Label Rekaman Trinity Bentuk CVC, Jajaki Peluang Investasi Ekonomi Kreatif

Pada 2019, Trinity Optima Production (TOP) terlibat dalam konsorsium pengembangan produk digital. Konsorsiumnya bersama tiga perusahaan label rekaman lain, yakni Musica, Aquarius, dan My Music, menghasilkan kesepakatan joint venture bersama PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) untuk menggarap platform audio on-demand Noice.

Kini, perusahaan menyatakan komitmen penuh untuk membuka peluang investasi dan pengembangan bisnis rintisan atau proyek yang sejatinya dapat memberikan nilai tambah terhadap ekosistem grup. TOP mengumumkan pendirian Corporate Venture Capital (CVC) dengan nama Trinity Ventures (TV) untuk memuluskan transisinya sebagai grup usaha (holding company).

Dalam keterangan resminya, perusahaan menyebut telah memiliki tim manajemen dengan bekal ilmu dan pengalaman solid untuk menuju skala korporasi lebih besar di industri hiburan. Adapun, Trinity Ventures menggaet Jagartha Advisors sebagai penasihat investasi yang berperan dalam melakukan assesment dan due diligence terhadap calon investee.

Berdasarkan wawancara terpisah dengan DailySocial.id, CEO Trinity Optima Production Yonathan Nugroho mengatakan mengambil peran ganda untuk memimpin TV. “Terkait entitas legal, PT sudah ada. Namun, berhubung ini CVC dan baru menggunakan dana internal, kami belum mengajukan izin sebagai perusahaan modal ventura,” tutur Yonathan.

Sekilas informasi, Trinity Optima Production didirikan oleh Adi Nugroho, Handi Santoso, Effendy Widjaja, dan Yonathan Nugroho pada 2003. Perusahaan memiliki rekam jejak kuat di industri hiburan; menaungi sejumlah artis kawakan, termasuk Armand Maulana, Sherina, dan Afgan.

Di luar label rekaman, TOP memperluas skala bisnisnya dengan masuk ke music publishing dan talent marketing melalui Trinity Artist Management (TAM), serta Trinity Creative Technology (Dignitiy) untuk digital content marketing.

Hipotesis investasi

Di awal, peluang investasi pada usaha rintisan sering diukur dari visi/value para founder, competitive advantage sebuah produk/layanan, dan valuasi. Namun, dengan melihat perkembangan industri dan pasar saat ini, TV lebih berfokus pada bisnis yang memiliki keberlanjutan jangka panjang dan fokus terhadap permasalahan di sektor yang digeluti, tak lagi cuma mengejar pertumbuhan.

Yonathan berujar, tidak ada sektor tertentu yang diincar, TV membuka diri seluas-luasnya pada peluang investasi di startup maupun proyek yang memberikan nilai tambah pada ekosistem Trinity Entertainment Group (TEG). Selain itu, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah rencana mitigasi risiko dengan memperhitungkan situasi makro saat ini.

“Pada tahap awal, kami fokus di sektor ekonomi kreatif yang berkaitan dengan industri film, musik, dan direct-to-consumer (D2C). Saat ini, posisi kami sedang mengeksplorasi peluang pada virtual influencer atau meta human. Kami tidak berfokus untuk mendigitalisasi suatu sektor usaha. Kami serahkan [pengembangan] model bisnis dan produk pada pemilik,” jelasnya.

Portofolio Investasi Trinity Ventures/ Sumber: Trinity Optima Production

Diungkapkan, TV dibentuk untuk memperluas jangkauan jaringan dan peluang kolaborasi selama itu visioner dan inovasinya disruptif. Artinya, model bisnis atau produk/layanan memiliki pain point, positioning, peluang untuk scale up yang jelas.

Pihaknya berupaya untuk mengkolaborasikan proyek/solusi yang dimiliki startup ke lintas sektor, dan tidak rigid pada idealisme tertentu. Kolaborasi ini dapat dilakukan antar-talent atau pada proyek/portofolio di mana TV berinvestasi.

“Bagaimanapun, kami punya bisnis inti di industri hiburan yang punya spirit mengelola talenta atau orang. Kami terbiasa pada fleksibilitas mengolah program kerja. Karena itu, dalam konteks calon investee, kami harap pemilik bisnis juga terbuka untuk mengkolaborasikan bisnis ke industri hiburan,” tambahnya.

Sumber pendanaan

TV akan menggunakan dua model pendanaan, yakni (1) pemberian modal bagi bisnis yang sudah well-established dan sedang fundraise, serta (2) pendanaan, pendampingan manajerial, dan dukungan dari sisi operasional, campaign, hingga sponsorship. Khusus pada model kedua, TV berfokus pada investasi di sektor riil, seperti brand, komunitas, atau startup dengan proyek spesifik.

“Proses transfer knowledge dan advisory pada pengelolaan bisnis ini adalah pilihan yang kami rasa sangat penting untuk teman-teman pebisnis yang masih merintis,” tutur Yonathan.

Menurut Yonathan, TV tidak memetakan model pendanaan berdasarkan tahapan (stage) startup, melainkan pada kebutuhan dari pemilik bisnis. Adapun, perusahaan induk dapat terlibat dalam pengelolaan manajemen, SDM, atau produk yang dimiliki agar dapat memberikan kontribusi positif bagi perusahaan.

“Kami tidak bisa menyebut nilai investasi yang disiapkan. Namun, untuk tahap awal, kami masih menggunakan sumber pendanaan internal dari Trinity Entertainment Group. Kami tidak menutup kemungkinan bakal menggandeng Limited Partner (LP) yang tertarik [berinvestasi] di sektor ekonomi kreatif dan turunannya di masa depan,” ungkapnya.

Pihaknya mengaku tak hanya mengincar sumber pendapatan baru, tetapi juga membuka berbagai pilihan terhadap investasi usaha atau proyek yang dapat menghasilkan nilai tambah strategis.

Ekonomi kreatif

Tren investasi pada perusahaan rintisan turut diminati sektor hiburan Indonesia. Hal ini salah satunya didorong oleh perkembangan teknologi Web3 yang membuka ruang eksplorasi menarik bagi konten kreator, baik musik, film, video, ilustrator hingga karya fiksi.

Famous Allstars adalah salah satunya yang meminati pengembangan konten kreator di era Web2 dan Web3. Salah satunya adalah rencana mendirikan creator venture dengan mengidentifikasi dua pilar menarik di sektor F&B dan beauty. Famous Allstars merupakan entitas yang menaungi channel-channel konten kreatif popular dan platform yang menghubungkan brand dengan influencer.

Kemenparekraf mencatat nilai ekspor ekonomi kreatif di Indonesia mencapai $23,9 miliar pada 2021, naik dari tahun sebelumnya $18,8 miliar. Pemerintah membidik nilai tersebut dapat mencapai $25,14 miliar di 2022.

Tesis Bank DBS Indonesia Memberikan Fasilitas Pinjaman ke Startup

PT Bank DBS Indonesia tengah aktif memperkuat portofolio strategisnya dengan pelaku startup. Salah satunya melalui pemberian fasilitas kredit untuk modal usaha (termasuk di salurkan lewat platform lending). Di sepanjang 2022, DBS Indonesia sudah beberapa kali memberikan pinjaman ke startup, yakni Kredivo, eFishery, dan terbaru Broom.

Beberapa waktu lalu, DBS Indonesia meresmikan perjanjian kerja sama fasilitas kredit kepada startup pembiayaan showroom mobil Broom sebesar Rp100 miliar. Perjanjian strategis ini diresmikan oleh Co-founder & CEO Broom Pandu Adi Laras dan Executive Director Institusional Banking Group Kevin Tanuwidjaja.

Pada Oktober, DBS Indonesia juga baru memberikan pinjaman jangka pendek ke startup aquatech eFishery sebesar Rp500 miliar. Kemudian di 2021, perusahaan memfasilitasi pinjaman ke Kredivo sebesar Rp2 triliun dengan skema joint financing. Ini merupakan peningkatan dari pinjaman sebelumnya sebesar Rp1 triliun dan Rp500 miliar untuk pendanaan awal Kredivo.

