jalur IPO akan menambah fokus ke short term results, karena ada tujuan agar harga saham bisa terus naik,” ujar Eddi.

Sementara menurut Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital, Inc, waktu yang tepat bagi startup untuk bisa melantai di bursa adalah, ketika startup berhasil meraih pertumbuhan year-on-year (YoY) yang positif dalam waktu 5 tahun terakhir dan telah memperoleh pendapatan hingga $50 juta.

Sebagai perusahaan modal ventura, CyberAgent berupaya mendorong startup yang tergabung dalam portofolio mereka untuk berada pada pertumbuhan yang stabil dan sustainable. Portofolio CyberAgent yang santer diberitakan melantai di bursa saham dalam waktu dekat adalah Tokopedia.

“Hal tersebut karena IPO merupakan jalur yang paling ideal untuk bisa menjadi perusahaan yang besar hingga 3 atau 4 kali lipat dari ukuran perusahaan sebelumnya. Oleh karena itu, kami selalu mendorong perusahaan portofolio kami untuk memahami sepenuhnya game plan mereka, tidak hanya untuk 1 atau 2 tahun ke depan tetapi juga untuk 10 tahun ke depan,” kata Kevin.

SPAC sebagai jalur go public alternatif

Selain IPO secara konvensional, jalur go public yang setahun terakhir sangat populer di kalangan startup adalah Special Purpose Acquisition Company (SPAC). Proses IPO konvensional yang terbilang rumit, mahal, dan memakan waktu membuat SPAC menjadi jalur alternatif ideal, termasuk startup Asia Tenggara. Lebih dari 200 SPAC telah go public dan mengumpulkan dana sekitar $70 miliar. Tentu saja SPAC bukan tanpa risiko.

“SPAC pada dasarnya adalah blank check vehicle. Meskipun ini dapat menjadi cara mudah bagi investor untuk mencari likuiditas, hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak baik yang berpotensi menyebabkan persoalan lebih lanjut ke depannya. Di sisi lain, IPO membutuhkan persyaratan yang lebih ketat. Ini adalah cara yang telah teruji selama beberapa dekade, untuk membawa perusahaan ke publik,” kata Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures.

SPAC menawarkan rute yang lebih cepat bagi perusahaan agar bisa tumbuh untuk bisa memasuki pasar lebih cepat dan memiliki transparansi harga yang lebih baik. Namun, hal tersebut sangat bergantung pada siapa orang/sponsor yang menjalankan SPAC.

“Sebagai perusahaan modal ventura yang berfokus pada startup tahap awal, SPAC tentunya akan menjadi pilihan yang lebih disukai bagi kami, karena dapat memberikan potensi exit yang jauh lebih cepat tetapi dengan harga yang masih cukup baik.”

Menurut Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto, jalur exit mandiri adalah yang terbaik. Namun jika mereka tidak bisa melakukan proses tersebut, jalur SPAC yang dilakukan secara bersama dengan perusahaan lain, lebih memungkinkan untuk dilakukan.

“[..] Pada akhirnya menciptakan sinergi dan ekosistem baru untuk bisa bertahan dan bersaing dengan perusahaan yang jauh lebih besar,” kata Chandra.

Warung Pintar Officially Acquired Bizzy

New retail startup Warung Pintar has officially announced its acquisition of Bizzy, a B2B logistics and supply chain distribution startup. The acquisition value reached $45 million or around Rp633 billion.

Through this acquisition, Warung Pintar is to strengthen its position in the B2B e-commerce market and predicted to grow three times of the B2C market.

“[Acquisition] Bizzy as a whole, not just a particular business unit,” East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca said in a short message to DailySocial.

Previously, Bizzy was a B2B e-commerce platform that has pivoted into the logistics and distribution business. Bizzy Logistics is known as PT Bina Sinar Amity, an integrated logistics, export, and import service provider company. Meanwhile, Bizzy Distribution is legally under PT Sinarmas Distribution Nusantara.

Apart from being affiliated with the Sinarmas group, Bizzy is also a portfolio of East Ventures. Sinarmas, through its venture capital unit, SMDV, is also a part of EV Growth.

Ready for the momentum of B2B e-commerce

Quoting various data sources, the current B2B e-commerce revenue in Indonesia accounts for less than half of the total e-commerce revenue in 2020. As an illustration, B2B e-commerce revenue in India contributes 93% of total e-commerce revenue there and 72% in China.

Warung Pintar’s Co-Founder & CEO, Agung Bezharie said that the two companies are to realize the same mission, transforming traditional retailers, and increasing their efficiency in the supply chain, which is considered fragmented with two different approaches.

Therefore, Agung expects to change the digital-based distribution approach which has mostly been driven by massive promotions and discounts in order to acquire customers.

“Bizzy’s joining the Warung Pintar ecosystem allows the company to guarantee product availability and reasonable prices with its partners,” Agung said in a press release received by DailySocial.

Furthermore, Bizzy’s CEO, Andrew Mawikere added that after the acquisition, Bizzy will remain an entity that will focus on bridging the synergy between the two companies with brands and distributors and enabling them to become a digital retail ecosystem.

This means as the synergy established, Warung Pintar can focus more on digitizing its retailers, while Bizzy focuses on serving brand partners and distributors.

“After Bizzy’s entry as part of Warung Pintar, there will be no other players integrated into our supply chain. That way, we can serve brands and distributors with various added value and data-based strategies on a large scale,” Andrew said.

Was founded in 2017, Warung Pintar offers solutions to micro-entrepreneurs’ problems that have been the foundation of the Indonesian economy with a 70% contribution to total retail transactions in Indonesia. Meanwhile, this acquisition will combine two companies that have collaborated with 600 brands and serve 230 thousand retailers in 65 cities throughout Indonesia.

