GudangAda Hadirkan Marketplace untuk Digitalkan Rantai Pasokan Produk FMCG

Didirikan pada akhir tahun 2018 oleh Stevensang, GudangAda jadi layanan marketplace B2B khusus produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Fokusnya memberdayakan seluruh rantai pasokan (supply chain), sehingga memudahkan bisnis mengakses berbagai produk secara efisien. Pengembangan platform ini  dilatarbelakangi pengalaman founder selama 25 tahun bekerja di industri FMCG.

Harapannya dengan teknologi yang disajikan, para penjual yang bertransaksi melalui GudangAda dapat melihat kenaikan volume penjualan, perputaran barang yang lebih cepat, biaya operasional dan harga pengadaan yang lebih rendah, serta transparansi transaksi. Di saat yang bersamaan, pedagang juga dapat mengakses jaringan pelanggan, pelaku bisnis, serta pilihan produk yang lebih luas daripada sebelumnya.

Kepada DailySocial CEO GudangAda Stevensang mengungkapkan, di era digital ini semakin banyak tantangan yang harus dialami oleh pemilik toko tradisional, seperti semakin sulitnya mendapatkan salesman, meningkatnya resiko bisnis, ancaman dari e-commerce besar yang langsung menghubungkan principal dengan retailers, generasi berikutnya dari pemilik toko yang enggan meneruskan bisnis keluarga yang masih konvensional, dan lain-lain; yang akan menyebabkan penurunan bisnis dan laba di kemudian hari.

“GudangAda didirikan karena adanya keprihatian terhadap kelangsungan bisnis toko tradisional di era digital. Konsep bisnis GudangAda adalah untuk memberdayakan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem sehingga bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari platform. Dengan ikut dalam platform GudangAda, toko bisa berperan sebagai penjual dan/atau pembeli.”

Ditambahkan olehnya, sebagai penjual, toko akan mendapatkan semakin banyak pembeli dan mendapatkan kesempatan untuk menjual kategori produk lain. Sebagai pembeli, toko akan mendapatkan harga yang kompetitif, pengiriman produk yang cepat dan dapat membeli produk kapan saja dan di mana saja.

“GudangAda akan terus melakukan pembaruan terhadap platform yang sudah ada dan akan terus melengkapi layanan untuk memenuhi kebutuhan toko yang bergabung, seperti financial services, logistic services dan lain-lain,” kata Stevensang.

Akuisisi lebih banyak pemilik toko

Setelah mendapatkan pendanaan awal (seed) sebesar belasan juta dolar dari firma modal ventura Alpha JWC Ventures dan Wavemaker Partners, GudangAda selanjutnya ingin fokus menambah jumlah penjual dan pemilik toko, sembari membangun ekosistem dengan melengkapi fitur untuk memenuhi kebutuhan semua stakeholder FMCG. Firma private equity asal Singapura, Pavilion Capital, juga ikut berpartisipasi dalam pendanaan ini.

“Tidak setiap hari Anda menemukan perusahaan sesolid GudangAda dengan pendiri berpengalaman seperti Stevensang. Sejak awal, kami memiliki keyakinan besar pada perusahaan ini dan potensi yang mereka miliki,” ujar Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Saat ini GudangAda telah memiliki 15 anggota tim. Mayoritas dari mereka berpengalaman di bidang FMCG lebih dari 10 tahun dan memiliki hubungan baik dengan pemilik toko grosir di Indonesia. Secara bertahap, GudangAda juga akan melakukan monetisasi terhadap layanan yang diberikan dalam platform, seperti layanan transaksi, logistik dan lainnya.

Di tahun 2020 ini, target utama GudangAda adalah memperluas jaringan anggotanya ke seluruh lapisan rantai pasok industri FMCG di Indonesia dan menyediakan lebih banyak solusi yang bisa diintegrasikan ke kegiatan mereka.

“Kami telah memvalidasi bisnis dan membangun fondasi kuat. Kini, dengan dukungan berkelanjutan dari investor dan mitra, yang harus kami lakukan adalah meneruskan apa yang telah berhasil kami lakukan, namun dengan skala yang lebih besar dan dalam waktu yang lebih cepat. Kami akan mengakselerasi ekspansi kami dan menyediakan lebih banyak layanan agar kami dapat melayani semua pemain industri FMCG di Indonesia,” tutup Stevensang.