Langkah DBS Indonesia mulai aktif berkolaborasi dengan stratup dinilai sejalan dengan pertumbuhan ekonomi digital di Tanah Air. Mengacu laporan e-Conomy SEA 2022 oleh Google, Temasek, Bain and Company, nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai $130 miliar di 2025 dengan CAGR 19%.

Kevin berujar, ini menjadi wujud komitmen perusahaan dalam menciptakan solusi perbankan yang lebih berdampak dan terjangkau bagi startup atau pelaku fintech. “Kami melihat industri startup punya potensi sangat baik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi digital Indonesia,” ujar Kevin dihubungi terpisah oleh DailySocial.id.

Ia tak mengelaborasi lebih lanjut mengenai tesis investasi dan metrik yang digunakan. Namun, aspek kebutuhan, profil risiko, dan solusi terarah disebut sebagai faktor utama dalam menentukan kelayakan startup. Pihaknya juga mempertimbangkan rekam jejak finansial dan pendanaan startup.

Sumber: Bank DBS Indonesia, diolah kembali oleh DailySocial.id

“Kami berupaya menciptakan ekosistem yang cepat, andal, dan berkelanjutan dalam menyediakan solusi dan pengalaman sesuai prinsip kami ‘Live More, Bank Less’. Melalui kolaborasi strategis dengan startup dan ekosistemnya, kami ekspansi ke layanan fintech. Kami percaya dampak yang kami ciptakan dapat dirasakan di luar perbankan,” paparnya.

Lebih lanjut, pihaknya berupaya mengambil peran dalam pertumbuhan ekonomi digital dengan menggencarkan kegiatan dan advokasi berfokus pada masalah keberlanjutan dan memperhatikan isu environment, social, dan governance (ESG) seiring dengan komitmen DBS Group mencapai emisi nol bersih pada 2050.

Saat ini, DBS Group memiliki tiga pilar keberlanjutan sebagai dasar pemikiran, yakni Responsible Banking, Responsible Business Practice, dan Impact Beyond Banking.

Fasilitas kredit

Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO Broom Pandu Adi Laras mengungkap bahwa fasilitas kredit ini menjadi likuiditas tambahan yang akan mendukung pengembangan bisnis perusahaan. Adapun, dana tersebut akan dipakai untuk memperluas cakupan showroom mobil bekas di Indonesia.

“Fasilitas kredit ini akan mempercepat Broom untuk merangkul 5.000 showroom dan memperluas wilayah operasional di kota-kota besar lain di pulau Jawa hingga akhir 2022,” ungkap Pandu.

Sebelumnya, Broom telah memperoleh fasilitas kredit serupa dari beberapa lembaga keuangan lain di awal 2022. Selain itu, Broom juga memperoleh pendanaan pra-awal senilai $3 juta (lebih dari Rp43 miliar) yang dipimpin oleh AC Ventures, juga partisipasi Quona Capital dan beberapa angel investor, seperti pendiri Kopi Kenangan dan Lummo.

Sementara, Co-founder & CEO eFishery Gibran Huzaifah menilai fasilitas pinjaman dari bank lebih murah dalam jangka panjang dibandingkan menggunakan ekuitas yang mengharuskannya melepas saham bernilai ke investor. Sementara, jika perusahaan tumbuh baik, harga yang dikeluarkan bisa lebih mahal daripada saat pertama kali melepas [saham].

Sebagai informasi, ini menjadi kolaborasi perdana DBS Indonesia dan eFishery. Bagi DBS Indonesia, ini merupakan portofolio pinjaman pertama di sektor aquatech, sedangkan bagi eFishery adalah fasilitas pinjaman pertama dari bank sejak berdiri di 2013.

Di Indonesia, tampaknya belum banyak perbankan yang mau mengucurkan pinjaman kredit bagi modal usaha pelaku startup. Sejumlah faktor masih menjadi pertimbangan besar mengapa startup belum menjadi segmen potensial bagi bank.

Perbankan merupakan industri dengan regulasi ketat dan mengutamakan aspek manajemen dan profil risiko. Hal ini dilakukan untuk menekan atau mengendalikan risiko dalam produk yang ditawarkan, salah satunya penyaluran kredit.

Sementara, perusahaan rintisan dinilai belum dapat memenuhi sejumlah aspek di atas mengingat pelaku startup awal belum memiliki cash flow yang jelas, jaminan, rekam jejak finansial, dan kepastian pendapatan dari produk yang mereka kembangkan.

Berdasarkan laporan CB Insights, ada lima alasan teratas startup mengalami kegagalan di antaranya salah membaca kebutuhan pasar (42%), kehabisan dana (29%), susunan tim tidak sesuai (23%), kalah berkompetisi (19%), dan harga atau biaya tanggungan (18%).

Application Information Will Show Up Here

The Big Leap: Peran Pemasaran dan Upaya Memahami Gen Z

Beberapa waktu lalu, e27 bersama CleverTap menyambangi Jakarta melalui gelaran “The Big Leap“; bagian dari rangkaian acara yang menghubungkan para growth leader di Asia Tenggara, mulai dari founder, VP, Marketing, hingga Product Director.

DailySocial.id berkesempatan hadir mengikuti diskusi panel yang dipandu oleh CEO e27 Mohan Belani, dengan sejumlah pembicara yang terdiri dari SEA Regional VP Sales CleverTap Marc-Antoine Hager, Chief Marketing Officer BlueBird Mediko Azwar, Head of Marketing Pintu Timothius Martin, dan Chief Marketing Officer Halodoc Felicia Kawilarang.

Diskusi santai ini utamanya menyinggung tentang bagaimana marketing dapat memahami karakteristik Gen Z, tantangan, hingga customer experience dalam implikasi sebuah bisnis di masa pandemi Covid-19. Berikut rangkumannya.

Pencapaian, peluang, dan tantangan

Sedikit gambaran, transportasi merupakan salah satu sektor yang terdampak signifikan saat awal pandemi. Sebaliknya, layanan digital di sektor lain, seperti health dan wealth termasuk yang mencicipi kenaikan trafik pada periode tersebut.

Kebijakan pembatasan sosial dalam skala besar (saat itu disebut PSBB) menurunkan mobilitas masyarakat secara drastis. Orang-orang mengurangi perjalanan ke luar, aktivitas kerja dan sekolah dilakukan dari rumah.

Bagi Mediko Azwar, situasi tersebut sangat sulit bagi bisnis BlueBird yang bermain pada jasa transportasi. Malah, kala itu ia baru bergabung dengan perusahaan berlambang burung biru tersebut saat pandemi terjadi. “Ini menjadi tantangan tersendiri karena saya harus meyakinkan tim, bagaimana kita harus dapat memahami perubahan consumer needs dan memenuhi permintaan mereka.”

Sebaliknya, di sektor kesehatan, situasi ini berbuah manis kala pemerintah memberikan lisensi penggunaan telemedis untuk urgensi penanganan Covid-19. “Tiba-tiba ada lonjakan trafik di platform kami. Di situasi tersebut, secara tak langsung, platform telemedis seolah mendapat ‘free marketing‘ karena pemakaiannya langsung dipromosikan pemerintah,” tutur Felicia Kawilarang.

Namun, lonjakan trafik itu justru memunculkan tantangan selanjutnya bagi Halodoc, yakni memastikan aplikasi dapat bekerja memenuhi permintaan tinggi. Pihaknya bekerja keras untuk membuat platform dapat diakses setiap saat sembari mengedukasi dokter terkait Covid-19, dan memahami target pengguna dan perilakunya.

Di sinilah marketing memainkan peran signifikan. “User knowledge comes from the marketing team, that’s how we build the product. We have done a lot of research and survey,” tambah Felicia.

Mediko juga mengungkap bahwa marketing mendorong BlueBird untuk meningkatkan hubungan dengan customer dan mencari peluang pengembangan layanan baru dari customer journey.