Willson also sees opportunities for synergy and efficiency that will be created by joining the two companies. “Warung Pintar is an on-demand platform, while Bizzy comes from the supply side. Combined, they can serve consumers, retailers, and brands in the most effective way. This is a real 1 + 1 = 3,” he said in an official statement.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Warung Pintar Umumkan Akuisisinya Terhadap Bizzy

Startup new retail Warung Pintar resmi mengumumkan akuisisinya terhadap Bizzy, startup logistik dan distribusi supply chain B2B. Nilai akuisisi mencapai $45 juta atau sekitar Rp633 miliar.

Melalui akuisisi ini, Warung Pintar ingin memperkuat posisinya di pasar e-commerce B2B dengan pertumbuhan yang diprediksi mencapai tiga kali lipat dari pasar B2C.

“[Akuisisi] Bizzy secara keseluruhan, bukan unit bisnis tertentu saja,” ujar Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Sebelumnya Bizzy adalah platform e-commerce B2B yang telah pivot menjadi bisnis logistik dan distribusi. Bizzy Logistics dikenal sebagai PT Bina Sinar Amity, sebuah perusahaan penyedia jasa logistik, ekspor, dan impor terintegrasi. Sementara Bizzy Distribution secara legal berada di bawah PT Sinarmas Distribusi Nusantara.

Selain terafiliasi grup Sinarmas, Bizzy juga merupakan portofolio dari East Ventures. Sinarmas sendiri melalui unit modal venturanya, SMDV, juga menjadi bagian EV Growth.

Bersiap pada momentum pertumbuhan e-commerce B2B

Mengutip berbagai sumber data, saat ini pendapatan e-commerce B2B di Indonesia menyumbang tak sampai setengah dari total pendapatan e-commerce keseluruhan di 2020. Sebagai gambaran, pendapatan e-commerce B2B di India berkontribusi sebesar 93% terhadap total pendapatan e-commerce di sana dan 72% di Tiongkok.

Co-Founder & CEO Warung Pintar Agung Bezharie mengatakan, kedua perusahaan ingin mewujudkan misi yang sama, yakni mentransformasikan peritel tradisional dan meningkatkan efisiensinya terhadap rantai pasokan yang saat ini dinilai masih terpecah-pecah dengan dua sisi pendekatan yang berbeda.

Maka itu, Agung berharap dapat mengubah pendekatan distribusi berbasis digital yang sejak dulu kebanyakan didorong oleh promosi dan diskon besar-besaran demi meraup pelanggan.

“Bergabungnya Bizzy ke dalam ekosistem Warung Pintar memungkinkan perusahaan untuk menjamin ketersediaan produk dan harga yang wajar dengan para mitranya,” ujar Agung dalam keterangan pers yang diterima DailySocial.

Lebih lanjut, CEO Bizzy Andrew Mawikere menambahkan pasca-akuisisi nanti, Bizzy tetap menjadi entitas yang akan fokus dalam menjembatani sinergi kedua perusahaan dengan brand dan distributor, serta memungkinkan mereka untuk menjadi ekosistem pengecer digital.

Artinya, sinergi akan tetap terjalin, Warung Pintar dapat lebih fokus pada upaya digitalisasi para retailer-nya, sedangkan Bizzy fokus dalam melayani para mitra brand dan distributor.

“Setelah masuknya Bizzy sebagai bagian dari Warung Pintar, nantinya tidak akan ada pemain lain terintegrasi ke dalam rantai pasokan kami. Dengan begitu, kami dapat melayani brand dan distributor dengan value added yang belum pernah ada sebelumnya serta strategi berbasis data dalam skala besar,” tutur Andrew.

Berdiri di 2017, Warung Pintar menawarkan solusi masalah dihadapi pelaku usaha mikro yang selama ini menjadi fondasi perekonomian Indonesia dengan kontribusi sebesar 70% terhadap total transaksi ritel di Indonesia. Adapun, akuisisi ini akan menggabungkan dua perusahaan yang telah bekerja sama dengan 600 merek dan melayani 230 ribu retailer di 65 kota seluruh Indonesia.

Willson juga melihat adanya peluang sinergi dan efisiensi yang bakal tercipta dengan bergabungnya kedua perusahaan ini. “Warung Pintar adalah platform dari sisi permintaan, sedangkan Bizzy dari sisi suplai. Jika digabungkan, mereka dapat melayani konsumen, pengecer, dan merek dengan cara yang paling efektif. Ini benar-benar 1+1=3,” tuturnya dalam keterangan resmi.

Terlalu Kolosal untuk Gagal: Akankah Terjadi Merger Tokopedia dan Gojek?

Dalam wawancara tahun 2019 dengan mantan menteri perdagangan Indonesia Gita Wirjawan, salah satu pendiri dan CEO Gojek Nadiem Makarim mendapat pertanyaan apakah dia pernah membayangkan masa depan di mana Gojek menjadi satu-satunya pemain di pasar. Nadiem mengatakan bahwa monopoli lebih cocok untuk perusahaan yang tidak mengenakan biaya kepada konsumen untuk menggunakan layanan mereka, seperti Google dan Facebook. Aplikasi super, yang menjadi cita-cita Gojek, harus menjadi bagian dari duopoli, katanya.

Selama bertahun-tahun, Gojek dan Grab telah menarik garis pertempuran mereka dalam layanan on-demand, dimulai dengan ride-hailing, kemudian pengiriman makanan, fintech, dan layanan gaya hidup. Kemudian, pada tahun 2020, mereka menjadi berita utama ketika Masayoshi Son dari SoftBank dikabarkan akan mengatur penggabungan kedua perusahaan. Diskusi gagal pada bulan Januari tahun ini, kemungkinan karena ketidaksepakatan mengenai kepemimpinan regional dalam usaha gabungan tersebut. Kedua perusahaan melanjutkan persaingan mereka, kembali ke pola yang dijelaskan Nadiem.