Vutura Tawarkan Solusi Mudah untuk Membuat Chatbot

Tren pengembangan chatbot tampaknya masih terus berlanjut. Salah satu tandanya dengan hadirnya pemain baru di industri ini. Namanya Vutura, perusahaan rintisan baru yang mencoba menawarkan layanan untuk memudahkan pengguna membuat chatbot secara mandiri.

“Vutura adalah platform chatbot berteknologi AI, kami membantu pebisnis maupun individu untuk melayani banyak pelanggannya dengan mudah. Kami menyediakan wadah, sehingga para pelaku bisnis dapat bebas membuat asisten virtual yang sesuai dengan kebutuhan bisnisnya,” terang Co-founder & CMO Vutura Herjuna Dony Anggara Putra.

Startup tersebut digawangi oleh empat orang founder, yakni Riztama Prawita, Arief Faizin, Herjuna Dony Anggara Putra dan Arfiyah Citra Eka Dewi. Vutura juga merupakan portofolio Digital Amoeba besutan Telkom — program inkubasi startup internal yang diikuti oleh kalangan staf perusahaan. Dalam debutnya mereka juga sudah mendapatkan pendanaan awal dari Telkom dengan nilai yang tidak disebutkan.

“Saat ini chatbot Vutura sudah bisa diimplementasikan pada berbagai aplikasi pesan seperti Telegram, Line, Facebook Messenger, dan WhatsApp. Selain aplikasi pesan tersebut, juga dapat diimplementasikan pada chat widget yang berada pada website dan mobile apps,” terang Co-Founder & CEO Vutura Riztama.

Layaknya platform chatbot pada umumnya, Vutura juga dibekali teknologi NLP (Natural Languange Processing) berbahasa Indonesia untuk memahami konteks percakapan dengan penggunanya.

Sebelumnya di Indonesia sudah ada beberapa startup yang sajikan layanan serupa, di antaranya Kata.ai dan Botika. Tren pemanfaatan AI dalam bisnis membuat bisnis chatbot berkembang pesat, terlebih dengan automasi tersebut beberapa bisnis telah mampu menghasilkan efektivitas dalam penanganan pelanggan.

Produk chatbot, dalam hal ini yang diimplementasikan sebagai sistem layanan pelanggan, dikembangkan berangkat dari banyaknya kebiasaan yang berulang, salah satu contohnya ketika penjual menjawab pertanyaan pelanggannya mengenai produk. Dengan teknologi yang dikembangkan, Vutura berharap bisa memecahkan permasalahan tersebut dan mempererat hubungan pemilik bisnis dengan pelanggannya.

“Karena Vutura punya tujuan untuk mempererat hubungan antara pemilik bisnis dan para pelanggannya sehingga tidak menutup kemungkinan kami berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk dapat membantu para pemilik bisnis dalam meningkatkan customer engagement experience,” imbuh Riztama.

Selain bisa mendukung banyak platform pesan instan, Vutura juga terintegrasi dengan berbagai macam tools, termasuk Multichannel Conversational Platform milik Qiscus dan beberapa lainnya. Mereka juga menjalin beberapa kemitraan, di antaranya dengan Freshworks, Line, termasuk dengan Telkom.

Pengguna hanya perlu menyelesaikan proses pendaftaran dan pembayaran untuk membuat chatbot mereka. Pihak Vutura mengklaim mereka menyajikan langkah yang sederhana atau tanpa coding sama sekali dalam hal pembuatan asisten virtual atau chatbot.

Hingga saat ini dari sistem Vutura sudah lahir 354 chatbot dengan 98 ribu percakapan. Angka ini juga dipastikan akan terus bertambah mengingat Vutura baru saja diluncurkan dan mulai diperkenalkan ke khalayak ramai.

“Kami menyediakan sistem berlangganan, pengguna bisa langsung mendaftarkan akunnya melalui website kami dan langsung mulai membuat chatbot-nya sendiri. Kami menyediakan dokumentasi dan tutorial untuk mempermudah pengguna. Selain itu, untuk korporasi dan atau perusahaan yang menginginkan layanan kustomisasi dapat menghubungi tim kami langsung,” terang Dony.

Di satu tahun perjalanannya, Vutura masih ingin memperkenalkan kecanggihan dan kebermanfaatan teknologi AI kepada masyarakat.

