Sejumlah Pertimbangan Bukalapak Genjot Bisnis “Non-Marketplace”

Aksi Bukalapak menggenjot bisnis non-marketplace mengundang sejumlah pertanyaan, bahkan memantik pertanyaan apakah Bukalapak meninggalkan bisnis marketplace yang digelutinya sejak awal. Anggapan tersebut langsung dibantah oleh President Bukalapak Teddy Oetomo.

“Kalau ada yang bilang kami ganti haluan dan meninggalkan marketplace itu adalah salah kaprah. Memang banyak yang tanya seperti itu, termasuk para investor,” ujar Teddy pada sesi buka puasa bersama wartawan (20/4).

Menurutnya, Bukalapak masih setia dengan model bisnis marketplace. Itu sebabnya, sejak melantai di BEI, terus memperkuat jumlah pelapak dan Mitra Bukalapak.

Menurut laporan keuangan perseroan per kuartal I 2021, pendapatan disokong oleh lini bisnis Mitra dengan pertumbuhan 284% menjadi Rp764,5 miliar terhadap keseluruhan pendapatan sebesar Rp1,9 triliun. Lini bisnis marketplace tetap menjadi kontributor utama pendapatan sebesar Rp990 miliar, namun pertumbuhannya turun 4% secara yoy.

Model bisnis Bukalapak sangat relevan dengan kondisi negeri yang berpenduduk 173 juta jiwa ini. “Kalau hanya mengandalkan online, tidak mungkin kami bisa menjangkau seluruh penduduk. Untungnya, negara kita sudah punya infrastruktur yang memungkinkan kita [Bukalapak] menjangkau seluruh negeri, yaitu warung.”

Di semester pertama 2022 ini, Bukalapak fokus untuk meningkatkan pendapatan melalui strategi specialty vertical dengan mendorong traffic ke area bisnis yang memiliki margin lebih besar. Makanya, banyak langkah strategis yang dilakukan, termasuk perkuat fokus di bisnis gaming dan meluncurkan bisnis e-gorcery bersama Transmart, Allofresh.

Teddy bilang, strategi tersebut memungkinkan perseroaan untuk memperoleh take rate yang lebih tinggi. “Tahun lalu take rate kami 1,7%. Dengan strategi specialty vertical, take rate-nya bisa high single digit. Paling tidak 4%, ada yang sampai 8%.”

Fokus ke kedua bisnis tersebut dapat memberikan kontribusi pendapatan yang lebih baik, lantaran sudah ada pasar dan tidak perlu bakar duit. Yang mana, kedua area tersebut perseroan bisa langsung monetisasi, dapat memberikan nilai tanpa tanpa perlu diskon-diskonan.

Dia mencontohkan, langkah akuisisi itemku pada tahun lalu dinilai tepat karena kini menjadi salah satu sumber keuntungan perseroan. Itemku sendiri bermain di ranah marketplace yang memungkinkan pengguna untuk melakukan jual-beli aset permainan digital, serta menjual berbagai voucher untuk akses premium ke sebuah game.

Kebutuhan para gamers untuk melakukan top up item game selalu ada, mau ada atau tidak adanya diskon. Makanya, bisnis game ini dinilai sangat stabil.

Teddy menuturkan, itemku telah beroperasi beberapa tahun sebelum diakuisisi Bukalapak, sudah ada transaksi yang terjadi, hanya saja traffic-nya belum besar. Usai diakuisisi, lalu diintegrasikan dengan traffic Bukalapak, volume transaksi di itemku langsung melonjak hingga dua sampai tiga kali lipat.

“itemku sebagai produk standalone itu sendiri sudah profitable, makanya masuk ke strategi specialty vertical. Jadi bukan berarti Bukalapak pindah sudah enggak jadi marketplace lagi.”

Berikutnya, kemitraan dengan Allofresh yang diharapkan dapat menjadi mesin suplai barang kebutuhan stok warung Mitra Bukalapak. Para Mitra dapat memperoleh barang dalam waktu lebih cepat, sehingga bisa menurunkan biaya inventaris. Barang-barang yang diperoleh dari peritel besar memungkinkan para Mitra dapat membeli barang dengan lebih murah, ketimbang beli dari distributor kecil. Mereka pun dapat memiliki daya saing yang lebih tinggi.

Di ranah e-grocery ini, Teddy menilai bahwa persaingannya tidak begitu terpengaruh dengan efek peningkatan harga komoditas, seperti minyak goreng dan bahan bakar minyak. Segmen ini fokus pada kebutuhan harian, bukan sekunder atau tersier yang kemungkinan besar akan terpengaruh. Itu sebabnya, bagi Mitra Bukalapak diharapkan akan lebih resilient.

“Mungkin konsumennya yang dulu belanja langsung banyak, sekarang belanjanya jadi lebih kecil ukurannya, misalnya sachetan. Sebab, kami ini main di warung yang jualan kebutuhan utama, jadi konsumen harus tetap belanja.”

Karena fokus ke specialty vertical ini, Bukalapak membutuhkan dana untuk berbagai peluncuran produk. Hal tersebut sudah menjadi konsekuensi, makanya Teddy memproyeksikan EBITDA tahun ini akan stagnan, yakni di kisaran minus Rp1,5 triliun sampai Rp1,4 triliun.

Application Information Will Show Up Here

VIDA Dikabarkan Mendapat Pendanaan 591 Miliar Rupiah, Masuk Kategori Centaur

Startup pengembang layanan tanda tangan digital VIDA dikabarkan telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $41,2 juta atau setara dengan 591,4 miliar Rupiah. Alpha JWC Ventures, Endeavor Catalyst, Ferro Investments, dan sejumlah lainnya terlibat dalam putaran ini.

Terkait kabar ini, DailySocial.id sudah mencoba meminta keterangan pihak terkait. Namun sampai berita ini diterbitkan, belum ada komentar.

Menurut data yang telah diinputkan ke regulator, total dana investasi keseluruhan yang telah dihimpun VIDA mencapai $51 juta. Membawa valuasi perusahaan sekitar $260 juta, sekaligus mengokohkan mereka masuk ke jajaran centaur.

VIDA didirikan sejak 2018 oleh Niki Luhur, Sati Rasuanto, dan Gajendran Kandasamy. Saat ini mereka memiliki 3 layanan utama, meliputi VIDA Verify (layanan verifikasi identitas), VIDA Sign (layanan tanda tangan elektronik), dan VIDA Pass (sistem autentikasi dan otorisasi). VIDA juga telah menjadi penyelenggara sertifikasi elektronik (PSrE) yang terdaftar di Kemkominfo.

Selain Kominfo, di Indonesia untuk platform seperti yang disediakan VIDA turut bernaung dalam beleid yang dikeluarkan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan — kendati saat ini masih di tahapan regulatory sandbox.

Perkembangan bisnis VIDA

Selain telah mendapatkan perizinan dari regulator di Indonesia, VIDA juga telah melakukan sejumlah aksi strategis untuk mendukung layanannya. Termasuk kemitraan dengan Ditjen Dukcapil hingga mendapatkan sertifikasi ISO 27001 untuk stardardisasi manajemen keamanan informasi.

VIDA juga telah mendapatkan akreditasi internasional, seperti dari WebTrust, menjadi anggota Cloud Signature Consortium, dan terdaftar dalam anggota Adobe Approved Trust List. Dengan kehadirannya di lanskap internasional, VIDA Sign kini sudah dikenali pengguna di 40 negara.

Terbaru, awal tahun ini VIDA mengumumkan kerja sama strategis dengan DocuSign. Kemitraan ini memberikan pilihan bagi pengguna tanda tangan elektronik DocuSign di Indonesia untuk menandatangani dokumen dengan verifikasi identitas online yang aman dan berkekuatan hukum, didukung platform yang dimiliki VIDA.

Kompetisi pasar

Menurut laporan Fortune Business Insight, ukuran pasar untuk layanan tanda tangan digital telah mencapai $3 miliar pada 2021. Tahun ini diperkirakan akan meningkat menjadi $4,05 miliar dan bertumbuh hingga $35,03 miliar pada 2029 dengan CAGR 36,1%. Sementara di Indonesia, menurut DocuSign total addressable market masih terbuka sangat luas. Potensinya bisa mencapai $25 triliun.

Di Indonesia sendiri selain VIDA juga sudah terdapat beberapa pemain lainnya yang sudah terdaftar di regulator, di antaranya Privy, TekanAja, dan Digisign.