Memahami Gen Z

Timothius Martin mengungkap, situasi pandemi memunculkan peluang dalam membentuk pendekatan marketing, terutama bagi Gen Z. Ia berujar, ada banyak kekhawatiran muncul dari masyarakat tentang bagaimana mengamankan uang atau aset mereka saat pandemi.

“Platform kami meluncur saat pandemi, orang-orang saat itu stay at home. Kami melihat [peluang di mana] karakter [yang ingin disasar] ada pada Gen Z. Mereka cari tempat di mana bisa taruh aset dengan mudah, accessible 24/7, gampang dicairkan, dan volatile enough to give that adrenalin pump,” paparnya.

Belum lagi, saat itu, platform kripto yang ada di Indonesia belum banyak dipahami oleh Gen Z. Di sini lah, ia mengawinkan produk dan marketing agar informasi yang dibutuhkan dapat tepat sampai ke penggun alih-alih hanya sekadar viral saja.

Dalam perkembangannya, Timothius mencatat pentingnya melakukan mind shift dalam menentukan strategi marketing. Tidak ada approach yang bersifat satu untuk semua. Misalnya, bagaimana mengubah mindset atasan terkait bagaimana menggunakan budget marketing pada influencer atau iklan. “[Dalam konteks pemanfaatan influencer atau iklan] rather than number of impression, sebaiknya untuk [capai] conversion rate.

Mark menambahkan, pendekatan marketing menggunakan iklan tidak selalu harus dikesampingkan. Setiap strategi punya pendekatan berbeda. Pada kasus Gen Z, mereka termasuk segmen pengguna yang tidak bisa didekati dengan model penjualan langsung atau gamblang (hard sell), tetapi melalui pemanfaatan sebuah produk.

“Bagi kami, untuk bisa evolve di pasar, perusahaan tidak melulu bicara cost dan profit, tetapi fokus ke pengguna agar dapat memahami pasar. Dan marketing punya peran untuk fokus menyuarakan pesan dari customer bukan perusahaan.”

Bukalapak Mulai Validasi Potensi Warung di Filipina

Setelah BukaGlobal, PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) kembali melanjutkan gerilya bisnisnya ke luar Indonesia. Sebagaimana dilaporkan berbagai media arus utama, Bukalapak rupanya telah resmi beroperasi di Filipina melalui brand SmartSari sejak pertengahan tahun ini.

Ketika dihubungi, pihak Bukalapak masih enggan memberikan keterangan lebih lanjut mengenai ekspansi ini.

Berdasarkan laporan tahunan Bukalapak, perusahaan tercatat telah mendirikan entitas legal SmartSari sejak April 2022 dengan persentase kepemilikan 99,99% atau setara nilai Rp2,69 triliun.

Diketahui, SmartSari merupakan bentuk duplikasi dari lini bisnis Mitra Bukalapak. Platform SmartSari memungkinkan pelaku UMKM mengembangkan bisnisnya. Salah satu keunggulan yang ditawarkan adalah pengiriman produk secara online.

Di Filipina, istilah “Sari” merujuk pada toko-toko kecil yang menjual makanan, minuman, maupun kebutuhan sehari-hari. Di Indonesia, kita mengenalnya sebagai warung.

Melalui aplikasi SmartSari, saat ini pemilik usaha baru bisa menjajakan produk  secara virtual (game voucher, pulsa). Namun, ke depannya penjualan produk dapat dilakukan di toko fisik. Kategori produk juga akan ditambah, seperti tiket, remitansi, dan pembayaran tagihan.

Kini, aplikasi SmartSari telah diunduh lebih dari 50 ribu kali di Google Play Store.

Potensi pasar Filipina

Ada beberapa tesis yang memungkinkan Bukalapak untuk memperluas lini bisnis Mitra sebagai langkah awal ekspansi.

Alih-alih masuk lewat lini Marketplace, Bukalapak melihat ada potensi pasar yang besar—serupa dengan potensi yang dimiliki Indonesia—tak lain adalah UMKM. Lagipula, sejauh ini pasar marketplace di Filipina dikuasai oleh dua pemain besar, yakni Lazada dan Shopee.

Menurut Venturra Discovery yang sudah lebih dulu menjajaki investasi di Filipina, negara tersebut memiliki sejumlah potensi besar, seperti jumlah populasi besar, demografi penduduk yang relatif muda, dan buying power terus meningkat.

UMKM merupakan fondasi utama perekonomian di Indonesia dan Filipina. Persentase pelaku UMKM di Filipina bahkan jauh lebih besar. Sebagai gambaran singkat, menurut Data Reportal, populasi Filipina per Januari 2022 mencapai 111,8 juta jiwa di mana 16,4% berada di segmen usia produktif, yakni 25-34 tahun. Pengguna internetnya sebanyak 76 juta atau 69% dari total populasi.

Sumber: Laporan e-Conomy SEA 2022 oleh Google, Temasek, dan Bain and Company
Sumber: Laporan e-Conomy SEA 2022 oleh Google, Temasek, dan Bain and Company

Kemudian, dari 1 juta pelaku bisnis yang tercatat resmi di Philippine Statistics Authority (PSA) di 2021, sebesar 99,58% adalah UMKM dan sisanya 0,42% adalah perusahaan skala besar. Dirinci berdasarkan kategorinya, 90% adalah pelaku usaha mikro, lalu 8,63% usaha kecil, dan 0,41% usaha menengah.

Laporan e-Conomy SEA 2022 oleh Google, Temasek, dan Bain and Company memproyeksikan nilai ekonomi digital Filipina sebesar $20 miliar atau tumbuh 20%  Di 2025, nilainya diestimasi tembus $35 miliar. Dari proyeksi tersebut, nilai industri e-commerce diperkirakan mencapai $14 miliar di 2022 dan diprediksi naik jadi $22 miliar di 2025. Adapun, penetrasi e-commerce di Filipina telah mencapai 88%.

Menilik kinerja Mitra Bukalapak, lini bisnis ini telah menjadi motor penggerak pertumbuhan perusahaan sejak beberapa tahun terakhir. Perlahan kontribusi pendapatannya melampaui Marketplace yang merupakan bisnis inti Bukalapak sejak awal.

Berdasarkan laporan keuangan kuartal III 2022, pendapatan Mitra naik 191% menjadi Rp1,44 triliun dibanding periode sama tahun lalu. Kontribusi terhadap total pendapatan juga naik dari 43% menjadi 53% (YoY). Saat ini, Bukalapak punya sebanyak 15,2 juta Mitra.

Application Information Will Show Up Here

CZ: Daripada Berspekulasi, Mari Berdiskusi Penerapan dan Regulasi Kripto

Wakil Ketua Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Aldi Haryopratomo bertatap muka dan berbincang dengan Founder & CEO Binance Changpeng Zhao (CZ), pada forum dialog resmi B20 yang juga bagian dari perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Rabu (16/11).

Dalam perbincangannya, CZ menyinggung banyak hal terkait industri kripto, dari topik dasar mengenai use case, masa depan, hingga situasi panas yang muncul pasca-pengajuan kebangkrutan bursa kripto global FTX baru-baru ini.

Aldi merangkum beberapa sari penting dari dialognya bersama CZ sebagaimana disampaikan dalam laman Medium pribadinya.

Internet dulu adalah teknologi baru untuk transfer informasi, kripto saat ini adalah teknologi baru untuk transfer nilai

Menurut CZ, sebagian besar masih mengasosiasikan kripto sebagai produk spekulatif yang sekalinya bisa terbang tinggi atau justru runtuh. Namun, [kripto] adalah cara berbeda dan baru untuk mentransfer sebuah nilai.

“Internet hanya lah sebuah teknologi baru untuk mentransfer informasi. Itu saja, hanya layanan data yang berjalan melalui kabel atau udara. Namun, berkat itu, kita dapat membangun seluruh industri. Ekonomi baru. Dunia virtual.”