“Kami ingin memasyarakatkan teknologi AI agar para pelaku bisnis dapat meningkatkan experience dalam memberikan layanan kepada pelanggannya,” terang Dony ketika ditanya strategi mereka untuk mengarungi 2020 ini.

Arkademi Terima Pendanaan Awal dari SOSV

Startup teknologi pendidikan (edutech) Arkademi mengumumkan pendanaan awal dari SOSV, sebuah venture capital berbasis di Amerika Serikat. Tidak disebutkan nominal pendanaan yang diterima, pihaknya hanya menyampaikan akan memanfaatkan modal tambahan ini untuk menjadikan perusahaan lebih agresif mengakuisisi mitra lembaga kursus.

Berdiri sejak tahun 2018, Arkademi menghadirkan pilihan berbagai macam kursus online terkait vokasi atau keahlian. Kegiatan belajar diselenggarakan mitra lembaga kursus terverifikasi.

Sejauh ini mereka sudah memiliki 50 kelas yang diikuti sekitar 25 ribu peserta didik. Target tahun 2020, mereka ingin menambah cakupan kursus menjadi 200 kelas melalui kerja sama dengan 150 mitra. Untuk pengguna diharapkan bisa bertambah sampai 200 ribu orang.

“Pada 2019 kemarin kami berhasil tumbuh 1400% YoY dalam GMV. Product market fit kami makin kuat dengan begitu banyaknya siswa di kelas-kelas kursus online berharga tinggi sekitar Rp1 juta. Selain itu kami juga meluncurkan versi pertama mobile app Android dan iOS yang langsung diadopsi dengan cepat oleh pengguna. Sedangkan daily active user ada di angka 4000+,” terang CEO Arkademi Hilman Fajrian.

Lebih jauh Hilman menerangkan, dengan pendanaan ini pihaknya akan berusaha menumbuhkan bisnis dengan cara memperbesar skala operasi, mulai dari lini penetrasi pasar, akuisisi pengguna, hingga pengembangan produk.

“Dari sisi teknologi, kami akan merilis mobile app versi terbaru di bulan Maret yang merupakan lompatan besar dibandingkan versi yang ada saat ini. Dengan app versi terbaru nanti, pengalaman belajar online menjadi lebih kaya, lebih mobile-oriented dan lebih menyesuaikan diri dengan kualitas konektivitas di Indonesia,” lanjut Hilman,

Di Indonesia Arkademi berada di segmen yang sama dengan Udemy, Skill Academy dari Ruangguru, Kode.id dan beberapa pemain lainnya. Bagi konsumen tentu menarik, karena semakin banyak pilihan. Namun bagi bisnis salah satu tantangannya adalah memastikan kualitas dan fitur pembelajaran yang disajikan.

Tantangan lain yang menjadi sorotan pihak Arkademi adalah banyaknya pengajar yang belum terbiasa dengan mekanisme online dan pemanfaatan teknologi yang mumpuni. Harus ada yang membantu memotivasi para profesional mengajar dan memproduksi konten secara digital.

Di samping itu perlu pengembangan berkelanjutan untuk menemukan teknologi yang pas dalam konsumsi video, dalam hal ini yang diterapkan Arkademi adalah teknologi auto bitrate streaming (ABS).

“Tahun 2020 ini menurut kami adalah awalan industri edutech masuk ke pasar mainstream — yang menurut prediksi kami akan main mainstream di tahun 2022. Selain akan munculnya unicorn dari edutech dalam waktu dekat, juga karena makin dirangkulnya teknologi dalam sektor pendidikan oleh Menteri Nadiem Makarim. Maka, pemain-pemain baru edutech nasional akan makin banyak bermunculan dan investasi di sektor ini akan makin besar,” tutup Hilman.

Application Information Will Show Up Here

Andalkan Pengalaman Pengguna yang Ringkas, Aplikasi Kasir Nuta Sasar Pebisnis Mikro Bidang Kuliner dan Ritel

Sejak didirikan pada tahun 2015, layanan point-of-sales Nuta berusaha membantu UKM mendigitalkan sebagian proses bisnisnya. Tujuannya untuk menghadirkan efisiensi dan peningkatan produktivitas. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Nuta Erich Hartawan bercerita, nilai unik yang coba dihadirkan adalah kemudahan dalam penggunaan.