Dengan use case yang semakin luas, khususnya di sektor konsumer digital seperti fintech, e-commerce, dan lain-lain, diyakini solusi terkait tanda tangan digital akan bisa diadopsi secara luas. Terlebih Covid-19 membawa tren digitalisasi di berbagai lini industri, yang juga mendorong pemberkasan administrasi turut dilakukan secara digital.

Application Information Will Show Up Here

Gobi Partners dan Ozora Yatrapaktaja Luncurkan “Ratu Nusa Fund”, Bidik Startup Indonesia yang Dipimpin Perempuan

Gobi Partners dan Ozora Yatrapaktaja berkolaborasi meluncurkan dana kelolaan “Ratu Nusa Fund” sebesar $10 juta atau sekitar 143,6 miliar Rupiah. Mereka membidik startup tahap awal (seed) hingga pre-seri A yang dipimpin oleh perempuan di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Ratu Nusa Fund akan difokuskan pada investasi startup Indonesia di vertikal healthtech, e-commerce/social commerce, proptech, future of work/education, fintech, dan enterprise/SME tech.

Fokusnya adalah pemberdayaan usaha yang dapat meningkatkan kualitas hidup perempuan di Indonesia. Pihaknya juga membidik startup di kota-kota berkembang di Surabaya, Bali, Denpasar, Nusantara dan Medan yang selama kurang terekspos potensinya oleh para investor.

Co-founder Gobi Partners Thomas G. Tsao mengatakan, Indonesia menjadi pasar yang tepat untuk meningkatkan investasi yang berfokus pada pemberdayaan perempuan, mengingat saat ini terdapat sekitar 30 juta pengusaha perempuan memanfaatkan ekosistem startup yang tengah berkembang pesat.

“Selama ini pengusaha perempuan hanya mendapat porsi kecil dari investasi yang pernah dikucurkan VC, utamanya karena ada bias gender yang mengakar. Kondisi ini membuat ada banyak potensi yang belum digarap. Kami harap Ratu Nusa Fund dapat mengatasi kesenjangan ini,” tuturnya.

Founding Partner Ozora Margaret Srijaya menambahkan, pihaknya tak sabar menemukan startup-startup dengan potensi emas selanjutnya di Indonesia. Ia juga meyakini dana kelolaan ini dapat mendorong skala dampaknya di Indonesia dan pasar lain di kawasan Asia Pasifik.

“Ada banyak startup yang belum dan kurang mendapat dukungan dari VC dalam mendorong pengusaha perempuan dan bisnis berdampak yang melayani 133 juta populasi perempuan di Indonesia,” ucapnya.

Sebagai informasi, Gobi Partners membidik investasi di tahapan early hingga growth dengan fokus pada negara berkembang dan kurang terlayani (underserved). Hingga kini, Gobi telah memiliki 15 dana kelolaan dari 13 negara, berinvestasi di 310 startup di dunia, dengan beberapa portofolio seperti Crowdo, Deliveree, dan DOOgether.

Sementara, Ozora Yatrapaktaja merupakan VC yang memiliki keahlian lokal di Indonesia, jaringan, dan komunitas global dalam mengembangkan pemberdayaan usaha perempuan secara global. Margaret diketahui merupakan Founder dari komunitas online Womenpreneurs.id yang berdiri di 2018 dan Head of VC di BPP HIPMI Indonesia.

Investasi pada pemberdayaan perempuan

Pemberdayaan UMKM dan pengusaha perempuan cukup banyak mendapat sorotan di Indonesia. Tak sedikit pelaku startup yang mengembangkan produk atau layanan digital untuk melayani pengusaha perempuan di Indonesia.

Misalnya, Amartha menyalurkan pinjaman kepada pengusaha perempuan dengan model ‘tanggung renteng’. Ada pula startup baru Amaan yang memposisikan diri sebagai platform beyond financial services untuk melayani pengusaha perempuan.

Namun, ini saja dirasa tak cukup mengingat masih banyak startup yang dipimpin perempuan maupun yang melayani pengusaha perempuan yang belum terekspos oleh jaringan investor, baik dalam maupun luar negeri.

Jika melihat potensinya, data Kementerian Koperasi dan UKM mencatat terdapat lebih dari 50% dari total 64,19 juta UMKM dijalankan oleh perempuan. Sementara, laporan Kauffman Foundation menyebutkan perusahaan teknologi swasta yang dipimpin wanita, terbukti dapat lebih efisien menggunakan modal/investasi, mencapai Return of Investment (ROI) 35% lebih tinggi, dan–apabila didukung oleh VC–dapat mengantongi 12% pendapatan lebih tinggi daripada startup yang dipimpin oleh pria.

Dalam radar kami, ada pula kemitraan dana kelolaan serupa untuk perempuan, yakni YCAB Ventures bersama Moonshot Ventures melalui Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF). Mereka punya misi untuk mendorong dampak terhadap pemberdayaan perempuan di industri startup Indonesia.

Dalam perbincangan dengan DailySocial.id, Head of Impact Investments YCAB Ventures Adelle Odelia Tanuri sempat menyebut bahwa IWEF dapat membantu mereka untuk menjangkau lebih banyak UMKM dengan berinvestasi di startup. Dengan begitu, pihaknya dapat mendorong impact lebih luas.

Xendit Kini Kuasai Hampir 15 Persen Saham Bank Sahabat Sampoerna [UPDATED]

Xendit mengumumkan investasi strategis di Bank Sahabat Sampoerna. Nantinya, Xendit akan menjadi mitra teknologi Bank Sampoerna untuk mengembangkan infrastruktur teknologi kelas dunia dan terus meningkatkan proses internal dan produk yang tersedia.

Dalam keterangan resmi, tidak disebutkan persentase saham Bank Sampoerna yang kini dimiliki Xendit. Namun menurut pemberitaan DailySocial.id sebelumnya, Xendit akan mengempit saham secara bertahap hingga 51% menjadi pemegang mayoritas.

Mengutip dari situs Bank Sampoerna, Xendit Pte. Ltd. menguasai 14,96% saham. Pemegang saham mayoritas, PT Sampoerna Investama terdilusi menjadi 64,24%. Kemudian, PT Cakrawala Mulia Prima (bagian dari Alfa Group) juga ikut tergerus menjadi 14,28%. Sisanya, dikuasai oleh Abakus Pte. Ltd. (2,55%), Sultan Agung Mulyani (2,49%), Ekadhamajanto Kasih (0,79%), dan Yan Peter Wangkar (0,69%).

Co-founder dan CEO Xendit Moses Lo menyampaikan kedua perusahaan akan terus berjalan secara independen, tanpa mengubah produk dan layanan yang ada. “Kami akan bekerja sama unutk menetapkan arah strategis jangka panjang,” ujar Lo dalam keterangan resmi, Rabu (22/4).

“Xendit dan Bank Sampoerna telah menjadi mitra sejak awal Xendit di Indonesia. Dengan investasi ini, Xendit bangga dapat mendukung Bank Sampoerna dalam mengembangkan infrastruktur digital Bank dan terus berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi digital bangsa.”

CEO Bank Sampoerna Ali Rukmijah turut menambahkan, “Kolaborasi telah menjadi titik sentral Bank Sampoerna dalam melayani bisnis mikro dan UKM. Dukungan dari Xendit tentunya akan meningkatkan kemampuan layanan kami. Peningkatan tersebut akan terlihat dari segi kapasitas layanan, cakupan, dan yang tidak kalah pentingnya, kualitas & inovasi.”

Bank Sampoerna adalah bank swasta Indonesia yang fokus pada bisnis mikro, UKM dan banking-as-a-service kepada bisnis berbasis teknologi. Selama bertahun-tahun, Bank Sampoerna terus berinovasi dan berinisiatif mengembangkan layanan transaksi perbankan yang inovatif dengan mengoptimalkan teknologi di berbagai produk dan layanan digital. Hal ini dilakukan melalui integrasi teknis dan berbagai format yang disediakan oleh bank.

Aplikasi Nex

Saat ini, Xendit tengah mengujicoba secara terbatas aplikasi bank digital Nex. Nex akan memanfaatkan kapabilitas perbankan milik Bank Sampoerna dan teknologi yang ditawarkan Xendit. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Hal yang umum ditawarkan bank digital kekinian.

Aplikasi Nex dikelola tiga pihak, yakni PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya. Iluma bertugas melakukan e-KYC dan pengecekan skoring kredit yang lebih seamless. Kemungkinan besar Iluma adalah bagian dari Xendit karena lokasi kantornya satu gedung dengan kantor pusat Xendit.