Namun, Gojek kini dikabarkan sedang berdiskusi dengan sesama raksasa teknologi Indonesia, Tokopedia, untuk merger yang berbeda: merger yang tidak akan menciptakan monopoli, melainkan berhadapan langsung dengan Sea Group — andalan di sektor teknologi Asia Tenggara yang mendominasi pengiriman makanan, e-commerce, serta pembayaran di wilayah ini — dan Grab, pesaing utama Gojek.

Gojek dan Tokopedia adalah dua startup teknologi terbesar dan tersukses di Indonesia, dengan valuasi masing-masing sekitar USD 10,5 miliar dan USD 7,5 miliar. Gojek memiliki sekitar 2 juta mitra pengemudi dan 900.000 pedagang UKM, sementara Tokopedia mengklaim memiliki 9,9 juta pedagang di pasarnya. Jika kedua perusahaan menggabungkan operasi mereka, hasilnya akan menjadi ekosistem teknologi yang kuat yang menghubungkan jutaan pelanggan, pedagang, serta mitra pengemudi — yang berakar di Indonesia tetapi memiliki jejak regional.

Baik Gojek dan Tokopedia menolak berkomentar mengenai spekulasi terkait potensi merger mereka, tetapi laporan media baru-baru ini menunjukkan kedua perusahaan sedang menjajaki opsi seperti struktur perusahaan induk, di mana Gojek dan Tokopedia masih dapat beroperasi secara independen namun saling mengakses ekosistem satu sama lain.

Merger antara Gojek dan Tokopedia dapat mendorong lebih banyak sinergi antara kedua perusahaan, daripada layanan yang tumpang tindih, sebut Aldi Adrian Hartanto, VP investasi di MDI Ventures, perpanjangan tangan investasi dari perusahaan BUMN Telkom Group, juga investor di Gojek. .

“Mereka akan memiliki kemampuan untuk berjalan mandiri tanpa mengganggu bisnis satu sama lain. Dan mereka akan memiliki narasi yang jauh lebih besar sebagai grup teknologi besar terkemuka di Indonesia yang mendominasi segmen internet konsumen seperti ride-hailing, pesan-antar makanan, e-commerce, dan pembayaran,” ujarnya kepada KrASIA.

Misalnya, Tokopedia akan memiliki akses ke sumber logistik Gojek untuk layanan pengiriman yang lebih efisien, sedangkan dompet digital Gojek, GoPay, dapat meningkatkan jumlah transaksinya dengan memanfaatkan pengguna Tokopedia. Usaha kecil dan menengah (UKM) di Tokopedia juga akan dapat mengakses layanan keuangan, termasuk kredit, yang ditawarkan oleh Bank Jago yang didukung oleh Gojek.

Merger tersebut juga akan disambut baik oleh komunitas pengemudi Gojek yang sebelumnya menentang gagasan persatuan antara Grab dan Gojek, karena pengemudi akan melihat saluran pendapatan baru, seperti layanan pengiriman instan atau same-day delivery yang ditawarkan oleh Tokopedia.

Gojek dan Tokopedia memiliki DNA investor yang sama. Kedua perusahaan tersebut didukung oleh Sequoia Capital India, Google, dan Temasek. SoftBank, sementara itu, adalah pemegang saham terbesar Tokopedia, dan CEO-nya, Masayoshi Son, dilaporkan telah memberikan restunya kepada potensi merger tersebut.

Entitas gabungan Gojek-Tokopedia akan bernilai lebih dari USD 18 miliar, melampaui valuasi Grab sebesar USD 14,3 miliar. Gojek dan Tokopedia akan memiliki lebih banyak sumber daya untuk meluncurkan produk atau layanan baru, dan mereka akan berada dalam posisi yang kuat untuk go public.

Aldi mengatakan kedua perusahaan itu tengah berusaha untuk go public melalui akuisisi perusahaan bertujuan khusus, atau SPAC. Penggabungan akan membawa “nilai besar ke pasar IPO”, katanya.

Dikenal sebagai perusahaan cek kosong, SPAC adalah perusahaan cangkang yang mengumpulkan dana melalui penawaran umum untuk mengakuisisi perusahaan yang tidak ditentukan. Perusahaan jenis ini tidak memiliki model bisnisnya sendiri di luar transaksi keuangan ini. Ketika proses IPO tradisional mahal dan memakan waktu, SPAC menjadi opsi penggalangan dana yang lebih murah dan efisien, yang menjadi sangat menarik bagi perusahaan rintisan teknologi di Asia.

Tokopedia menjadi e-commerce peringkat kedua setelah Shopee / Tokopedia

Pertarungan mencapai profitabilitas

Sejak 2019, perusahaan teknologi regional tersebut mengatakan bahwa mereka berniat untuk mencapai profitabilitas dan segera go public untuk menghasilkan keuntungan bagi investor. Baik Gojek dan Grab telah menegaskan tujuan ini, tetapi tekanan kian meningkat sejak tahun lalu, karena pandemi telah menyebabkan perubahan signifikan pada perusahaan teknologi terkemuka di Asia Tenggara dalam memperoleh pendapatan.

“Tidak masuk akal bagi investor modal swasta memotong cek untuk entitas dengan skala raksasa seperti itu,” kata Aldi, menjelaskan bahwa kedua perusahaan masih dalam tingkat EBITDA negatif, yang berarti mereka belum menghasilkan uang.