Slogan aplikasinya “kasir instan”, menjanjikan pengalaman pengguna yang diklaim lebih ringkas dari platform sejenis lainnya. Hal itu dilandasi target pasar Nuta adalah pelaku usaha mikro yang terbiasa dengan nota kertas, lalu coba dikonversi ke aplikasi.

“Yang coba kami lakukan adalah memindahkan nota kertas tersebut ke dalam sebuah tablet Android, menambahkan teknologi canggih di dalamnya, dan  membuatnya bekerja sealami mungkin. Sehingga pengguna tidak perlu belajar terlalu keras untuk menggunakan aplikasi ini. Target pasar utama Nutapos sektor kuliner dan ritel,” ujar Erich.

Sebagai portofolio program inkubator Indigo milik Telkom, Nuta bermarkas di Jogja Digital Valley. Saat ini juga sudah memiliki kantor perwakilan di Sidoarjo untuk perluasan cakupan bisnis. Selain Erich, ada Rahmat Ihsan yang juga merupakan Co-Founder.

Mereka juga sudah mendapatkan seed funding dari angel investor dan Telkom. Untuk akselerasi bisnis, pihaknya juga tengah melakuka penggalangan dana untuk tahap lanjutan.

“Traksi Nuta tumbuh setiap bulannya. Saat ini kami sudah memiliki hampir 1000 pengguna berbayar. Target tahun 2020 meningkatkan jumlah pengguna tiga kali lipat dan mengintegrasikan platform dengan berbagai digital wallet yang ada di Indonesia,” tambah Erich.

Seperti umumnya layanan POS, Nuta memiliki beberapa fitur seperti pembayaran, manajemen penjualan, dasbor pelaporan, hingga pajak. Layanan kasir digital ini dijajakan secara berlangganan, dengan mekanisme pembayaran per bulan per perangkat. Pada dasarnya aplikasi Nuta bisa digunakan dengan berbagai perangkat Android dan dihubungkan dengan printer portabel untuk mencetak nota pembelian.

Aplikasi juga mengakomodasi pencatatan stok bahan dan pemasok. Termasuk melakukan pencatatan dan kalkulasi komposisi guna memudahkan pebisnis kuliner untuk membuat estimasi pembelian bahan baku.

Di Indonesia sendiri sudah cukup banyak startup yang sajikan layanan serupa. Sebut saja Moka, Olsera, Cashlez, Qasir, NadiPOS, Whee, Pawoon, dan sebagainya.

Application Information Will Show Up Here

Platform Riset Pasar Populix Dapatkan Pendanaan Awal 14 Miliar Rupiah

Startup pengembang platform survei konsumen Populix baru membukukan pendanaan awal senilai $1 juta atau setara 14 miliar Rupiah. Putaran investasi dipimpin oleh Intudo Ventures dengan keterlibatan Gobi Partner dan investor sebelumnya di pre-seed, yakni Pegasus Tech Ventures.

Kepada DailySocial, Co-Founder & COO Populix Eileen Kamtawijoyo menyampaikan, dana yang didapat akan difokuskan untuk perekrutan pegawai, pengembangan fitur, dan optimasi pemasaran.

Populix debut pada awal tahun 2018, didesain sebagai consumer insights platform yang membangun basis data responden dari kalangan masyarakat umum di seluruh Indonesia. Tujuannya untuk membantu bisnis agar mudah mendapatkan  data melalui survei yang  akurat, terpercaya, dan real-time.

Eileen juga menyampaikan, sepanjang tahun pertama beroperasi, Populix telah menyelesaikan sekitar 70 riset pasar, didukung 27 bisnis dari berbagai sektor dan ukuran. Tidak hanya di Jabodetabek, saat ini sebaran responden mereka juga sudah meliputi berbagai kota besar di Indonesia, termasuk Medan, Makassar, Yogyakarta, Semarang, hingga Sorong.

Tahun 2020, akan banyak hal yang direncanakan perusahaan, termasuk merilis aplikasi mobile untuk memudahkan partisipasi responden mereka.

“Tahun ini kami merekrut CTO baru, sehingga pengembangan fitur-fitur Populix akan semakin cepat. Yang terbaru, kami telah merilis fitur researcher dasboard, memudahkan brand (sebagai pembuat survei) memantau hasil secara real-time,” ujar Eileen.