Kepada DailySocial.id, perwakilan Xendit memberikan pernyataannya. Mereka bilang, aplikasi Nex merupakan produk digital yang sedang berada dalam masa uji-coba terbatas dan saat ini hanya dipergunakan untuk kalangan internal, tanpa melibatkan Bank Sahabat Sampoerna.

“Aplikasi Nex sepenuhnya dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital. PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai) maupun PT Sinar Digital Terdepan (Xendit) tidak terlibat dalam pengelolaan aplikasi ini,” tulis manajemen.

Akuisisi perusahaan pembiayaan

Sebelumnya, Xendit juga mengonfirmasi akan membeli saham perusahaan pembiayaan PT Global Multi Finance. Langkah ini terkait dengan rencana Global Multi Finance merger dengan PT Emaas Persada Finance.

“Yang saat ini diumumkan di media adalah rencana aksi korporasi dari Globalindo Multi Finance mengenai perubahan kepemilikan. Xendit group nantinya menjadi salah satu pemilik dari Globalindo Multi Finance,” ujar perwakilan perusahaan mengutip dari Katadata.

Tidak dirinci lebih lanjut terkait besaran saham yang akan diakuisisi Xendit nantinya. Sebab, dia bilang masih berlangsung proses administrasinya dan akan disampaikan ketika rampung. Dilanjutkan, masuknya ke perusahaan pembiayaan ini nantinya akan memberikan produk-produk pembiayaan sebagai nilai tambah.

 

*) Kami menambahkan pernyataan tambahan dari manajemen Xendit terkait Nex.

Application Information Will Show Up Here

Gandeng Mastercard dan BNI, Kredivo Luncurkan Pinjaman Digital “Infinite Card”

PT FinAccel Finance Indonesia melalui Kredivo tengah gencar memperluas akses kredit digital lewat sejumlah kerja sama. Kali ini, Kredivo meluncurkan “Infinite Card” dengan menggandeng penyedia jaringan pembayaran elektronik global MasterCard.

Infinite Card merupakan kartu kredit virtual yang dapat digunakan untuk bertransaksi di semua e-commerce dan platform online yang termasuk dalam jaringan mitra merchant. Kredivo bekerja sama dengan BNI sebagai mitra pinjaman di Infinite Card.

Pengguna dapat bertransaksi dengan Infinite Card menggunakan limit pinjaman Kredivo yang memiliki plafon maksimal hingga 30 juta Rupiah. Pengguna juga tinggal memasukkan beberapa detail kartu (credential) ketika melakukan pembayaran di merchant online.

Bunga yang dikenakan pada transaksi Infinite Card sama dengan bunga Kredivo, antara lain 0% untuk tenor 30 hari dan 3 bulan; dan bunga 2,6% per bulan untuk cicilan 6-12 bulan. Beberapa merchant yang telah menerima Infinite Card, seperti Gojek, Grab, Shopee, dan Traveloka. 

Menurut Krishnadas VP Business Development FinAccel, kerja sama ini memiliki nilai tambah yang kuat mengingat MasterCard memiliki acceptance luas dengan posisinya sebagai pemimpin pembayaran teknologi di dunia. MasterCard juga telah bermitra dengan jutaan merchant.

“Maka itu, kami juga dapat menghadirkan pinjaman digital dengan acceptance point yang tidak terhingga untuk mengakomodasi kebutuhan 5 juta pengguna kami,” tutur Krishnadas dalam acara peluncuran virtual.

Tujuan utama Kredivo adalah dapat menjangkau masyarakat di berbagai level sebagai penyedia metode pembayaran open-loop, terutama di sektor ritel yang selama ini menjadi kekuatan dari layanan kredit digitalnya di Indonesia. 

Sementara, Country Manager Mastercard Indonesia Navin Jain menambahkan bahwa kolaborasi ini sekaligus untuk mendukung agenda pemerintah meningkatkan inklusi keuangan dan mendorong penetrasi cashless di Tanah Air.

Layanan co-branding Kredivo

Sebelum ini, Kredivo telah melakukan strategi co-branding PayLater lewat kolaborasi dengan PT Bank Sahabat Sampoerna (Bank Sampoerna) untuk menghadirkan Flexi Card. Berbeda dengan Infinite Card, kartu paylater ini berbentuk fisik dan dapat dipakai bertransaksi secara offline melalu jaringan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). 

Namun, seluruh aktivitas transaksi Infinite Card dan Flexi Card sama-sama dapat dipantau melalui aplikasi Kredivo. Skema bunga yang dikenakan juga sama seperti bunga yang ditawarkan Kredivo.

Strategi co-branding sebetulnya telah banyak dimanfaatkan oleh sejumlah platform penyedia pinjaman dan perbankan. Keuntungannya, kedua belah pihak dapat saling memanfaatkan ekosistem yang dimiliki untuk menjangkau basis pelanggan atau segmen pasar baru.

Beberapa platform digital juga meluncurkan inisiasi serupa dengan menggandeng perbankan selaku pemberi fasilitas pinjaman. Contohnya, kartu kredit PayLater Card Traveloka bersama BRI. Produk ini menawarkan keunggulan proses verifikasi yang hanya memerlukan waktu maksimal 1 hari. Traveloka juga menggandeng Mandiri untuk produk serupa.

Kemudian, ada juga kolaborasi co-branding kartu kredit antara Blibli dan BCA. Kolaborasi ini ditujukan untuk meningkatkan transaksi belanja online di platform e-commerce.

Berdasarkan survei Mastercard New Payment Index 2021, konsumen mengalami peningkatan ekspektasi seiring dengan semakin mudahnya transaksi pembayaran berbasis teknologi. Karena ini, pelaku bisnis dituntut untuk dapat menghadirkan berbagai opsi pembayaran dan pembelian. 

MasterCard melaporkan sebanyak 80% responden setuju untuk lebih memilih berbelanja di toko yang punya kehadiran offline dan online, 69% suka berbelanja di toko ritel yang menawarkan opsi pembayaran terbaru, dan 60% di antaranya menghindari merchant yang tidak menerima opsi pembayaran elektronik.

Application Information Will Show Up Here

Mengamati Kolaborasi Evo & Co dengan Rumput Laut Demi Kurangi Sampah Plastik

Polusi plastik adalah masalah global. Menurut riset yang banyak dikutip berbagai artikel, diperkirakan pada 2025 ada sebanyak 100 juta hingga 250 juta metrik ton sampah plastik dapat masuk ke laut setiap tahunnya. Studi lain memproyeksikan, jika tanpa perubahan pada praktik saat ini, mungkin ada lebih banyak plastik menurut beratnya daripada ikan di lautan pada 2050.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, tantangan dalam mengelola krisis ini cukup besar. Sekitar 160 juta orang Indonesia masih belum memiliki akses ke pengumpulan sampah reguler di rumah. Indonesia National Plastic Action Partnership memperkirakan negara ini menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik setiap tahun – sebagian besar tidak diolah dan tidak dikelola, berakhir di saluran air dan lautan.

Negara ini menjadi pencemar plastik kedua tertinggi di lautan setelah Tiongkok, sekaligus ditantang untuk mencari solusi memerangi konsumsi plastik sekali pakai yang terus meningkat. Polemik klasik ini justru menjadi potensi bisnis yang menjanjikan bagi Evoware, startup yang menawarkan alternatif plastik untuk produk kemasan dengan bahan dasar alami.

Kepulangan David Christian ke tanah air setelah menyelesaikan kuliah di Kanada, menyisakan keprihatinan yang mendalam mengenai polusi dan sampah yang belum bisa terkelola dengan baik. Kondisinya begitu kontras dengan Kanada. Berawal dari situ, ia pun menyadari masalahnya selalu ada di sana, tapi tidak terlintas di benaknya.

“Itu adalah masalah. Saya menyadari bahwa saya ingin membuat sesuatu yang unik dan belum pernah ada agar dapat perhatian dari orang. Produknya harus bisa menyelesaikan masalah lingkungan,” ucap David saat dihubungi DailySocial.id.

Inovasi produk Evo & Co

Setelah melakukan beberapa penelitian dimulai di 2015, ia terinspirasi untuk menciptakan gelas yang dapat dimakan untuk menggantikan gelas plastik sekali pakai. Edwin Tan turut menunjukkan ketertarikannya dengan isu tersebut dan bergabung dengan David untuk merintis Evoware. Edwin menyumbangkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bisnis, keuangan, investasi, dan dampak sosial.