Masana Takahashi, pendiri firma penasihat akuntansi dan keuangan perusahaan yang berbasis di Singapura Jidobox, mengatakan bagi Gojek, mencari sekutu, seperti Tokopedia, mungkin merupakan cara teraman sebelum go public.

“Kalau Gojek cocok IPO sendiri, apakah ada motivasi untuk bicara dengan perusahaan lain [untuk merger]? Mungkin tidak. Gojek tampaknya belum siap untuk go public dengan apa pun alasannya. Mungkin secara finansial tidak begitu baik.” dia berkata.

Suntikan modal paling awal Gojek adalah pada tahun 2014, ketika mengumpulkan putaran Seri A sebesar USD 2 juta. “Gojek mengumpulkan miliaran dan investor mereka perlu keluar karena dana akan segera jatuh tempo,” jelas Takahashi. “Jatuh tempo dana VC biasanya tujuh sampai sepuluh tahun. Yang pasti, sebelum 2024, dana akan menuntut keluar dari Gojek. ”

Grab juga pertama kali mendapatkan investasi Seri A sebesar USD 10 juta pada tahun 2014, dan perusahaan tersebut dilaporkan mempertimbangkan untuk melakukan IPO di New York akhir tahun ini, di mana mereka dapat mengumpulkan lebih dari USD 2 miliar, penawaran saham luar negeri terbesar oleh sebuah perusahaan Asia Tenggara, menurut Reuters.

“Dengan aktivitas saat ini yang kami lihat seputar IPO secara global, serta peningkatan aktivitas SPAC di Asia, investor tampaknya memiliki minat yang besar untuk IPO yang berfokus pada Asia. Valuasi gabungan dapat membantu Gojek dan Tokopedia untuk menarik investor tertentu, tetapi yang lebih menarik adalah proposisi nilai gabungan yang dapat ditawarkan merger ini,” kata Zennon Kapron, direktur firma riset dan konsultasi fintech Kapronasia.

Gojek menggandeng 2 juta pengendara / Gojek

Menghadapi persaingan lokal

Baik Gojek maupun Tokopedia telah terjebak dalam persaingan yang ketat dengan Grab dan Group SEA di wilayah asalnya.

Shopee SEA telah melampaui Tokopedia sebagai situs e-commerce yang paling banyak dikunjungi pada kuartal ketiga tahun 2020 di Indonesia, berdasarkan data dari peringkat iPrice, sementara platform e-wallet ShopeePay telah mengungguli transaksi Gojek GoPay dan Ovo dari Juni hingga Agustus 2020 di negara ini, menurut penelitian Snapcart dan MarkPlus. Sea Group juga mulai menjajaki sektor perbankan digital di Indonesia.

Grab, di sisi lain, telah mengalahkan Gojek di sektor transportasi online Indonesia sejak 2018. Gojek mencapai pangsa pasar 64% pada tahun 2019, sementara itu memegang pangsa pasar 53% di sektor pengiriman makanan negara pada tahun 2020, menurut Momentum Works.

Perusahaan ride-hailing yang berkantor pusat di Singapura ini juga berinvestasi di LinkAja, sebuah platform pembayaran dengan jangkauan luas di kota-kota tier-2 dan tier-3 Indonesia, yang dapat memberikan akses ke basis pengguna yang lebih bervariasi dibandingkan dengan GoPay.

“Pembayaran adalah salah satu bisnis terpenting. Kehilangan hal itu bisa menuimbulkan masalah bagi Gojek,” ungkap Masana. “Indonesia merupakan pasar yang menarik karena ‘volume’, tetapi daya belinya masih rendah. Gojek dan Tokopedia perlu mengakuisisi saham besar-besaran di semua pasar tempat mereka beroperasi. Saya tidak punya alasan kuat untuk percaya Gojek akan memenangkan pasar internasional jikalau sebagai pemain lokal, mereka kalah di dalam negeri,” tambahnya.

Namun Zennon mengatakan, merger Gojek-Tokopedia akan memberi mereka amunisi baru untuk bersaing. “Saat Anda melihat keberhasilan aplikasi super lainnya di Asia, biasanya hal itu terjadi karena fungsi inti yang menciptakan ‘adiksi’ harian pada aplikasi.”

“Dalam kasus WeChat, hal itu adalah obrolan dan hiburan, sementara Alipay, e-commerce. Jika merger, Gojek dan Tokopedia akan memiliki proposisi nilai yang lebih komprehensif yang kemungkinan akan menarik lebih banyak pengguna, dan juga memungkinkan mereka untuk berbagi kumpulan data yang lebih komprehensif di backend,” tambah Zennon. Data tersebut akan memungkinkan entitas baru untuk menyediakan lebih banyak produk dan layanan, termasuk keuangan digital.

Secara internasional, Gojek juga lebih lemah dari Grab. Perusahaan berkembang pada 2018 di Vietnam dengan nama merek lokal, GoViet, dan pada 2019 di Thailand dengan Get. Namun, pada Juli tahun lalu, timnya mengumumkan penyatuan merek, yang menurut sumber KrASIA, merupakan “langkah yang sangat mahal” dan menambah kerugian finansial perusahaan.

Mengenai Tokopedia, perusahaan lebih memilih untuk tetap berpegang pada pasar dalam negeri dan belum berkembang secara internasional. Tidak jelas bagaimana persatuan antara Gojek dan Tokopedia akan meningkatkan daya saing mereka di pasar regional, karena kedua platform kehilangan taring di dalam dan luar negeri, menurut para ahli.

“Perusahaan yang lebih besar tidak selalu berarti perusahaan yang sukses secara global. GoJek – Tokopedia akan memiliki basis yang jauh lebih besar dari segi pasar, tetapi itu tidak menjamin kesuksesan internasional,” ujar Zennon.