Dari sisi pengguna, Populix menawarkan kepada siapa saja untuk menjadi responden survei. Setiap pertanyaan yang dijawab akan menghasilkan poin yang dapat ditukarkan dengan uang tunai. Model bisnis serupa juga dimiliki startup lain, seperti Jakpat, Nusaresearch, Toluna, Yougov, Kantar, dan iPanel.

Komunal Amankan Pendanaan Tahap Awal dari East Ventures dan Skystar Capital

Startup p2p lending Komunal mengumumkan telah mengamankan pendanaan tahap awal dari East Ventures. Tidak disebutkan berapa nominal yang diterima startup asal Surabaya ini. Skystar Capital juga turut serta dalam putaran kali ini.

Dana yang diperoleh akan dimanfaatkan untuk mempercepat misinya dalam menjembatani gap pendanaan yang dibutuhkan oleh para pemilik UKM di Indonesia yang belum bisa dilayani oleh bank.

Ide awal Komunal muncul ketika para pendirinya menyadari besarnya jumlah pendanaan yang dialami Indonesia sejak awal tahun 2018. Gap pendanaan bagi para pemilik UKM di Indonesia disebut bisa mencapai angka Rp1.000 triliun per tahun.

Co-founder Komunal Hendry Lieviant menjelaskan, UKM saat ini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia karena memberikan kontribusi lebih dari 60% untuk Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan mampu menyerap tenaga kerja. Sayangnya mereka kesulitan mendapatkan pendanaan karena kurangnya riwayat pinjaman dan biaya operasional yang besar.

“Lewat Komunal, kami ingin membantu UKM yang potensial untuk terus berkembang dan turut memperbaiki ekonomi Indonesia secara substansial, serta mengurangi kesenjangan,” imbuh Hendry.

Sementara itu Co-founder Komunal Rico Tedyono menambahkan bahwa model bisnis p2p lending terbukti mampu membantu meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, melalui inklusi keuangan yang lebih baik.

“Komunal tidak hanya menyediakan kesempatan bagi masyarakat umum untuk menjadi pemberi pinjaman dengan bunga yang menarik, namun kami juga membuka akses pendanaan baru bagi para peminjam yang tidak bisa dilayani oleh bank. Lewat platform kami, para pemilik UKM kini bisa mendapatkan pinjaman yang mereka butuhkan untuk tumbuh,” terang Rico.

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengungkapkan bahwa Komunal memiliki misi yang sama dengan East Ventures, yakni mendorong inklusi keuangan di Indonesia. Tim Komunal juga disebut telah membuktikan kemampuan mereka dalam mengeksekusi dengan cepat dan tepat.

“Kami senang bisa turut bergandengan tangan dengan mereka dalam membuka kesempatan yang lebih baik bagi para UMKM di Indonesia,” jelas Willson.

Dalam waktu 8 bulan Komunal telah menyalurkan pinjaman dengan total nilai mencapai Rp50 miliar untuk para UKM di wilayah Jawa Timur. Komunal juga tengah menyiapkan diri untuk hadir di lebih banyak kota di Jawa Timur dan provinsi lainnya.

Application Information Will Show Up Here

HaloJasa Hadir sebagai Aplikasi “On-Demand” untuk Berbagai Kebutuhan

Dinamika pasar dan kebutuhan pengguna memaksa HaloJasa mengubah model layanannya. Dikembangkan pertama kali pada awal 2017, semula mereka mengusung konsep marketplace. Lantas kini bertransformasi menjadi aplikasi on-demand untuk empat kategori kebutuhan jasa, meliputi Halo Auto (otomotif), Halo Clean (kebersihan), Halo Fix (perbaikan), dan Halo Massage (kebugaran).

CEO HaloJasa Hengky Budiman menjelaskan, banyaknya kategori yang semula ditawarkan berimbas pada biaya pemasaran yang tinggi dan terlalu berisiko untuk pertumbuhan. Pada April 2019 mereka bertemu dengan investor yang berpartisipasi dalam pendanaan awal, lantas mendapatkan masukan untuk merampingkan kategori dan mengubah bentuk menjadi aplikasi on-demand.