Produk pertama dari Evoware adalah “Ello Jello” pada bulan April 2016. Ello Jello adalah gelas yang bisa dimakan karena bahan dasar laut, teksturnya mirip dengan bentuk jeli yang lebih padat, terbuat dari rumput laut dan tanpa pengawet, pemanis buatan, gluten, atau gelatin. Bahan dasar ini ia dapatkan langsung dari petani rumput laut lokal.

Ello Jello / Evoware

Gelas ini tersedia dalam beberapa rasa yang berbeda, termasuk oranye, leci, teh hijau dan peppermint, dan dapat bertahan hingga tujuh hari ketika disimpan di lemari es. Tidak hanya gelas, ada pula packaging yang biasanya digunakan untuk kopi sachet hingga biskuit satuan. Menariknya, packaging ini dapat larut dalam air hangat.

Packaging ini bisa bertahan hingga dua tahun, dapat dimakan atau diubah menjadi pupuk karena dapat terurai dari satu hingga dua bulan. Rumput laut dipilih karena merupakan zat hemat energi dan ekonomis untuk tumbuh, tidak diperlukan pembebasan lahan atau deforestasi. Rumput laut juga bertindak sebagai salah satu penyerapan karbon alami, secara permanen mengeluarkan karbon dioksida dari atmosfer.

Indonesia sendiri merupakan eksportir terkemuka untuk komoditas rumput laut. Diperkirakan tiap tahun lebih dari 10 juta ton rumput laut diekspor.

Sejak itu, perusahaan telah memperluas produk dan Evoware sekarang menjadi salah satu merek di bawah Evo & Co, bersama dengan Evoworld. Evoworld menyediakan varian produk kantong plastik berbagai ukuran, berbahan dasar singkong yang dapat diurai dan dapat dikompos. Produk turunan dari bahan dasar tersebut, berupa plastik roll yang biasa digunakan untuk membungkus sayuran, styrofoam (gabus) untuk membungkus makanan. Ada juga produk yang terbuat dari tebu berwarna putih dan daun pinang berwarna cokelat.

Selanjutnya, membuat sedotan bahan kertas yang dapat hancur dalam waktu dua jam setelah dipakai dan sedotan berbahan beras yang dapat dimakan atau disimpan kembali. Evoworld juga memproduksi alat makan makan, seperti sendok garpu, pisau, sedotan yang terbuat dari bambu yang bisa dipakai lagi.

“Setelah produk pertama launch di 2016, setahun berikutnya kami launch produk kedua yang terbuat dari rumput laut seperti packaging sachet pengganti plastik. Kemudian di 2019, kami buat diferensiasi produk pengganti plastik dari bahan lainnya, seperti singkong, beras, ampas tebu, dan lainnya. Di tahun itu pula kami fokus ke bisnis, mengembangkan produk, serta mulai kampanye Rethink.”

Rethink menjalankan kampanye di seluruh dunia yang bekerja dengan pemerintah dan bisnis untuk mempromosikan kehidupan berkelanjutan.

Model bisnis

Seluruh produk yang dirilis perusahaan, kecuali Ello Jello, merupakan hasil trading (jual-beli) dengan produsen yang digaet perusahaan. “Jadi Evo & Co sediakan produk-produk pengganti plastik, orang lain yang produksi, kita yang jualkan.”

Kendati begitu, saat ini perusahaan mulai mengembangkan pusat riset dan inovasi sendiri agar lebih masif dalam berinovasi produk-produk ramah lingkungan. David sayangnya masih menutup rapat-rapat terkait hal ini.

Kontributor bisnis perusahaan terbesar datang dari penjualan produk ke luar negeri. Mayoritas skema bisnis dilakukan secara B2B dengan klien kebanyakan datang dari industri horeca. Evo & Co menyediakan opsi kostumisasi untuk klien B2B, misalnya melekatkan merek mereka ke kantong plastik atau sebagainya. Kanal B2C juga tersedia, namun sejauh ini hanya mengandalkan platform marketplace.

Diklaim, perbandingan bisnis dari dalam dan luar negeri cukup imbang 50:50. Bila dijumlah, ada Evo & Co telah mendistribusikan produknya ke lebih dari 50 negara. Adapun, negara terbesar yang banyak membeli produk Evo & Co adalah Malaysia, Australia, dan Jepang. Di ketiga negara tersebut, ada distributor besar yang siap menyuplai kebutuhan industri horeca dengan produk ramah lingkungan buatan Evo & Co.

David menyebut, pada tahun ini pihaknya akan memperluas ekspansi lebih jauh ke kawasan Eropa. “Bisnis ke luar ini baru dimulai tahun ini. Secara intensitas belum besar, tapi secara kuantitas sekali kirim jumlahnya besar. Tapi sebaliknya di Indonesia. Kami mau genjot bisnis ke Eropa karena market-nya besar, enggak cuma di Indonesia saja.”

Tidak hanya menyasar klien besar, baru-baru ini perusahaan mulai menyasar UKM untuk ikut beralih ke produk ramah lingkungan. Saat ini masih dalam tahap uji coba, ada 10 warung makan di Jakarta yang bergabung. David menceritakan, dalam mengedukasi pemilik warung makan harus melakukan banyak penyesuaian.

Salah satu yang dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan pengurangan sedotan plastik. Jika konsumen tidak meminta sedotan, sebaiknya tidak diberikan. Tapi jika minta, maka diberikan sedotan dari Evo & Co yang bisa dimakan. Selanjutnya, diadakan pembinaan sampah yang dapat dipilah dan dijual untuk mendapat uang tambahan.

“Uang tambahan ini bisa digunakan untuk membeli sedotan yang harganya sudah kami subsidi semurah mungkin. Ini adalah bagian dari movement kami karena biasanya produk ramah lingkungan itu dipakai oleh usaha kelas menengah ke atas yang ada di mal-mal.”

Diklaim, sejak dua tahun belakangan, perusahaan telah berhasil mengurangi 3,96 juta sampah, 32.260 limbah sachet, 11.417 limbah cangkir, 109.843 limbah sendok garpu, dan sebagainya.

Dari seluruh inisiatifnya, Evoware juga sempat menyabet berbagai penghargaan. Di antaranya memenangkan kategori “Redesigning Sachet” di Circular Design Challenge di Malta pada 2017 –kompetisi internasional yang diselenggarakan oleh The New Plastics Economy (dipimpin oleh Ellen MacArthur Foundation.) Kompetisi ini berfokus pada barang-barang plastik seperti sachet dan tutup, yang seringkali terlalu kecil atau rumit untuk didaur ulang.

Evo & Co memperoleh dana hibah sebesar $1 juta, satu-satunya perusahaan dari Asia yang berhasil menduduki posisi enam besar bersama dengan perusahaan lainnya. Selanjutnya, pada Agustus 2021, memperoleh pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasikan dari ANGO Ventures, VC tahap awal yang dipimpin oleh salah satu klien ANGIN, yakni Mariko Asmara.

David menyebut, untuk mendukung seluruh rencana perusahaan dalam memerangi sampah plastik, saat ini sedang melakukan penggalangan putaran dana terbaru. Tim Evo & Co saat ini berjumlah 12 orang dan berkantor pusat di Jakarta.

Andi Kristianto: INDICO Manfaatkan Aset Telkomsel untuk Membesarkan Bisnis Digital

Andi Kristianto bukanlah sosok baru di industri telekomunikasi. Ia telah dipercaya memimpin berbagai inisiasi dan langkah strategis dalam meningkatkan nilai Telkomsel sebagai penyedia jaringan terbesar melalui produk digital.

Andi merupakan Founder dari program inkubasi dan akselerasi Telkomsel Innovation Center (TINC). Ia juga sempat ditunjuk menakhodai entitas baru Telkomsel di bidang investasi, yakni Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) selama dua tahun. Kini ia kembali dipercaya memimpin Telkomsel Ekosistem Digital (TED) melalui brand INDICO. Pendirian entitas INDICO tentu menjadi penanda penting yang menunjukkan komitmen Telkomsel dalam membesarkan bisnis digital, lepas dari cangkangnya.

Sebelum mendirikan INDICO, Telkomsel telah memperkenalkan produk digital Kuncie (edtech) dan Fita (healthtech) pada paruh 2021. Kedua produk ini dikembangkan berbasis dua hipotesis penting, yakni (1) “inside-out” atau potensi melepas (spin off) bisnis untuk membesarkan valuasinya apabila sukses di pasar dan (2) “outside-in” berfokus dalam mencari ide atau use case yang punya keterkaitan erat dengan business unit Telkomsel.