“Ini seperti ‘dua pemain nomor dua’ bergabung untuk mencoba bersaing dengan pemain terkemuka,” sumber lain menambahkan.

Menyingkirkan Ovo?

Pihak ketiga yang mungkin mempersulit merger Gojek-Tokopedia adalah layanan pembayaran elektronik yang berbasis di Indonesia Ovo, yang merupakan penyedia pembayaran eksklusif untuk Tokopedia dan Grab di Indonesia saat ini.

Grab memegang 44,2% saham di Ovo, sementara Tokopedia memiliki 42%, menurut data perusahaan riset M2 Insights. Setelah merger dengan Gojek, kemungkinan besar Gojek mendorong platform fintechnya, GoPay, ke dalam ekosistem Tokopedia, sehingga mengikis eksklusivitas Ovo.

Selain itu, Tokopedia bisa jadi harus menjual sahamnya di Ovo, karena Bank Indonesia melarang satu perusahaan untuk memegang saham di lebih dari satu platform pembayaran. “Entitas yang akan merger akan mendorong agendanya agar Tokopedia memutus hubungan dengan Grab, yang akan bermanfaat bagi joint venture baru Gojek-Tokopedia,” kata Aldi.

Namun, seolah mengantisipasi potensi persatuan antara Tokopedia dan pesaing utama, Ovo telah mendiversifikasi hubungannya dengan platform e-commerce dengan menjalin kemitraan dengan Lazada, Zalora, dan Blibli sejak tahun lalu.

Untuk saat ini, Gojek dan Tokopedia masih bungkam tentang langkah selanjutnya dan bagaimana kerjasama dengan Ovo dapat berubah. Sementara itu, Ovo secara agresif menopang penawarannya di luar pembayaran. Perusahaan tersebut baru-baru ini bermitra dengan Zhong An untuk menciptakan pasar asuransi digital, dan meluncurkan produk investasi baru bulan lalu bekerja sama dengan platform reksa dana Bareksa, menunjukkan bahwa Ovo dapat melakukan lebih dari sekadar menangani transaksi e-commerce. Ruang layanan keuangan masih kurang dalam melayani populasi Indonesia, sehingga Ovo masih memiliki banyak ruang untuk berkembang — bahkan tanpa Tokopedia.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Tren Konsolidasi Ekosistem Startup Indonesia Sepanjang Tahun 2020

Berdasarkan kaleidoskop ekosistem startup Indonesia 2020, sepanjang tahun lalu tercatat 13 aksi korporasi dalam bentuk merger and acquisition (M&A). Sebagian besar akuisisi dilakukan untuk memperkuat atau menambah model bisnis yang dimiliki oleh startup terkait. Misalnya saat platform agregator logistik Shipper mengakuisisi Porter dan Pakde dibarengi dengan inisiatif perusahaan memperluas cakupan bisnis ke pergudangan dan fulfillment. Belum lagi soal rumor yang santer beredar, terkait rencana merger antara Gojek dan Tokopedia.

Di tahun 2021, banyak pihak mengatakan tren konsolidasi bakal makin diprioritaskan oleh para startup. Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dalam kesempatan wawancara bersama DailySocial mengatakan, “Konsolidasi akan banyak lagi di tahun ini. Semakin segmented pasar, kita akan melihat banyak orang mengerjakan hal berbeda-beda. Konsepnya seperti ini, kalau ada satu startup ditambah satu hasilnya bisa lebih dari dua, dalam artian bisa lebih efisiensi dan memperbesar peluang, maka konsolidasi sangat memungkinkan untuk membuat lebih powerful.”

Bagi startup yang sudah besar, misalnya di level unicorn, konsolidasi juga bisa dipandang sebagai strategi untuk memperluas cakupan model bisnis – semua ingin menjadi super app. Pilihannya memang ada dua, mereka bisa saja mengembangkan layanan serupa di internal. Namun beberapa tahun belakang tampaknya pola pikirnya mulai bergeser ke arah konsolidasi. Seperti yang dilakukan oleh Gojek yang beberapa tahun terakhir sibuk melakukan akuisisi, totalnya sampai 13 startup termasuk yang paling baru pemimpin bisnis point-of-sales lokal, Moka.

Ada banyak variabel penentu, namun yang paling diperhitungkan terkait biaya. Membuat semuanya dari baru, selain harus menyiapkan semua dari nol (tim, infrastruktur, pengetahuan dll), perusahaan dihadapkan dengan tantangan untuk melakukan edukasi pasar, akuisisi pengguna, bahkan melawan pesaingnya. Akuisisi bisa saja bernilai sama dalam hitung-hitungan tersebut, namun dengan tempo yang jauh lebih singkat. Contohnya kolaborasi cepat yang dilakukan Gojek dan Moka melahirkan GoStore pasca proses akuisisi rampung.

draft_konsolasi_startup-01

Peluang kolaborasi juga makin luas cakupannya, tidak hanya antarpemain di segmen pasar yang sama. Hal ini diceritakan oleh Co-Founder & CEO Mekari Suwandi Soh, bisnisnya adalah layanan SaaS untuk UKM dan korporasi.  Ia mengatakan, sepanjang 2020 banyak sekali kesempatan kemitraan yang mendekat. Kolaborasinya juga tidak hanya sekadar membahas integrasi produk lewat API, tapi meliputi proses bisnis, sampai strategi go-to-market. Beberapa perusahaan yang menawarkan kerja sama pun beragam, termasuk perbankan dan asuransi. “Jadi 2021 ke depan itu harusnya makin banyak opportunity untuk kolaborasi,” ujar Suwandi.