“Intinya kami berorientasi untuk menciptakan solusi dan meningkatkan kesejahteraan bagi kaum pekerja informal sehingga dapat menciptakan lebih banyak lagi lapangan pekerjaan. Saya yakin menciptakan sebuah dampak sosial bagi banyak orang merupakan hal yang luar biasa yang ingin kita rasakan bersama-sama,” terang Hengky.

Empat kategori yang menjadi fokus HaloJasa adalah jasa kebersihan untuk rumah, indekos, apartemen, dan kantor; diberi nama Halo Clean. Kemudian jasa pijat di bawah kategori Halo Massage, jasa perbaikan AC di bawah Halo Fix, dan Halo Auto berupa jasa perawatan kendaraan rumah.

Sejak perubahan model bisnis dan peluncuran aplikasi baru pada Oktober 2019 silam, HaloJasa sudah mendapatkan 2000 pengguna dengan 250 vendor tergabung.

Optimis menjadi pimpinan pasar

Salah satu hal yang dipertimbangkan HaloJasa dalam proses perubahan bisnisnya adalah peluang untuk menjadi pemimpin pasar di aplikasi on-demand untuk jasa. Hengky menilai saat ini belum ada nama yang mendominasi untuk industri ini, yang artinya masih terbuka peluang untuk di mana saja.

Kendati demikian kita tahu, decacorn Gojek juga memiliki konsep serupa yang disematkan pada GoLife. Tentu akan menjadi persaingan yang cukup berat.

“Ceruk pasar peluangnya masih terbuka lebar dan saya yakin ini akan menjadi kompetisi yang menarik agar seluruh pemain berusaha memberikan layanan dan menjadi yang terbaik. Kami yakin orientasi terhadap solusi yang kami tawarkan mengedepankan kepentingan kedua belah pihak antara pengguna kami dan juga vendor mitra yang bekerja sama dengan kami,” terang Hengky.

HaloJasa saat ini mengusung beberapa fitur untuk terus mendongkrak pertumbuhan bisnisnya, di antaranya fitur matchmaking yang akan memilihkan vendor sesuai dengan lokasi yang radius yang disesuaikan. Beragam kanal pembayaran juga diharapkan mampu memberikan kemudahan bagi pengguna HaloJasa.

“Tahun depan kami memastikan bisnis masuk ke dalam product market fit. Setelah itu kami akan mengembangkan dan memperbanyak kategori-kategori baru pada bidang jasa. Termasuk membangun afiliasi dan kolaborasi pada pelaku industri jasa konvensional untuk memanfaatkan teknologi,” imbuh Hengky.

Transformasi bisnis serupa sebelumnya juga dilakukan pemain sejenis, Seekmi. Pada 2017 dengan alasan untuk fokus ke kepuasan pengguna, mereka juga merampingkan kategori jasa yang ditawarkan.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Salim Group Berinvestasi di Startup

Meski kiprah Salim Group dalam pendanaan startup digital tidak sekencang konglomerasi yang lain, sepak terjangnya tidak bisa diragukan. Tercatat ada beberapa investasi besar yang pernah dilakukan, seperti Elevenia, iLotte, Jagadiri, dan KlikIndomaret agar tetap sejalan dengan perkembangan zaman.

Ditemui saat konferensi tahunan NextICorn 2019 di Bali, Portfolio Manager Salim Group Edmund Carulli banyak menceritakan tentang strategi Salim Group dalam berinvestasi, baik untuk startup digital maupun non digital.

Salim Group tidak memiliki investment arm khusus saat menyalurkan pendanaannya. Mereka membentuk divisi khusus yang posisinya langsung di bawah grup, dinamai Innovation Factory.

Divisi ini khusus menyalurkan pendanaan tahap awal. Yang tidak termasuk dalam investasi ini adalah porsi untuk Elevenia, iLotte, Jagadiri, dan KlikIndomaret.

Tercatat ada 25 startup yang masuk ke dalam portofolio sejak memulai debutnya tiga tahun lalu. Startup tersebut bergerak di berbagai segmen, seperti SaaS, fintech, agrikultur, makanan, kecantikan, edukasi, dan otomotif.

“Dari 25 startup itu, beberapa di antaranya adalah tech startup,” terangnya, kemarin (14/11).