Hingga akhir 2021, Telkomsel memiliki tiga portofolio dengan mendirikan perusahaan patungan yang didirikan bersama GoTo melalui PT Aplikasi Multimedia Anak Bangsa (AMAB), yakni Majamojo.

DailySocial berkesempatan berbincang dengan Andi seputar pendirian INDICO dan bisnisnya. Berikut rangkumannya.

Ceritakan alasan pendirian entitas baru dengan brand Indonesia Digital Ecosystem (INDICO)?

Jawab: INDICO punya dua peran; (1) sebagai holding atau horizontal platform dan (2) untuk mengembangkan vertikal bisnis. Di poin kedua, INDICO sudah menaungi Kuncie, Fita, dan Majamojo. Potentially more to come.

Holding pada umumnya adalah bagaimana membuat vertikal bisnis punya competitive advantage. Maksudnya begini, semua orang bisa buat startup. Namun, yang membedakan INDICO adalah leverage aset yang telah dibangun Telkomsel selama 27 tahun di industri telekomunikasi. [Aset] ini punya banyak relevansi dalam mendorong kemajuan inovator dengan metrik berbeda. Misalnya, metrik cost acquisition atau market delivery pada startup.

Masalah engagement itu lebih ke “how”, tapi “why”-nya adalah aset Telkomsel bisa relevan. Semua bisa berinvestasi di startup, tetapi ekosistemnya semakin mature selama lima tahun terakhir. Ada VC, ada inkubator. Sudah ada pakem. Kami yakin akan ada pembeda jika aset Telkomsel bisa relevan dalam mendorong inovator [berinovasi dengan cara] berbeda. INDICO menjadi titik awal untuk bisa engage, bisa ke investor, ekosistem partner, dan startup sendiri.

Dari cara [berinovasi], kami sebetulnya agile. Organisasi kami berkembang, ada saya, Andry Firdiansyah (CFO dan CHRO), dan Luthfi K Arif (CTO), ke depan akan terus bertambah. Saat ini cukup untuk kickstart sambil menyiapkan operasional, culture, dan hal teknis lain. Penting untuk punya culture baru dan fundamental bagus ketika membentuk perusahaan, karena tim founder ini yang akan membawa INDICO lebih maju.

Bagaimana cara INDICO leverage aset ini?

Jawab: Kami punya 170 juta pelanggan dan lebih dari 300 mitra outlet di 514 kota. Ini merupakan [aset] yang luar biasa. Ternyata ada banyak use case yang dapat dieksplorasi dari offline presence ini. Selama ini, sebagai perusahaan telekomunikasi, kita tahu ada aset, tetapi leverage ke bisnis digital belum terbayang. Justru terkadang dapat dari ekosistem inovator.

Mungkin ada inovator bingung mulai dari mana, mungkin biaya akuisisi berat. Bisa saja kita go global, tetapi ada banyak yang dapat dieksplorasi. Di sini kita bisa engage untuk mencari win-win. [INDICO] dapat membuat startup bisa go to market lebih cepat, ada efisiensi cost.

Dari sisi konektivitas, semua orang saat ini butuh, berbeda dengan dulu di mana penetrasi masih rendah. Saat ini, kita tinggal membangun di atas konektivitas, yakni platform untuk enable layanan digital lain.

Industri telekomunikasi selama ini dilihat sebagai vertikal bisnis. Namun, sebagai vertikal bisnis, kita juga harus siap jadi enabler di horizontal. Konektivitas itu akan selalu ada, tapi aset kami tidak cuma konektivitas saja. Aset itu sangat luas, bisa networking atau pemahaman terhadap pasar lokal. Kalau bicara horizontal enablement, banyak yang bisa dieksplorasi. Kita tidak mimpi semua bisa dibangun sendiri, makan cost dan waktu, dan eksplorasi ide juga tidak mungkin dilakukan sendiri.

Use case apa yang sedang dieksplorasi oleh INDICO?

Jawab: Saya melihat [industri] telekomunikasi di skala global sudah mencoba [eksplorasi digital], mungkin karena dulu mereka merasa punya basis pelanggan, lalu bikin sendiri saja [produknya]. Sekarang, tidak hanya telekomunikasi, semua perusahaan besar harus membuka diri ke ekosistem jika ingin berinovasi. Tidak bisa bangun sendiri. R&D terlalu lama, banyak potensi di luar sana.

Telkomsel ada di 514 kota. Kami jadi tahu karakteristik pasar di daerah–banyak unknown yang belum kita ketahui. Pada akhirnya, kita harus buka diri dan gabung ke ekosistem.

Bicara pasar healthtech dan edtech, pasarnya besar di Indonesia. Kami yang masuk di dua vertikal ini melihat ini bukan sesuatu yang baru. Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) sudah punya portofolio di dua vertikal itu. TMI memang VC, tapi ada bridging ke sinergi.

Mengenai hipotesis inside-out atau outside-in, keduanya kita garap agar inovator manapun bisa engage. Di dalam telkomsel, ada banyak inovator yang paham market dan punya sense of purpose yang kuat. Dunia Games dan Maxstream itu kan dikembangkan dari dalam Telkomsel. Telkomsel juga punya TMI, Telkomsel Innovation Center (TINC), dan The NextDev. Jadi tidak perlu [semua use case] di INDICO, tergantung di mana modelnya cocok.

Saat ini, fokus vertikal kami agnostik. Kami melihat opportunity, juga mengombinasikan antara market dan right-to-play. Ada banyak potensi menarik, tapi ini masih too early to say. Untuk sekarang, saya melihat vertikal di video [streaming atau on-demand], agritech, dan leisure economy menarik. Kalau blockchain, tampaknya masih terlalu early ya.

Apa peran INDICO dalam pengembangan bisnis portofolio?

Jawab: Saat ini, Kuncie, Fita, dan Majamojo sudah punya entitas sendiri. Sudah jadi legal company, bukan business unit lagi. Setiap perusahaan punya CEO dan mereka yang paling paham bisnisnya. Peran kami adalah sebagai holding atau horizontal platform. Awalnya, ada funding [internal], tetapi ke depan harus terbuka. Mereka harus act as a founder. 

Nah yang kami lakukan di INDICO adalah create value. Kami sudah tahu tesisnya. Apa opportunity yang dapat diambil? Apa aset Telkomsel yang bisa di-leverage agar mereka bisa create a difference?

Sejauh ini tiga bulan berdiri, kami sudah melihat perkembangan positif, initial indicator-nya menarik. Memang masih too early ya, apalagi inovator harus menjaga persistensinya.

Operator telekomunikasi umumnya mengacu pada metrik ROI dan EBITDA. Bagaimana INDICO dalam menetapkan metrik bisnis pada portofolionya?

Jawab: Sebetulnya, sebuah perusahaan pada akhirnya akan melihat metrik itu seiring berkembangnya bisnis. Contohnya GoTo. Jadi saya tidak ingin mengkotak-kotakan soal ini. Memang kami memisahkan diri supaya lebih agile, tetapi ini karena mereka sedang berada di fase eksplorasi. Jangan sampai perusahaan yang masih eksplorasi dan belum product market-fit, langsung dihadapkan pada metrik-metrik besar.

Yang lebih penting di masa eksplorasi adalah alasan di belakangnya. Contoh, Objective and Key Result (OKR) menjadi sebuah referensi bagaimana membuat kita aspirasional dalam mengejar target. Proses “so what” itu lebih penting. Selain mengembangkan produk dan mencapai target product market-fit, pastikan jalan menuju monetisasinya juga jelas.

Dengan model OKR, kita bisa diskusikan kenapa target tercapai terlalu cepat? Apakah target kerendahan atau kontribusi kami kurang? Pasti ada sesuatu. Yuk kita coba raise the bar supaya kita bisa proud kerjanya. Kalau tidak tercapai kenapa? Apa ada metrik yang mengganjal? Jadi kita sudah punya mentality di sana.

Apakah INDICO terbuka mencari sumber pendanaan eksternal?

Jawab: Secara struktur, Kuncie, Fita, dan Majamojo tetap punya entitas berbeda. Mereka bisa fundraise sendiri dan menurut saya perlu. Ini bukan masalah uangnya, tetapi pendanaan eksternal itu perlu bagi kredensial bisnis. Belum tentu semua investor punya tesis yang cocok dengan korporat yang filled with startups. Justru ini akan membuat perubahan besar, dalam satu tahun bisa sebesar ini [bisnisnya]. Kami punya network lebih luas. Sementara, mungkin [startup] lain butuh waktu 3 tahun atau lebih. Memang perlu timing yang tepat untuk fundraise. Saat ini [Kuncie, Fita, dan Majamojo] belum, belum decide. Tapi, kami sangat terbuka dengan pendanaan eksternal.