Kripto punya banyak use case dan peluang model bisnis baru

Jika teknologi [dulu] berkaitan dengan informasi, teknologi baru yang ada saat ini [kripto] berkaitan dengan uang. Dampaknya akan sangat besar. Teknologi, dalam menciptakan bentuk lebih baik dari uang, akan menghasilkan bentuk lebih baik dari industri fintech dan keuangan, yang mana akan menjadi pilar dari setiap sektor lainnya.

[Kripto] menjadi bentuk investasi asing paling direct. Setiap pemimpin yang ia ajak bicara, mau berinvestasi langsung. Namun, kenapa tidak membiarkan pengusaha menggalang dana menggunakan blockchain, seperti ICO dan model lainnya? Ada banyak use case kripto. Saat Covid-19 Delta menyerang tahun lalu, penggalangan dana global berjalan efektif, koin dapat dipindahkan secara instan. Hak cipta pada aset digital NFT juga sudah ada.

“Kita dapat membangun model bisnis baru yang akan mengubah cara melakukan penggalangan dana, pembayaran, dan berinvestasi. Sekarang kita bisa lakukan micropayment, kirim uang lintas negara, NFT, Metaverse. Semua itu akan terjadi, bahkan sudah, seperti penggalangan dana global lewat ICO.”

Namun, pada kasus seperti penggalangan dana untuk tujuan keamanan—meski teknologinya memungkinkan—diregulasi dan diawasi terlalu ketat. Di Amerika Serikat (AS), pemerintahnya menjalankan duck test untuk menentukan suatu hal berjalan aman atau tidak. Umpamanya pada security, jika bersuara atau berjalan seperti bebek, ya berarti aman.

Maka itu, perlu edukasi dan awareness terkait pemanfaatan kripto terlepas dari spekulasi yang disiarkan oleh media arus utama. Dengan begitu, publik dan regulator dapat mempertimbangkan aspek keuntungan dan kerugian.

Pelaku industri dan regulator perlu kerja sama melindungi konsumen

Secara kolektif, CZ menilai industri berperan melindungi konsumen sehingga dapat memproteksi semua orang. Jangan hanya meregulasi pihak yang punya peran saja, tetapi juga yang tidak sepenuhnya tanggung jawab mereka.

Sebagian besar regulator yang telah diajak bicara bilang kekhawatiran terbesar mereka adalah orang akan kehilangan minat karena berspekulasi dengan koin kripto. Robohnya FTX justru malah memvalidasi ketakutan tersebut. Ini menjadi “wake-up call” bagi regulator dan pelaku industri.

Melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini, pihaknya berupaya untuk mengumpulkan para pelaku industri untuk membentuk asosiasi di skala global. “Kita berada di industri baru. Kita melihat beberapa minggu terakhir, banyak hal gila terjadi. Butuh regulasi untuk menjalankan ini dengan cara stabil dan benar.”

Kripto tak berbatas tapi regulasinya terbatas, membuatnya sulit diatur

“Ada semacam kekuatan penyeimbang antara teknologi dan inovasi versus konsep tradisional tentang country border. Jika kamu berpikir tentang perbatasan negara, sebetulnya itu adalah konsep buatan manusia, bukan? Artinya, secara alamiah, perbatasan negara itu tidak pernah ada. Ibaratnya, sekelompok orang setuju bahwa ini batas yang menjadi perbatasan.”

Pada kasus FTX, mereka beroperasi di luar Bahama, tetapi mengambil deposit dari Singapura, AS, Eropa, dll. Artinya, orang dapat memindahkan uangnya ke luar perbatasan negara mereka. Sekarang, [crypto] exchange telah runtuh, pemerintah pasti bakal mencari cari untuk melindungi warganya dari kehancuran di masa depan.

Ia menilai, sebuah framework untuk mengatur cara kripto pada negara-negara G20 diperlukan. Pelaku industri perlu bertanggung jawab dan harus menghadapi upaya regulator dalam menuntut kejelasan.

Memungut pajak kripto rumit, tapi perlu. Pertanyaannya, bagaimana caranya?

“Dalam dunia kripto, hanya sedikit konsep tentang perbatasan negara. Jika Anda memungut pajak pada perusahaan, transaksi, kantor pusat, tren di negara terkait, ini akan memengaruhi transaksi setempat. Seluruh transaksi akan bergeser ke platform global di mana pajak yang akan dipungut sangat kecil.”

Dengan kata lain, pemerintah harus memberikan lisensi dengan mudah agar dapat memungut pajak pendapatan dengan layak. Ketika memberikan lisensi, pemerintah dapat meminta data. Jika tidak memberikan lisensi, platform bakal mencari cara lain, seperti beroperasi offshore. Sebaiknya, jangan kenakan pajak pada transaksi pengguna, melainkan pada perusahaannya.

CZ juga menyentil tentang keputusan pemerintah Indonesia untuk memungut pajak pada transaksi kripto. Menurutnya, aturan ini akan menambah gesekan baru yang berpotensi mendorong orang melarikan uangnya ke luar dari Indonesia. Justru itu hal yang ditakuti oleh Central Bank.

Namun di sisi lain, memungut pajak pendapatan membutuhkan kapabilitas yang justru belum dimiliki oleh sebagian besar otoritas pajak. IRS menerapkan rezim pajak global. Warga negara AS membayar pajak penghasilan di mana pun mereka tinggal. Pemerintah telah membangun infrastruktur, kapabilitas, dan alat untuk memantau warganya.

Masalahnya, banyak negara belum memiliki hal tersebut. Ini adalah pilihan sulit bagi regulator pajak.

Uang dan bakat mengalir ke negara yang paling banyak berinovasi

“Ketika kamu melakukan pencarian di Google, mengklik iklan di Twitter, itu dijalankan oleh perusahaan di AS. Tanpa batas. Ketika kamu mengklik iklan, pendapatan itu masuk ke AS atau negara lain, atau bisa jadi, perusahaan lokal tetapi melayani pengguna di seluruh dunia.”

Berbeda dengan dunia blockchain. Di era post-internet, skalanya jauh lebih global. Setiap orang di negaranya perlu mengembangkan talenta, disebut juga sebagai ekonomi Web3. Dengan begitu, mereka dapat melayani skala dunia. Semakin baik suatu negara, semakin baik [warga] negara menjalankannya, dan semakin banyak yang dapat mereka hasilkan.

Sama seperti teknologi baru lain, suatu negara bakal mengadopsi lebih cepat daripada yang lain. Hari ini bisa saja Dubai, tahun depan bisa yang lain. Dengan kata lain, regulasi pada akhirnya akan mengejar inovasi. Memang begitu.

Pertanyaannya, negara mana yang paling cepat beradaptasi untuk memanfaatkan perubahan teknologi secara ‘tektonik’ ini dalam bagaimana kita menggerakkan uang?

Langkah Progresif Menuju Keterhubungan Informasi Data Kesehatan

Pandemi Covid-19 menjadi katalisator penting bagi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mentransformasi industri kesehatan Indonesia. Bak kereta super cepat, Kemenkes merealisasikan sejumlah langkah yang sangat progresif di sepanjang satu tahun terakhir ini untuk mengawali transformasinya.

Sejak akhir 2021 hingga sekarang, agenda besar Kemenkes tercermin dari realisasi peluncuran (1) peta jalan transformasi digital, (2) regulatory sandbox, (3) platform Indonesia Healthcare System bernama “Satu Sehat”, dan—salah satu yang signifikan—(4) peraturan baru tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME).

Poin nomor empat menjadi elemen krusial dalam memuluskan agenda transformasi industri kesehatan. Namun, secara keseluruhan, Kemenkes punya visi-misi jangka panjang yang dalam pelaksanaannya harus merangkul banyak pemangku kepentingan (stakeholder).

DailySocial telah mewawancarai sejumlah stakeholder untuk bicara sudut pandang mereka dari aspek industri, regulasi, dan teknologi sebagai enabler dalam menjawab berbagai persoalan di industri kesehatan yang selama ini identik sebagai high-regulated sector karena berkaitan dengan nyawa manusia dan punya kontrol besar terhadap data informasi kesehatan.