Masuk ke pendanaan tahap awal sebenarnya memiliki risiko tersendiri. Namun, Edmund menilai keputusan ini diambil karena filosofi investasi grup adalah bersama-sama bangun startup dari awal, agar nantinya dapat sejalan dengan visi besar grup.

Edmund menjelaskan setiap investasi yang diberikan, pihaknya tidak selalu mengambil saham mayoritas dari startup tersebut. Dari 25 portfolio, hanya sedikit diantaranya yang mayoritas.

Di samping itu, investasi yang dikucurkan saat ini masih dilakukan sendiri tanpa co-invest dengan investor lain. “Co-invest betul kita belum pernah co-invest, tapi tidak menutup kemungkinan [co-invest dengan investor lain].”

Filosofi investasi Salim Group

Seperti CVC kebanyakan, Salim Group cenderung lebih memilih startup yang memiliki unsur berkaitan dengan lini bisnisnya agar dapat mendukung eskalasi bisnis existing. Industri pendukung lainnya seperti fintech dan SaaS juga turut dicari, meski tidak dilakukan secara agresif.

Edmund memastikan Salim Group tidak melulu harus investasi. Bisa juga dengan sinergi bisnis. Intinya bagaimana mereka bisa memperkaya dan meningkatkan operasional di bisnis utama grup.

“Filosofi kami mencari startup bisa sinergi dengan bisnis di grup, terbesar ada Indomaret dan Indofood. Makanya kami cari startup yang bisa bantu kami untuk bantu ke sana.”

Di samping itu, preferensi startup yang dipilih adalah mulai mengarah pada pertumbuhan yang berkelanjutan. Tujuannya agar ekosistem startup lebih sehat, bagaimana mendorong mereka untuk tetap sustain ke depannya tanpa harus selalu bakar duit.

“Dari awal kita tidak percaya dengan startup yang burning money, yang kita cari adalah sustainable growth. Jadi kita cari startup yang punya bottom line-nya EBITDA positif, dari awal kita push ke sana.”

Portofolio juga berkesempatan untuk masuk ke dalam ekosistem digital Salim Group. Dari 25 portofolio startup, mereka bisa saling bersinergi satu sama lain. Pun demikian dengan seluruh entitas dalam Salim Group itu sendiri, meski tidak bisa integrasi secara langsung karena butuh proses.

Edmund menerangkan tahun ini perusahaan telah berinvestasi melalui Skala, program akselerator yang dibuat bersama Gree Ventures. Tanpa menyebut rinci, perusahaan telah berinvestasi tahap awal ke tiga startup.

“Dalam inkubator itu kita bina tiga startup selama tiga bulan, lalu kita danai di tahap awal. Sampai tahun ini sudah selesai, baru tahun depan kita akan mulai investasi baru lagi,” pungkasnya.

Startup Fintech Syariah Alami Bukukan Pendanaan 20 Miliar Rupiah

PT Alami Teknologi Sharia Group (Alami) berhasil mengantongi pendanaan terbaru dalam putaran seed. Investasi dipimpin oleh Golden Gate Ventures dengan keterlibatan RHL Ventures, Agaeti Ventures, dan Aamir Rahim melalui Zelda Crown.

“Karena ini masih MoU kami belum bisa disclose jumlahnya, tapi nilainya di atas 20 miliar Rupiah,” ujar Founder & CEO Alami Dima Djani dalam acara 6th Indonesia Sharia Economic Festival.

Dima mengatakan, dana segar tersebut seluruhnya akan dipakai untuk pengembangan teknologi, optimasi operasional, dan pemasaran produk. Seperti yang diketahui, Alami menyediakan produk keuangan berbasis syariah.

Alami sendiri fokus sebagai platform p2p lending untuk pelaku usaha kecil menengah (UKM) sebagai pasarnya. Namun dengan pendanaan baru ini, Alami membuka kemungkinan untuk merambah permodalan bagi pelaku usaha yang lebih kecil.

“Saat ini kita masih fokus di UKM tapi justru dengan pendanaan ini akan eksplorasi produk-produk baru salah satunya mungkin masuk ke pendanaan mikro,” imbuh Dima.

Langkah lain yang akan diambil oleh Alami adalah mengembangkan kembali layanan agregator mereka. Dalam riwayat Alami, layanan agregator diperkenalkan lebih dulu dengan tujuan memudahkan UKM mendapatkan pinjaman dari institusi keuangan syariah.