Dalam jangka pendek, kami ingin menunjukkan lewat kesuksesan kami bahwa aset Telkomsel dapat relevan bagi startup, dan beneficial juga buat Telkomsel dan INDICO. Ini bisa menjadi bisnis baru, model bisnis ini ada yang mau beli. Dalam jangka panjang, visi kami adalah membuat sebagian besar orang Indonesia yang tinggal di pedesaan, punya rezeki kota dan bisnisnya mendunia.

Ambisi Platform Deall Sejuta Cita Bantu Perusahaan Kurasi Talenta Terbaik

“Hiring today sucks” sebuah kalimat yang dilontarkan oleh Andhika Sudarman, seorang lulusan pascasarjana di Harvard Law School, juga perwakilan Indonesia pertama dalam sejarah yang terpilih untuk memberikan pidato pada upacara wisuda di kampus ternama itu.

Data dari BPS menunjukkan dari total 206,71 juta penduduk usia kerja, terdapat lebih dari 21 juta orang atau sekitar 10% yang terdampak pandemi Covid-19. Dampaknya pun beragam, ada yang masih berstatus pekerja dengan pengurangan jam kerja, ada yang sementara dirumahkan, bahkan lebih parah, ada yang kehilangan pekerjaan secara permanen.

Sementara banyak orang yang kesulitan mencari pekerjaan di tengah pandemi. Kemendikbudristek mengungkap sebanyak 1,7 juta mahasiswa jenjang sarjana lulus setiap tahunnya. Hal ini semakin menjadi beban bagi lulusan baru yang harus menghadapi tantangan mencari pekerjaan di tengah pandemi.

“Sebagai salah satu lulusan di era pandemi, saya bisa sepenuhnya merasakan pain poins terutama dari sisi talenta baru yang bingung mau mulai dari mana, perusahaan yang cocok seperti apa, serta kegundahan lainnya,” ungkap Andhika dalam wawancara singkat bersama tim DailySocial.id.

Selain itu, ia juga melihat dari sisi perusahaan juga mengalami kesulitan untuk menemukan talenta yang tepat. “Perusahaan membuka satu lowongan pekerjaan, lalu ada ratusan orang yang melamar. Dari angka tersebut mungkin hanya 1% memiliki kualifikasi yang sesuai,” ujarnya.

Berawal dari pengalaman dan pembelajaran pasar, Andhika kemudian mengembangkan sebuah platform yang diharapkan bisa menjadi solusi untuk para talenta muda berbakat di Indonesia dan juga perusahaan yang sedang merekrut. Deall SejutaCita menawarkan layanan yang bisa membantu perusahaan merekrut 1% talenta pilihan terbaik.

Deall SejutaCita menawarkan dua fitur utama, yaitu post jobs, dalam hal ini, perusahaan hanya akan melihat talenta terbaik yang sudah dikurasi dalam platform. Kedua, talent search seperti media sosial untuk para pencari kerja yang sudah dikurasi.

Hingga saat ini, terdapat lebih dari 2,5 juta talenta yang terdaftar di platform ini. Dari jumlah ini, akan dikurasi  dan diklasifikasi menjadi empat kategori yaitu 1%, 5%, 10%, dan 25%. Untuk talenta di luar 25% masih bisa mengikuti berbagai program pengembangan yang tersedia dan dapat diikuti melalui platform.

Selain menawarkan layanan rekrutmen terkurasi, timnya juga membantu dari sisi branding perusahaan, seperti mengadakan acara dan kampanye, termasuk webinar, lokakarya, kompetisi, dan acara CSR. Saat ini platform Deall SejutaCita tengah dalam pengembangan dan akan segera meluncurkan desain aplikasi terbaru mereka.

Sempat pivot

Mulai beroperasi pada Desember 2020, Deall SejutaCita (sebelumnya SejutaCita) mengawali bisnis sebagai platform pengembangan talenta. Layanan ini bertujuan untuk mendemokratisasi informasi event anak muda mulai dari webinar, kompetisi, kelas, konferensi, beasiswa, magang, dan banyak lagi. Harapannya, anak muda bisa menemukan lebih banyak kesempatan untuk membangun CV dan mengembangkan diri melalui aplikasi ini.

“Ketika masih mahasiswa, saya punya tekad untuk sukses, tetapi bingung bagaimana cara memulai. Juga bingung dan merasa hilang akan tujuan hidup, mau jadi apa. Itulah mengapa komunitas SejutaCita dibuat, agar teman-teman bisa mendapatkan informasi dan kesempatan membangun diri, membangun CV, dan mendapatkan pekerjaan yang baik pula nanti,” sebut Andhika yang saat ini menjadi CEO Deall SejutaCita.

Seiring pertumbuhan bisnis, perusahaan mengembangkan layanan menjadi platform pencari kerja. Andhika juga mengungkapkan bahwa solusi yang mereka tawarkan adalah B2B. Deall SejutaCita saat ini fokus menargetkan perusahaan yang ingin menemukan talenta terbaik untuk bisa bekerja di perusahaan mereka.

Meskipun begitu, perusahaan tidak semata-mata mengesampingkan fitur pengembangan talenta mereka. Terdapat berbagai program pelatihan (rekaman) yang dibuat oleh mentor-mentor yang telah bekerja sama dengan Deall SejutaCita. Sudah ada 4 mentor tetap dari perusahaan ternama seperti McKinsey, Google dan L’oreal untuk berbagi pengalaman dan pengarahan dalam proses pencarian kerja.

Belum lama ini, Deall SejutaCita berhasil masuk dalam program akselerator Y Combinator cohort W22. Dalam batch ini, ada 16 startup dari Indonesia yang turut bergabung, termasuk Bananas, Sribuu, PINA, Upbanx, dan lainnya. Selain mendapat pendanaan sebesar $125,000, startup juga akan memperoleh akses untuk mengikuti lokakarya pengembangan perusahaan, kurikulum global, serta mendapatkan dukungan dari jaringan mentor Y Combinator.

“Y Combinator itu seperti Harvard untuk startup. Bukan cuma ilmu yang ditawarkan, tetapi berikut lingkungan serta jaringan luas untuk bisa mengembangkan bisnis jauh lebih besar,” ungkap Andhika.

Selama lebih dari satu tahun beroperasi, perusahaan telah bertumbuh cukup pesat. Selain total talenta terdaftar yang mencapai 2,5 juta, layanan ini juga telah digunakan oleh lebih dari 30 perusahaan termasuk Tokopedia, Kitabisa.com, Ajaib dan Bobobox. “Kita bertumbuh mulai dari 4 orang sekarang menjadi 22 orang. Saat ini kita sedang fokus untuk menggaet lebih banyak mitra perusahaan dan talenta terbaik di Indonesia,” tambah Andhika.

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah banyak platform job marketplace yang menawarkan layanan perekrutan dengan value added yang berbeda. Untuk pemain lokal juga ada beberapa platform yang menangani kebutuhan serupa seperti Urbanhire, Ekrut, Nusatalent, dan beberapa lainnya.

Selama pandemi mereka juga cukup aktif membantu perusahaan untuk melakukan digitalisasi sistem HR. Misalnya yang dilakukan Urbanhire, kini mereka tidak hanya memosisikan diri sebagai portal lowongan pekerjaan saja, tetapi HR technology dan talent solutions, berkat kemitraan strategisnya dengan Mercer.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Umumkan Penerapan Aspek ESG dalam Berinvestasi

East Ventures meluncurkan “Sustainability Report 2022” untuk memaparkan dampak yang berhasil diciptakan -bersama ekosistemnya- dengan melibatkan kerangka kerja dan praktik Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST/ Environmental, Social, and Governance/ESG) dalam mencapai masa depan yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

Laporan ini salah satunya berbekal kiprahnya lebih dari satu dekade bekerja sama dengan ratusan pengusaha dalam mencapai perbaikan masyarakat secara keseluruhan. Diklaim, East Ventures telah mencatatkan lebih dari $86 miliar GMV tahunan dan $6,7 miliar pendanaan lanjutan.

Pada tahun lalu saja, East Ventures menutup lebih dari 80 kesepakatan investasi, termasuk di antaranya menambah 40 startup baru dalam portofolionya, dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Seluruh pencapaian tersebut memperkuat posisi kepemimpinan East Ventures untuk terus memberikan dampak dan menuju keberlanjutan.