Lebarkan bisnis

Di sisi startup, kebanyakan memang cukup terbuka untuk menjajaki kolaborasi mutual. Misalnya disampaikan oleh perwakilan OVO, “Kami selalu terbuka untuk melakukan win-win collaboration. Kesediaan kami untuk berkolaborasi telah menjadi ciri khas dari strategi dan pendorong pertumbuhan kami. Kemitraan dengan Grab dan Tokopedia, misalnya, membantu meningkatkan penerimaan OVO secara signifikan dalam perjalanannya menjadi platform [berskala] nasional.”

Baik Tokopedia dan Grab sama-sama memiliki persentase saham di OVO. Dan untuk memperkuat inti bisnisnya, OVO sendiri juga sempat melakukan akuisisi terhadap startup fintech lending Taralite dan fintech investment Brareksa. Narasumber kami tersebut juga mengatakan, dengan misi kolaborasi yang digenggam, secara sistem OVO juga didesain untuk mampu menciptakan interoperabilitas untuk membantu mitra strategis terhubung ke dalam ekosistem aplikasinya.

Hal serupa juga dikatakan oleh CMO Halodoc Dionisius Nathaniel, di perusahaannya peluang kolaborasi adalah sesuatu yang dijalakan terus menerus. Fokusnya bukan ke siapanya, tapi lebih ke sinergi apa yang dapat mendukung vii masing-masing. Halodoc sendiri saat ini juga telah terintegrasi ke super app Gojek, diawali dengan investasi yang diberikan decacorn tersebut dalam seri A pada tahun 2016.

Konsolidasi juga tidak hanya berbicara antara startup dengan startup. Lebih dari itu, saat ini tidak jarang korporasi tertarik untuk melakukan sinergi dengan startup demi mendapatkan percepatan inovasi bisnis. Di sisi korporasi, corporate venture capital (CVC) menjadi strategi yang sejauh ini paling ampuh digunakan untuk menjaring kandidat startup potensial. Salah satunya dilakukan oleh MDI Ventures, CVC di bawah naungan Telkom Group yang kini diberi mandat untuk memperlebar jangkau integrasi, tidak hanya ke perusahaan induknya tapi juga ke perusahaan lain di lingkungan BUMN.

Kepada DailySocial, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, “Kami memiliki dua KPI utama yang terukur, yakni menciptakan valuation growth dari investasi yang diberikan dan men-deliver sinergi dengan Telkom dan perusahaan BUMN lainnya. Tugas kami memastikan startup terkait sudah terbukti, misalnya terkait market fit dan unit economic, sehingga ketika di-plug in ke korporasi dapat memberikan nilai lebih kepada masing-masing. Startup butuh kapital dan pasar, korporasi punya itu. Sementara korporasi membutuhkan inovasi digital, startup memiliki itu.”

MDI Ventures banyak memberikan pendanaan kepada startup later stage, seri B ke atas. Menurutnya ini juga menjadi proven layer untuk memastikan startup tersebut memang sudah benar-benar matang. Terkait konsolidasi startup dengan BUMN, ia juga bercerita tentang inisiatif “ecosystem building” yang digarap bersama CVC BUMN lainnya. Pada dasarnya ini adalah sebuah working group untuk mendorong digitalisasi di beberapa sektor strategis, mulai dari kesehatan, pertanian, dan logistik. Serta menjembatani inovasi potensial dengan perusahaan di lingkungan BUMN.

Dorongan exit

Golden Gate Ventures dalam laporannya berjudul “Southeast Asia Exit Landscape: A New Frontier” mengatakan, bahwa kematangan ekosistem startup di Asia Tenggara juga akan berimplikasi pada meningkatnya jumlah exit. Dorongan pemain besar regional untuk melakukan akuisisi membuat M&A jadi opsi keberhasilan exit yang akan banyak dicapai. Laporan tersebut dibuat sebelum pandemi melanda, namun dari sinyal yang diberikan pasar, justru banyak terjadi percepatan.

draft_konsolasi_startup-02

Jika ditelisik lebih dalam, M&A menjadi jalur exit ideal untuk portofolio yang tengah dalam tahap pertumbuhan (maksimal dengan valuasi setara centaur), sementara untuk startup yang sudah mapan IPO tetap jadi jalur yang terus diupayakan. Beberapa unicorn lokal sudah menggaungkan rencana untuk melantai di bursa dalam waktu dekat. Menanggapi ini Willson juga mengatakan bahwa memang sudah saatnya para startup di Indonesia memperhitungkan IPO sebagai jalur exit mereka.

“Ada pandemi ataupun tidak, IPO memang sudah waktunya. Contohnya, Tokopedia sudah 11 tahun, Traveloka 8 tahun dan lain-lain. Selain itu monetisasi sudah  mulai clear, banyak yang sudah mulai profitable, banyak yang makin jelas roadmap-nya, jadi tinggal bagaimana cara IPO-nya. Tapi karena pandemi, pemerintah banyak mengeluarkan stimulus. Khususnya di US, mereka mulai cetak uang, maka nilai uang jadi turun. Dan membuat public market semakin liquid, makanya semua stock market lagi hijau semua, masih murah melebihi tahun 2008. Jadi membuat kesempatan untuk IPO lebih dipercepat,” jelas Willson.

Untuk persiapan IPO, konsolidasi juga dapat memiliki arti. Pertama adalah untuk meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri. Kedua, untuk mempersempit peluang persaingan pasar – terlebih jika kedua perusahaan dapat saling memperkuat lini bisnisnya. Dan yang ketiga, untuk meningkatkan kepercayaan publik terkait kekuatan bisnisnya. Belum banyak contoh startup melantai di papan pengembangan, menjadi penting untuk debutnya nanti benar-benar memberikan pengalaman terbaik bagi ekosistem.