Selain itu Dima juga menuturkan, seluruh proses pendanaan dilakukan secara syariah, sehingga diklaim sebagai kesepakatan pendanaan berbasis syariah dengan modal ventura yang pertama di Asia Tenggara.

Dima melihat faktor keterbukaan masih luput sebagai pertimbangan para pelaku bisnis syariah di dalam negeri. Ia mencontohkan bagaimana bisnis syariah sulit berkembang karena begitu selektif dengan investor yang ingin bekerja sama.

“Karena pada akhirnya Islam itu kan untuk semuanya. Siapa saja yang mau, asalkan ikut struktur syariah kita OK,” tutur Dima.

Alami mengklaim sudah menyalurkan pembiayaan sekitar Rp50 miliar di periode Mei-Oktober 2019. Jumlah pemberi dana yang bergabung dengan sekitar 1.500 orang. Dengan pendanaan baru ini, Alami berharap dapat mengembangkan layanannya untuk setahun ke depan.

AltoShift Kenalkan Teknologi “Search as a Service”, Mudahkan Pengembang Atur dan Monetisasi Kolom Pencarian di Situs

AltoShift adalah platform teknologi yang dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan fitur pencarian di sebuah aplikasi/situs jual beli. Varian fiturnya ada tiga, yakni Search Engine as a Service, Recommendation Engine as a Service, dan Sponsored Search as a Service. Tujuannya untuk meningkatkan konversi pembelian, keterikatan pengguna, dan memungkinkan bisnis untuk menciptakan peluang monetisasi baru di search box miliknya.

“Perlu ditekankan, teknologi kami tidak ada hubungan dengan Search Engine Optimization (SEO) dan Search Engine Marketing (SEM). SEO dan SEM untuk mendatangkan traffic ke website dari mesin pencari seperti Google atau Bing. Teknologi AltoShift berada di dalam untuk membantu pengguna mencari sesuatu di website tersebut,” terang Co-Founder AltoShift Albert Sutojo.

Melalui platform tersebut, pengelola e-commerce dapat mengatur hasil pencarian di website ketika pengguna membubuhkan kata kunci tertentu. Tidak hanya itu, urutan hasil pencarian yang disajikan juga dapat dikustomisasi. Skema ini didesain untuk menghadirkan model bisnis baru bagi pemilik e-commerce – dengan menjual slot di kanal pencarian kepada brand.

“Selain mengkustomisasi pencarian, teknologi AltoShift juga memberikan hasil analisis yang merekam semua kata kunci yang pernah diketik pengguna saat melakukan pencarian dan korelasinya dengan produk yang dipilih. Hal ini bisa digunakan e-commerce untuk mempelajari search behaviour,” lanjut Albert.

Untuk implementasinya menggunakan pendekatan berbasis API. Teknologi AltoShift dikembangkan menggunakan NodeJS dan Golang. Selain di e-commerce, perusahaan juga ingin segera memperluas cakupan pengguna layanannya ke online publisher, seperti media atau kanal konten lainnya.

Tahun ini AltoShift juga menjadi binaan program akselerasi GK-Plug and Play Batch 5. Selain Albert, AltoShift didirikan oleh Jeffrey Budiman. Saat ini mereka telah mendapatkan pendanaan awal dari beberapa investor. Di Indonesia mereka mengaku belum memiliki kompetitor langsung, namun di taraf global sudah ada penyedia platform serupa, misalnya Algolia.

Model bisnis yang diterapkan ada tiga macam. Pertama langganan bulanan untuk fitur pencarian dan rekomendasi. Kedua ada pembagian keuntungan dan biaya platform untuk fitur sponsor. Selain itu, AltoShift juga membuka layanan pengembangan lebih lanjut dan kustomisasi jika mitranya memiliki kebutuhan khusus terkait peningkatan fitur pencarian.

“Karena Search as a Service masih terbilang baru di Indonesia, target kami untuk satu tahun ke depan adalah mendapatkan pengguna sebanyak mungkin. Kami mau mengedukasi pelaku e-commerce kalau rekomendasi dan hasil pencarian yang relevan adalah dua cara yang powerful untuk meningkatkan conversion dan engagement, dan sponsored search bisa digunakan untuk memonetisasi search traffic mereka,” ujar Albert.