“Ini adalah inisiatif dan komitmen kami kepada pemangku kepentingan, memberikan informasi tentang tindakan yang telah kami terapkan dan integrasi SDGs dalam portofolio kami. Selain itu, dituangkan dalam gerakan-gerakan berikut yang akan kita dorong bersama untuk memberikan dampak yang baik dan masa depan yang lebih baik bagi bumi, manusia, dan tata kelola perusahaan,” tulis Founding Partner East Ventures Willson Cuaca dalam laporan.

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana menambahkan, dalam mengimplementasikan praktik dan kerangka kerja ESG dalam proses investasinya, pihaknya menyiapkan tim dengan pengalaman global dan regional di multi industri. Di bawah Komite Investasi, kelompok tersebut memperkuat kepemimpinan LST untuk mengawasi kepatuhan, kebijakan, proses investasi, dan standar LST.

Kemudian, mengembangkan Kerangka Kerja Investasi Berkelanjutan (Sustainable Investment Network) untuk mengukur, melacak, dan meningkatkan dampak portofolionya terhadap lingkungan, ekonomi, dan masyarakat. Untuk strategi investasi keberlanjutan, East Ventures menerapkan dua pendekatan – Berbuat Baik dan Menghindari Bahaya (Doing Good and Avoiding Harm).

Berbuat Baik berarti menyediakan dan memungkinkan investasinya tumbuh dalam proposisi pasar yang berkelanjutan untuk mengoptimalkan dampak pada penerima manfaat. Sedangkan, Menghindari Bahaya berarti mengantisipasi dan memitigasi risiko atau potensi dampak sosial dan lingkungan yang merugikan pada praktik bisnis portofolio.

Dia melanjutkan, dalam mengukur dan memantau perbuatan baik dan menghindari bahaya, pihaknya menerapkan pendekatan investasi yang bertanggung jawab dalam proses, standar, dan alat yang digunakan dalam siklus investasi.

“Ada lima fase investasi yang kami rancang: penyaringan, uji tuntas, keputusan investasi, pasca investasi, dan exit. Selain itu, sebagai penandatanganan PRI (Principles for Responsible Investment), East Ventures akan memasukkan keenam prinsip untuk investasi yang bertanggung jawab ke dalam proses investasi dan praktik sehari-hari kami,” ucapnya.

Dicontohkan, dalam proses penyaringan, tim melakukan pra-penyaringan melalui kelayakan EST, daftar pengecualian, dan daftar periksa LST terkait dengan perusahaan portofolio potensial. Lalu, di uji tuntas, tim memverifikasi perusahaan portofolio potensial melalui penilaian risiko LST, kuesioner, untuk memastikan bahwa mereka selaras dengan kerangka peraturan dan standar kinerja IFC. Secara berkala, tim melacak kemajuan dampak berkelanjutan dari portofolio melalui rencana aksi dan pelaporan dan turut terlibat dalam proses penciptaan dampak.

Dalam pengukuran pertama dari calon investee soal risiko LST dan performa kinerja manajemen, East Ventures menyusun Sustainable Investment Toolkit untuk memastikan bahwa manajemen risiko dan kinerja LST mereka memenuhi harapan. Ada empat aspek utama dari toolkit ini, yakni Investment Data, ESG Questionnaire, Impact Questionnaire, dan Dashboard.

“Jika diperlukan dan sesuai, kebijaksanaan East Ventures akan digunakan untuk mengajukan klarifikasi, menafsirkan informasi dari setiap pertanyaan yang mungkin ditandai, dan memengaruhi perubahan positif,” tulis laporan tersebut.

Dampak melalui portofolio existing

Diklaim dari 17 tujuan yang disusun PBB dalam Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs/Global Goals), ekosistem East Ventures telah berhasil mencapai 16 tujuan. Misalnya, di ranah e-commerce, terdapat Aruna, TreeDots, dan WarungPintar.

Aruna mampu menciptakan dampak untuk lebih dari 20 ribu nelayan, termasuk perempuan, dan lebih dari 10 komoditas yang didukung untuk meningkatkan mata pencaharian nelayan melalui akses pasar yang lebih baik dan peluang perdagangan yang lebih adil. Adapun, TreeDots berhasil menyelamatkan 3.500 ton makanan dan menghemat 13,9 miliar liter air.

Berikutnya di ranah fintech, terdapat ALAMI yang berhasil menyalurkan $70 juta pembiayaan untuk 1000 UMKM. Para peminjam tersebut kebanyakan biasanya tidak dapat memenuhi kriteria pinjaman bank tradisional. Skala yang lebih besar ditunjukkan oleh KoinWorks yang menyalurkan pembiayaan untuk 1,5 juta UMKM dan menyalurkan $50 juta pembiayaan per bulannya.

Di ranah healthtech, terdapat Homage yang berhasil beroperasi di empat negara, menjalin kerja sama dengan lebih dari 8.000 pengasuh, dokter dan perawat untuk memberikan perawatan kepada keluarga dan memberikan penghasilan tambahan bagi petugas kesehatan. Sementara, Nalagenetics mencetak pertumbuhan hingga 400% dalam hal peningkatan mitra rumah sakit pada 2021 dan meningkatkan 60% tes pengujian terkait Covid-19 dalam periode yang sama.

Tentunya dalam proses menciptakan dampak ini penuh tantangan, seperti dikutip dari EV-DCI 2022, masih banyak bisnis yang masih berjuang. Maka dari itu, East Ventures melakukan pengembangan kapasitas, termasuk pelatihan terkait ESG kepada perusahaan portofolio sambil memastikan bahwa East Ventures mengungkapkan secara teratur pada dampak dan kemajuan terkait LST.

“Inovasi digital terus membawa dampak positif bagi masyarakat, dan pemodal ventura menjadi lebih berhati-hati untuk tidak hanya membawa keuntungan finansial, tetapi juga dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui investasi, kami berharap dapat melihat lebih banyak bisnis mengadopsi kebijakan ESG dan kerangka kerja untuk mengukur kinerja dan memberikan investor informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan mereka,” tutup laporan tersebut.

Investasi berdampak di Indonesia

Semakin banyak investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia. Menurut laporan ANGIN di 2020, jumlahnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima dari Indonesia. Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, ekonomi sirkular, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan kondisi di 2013.

Pun dalam mengukur dampak yang dihasilkan, tiap investor punya formula masing-masing. Partner Patamar Capital Dondi Hananto menuturkan bagaimana metrik dan skalabilitas impact investing di Indonesia secara umum. Dia mengambil contoh pada social impact, menurutnya hingga kini belum ada metrik satu-untuk-semua (one for all) yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan bisnis, baik yang bersifat ekuitas maupun non-ekuitas. Semua bergantung dari model bisnis dan dampak yang dikejar oleh startup.

Sementara di segmen environmental impact, Dondi menilai pengembangan bisnisnya belum dapat mengandalkan commercial financing sepenuhnya mengingat pasarnya di kawasan Asia Tenggara belum matang. Maka itu perlu dorongan dari sumber pendanaan lain (blended finance), seperti yayasan, CSR, atau dana sosial.

Ini menjadi salah satu faktor mengapa skalabilitas bisnis pada startup di environmental impact sulit diakselerasi. Belum lagi bicara soal benturan dalam mengejar ‘impact versus profit’ mengingat keduanya sulit untuk dicapai secara bersamaan. Dondi menilai sulit untuk menahan dampak dalam jangka panjang apabila sejak awal bisnisnya sudah profit-oriented.

“Secara business model, saya belum melihat [environmental startup] yang bisa cepat scalable. But, the trend is going there,” ungkap Dondi.

Utilisasi Data Bantu Chickin Efisiensikan Peternak Unggas

Meski banyak tantangan, sektor agrikultur menjadi area potensial berikutnya yang belakangan ini mulai digenjot dengan berbagai inovasi baru berbasis teknologi. Pada umumnya, dengan merangkul teknologi digital bakal berdampak pada upaya meningkatkan produktivitas, efisiensi, profitabilitas, serta mengurangi risiko penyakit.

Adopsi teknologi baru harus dilakukan secara masif dan menjadi kebiasaan baru bagi para petani/peternak misalnya, jika mereka ingin tetap bertahan hidup, tetap relevan, dan kompetitif di industri yang menantang, yang mana harga input melonjak dan penyakit terus mengancam bisnis mereka. Chickin menjadi salah satu pemain agritech yang mencoba menyelesaikan isu tersebut, dimulai dari industri budidaya unggas.