Gambar Header: Depositphotos.com

Rencana dan Fokus Bisnis AnyMind Indonesia Tahun 2021

Meskipun konsep dan bentuk layanan yang ditawarkan beragam, namun sudah banyak platform lokal hingga asing yang menawarkan cara baru melakukan kegiatan pemasaran memanfaatkan influencer. Salah satu platform yang menawarkan bermain di ranah tersebut adalah AnyMind Group.

Kepada DailySocial, Country Manager AnyMind Group Indonesia Lidyawati Aurelia mengungkapkan, perusahaan mengalami pertumbuhan yang positif, bukan hanya untuk pemasaran digital dan influencer namun juga direct-to-consumer (D2C) dan publisher.

“Kami juga mengembangkan dan meningkatkan solusi penawaran programmatic dan solusi kreatif strategis untuk klien, termasuk menambah peluang pendapatan, baik itu membuat merchandise sendiri atau memaksimalkan penggunaan media sosial,” kata Lidyawati.

Saat ini perusahaan mengklaim telah memiliki beberapa fokus untuk tiap produk. Untuk penawaran pemasaran influencer, AnyTag (sebelumnya CastingAsia), perusahaan ingin memberikan solusi yang lebih baik dan pelaporan secara real-time kepada pelanggan. Telah diluncurkan juga penawaran D2C untuk mendukung pembuat konten eksklusif, setelah sebelumnya diklaim mengalami kesuksesan di Jepang dan Thailand.

Di Indonesia sendiri saat ini sudah ada beberapa layanan yang mengakomodasi kebutuhan pemasaran melalui jaringan influencer, seperti Hiip, Partipost, Verikool, dan lain-lain.

Pandemi dan pertumbuhan bisnis

Selama pandemi perusahaan dihadapkan dengan tantangan yang besar dan tentunya memiliki dampak yang cukup besar. Setelah memberlakukan aturan bekerja di rumah sejak bulan Maret lalu untuk pegawai di Indonesia, saat ini mulai terlihat pemulihan dan semakin banyak brand yang mempercepat langkah mereka dalam transformasi digital.

“Berdasarkan kampanye yang dijalankan di platform AnyTag, terdapat peningkatan yang mencolok dalam jumlah kampanye pemasaran influencer oleh brand setelah Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi, terutama yang berpusat di sekitar pemasaran brand,” kata Lidyawati.

Pada saat yang sama, bisnis publisher yang dimiliki juga mengalami perkembangan sepanjang tahun, dengan lebih banyak publisher yang menggunakan platform AnyManager. AnyMind Group juga mengambil bagian dalam Google News Initiative untuk penerbit Indonesia.

“Pada akhirnya, apa yang pandemi lakukan bagi kami adalah memosisikan diri kami sebagai mitra terpercaya untuk influencer marketing, marketers, publishers, dan pemilik bisnis – dengan solusi kami di seluruh pengembangan brand, manufaktur cloud, e-commerce, pemasaran dan lainnya,” kata Lidyawati.

Akuisisi ENGAWA

Bertujuan untuk memanfaatkan keahlian ENGAWA dalam pengembangan dan distribusi barang dagangan, AnyMind Group mengumumkan penyelesaian akuisisi penuh atas perusahaan pemasaran berbasis di Jepang tersebut. Dengan sumber daya gabungan dari AnyMind Group dan ENGAWA, nantinya calon entrepreneur di Indonesia dapat memproduksi produk mereka di Jepang dan menjual serta mengirimkan produk ke Eropa secara online.

“Apa yang kami lihat untuk pasar di luar Jepang adalah memanfaatkan keahlian luas ENGAWA dalam merchandising dan distribusi internasional, dan jaringan pabrikan dan produsen Jepang di seluruh Jepang, untuk meningkatkan kemampuan D2C kami,” kata Lidyawati.

Tahun ini AnyMind Group memiliki beberapa target yang ingin dicapai, di antaranya adalah ingin membuat bisnis tanpa batas atau “Make every business borderless”. Tidak lagi hanya bisnis inbound dan outbond, ke depannya menjadi diharapkan bisa menjadi “Doing Business” dengan menciptakan infrastruktur untuk bisnis generasi mendatang. Misalnya, seorang ibu rumah tangga di Indonesia dapat membeli produk dari brand Thailand, buatan Taiwan, dan dengan mudah diantarkan langsung ke rumah.

“Digital adalah masa depan, dan pelanggan dapat menemukan brand baru dari seluruh dunia, melakukan pembelian secara online, dan mendapatkan produk di tangan mereka dalam waktu singkat,” kata Lidyawati.

Kaleidoskop Ekosistem Startup Indonesia 2020

Perkembangan ekosistem startup Indonesia di tahun 2020 menjadi menarik untuk disimak. Meski kondisi pandemi, dinamika pendanaan justru makin kencang hampir sepanjang tahun. DailySocial mencoba merangkum berbagai aksi strategis yang dilakukan startup lokal yang dapat membantu kita  menyimpulkan apakah Covid-19 berdampak mengganggu pada pertumbuhan startup atau justru sebaliknya.

Pendanaan

Sepanjang tahun 2020, DailySocial mencatat ada 112 transaksi pendanaan oleh investor ke startup Indonesia, membukukan total dana mencapai lebih dari $3,3 miliar. Nominal tersebut didapat dari 50 transaksi pendanaan yang nominalnya diumumkan ke publik. $2,43 miliar di antaranya ditujukan untuk startup unicorn.

Ditinjau dari tahapannya, pendanaan tahap awal masih mendominasi dengan jumlah transaksi mencapai 47 kali. Untuk pendanaan awal, 11 transaksi dilakukan untuk startup dengan produk SaaS, kemudian masing-masing 5 transaksi untuk startup e-commerce dan edtech, serta masing-masing 4 transaksi untuk startup new retail dan online media.