Lanskap dan tantangan

Mengutip sebuah studi, industri kesehatan di Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan utama, seperti tuntutan untuk memperbaiki layanan medis, penyediaan akses informasi tepat waktu, dan tingginya biaya operasional.

Tenaga kesehatan (nakes) tak hanya dihadapkan pada tuntutan untuk memberikan kualitas layanan kepada pasien, tetapi juga beban administratif. Salah satunya adalah proses input data pasien masih dilakukan secara manual.

Di satu sisi, masyarakat khususnya kaum menengah ke bawah menganggap biaya berobat ke rumah sakit masih sangat mahal. Akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah masih minim apabila memperhitungkan faktor geografis di Indonesia.

Data BPS menyebut rata-rata biaya pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia meningkat 8,9% menjadi Rp34.364 pada 2021. Secara proporsi, pengeluaran ini naik menjadi 2,72% dari tahun sebelumnya 2,57%. Sementara, Kemenkes mencatat pada 2020 rasio dokter hanya berkisar 0,38 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur di rumah sakit 1,2 per 1.000 populasi.

Maka itu, pandemi Covid-19 dinilai telah membuka mata para pemangku kepentingan untuk membenahi industri kesehatan. Pandemi memberi dorongan bahwa teknologi dapat menjadi enabler untuk mengatasi krisis dan mendemokratisasi layanan kesehatan dalam jangka panjang.

Sebetulnya, layanan kesehatan berbasis teknologi atau healthtech di Indonesia sudah ada sebelum pandemi. Kita mengenal Alodokter, Halodoc, Klikdokter, dan Klinik Pintar. Layanan yang ditawarkan mulai dari telekonsultasi, marketplace produk kesehatan, hingga digitalisasi ekosistem kesehatan.

Telekonsultasi menjadi salah satu layanan healthtech yang popularitasnya meroket kala pemerintah mengizinkan penggunaannya untuk urgensi penanganan Covid-19. Halodoc dan Alodokter bahkan sempat mencatatkan lonjakan trafik tinggi di awal pandemi.

Terlepas dari itu, masih banyak inovasi di bidang healthtech yang dapat dieksplorasi sehingga tak terbatas pada layanan telekonsultasi saja. Survei Statista memproyeksi nilai pasar digital health di Indonesia mencapai $1,98 miliar di 2022. Segmen terbesar diproyeksi berasal dari digital fitness dan well-being dengan total proyeksi pendapatan sebesar $1,14 miliar di 2022.

Standardisasi dan keterhubungan data

Peta jalan transformasi industri kesehatan memuat tiga agenda utama, yaitu integrasi dan pengembangan pada sistem data, aplikasi pelayanan, dan ekosistem di bidang teknologi kesehatan (healthtech). Sasarannya mencakup layanan kesehatan primer dan sekunder, ketahanan sistem kesehatan, sistem pembiayaan, hingga SDM. 

Dalam pelaksanaannya, Kemenkes membentuk divisi Digital Transformation Office (DTO), dipimpin oleh Setiaji yang telah memiliki pengalaman karir kuat di bidang IT dan birokrasi pemerintah. Setiaji akan menuntun penyelenggaraan transformasi digital di industri kesehatan selama empat tahun ke depan.

Pertanyaan selanjutnya, transformasi ini dimulai dari mana dulu?

Menurut Chief of DTO Setiaji, standardisasi dan keterhubungan data (interoperability) akan menjadi tulang punggung dalam mengintegrasikan seluruh layanan dan pemangku kepentingan di industri ini. Ini menjadi alasan utama DTO menempatkan standardisasi sebagai pondasi dasar transformasi. Tanpa standardisasi, keterhubungan data tidak akan tercapai.

“Maka itu, kami mendahulukan [transformasi] pada Rekam Medis Elektronik sebagai backbone. Salah satu tantangan besar selama ini adalah setiap rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain punya format data sendiri. Transformasi tidak bisa dilakukan jika standardisasi data tidak sama,” ujar Setiaji dalam wawancara dengan DailySocial.id beberapa waktu lalu.

Peta Jalan Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2021-2024 / Sumber: Kementerian Kesehatan

Yang selama ini terjadi, setiap fasyankes beroperasi dengan format dan sistem yang dibangun sendiri-sendiri. Setidaknya, saat ini ada 400 aplikasi di bidang kesehatan, 70 aplikasi puskesmas, dan 50 aplikasi rumah sakit. Karena format dan sistemnya berbeda, sulit untuk mengawinkan dan mengolah data informasi kesehatan.

Standardisasi menyeragamkan seluruh aspek data di industri kesehatan untuk menuju satu data Indonesia sehingga seluruh penyedia dan pengguna layanan kesehatan, baik pasien, fasilitas kesehatan, dan pemerintah dapat saling terhubung dan melakukan pertukaran data. Adapun, standardisasi ini dapat dimanfaatkan seluruh stakeholder terkait pada platform Indonesia Healthcare System (IHS).

Asosiasi Healthtech Indonesia (AHI) menanggapi keputusan yang diambil DTO sudah tepat untuk memprioritaskan standardisasi dan keterhubungan data sebagai langkah awal transformasi. Menurut Wakil Ketua AHI sekaligus Co-founder Zi.Care Jessy Abdurrahman, peta jalan transformasi tersebut juga telah mencerminkan concern dari para pelaku healthtech di Indonesia.

Menurutnya, industri kesehatan selama ini sangat eksklusif jika menyangkut informasi informasi data kesehatan. Maksudnya, fasyankes seolah memiliki kendali besar terhadap informasi data kesehatan. Padahal, Permenkes 269 Tahun 2008 jelas menyebutkan bahwa kepemilikan data ada pada pasien. Karena situasi ini, para pelaku startup sulit untuk melakukan disrupsi di sektor kesehatan.

“Saat itu, kami melihat tidak ada standardisasi pada rekam medis elektronik (RME) sehingga data tidak bisa ‘dikawinkan’ dan diolah menjadi apapun. Hal ini menjadi isu besar ketika Covid-19 terjadi, formatnya berbeda-beda, data tidak akurat, dan proses sampai ke RS menjadi lama karena birokrasi panjang. Peta jalan transformasi ini seharusnya menjadi titik terang bagi industri kesehatan,” ujar Jessy.

Tantangan, implementasi, dan regulasi

Untuk merealisasikan standardisasi ini, Kemenkes meluncurkan platform IHS yang akan dikenal sebagai “Satu Sehat” pada Juli 2022. Satu Sehat adalah Platform-as-a-Service (PaaS) yang akan menghubungkan antar-platform atau aplikasi milik seluruh pelaku industri kesehatan, baik RS vertikal, RS pemerintah, RS swasta, Puskesmas, Posyandu, laboratorium, klinik, hingga apotek. Satu Sehat juga akan terintegrasi pada aplikasi PeduliLindungi.

Kemudian, Kemenkes menerbitkan regulasi baru tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME) pada fasyankes; tertuang dalam PMK No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis yang merupakan perubahan dan pemutakhiran dari peraturan sebelumnya PMK No. 269 Tahun 2008.

Kedua agenda di atas krusial dalam menciptakan satu data kesehatan nasional dan terpusat dalam satu platform. Beberapa contoh output-nya adalah menekan potensi duplikasi input data, menyelenggarakan RME, dan memudahkan proses rujukan. Satu Sehat telah diuji coba di 41 RS, 9 RS vertikal, dan 32 RSUD di DKI Jakarta, serta uji coba beta di 31 institusi kesehatan dan lab kesehatan.

Pada pemberitaan sebelumnya, peraturan penyelenggaraan RME memuat pasal-pasal terkait kepemilikan dan isi rekam medis pasien, keamanan dan perlindungan data pribadi, hingga pelepasan. Adapun, Kemenkes diberi kewenangan untuk mengolah data kesehatan milik pasien.

Dalam pasal 3, fasyankes wajib mengimplementasi RME, termasuk pada layanan telekonsultasi oleh fasyankes, dan wajib diintegrasikan ke platform Satu Sehat. Pemerintah memberikan masa transisi bagi seluruh fasyankes hingga akhir 2023.