Tiga orang kawan, yang terdiri dari Ashab Al Kahfi, Tubagus Syailendra, dan Ahmad Syaifulloh, memantapkan diri sebagai peternak unggas sebelum akhirnya merintis Chickin pada 2018 di Klaten, Jawa Tengah.

“Kami memahami betul permasalahan di industri ini. Dari situ kita mencari pain point dari upstream hingga downstream. Berniat sekali untuk membantu menjaga ketahanan pangan di Indonesia yang masih mengonsumsi daging dengan indeks protein hewani terendah di Asia Tenggara dan masalah supply demand yang highly fragmented,” terang Co-founder & CEO Chickin Tubagus Syailendra.

Menurutnya, bagi semua pembudidaya, data adalah isu terpenting yang membantu mengatasi permasalahan di lapangan. Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa. Terlebih itu, adopsi teknologi sangat penting bagi peternak karena burung itu sangat rentan terhadap risiko penyakit. “Forecasting di supply chain dapat membantu proses matchmaking antara supply dan demand.”

Isu lainnya yang turut menjadi perhatian adalah indeks konsumsi daging protein hewani yang masih kalah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.

“Ini jadi masalah besar. Di Indonesia potensinya besar tapi masyarakatnya tidak bisa makan dengan harga dan kualitas yang oke. Lalu masih centralize juga, di luar Pulau Jawa banyak orang belum bisa makai daging karena aksesnya sulit. Di lihat dari uniqueness, daging certified terbesar itu adalah ayam. Banyak yang jual ayam di sini dan yang terpenting banyak momentum hari raya yang membuat ayam jadi komoditas di acara tertentu mendadak tinggi.”

Solusi Chickin

Dalam menjawab kebutuhan tersebut, Chickin menawarkan perangkat IoT dan SaaS untuk mengumpulkan data dan matchmaking data apa yang ada di dalam kandang untuk kebutuhan bisnis B2B. Dengan teknologi digitalnya, Chickin menawarkan solusi untuk peternak unggas di Indonesia tentang cara mengurangi kesalahan manusia, limbah pakan, dan biaya listrik. Solusi membantu mereka berubah dari manajemen tradisional hingga manajemen berbasis digital.

Pihaknya akan matchmaking data permintaan ayam, ukuran, harga, grade, dan dicocokkan data yang ada di kandang peternak. Adapun untuk perangkat IoT, untuk meningkatkan produktivitas peternak dengan menekan ongkos pakan FCR (feed coversion ratio). Sebab, keberhasilan panen itu soal seberapa banyak pakan yang dikonversi menjadi daging dengan maksimal, sehingga energi tidak sia-sia terbuang.

Chickin menyediakan solusi sistem manajemen perkandangan cerdas terintegrasi berbasis IoT melalui Chickin App – Micro Climate Controller (MCC) dan Chickin Smart Farm yang diharapkan dapat menekan angka FCR sehingga berdampak pada efisiensi pakan yang semakin baik. Dengan manajemen perkandangan berbasis IoT dan AI support, Chickin memudahkan para peternak melakukan budidaya secara optimal, produktif, dan efisien.

Mereka tidak perlu khawatir lagi soal kondisi cuaca di dalam kandang karena suhu dan kelembaban bisa diatur secara manual melalui Chickin App yang tersambung pada smartphone. Adanya IoT dan AI support memungkinkan terjadinya budidaya jarak jauh karena proses kontrolnya semakin mudah, sekaligus dapat memaksimalkan efisiensi dan kualitas produksi dengan tingkat mortalitas yang rendah.

Aplikasi Chickin membantu peternak memiliki data real-time. Diklaim, proses integrasi dari teknologi Chickin dapat meningkatkan tingkat keberhasilan panen sebesar 97% dan laba sebesar 300-400%.

“Kita bisa tekan data AI untuk adjust kebutuhan suhu ayam, sebab cost pakan itu mahal. IoT itu untuk kontrol suhu kebutuhan ayam, berapa temperatur, kelembapan, sehingga mitra bisa dapat hasil yang optimal dari segi pendapatannya,” papar Tubagus.

Dia melanjutkan, “Sejauh ini bisa mengurangi ongkos sampai 15% atau sekitar Rp2 ribu-Rp3 ribu per satu ekor ayam. Ini potensi maksimal, tergantung seberapa baik performance-nya. Selanjutnya, listrik bisa turun 50% dari ongkos, satu ekornya Rp500 untuk unit economics-nya, kita bisa tekan Rp250 per ekor. Terakhir, antibiotic cost meski masih riset, bisa turun sekitar 50% sekitar Rp250 juga. Impact-nya besar yang bisa didapat.”

Dalam menciptakan solusi tersebut, ia mengaku telah melakukan riset ilmiah selama tahun, sembari melakukan tes percobaan di beberapa kandang di Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah. “Pembuatan alatnya simpel, tambah sensor untuk tahu suhu dalam kandang dan AI Logic untuk kebutuhan suhu seekor ayam. Tapi yang buat lama itu proses kesuksesannya seberapa jauh persentasenya menurunkan ongkos pakan dan listrik. Setelah punya data yang solid kita bisa produksi lebih cepat lagi.”

Adapun untuk model bisnisnya, Chickin menyediakan suplai daging ayam berkualitas ke konsumen B2B (Chickin Fresh). Ibaratnya seperti e-commerce B2B untuk daging ayam saja, seperti Aruna yang menjadi B2B untuk ikan. Kemudian, monetisasi terjadi di sektor hilirnya. Para mitra bisnis Chickin datang dari beragam vertikal, ada e-grocery, retail, kuliner, korporasi, hingga jaringan waralaba.

“Kalau IoT device sebenarnya adalah cara kami acquire suplai saja, akuisisi banyak peternak untuk jadi mitra suplai. Dan alat-alat ini kita pakai gratis tidak monetize sama sekali.”

Diklaim, solusi Chickin Fresh telah menjual lebih dari 2,1 juta kilogram ayam untuk 10 mitra industri. Sementara, untuk Chickin Smart Farm telah memproduksi lebih dari 1 juta ekor ayam, menghemat Rp1,7 miliar pakan dihemat, dan Rp397 juta listrik dihemat.

Sumber: Chickin Indonesia

Optimistis di budidaya unggas

Tubagus meyakini, ke depannya pertanian cerdas dengan penerapan kecerdasan buatan (AI) akan diterima secara masif di negara ini. Oleh karenanya, sosialisasi manfaat dari teknologi itu penting. Untuk bisa diadopsi secara luas, diklaim bahwa teknologi ini ramah pengguna dan menciptakan efisiensi yang signifikan.

Sebenarnya para peternak di Indonesia pada umumnya sudah paham dengan konsep climate control. Makanya, target pengguna solusi Chickin adalah peternak full house yang sudah punya kipas, blower, dan cooling pad. Selanjutnya, Chickin hanya memberikan pembaruan perangkat temptron yang ada di dalam kandang dengan sensor suhu ayam dalam kandang secara real time.

Meski begitu, perusahaan tetap menempatkan tim lapangan dan konsultan yang bisa membantu peternak saat mengoperasikan perangkatnya. “Dan yang paling penting, jika kita dapat menghasilkan hasil yang baik, akan lebih mudah untuk meyakinkan peternak untuk berinvestasi.”

Solusi Chickin sebenarnya dapat diimplementasikan tidak hanya untuk unggas, tapi juga ke hewan ternak lainnya, seperti sapi dan kambing, sebab pada intinya iklim menentukan keberhasilan panen. Inovasi tersebut sudah sukses dikerjakan oleh startup sejenis dari Israel, AgroLogic. Startup ini mengembangkan temptron, seperti Chickin, yang diaplikasikan untuk babi, sapi, dan hewan lifestock lainnya.

Hal ini menginspirasi perusahaan untuk melakukan aksi serupa. Langkah Chickin selanjutnya adalah bidik pertumbuhan dari bisnis vertikal, lewat akuisisi dari hulu ke hilir. Kemudian, masuk ke downstream dengan menguasai demand agregasi ayam. Selanjutnya masuk ke midstream (rumah potong), ke upstream (kandang ayam).

“Tujuannya agar kami bisa supply farm input, seperti pakan dan bisnis, sembari masuk ke sektor horizonal di luar ayam. Sebab kami rencananya mau leading meat e-commerce B2B di Indonesia,” pungkasnya.

Saat ini Chickin telah merampungkan pendanaan tahap awal. Namun informasi detail lebih lanjut masih ditutup rapat-rapat.

Application Information Will Show Up Here