Gambar 1

Untuk keseluruhan transaksi, tahun ini fintech dan SaaS jadi yang paling diminati. Di lanskap fintech, ada 5 pendanaan tahap awal (seed s/d Seri A), masing-masing 2 pendanaan di Seri B, Seri C, dan corporate round, serta 6 debt funding. Total dana yang dikumpulkan adalah $413,5 juta dari 12 transaksi yang disebutkan nominalnya. LinkAja menjadi salah satu pemain yang mendapatkan pendanaan terbesar tahun lalu dengan nilai $100 juta dari Grab, Telkomsel, BRI Ventures, Mandiri Capital Indonesia.

Gambar 2

Untuk SaaS, tahapan transaksi didominasi 11 seed funding, kemudian masing-masing 2 transaksi untuk Pra-Seri A, Seri A, dan Seri B. Dari 4 nilai transaksi yang dipublikasikan, lanskap ini berhasil mengumpulkan dana $18,8 juta.

Aksi korporasi

Selain menggalang dana, strategi lain yang dilakukan startup untuk meningkatkan bisnis adalah lewat konsolidasi. Tahun 2020 ada beberapa aksi korporasi yang direalisasikan dalam proses akuisisi. DailySocial mencatat ada 13 akuisisi startup yang terjadi, yaitu:

Startup Startup yang Diakuisisi
Farmaku DokterSehat
Waresix Trukita
Shipper Porter, Pakde
Afterpay EmpatKali
Fundastic Invisee
Dataxet Sonar
EMPG Lamudi Indonesia
IDN Media Demi Istri Production
Gojek Moka
Carro Jualo
Wahyoo Alamat.com
Oto.com Carvaganza
IATA (MNC Group) Anterin

Aksi korporasi yang juga menarik untuk disimak ialah IPO. Kendati beberapa startup gencar mengungkapkan rencananya untuk melantai di bursa, sepanjang 2020 ada dua IPO yang berhasil terealisasi, yakni oleh Pigijo (PGJO) dan Cashlez (CASH) melalui papan akselerasi. Per akhir tahun, Pigijo memiliki kapitalisasi pasar senilai 18,9 miliar Rupiah, sementara Cashlez 581 miliar Rupiah.

Startup kolaps

Terlepas dari banyak startup yang mendapatkan pendanaan baru tahun ini, tak sedikit juga yang harus menghentikan operasionalnya. Setidaknya ada 12 startup beroperasi di Indonesia yang harus mengakhiri bisnisnya tahun ini dengan berbagai latar belakang. Berikut ini daftarnya:

Startup Lanskap Bisnis
Eatsy Indonesia Online Reservation
QRIM Express Logistic
Hooq Online Media
Stoqo B2B Commerce
Airy Hospitality
Wowbid E-commerce
Freenternet Telecommunication
Sorabel E-commerce
Ciayo Online Media
Blanja E-commerce
Infokost Hospitality
Zomato Indonesia Online Reservation

Bagi beberapa startup, pembatasan sosial dan fisik yang dilakukan di masa pandemi berdampak sangat signifikan dalam menunjang unit ekonominya. Alih-alih menyerah, beberapa bangkit dengan melakukan penyesuaian model bisnis (pivot). Pertama ada Kedai Sayur yang memilih melakukan perubahan bisnis menjadi layanan pesan antar bahan makanan. Ada juga layanan marketplace penyedia jasa umrah PergiUmroh yang melakukan penyesuaian produk, tahun ini mereka merilis PergiBelanja.

Beberapa pemain besar juga lakukan penyesuaian strategi. Traveloka, ketika lockdown berjalan, mengoptimalkan layanan Xperience untuk memberikan opsi hiburan interaktif kepada pelanggannya secara daring. Begitu juga Loket. Anak perusahaan Gojek tersebut justru kini mantapkan diri jadi platform yang membantu masyarakat atau bisnis menghelat acara secara daring, seperti webinar atau konser online.

Masih dalam laju pertumbuhan

Membandingkan dengan apa yang terjadi di tahun 2019, sejauh ini kami menyimpulkan bahwa ekosistem startup di Indonesia masih on-track dalam laju pertumbuhan. Dinamika yang terjadi tentu menjadi bekal penting untuk ketahanan para pemain di dalamnya. Di sisi lain membuka kesempatan untuk lanskap bisnis tertentu berkembang, seperti healthtech, edtech, sampai dengan biotech.

Meningkatnya konsolidasi bisnis yang dilakukan pemain, dari skala kecil sampai besar juga menunjukkan tingkat kematangan di tengah fragmentasi pasar. Menjelang akhir tahun bahkan santer terdengar kabar merger antar-unicorn. Tentu ada dampak baik-buruknya. Yang jelas, setelah satu dekade berjalan, potensi tersebut semakin terlihat jelas. Potensi akan besarnya pangsa pasar digital di Indonesia.

Tahun 2021 tentu akan menjadi lebih menarik. Kita akan disuguhkan dengan upaya para startup merealisasikan misi-misinya – ada yang bertekad melantai ke bursa, memperluas ekspansi regional, hingga berambisi jadi unicorn. Tren baru di tengah masyarakat juga terbentuk, seperti minat berinvestasi, kesadaran hidup sehat, hingga makin terbiasa menggunakan layanan online untuk memenuhi berbagai kebutuhan hariannya.


DailySocial segera merilis Startup Report 2020, laporan komprehensif tentang perkembangan ekosistem digital dalam satu tahun terakhir dari berbagai perspektif, melibatkan stakeholder di berbagai lanskap bisnis. Daftarkan email Anda ke newsletter DailySocial untuk mendapatkan pembaruan informasi ini: https://dailysocial.id/subscribe.