Dalam pelaksanaannya, Setiaji menilai akan ada beberapa tantangan yang dihadapi mengingat masa transisi yang diberikan hanya satu tahun. Tantangan terbesar adalah mengimplementasi penyelenggaraan RME, terutama bagi fasyankes di daerah. Ia menyebut fasyankes di daerah belum melakukan digitalisasi karena tak punya anggaran.

Survei Kemenkes mencatat anggaran digitalisasi RS rata-rata tak sampai 3% dari total anggaran mereka. Faktor ini membuat transformasi digital belum menjadi prioritas. Selain itu, RS juga harus memiliki sistem informasi manajemen yang terintegrasi agar dapat berbagi informasi secara real-time.

Sebagai gambaran, setidaknya ada 22% dari 2.595 RS yang belum punya Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS). Kemudian, dari 2.291 RS yang memiliki SIMRS, implementasi RME di front office baru 24% dan 64% untuk back office. Dari 737 RS, sebanyak 359 belum menerapkan RME, 175 RS baru sebagian, dan 203 RS sudah. Saat ini, terdapat 10.260 Puskesmas, 11.347 klinik (pratama dan utama), 2.985 RS, 5.862 praktik mandiri, dan 1.400 laboratorium.

“Kami harus melakukan integrasi 8.000 aplikasi/platform/sistem dengan harapan digitalisasi tidak hanya terjadi pada sistem, tetapi juga tenaga kesehatan. Dokter juga ikut menginput. Dari 10 ribuan Puskesmas, baru 3.000 yang memiliki sistem. Nanti [fasyankes daerah] seperti Puskesmas akan mendapat anggaran khusus [untuk transformasi digital],” ujar Setiaji.

Untuk memudahkan transisi, penyelenggaraan RME pada fasyankes di daerah juga akan dilakukan secara bertahap mengingat kesiapan SDM, infrastruktur, dan budaya kerja berbeda dengan di perkotaan. DTO mengambil peran lebih dalam dengan melakukan edukasi digital dan uji coba integrasi platform Satu Sehat di fasyankes di berbagai kota.

Setidaknya sampai akhir tahun 2022 ini, Kemenkes menargetkan sekitar 12.000 fasyankes akan terintegrasi dengan platform Satu Sehat.

Mengawal transformasi

Lebih lanjut, Ketua Pengurus AHI dr. Gregorius Bimantoro menambahkan bahwa perlu ada kolaborasi pada lima pemangku kepentingan agar dapat merealisasikan peta jalan tersebut. Di antaranya dari (1) pemerintah, baik pusat dan daerah harus onboard, (2) pimpinan faskes primer dan sekunder, (3) mitra rekam medis dan IT rumah sakit, (4) startup dan developer, dan (5) nakes. Pihaknya berupaya menggandeng kampus/universitas untuk ikut dalam mendorong ekosistem healthtech.

“Kami belum pernah melihat roadmap yang salah satunya memprioritaskan ekosistem healthtech, jadi kami sangat senang dilibatkan dalam kolaborasi ini. Ini berarti pemerintah terbuka dengan [enabling] teknologi dalam mencapai ketahanan di bidang kesehatan. AHI berperan untuk membantu pengembangan ekosistem [healthtech] dengan DTO,” papar dr. Gregorius.

Sementara itu, Co-founder dan CEO Klinik Pintar Harya Bimo mengaku antusias dengan langkah pemerintah. Menurutnya, ini pertama kalinya Kemenkes dan pelaku healthtech memiliki cara berpikir yang sejalan. Ketika penggunaan layanan telekonsultasi diizinkan pada masa pandemi, banyak pihak menyadari perlunya RME untuk memperkaya historical data dari pasien. Sayangnya, saat itu peraturan tentang RME belum ada.

“Struktur roadmap ini bagus karena fokus utamanya dimulai dari keterhubungan data. Namun, roadmap ini harus dikawal bersama untuk memastikan standardisasi tersebut berjalan. Kita bertanggung jawab bagaimana pertukaran data kesehatan terjadi. Bagaimana dari sisi komersial, kami cari use caseDo and don’ts harus dijembatani,” jelas Bimo.

Diakuinya, apa yang dilakukan pemerintah sejauh ini juga sejalan dengan upaya Klinik Pintar untuk mencapai interoperabilitas. Standardisasi dan keterhubungan data memang seharusnya menjadi agenda utama sebelum bicara lebih jauh tentang demokratisasi layanan kesehatan, terutama pada grass root.

Jika melihat riwayat ke belakang, ia menilai tidak mudah bagi pengembang layanan digital untuk beroperasi tanpa produk hukum. Sebetulnya, bisa saja kedua hal tersebut berjalan paralel bagi keduanya. Namun, push back biasanya terjadi ketika ada disrupsi.

Ambil contoh, penggunaan layanan telekonsultasi diperbolehkan ketika pandemi. Pemerintah menerbitkan Surat Edaran (SE) untuk melegitimasi penggunaan layanan tersebut. Namun, SE kurang memiliki kekuatan untuk jangka panjang karena begitu pandemi selesai, telekonsultasi tak diperbolehkan lagi.

“Jadi DTO ibarat sebuah startup yang sedang membangun Minimum Viable Product. Ketika kita ingin menuju goal keterhubungan data, kita perlu membantu meski belum ada produk hukum.”

Pertamina NRE Alokasikan 7,7 Triliun Rupiah untuk Investasi ke Startup Energi

PT Pertamina melalui anak usaha Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) akan mengalokasikan dana sebesar $500 juta atau sekitar 7,7 triliun Rupiah untuk investasi startup di sektor energi. Inisiatif Energy Fund ini akan dikelola bersama MDI Ventures.

Dilansir dari DealStreetAsia, Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury mengungkap bahwa dana tersebut akan dialokasikan untuk investasi selama lima tahun. “Kami harap akan lebih banyak investor bergabung [pada dana kelolaan ini],” ujarnya.

Dalam pemberitaan DailySocial.id sebelumnya, Energy Fund merupakan satu dari tiga dana kelolaan yang diresmikan oleh Kementerian BUMN pada September 2022 di ajang BUMN Startup Day. Peluncuran ketiga dana kelolaan ini disepakati melalui penandatanganan Head of Agreement (HoA).

Adapun, dua dana kelolaan lainnya disuntik oleh disuntik dari PT Bio Farma (Bio Health Fund) dan PT Pupuk Indonesia (Agri Fund). Ketiga dana kelolaan ini akan menjadi kendaraan investasi pada startup tahap early hingga growth di vertikal terkait.

Kepada DailySocial.id, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan pembentukan dana kelolaan ini tak semata untuk mendapat capital gain, tetapi juga membawa sinergi, produk baru, ke induk usaha. “Investasi [tiga dana kelolaan] ini menyasar tahap seed sampai seri B dan C, tetapi ini vertical-focused ya. Berbeda dengan Merah Putih Fund yang fokus pada startup soonicorn,” ungkap Donald.

Dalam keterangan resminya, Direktur SDM dan Penunjang Bisnis Pertamina NRE Said Reza Pahlevy mengatakan bahwa inisiatif ini bertujuan untuk mempercepat transisi energi. Sektor yang diincar oleh Pertamina antara lain low carbon solutions, energi baru dan terbarukan (EBT), dan masa depan di sektor energi.

“Transisi energi membutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Kolaborasi Pertamina NRE dengan MDI Ventures yang didukung oleh Kementerian BUMN membuka peluang pendanaan bagi perusahaan rintisan yang memiliki semangat yang sama untuk mengembangkan energi bersih,” tuturnya seperti dikutip dari CNN.

Ekosistem startup energi

Pada tulisan feature kami tiga tahun lalu mengenai gelombang startup energi, dikatakan bahwa antusiasme pelaku startup di sektor ini mulai bangkit. Namun, pelaksanaannya memang masih sulit karena sejumlah faktor. Misalnya, investasi di sektor ini membutuhkan modal besar, tetapi lama untuk bisa menghasilkan keuntungan. Belum lagi anggapan produk masih mahal, seperti panel surya.

Sejak beberapa tahun terakhir, iklim investasi startup mulai ramai mengarah pada sektor hijau, energi salah satunya. Investor mulai berfokus pada pendanaan berdampak (impact) tak hanya sosial, tetapi juga lingkungan. Bahkan Pemerintah menggerakkan BUMN hingga perusahaan teknologi besar untuk terlibat dalam mendorong perkembangan ekosistem energi terbarukan.

Saat ini, sejumlah startup yang fokus pada energi terbarukan di Indonesia antaranya adalah SolarKita, Xurya, Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

Powerbrain menawarkan solusi smart energy management melalui perangkat IoT (termasuk sensor) hingga automation software untuk memaksimalkan utilisasi energi. Sementara, SolarKita menawarkan layanan end-to-end dari konsultasi terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), hingga survei ke rumah dan memperhitungkan kondisi dan situasi untuk instalasi PLTS.

SolarKita salah satunya disuntik oleh lembaga non-profit New Energy Nexus yang fokus pada pendanaan, program, dan jaringan yang mendukung startup dan pebisnis di bidang energi bersih. Juga berdiri sebagai organisasi non-profit Achmad Zaky Foundation (AZF) juga fokus terhadap investasi di sektor impact.

KoinWorks Merumahkan 70 Karyawan

Badai di industri startup masih berlanjut. Menyusul kawan startup lain, KoinWorks juga ikut merampingkan struktur organisasinya tahun ini. Startup fintech lending ini merumahkan sebanyak 70 orang atau sekitar 8% dari total karyawannya.

Sebagaimana dilansir dari Tech in Asia, PHK ini menjadi upaya untuk menata kembali struktur perusahaan. KoinWorks memastikan akan tetap berupaya memenuhi kebutuhan pengguna.

DailySocial.id telah menghubungi Co-founder dan CEO KoinWorks Benedicto Haryono. Namun, belum ada pernyataan lebih lanjut yang diturunkan mengenai hal ini.

Sekadar informasi, pada awal tahun ini KoinWorks membukukan pendanaan seri C dengan total $108 juta, terdiri dari ekuitas $43 juta dan debt $65 juta. Dengan tambahan pendanaan ini, valuasi KoinWorks ditaksir mencapai sebesar $250 juta.

Sejak tahun lalu, KoinWorks mulai melebarkan strateginya di luar bisnis lending untuk menjangkau lebih banyak pengguna UMKM, yakni menjadi neobank. Menurut Benedicto, convertion rate dari lending terbilang rendah di bawah 10% dari total leads yang masuk. Ini membuat sejumlah UMKM mengalami overfinance alias belum layak didanai atau sedang tak butuh pendanaan.

Untuk itu, perusahaan menggandeng Bank Sampoerna merilis KoinWorks NEO yang ditujukan bagi UMKM. KoinWorks NEO merupakan platform finansial terintegrasi bagi UMKM, pekerja lepas, content creator, hingga startup. Untuk mempertajam misinya, KoinWorks kembali memperkenalkan penilaian profil risiko baru Grade S (Grade Spesial) untuk pembiayaan usaha mikro dan kecil.

Gelombang PHK startup

Gelombang pemutusan kerja cukup banyak terjadi di industri startup tahun ini, di antaranya adalah Xendit, Zenius, dan LinkAja. Jumlah karyawan yang terkena PHK berjumlah puluhan hingga ratusan orang.

Berdasarkan data yang kami himpun, jumlah PHK paling besar tahun ini terjadi pada Zenius, yakni sebanyak 800 pegawai dalam 2x pengumuman. PHK ini dilakukan Zenius karena faktor perubahan kondisi makro ekonomi dan perilaku konsumen.

Sementara, Xendit tak hanya melakukan PHK di Indonesia saja, tetapi juga di Filipina. Laporan RevoU mengacu dari data LinkedIn Premium Insights menyebutkan Xendit menerima sebanyak 307 karyawan baru pada tahun lalu. Sementara, Zenius mengambil 521 karyawan baru di periode sama.

Potensi P2P

Beberapa waktu lalu, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memperkirakan penyaluran pinjaman di 2023 dapat naik hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Klaster Multiguna AFPI Yolanda Sunaryo, pandemi membuka peluang usaha bagi masyarakat, demikian pula pelaku UMKM.

P2P lending memiliki peran besar untuk memperkecil kesenjangan kebutuhan pinjaman. Berdasarkan data AFPI, kebutuhan pinjaman/kredit di Indonesia mencapai Rp2.600 triliun. Sementara, lembaga keuangan konvensional, termasuk perbankan, pegadaian, dan pembiayaan, baru menyalurkan sekitar Rp1.000 triliun. Masih ada gap sebesar 650 triliun yang dapat difasilitasi oleh P2P.

Application Information Will Show Up Here

Base Mendapat Pendanaan Seri A 94 Miliar Rupiah Dipimpin Rakuten Ventures

Startup DTC untuk produk perawatan dan wellness “Base” mendapat pendanaan seri A sebesar $6 juta atau sekitar 94,3 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Rakuten Ventures, diikuti investor terdahulu termasuk Antler, East Ventures, Skystar Capital, dan Pegasus Tech Ventures.

Sebelumnya, Base memperoleh pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Skystar Capital dengan partisipasi East Ventures, Antler, iSeed Southeast Asia, Pegasus Tech Ventures, XA Network, dan angel investor. 

Dalam keterangan resminya, Associate Rakuten Ventures Regina Ho mengatakan, selama ini industri produk perawatan kecantikan di Asia Tenggara masih didominasi oleh merek-merek asing. Selain itu, produknya dijual dengan harga di atas pendapatan rata-rata konsumen.

“Hal ini membuat kami bersemangat dengan kemampuan Base untuk membalikkan ekspektasi konsumen tradisional bahwa produk berkualitas tinggi tidak harus mahal. Kami harap bisa mendukung perjalanan Base untuk mengisi ruang kosong perawatan pribadi yang berkembang di Asia Tenggara,” ucap Regina dalam keterangan resminya,

Base didirikan oleh Yaumi Fauziah Sugiharta dan Ratih Permata Sari pada 2019 dengan operasi awal melalui strategi Direct-to-Consumer (D2C). Kemudian, Base memperluas distribusi ke online dan offline (O2O) untuk menjangkau kota-kota regional. Kini, Base telah melayani pengiriman produk ke 34 provinsi di Indonesia.

Salah satu misi Base adalah memperjuangkan keragaman dan inklusivitas kebutuhan kecantikan masyarakat Indonesia dengan menawarkan perawatan kulit berbahan vegan dan menghadirkan fitur “Smart Skin Test”.

Partner di East Ventures Melisa Irene menambahkan, “Sejak awal kami percaya dengan inovasi Base. Keahlian dan pendekatan lokalnya menghasikan produk perawatan kulit berkualitas tinggi dan berkelanjutan dalam memenuhipermintaan pasar. Kami menantikan lebih banyak inovasi dan pertumbuhan yang akan dihadirkan oleh Yaumi, Ratih, dan tim Base.”

Produk berbasis bioteknologi

Co-founder & CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta mengungkap bahwa pendanaan ini akan digunakan untuk mengembangkan lini produk baru, di antaranya kosmetik, perawatan tubuh dan rambut, edible wellness, dan fragrance. Selain itu, Base berencana berinvestasi lebih lanjut pada inovasi dan pengembangan produk. Salah satunya menggabungkan bioteknologi (biotech) ke dalam metode pengembangan lini produk vegan secara kreatif.

Hal ini sejalan dengan profil konsumen Base yang teridentifikasi sebagai gen Z dan milenial; segmen yang memprioritaskan produk sadar lingkungan, mudah diakses, dan berkelanjutan. Melalui pengembangan produk yang mendalam, pihaknya dapat memperluas pertumbuhan pelanggan.

Mengacu studi Euromonitor, industri kecantikan mengalami pertumbuhan signifikan dibandingkan industri lain selama masa pandemi. Adapun, nilai pasarnya diproyeksikan mencapai $10 miliar pada 2025 yang didorong oleh produk kategori perawatan rambut, tubuh, dan kulit, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 6%. Dengan potensi pasar ini, Base memiliki posisi tepat untuk menjadi pemain terkemuka. Base mengklaim telah mengalami pertumbuhan pendapatan 10x lipat dalam satu tahun terakhir.

Dalam kesempatan ini, Base juga mengumumkan Muhammad Cipta Suhada yang akan mengisi posisi Direktur People & Culture. Sebelumnya, Cipta sempat berkarier di sejumlah perusahaan teknologi terkemuka, seperti Gojek dan LinkAja. Pihaknya berupaya mendefinisikan kembali bagaimana dunia memandang standar kecantikan sehingga setiap orang dapat merasa berdaya dan bangga dengan keunikan yang dimiliki.

“Ini berlaku juga di Base di mana kami mengantisipasi orang-orang untuk mengeluarkan potensi mereka dan melakukan yang mereka sukai. Seiring pertumbuhan perusahaan, kami senang menyambut lebih banyak anggota kepemimpinan senior untuk meningkatkan jalan base sebagai organisasi kelas dunia yang dapat dibanggakan generasi kami.” Tutupnya.

Pelaku Industri P2P Lending Bicara Peluang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di 2023

Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tengah melambat. Resesi yang terjadi di global diprediksi bakal menghampiri Indonesia pada tahun depan. Apa artinya situasi ini bagi industri P2P lending dan dampaknya bagi pelaku usaha di Tanah Air?

Sesi #SelasaStartup kali ini mengulas cukup dalam mengenai keyakinan pelaku industri P2P lending dan perannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Simak selengkapnya, rangkuman dari sudut pandang Yolanda Sunaryo sebagai Wakil Ketua Klaster Multiguna Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sekaligus CEO RupiahCepat dan Betania Jezamin selaku CEO GandengTangan.

Peluang pertumbuhan

AFPI mengaku optimistis Indonesia dapat keluar dari masa resesi pada tahun depan. Menurut Yolanda, mungkin yang akan terjadi di Indonesia bukan resesi, melainkan kontraksi. Apa yang terjadi saat ini sebetulnya sudah pernah dirasakan ketika pandemi awal terjadi di 2020. Saat itu, TKB90 sejumlah P2P naik, karena borrower mengalami kesulitan keuangan.

Namun, situasi saat ini maupun ke depan dapat menjadi momentum bagi pemberi pinjaman atau lender untuk menyalurkan pinjaman. Platform P2P lending memfasilitasi penyaluran pinjaman dengan return hingga 21%. Imbal hasil ini tidak mungkin diberikan oleh lembaga keuangan konvensional. Tinggal bagaimana lender harus selektif dalam memilih sektor sesuai risiko yang dipahami.

Dari sisi peminjam atau borrower, banyak dari mereka sebetulnya belum terlayani lembaga keuangan. P2P dapat menjadi opsi alternatif apabila pengajuan mereka tidak diproses oleh lembaga keuangan, baik untuk kebutuhan mendesak atau modal usaha.

“Kami memprediksi penyaluran pinjaman di 2023 dapat naik hingga 25%. Pandemi tidak menyurutkan masyarakat untuk mencari berbagai peluang yang ada. Demikian juga peluang UMKM semakin tinggi. Kami optimistis pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 5%,” paparnya.

Sementara, Betania (Jezzy) Jezamin menilai faktor perang Ukraina-Rusia memang berdampak besar ke sejumlah negara di dunia, tetapi tidak terlalu signifikan bagi Indonesia. Ia membandingkan resesi global yang terjadi di 2008 kala itu juga serupa.

Salah satunya dikarenakan Indonesia sedang mempersiapkan Pemilu 2009. Di samping itu, Indonesia tidak terlalu bermain pada instrumen sekuritas atau mortgage. Yang menarik, tuturnya, tahun politik akan dimulai di 2023. Mesin-mesin penggerak milik partai politik akan mulai bergerilya.

Jezzi menyebut setiap interaksi politik tersebut akan membutuhkan dukungan logistik. Dengan kata lain, situasi tersebut berpotensi menjadi stimulus ekonomi tidak langsung. Ia meyakini peluang pertumbuhan ekonomi masih besar di tahun depan. “Saya melihat [situasi] di 2023 akan sama seperti 2008 di mana Indonesia tidak terlalu terdampak,” katanya.

Langkah mitigasi

Yolanda menyebutkan sejumlah poin penting terkait upaya mitigasi dalam menekan potensi risiko kredit macet tahun depan. AFPI yang memayungi para pelaku industri terus memantau aktivitas penyaluran pinjaman.

Salah satunya memanfaatkan Fintech Data Center (FDC) atau pusat data nasabah untuk mencegah penyaluran pinjaman secara berlebih. “Apabila ada calon peminjam yang mengajukan lebih dari dua atau tiga, itu akan memengaruhi credit rating,” ucapnya.

Dari aspek bisnis, Yolanda menyarankan pelaku P2P agar lebih selektif dalam memfasilitasi penyaluran pinjaman. Misalnya, P2P di segmen produktif fokus pada sektor usaha yang tidak terdampak dari resesi atau tidak terlalu bergantung pada bahan baku impor.

“Dari sisi penyaluran pendanaan, kami tidak terlalu khawatir selama tingkat mitigasi risiko penyaluran sudah aman. Yang utama itu mengamankan risiko yang akan terjadi. Pertumbuhan akan tetap ada, tetapi melambat. Kami juga mendorong masyarakat agar lebih bijak dalam menentukan mana kebutuhan dan keinginan sebelum meminjam,” tambah Yolanda.

Peran P2P dan kolaborasi

Mengutip data AFPI, Yolanda mengungkap bahwa kebutuhan pinjaman/kredit di Indonesia mencapai Rp2.600 triliun. Sementara, lembaga keuangan konvensional, termasuk perbankan, pegadaian, dan pembiayaan, hanya mampu menyalurkan sekitar Rp1.000 triliun. Artinya, masih ada gap 650 triliun.

Maka itu, ia menilai kehadiran P2P lending punya peran besar dalam membantu memperkecil gap tersebut. “Banyak masyarakat yang pengajuan pinjamannya tidak dapat diproses oleh lembaga keuangan karena mereka tidak memenuhi persyaratan, seperti memiliki rekening bank. Demikian juga dengan hampir 50 juta UMKM yang tidak punya akses ke pinjaman,” ujar Yolanda.

Di sisi lain, Jezzi menyebut bahwa P2P sebagai bagian dari sektor keuangan masih terbilang muda di Indonesia. Sektor ini baru mengalami pertumbuhan di 2016. Namun, P2P telah mengalami ‘ujian’ pertamanya di 2020 ketika pandemi terjadi. Apa yang akan terjadi di tahun ini akan menjadi semacam ujian kedua.

Dari sudut pandang perusahaan, pemain P2P harus berhati-hati mengambil langkah agar dapat bertahan di tengah gejolak ekonomi. Namun di sisi lain, pemain P2P memiliki moral obligation untuk ambil peran dalam pemulihan ekonomi Indonesia.

“Kunci utama adalah kolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait. Pemulihan ekonomi tidak bisa dilakukan sendiri. Bagi GandengTangan, kami fokus bikin Open API sehingga memudahkan siapa pun bermitra dengan kami, bisa langsung terintegrasi dengan cepat dan transparan,” tambahnya.

Sebagaimana mandat OJK menuntut sektor P2P menjadi pelaku industri keuangan yang sehat, Jezzi juga menyebut pentingnya untuk menjadi self-sustaining company. Mentality ini perlu dibangun agar startup dapat fokus menghasilkan pendapatan, dan tak melulu bergantung pada modal investor.

“Kecuali, ada rencana pengembangan inovasi baru, tentu butuh biaya besar. Artinya, fokus menyehatkan perusahaan itu utama karena OJK menuntut pelaku industri menjadi lembaga keuangan yang sehat,” tutupnya.